Anda di halaman 1dari 59

KASUS PANJANG

Luaran Neurodevelopmental pada Anak dengan Abses Serebri


Multipel
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Spesialis Anak

DIAJUKAN OLEH

IRWAN

18/435596/PKU/17600

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

RSUD DR. SARDJITO

YOGYAKARTA

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Luaran Neurodevelopmental pada Anak dengan Abses Serebri


Multipel
Yang diajukan oleh:

IRWAN

18/435596/PKU/17600

Yogyakarta, tanggal 23 September 2019

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Agung Triono, Sp A(K) dr. Eddy Supriyadi Ph. D Sp. A(K)

Mengetahui,

Ketua PPDS IKA FKKMK UGM

dr. Rina Triasih M. Med ( Paed ) Ph.D, Sp.A(K)

2
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :

Nama : Irwan

NIM : 18/435596/PKU/17600

Stase : Madya

Dengan ini menyatakan, bahwa makalah proposal kasus panjang ini saya tulis
dengan sungguh – sungguh berdasar keilmuan saya yang saya upayakan mencapai
taraf keilmuan yang tinggi dengan tidak melanggar etika penelitian dan penulisan
ilmiah termasuk plagiarisme.

Apabila di kemudian hari terbukti hasil karya ini melanggar etika penelitian dan
penulisan ilmiah maka saya menerima bahwa karya ilmiah ini dianggap gugur,
dan saya harus mengulangi proses penelitian dengan kasus baru.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan dapat digunakan
untuk proses pendidikan saya.

Yogyakarta,

Peserta didik,

Irwan.

3
PENGAJUAN KASUS PANJANG
Kepada :

Yth. Ketua PPDS IKA FK UGM

Di Yogyakarta

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Irwan
NIM : 18/435596/PKU/17600
Angkatan : Juli 2018

Stase : Junior
Mohon persetujuan untuk menggunakan kass dibawah ini sebagai kasus panjang
untuk melengkapi tugas sebagai peserta didik di PPDS IKA FK UGM, sebagai
berikut :

Nama pasien : Farel Kenzi Alfatarra


Tanggal lahir : 22 Juni 2017
Jenis kelamin : Laki - laki
Alamat : Nglanggeran Kulon
Kami sudah mendapat persetujuan dari orangtua pasien dan dokter penanggung-
jawab.

Yang mengajukan,

(Irwan)

Menyetujui,

Orangtua pasien Dokter Penanggungjawab

(IIN) dr. Agung Triono, Sp.A (K)

4
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-
Nya, proposal pengajuan kasus panjang Abses Serebri Multipel dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.

Proposal pengajuan kasus panjang ini disusun sebagai salah satu persyaratan program
PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKKMK UGM. Dalam karya tulis ini, penulis mendapat
banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu,
melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

1. dr. Agung Triono, Sp.A (K), selaku Dokter Penanggung Jawab Pasien serta
Pembimbing I yang telah mengijinkan kasus ini sebagai kasus panjang &
membimbing saya dalam penyusunan proposal.
2. dr. Eddy Supriyadi, Ph.D, Sp.A (K), selaku Pembimbing II yang membimbing saya
dalam penyusunan proposal
3. Kedua orang tua saya, Gunawan Santoso dan Erna Susanto, kedua kakak dan
adik saya , Ferry, Lenny dan Riany yang telah memberikan dorongan serta
motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
4. Rekan residen PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKKMK yang telah mendukung
penulisan proposal ini.
5. Supporting staf PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKKMK yang telah menfasilitasi
penyusunan & mendukung hal teknis hingga proposal ini dapat terselesaikan.

Saya menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saya
mengharapkan kritik & saran yang bersifat membangun demi perbaikan menuju
kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap proposal ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Yogyakarta, 23 September 2019

Irwan

5
DAFTAR ISI

COVER i
LEMBAR PENGESAHAN ii
LEMBAR PERNYATAAN iii
PENGAJUAN KASUS PANJANG iv
KATA PENGANTAR 5
DAFTAR ISI 6
DAFTAR TABEL………………………………….…………………………………….…………………....vii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………….…………………………vii
BAB I 1
BAB II 5
BAB III 8
A. INFEKSI INTRAKRANIAL 8
B. ABSES SEREBRI 10
C. CONGENITAL TALIPUS EQUINOVALGUS 23
D. LUARAN dan FAKTOR PROGNOSTIK 24
BAB IV 32
A. KERANGKA TEORITIS 32
B. KERANGKA KONSEPTUAL 33
BAB V 34
A. SUBYEK 34
B. VARIABEL 34
DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN…………………………………………..…………………………………………………………42

6
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Temuan klinis dan etiopatogenesis pada abses serebri………….….….…11


Tabel 2. Bakteri penyebab berdasarkan faktor risiko abses serebri…..…..….…12
Tabel 3. Gejala yang muncul pada abses beserta frekuensinya ………….…………14
Tabel 4. Algoritma management pasien yang dicurigai abses serebri…..…..….23
Tabel 5. Rencana pemantauan, intervensi, evaluasi dan target……………………..28
Tabel 6. Pengambilan data dan lembar pemantauan…………………………….
……….31

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. CT-scan kepala pasien………….…………………………………..………..…………11


Gambar 2. CT-scan kepala dengan lesi hipodens luas……………………………………11
Gambar 3. Gambar MRI yang menunjukan abses serebri lobus temporal
kanan………………………………………………………………………………………..…………..………16
Gambar 4. Kerangka teoritis………………………………………………………………………….32
Gambar 5. Kerangka konsep………………………………………………………………………….33

7
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Infeksi sistem saraf pusat merupakan kondisi yang mengancam jiwa, terutama
pada anak. Pendekatan dan pengenalan awal gejala merupakan hal yang sangat
penting untuk mencegah hasil buruk jangka panjang. Hampir seluruh penyebab
utama infeksi sistem saraf pusat merupakan perluasan infeksi dari meningen, otak
atau sumsum tulang belakang. Hampir setiap patogen dapat menyebabkan infeksi
intrakranial, melalui jalur hematogen atau perluasan langsung dari infeksi lokal.
Presentasi tersering dari infeksi intrakranial adalah meningitis, yang lebih jarang
adalah abses intrakranial. Insiden meningitis tinggi pada usia beberapa bulan
kehidupan dan sampai dengan usia dua tahun. Pada neonatus biasanya infeksi
didapat dari kolonisasi saluran gastrointestinal atau saluran genitourinari. Sistem
saraf pusat terlindung dari mikroorganisme karena lokasinya yang dalam,
dilindungi kulit, otot, tulang dan jaringan fibrosa.1, 2

Abses adalah infeksi fokal yang terdiri dari kapsul berisi pus dan bakteri
piogenik atau lebih jarang, mikobakteria, jamur atau protozoa. Infeksi intrakranial
fokal dapat dikelompokan menjadi tiga grup berdasarkan lokasi, abses epidural,
empiema subdural dan abses serebri. Abses serebi merupakan nekrosis suatu area
fokal dengan pembungkus di dalam parenkim otak, biasanya didapat dari proses
infeksi atau lebih jarang dari proses traumatik. 3
Abses serebri merupakan infeksi yang tidak biasa pada masa anak-anak,
bagaimanapun kejadian infeksi intrakranial dapat terjadi secara cepat dan
menyebabkan sekuele neurologis yang menetap. Dua puluh lima persen kejadian
abses serebri, terjadi pada anak-anak terutama usia empat sampai tujuh tahun.
Insiden abses serebri keseluruhan 0,3-1,3 per 100.000 penduduk, estimasi pada
anak-anak adalah 0,5 per 100.000 anak. Jarangnya kasus abses serebri pada anak
menghalangi penentuan insiden secara akurat. 3

1
Banyak kuman patogen yang dapat menyebabkan abses serebri, tergantung dari
bagaimana abses tersebut terbentuk dan juga status imunitas pasien tersebut.
Streptococci (aerob dan anaerob) adalah kuman patogen terbanyak penyebab
abses, ditemukan dari kultur sekitar tujuh puluh.2 Gejala klinis tersering yang
muncul pada pasien dengan abses serebri adalah gejala peningkatan tekanan
intrakranial; demam(54,5-60%), sakit kepala (72-92,8%), paresis saraf kranial
(14,5%), penurunan kesadaran (10-100%), kejang (21-25,3%), muntah (31-40%).
Tidak seperti infeksi CNS lainnya, abses serebri sering memunculkan gejala
defisit neurologis, dan papil edema jarang ditemukan, terkadang abses pons dapat
menekan aqueduct of sylvii sehingga menyebabkan hidrosepalus obstruktif. 3, 4
Neuroimaging, biasanya CT Scan kepala dengan kontras, penting untuk
menegakan diagnosis abses serebri. Temuan khas pada CT scan atau MRI adalah
lesi hipodens dengan contrast-enhancing ring. 3
Pendekatan multidisiplin dapat
meningkatan keberhasilan manajemen dari abses serebri (divisi bedah saraf,
neurologist, divisi infeksi dan neuroradiologist). Tindakan drainase tanpa
pemberian antibiotik yang adekuat, tidak dapat mengatasi abses secara baik.
Medika mentosa tanpa pembedahan hanya terindikasi bila abses kecil (<2,5cm),
kondisi klinis stabil (GCS > 12), dan etiologi penyebab sudah diketahui.
Antibiotik ideal yang harus diberikan yang mampu menembus sawar darah otak,
antibiotik empiric-broadspectrum (sensitive terhadap gram positif dan organisme
anaerob) merupakan pilihan utama, seperti generasi ke 3 cephalosporin dan
metronidazole. 2
Ada beberapa faktor prognostik pasien dengan abses serebri terhadap tingkat
mortalitas dan outcome. Faktor yang paling berpengaruh waktu penegakan
diagnosis abses serebri/subdural empiema secara signifikan adalah gejala yang
terlambat muncul dan keterlambatan diagnosis, serta gejala neurologis berat dan
komplikasi. Angka kematian tertinggi pada pasien abses serebri ditemukan pada
pasien dengan jumlah Glasgow Coma Scale yang rendah, pecahnya abses ke
intraventricular, dan penyakit berat yang mendasari, seperti penyakit jantung
bawaan sianotik, imunodefisiensi, transplantasi organ, tumor dalam kemoterapi,
neonatus yang lahir dengan kelainan bawaan atau prematur. 5

2
Rata-rata tingkat penyembuhan sempurna dari infeksi, dilaporkan 60-70%
dengan kondisi diagnosis ditegakan lebih awal, dan terapi yang sesuai. Meskipun,
ada beberapa data menunjukan persentasi kesembuhan total kurang dari 50%,
dengan kondisi intervensi dan diagnosis yang terlambat, kelainan neurologis saat
pertama terdiagnosis, dan penyakit berat yang mendasari. Komplikasi akut yang
paling sering muncul, yakni; meningitis, herniasi otak dan kematian. Sekuele
klinis ditemukan pada tiga puluh persen pasien, berupa epilepsi,
keterlambatan/ganguan motorik, defisit visual dan pendengaran, hidrosepalus dan
gangguan bahasa. Rekurensi abses serebri ditemukan pada tujuh setengah persen
pasien, dipengaruhi oleh faktor predisposisi atau penyakit yang mendasari
terjadinya abses serebri. 5
Congenital talipes equinovarus (CTEV) adalah penyakit deformitas kongenital
tersering, dengan insiden 1 sampai 2 per 100.000 kelahiran hidup. Ada 4
komponen deformitas, equinus pergelangan kaki, varus kaki bagian belakang,
adductus kaki bagian depan, dan cavus kaki bagian tengah. Target keberhasilan
terapi adalah mengkoreksi semua komponen deformitas, tanpa nyeri, kelenturan
kaki, kosmetik dan fungsi kaki dengan durasi waktu minimal. Terapi utama
adalah non operatif, eknik Ponseti casting. 10
Pasien yang akan diikuti pada kasus panjang ini adalah seorang anak laki-laki,
usia saat ini 2 tahun 2 bulan yang didiagnosis abses serebri multiple post drainase.
Kasus ini menarik karena kejadian multipel abses serebri pada anak sangat
rendah. Beberapa aspek yang dapat diamati, yaitu sekuele setelah drainase abses,
rekurensi dari abses serebri, rekurensi infeksi saluran pernapasan akut dan infeksi
telinga tengah, serta tumbuh kembang pada anak tersebut. Selain kepentingan
klinis, saya mempertimbangkan lokasi tinggal pasien di Gunungkidul, yang
memudahkan pemantauan dan perkembangan pasien. Orang tua juga bersikap
kooperatif dan bersedia membawa anaknya kontrol setiap bulan.

2. Tujuan Pemantauan Kasus Longitudinal

Dengan intervensi fisioterapi, penggunaan bracing diharapkan terjadi


perbaikan tumbuh kembang pasien dengan target mengalami perbaikan fungsi

3
motorik dan bahasa untuk meningkatkan quality of life, berdasarkan penilaian
Denver II, GMFM-88 dan Peds QL. Dengan dilakukannya intervensi pencegahan
infeksi saluran nafas akut yang bisa menyebabkan otitis media yang merupakan
faktor predisposisi terjadinya rekurensi abses serebri, imunisasi tambahan sesuai
rekomendasi IDAI, diharapkan tidak terjadi rekurensi terkait infeksi saluran
pernapasan berulang, otitis media berulang dan abses serebri berulang.

3. Manfaat Pemantauan Kasus Longitudinal

Bagi pasien, diharapkan dengan dijadikan kasus panjang, pemantauan gejala


sekuel, rekurensi dan CTEV dapat dilakukan dengan lebih komprehensif dan
terpantau lebih baik, sehingga luaran lebih baik. Manfaat bagi keluarga adalah
agar dapat lebih memahami dan memantau perkembangan anak dan ikut berperan
dalam penanganan pasien ntuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Manfaat
untuk perserta PPDS adalah dapat memahami lebih gejala sekuel pada abses
serebri dan perkembangan pada anak dengan riwayat abses serebri. Manfaat untuk
Rumah Sakit adalah dengan tatalaksana yang komprehensif untuk pasien, mutu
pelayanan Rumah Sakit dapat menjadi lebih baik.

4
BAB II
IDENTITAS DAN URAIAN KASUS

1. Identitas

Nama : FKA

Tempat dan tanggal lahir : Gunung kidul, 22 Juni 2017

Jenis kelamin : laki – laki

Nama ayah :S

Umur ayah : 25 tahun

Pekerjaan ayah : karyawan swasta

Pendidikan ayah : SLTA

Nama ibu :I

Usia ibu : 24 tahun

Pekerjaan ibu : ibu rumah tangga

Pendidikan ibu : SLTA

Alamat : Nglanggeran Kulon, Gunungkidul

No. RM : 01.81.xxxx

2. Uraian kasus

Pasien seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 5 bulan, rujukan dari RSUD
Prambanan dengan diagnosis suspek meningitis, dengan keluhan utama muntah-
muntah. Dua puluh tiga hari terakhir pasien muntah-muntah 5 kali per hari,
terlihat lebih lemas, mata sebelah kanan pasien nampak sulit terbuka, masih bisa
berkomunikasi, asupan adekuat, tidak mau berjalan dan duduk, lebih banyak
berbaring, setelah sebelumnya ada cairan putih kental dan berbau keluar dari
telinga. Pasien merupakan anak kedua, dari kehamilan pertama, cukup bulan, lahir
secara section caesarean dengan indikasi gemeli, berat badan lahir 2600 gram,

5
panjang badan 46 cm, menetek kuat, dan ASI eksklusif 6 bulan. Riwayat
pertumbuhan berat badan dan tinggi badan tercatat di kurva kartu menuju sehat
(KMS), perkembangan motorik, sensorik, bicara dan sosial sesuai dengan
milestone. Imunisasi lengkap sesuai program pemerintah, diberikan di Posyandu
atau Puskesmas.

Berdasarkan anamnesis, didapatkan tanda peningkatan tekanan intrakranial


seperti muntah, gelisah, penurunan kesadaran, gangguan fungsi saraf kranial, dan
juga ditemukan papil edema pada pemeriksaan opthalmoskopi. Pada pemeriksaan
neurologis didapatkan kekuatan anggota gerak kanan menurun, peningkatan reflek
fisiologis anggota gerak kanan meningkat, juga didapatkan tanda infeksi
meningeal kaku kudu, brudzinkzy 1 dan babinsky yang dicurigai sebagai
meningoencephalitis.

Pemeriksaan fisik pada kunjungan pertama di RSUP Dr. Sardjito (5 Januari


2019), didapatkan kondisi anak lemah, hemodinamik stabil. Status gizi dengan
berat badan 11.5 kg (WAZ score: 0.743) tinggi badan 85 cm (HAZ score: 1.461);
berat badan terhadap panjang badan WHZ score: 0, dan status gizi pasien adalah:
Gizi baik (berdasarkan standar antropometri status gizi anak keputusan Menteri
Kesehatan republik Indonesia tahuh 2010). Pemeriksaan fisik pasien pada bagian
kepala: ubun-ubun menutup, ptosis kelopak mata kanan, pupil isokor, diameter
3mm, didapatkan benjolan regio oksipital, teraba lunak ukuran 3x4x1 cm,
immobile tidak terdapat tanda radang; pada leher ditemukan kaku kuduk; thorax
simetris, jantung dan organ respirasi dalam batas normal; pemeriksaan perut dan
inguinal dengan perabaan tidak ditemukan benjolan atau massa; kelemahan dan
keterbatasan anggota gerak kanan, peningkatan reflek fisiologis anggota gerak
kanan meningkat, juga didapatkan tanda infeksi meningeal kaku kudu, brudzinkzy
1 dan babinsky.

Pasien didiagnosis abses serebri multipel yang dikonfirmasi dengan


pemeriksaan MSCT kepala dengan kontras (10 Januari 2019) dengan hasil: soft
tissue swelling di regio parietalis, tampak multiple lesi hypodense di lobus
frontotemporoparietal dextra dan frontotemporoparietal sinistra, bentuk

6
membulat, batas tegas, tepi reguler, dengan densitas intralesi pre kontras l.k 14-23
HU dan densitas intralesi post kontras l.k 13-20 HU dengan ketebalan dinding
konsentris (0,1 cm) disertai rim enhancement (densitas pre kontras l.k 32-34 HU
dan densitas post kontras l.k 34-59 HU disertai perifokal edem yang mendorong
dan menyempitkan ventrikel lateralis dextra serta menyebabkan pergeseran garis
tengah ke arah sinistra sejauh l.k 1,6 cm, dengan kesimpulan akhir abses serebri
multifokal disertai perifokal edema yang mendorong dan menyempitkan ventrikel
lateralis dextra serta menyebabkan pergeseran garis tengah ke arah sinistra.
Setelah dilakukan evakuasi cairan abses, didapatkan hasil sitologi; sel-sel radang
yang tersebar terdiri dari banyak leukosit PMN, cukup limfosit, sedangkan dari
hasil kultur didapatkan coccus berderet, curiga Streptococcus.

Gambar 1. Ct-scan kepala pasien diambil tanggal 10 Desember 2018, menunjukan multiple
lesi cystic hypodense tersebar dikedua hemisfer, pelebaran Sistema ventrikel bilateral, disertai
edema serebri diffuse. Sesuai dengan gambaran abses serebri multiple 10

Diagnosis terakhir sebelum pengamatan pada pasien ini adalah; abses serebri
multiple post drainase, paraparese inferior, global developmental delayed, CTEV.
Problem yang masih ada pada pasien ini adalah, global developmental delayed
(dengan 2 bagian, motoric kasar (saat ini pasien baru bisa berdiri dengan bantuan)
dan gangguan Bahasa (saat ini pasien baru bias berbicara 1-2 kata)). Terapi
sebelum pengamatan; drainase abses 2 sisi, Cefotaxime 50mg/kg/12 jam selama 4

7
minggu, dexametason 0,6mg/kg/24 jam selama 2 minggu, mannitol 0,5 gr/kg/24
jam selama 5 hari.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. INFEKSI INTRAKRANIAL
Infeksi sistem saraf pusat merupakan kondisi yang mengancam jiwa, terutama
pada anak-anak, dibutuhkan perhatian khusus dari divisi ilmu kesehatan anak,
divisi bedah dan patologi klinis juga mikrobiologis. Pada anak merupakan entitas
penting dan pendekatan/pengenalan awal gejala merupakan hal yang sangat
penting untuk mencegah hasil buruk jangka panjang, terutama pada pasien usia
muda. Hampir seluruh penyebab utama infeksi intrakranial merupakan perluasan
infeksi dari meningen, otak atau sumsum tulang belakang. Penyebab utama pada
pasien anak berbeda dengan dewasa, begitu juga dengan gejala klinis. Namun,
pemeriksaan radiologis untuk infeksi intrakranial memiliki kesamaan interpretasi
dengan pasien dewasa. Pemeriksaan radiologis modern dapat dengan jelas
menunjukan lokasi anatomi yang terinfeksi, perkembangan infeksi dan juga untuk
evaluasi tatalaksana. 1, 5
Hampir setiap patogen dapat menyebabkan infeksi intrakranial, melalui jalur
hematogen atau perluasan langsung dari infeksi lokal. Presentasi tersering dari
infeksi intrakranial adalah meningitis, yang lebih jarang adalah abses intrakranial.
Usia 2 minggu pertama, patogen tersering adalah grup B Streptococci dan
Eschericia coli, sekitar 80-85 % kasus. Usia 7 minggu sampai 15 tahun, patogen
tersering yang menyebabkan Haemophilus influenzae b, Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitides. Sistem saraf pusat terlindung dari
mikroorganisme karena lokasinya yang dalam, dilindungi kulit, otot, tulang dan
jaringan fibrosa. Intervensi bedah yang melewati barrier tersebut, dan dapat
langsung terekspos patogen. 1, 2
Infeksi kongenital ditransmisikan dari ibu ke janin melalui rute transplasental.
TORCH sering digunakan untuk mendefinisikan infeksi kongenital;

8
toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus dan virus herpes simplex. Infeksi
kongenital memiliki efek jangka panjang dan sekuele pada perkembangan otak.
Sekuele tergantung dari usia saat infeksi. Infeksi saat trimester 3 menghasilkan
kerusakan aquaductus, porencepaly, hidrosepalus dan kalsifikasi. Transmisi
toxoplasma trimester pertama 17%, trimester kedua 25%, dan trimester tiga 65%.
Gejala tersering korioretinitis bilateral 85%, mikrosefal dan kalsifikasi
intrakranial, dengan prognostic buruk 11-14%. Infeksi rubella kongenital, saat ini
sangat jarang karena program imunisasi dan screening maternal selama
kehamilan. Risiko transmisi terutama trimester satu dan dua. Gejala klinis yang
muncul adalah retardasi pertumbuhan, kelainan neurologis (tuli, mikrosefali,
meningoensefalitis, autism, ubun-ubun membonjol), katarak/retinopati, kelainan
jantung bawaan, organomegali, jaundice dan purpura. Cytomegalovirus adalah
virus penyebab tersering, lebih dari 50%, muncul 1% dari seluruh angka
kelahiran, dengan 10% dari bayi tersebut memiliki gejala hematologic, neurologi
dan gangguan perkembangan. Gejala neurologis muncul 55% dari seluruh pasien,
termasuk kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, gangguan pendengaran,
korioretinitis dan kejang. 7
Meningitis bakterialis merupakan infeksi sistem saraf pusat tersering pada
anak. Patogen primer penyebab: grup B Streptococcus dan Escherichia coli,
hampir 66% kasus. Antenatal korioamnionitis / ketuban pecah dini, usia gestasi
kurang dari 37 minggu merupakan faktor risiko terjadinya meningitis. Gejala
klinis infant berbeda dengan anak yang lebih besar, letargi, stupor, malas netek,
dan kejang 40% seluruh kasus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan, ubun-ubun
membonjol, kaku kuduk, kernig sign (namun jarang ditemukan pada infant).
Evaluasi cairan serebrospinal, ditandai dengan peningkatan protein dan penurunan
glukosa, peningkatan sel darah putih dengan dominasi neutrophil, dan juga
pewarnaan gram untuk menunjukan organ penyebab. Organisme infektif
mencapai meningen dengan 5 mekanisme; penyebaran hematogen dari focus
infeksi, perluasan infeksi dari mastoid/telinga tengah/sinus paranasal, pleksus
koroid, rupture abses, trauma tembus. Ventrikulitis muncul pada 30% pasien
dengan meningitis bakterialis, dan 92% pada neonatus. Penegakan diagnosis

9
meningitis berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan evaluasi
laboratorium, terutama cairan serebrospinal. Pemeriksaan radiologi tidak selalu
dilakukan untuk menegakan diagnosis meningitis, namun digunakan untuk
mencari komplikasi, seperti hidrosepalus, abses dan empiema, juga bisa dilakukan
pada pasien dengan kejang dan ditemukannya defisit neurologis. Temuan yang
bisa ditemukan pada Ct-Scan kepala adalah ventrikulomegali dan pembesaran
rongga subarachnoid. 7
Ventrikulitis merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis
bakterialis, patogen yang masuk ke ventrikel karena pecahnya langsung lesi atau
penyebaran melalui plexus koroidalis. Temuan radiologis klasik adalah debris
protein di sistem ventrikel. Dikarenakan penurunan absorbs cairan serebrospinal,
pelebaran ventrikel selalu ditemukan. Kadang terjadi nekrosis, sehingga
menyebabkan obstruksi vena subependymal dan periventrikularis atau efek
langsung dari toxin bakteri. 7

B. ABSES SEREBRI
Abses adalah infeksi fokal yang terdiri dari kapsul berisi pus dan bakteri
piogenik atau lebih jarang, mikobakteria, jamur atau protozoa. Infeksi tersebut
dapat berkembang secara cepat dan menyebabkan kerusakan jaringan dan sekuele
neurologis. Infeksi intrakranial fokal dapat dikelompokan menjadi tiga grup
berdasarkan lokasi, abses epidural, empiema subdural dan abses serebri. Sebagian
besar muncul karena ekstensi langsung dari infeksi stuktur disekitar jaringan otak
(sinusisits, otitis media), namun dapat juga secara hematogen. Abses serebi
merupakan nekrosis suatu area fokal dengan pembungkus di dalam parenkim
otak, biasanya didapat dari proses infeksi atau lebih jarang dari proses traumatic. 3
Abses serebri masih merupakan masalah global yang menyerang seluruh usia,
terutama dua decade pertama kehidupan. Pasien anak-anak dengan abses serebri
hampir ¼ dari seluruh kasus dan tergantung dari status sosioekonomi. Studi
terakhir menunjukan bahwa pasien anak dibawah 15 tahun bervariasi sekitar 15
dan 30 %. Bagaimanapun, terdapat perbedaan faktor predisposisi pada infant dan
anak/dewasa muda. Memang pada infant dan anak-anak lebih dicurigai abses
serebri sebagai komplikasi dari meningitis bakterialis atau bakteremia. Pada anak

10
yang lebih besar, imunosupresi dan penyakit jantung bawaan sianosis yang
merupakan faktor predisposisi. Lebih dari setengah kasus abses serebri merupakan
komplikasi dari sinusitis, otitis atau infeksi gigi. Lokasi abses sangat berhubungan
dengan sumber infeksi; sinusitis frontalis atau etmoidalis dapat menyebabkan
abses lobus frontalis, sinusitis spenoid dapat menyebabkan abses lobus
temporal/abses hipofisis, otitis dapat menyebabkan abses bagian temporal atau
cerebellum. Dua puluh lima persen kasus muncul setelah penyebaran secara
hematogen, endocarditis bakterialis atau infeksi paru kronis (pneumonia,
empiema, dan abses). Trauma, luka tembus yang meninggalkan benda asing dan
neurosurgery dapat menyebabkan komplikasi abses serebri. 3, 6
Bakteri penyebab abses serebri bervariasi tergantung dari lokasi primer infeksi,
usia, dan penyakit yang mendasari. Secara keseluruhan, organisme penyebab
tersering abses serebri adalah bakteri gram positif, Streptococcus, ditemukan
sekitar 70% dari kultur abses. Seperti ditunjukan pada tabel 1 dan tabel 2,
Streptococcus, Peptostreptococcus, dan Bacteroides adalah bakteri yang biasa
ditemukan pada pasien dengan sinusitis dan otitis. Pada pasien dengan
endocarditis atau penyakit jantung bawaa sianosis, bakteri penyebab terbanyak
yang sering ditemukan adalah Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus dan
spesies microaerophilic. 4
Batang aerobic gram positif dan aerobic gram negatif
banyak ditemukan pada pasien yang telah menjalani prosedur neurosurgical. Pada
neonatus Citrobacter dan Proteus yang paling sering ditemukan. Pada pasien
dengan status imunokompromise sering berhubungan dengan Enterobacteriaceae,
Pseudomonas, Mycobacterium dan infeksi non bacterial seperti jamur atau
parasite. Infeksi HIV dapat menyebabkan abses serebri disebabkan oleh
Toxoplasma gondii, namun dapat juga disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Peningkatan jumlah pengguanan kortikosteroid dan obat
imunosupresi lainnya meningkatakan infeksi oportunis yang menyebabkan abses
serebi, tidak hanya medikamentosa, pasien dengan kelainan neurologis berat
(Alzheimer, Parkinson atau infeksi HIV) sangat berisiko tinggi mendapat infeksi
oportunistik. 3
Tabel 1 Temuan klinis dan etiopatogenesis pada abses serebri.11

11
Lokasi Lobus Temporal Lobus Frontalis Lobus Cerebellum Batang
(Fokus (Sphenoid (sinusitis ethmoid / parietal Otak
primer) sinusitis, Otitis) frontalis) (Non- (Otitis) (Non-
spesifik) spesifik)
Gejala Afasia Wernicke, Mengantuk, tidak Kehilangan Ataksia, Paresis
defisit lapang focus, mutisme, keseimbangan nystagmus, otot
pandang, kejang, hemiparesis Stereognosis, pergerakan wajah,
kelemahan otot kontralateral (ketika kejang, tidak disfagia,
kontralateral ukuran abses besar) hemianopsia, terkoordinasi multiple
ringan nystagmus lengan dan cranial
kaki nerve
ipsilateral palsies
Etiologi Streptococcus Streptococcus Non-spesifik Streptococcus Non-
Peptostreptococci Peptostreptococcus Peptostrepto- spesifik
Bacteriodes Bacteriodes cocci
Enterobactericea Enterobactericeae Bacteriodes
e Pseudomonas Haemophilus Entero-
aeruginosa Fusobacterium bactericeae
Pseudomonas
aeruginosa

Tabel 2 Bakteri penyebab berdasarkan faktor risiko abses serebri. 8

Faktor Risiko Abses Serebri Patogen penyebab


Sinusitis paranasal Microaerophilic and anaerobic streptococci, Hemophilus
sp, Bacteroides sp, Fusobacterium
Otitis media dan mastoiditis Bacteroides sp, Streptococci, Pseudomonas aeruginosa
dan Enterobacteriaceae Morganella morganii
Infeksi dentis Streptococci dan bacilli gram negative
Endocarditis Viridans streptococci / S. aureus
PJB sianotik Streptococci
Infeksi intraabdominal/pelvic Anaerobic: Bacteroides, Prevotella melaninogenica,
Propionibacterium, Fusobacterium, Actinomyces
Infeksi paru pyogenic Streptococcus sp, Actinomyes sp, Fusobacterium
Sepsis saluran kemih Enterobacteriaceae dan Pseudomonaceae
Trauma kepala / prosedur bedah S. aureus
saraf
Parasit: Taenia, Entamoeba, Schistosoma, Paragonimus,
Echinococcus
Immunikompromise Toxoplasma gondii, Nocardia asteroides, Cryptococcus
neoformans, Mycobacteria, Listeria monocytogenes,
Disfungsi Sel T
Primay CNS Lymphoma (EBV)
Neutropenia Aspergillus, Candida, Mucoraae, Enterobactericeae,
Pseudomonas aeruginosa
Patologi abses serebri berdasarkan temuan CT dan MRI dapat dikelompokan
menjadi 4 stadium;

12
1. Early serebritis (1-4 hari), ditandai dengan akumulasi netrofl, nekrosis
jaringan dan edema. Terjadi aktivasi microgliad dan astrocyte.8
2. Late serebritis (4-10 hari), berhubungan dengan domnansi macrofag dan
infiltrasi limfosit. 8
3. Early capsule formation (11-14 hari), berhubungan dengan pembentukan
dinding abses yang banyak vaskularisasi, penting dalam pemisahan lesi,
menjaga integritas fungsi otak dan membatasi ekspansi proses infeksi. 8
4. Late capsule formation (>14 hari), setelah 3-4 minggu, kapsul abses
menjadi tebal.8

Respon imun yang muncul dapat menghancurkan jaringan otak disekitar,


sering tersebar luar diluar fokus infeksi, dikarenakan pelepasan mediator
proinflamasi yang merusak jaringan otak. Aktifasi imun di Central Nervous
Sistem dapat dipicu setelah invasi patogen / kerusakan jaringan oleh reseptor, toll-
like receptors (TLR) dan nod-like receptor (NLR). TLR merupakan sensor mayor
dari invasi patogen, dengan mengenali patoghen-associated molecular patterns
(PAMPs) dari beberapa organisme, termasuk bakteri, virus, jamur dan parasite,
juga molekul endogen, danger associated molecular patterns (DAMPs), yang
terisolasi dari sistem imun namun terlepas saat patologi dari jaringan. TLR 2
mengatur beban bakteri, infiltrasi imun, dan mediator inflamasi selama
perkembangan abses serebri. NLR membentuk inflammasome, structure
fungsional yang bertanggung jawab untuk pro-interleukin-1b dan 18, yang ketika
diaktifkan berperan dalam fisiopatologi dari beberapa kelainan neurogeneratif di
infeksi sistem saraf pusat. IL-1 dan IL 18 memiliki peran penting dalam imunitas
antibacterial bersamaan dengan MyD88. IL-1 penting untuk menahan patogen
selama pembentukan abses. IL-1 dan IL-18 juga berperan dalam regulasi imunitas
adaptif. 8

Ada empat gejala primer pada abses serebri, ekspansi masa fokal, peningkatan
tekanan intrakranial, destruksi difus jaringan otak dan defisit neurologis fokal.
Pada sebagian besar kasus abses serebri faktor predisposisi dapat diidentifikasi
seperti penyakit jantung bawaan, kelainan imunitas atau ada focus sepsis.

13
Frekuensi gejala klinis pada abses serebri ditampilkan di tabel 3. Gejala klinis
abses serebri tergantung dari sumber infeksi, lokasi, ukuran, jumlah lesi, struktur
otak spesifik yang terkena, ataukah melibatkan struktur lain seperti, ventrikel,
cisterna, sinus venosus dural. Gejala klinis tersering yang dikeluhkan adalah
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (muntah, sakit kepala, penurunan
kesadaran), defisit neurologis fokal dan demam (demam dapat tidak muncul
sekitar 30-76% kasus). Durasi pada gejala klnis tersebut sekitar 1 hari sampai
dengan 8 minggu.10

Tidak seperti infeksi sistem saraf pusat lainnya, defisit fokal sering muncul dan
papiledema sangat jarang ditemukan. Abses pontin mungkin akan mendorong
aquaductus sylvii yang menyebabkan hidrosephalus obstructif. Abses yang berada
di daerah frontal, menunjukan gejala yang tidak spesifik, seperti demam, mual,
dan sakit kepala pada fase awal, dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial,
seperti penurunan kesadaran, mungkin akan muncul setelahnya. Lesi di oksipital
mungkin pecah, dana akan masuk ke ventrikel menyebabkan ventrikulitis dan
menyebabkan tromboplebitis sepsis dari sinus menyebabkan, hipertensi vena,
edema, kejang dan peningkatan tekanan intrakranial. Antibiotik oral dan antinyeri
dapat menyebabkan berkurangnya gejala, serta menambah panjang gejala klinis
yang menyebabkan terlambatnya diagnosis klinis pasien abses serebri.8

Tabel 3. Gejala yang muncul pada abses beserta frekuensinya.8

Gejala Frekuensi (%)


Demam 54,5-60
Sakit kepala 72-92,8
Hemiparesis saraf cranial 14,5
Hemiparesis 20,2
Meningismus 52,2
Penurunan kesadaran 10-100
Mual/muntah 31-40
Papiledema 4,1-50
GCS, saat datang
3-8 10,3
9-12 28
13-15 61,7

14
CT scan kepala dengan kontras sangat penting untuk menegakan diagnosis
abses serebri. Ct scan kepala harus dilakukan pada semua pasien yang dicurigai
abses serebri. 9
CT scan kepala dengan kontras dapat mendeteksi secara cepat
ukuran, jumlah dan lokasi dari abses, juga dapat mendeteksi hidrosepalus,
peningkatan tekanan intrakranial, edema dan infeksi yang berhubungan seperti
subdural empiema, ventrikulitis dan dapat membantu rencana terapi. Pada fase
awal, CT scan tanpa kontras mungkin hanya akan menunjukan masa abnormal,
difase selanjutnya akan menunjukan bentuk cincin. Pada CT scan kepala dengan
kontras, akan selalu menunjukan uniform ring enhancement pada fase lanjutan.
Untuk saat ini, MRI dapat membedakan lesi ring-enhancing untuk membedakan
abses serebri dengan lesi keganasan. Pada fase awal, MRI dapat menunjukan T1-
weighted image (T1WI) dan high T2-weighted image (T2WI), sedangkan pada fase
lanjutan menunjukan sinyal high T2WI disekitar cavitas dan parenkim. Untuk
neonatus, bila tidak dapat dilakukan MRI dapat dilakan USG kepala sebagai
alternatif. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu mengidentifikasi
faktor predisposisi dan sumber infeksi. Untuk menemukan sumber infeksi,
diperlukan beberapa tambahan studi, pemeriksaan gigi, echocardiogram, sinus dan
pemeriksaan telinga bagian tengah, darah rutin, cairan serebrospinal. Pemeriksaan
cairan cererbrospinal dapat normal ketika abses tidak pecah ke ventrikel.8

15
Gambar 2 Menunjukan Ct-Scan kepala, dengan lesi luas hipodens di regio kiri fronto-temporal,
dan dilatasi sistem ventricular 8

Pada imaging, subdural empiema dapat dibedakan dari epidural empiema


karena pada subdural empiema tidak melewati garis tengah, bentuk konveks
seperti bulan sabit. Muncul sebagai isodens atau densitas rendah extraxial, dengan
rim enhancement pada CT scan. Pada MRI menunjukan signal T2WI, iso intens di
otak, dan penebalan peripeal. Patogen tersering pada subdural empiema adalah
Streptococci viridans (1/3 kasus). Kultur positif pada 65 % kasus (tergantung
lokasi utama infeksi) terapi utama yang dibutuhkan pada subdural empiema
adalah evakuasi pembedahan, juga dosis tinggi antibiotik intravena. Kraniotomi
adalah prosedur utama menunjukan perbaikan klinis dan rendahnya angka operasi
ulang, dibanding dengan burr hole. Angka kematian menurun dari 23% ke 8%
setelah kraniotomi menjadi pilihan dibandingkan dengan burr hole. Evakuasi
sempurna empiema, penting untuk mengurangi tekanan intrakranial dan
meningkatkan penetrasi antibiotik. Antibiotik spektrum luas harus diberikan
disamping menunggu hasil sensitifitas antibiotik, dengan pemberian amoxicillin,
vancomycin, ditambah generasi ke tiga atau empat cephalosporin dan

16
metronidazole. Pasien empiema subdural sangat berisko terjadi bangkitan kejang,
trombosis vena serebri dan abses serebri. 11

Gambar 3. Gambar a: menunjukan MRI contrast-enhancing lesion lobus temporalis kanan,


Gambar b Menunjukan MRI signal hiperintens lesi lobus temporal, Gambar c menunjukan MRI
restriksi perfusi lobus temporal kanan, Gambar d Menunjukan potongan axial MRI, epidural
abses lobus temporal, Gambar e Menunjukan subdural empiema sisi kanan.2

Diagnosis abses serebri telah berevolusi dengan baik setelah ada teknologi
MRI, dan dengan lebih mudah dapat menentukan diagnosis banding dari abses
serebri. Proton MR Spectroscopy (1H-MRS) juga aman, imaging non invasive
dan dapat dengan akurat membedakan nekrotic/cystic tumor dan abses serebri.
Diffusion weighted imaging (DWI) memiliki sensitifitas dan spesifitas lebih dari
90%. Hanya pada abses serebri, punksi lumbal tidak pernah direkomendasikan. 11

Pendekatan multidisiplin adalah kunci keberhasilan dari manajemen abses


serebri. Bedah saraf sebagai poros tim, bersamaan dengan neurologist, spesialis
infeksi dan neuroradiologist. Pembentukan abses serebri merupakan keterkaitan
dari tingkat virulensi dari mikroorganisme dan respon imun dari penjamu. Abses
serebri biasanya membutuhkan drainase abses dengan antibiotik yang sesuai. 4

Penetrasi antibiotik dari sirkulasi sistemik ke jaringan otak, berbeda dengan


penetrasi ke intrakranial pus. Ini merupakan alasan mengapa konsentrasi

17
antibiotik di plasma tidak dapat digunakan sebagai prediktor konsentrasi di
jaringan otak atau intrakranial pus. Terapi inisial dengan antibiotik spektrum luas
harus diberikan, yang dapat menembus sawar darah otak dan darah –
serebrospinal fluid dengan dosis adekuat.8 Antibiotik empiric yang diberikan juga
efektif terhadap patogen anaerob, seperti generasi ke tiga cephalosporin dan
metronidazole, juga vancomycin bila ada riwayat trauma kepala atau prosedur
bedah saraf. Pemberian antibiotik berdasarkan faktor predisposisi, sampai
mendapat informasi mengenai sensitifitas antibiotik setelah drainase pus. Bila
hasil kultur negative, pemberian antibiotik spektrum luas harus dilanjutkan
berdasarkan faktor predisposisi dan lokasi anatomic abses tersebut. Penisilin,
ampicillin, cefuroxime, chloramphenicol, cotrimoxazole, ceftazidime dan
metronidazole menunjukan konsentrasi terapetik untuk pus intrakranial, dan telah
menunjukan keberhasilan sebagai kominasi terapi. Terapi empirik lama yakni
penicillin dan chloramphenicol, sekarang berubah menjadi cefotaxime
/ceftriaxone/ceftazidime, vancomycin dan metronidazole. 12

Infeksi Nocardia asteroids atau Toxoplasma gondii pada pasien dengan


penurunan fungsi limfosit, sulphonamide dan pyrimethanium sangat efektif. Pada
kasus defek limfosit T, Candida neoformans sering ditemukan, kemudian 5
fluctosine dan amphotericine-b dapat digunakan. Pada pasien dengan leukemia
dan lymphoma, infeksi Pseudomonas sangat sering, aminoglycosides sangat
efektif. Pada pasien dengan transplant ginjal, dan kanker darah yang mendapat
terapi steroid, Listeria adalah organisme yang sering ditemukan, dan ampicillin
sangat efektif. 8

Durasi pemberian antibiotik harus ditentukan berdasarkan kondisi secara


individual, berdasarkan ukuran abses, kombinasi medikasi dan tindakan bedah,
organisme penyebab dan respon terhadap terapi. Terapi antibiotik selama 4-6
minggu untuk pasien yang mendapat terapi pembedahan, dan 6-8 minggu untuk
abses serebri yang besar dan multipel. Dosis tiga kali lipat diberikan selama 2
minggu, diikuti dengan 4 minggu dosis oral, merupakan regimen yang
direkomendasikan. Untuk kasus imunikompromised, antibiotik diberikan selama

18
3-12 bulan. Dosis metronidazole yang mampu mempenetrasi abses, 40mg/cc,
memiliki aktifitas bakterisid yang baik terhadap bakteri anaerob. Carbapenem
tunggal sebagai alternatif dari cefotaxime+metronidazole. Meropenem dan
imipenem juga mempenetrasi ke cairan serebrospinal dan menunjukan aktifitas
antimikroba yang sangat baik. Imipenem menunjukan konsentrasi yang tinggi di
pus otak.8

Tidak ada studi random yang mengevaluasi penggunaan kortikosteroid untuk


edema serebri sekitar abses. Namun kortikosteroid direkomendasikan perioperatif
untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mencegah herniasi otak akut. Tapi
hanya dapat diberikan kepada pasien yang menunjukan gejala meningitis dan
edema toxic yang mengancam kehidupan. Pada pasien imunosupresif, seperti
transplan dan infeksi HIV, untuk mencegah infeksi jamur, toxoplasmosis,
pemberian trimetroprim-sulfametoksazole atau sulfadiazine. 8

Kejang dapat menjadi gejala awal abses serebri sampai dengan 25-43 % dari
seluruh kasus, dan insiden terjadinya kejang setelah abses serebri sekitar 70%.
Pemberian antikejang selama 5 tahun pada pasien dengan abses serebri sangat
direkomendasikan. Beberapa studi merekomendasikan untuk menghentikan
antikejang bila dalam 2 tahun bebas kejang dan dari EEG tidak menunjukan
adanya gelombang epilepsi. 12

Terapi pembedahan yang saat ini digunakan adalah, evakuasi terbuka, eksisi
dan aspirasi melalui burr hole dan yang terkini adalah stereotactic (imaging dan
komputerisasi). Prinsip untuk dilakukannya pembedahan adalah 8

● Untuk secara cepat menurunkan tekanan intrakranial dengan melakukan


aspirasi kavitas menggunakan dasar imaging (CT scan/MRI)
● Untuk menegakan diagnosis
● Untuk mengambil pus, sebagai diagnosis mikrobiologi
● Untuk memperbesar keberhasilan terapi antibiotik
● Untuk mencegah penyebaran iatrogenic ke ventrikel

19
Hampir seluruh tindakan drainase abses pada abses serebri diindikasikan untuk
keduanya, terapi dan untuk penegakan diagnosis (menentukan jenis patogen,
karena tingginya hasil kultur negative pada abses serebri. Aspirasi dari material
purulen pada abses bisa membantu proses penyembuhan jaringan disekitar abses.8

Abses serebri yang tidak berespon terhadap antibiotik (bertambah ukuran


abses selama 2-3 minggu), akan memerlukan tindakan drainase. Abses serebri
akibat trauma, mungkin membutuhkan kraniotomi untuk menyingkirkan benda
asing atau serpihan tulang. Abses cerebellum atau batang otak memerlukan
craniotomu fossa posterior terkait tingginya risiko herniasi otak. Ventrikulostomi
diindikasikan untuk peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan. 12

Eksisi primer pada abses serebri menentukan kerusakan utama sekitar


jaringan otak dan berpotensi menyebabkan sekuel neurologis dan kejang, karena
kapsul abses biasa ekstensi ke sekitar white matter, dan juga ketika prosedur
pembedahan menyebabkan kerusakan ekstensif jaringan otak yang tidak terduga.
Abses yang kecil, dalam, dan multipel secara umum sulit untuk dilakukan eksisi.
Aspirasi abses saat ini menjadi metode pilihan utama untuk drainase, menurunkan
tekanan intrakranial secara cepat di satu atau beberapa lesi, lebih mudah
dilakukan, dan memiliki kekurangan harus dilakukan beberapa kali untuk tempat
lesi yang berbeda, berisiko 70% penyebaran iatrogenic ke ventrikel, kebocoran ke
subaracnoid dan menyebabkan meningitis atau ventrikulitis.8

Ada beberapa indikator buruknya prognosis yaitu, terlambat diagnosis,


progres yang cepat dari penyakit, koma, lesi multipel, ruptur intraventrikel dan
etiologi jamur. Semua indicator prognosis buruk, dapat ditemukan dipasien
dengan imunokompromise. Hasil akhir lebih buruk pada bayi baru lahir dan anak
yang lebih besar. Defisit neurologis fokal dan retardasi mental merupakan
komplikasi dari asbes serebri, terutama muncul ketika masa kanak-kanak. Nathoo
melaporkan sebagai komplikasi, dua kematian, satu karena ventrikulitis dan yang
lain karena hipertensi intrakranial, dan tiga pasien karena kejang postoperative.
Angka kematian berhubungan langsung dengan progresifitas penyakit dan
keadaan neurologis saat pertama kali ditemukan. Setelah antibiotik dan

20
neuroimaging, angka kematian abses serebri menurun dari 60 % menjadi 8 sampai
25 %. Rupture intraventriular dan letak abses di fosa posterior yang menyebabkan
obstruksi dari cairan cerebrospinal juga berhubungan dengan prognosis buruk, dan
angka kematian mendekati 80%. Drainase abses serebi dengan ukuran > 2.5 cm
dan terapi antibiotik, menghasilkan outcome yang baik 80 %, kematian 13 % dan
hasil yang buruk sekitar 5%. 5

Rata-rata tingkat penyembuhan sempurna dari infeksi, dilaporkan 60-70%


dengan kondisi diagnosis ditegakan lebih awal, dan terapi yang sesuai. Meskipun,
ada beberapa data menunjukan persentasi kesembuhan total kurang dari 50%,
dengan kondisi intervensi dan diagnosis yang terlambat, kelainan neurologis saat
pertama terdiagnosis, dan penyakit berat yang mendasari. Komplikasi akut yang
paling sering muncul, meningitis, herniasi otak dan kematian. Sekuele klinis
ditemukan pada 39,2% pasien, berupa epilepsi sebesar 42,9 %,
keterlambatan/ganguan motorik 23,8 %, defisit visual dan pendengaran sebesar
14.3%, hidrosepalus sebesar 14,3% dan gangguan bahasa sebesar 4,7%. 5

Epilepsi adalah penyakit neurologi kronis yang disebabkan oleh adanya


pelepasan muatan elektrik berlebihan pada sistem saraf pusat (SSP). Patogenesis
dari epilepsi tergolong sangat rumit dan faktor etiologi yang berperan termasuk
displasia korteks, tumor otak, trauma, penyakit vaskular otak, infeksi SSP,
penyakit parasit, genetik, atau akibat faktor-faktor metabolik. Di antara semua
faktor yang telah disebutkan diatas, epilepsi akibat infeksi SSP mencapai angka
22%. 8

Diagnosis abses serebri dapat ditegakan dari anamnesis, riwayat perjalanan


penyakit, faktor risiko yang mendasari pembentukan abses serebri, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium (kultur abses) dan pemeriksaan radiologis (MS-
CT kepala dengan kontras/MRI). Bakteri penyebab abses serebri bervariasi
tergantung lokasi primer, usia dan penyakit yang mendasari. Secara keseluruhan,
organisme penyebab tersering abses serebri adalah bakteri gram positif.
Streptococcus. Abses serebri merupakan nekrosis suatu area fokal dengan
pembungkus didalam parenkim otak.

21
1. Anamnesis
Anamnesis dengan orangtua meliputi berat badan lahir, pertumbuhan sejak
bayi, riwayat kebiruan saat lahir, faktor risiko abses serebri (pembedahan,
penggunaan kortikosteroid, penyakit jantung bawaan sianotik, infeksi saluran
telinga (otiti, sinusitis),status imun), tanda peningkatan tekanan intrakranial,
yaitu : sakit kepala, nyeri perut - muntah hebat, kejang, penurunan kesadaran atau
gelisah, penurunan visus, defisit neurologis, dan riwayat pada keluarga, dan
status sosialekonomi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan,
kecepatan pertumbuhan, tanda-tanda vital, tingkat kesadaran, pupil dan reflek
cahaya, fungsi motorik kasar dan motorik halus.
3. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium inisial pada abses serebri adalah darah rutin, hitung
jenis leukosit, namun tidak spesifik, kultur darah, pemeriksaan cairan
serebrospinal namun jarang memberikan hasil positif dan yang terutama adalah
kultur dari abses serebri tersebut.

4. Radiologi
Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat membantu penegakkan
diagnosis abses serebri adalah sebagai berikut:
- Neuroimaging, CT-Scan kepala dengan kontras, dapat mendeteksi secara
cepat ukuran, jumlah dan lokasi dari abses, juga dapat mendeteksi
hidrosepalis, peningkatan tekanan intrakranial, edema, dan infeksi yang
berhubungan seperti empiema ventrikulitis.
- MRI dapat lebih mudah menentukan diagnosis banding dari abses serebri
(seperti epidural abses, subdural empiema)
- MRI dan CT-Scan kepala dengan kontras, dapat menentukan patologi abses
serebri, menjadi 4 stadium, early serebritis (1-4 hari), ditandai dengan
akumulasi netrofl, nekrosis jaringan dan edema, late serebritis (4-10 hari),
didominasi oleh macrofag dan infiltrasi limfosit, early capsule formation

22
(11-14 hari), dtandai dengan pembentukan dinding abses yang banyak
vaskularisasi, late capsule formation (>14 hari), penebalan kapsul abses.

Terapi abses serebri, dibagi menjadi medika mentosa dan non medika mentosa.
Terapi antibiotik yang menjadi pilihan utama adalah antibiotik spektrum luas, dan
mampu melewati barrier sawar otak. Antibiotik empiric yang dapat digunakan
untuk bakeri anaerob, seperti cephalosporin generasi ke 3 dan metronidazole, bila
ada trauma diberikan vancomycin. Belum ada penelitian random mengenai
pemberian kortikosteroid untuk mengontrol kejadian edema serebri, namun ada
beberapa penelitian, menunjukan bahwa pemberian kortikosteroid mampu
meningkatkan penertrasi antibiotik ke otak, dan juga mengurangi reaksi inflamasi
jaringan otak. Bila tidak terdapat perbaikan dengan antibiotik (bertambahnya
ukuran abses selama 2-3 minggu), atau indikasi lain untuk dilakukannya evakuasi
abses seperti; menurunkan tekanan intrakranial, menegakan diagnosis etiologi,
mengambil pus dan mencegah penyebaran iatrogenic.

Tabel 4. Algoritma management pasien yang dicurigai abses serebri

23
C. CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS
Idiopatik congenital talipes equinovarus, atau clubfoot adalah kelainan
kongenital ortopedik yang sering mengenai ekstremitas bawah, yang menyerang
kurang lebih 2 anak per 1000 kelahiran, dengan prevalensi bervariasi sekitar 24-
50%. Diartikan sebagai fiksasi pada kaki, seperti orientasi tangan, adduksi,
supinasi dan varus, cenderung kedalam, terputar secara axial keluar dan menuju
ke bawah, dengan kelainan jaringan ikat. Calcaneus, navicular dan tulang cuboid
rotasi ke medial berhubungan dengan talus, dan teradduksi dan inversi oleh
ligament dan tendon. Meskipun kaki supinasi, namun bagian kaki depan pronasi
menyebabkan cavus. CTEV diklasifikasikan sebagai kelainan kongenital dan
didapat. Kelainan kongenital diklasifikasikan idiopatik dan non-idiopatik. Tipe
idiopatik ditandai dengan kelainan skeletal, biasanya bilateral, yang memiliki
angka repson yang baik dengan terpai konservatif. Penyebab tipe non-idiopatik
termasuk kelainan genetic, kelainan teratologi, kelainan neurologi (spina bifida)
dan penyebab yang tidak diketahui. Tipe non-idiopatik ditandai dengan deformitas
yang berlawanan di kaki (calcaneovalgus di satu sisi dan equinovarus di sisi

24
satunya), munculnya kelainan anomaly dan respon yang buruk terhadapt terapi
konservatif. Equinovarus didapat disebabkan penyebab neurogenic (poliomyelitis,
meningitis, kerusakan nervus sciatic. 8
Deformitas postural harus dibedakan dengan true clubfoot. Penyebab
deformitas postural adalah posisi di dalam uterus, berbeda dengan clubfoot yang
memiliki penyakit yang mendasari. (kondisi postural biasanya berespon dengan
manipulasi ringan). 8

Etiologi dari CTEV mungkin berhubungan dengan mielodisplasia,


artrogiroposis atau kelainan congenital lainnya, tapi paling banyak adalah
idiopatik, bukti yang paling banyak ditemukan adalah postur intra uterine.
Beberapa bukti untuk teori etiologi CTEV;
1. Paksaan mekanikal atau hipotesis posisi
2. Tulang/sendi hipotesis
3. Jaringan ikat hipotesus
4. Vascular hipotesis
5. Neurological hipotesis
6. Kelainan perkembangan hipotesis

Divisi bedah masih mengalami kesulitan untuk mencari metode terbaik untuk
terapi kongenital clubfoot. Saat ini terapi yang masih digunakan adalah
manipulasi metode ponseti. Untuk hasil jangka pendek cukup baik, dan masih
banyak digunakan di beberapa centre. Usaha awal non-operatif adalah manipulasi
dengan tekanan, namun hasil yang didapat kadang koreksi tidak kompli, yang
menyebabkan deformitas. Metode ponseti, adalah metode spesifik dengan
beberapa seial manipulasi, casting dan tenotomi tendon achiles, termasuk
abdduksi kaki dengan brace. 8

D. LUARAN dan FAKTOR PROGNOSTIK


Ada beberapa indicator buruknya prognosis yaitu, keterlambatan diagnosis,
progress yang cepat dari penyakit, koma, lesi multipel, ruptur intraventrikel dan
etiologi jamur. Hasil akhir lebih buruk pada bayi baru lahir dan anak yang lebih
besar. Defisit neurologis fokal dan retardasi mental merupakan komplikasi dari

25
asbes serebri, terutama muncul ketika masa kanak-kanak. Penyebab kematian
pada abses serebri, merupakan komplikasi dari abses serebri, yakni ventrikulitis,
hipertensi intrakranial, dan kejang. Angka kematian berhubungan langsung
dengan progresifitas penyakit dan keadaan neurologis saat pertama kali
ditemukan. Setelah antibiotik dan neuroimaging, angka kematian abses serebri
menurun dari 60 % menjadi 8 sampai 25 %. Rupture intraventricular dan letak
abses di fosa posterior yang menyebabkan obstruksi dari cairan cerebrospinal juga
berhubungan dengan prognosis buruk, dan angka kematian mendekati 80%.
Drainase abses serebi dengan ukuran > 2,5 cm dan terapi antibiotik, menghasilkan
outcome yang baik 80 %, kematian 13 % dan hasil yang buruk sekitar 5%. 14

Rata-rata tingkat penyembuhan sempurna dari infeksi, dilaporkan 60-70%


dengan kondisi diagnosis ditegakan lebih awal, dan terapi yang sesuai. Meskipun,
ada beberapa data menunjukan persentasi kesembuhan total kurang dari 50%,
dengan kondisi intervensi dan diagnosis yang terlambat, kelainan neurologis saat
pertama terdiagnosis, dan penyakit berat yang mendasari. Komplikasi akut yang
paling sering muncul, meningitis, herniasi otak dan kematian. Sekuele klinis
ditemukan pada 30% pasien, berupa epilepsi, keterlambatan/ganguan motorik,
defisit visual dan pendengaran, hidrosepalus dan gangguan bahasa. 14

Pasien dengan abses serebri multipel, yang telah dilakukan drainase abses,
perlu dilakukan pemantauan gejala defisit neurologis dan sekuale, untuk
memastikan tujuan terapi, yakni mencegah komplikasi (destruksi jaringan otak,
perluasan abses), sehingga bisa memastikan quality of life dan laju tumbuh
kembang yang baik. Beberapa aspek yang perlu dipantau, meliputi : fungsi
motorik keempat ekstremitas, berat badan, tinggi badan, laju pertumbuhan (pacu
tumbuh), komposisi tubuh dan psikososial. 5

Luaran yang diharapkan setelah pasien mendapatkan terapi ialah: regresi atau
mengalami sekuele yang minimal, akibat tindakan drainase maupun destruksi
difuse jaringan otak akibat mediator inflamasi, laju pertumbuhan mengalami
akselerasi dan secara umum fungsi motorik kasar keempat ekstremitas dapat
berfungsi dengan baik untuk menunjang tumbuh kembang pasien.

26
Komplikasi yang sering timbul pada anak dengan abses serebri akibat dari
destruksi jaringan sekitar, ekspansi masa fokal adalah defisit neurologis yang
dapat menimbulkan sekuele neurologis, berupa paresis ekstremitas.

Faktor prognosis yang dapat mempengaruhi target terapi adalah: usia awitan,
penyakit dasar yang mendasari terjadinya abses serebri (yakni, PJB sianotik,
enyakit imunodefisiensi, penggunaan steroid jangka panjang, dan infeksi THT).
Semakin dini penanganan abses serebri, dan evakuasi cairan abses di otak,
diharapkan gejala sekuele minimal, dan kerusakan jaringan otak minimal, dan
juga rekurensi dari abses tersebut.

Dengan adanya kelainan kongenital idiopatik congenital talipes equinovalgus,


juga akan mempengaruhi quality of life pasien tersebut. Clubfoot akan
menghambat perkembangan motorik kasar pasien tersebut. Diharapkan dgn
pemberian brace pada pasien tersebut dapat meningkatkan fungsi motorik kasar.

Sitaresmi M, 2016 dalam penelitiannya menjelaskan mengenai beberapa faktor


prediktor terjadinya keterlambatan perkembangan. Dari 632 anak berusia 3 hingga
60 bulan, 407 (64%) memiliki perkembangan sesuai, 81 (28%) meragukan, dan 43
(8%) mengalami kecurigaan keterlambatan perkembangan yang dinilai
menggunakan Kuesioner Praskrining Perkembangan. Beberapa faktor yang
teridentifikasi adalah gizi kurang (OR 2.3 95% CI 1.1; 4.8), berat badan lahir
rendah (OR 2.6, 95% CI 1.1; 6.1), pengetahuan ibu yang rendah (OR 2.5 95% CI
1.3; 4.9), status sosioekonomi menengah kebawah (OR 2.7 95% CI 1.3; 5.4).

Widrington, J 2018, mengungkapkan beberapa faktor, yakni, fokal neurologic


defisits dengan OR 5.50 (1.67-18.08 95% CI), kejang dengan OR 3.68 (1.26-10.78
95% CI), Glaslow Coma Scale kurang dari 15 dengan OR 16.60 (5.63-48.93 95%
CI) dan meningitis dengan OR 3.57 (0.93-13.66 95% CI) sebagai faktor predictor
untuk hasil yang buruk pada pasien dengan abses serebri.

Young, B 2017, mengungkapkan bahwa Retrospectively, skor total Gross


Motor Function Measure-88 (GMFM-88) diukur secara retrospektif, skor Gross
Motor Function Measure-88 (GMFM-88) diukur dari awal hingga akhir fisioterapi

27
intensif (n = 103). Skor GMFM-88 meningkat menjadi 4.67 ± 3.93 setelah 8
minggu intensif terapi (P < 0.001).

Thara T, 2015, menunjukan hasil anailis multivariat, pasien dengan GCS 13


sampai 15 saat pertama kali datang memiliki OR 14.64( 95% CI 2.70-79.34; p=
0.02) terhadap hasil akhir yang baik. Disisi lain, faktor yang berhubungan dengan
hasil akhir yang buruk adalah abses serebri karena jamur memiliki OR 40.81
(95% CI 3.57-466.49; p = 0.003) and IVROBA (rupture abses ke sistem ventrikel)
OR; 5.50 (95% CI 1.34-22.49; p = 0.017).

Thara T, 2015 menyebutkan bahwa Abses serebri multipel muncul di 19-33%


seluruh kasus, sering berkaitan dengan penyebaran hematogen mengikuti
distribusi arteri serebri sentral, dan sekuel ditemukan pada 30% pasien berupa,
epilepsi, defisit motorik, visual dan pendengaran, hidrosepalus dan disfungsi
kemampuan bahasa. Thara T, 2015 juga menyebutkan rekurensi kasus pada pasien
abses serebri sekitar 7.5%.

Raffaldi et al, 2019 menunjukan persentasi sekuele klinis ditemukan pada


39.2% pasien, berupa epilepsi sebesar 42.9 %, keterlambatan/ganguan motorik
23.8 %, defisit visual dan pendengaran sebesar 14.3%, hidrosepalus sebesar
14.3% dan gangguan bahasa sebesar 4.7%.

28
BAB IV KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL KASUS PANJANG

A. Kerangka Teoritis

32
33
B. Kerangka konseptual

34
35
BAB V
METODE DAN RENCANA PENGAMATAN DAN INTERVENSI

A. SUBYEK
Subyek laporan kasus panjang merupakan seorang anak laki – laki bernama FKA usia
2 tahun 2 bulan dengan diagnosis abses serebri multipel, gangguan perkembangan
menyeluruh dan CTEV.

B. VARIABEL
1. Luaran
a) Menilai tingkat perkembangan anak – Denver II
Definisi operasional : bertambahnya kemampuan/skill dalam struktur tubuh dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks meliputi empat domain yaitu motorik kasar,
halus, bahasa dan social.
Waktu pengukuran : setiap 6 bulan
Pengukur : dokter
Alat pengukur : Denver II
Target : perkembangan anak mendekati kelompok umur
Kondisi saat ini : anak masih belum bisa berjalan, belum bisa memakai baju
sendiri, dan baru bisa berbicara 1-2 kata (berdasarkan Denver II, keterlambatan dua
sector, yakni motorik kasar dan bahasa.
Intervensi : fisioterapi, stimulasi motorik kasar, halus dan bahasa

b) Status Gizi dan Asupan Nutrisi


Definisi operasional : ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak
yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak
Cara pengukuran : Pemantauan status gizi dilakukan setiap bulan. Penentuan status
gizi dilakukan secara antropomentri berdasarkan persentase berat badan aktual
terhadap berat badan ideal. Status gizi diklasifikasikan menurut berat badan, tinggi
badan, dan usia yang diplotkan dalam kurva WHO
Pengukur : dokter
Alat pengukur : Z Score
Waktu pengukuran : setiap bulan

36
Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat badan ideal dikalikan dengan RDA
menurut usia tinggi (height age). Usia tinggi adalah usia bila tinggi badan anak
tersebut pada median grafik WHO Growth chart boys 0-5 tahun.

Kebutuhan kalori = BB x RDAusia tinggi

Anak dengan gizi lebih memakai BB ideal

Kondisi saat ini: status gizi dengan berat badan 11.5 kg (WAZ score = 0.743)
panjang badan 85 cm (HAZ score : 1.461); berat badan terhadap panjang badan
WHZ score : 0, status gizi pasien adalah : gizi baik.
Target : mempertahankan status gizi baik dengan asupan nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhan anak.
c) Kualitas hidup
Definisi operasional : kualitas hidup pasien yang diukur pada empat fungsi, yaitu
Fungsi fisik, emosi, sosial, dan sekolah
Cara pengukuran : wawancara orang tua menggunakan kuisioner pediatric quality
of inventory
Pengukur : dokter peneliti
Alat pengukur : Peds QL 4.0
Waktu pengukuran : setiap 6 bulan
Kondisi saat ini : kualitas hidup belum baik (skor Peds QL 4.0 adalah 32)
Target : kualitas hidup baik
Intervensi : edukasi, bila perlu dilakukan pendamping psikolog
d) Infeksi saluran nafas akut dan infeksi telinga tengah berulang
Definisi operasional : berkurangnya kejadian infeksi saluran nafas berulang, dan
mendapat terapi sesuai saat terjadi infeksi saluran nafas akut berulang dan infeksi
telinga tengah berulang.
Cara pengukuran : mengisi tabel keluhan infeksi saluran nafas
Pengukur : dokter peneliti
Alat pengukur : pemeriksaan fisik
Waktu pengukuran : setiap ada keluhan infeksi saluran nafas
Kondisi saat ini : tidak ada keluhan infeksi saluran nafas berulang

37
Target : mencegah infeksi saluran nafas dan infeksi telinga tengah
berulang
Intervensi : imunisasi pneumococcus, mendapat terapi sesuai saat infeksi
2. Sekuele
a) Berkaitan dengan motorik kasar

Definisi operasional : timbulnya gejala sisa akibat abses serebri, yakni keterlambatan
motorik kasar post evakuasi abses serebri

Pengukur : dokter peneliti

Waktu pengukuran : setiap 3 bulan

Alat pengukur : GMFM 88

Kondisi saat ini : skor GMFM 88 pada dimensi merangkak dan berlutut 70%,
pada dimensi berdiri 28 %, dan pada dimensi berjalan dan melompat 5.5%.

Target : fungsi motorik kasar membaik berdasarkan kenaikan skor


GMFM 88

Intervensi : fisioterapi, stimulasi

Cara pengukuran : pemantauan motorik kasar dengan GMFM 88

b) Berkaitan dengan sekuele neurologis


Definisi operasional : epilepsi, gangguan penglihatan dan pendengaran

Pengukur : dokter peneliti

Waktu pengukuran : setiap 6 bulan

Alat pengukur : pemeriksaan fisik

Kondisi saat ini : tidak didapatkan epilepsi, tidak didapatkan gangguan


penglihatan dan pendengaran

Target : tidak didapatkannya sekuele neurologs berupa epilepsi,


gangguan penglihatan dan pendengaran

Intervensi : fisioterapi, pemeriksaan mata dan fungsi pendengaran

Cara pengukuran : dengan pemeriksaan mata dan fungsi pendengaran

3. Lain - lain

38
a) Imunisasi
Definisi operasional : pemberian vaksin ke dalam tubuh untuk memberikan
kekebalan terhadap suatu penyakit.
Cara pengukuran : monitor jadwal imunisasi sesuai program pemerintah maupun
rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Pengukur : dokter
Alat pengukur : lembar jadwal imunisasi
Waktu pengukuran : 12 bulan
Target : mendapatkan imunisasi tambahan sesuai IDAI, yaitu
Pneumococcus
Kondisi saat ini : imunisasi dasar program pemerintah lengkap, namun imunisasi
rekomendasi IDAI tidak dilakukan.
Intervensi : pemberian imunisasi sesuai jadwal

b) Kunjungan Rumah
Definisi operasional : kedatangan peneliti ke rumah anak untuk menilai rumah dan
lingkungan tempat tinggal yang dapat mempengaruhi kesehatan secara umum,
termasuk penilaian rumah sehat berdasarkan kriteria Depkes 2005
Pengukur : dokter peneliti
Waktu pengukuran : minimal 1 x dalam 12 bulan
Alat pengukur : lembar penilaian rumah sehat
Target : memenuhi kriteria rumah sehat
Intervensi : edukasi dan konseling perilaku hidup sehat dan sanitasi
lingkungan

Rencana analisis kasus adalah dengan pengambilan data pada masing- masing variable
dan melihat pencapaian target (outcome) yang diharapkan pada masing- masing variabel
dan melihat bagaimana luaran terhadap intervensi yang diberikan.

Tabel 5. Rencana pemantauan, intervensi dan evaluasi

No. Parameter Perasat Intervensi Evaluasi Target


Anamnesis, Fisioterapi, Peningkatan
Fungsi motorik Setiap 3
1. Pemeriksaan bracing (Kontrol skor GMFM
kasar bulan
fisik, GMFM 88 Orthopedi) 88

2. Perkembangan Tes Denver II Stimulasi Setiap 6 Perkembangan


perkembangan bulan optimal sesuai

39
sesuai usia usia
Asuhan nutrisi Pertumbuhan
BB, TB
Pertumbuhan anak Setiap sesuai usia
3. (antropometri)
dan status gizi Konsul ahli gizi bulan
(sesuai indikasi)
Tidak
Pemantauan Anamnesis,
Ct-Scan kepala Setiap 12 didapatkan
4. rekurensi abses pemeriksaan
dengan kontras bulan abses serebri
serebri fisik
berulang
Tidak
didapatkan
Pemeriksaan Kontrol divisi Setiap 6 infeksi telinga
5. Kesehatan THT
fisik THT bulan tengah dan
gangguan
pendengaran

Pendampingan Peningkatan
Bulan ke 2, skor PedsQL
6. Kualitas hidup PedsQL dokter dan
bulan ke 8 4.0
psikolog

Imunisasi
Jadwal Pemberian vaksin 1 kali (usia
7. Imunisasi tambahan
imunisasi IDAI Pneumonoccus >2 tahun)
dipenuhi
Sudut CTEV
Tabel Edukasi berkurang,
Setiap
8. CTEV pemakaian pemakaian sepatu meningkatnya
bulan
sepatu CTEV CTEV fungsi motorik
kasar
Edukasi dan Minimal 1 Perbaikan
Kunjungan Penilaian
9. konseling hidup kali dalam kondisi
rumah Rumah Sehat
sehat 12 bulan

40
Tabel 6. Pengambilan data dan lembar pemantauan
Varibel yang dinilai Diisi oleh Cara Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept
mengisi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kondisi klinis pasien: Peneliti Saat control
rutin
● Keadaan umum
● Tekanan darah
● Nadi
● Laju pernapasan
● Suhu (C)
● Berat badan (kg)
● Tinggi badan (cm)
● BMI (kg/m2)
● LiLA
Status gizi (obese Peneliti Saat kontrol
/baik /kurang/buruk) rutin
Tingkat perkembangan Peneliti Setiap 6
anak Denver II bulan
dengan
lembar
Denver II
Pemantauan Kualitas Peneliti dan Setiap 6
hidup orang tua bulan,
wawancara
dengan
orang tua

41
Varibel yang dinilai Diisi oleh Cara Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept
mengisi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Fungsi motorik Peneliti dan Checklist
reiden stase GMFM 88
neurologi
Kesehatan THT Peneliti dan Setiap 6
residen THT bulan
Fisioterapi dan terapi Fisioterapis Saat kontrol
wicara rutin di
rehabilitasi
medik
Kepatuhan penggunaan Peneliti Buku
sepatu CTEV harian,
table
penggunaan
sepatu
CTEV
Kunjungan rumah Peneliti Pengisian
● Komponen rumah Form
(skor) kriteria
● Sarana sanitasi (skor)
rumah
● Perilaku hidup sehat
sehat
(skor)
● Total penilaian (skor)
● Kesimpulan

42
DAFTAR PUSTAKA
1. Parmar H, Ibrahim M. Pediatric Intrakranial Infections. Neuroimaging
Clinical. 2012;22(4) :707–25 http://dx.doi.org/10.1016/j.nic.2012.05.016
2. Patel K, Clifford DB. Bacterial Brain Abscess. The Neurohospitalist.
2014;4(4):196–204.
3. Krzysztofiak A, Zangari P, De Luca M, Villani A. Brain Abscesses: An
Overview in Children. J Pediatr Infect Dis. 2019;14(1):2–5.
4. Chen M, Low DCY, Low SYY, Muzumdar D, Seow WT. Management of
brain abscesses: where are we now? Child’s Nerv Syst. 2018;34(10):1871–
80.
5. Mameli C, Genoni T, Madia C, Doneda C, Penagini F, Zuccotti G. Brain
abscess in pediatric age : a review. 2019;1117–28.
6. Sahbudak Bal Z, Eraslan C, Bolat E, Avcu G, Kultursay N, Ozkinay F, et al.
Brain Abscess in Children: A Rare but Serious Infection. Clin Pediatr (Phila).
2018;57(5):574–9.
7. Bo Young H, Leechan J, Joon SK, Seong HL, Jung MB. Faktors influencing
the gross motor outcome of Intensive Therapy in Children with Cerebral
Palsy and Developmental Delay. J Korean Med Sci. 2017 May; 32(5): 873–
879
8. Alvis-Miranda H, Castellar-Leones S, Elzain M, Moscote-Salazar L. Brain
abscess: Current management. J Neurosci Rural Pract. 2013;4(5 SUPPL).
9. Brouwer MC, Van De Beek D. Epidemiology, diagnosis, and treatment of
brain abscesses. Curr Opin Infect Dis. 2017;30(1):129–34.
10. Dobbs MB, Gurnett CA. Update on clubfoot: Etiologi and treatment. Clin
Orthop Relat Res. 2009;467(5):1146–53.
11. Bonfield CM, Sharma J, Dobson S. Pediatric intrakranial abscesses. J Infect.
2015;71(S1):S42–6. http://dx.doi.org/10.1016/j.jinf.2015.04.012
12. Widdrington JD, Bond H, Schwab U, Price DA, Schmid ML, McCarron B, et
al. Pyogenic brain abscess and subdural empiema: presentation, management,
and faktors predicting outcome. Infection. 2018;46(6):785–92. Available
from: http://dx.doi.org/10.1007/s15010-018-1182-9
13. Atiq M, Ahmed US, Allana SS, Chishti KN. Brain abscess in children. Indian
J Pediatr. 2006;73(5):401–4.
14. Sonneville R, Ruimy R, Benzonana N, Riffaud L, Carsin A, Tadié JM, et al.
An update on bacterial brain abscess in immunocompetent patients. Clin
Microbiol Infect. 2017;23(9):614–20.
http://dx.doi.org/10.1016/j.cmi.2017.05.004

43
LAMPIRAN

Lampiran 1. PedsQL TM
Versi 4.0 - Inventori Kualias Hidup Anak

Laporan Orangtua Balita (2-5 tahun)


Nama anak : _______________________ L/P Nama responden : ______________________
Hubungan: pendidikan: Dx anak :
Tanggal wawancara: Tgl lahir anak : (........thn ..........bln)

PETUNJUK
Dihalam berikut ini terdapat daftar hal-hal yang mungkin merupakan masalah bagi Anak Anda. Tunjukkan kepada kami, seberapa sering
hal-hal berikut ini merupakan masalah bagi anak Anda dalam kurun waktu SATU bulan terakhir ini dengan melingkari :

0 = jika hal ini Tidak pernah menjadi masalah 3 = jika hal ini Sering menjadi masalah

1 = jika hal ini Jarang menjadi masalah 4 = jika hal ini Hampir Selalu menjadi masalah

Satu bulan terakhir, seberapa besarkah masalah yang dialami anak Anda berkaitan dengan :
Tidak Jarang Kadang Hampir
FUNGSI FISIK ( MASALAH DENGAN ….) Pernah Sering selalu
kala

1. Kesulitan berjalan 0 1 2 3 4
2. Kesulitan berlari 0 1 2 3 4
3. Kesulitan ikut olah raga 0 1 2 3 4

44
4. Kesulitan mengangkat benda yang berat 0 1 2 3 4
5. Kesulitan mandi 0 1 2 3 4
6. Kesulitan membantu merapikan mainannya 0 1 2 3 4
7. Mengalami nyeri atau kesakitan 0 1 2 3 4
8. Tingkat energi yang rendah 0 1 2 3 4

Tidak Jarang Kadang Hampir


FUNGSI EMOSI( MASALAH DENGAN ….) Pernah Sering selalu
kala

1. Merasa takut atau sangat ketakutan 0 1 2 3 4


2. Merasa sedih atau murung 0 1 2 3 4
3. Merasa marah 0 1 2 3 4
4. Masalah tidur 0 1 2 3 4
5. Khawatir 0 1 2 3 4

Tidak Jarang Kadang Hampir


FUNGSI SOSIAL ( MASALAH DENGAN ….) Pernah Sering selalu
kala

1. Kesulitan bermain dengan anak seusia 0 1 2 3 4


2. Anak lainnya tidak mau menjadi temannya. 0 1 2 3 4

45
3. Diolok-olok / diejek oleh anak-anak yang lain 0 1 2 3 4
4. Tidak dapat melakukan hal-hal yang dapat 0 1 2 3 4
dilakukan oleh anak-anak lain seusianya
5. Kesulitan mengimbangi permainan teman 0 1 2 3 4
sebayanya

Tidak Jarang Kadang Hampir


FUNGSI SEKOLAH ( MASALAH DENGAN ….) Pernah Sering selalu
kala

1. Kesulitan melakukan aktifitas sekolah yang sama 0 1 2 3 4


dengan aktifitas yang dilakukan oleh anak
seusianya
2. Tidak masuk sekolah/ tempat penitipan karena 0 1 2 3 4
tidak enak badan
3. Tidak masuk sekolah/tempat penitipan karena 0 1 2 3 4
harus ke dokter atau rumah-sakit

46
Lampiran2. Denver II

47
Lampiran 3. Penilaian Rumah Sehat
No Penilaian Deskripsi temuan Nilai Total
Komponen rumah (Bobot = 31)
1 Langit-langit 0-2
2 Dinding 0-2
3 Lantai 0-2
4 Jendela kamar tidur 0-1
5 Jendela ruang keluarga 0-1
6 Ventilasi 0-2
7 Lubang asap dapur 0-2
8 Pencahayaan 0-2

Sarana sanitasi (Bobot=25)


1 Sarana air bersih 0-4
2 Jamban 0-4
3 Sarana pembuangan 0-4
limbah
4 Sarana pembuangan 0-4
sampah

Perilaku penghuni (Bobot=44)


1 Membuka jendela kamar 0-2
tidur
2 Membuka jendela ruang 0-2
keluarga
3 Membersihkan rumah dan 0-2
halaman
4 Membuang tinja bayi dan 0-2
balita ke jamban
5 Membuang sampah pada 0-2
tempat sampah

48
Total hasil penelitian = nilai x bobot
Skor Penilaian Rumah Sehat
Rumah sehat = 1068-1200, rumah tak sehat = < 1068 (Depkes,2005)

49
Lampiran 4. GMFM 88

GMFM ( gross motor function measure)


Merupakan salah satu sarana pemeriksaan yang sudah distandarisasi untuk
mengukur perubahan fungsi motorik kasar. Penilaian menggunakan kriteria
sebagai berikut :
0 : tidak memilki inisiatif
1 : inisiatif

2 : sebagian dilakukan

3 : dilakukan

Cara penilaian yang digunakan untuk pemeriksaan ini adalah sebagai berikut :
No pemeriksaan Perhitungan skor nilai % Goal
area
A Berbaring dan berguling (Total dimensi A : 51)x 100= %
B Duduk (Total dimensi B: 60)x 100= %
C Merangkak dan berlutut (total dimensi C: 42)x 100= %
D Berdiri (Total dimensi D: 39)x 100= %
E Berjalan dan melompat (total dimensi E: 72)x 100= %
Total skor = (%A+ %B+ Total skor goal = jumlah skor
%C+ %D+ %E) : total tiap dimensi dalam seluruh solas
dimensi area : goal area

Item dalam penghitungan skor GMFM- 66 ditandai dengan tanda bintang (*)
hanya berlaku untuk anak CP. Berikut ini adalah formulir GMFM :

BERBARING DAN BERGULING


No Gerakan Skor
1 Terlentang: kepala tegak lurus : kepala dipegang dan
diputar tangan dan kaki simetris
Terlentang: tangan digerakan ke tengah, jari- jari
2
bertautan
3

50
4 Terlentang: angkat kepala 45°
5 Terlentang: hip dan lutut kanan fleksi penuh
6 Terlentang: hip dan lutut kiri fleksi penuh
7 Terlentang: tangan kanan menggapai, meraih
mainan
8
Terlentang: tangan kiri menggapai, meraih mainan
9
Terlentang: berguling ke kanan
10
Terlentang: berguling ke kiri
11
Terlentang: mengangkat kepala tegak
Tengkurap dengan tumpuan lengan: angkat kepala
12
tegak, elbow ekstensi, dada diangkat
Tengkurap dengan tumpuan lengan: berat badan
13 dibebankan pada tangan kanan, lengan kiri kedepan
14 Tengkurap dengan tumpuan lengan: berat badan
15 dibebankan pada tangan kiri, lengan kanan kedepan

16 Tengkurap: berguling ke kanan


Tengkurap: berguling ke kiri

17 Tengkurap: berputar ke kanan 90° menggerakan


tangan dan kaki
Tengkurap: berputar ke kiri 90° menggerakan
tangan dan kaki

DUDUK
No Gerakan Skor 0- 3
18 Terlentang, tangan digenggam oleh terapis, badan
diangkat sendiri ke posisi duduk dengan mengontrol
kepala
19 Terlentang, berguling ke kanan ke posisi duduk
20 Terlentang, berguling ke kiri ke posisi duduk
21 Duduk di matras, leher dioegang oleh terapis, kepala
diangkat tegak tahan 3 detik
22 Duduk di matras, leher dipegang oleh terapis, angkat
kepla ke posisi setengah tagak, tahan 10 detik

51
23 Duduk di matras: lengan dipegang, tahan 5 detik
24 Duduk di matras: tahan lengan rileks, 3 detik
25 Duduk di matras: mainan kecil diletakan di depan,
badan membungkuk, menyentuh mainan tegak
kembali tanpa bantuan orang lain
26 Duduk di matras menyentuh mainan yang diletakan
45° di sebelah kanan belakang kembali ke posisi
awal
27 Duduk di matras menyentuh mainan yang diletakan
45° di sebelah kiri belakang kembali ke posisi awal
28 Duduk di sebelah kanan: tahan, lengan rileks 5 detik
29 Duduk di sebelah kiri: tahan, lengan rileks 5 detik
30 Duduk di matras: membungkuk menuju posisi
tengkurap gerakan dikontrol
31 Duduk di matras, kaki diletakan di depan: ke posisi
four point ke kanan
32 Duduk di matras, kaki diletakan di depan: ke posisi
four point ke kiri
33 Duduk di matras: berputar 90° tanpa bantuan lengan
34 Duduk di bangku: tahan lengan dan kaki rileks, 10
detik
35 Berdiri: melakukan gerakan duduk di atas bangku
kecil
36 Di lantai: melakukan gerakan duduk di atas bangku
kecil
37 Di lantai: melakukan gerakan duduk di atas bangku
besar

MERANGKAK DAN BERLUTUT


No Gerakan Skor 0- 3
38 Tengkurap: merangkak ke depan 1,8 meter
39 4point: tahan, berat badan dibebankan pada tangan
dan lutut 10 detik
40 4point: melakukan gerakan duduk dengan lengan
bebas
41 Tengkurap: ke posisi 4 point, berat bedan
dibebankan pada tangan dan lutut
42 Poin 4: lengan kanan lururs ke depan, tangan
diangkat melebihi bahu

52
43 Poin 4: lengan kiri lurus ke depan, tangan diangkat
melebihi bahu
44 Poin 4: merangkak atau maju ke depan 1,8 meter
45 Poin 4: merangkak bergantian ke depan 1,8 meter
46 Poin 4: merangkak naik 4 langkah dengan tumpuan
tangan dan lutut
47 Poin 4: merangkak turun 4 langkah dengan tumpuan
tangan dan lutut
48 Duduk di matras: high knocking dengan bantuan
lengan, tahan, lengan rileks 10 detik
49 High knocking: ke posisi half knocking dengan
tumpuan lutut dan lengan kanan tahan, lengan rileks
10 detik
50 High knocking: ke posisi half knocking dengan
tumpuan lutut dan lengan kiri tahan, lengan rileks 10
detik
51 High knocking: lutut maju ke depan 10 langkah,
lengan rileks

BERDIRI
No Gerakan Skor 0- 3
52 Dilantai: bangun, berdiri di meja besar
53 Berdiri: tahan lengan rileks 3 detik
54 Berdiri: berpegangan pada meja besar, dengan satu
tangan, angkat kaki kanan 3 detik
55 Berdiri: berpegangan pada meja besar, dengan satu
tangan, angkat kaki kiri 3 detik
56 Berdiri: tahan, lengan rileks 20 detik
57 Berdiri: angkat kaki kiri, lengan rileks 10 detik
58 Berdiri: angkat kaki kanan, lengan rileks 10 detik
59 Duduk di meja kecil: berdiri tanpa bantuan tangan
60 High knocking: bangun dari posisi high knocking
dengan lutut kanan tanpa bantuan lengan
61 High knocking: bangun dari posisi high knocking
dengan lutut kiri tanpa bantuan lengan
62 Berdiri: bergerak ke posisi duduk di lantai, gerakan
dikontrol
63 Berdiri: jongkok, lengan rileks
64

53
Berdiri mengambil benda dari lantai, lengan rileks,
kembali ke posisi berdiri

BERJALAN, BERLARI DAN MELOMPAT


No Gerakan Skor 0- 3
65 Berdiri, kedua tangan di atas bangku besar, bergerak
5 langkah ke kanan
66 Nerdiri, kedua tangan di atas bangku besar, bergerak
5 langkah ke kiri
67 Berdiri, kedua tangan dipegang: berjalan ke depan
10 langkah
68 Berdiri, 1 tangan dipegang: berjalan ke depan 10
langkah
69 Berdiri, berjalan ke depan 10 langkah
70 Berdiri: berjalan ke depan 10 langkah, berhenti,
berbalik 180° kembali
71 Berdiri: mundur 10 langkah
72 Berdiri: berjalan ke depan 10 langkah, membawa
benda besar dengan kedua tangan
73 Berdiri: berjalan ke depan 10 langkah tanpa berhenti
di antara dua garis lurus 20 cm
74 Berdiri: berjalan ke depan 10 langkah tanpa berhenti
di antara dua garis lurus 2 cm
75 Berdiri: melangkah di atas stik pada level lutut, kaki
kanan memimpin
76 Berdiri: melangkah melewati tongkat setinggi lutut,
kaki kiri dulu
77 Berdiri: berlari 4,5 meter, berhenti dan kembali
78 Berdiri: menendang bola dengan kaki kanan
79 Berdiri: menendang bola dengan kaki kiri
80 Berdiri: melompat 30 cm, kedua kaki bersamaan
81 Berdiri: melompat ke depan 30cm, kedua kaki
bersamaan
82 Berdiri: di atas kaki kanan melompat dengan kaki
kanan 10kali dalam lingkaran 60cm

54
83 Berdiri: di atas kaki kiri melompat dengan kaki
kanan 10kali dalam lingkaran 60cm
84 Berdiri, memegang 1rail, naik 4 langkah memegang
1 rail memutar kaki
85 Berdiri, memegang 1 rail, turun4 langkah
memegang 1 rail memutar kaki
86 Berdiri, naik 4 langkah, kaki diputar
87 Berdiri, turun 4 langkah, kaki diputar
88 Berdiri di anak tangga 15cm, melompat turun, kedua
kaki bersamaan

55

Anda mungkin juga menyukai