Anda di halaman 1dari 2

Korea yang Tergiling Modernitas

B
egitu pertama kali menemukan buku ini di sebuah pusat Judul : New York Bakery
perbelanjaan di Jakarta, saya seketika tergoda dengan Penulis : Kim Yoon-su, dkk
pada desain sampulnya. Lebih dari itu pula yang tak Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
kalah memikat ialah judulnya: “New York Bakery” Cetakan : Pertama, Agustus 2019
Antologi Cerita Pendek Korea. Tebal : 395 halaman
ISBN : 978-602-06-3216-2
Peresensi : Muhammad Husein Haikal

Korea memang menarik industry hiburan dan teknologinya tak bisa dipandang sebelah mata. Pariwisata Korea kian
waktu juga semakin terdongkrak. Kata-kata seperti Seoul Gyeongju, Changwan_si, atau Jeju Island sangat asyik
sepertinya untuk dikunjungi. Disamping berbagai taman desa yang hijau seperti Seomjin River Train Village.
Meski demikian harus diakui bahwa selama ini saya tak begitu tertarik pada Korea. Tapi ketika beberapa waktu yang
lalu ada satu hal yang membuat saya menyukai Korea. Apakah itu? Tak lain tersebab film Parasite (2019). Film besutan
Bong Joon-ho ini benar benar bagus menurut saya, dan layak setidaknya menggaet satu piala Oscar 2020. Sejak itulah
saya mulai menyelami Korea.

Cerpen yang paling menarik untuk menjadi pembuka tentu saja New York Bakery. Cerpen ini berkisah tentang tuturan
atau lebih tepatnya curhat seseorang anak pemilik took roti. Konon took roti yang dibangun selama bertahun -tahun
tak mampu menghadapi lajunya modernism.
Aku tidak tahu kapan New York Bakery dibuka, tapi aku tahu persis kapan took itu tutupuntuk selamanya. Took itu
tutuppada bulan Agustus tahun 1955 karena tidak dapat mengikuti perkembangan zaman seperti took-toko lain yang
pernah ada dijalanan kampung halamanku.

Tokoh aku merasakan lajunya perkembangan zaman membuat hal-hal tradisional terpaksa kalah Disrupsi dalam
Bahasa inteleknya.berbagai hal yang tradisionalitu dirindukan kembali dalam narasi romantisme yang berupaya untuk
rilis ini. Namun sayangnya kalimat-kalimat yang digunakan banyak tidak efektif.
Gilingan modenitas bagi Korea menjadi demisme lumrah banyak sebabnya membawa kebaikan bagi perkembangan
manusia. Kota romantisme itu kan hanya perkara masa saja. Di sinilah peran sastrawan mencatatnya, mengingatnya
lewat aksara kelakdimasa depan anak-cucu Korea tahu, bahwa dimasa lalu ada begitu banyak karangan yang tak
boleh dilupakan begitu saja.

Secara keseluruhan cerita-cerita yang terangkum dalam kumpulan ini cukup menarik untuk dibaca. Terlebih untuk
mengisi khazanah perihal kesusastraan dan kebahasaan Korea.

Walau harus diakui bahwa penerjemahan Bahasa buku ini masih kurang memadai atau justru memang memang dari
Bahasa asalnya yang kurang pas. Ada banyak Bahasa yang membelok, sehingga makna yang seharusnya kita dapatkan
menjadi buyar.

Begitupun kita layak berterima kasih kepada Maman S. Mahayana dan Koh Young Hun, setidaknya mereka telah
berupaya menghadirkan kesusastraan Korea kepada pembaca Indonesia. Semoga kedepannya hadir buku -buku
terjemahan dari negara lain yang ikut meramaikan rak buku kita. Kita menanti gaung-gaung sastra dari negara yang
selama ini kurang diekspos,padahal punya kualitas yang berdaya dan mampu bersaing.

Anda mungkin juga menyukai