Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344890960

MAKALAH KEBIJAKAN STRATEGI MENYIAPKAN SUMBER DAYA MANUSIA DI


ERA DIGITAL

Research · December 2018


DOI: 10.13140/RG.2.2.10617.08805

CITATIONS READS

0 8,027

12 authors, including:

Anggi Afriansyah Bayu Aji


BRIN University of Indonesia
21 PUBLICATIONS 25 CITATIONS 21 PUBLICATIONS 29 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Vanda Ningrum Triyono Triyono


Indonesian Institute of Sciences Indonesian Institute of Sciences
18 PUBLICATIONS 31 CITATIONS 118 PUBLICATIONS 396 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Fuat Edi Kurniawan on 26 October 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STRATEGI MENYIAPKAN SUMBER DAYA MANUSIA DI ERA
DIGITAL

Policy Paper ini disusun oleh:

Anggi Afriansyah,Devi Asiati, Makmuri Soekarno, Andy A. Zaelany,


Gutomo Bayu Aji, Vanda Ningrum, Triyono, Ngadi,
Fuat Edi Kurniawan, Norman Aruan,
Yanti Astrelina Purba, Dini Dwi Kusumaningrum

Daftar Isi:

Kata Pengantar

Pendahuluan

Urgensi Menyiapkan SDM di Era Digital

Permasalahan dalam Penyiapan SDM di Era Digital

Rekomendasi

Kluster Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan


Pusat Penelitian Kependudukan – Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
KATA PENGANTAR

Perubahan-perubahan global yang diakibatkan oleh perkembangan


teknologi telah mengubah aspek-aspek kehidupan manusia mulai
dari aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya sehingga
membutuhkan penyesuaian dengan menyiapkan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang siap memanfaatkan digitalisasi di era Revolusi
Industri 4.0. Dua fokus utama dalam menyiapkan SDM ini adalah
meningkatkan kompetensi tenaga kerja yang sudah memasuki
pasar kerja dan menyiapkan calon tenaga kerja yang saat ini masih
di bangku sekolah. Namun demikian, berbagai permasalahan masih
menjadi tantangan untuk menjadikan SDM yang siap kerja sesuai
perkembangan digital. Statistik menunjukkan 133,94 juta angkatan
kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat
pendidikan rendah serta tingkat pengangguran masih sebesar
5,13% (Februari, 2018).

Tantangan lain dalam hal kualitas tenaga kerja adalah keterbatasan


balai-balai pelatihan tenaga kerja yang siap untuk memberikan
pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan di era digital dan sistem
Pendidikan vokasi yang masih mengalami permasalahan link and
match di era digital saat ini. Policy paper ini disusun berdasarkan
hasil penelitian untuk memberikan rekomendasi bagi balai-balai
pelatihan kerja dan Pendidikan vokasi dalam mengahadapi
tantangan-tantangan yang terjadi akibat perubahan global saat ini.

Rekomendasi ditujukan untuk para stakeholder yang langsung


beririsan dengan pembuat kebijakan pengembangan SDM seperti
Kemenko Bidang perekonomian, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja, dan Pemerintah di tingkat
daerah. Semoga dokumen ini bisa memberikan manfaat bagi kita
semua untuk menciptakan SDM Indonesia yang mampu berdaptasi
dengan perubahan.

Jakarta, Desember 2018


Tim Penyusun

-1-
PENDAHULUAN

Pasar kerja saat ini dihadapkan pada era digitalisasi akibat


perkembangan informasi & teknologi. Sistem digitalisasi kemudian
menjadi instrumen dalam perubahan corak produksi, alur informasi,
akses pasar, hingga media Pendidikan dan pelatihan. Perubahan-
perubahan tersebut dilain sisi juga menimbulkan goncangan yang
harus diantisipasi dan disiapkan agar dampak positif dari digitalisasi
dapat dimanfaatkan dalam aspek ketenagakerjaan. Kecepatan dan
kemudahan informasi akibat digitalisasi menguatkan peran pasar
dalam relasi dengan negara dan masyarakat, sehingga peran negara
yang sebelumnya menjadi inti dalam merumuskan dan menentukan
kebijakan, namun saat ini perlu melibatkan masyarakat dan pasar
untuk merumuskan kebijakan-kebijakan agar sesuai dan sejalan
dengan perubahan yang terjadi.

Peta Permasalahan yang telah diidentifikasi dalam policy paper ini


menawarkan masukan rekomendasi yang dapat digunakan untuk
Kebijakan Perencanaan dan Pengembangan Tenaga Kerja di
Kementerian Tenaga Kerja serta Program Pembinaan dan
Pengembangan keterampilan tenaga kerja di Direktorat
Kementerian Tenaga Kerja. Selain itu masukan rekomendasi juga
dapat digunakan untuk perbaikan Roadmap Pengembangan Vokasi
yang disusun oleh Kemenko Bidang Perekonomian serta sebagai
masukan untuk program revitalisasi SMK dibawah Direktorat PSMK
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Data-data yang disajikan dalam policy paper ini didasarkan pada


kajian pustaka, statistik ketenagakerjaan, peraturan
ketenagakerjaan, peraturan pendidikan vokasi, dan studi lapangan
yang dilakukan di Jawa Barat dan Yogyakarta dengan mengambil
kasus di daerah pengembangan UMKM, industri tekstil, dan
beberapa sekolah kejuruan (SMK).

-2-
URGENSI KEBIJAKAN MENYIAKAN SDM DI ERA DIGITAL

Sektor industri manufaktur adalah salah satu sektor yang terpapar


dampak digital. Adanya perubahan cara-cara bekerja dari manual
menjadi otomatis dan terintegrasi membutuhkan tenaga kerja
dengan keahlian tertentu yang sesuai dengan kebutuhan di era
digital. Sementara tenaga kerja yang ada, masih dihadapkan pada
keterbatasan keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Dampak langsung dari digitalisasi adalah
efisiensi tenaga kerja yang berujung pada pengurangan tenaga
kerja (PHK). Data menunjukkan sebanyak 51% tenaga kerja ter PHK
dan berasal dari industri manufaktur seperti sektor aneka industri,
seperti industri otomotif & komponen, tekstil & garmen, alas kaki,
kabel, elektronik dan lainnya, dan industri kimia dasar (Kemenaker,
2017).

Selain industri manufakturing besar, industri mikro dan kecil juga


mengalami tantangan dari perkembangan digital. Maraknya e-
commerce lintas negara memberikan akses yang besar bagi barang-
barang dari luar negeri untuk memasuki pasar dalam negeri.
Kompetisi produk-produk dalam negeri semakin meningkat dan
membutuhkan kreativitas yang selalu mengikuti selera pasar.
Kemampuan tenaga kerja UMKM untuk memafaatkan digital baik
pada proses produksi dan pemasaran sangat diperlukan untuk dapat
memperluas pangsa pasar dan memperkuat daya saing produk
UMKM di pasar global.

Dalam kondisi tersebut, Kebijakan yang diambil dalam menghadapi


era digital lebih terfokus pada pengembangan sektor industri dan
belum pada penyiapan tenaga kerjanya. Aspek penting dalam
pendidikan sebagai cara penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM),
ternyata tidak sepenuhnya dapat mempersiapkan tenaga kerja yang
mampu beradaptasi dengan dinamika global, termasuk di dalam
pendidikan kejuruan (vokasi). Perubahan signifikan pada tata cara
pada angkatan kerja usia muda dalam menerima pembelajaran dan
pemikiran di era consumer society saat ini merupakan kebutuhan
mendesak. Perencanaan pendidikan penyiapan angkatan kerja

-3-
memerlukan rethinking akan arah dan pendekatan pembelajaran
yang kontekstual. Reorientasi sistem pendidikan secara keseluruhan
diperlukan, bukan hanya penyesuaian terus menerus untuk
beradaptasi sistem kerja yang sudah tidak berlaku. Cara – cara lama
yang tidak sesuai perlu ditinggalkan. Dibutuhkan pendekatan baru
yang cukup cepat dalam menjawab standar baru yang muncul untuk
mengatasi tantangan terkini, dan membekali angkatan kerja untuk
melawan tekanan lingkungan dunia kerja (Zygmunt, 2011).

Keterbatasan dunia pendidikan formal ini menyebabkan Lembaga


Latihan Kerja (BLK) menjadi alternatif yang dapat diandalkan untuk
mempersiapkan keterampilan tenaga kerja. Terbukti bahwa 70%
peserta pelatihan BLK di pusat dan daerah berasal dari lulusan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pelatihan dikembangkan untuk
meningkatkan keahlian (skill), pengetahuan (knowledge) dan sikap
(attitude) yang dibutuhkan di dalam suatu pekerjaan. Sistem
pendidikan di Indonesia kurang dapat menghasilkan tenaga kerja
yang siap pakai, sementara dunia kerja umumnya mencari tenaga
kerja yang siap pakai. Persoalan ini menciptakan kesenjangan
antara kualifikasi lulusan dengan kebutuhan dunia kerja. Di lain sisi,
Badan Pusat Statistik (2018) menunjukkan 133,94 juta angkatan
kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga kerja yang berpendidikan
rendah. Dari total angkatan kerja tersebut 59,80% tamatan SMP ke
bawah, sebesar 29,04% tamatan SMA/SMK dan hanya 12,8% yang
berpendidikan perguruan tinggi. Begitu juga dengan tingkat
pengangguran tenaga kerja sebesar 5,13 % (Februari 2018).
Kebijakan penyiapan tenaga kerja yang siap pakai dan sesuai
dengan tuntutan perubahan global menjadi strategi untuk
meningkatkan produktivitas dan kemajuan bangsa selain juga untuk
antisipasi dari pengurangan kesempatan kerja karena otomatisasi
pekerjaan.

-4-
PERMASALAHAN DALAM PENYIAPAN SDM DI ERA DIGITAL

Kebijakan pengembangan SDM dapat dibagi atas dua fokus,


Pertama, Peningkatan keterampilan tenaga kerja yang telah masuk
dalam katagori tenaga kerja, baik tenaga kerja yang masih bekerja
sehingga diperlukan up-skilling, tenaga kerja yang ter PHK sehingga
diperlukan re-skilling, dan pencari kerja yang membutuhkan by
skilling untuk dapat mengakses kebutuhan kesempatan kerja,
peningakatan keterampilan bagi tenaga kerja tersebut dapat
dilakukan melalui BLK (Balai Latihan Kerja) dan Balai Latihan Kerja
Daerah (BLKD). Fokus kedua kebijakan untuk pengembangan SDM
adalah menyiapan calon tenaga kerja yang akan masuk ke pasar
kerja melalui pendidikan kejuruan atau vokasi.

Permasalahan yang masih menjadi tantangan besar dalam kedua


kebijakan tersebut antara lain:

 Permasalahan BLK dan BLKD dalam Peningkatan


Kompetensi Tenaga Kerja

Hasil studi yang dilakukan oleh tim peneliti ketenagakerjaan Pusat


Penelitian Kependudukan LIPI memperlihatkan bahwa BLK
merupakan salah satu lembaga yang berperan untuk meningkatkan
kompetensi tenaga kerja agar dapat bersaing di pasar kerja. Namun
demikian, peran tersebut belum dapat dijalankan dengan baik
setelah BLK dialihkan sebagian besar kewenangannya ke daerah
menjadi BLKD. Kebijakan Reorientasi, Revitalisasi dan Rebranding
(3R) yang dibuat oleh pemerintah pada tahun 2016 dengan tujuan
untuk mempercepat peralihan dari lulusan agar siap menjadi tenaga
kerja serta meningkatkan SDM kompeten sekaligus relevan dengan
kebutuhan pasar kerja. Namun, kebijakan tersebut belum
berdampak pada semua BLK khususnya BLKD yang masih
terhambat permasalahan dalam penerapan kebijakan 3R tersebut.
BLKD masih terhambat pada persoalan pendanaan dan ketersediaan
SDM.

-5-
Dalam hal pendanaan, BLKD tidak mendapatkan anggaran yang
cukup dan tidak di dukung oleh SDM yang sesuai kompetensi.
Meskipun BLKD berada di bawah kewenangan pemerintah
kabupaten/kota, namun masih mengalami ketergantungan terhadap
dana dari pemerintah pusat. Berdasar laporan Bank Dunia (2010),
sekitar 23% pengeluaran rutin BLKD berasal dari pemerintah pusat.
Pengeluaran terbesar digunakan untuk pelatihan yang sebagian
besar atau sekitar 60% berasal dari pemerintah pusat dan hanya
40% yang berasal dari pemerintah daerah. Hal ini berdampak pada
terbatasnya jumlah peserta pelatihan yang dapat dilakukan oleh
BLKD.

Selain itu, BLKD belum dapat fokus pada keterampilan tenaga kerja
yang dibutuhkan sesuai dengan kompetensi lokal. BLKD masih
menggantungkan pelatihannya pada Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia (SKKNI) yang dirumuskan di tingkat pusat dan
kurang menyesuaikan dengan pengembangan ekonomi lokal. Selain
juga adanya keterbatasan peralatan pelatihan, banyak peralatan
yang rusak dan tidak berfungsi. BLKD juga tidak dapat
memperbaharui peralatan agar sesuai dengan tuntutan kebutuhan
dunia industri. Persoalan tersebut menyebabkan BLKD tidak dapat
menyesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja termasuk pelatihan-
pelatihan yang berbasis teknologi digital. Saat ini pelatihan teknologi
digital lebih banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta dan
BUMN di daerah tanpa melibatkan peran dari BLKD. Beberapa
daerah yang memiliki anggaran yang relatif cukup besar masih
dapat menjalankan fungsi BLKD. Namun demikian, sebagian besar
masih belum bisa melakukan kebijakan 3R tersebut.

Dimensi SDM menjadi kunci keberlangsungan BLKD. Sebagian


besar pimpinan BLKD ditunjuk oleh pemerintah daerah melalui rotasi
jabatan yang umumnya kurang memperhatikan kompetensi yang
dibutuhkan untuk mengembangkan BLKD di era digital. Kebijakan
ini berdampak terhadap kinerja BLKD dalam mengelola program
terutama pelatihan di daerah. Sebagian besar pelatih di daerah
sudah berusia lanjut yaitu diatas 51 tahun dan kurang mendapatkan
pembaharuan dalam program-program yang dibutuhkan oleh dunia
industri di era revolusi 4.0.

Disisi lain, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah


berupaya untuk menggerakkan fungsi BLK dibawah kewenangan

-6-
Kementerian Ketenagakerjaan antara lain melalui kerjasama dengan
swasta sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.7
Tahun 2012 tentang kerjasama penggunaan Balai Latihan Kerja
(BLK) oleh swasta. Di dalam Peraturan tersebut, pelibatan swasta
dilakukan dalam penyelenggaraan pelatihan kerja, uji kompetensi,
pembuatan produk barang dan jasa, pemanfaatan fasilitas BLK dan
konsultasi pelatihan. Namun demikian, hal itu belum dilakukan oleh
BLKD karena belum memiliki peraturan yang jelas mengenai
pelibatan pihak swasta.

Keberadaan BLKD juga menjadi strategis untuk mengantisipasi


tenaga kerja yang mengalami PHK karena otomatisasi pekerjaan,
dimana saat ini korban PHK belum mendapatkan bekal keterampilan
dalam mencari pekerjaan baru. Pemberian re-skilling untuk korban
PHK melalui BLK dan BLKD dapat meningkatkan keterampilan
berwirausaha di dalam era digital ini dan akan memperbesar
kemandirian tenaga kerja dari ketergantungan industri besar. Untuk
itu, Kementerian Tenaga Kerja harus dapat mengantisipasi
kemungkinan terjadinya perubahan jenis pekerjaan dalam 25 tahun
kedepan dan membuat rancangan pelatihan dalam menyiapkan
perubahan kedepan.

 Permasalahan Pendidikan Vokasi dalam Penyiapan Calon


Tenaga Kerja

Pengembangan vokasi di Indonesia memiliki persoalan yang begitu


kompleks mulai dari paradigma, regulasi, sinergi, dan implementasi.
Persoalan paradigma terkait pengembangan sistem pendidikan
nasional yang cenderung menguatkan kemampuan intelektual
dibandingkan kecakapan vokasional, pendidikan vokasi belum
diposisikan sebagai arus utama dalam pembangunan pendidikan
nasional. Implementasi pendidikan vokasi pun sebatas melalui SMK,
BLK, dan Politeknik. Pendidikan non formal non kesetaraan dan
pendidikan informal yang dilakukan oleh masyarakat/komunitas
belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini,
orientasi ulang pengembangan vokasi di Indonesia menjadi sangat
mendesak. Tuntutan industri yang pesat membutuhkan perombakan
menuju paradigma baru yang berbasis pada vokasi. Pengembangan
vokasi ini berfokus pada upaya membangun kultur pendidikan yang

-7-
berupaya untuk mengkreasi para profesional yang dibutuhkan di
dunia kerja. Pendidikan tidak dapat lagi hanya berfokus untuk
memperbanyak penduduk yang bersekolah (meningkatan angka
pertisipasi), tetapi lebih berorientasi pada meningkatnya penduduk
yang memiliki keahlian (kecakapan vokasional) di berbagai bidang
pekerjaan.

Dari segi regulasi, sudah ada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9


Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan sumber daya manusia
(SDM) lulusan SMK. Instruksi Presiden ini ditujukan untuk 12
Kementerian, 1 Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan 34
Gubernur. Namun aturan tersebut belum cukup memayungi
kebutuhan pengembangan vokasi di Indonesia sebab hanya
memberikan aturan bagi pengelolaan SMK. Aturan hukum yang
mencakup pembenahan pengembangan vokasi melalui politeknik,
BLK, BLKD, akademi komunitas atau pendidikan non formal dan non
kesetaraaan tidak tercakupi dalam Inpres No. 9 tahun 2016
tersebut. Kemudian, dalam Inpres tersebut Kemenko Bidang
Perekonomian tidak disebutkan, padahal pada praktiknya sudah
memiliki roadmap pengembangan vokasi 2017-2025.

Sementara persoalan sinergi antar Kementerian/Lembaga di level


pusat maupun daerah pun masih bermasalah. Di tingkat pusat
sudah ada MoU antar beberapa kementerian (Kementerian
Perindustrian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian
Tenaga Kerja, dan Kementerian BUMN, serta melibatkan Kemenko
Bidang Perekonomian dan Kemko Bidang PMK) yang bertujuan
untuk mensinkronkan pengembangan vokasi di Indonesia. Namun,
penyamaan visi dan operasionalisasi belum berjalan optimal. Visi
yang sama mengenai pengembangan vokasi menjadi sangat
penting, sebab, tanpa visi yang sama tidak akan tercapai tujuan dari
pengembangan vokasi yang memberikan perbaikan pada kualitas
sumber daya manusia.

Di level implementasi pun, tiap kementerian/lembaga kemudian


lebih fokus pada peta jalannya masing-masing sehingga arah
prioritas pengembangan vokasinya menjadi berbeda antara
kementerian/lembaga. Sinergi di level daerah perlu ditingkatkan

-8-
untuk mengoptimalkan implementasi pengembangan vokasi. Dalam
hal ini, perlu kebersamaan (gotong royong dan kerja bersama) dari
seluruh stakeholder yang meliputi dunia usaha, akademisi, dan
masyarakat sipil untuk menentukan arah kebijakan vokasi di daerah
yang sesuai dengan sumber daya di daerah. Pendidikan vokasi
dalam konteks ini dapat menjadi bagian penting untuk membangun
industri-industri daerah yang diperkuat oleh supplai tenaga kerja
lokal melalui pendidikan di SMK, Pelatihan Balai Latihan Kerja
Daerah, Akademi Komunitas, pendidikan non formal non kesetaraan
atau melalui pendidikan alternatif. Di era digital, sinergi antara
kelembagaan tersebut lebih mudah dilakukan melalui berbagai
flatform komunikasi digital. Kemudahan akses telekomunikasi
melalui beragam media tersebut harus mampu dimanfaatkan
kementerian/lembaga ataupun dinas di daerah untuk berkomunikasi
secara efektif dalam mengawal pengembangan vokasi di Indonesia.

Transformasi global yang begitu cepat menjadi tantangan dalam


prinsip link and match Pendidikan vokasi. Saat ini Pendidikan vokasi
sangat fokus pada perubahan di industri besar dan kurang
memperhatikan corak produksi/ekonomi lokal, sehingga kondisi ini
menyebabkan lulusan SMK/Vokasi sangat tergantung pada dinamika
industri besar secara global. Fluktuasi iklim bisnis industri
perpengaruh pada daya serap SMK, dimana pada kondisi ekonomi
yang buruk akan menyebabkan pengangguran meningkat. Di lain
sisi, kebutuhan tenaga kerja di daerah tidak terisi karena
ketidaksesuaian antara kualifikasi lulusan dan kebutuhan daerah.

-9-
REKOMENDASI

Berdasarkan permasalahan sebagaimana dikemukakan diatas,


beberapa rekomendasi yang dapat diusulkan adalah sebagai
berikut:

1. Perlu dilakukannya monitoring PHK berbasis serikat


pekerja yang terintegrasi ke sistem pengawasan di
tingkat kementerian dalam program Skill Develompment
Fund (SDF).

Pemerintah telah membuat skema kebijakan yang disebut


sebagai Skill Development Funds (SDF) untuk re-skilling dan up-
skilling tenaga-kerja yang terdampak otomasi (PHK), antara lain
melalui BLK. Namun demikian, implementasi skema kebijakan
ini tidak mudah karena tidak semua tenaga kerja terdampak
otomasi terjaring SDF. Hal ini antara lain karena tidak mudah
mendata seluruh tenaga-kerja yang terdampak otomasi di
daerah-daerah sehingga banyak buruh yang di PHK kehilangan
pekerjaan dan menganggur. Untuk meningkatkan skema
kebijakan SDF ini, perlu dilakukannya monitoring PHK berbasis
serikat pekerja yang terintegrasi ke sistem pengawasan di
tingkat kementerian sehingga kemungkinan terabaikannya
buruh yang di PHK di dalam skema kebijakan ini dapat
diperkecil.

2. Revitalisasi dan reorientasi BLKD

BLKD sangat strategis untuk meningkatkan keterampilan tenaga


kerja di daerah. Namun demikian, sebagian besar BLKD tidak
berjalan dengan baik sehingga perlu revitalisasi dan reorientasi
BLKD. Pemerintah pusat perlu membuat instrumen kebijakan
untuk mendorong pemerintah daerah melakukan “re-vitalisasi
dan re-orientasi BLKD”. Revitalisasi diarahkan pada penguatan
kelembagaan mencakup kebijakan daerah, anggaran, sumber
daya manusia, serta sarana dan prasarana. Sementara itu,
reorietasi BLKD diperlukan untuk mengarahkan kembali jenis
keterampilan yang sesuai dengan perubahan teknologi digital

- 10 -
sebagai instrument untuk mengembangkan kreativitas dan
perluasan pasar khususnya bagi UMKM di daerah.

3. Perlu pembenahan regulasi, kelembagaan, kurikulum


pendidikan vokasi di Indonesia

Pembenahan regulasi, kelembagaan, kurikulum, pemagangan,


dan skill development sangat mendesak dilakukan. Intensitas
perbaikan yang sudah ada perlu ditingkatkan. Penyiapan
generasi muda meningkatkan knowledge, character, dan life skill
(soft skill dan hard skill) menjadi lebih optimal dilakukan ketika
hal tersebut dibenahi. Selain itu, pembenahan tersebut perlu
memerhatikan arus perubahan yang terjadi akibat digitalisasi.
Dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
dan Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan perlu
membuat roadmap bersama terkait pengembangan pendidikan
vokasi di Indonesia yang memperhatikan kebutuhan global,
perubahan akibat digitalisasi, dan juga menguatkan ekonomi
lokal sebagai rujukan untuk pengembangan vokasi di Indonesia.

Kurikulum SMK yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan


Kebudayaan perlu memberikan ruang bagi pengembangan
vokasi yang memperhatikan keterampilan di bidang teknologi
dan informasi, serta muatan kurikulum yang berbasis potensi
lokal.

4. Mengubah indikator kebutuhan tenaga pengajar pada


sistem akreditasi sekolah/lembaga pelatihan yang
berbasis pada pengalaman pengajar di dunia
kerja/industry bukan sebatas kualifikasi akademis/gelar

Kurangnya guru/dosen/teknisi yang memahami persoalan


vokasi karena terbentur akreditasi yang didasarkan pada
kepemilikan kualifikasi akademik (S1,S2 dst).
Guru/dosen/teknisi dari praktisi yang ahli dibidang tertentu
terbentur karena persoalan akademik (ijazah yang tidak sesuai)
terkait akreditasi yang lebih mengedepankan ijazah dibanding
kompetensi ahli yang bersangkutan. Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset

- 11 -
dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Ketenagakerjaan mesti
merubah pola akreditasi bagi guru/dosen/teknisi yang kesulitan
mengajar karena persoalan kualifikasi. Yang dikedepankan
adalah keahlian di dunia kerja atau dunia industri bukan pada
kualifikasi akademik.

5. Pengembangan Budaya Kerja di Sekolah

Lembaga pendidikan diharapkan memiliki budaya sekolah yang


mampu menguatkan budaya kerja industri, di mana ruang
pendidikan menjadi instrumen penting dalam internalisasi baik
hard skill maupun soft skill melalui pelajaran di kelas, kegiatan
ekstrakurikuler, intrakurikuler ataupun aktivitas di sekolah
lainnya. Dalam hal ini Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian,
maupun Dinas Ketenagakerajaan di level provinsi harus aktif
membangun jejaring kerjasama yang mempertemukan sekolah,
BLK, dan lembaga pelatihan kerja lainnya dengan dunia industri.
Intensitas kerjasama dunia pendidikan dengan dunia industri
harus ditingkatkan melalui fasilitasi dinas-dinas tersebut.
Sekolah harus lebih terbuka (open school) dengan masyarakat
atau industri yang ada di sekitar. Ruang praktik, alat praktek,
bahan, dan pengenalan terhadap teknologi terbaru yang
terbatas dapat disiasati dengan terbukanya sekolah dengan
beragam pihak.

6. Mengembangan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan


lokal melalui Pendidikan Non-Formal Non Kesetaraan
melalui komunitas dan kementerian teknis lainnya.

Up-skilling keterampilan bagi tenaga kerja lokal tidak semuanya


terjangkau melalui BLK, BLKD, ataupun Pendidikan vokasi.
Peran komunitas lokal maupun Dinas Teknis lainnya seperti
Dians Pertanian, Dinas Peternakan, dan Dinas Kelautan dalam
memberikan pelatihan dan pembinaan bagi tenaga kerja lokal
perlu diperluas untuk mengembangkan keterampilan tenaga
kerja yang dapat memanfaatkan teknologi digital.

- 12 -
Daftar Pustaka

Afriansyah, A. dkk. (2018). Pendidikan Vokasi dan Kebutuhan Dunia


Kerja Digital di Era Perubahan Tata Kelola Pendidikan: Kasus
Provinsi Jawa Barat dan DI Yogyakarta. Laporan Penelitian, Pusat
Penelitian Kependudukan – LIPI.
Asiati, D. dkk. (2018). Kesempatan Kerja dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Si Era Digital: Studi KAsus Sektor Industri. Laporan
Penelitian, Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI.
Burrow, S. & Byhovskaya, A. (2016) Asseing The Social Dimension of
The Digital Economy. In Transformations in Technology
Transformations in Work. JustJob Network Inc.
Benceu, F. (2017). Evaluation of the Impact of the 4th Industrial
Revolution on the Labor Market. Romanian Economic and Business
Review.
BPS. (2018). Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi
yang Ditamatkan 1986 - 2018. Retrieved Mei 2018, from
https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/16/972/pengangguran
-terbuka-menurut-pendidikan-tertinggi-yang-ditamatkan-1986---
2018.html
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2018. Kebijakan
Pengembangan Vokasi Di Indonesia 2017-2025. Jakarta:
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No.
330/D/D5/KEP/KR/2017 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar SMK/MAK.
World Economic Forum. (2016). The Future of Jobs Employment, Skills
and Workforce Strategy for Fourth Industrial Revolution. Growth
Strategies. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1776113790?accountid=266
46%5Cnhttp://link.periodicos.capes.gov.br/sfxlc41?url_ver=Z39.8
8-
2004&rtf_val_fmt=info:ofi/fmt:kev:mtx:journal&genre=artikel&si
d=ProQ:ProQ:pqrl&atile=3+-
+THE+FUTURE+OF+JOBS&title=Groeth+Strategi
Zygmunt, B. (2011). Liquid Modern Challenges to Education. Padora:
Padora University Press.

- 13 -

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai