2010
Agus Santoso, Azis Taba Pabeta, Iin Surminah dan Saut H. Siahaan
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
ABSTRAK
Kemajuan suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuan
sektor produksi dalam mendayagunakan teknologi untuk menghasilkan produk
barang dan jasa yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan pasar domestik dan
ekspor. Salah satu untuk memperoleh kemajuan tersebut, diperlukan suatu
linkages antara lembaga litbang dengan industri. Kasus lembaga litbang (baca:
empat puslit di LIPI) diantaranya: Puslit bioteknologi, puslit informatika, puslit
fisika dan puslit elektronika dan telekomunikasi, bahwa dinamika linkages yang
terjadi dengan industri tampaknya belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan
industri sebagai stakeholder-nya. Hal ini terlihat dari perencanaan kegiatan
penelitian lembaga litbang belum mendorong usaha bersama atau menuju pada
pendirian industri. Sementara dari sisi industri orientasinya lebih pada
peningkatan kemampuan untuk memperoleh nilai tambah dalam kegiatan
usahanya. Sedangkan para penelitinya lebih tertarik pada kegiatan penelitiannya
untuk peningkatan kompetensinya. Sejalan dengan itu mekanisme linkages
lembaga litbang dengan industri umumnya terbangun melalui pembinaan SDM
industri, studi kelayakan, dan pengenalan teknologi yang dihasilkan lembaga
litbang. Kegiatan-kegiatan ini umumnya dilakukan personil peneliti, sehingga
linkages yang dibangun sifatnya lebih pada personal peneliti dengan industri.
Sehingga secara kelembagaan masih relatif belum terbangun, karena linkages
yang terjadi masih dalam tatanan pelatihan SDM industri. Pada akhirnya pola
dinamika linkages lembaga litbang dengan industri hanya pemanfaatan SDM
(peneliti) dan fasilitas di lembaga litbang oleh industri.
Kata kunci: Lingkages, Lembaga Litbang, Industri.
1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PENDAHULUAN
Dinamika linkages lembaga litbang (kasus empat puslit di LIPI) dengan
industri merupakan suatu proses pembelajaran yang bertujuan untuk
menghasilkan produk lembaga litbang yang dapat berkontribusi pada industri.
Kontribusi produk lembaga litbang sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing
sangat dibutuhkan di era globalisasi saat ini. Untuk mendorong kontribusi hasil
lembaga litbang dibutuhkan terobosan yang strategis. Salah satu terobosan yang
diharapkan mampu menjawab adalah dengan membangun linkages yang dinamis
antara lembaga litbang dengan industri. Banyak produk lembaga litbang yang
berpotensi dan bernilai ekonomi tinggi, namun mengalami kendala sistemik,
seperti kemampuan SDM industri, penguasaan teknologi, manajemen, produksi,
pemasaran dan sebagainya.
Produk lembaga litbang yang berpotensi untuk dikembangkan yang
mempunyai nilai ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat dan pasar, serta
mempunyai manfaat sosial bagi masyarakat terdapat 3 (tiga) aspek yang harus
dikembangkan bersama antara lembaga litbang dengan industri. Untuk
membangun dinamika linkages tersebut, yaitu aspek orientasi program dan
kegiatan yang ditetapkan dalam berbagai kebijakan baik di tingkat lembaga litbang
maupun ditingkat penentu kebijakan serta mencakup interaksi unsur pelaku
sistem iptek (Lembaga Litbang, Perguruan Tinggi, Badan Usaha/Masyarakat).
Tiga aspek yang dimaksud meliputi : (1) Aspek hasil dan nilai manfaat; (2)
Aspek kontribusinya bagi masyarakat; (3) Aspek ekonomi atau nilai komersial
yang disertai strategi pemasaran. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan
kualitatif untuk melihat dinamika linkages, melalui pengumpulan dan pengolahan
data serta analisis dan pembahasan mengenai terbangunnya dinamika linkages
dengan win-win solution. Oleh karenanya ada sejumlah manfaat dari studi ini,
antara lain: yakni memudahkan bagi lembaga litbang untuk membangun
komunikasi dengan industri; memudahkan bagi lembaga litbang untuk
menentukan program-program litbang yang dibutuhkan oleh industri; dan
memudahkan bagi lembaga litbang untuk meningkatkan kemampuan sumber daya
industri. Dengan demikian output dari studi ini adalah akan terlihat pola dinamika
linkages antara lembaga litbang dengan industri yang dapat dijadikan rujukan
dalam mendorong pembangunan nasional/daerah khususnya di bidang iptek.
KERANGKA BERPIKIR
Suatu dinamika linkages antara lembaga litbang dengan industri seperti
dalam gambar 1, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor/variabel. Pada gambar
yang tertulis, didalam lingkaran sebelah kiri tengah adalah lembaga litbang yang
intinya terlihat meliputi perencanaan program lembaga litbang dan kemampuan
sumber daya lembaga litbang yang dimiliki serta iptek yang strategis. Secara
singkat hal ini dimaksudkan bahwa sebagai lembaga litbang, praktis harus
melakukan kegiatan penelitian namun sebelum itu harus mempunyai perencanaan
program terlebih dulu yang diharapkan hasilnya sesuai dengan kebutuhan
industri. Kemudian berikutnya terlihat, sumberdaya lembaga litbang diartikaa
bahwa didalam lembaga litbang tentu mempunyai SDM (khusus tenaga peneliti),
2
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Disisi lain tertulis pada kolom sebelah kanan adalah "Industri" dimana pada
sisi industri ini yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan produk industri,
standar mutu produk yang dihasilkan oleh industri, bahan baku utama dan bahan
baku penolong yang dbutuhkan untuk produksi, teknologi produksi, proses
produksi, desain produk, pemasaran, dan harga yang terjangkau. Sedangkan garis
lingkaran yang menggambarkan angka delapan menunjukkan bahwa garis
tersebut, merupakan proses dinamika linkages secara feedback, nah sejauhmana
dinamika linkages tersebut berjalan tergantung dari pembuktian fakta-fakta di
lapangan dan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Faktor
lain yang juga berpengaruh adalah selain kebijakan internal dari lembaga litbang
juga dukungan kebijakan iptek nasional sebagai pengaruh lingkungan eksternal.
Demikian pula pengaruh lingkungan eksternal lainnya adalah perkembangan
teknologi yang selalu berubah dengan cepat dan penuh ketidakpastian. Dalam
hubungan ini, maka dari kedua belah pihak tersebut, yaitu antara lembaga litbang
dengan industri, bila diperhatikan terhadap garis yang melingkar seperti angka
delapan menunjukkan adanya pola dinamika linkages yang saling berinteraksi. Nah
sejauhmana pola dinamika linkages yang terjadi dari empat kasus puslit di LIPI,
bisa dilihat pada bagian hasil dan pembahasan.
METODE
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Kegiatan penelitian Dinamika Linkages Litbang dengan Industri ditujukan untuk
mengetahui kemampuan lembaga litbang dalam menghasilkan program yang
memiliki keterkaitan/hubungan dengan industri di beberapa bidang Iptek.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan memilih daerah yang
3
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Jenis Data
Data yang digunakan:
1) Data primer, diperoleh dari hasil wawancara mendalam pada responden
terpilih. Data yang dikumpulkan meliputi faktor dinamika linkage antara
lembaga litbang dengan industri terkait sesuai kerangka pikir penelitian
(lihat gambar 2.1)
2) Data primer, hasil pengisian kuesioner di lembaga litbang dan Kadin.
3) Data sekunder, diperoleh dari laporan tahunan lembaga dan kepustakaan,
baik dari publikasi buku, artikel jurnal/journal-online, proseding, artikel
dalam media masa, dan disertasi.
Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini variabel penelitian meliputi:
(a). Lembaga Litbang:
1. Perencanaan program litbang yang berkaitan dengan dinamika linkage
2. Sumber daya litbang
3. Iptek yang strategis
(b). Industri:
1. Kebutuhan produk industri
2. Standar mutu produk
3. Bahan baku utama & Penolong
5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Secara skematis analisis data kualitatif ditunjukkan pada gambar 2. Hal ini
menunjukkan bahwa analisis kualitatif dimulai dari pengumpulan data yang
dilanjutkan dengan proses pemetaan data dan reduksi data. Selanjutnya hasil data
akhir digunakan untuk menggambarkan dinamika linkages. Analisis ini jika masih
belum memuaskan masih dapat diulang kembali ke tahapan pengumpulan data
dan seterusnya (loop tertutup). Analisis kemudian dilanjutkan dengan
membangun model melalui analisis variabel yang terkait dengan dinamika
linkages lembaga litbang dengan industri.
6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Hasil dari Puslit Bioteknologi; Puslit Informatika; Puslit Fisika dan Puslit
PPET:
Dimensi Perencanaan Program Litbang
Dimensi perencanaan program litbang ditunjukkan dari kapasitas dan
kapabilitas perencanaan lembaga litbang terkait pada acuannya, kebutuhan
industri maupun lingkungan serta kebijakan iptek. Hasilnya menunjukkan bahwa
perencanaan program litbang di P2 Bioteknologi mengacu pada nilai jual
teknologi, jasa produksi, kontrak riset, inkubator, dan spin off. Dalam kasus ini
perencanaan program tidak didasarkan pada kemungkinan pendirian industri
maupun pendirian usaha bersama. Sementara itu perencanaan program litbang
untuk memenuhi kebutuhan industri ditunjukkan melalui standar mutu produk,
kemampuan teknologi, proses produksi, pengembangan dan inovasi, potensi pasar
produk industri, daya saing produk dengan keunggulan teknologi dan harga yang
terjangkau. Lebih jauh perencanaan program litbang juga memperhatikan ilmu
pengetahuan yang strategis, lingkungan yang selalu cepat berubah, kebijakan
iptek, dan daya saing bangsa.
Kemudian dalam melihat perencanaan program Puslit Informatika, juga
mengacu pada kapasitas dan kapabilitas lembaga yang antara lain diarahkan pada:
Jasa produksi, seperti membuat software, hardware dan aplikasi (otomasi dan
kontrol). Kemudian pernah melakukan kontrak riset atau mengembangkan
kerjasama dengan sejumlah instansi, seperti pada tahun 2006 dengan BPPT yang
menghasilkan distribusi (distro) IGOS Nusantara. Pada tahun 2007 juga menjalin
kerjasama dengan PT. INTI untuk mengembangkan model bisnis IGOS Nusantara.
Selain itu Puslit Informatika berupaya menerima dan memberi pelayanan
konsultasi yang berkenaan dengan software, hardware dan aplikasi.
Kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki Puslit Informatika tentu disesuaikan
dengan kebutuhan industri, misalnya standar dan mutu produk, beberapa hasil
produk penelitian berupa aplikasi, meliputi Network Digital Library; Aplikasi Multi
Media; Sistem e-Government untuk Aset, SDM dan P2JP dan lain sebagainya.
Sedang kegiatan dalam perencanaan program yang terkait dengan kapabilitas
teknologi, adalah penguasaan iptek yang meliputi: Operating System, Digital, Signal
Processing, Spread Spectrum, Embedded System dan Interfacing, Teknologi
Pengaksesan, Arsitektur Komputer, Multimedia System. Untuk menunjang hal-hal
di atas, daya saing yang dilakukan adalah dengan modifikasi teknologinya.Semua
rangkaian tersebut, tentu mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan: ilmu
pengetahuan yang strategis, karena dunia information technology (IT) dipengaruhi
oleh lingkungan yang selalu cepat berubah.
Dalam perencanaan program Pusat Penelitian Fisika (PPF) didasarkan
pada kapasitas dan kapabilitas lembaga litbang yang mengacu pada: menjual
teknologi, dan kontrak riset sedangkan hal-hal lain seperti jasa produksi,
pembuatan usaha bersama, konsultasi, pendirian industri, inkubator, dan Spint off
tidak menjadi pertimbangan PPF-LIPI. Pilihan tersebut berarti PPF hanya sebatas
7
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
menjual teknologi yang dihasilkan oleh puslit kemudian ditawarkan pada industri,
belum melihat apa sesungguhnya yang dibutuhkan pihak industri. Kemudian PPF
melakukan kontrak riset dengan pihak industri/UKM sebagai pengguna hasil
litbang PPF, dalam hal ini kontrak riset biasanya dilakukan kerjasama baik untuk
produk, proses, maupun jasa.
Dalam perencanaan program litbang PPF tentu disesuaikan kebutuhan
industri dengan mempertimbangkan pada kemampuan teknologi, proses produksi,
pengembangan dan inovasi serta potensi pasar produk industri. Sedangkan dalam
perencanaan program yang disesuaikan dengan kebutuhan industri PPF tidak
mempertimbangkan standar dan mutu produk, bahan baku utama dan bahan baku
penolong, serta daya saing produk dengan keunggulan teknologi dan harga yang
terjangkau dan lainnya. Pilihan ini tentu didasarkan pada kemampuan PPF dalam
menghasilkan produk-produk hasil litbangnya yang dapat dikomersialkan kepada
pengguna. Kemampuan PPF tersebut meliputi kemampuan pengembangan
teknologi, proses produksi, sampai melakukan pengembagan inovasi hasil litbang,
serta mempertimbangkan potensi pasar dari produk hasil litbangnya.
Dalam perencanaan kedepan PPF senantiasa memikirkan iptek yang
strategis yang dapat diterapkan dalam dunia bisnis demikian juga dengan
dukungan kebijakan iptek yang telah ada dan dapat diacu sebagai kebijakan yang
mendukung program-program PPF-LIPI selanjutnya. Di samping itu berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan melalui wawancara dengan Kepala PPF-LIPI
diperoleh informasi bahwa untuk menghasilkan program litbang terapan masih
terbatas pada anggaran yang tersedia serta kesiapan sarana dan prasarana
organisasi yang sudah ada. Dalam penyusunan program litbang terapan yang
dianggap dibutuhkan oleh pelaku industri pada dasarnya mampu dari segi
kesiapan SDM, namun tidak mudah direalisasikan. Salah satu
kendala/hambatannya yang dihadapi oleh PPF LIPI adalah sarana dan prasarana
yang dibutuhkan tidak mudah diadakan karena keterbatasan anggaran yang telah
ditetapkan atau kebijakan pimpinan LIPI yang telah menetapkan pagu anggaran
yang dibiayai APBN dan hal ini menjadi hambatan dan dialami oleh semua satuan
kerja/ Puslit maupun UPT di lingkungan LIPI.
Demikian pula pada kasus perencanaan program litbang di Pusat Penelitian
Elektronika dan Telekomunikasi (PPET)-LIPI pada dasarnya tidak berbeda dengan
puslit lainnya, yaitu selalu didasarkan atas pertimbangan pada kapasitas dan
kapabilitas sumber daya litbang yang mengacu pada jual teknologi; jasa produksi;
kontrak riset. Hal yang tidak dilakukan oleh PPET dalam membangun dinamika
linkages dengan industri dalam perencanaan seperti tidak mengarah pada
pembuatan usaha bersama, konsultasi, pendirian industri, inkubator maupun spin
off.
Selain itu dalam perencanaan program litbang, juga selalu dikaitkan
dengan kebutuhan industri seperti: kemampuan teknologi, proses produksi,
pengembangan dan inovasi, potensi pasar produk industri. Hal yang tidak
dilakukan oleh PPET dalam membangun dinamika linkages dengan industri,
seperti tidak mengarah pada standar dan mutu produk, bahan baku utama dan
penolong, daya saing produk dengan keunggulan teknologi dan harga terjangkau.
Dalam perencanaan program litbang juga telah dipertimbangkan hal-hal yang
8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
program kompetitif akan menjadi sumber inspirasi bagi para peneliti khususnya
dan kelembagaan Puslit Informatika pada umumnya.
Pada kasus PPF-LIPI linkages lembaga litbang dengan industri dapat
dibangun dimulai dari: pengenalan iptek yang dihasilkan oleh lembaga dan
pembuatan prototype. Pilihan ini disesuaikan dengan tahapan dalam menghasilkan
produk hasil litbang yang dilakukan oleh PPF. Kemudian seluruh produk yang
dihasilkan sudah berbentuk prototype. Linkages lembaga litbang dengan industri,
dimana PPF dibentuk tidak dimulai dari tahapan-tahapan, seperti perencanaan
sebelum kerjasama dilakukan, penetapan ide, uji coba hasil, uji produksi, studi
kelayakan, komersial implementasi produk litbang, dan pembinaan SDM industri
tidak menjadi pertimbangan oleh PPF-LIPI.
Dalam membangun linkages dengan industri, PPF-LIPI tentu sangat
memerlukan pengadaan peralatan litbang untuk melengkapi alat yang ada dan
memerlukan lembaga penghubung yang didukung penuh dengan kebijakan.
Sedangkan dalam membangun linkages dengan industri PPF tidak memerlukan
pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kinerja SDM lembaga litbang.
Gambaran ini mencerminkan bahwa PPF dalam membangun linkages kedepan
memang sangat membutuhkan sarana dan prasarana litbang untuk melengkapi
sarana prasarana yang telah ada, karena sarana dan prasarana yang sudah ada
belum memadai untuk menghasilkan produk hasil litbang yang dapat bersaing
dengan produk yang dihasilkan oleh industri lain. Dalam menghasilkan produk hasil
litbang untuk membangun linkages dengan pengguna kadang-kadang sarana dan
prasarana yang digunakan PPF meminjam dari Puslit LIPI lainnya untuk saling
melengkapi dan membantu. Selain itu juga perlu dukungan lembaga penghubung
(misalnya: peran Pusinov-LIPI) yang lebih pro-aktif. Akhirnya diharapkan
dukungan kebijakan internal LIPI guna mendorong program-program prioritas
yang mempunyai daya saing di pasar regional maupun global.
Dalam membangun linkages litbang dengan industri dibutuhkan mekanisme,
mekanisme yang dilakukan oleh PPF-LIPI, diantaranya adalah melalui:
Seminar/lokakarya/workshop, dan jaringan teknologi informasi. Kegiatan
seminar/lokakarya dan semacamnya sudah dilakukan baik pada event-event yang
diselenggarakan oleh LIPI maupun pada kesempatan lain di luar LIPI, sepanjang
anggaran untuk kegiatan dimaksud dapat mencukupi. Kemudian yang terkait
dengan jaringan teknologi informasi, linkages yang dibangun dengan industri
nampaknya belum berjalan secara optimal, masih terbatas pada inisiatif individu
(peneliti). Sedangkan koordinasi dengan industri/masyarakat/UKM, pameran dan
sosialisasi, dan jaringan personal/pertemanan tidak menjadi mekanisme dalam
membangun linkages dengan industri.
Dalam melakukan monitoring dan evaluasi linkages lembaga litbang dengan
industri, maka PPF melakukan langkah-langkah antara lain dengan mendatangi
lokasi industri. Hal ini yang paling dianggap paling tepat untuk melakukan
monitoring dan evaluasi atas linkages yang telah dibangun oleh PPF. Kegiatan
mendatangi lokasi industri ini dapat dilakukan oleh Kepala Pusat, Kepala Bidang di
bawahnya, Kepala Sub Bagian kerjasama, dan peneliti. Dalam kaitan ini PPF-LIPI
tidak melakukan dengan mengirimkan daftar isian yang harus diisi oleh industri.
Dalam membangun linkages dengan industri sebagai upaya komersialisasi hasil
10
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
11
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
13
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
14
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
15
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
bisa didanai dengan nominal yang pantas, tetapi harus melalui kegiatan program
tematik/kompetitif.
Secara empiris peran pimpinan dalam membangun linkages cukup proaktif
baik pada pimpinan terdahulu maupun saat ini. Kegiatan linkages ini juga
melibatkan pejabat struktural dibawahnya, yaitu kepala subbagian jasa dan
informasi (Eselon IV), namun subbagian ini ruang geraknya agak terbatas,
mungkin mengingat pemegang eselon tersebut dipimpin oleh seorang wanita.
Seandainya bagian ini masuk pada level eselon III mungkin kiprahnya agak
berbeda, baik dari sisi penampilan; skill; kemampuan dan lainnya. Sedangkan
keterlibatan tenaga peneliti dalam membangun linkages masih bersifat individual
yang langsung dengan industri, lebih sering dilakukan oleh pimpinan lembaga atau
pejabat struktural dibawahnya dan ini bersifat formal.
Upaya-upaya meningkatkan hubungan dengan industri yang dilakukan oleh
Puslit Informatika selama ini diistilahkan sebagai kerjasama. Uniknya sebagian
besar kerjasama tersebut dilakukan dengan instansi pemerintah, diantaranya
dengan: Kementrian Negara Riset dan Teknologi - IGOS Desktop; Kementrian
Komunikasi dan Informasi; PT. INTI; PT. PLN; PT. TELKOM; TNI - Angkatan Laut;
PTN dan PTS. Sebaliknya hubungan dengan industri usaha kecil menengah (UKM),
jarang terjadi atau bisa dikatakan tidak pernah ada. Walaupun demikian pada
intinya bahwa semua bentuk kerjasama yang pernah ada tentu untuk
memperlancar keberhasilan dalam membangun linkages jangka panjang. Semua
ini tentunya diperlukan tahapan-tahapan: mekanisme yang efisien dan efektif;
aturan dan prosedur yang semakin mudah dalam mengikuti perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi serta memberikan keuntungan kedua belah
pihak.
Pada kasus PPF-LIPI, dalam mendorong linkages upaya-upaya yang
dilakukan oleh melakukan peningkatan kualitas jaringan komunikasi,
anggaran/dana litbang, dan potensi pasar hasil litbang. Upaya-upaya lain seperti
peningkatan kemampuan SDM, peningkatan, sarana dan prasarana litbang, dan
peningkatan promosi tidak merupakan pilihan dari PPF. Gambaran ini
menunjukkan bahwa merupakan pilihan ini yang dianggap cukup signifikan dalam
upaya meningkakan hubungan dengan industri. Peningkatan jaringan komunikasi
merupakan cara yang efektif dalam membangun linkages, disamping cukup
anggaran/dana litbang dalam mengembangkan produk hasil litbang yang
dibutuhkan oleh pengguna/industri/UKM, serta tidak melupakan potensi pasar
yang sedang in di masyarakat agar produk-produk hasil litbang dari PPF tidak
ketinggalan trend dibandingkan dengan produk-produk lain.
Peran pimpinan dalam membangun linkages PPF hanya memilih dua saja,
yakni: Melibatkan pejabat di bawahnya secara aktif dalam menjalin linkages, dan
pimpinan melibatkan peneliti secara aktif dalam menjalin linkages. Sedangkan
peran pimpinan dalam membangun linkages pilihan pimpinan proaktif dalam
menjalin linkages, melibatkan pejabat di bawahnya secara aktif dalam menjalin
Linkages, dan Pimpinan melibatkan peneliti secara aktif dalam menjalin Linkages
tidak menjadi pilihan bagi PPF-LIPI. Nampaknya pilihan ini, pimpinan
menyerahkan sepenuhnya pada bawahannya secara struktural atau juga pada
penelitinya dalam membangun linkages dengan industri.
16
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
17
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
18
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
19
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
Amin Pujiati. 2008. Inter Firm Linkage : Teori dan Implementasi di Indonesia,
20
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Cohen.W.M (at.al). 1998. "Industry and the Academy: Uneasy Partners in the Cause
of Technological Advance" in Challenge to the Research Universities. R.No.ll
(ed). Washington D.C.: Brookings Institutions (dalam Grace).
Leonard, D & Barton, 1990. Organization Science, Vol. 1, No. 3, Special Issue:
Longitudinal Field Research Methods for Studying Processes of
Organizational Change. (1990), pp. 248-266.
Movery, D. 1998. The Roles and Contributions of R&D Collaboration: Matching Policy
Goals and Design. Berkeley: University of California (dalam Grace).
Schunk, K. 1999. GMD's Techno Park - Window to Technology and SME. German
National Research Center for Information Technology (dalam Grace).
Teece, David J at.al. Gary Pisano; Amy Shuen. Dinamic Capabilities and Strategic
Management . Strategic Management Journal, Vol.18, No.7. (Aug., 1997),pp.
509-533.
21
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ABSTRAK
Sejak tahun 2003, LIPI melaksanakan program kompetitif. Esensi dari program
kompetitif adalah mensinergikan berbagai sumberdaya yang dimiliki LIPI, baik
secara lintas satuan kerja (satker) maupun lintas kedeputian guna menghasilkan
luaran yang holistik dan strategik. Program ini ditetapkan secara top-down
dengan tema kegiatan mempertimbangkan isu-isu strategis dan mendesak untuk
ditangani. Harapannya adalah menghasilkan keluaran yang terukur, berkualitas,
dan jelas pengguna akhirnya. Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 100
peneliti utama yang telah melakukan kegitan penelitian kompetitif minimal tiga
kali selama periode 2004-2009. Hasil lapangan menunjukkan bahwa sebaran
kegiatan litbang kompetitif menurut tujuan sosial ekonomi (TSE), yang terbesar
digunakan untuk tujuan environmental management & other aspects (15,7%).
Untuk tujuan manufacturing dan advancenment of natural sciences & humanities
masing-masing sebesar 11,8%, serta animal production & animal primary
products dan natural sciences masing-masing sebesar 9,8%. Sementara itu,
kegiatan litbang untuk TSE yang lain proporsinya di bawah 8% dan yang terkecil
adalah untuk TSE energy supply dan health masing-masing sebesar 2%. Pada
klaster I (kegiatan eksplorasi), hampir 50% merupakan kegiatan litbang yang
lebih menekankan pada aspek pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk klaster II
(kegiatan kebijakan), kurang dari 50% merupakan kegiatan litbang yang lebih
menekankan pada aspek pemanfatan/aplikasi. Sedangkan klaster III (kegiatan
menghasilkan produk), hanya sebagian kecil yang merupakan kegiatan litbang
yang menekankan tidak hanya pada aspek pengembangan ilmu pengetahuan
tetapi juga aspek aplikasi.
PENDAHULUAN
Tuntutan masyarakat yang semakin besar akan peran iptek dalam
memberikan solusi bagi pemecahan permasalahan dan peningkatan daya saing
perekonomian bangsa, mendorong LIPI sebagai salah satu lembaga riset untuk
terus berupaya memberikan kontribusi yang signifikan. Selama ini, LIPI telah
melakukan berbagai program dan kegiatan riset dalam berbagai spektrum
keilmuan yang cukup luas. Akan tetapi, sangat menyebarnya kegiatan riset
22
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
tersebut menyebabkan output yang dihasilkan masih berskala kecil, divergen dan
cenderung terfragmentasi antar satu kegiatan dengan kegiatan lainnya.
Bertolak dari hal di atas, sejak tahun 2003 LIPI menyepakati untuk
melaksanakan program kompetitif. Esensi dari program kompetitif adalah
mensinergikan berbagai sumberdaya yang dimiliki LIPI, baik secara lintas satuan
kerja (satker) maupun lintas kedeputian guna menghasilkan luaran yang holistik
dan strategik. Program ini merupakan program LIPI yang ditetapkan secara top-
down dengan tema kegiatan mempertimbangkan isu-isu strategis dan mendesak
untuk ditangani.
Sesuai dengan buku panduan program kompetitif, yang dimaksud dengan
program kompetitif LIPI adalah program korporat LIPI yang ditetapkan secara
topdown dan keluarannya diarahkan dapat memberikan sumbangan bagi solusi
masalah nasional dan/ atau pengembangan keilmuan yang strategis.
Program kompetitif bertujuan untuk mencapai tujuan berlingkup nasional
maupun daerah:
1. Memberikan solusi terhadap persoalan nasional dan/atau daerah yang
strategis dan berjangka panjang, serta memberikan dampak luas bagi daerah/
sektor/ disiplin keilmuan tertentu;
2. Menghasilkan penemuan baru dalam bidang keilmuan tertentu;
3. Memberikan efek bergulir dalam arti kemungkinan sumber pendanaan,
peningkatan pendapatan nasional maupun daerah, penciptaan lapangan kerja;
4. Menggerakkan keterpaduan antar unit penelitian maupun antar peneliti yang
berorientasi pada kebutuhan riil, jangka pendek maupun jangka panjang;
5. Efisiensi alokasi dan penggunaan sumber daya (dana, waktu, sarana,
pelaksana penelitian) LIPI dalam melaksanakan visi dan misinya.
23
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Sumber data
Populasi dalam penelitian ini adalah peneliti utama yang telah melakukan
kegitan penelitian kompetitif minimal tiga kali selama periode 2004-2009.
Jumlahnya sebesar 100 peneliti utama, rinciannya adalah yang telah melakukan
penelitian 3 kali berjumlah 65 peneliti utama, yang melakukan 4 kali berjumlah 16
peneliti utama, dan yang telah melakukan 5 kali sebanyak 19 peneliti utama.
24
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Analisis Data
Target kegiatan litbang pada umumnya bermuara pada dua hal pokok, yaitu
pengembangan iptek dan aplikasinya di masyarakat. Jika digambarkan dalam
grafik dua dimensi, maka pengelompokkan hasil kegiatan litbang dapat dipetakan
dalam tiga klaster unggulan sebagai berikut:
Knowledge Intensity
Basic Basic
25
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Prototipe 0,17
26
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
1 Proses seleksi Secara umum proses seleksi sudah bagus, karena panelisnya melibatkan
orang luar LIPI yang sesuai dengan kompetensinya. Kemudian sudah ada
pedoman dan aturan2nya
2 Output kegiatan Output kegiatan yang dihasilkan perlu dikembangkan lebih lanjut oleh Satker
sendiri.
3 Pergeseran Sebenarnya penelitian yang dilakukan tidak ada perubahan program dari
program tahun ke tahun, justru setelah disetujui Panelis programnya berubah. Atau
ada juga penggabungan program yang dilakukan oleh Panelis, jadi bukan
penelitinya yang merubah.
Ada juga penelitian yang sudah selesai tahun 2007, kemudian pada tahun
2009 dimulai lagi kegiatan penelitian baru.
4 Laporan Laporan penelitian sudah ada yang membuat 3 versi, yaitu a). ditujukan
penelitian untuk pertanggungan jawab administrasi; b). bentuk majalah populer; c).
bentuk science untuk masyarakat ilmiah.
5 Kelebihan dan a).Kelebihannya: peneliti dapat melakukan penelitian lebih fokus/spesifik
kelemahan untuk mencapai sasaran. Membantu peneliti untuk meningkatkan
kemampuannya, karena dana DIPA terbatas. b). Kelemahannya: kadang-
kadang belum sampai kepada tujuan yang diharapkan karena terbatasnya
waktu dan dana.
27
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Publikasi ilmiah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: buku, jurnal
ilmiah, proceding, dan makalah kebijakan. Berdasarkan data yang diperoleh,
jumlah publikasi ilmiah pada tahun 2008 sebanyak 82 publikasi, yang paling
banyak adalah proceding nasional sebanyak 49 (60%), sedangkan yang sedikit
adalah proceding dan jurnal internasional masing-masing sebesar 0,1%. Pada
tahun 2009 terdapat 74 publikasi ilmiah, yang berati ada penurunan sekitar 10%
jika dibandingkan dengan tahun 2008. Publikasi terbesar dalam bentuk jurnal
nasional sebanyak 29 jurnal (39%), disusul proceding internasional sebanyak 13
proceding (17%) dan yang terkecil adalah makalah kebijakan sebesar 0,03%.
(c) Prototipe
Jumlah prototipe pada tahun 2008 sebanyak 15, dan pada tahun 2009
sebanyak 10 prototipe. Jika dibandingkan dengan jumlah protototipe yang
diperoleh pada tahun 2008 terjadi penurunan sebesar 33%.
(d) Produk
28
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
terdapat lebih dari 77% skala laboratorium dan sekitar 23% dalam skala
komersial.
Pada tahun 2008, terlihat pada Tabel 3, bahwa output terbesar dari hasil
litbang kompetitif adalah proceeding nasional/internasional (57), diantaranya 8
buah proceeding internasional, disusul prototipe (15) dan produk skala
laboratorium (12). Sedangkan output dalam bentuk paten terdaftar (3) dan paten
yang diterima (2) buah disain industri tidak ada sama sekali. Selanjutnya pada
tahun 2009, luaran terbesar adalah dalam bentuk jurnal nasional/internasional
sebanyak (36), diantaranya 7 buah jurnal internasional. Kemudian dilanjutkan
luaran dalam bentuk proceeding nasional/internasional (29), diantaranya 13 buah
proceeding internasional. Luaran dalam bentuk hanya 1 buah dalam bentuk
terdaftar. Sedangkan dalam bentuk disain industri 1 buah.
Produktivitas peneliti yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah
output setiap luaran dibagi jumlah peneliti utama yang mengembalikan kuesioner.
Hasil dari produktivitasnya terlihat pada setiap tahunnya bervariasi. Pada tahun
2008 produktivitas yang tertinggi adalah proceding nasional/internasional (1,12),
yang artinya dalam 100 peneliti utama kompetitif mampu menghasilkan proceding
nasional/internasional sejumlah 112 buah. Selanjutnya produktivitas yang
terkecil adalah paten diterima hanya sebesar 0,04, yang artinya dalam seratus
peneliti utama kompetitif hanya mampu menghasilkan 4 paten diterima.
29
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
30
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
output kegiatan penelitian yang dihasilkan dalam bentuk buku, jurnal ilmiah,
prosiding pertemuan ilmiah, dan HKI. Kegiatan biodiversitas, distribusi, dan
kelimpahan ikan sidat tropis serta kaitannya dengan kondisi lingkungan
merupakan kegiatan yang paling diunggulan berdasarkan kriteria yang telah
disebutkan diatas. Kegiatan ini selama tahun 2008-2009 telah menghasilkan 10
buah jurnal ilmiah internasional, lima buah jurnal ilmiah nasional, empat buah
prosiding internasional, dan enam buah prosiding nasional.
31
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
KESIMPULAN
1. Perlu adanya alokasi dana yang dikhususkan untuk kegiatan diseminasi
hasil litbang yang dinilai layak diterapkan di masyarakat.
2. Penggabungan beberapa sub program hendaknya didasari pada kebutuhan
untuk menjawab permasalahan aktual baik tingkat daerah, nasional,
maupun sektor dengan melibatkan stakeholder terkait.
3. Pada program kompetitif yang lebih diarahkan untuk menghasilkan produk
yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh pengguna baik tingkat
nasional maupun daerah ternyata masih sedikit yang menghasilkan produk
komersial.
4. Pada Tujuan Sosial Ekonomi (TSE), hasil kegiatan litbang kompetitif juga
menaruh perhatian pada permasalahan yang berkaitan dengan bidang
lingkungan, industri, peternakan, dan sumberdaya alam.
5. Secara umum, kegiatan litbang kompetitif lebih mengarah kepada
pengembangan dan penemuan baru ilmu pengetahuan sesuai dengan sub
program masing-masing. Sedangkan yang mengarah kepada penggunaan
produk hasil litbang masih terbatas.
6. Perlu adanya Satker yang berfungsi untuk mengevaluasi dan
menindaklanjuti hasil litbang kompetitif yang layak untuk dimanfaatkan
oleh masyarakat.
7. Dalam perumusan proposal dan pelaksanaan penelitian perlu melibatkan
pihak pengguna dari awal agar hasil litbang benar-benar dapat
dimanfaatkan dan tidak hanya mengarah kepada pengembangan ilmu
pengetahuan saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 2004. Psikologi Terapan: Mengupas Dinamika Kehidupan Umat Manusia.
Yogyakarta: Darussalam.
Johnson, R.A & Wechern, D.W. 1992. Applied Multivariate Statistical Analysis. Third
Edition. New Jersey: Prentice Hall. Englewood Cliffs.
Ivankova N.V., John W.Creswell. & Sheldon L.Stick. 2006. Using Mixed Methods
Sequential Explanatory Design. Field Methods, Vol.18 No.1, February 2006.
(3-20)
32
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
------------. 2009. Panduan Penyusunan dan Seleksi Proposal Program Kompetitif LIPI
Tahun 2010. LIPI. Jakarta.
33
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Budi Triyono, Chichi Shintia Laksani, Indri Juwita Asmara, Tri Agus
ABSTRAK
Pada saat ini LIPI memiliki berbagai skema pendanaan penelitian, baik yang
berasal dari LIPI sendiri maupun dari instansi pemerintah lainnya.
Banyaknya skema pendanaan penelitian tersebut dapat berdampak pada
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia di satu
pihak, dan menyebabkan beban kerja peneliti yang berlebih di pihak lain
serta tidak meratanya alokasi pendanaan kegiatan penelitian. Oleh sebab itu,
studi ini memetakan kompetensi peneliti, distribusi peneliti dan beban
kerjanya, serta alokasi pendanaan kegiatan penelitian LIPI. Hasil studi
menunjukkan bahwa peneliti LIPI masih didominasi oleh peneliti yang
berpendidikan S1 dengan mayoritas jenjang fungsional sebagai peneliti
madya. Sayangnya, kinerja peneliti LIPI yang diindikasikan dari jumlah
publikasi dan sitasi di tingkat nasional dan internasional tergolong masih
rendah. Sementara itu, pemetaan terhadap beban kerja peneliti LIPI
menunjukkan bahwa pada tahun 2009 terdapat peneliti LIPI yang memiliki
beban kerja lebih dua kegiatan penelitian untuk skema DIPA, Kompetitif, dan
Iptekda. Namun demikian, terdapat juga peneliti LIPI yang tidak terlibat
dalam kegiatan penelitian baik pada DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda. Hasil
analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa banyak peneliti yang aktif dalam
kegiatan penelitian ternyata tidak mampu menghasilkan cukup banyak
publikasi dan sitasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu,
hasil analisis juga menunjukkan bahwa kelompok peneliti berkinerja baik
dengan publikasi dan sitasi yang banyak justru merupakan peneliti yang
tergolong kurang aktif dalam keikutsertaaanya di kegiatan penelitian baik
DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda. Artinya, para peneliti yang berkinerja
baik tersebut mampu menghasilkan publikasi dan sitasi yang banyak hanya
dari sedikit kegiatan penelitian yang diikutinya. Hasil identifikasi alokasi
pendanaan kegiatan penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi jumlah
pendanaan kegiatan penelitian tematik antar satker di LIPI. Sampai saat ini
juga belum ada ukuran yang dapat dijadikan sebagai standar yang mengikat
berapa rupiah seharusnya suatu kegiatan penelitian harus dibiayai.
Kata Kunci: pendanaan, peneliti LIPI
34
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PENDAHULUAN
Pada saat ini LIPI memiliki berbagai skema pendanaan penelitian, baik yang
berasal dari LIPI sendiri maupun dari instansi pemerintah lainnya. Salah satu
sumber pendanaan utama kegiatan penelitian LIPI adalah DIPA LIPI seperti
pendanaan penelitian untuk program tematik dan kompetitif. Selain itu, terdapat
pula skema pendanaan dari instansi pemerintah lainnya seperti dari DIPA
Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) berupa instentif riset dan DIPA
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Depdiknas. Program tematik
LIPI dimaksudkan sebagai program untuk meningkatkan kompetensi pusat
penelitian dan peneliti LIPI pada pusat penelitian tersebut. Sedangkan skema
pendanaan bagi program kompetitif riset LIPI bersifat kompetitif. Demikian pula
dengan program insentif ristek. Dalam skema seperti ini peneliti harus
mengajukan proposal penelitian dan akan melalui serangkaian proses seleksi
sebelum dinyatakan dapat dibiayai atau tidak. Sedangkan bantuan dana penelitian
dari Dirjen Dikti memiliki skema yang hampir sama dengan program tematik,
hanya pada skema ini setiap peneliti diberi kuota penelitian sebesar Rp 50 juta
rupiah.
Banyaknya skema pendanaan penelitian di atas, tentu merupakan hal yang
positif dalam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
di Indonesia. Dengan demikian, para peneliti akan terangsang untuk berlomba
mengajukan proposal penelitian untuk memperoleh pembiayaan bagi kegiatan
litbangnya. Kondisi ini tentu saja akan mendorong semakin banyaknya kegiatan
penelitian. Hal ini tentu saja berimplikasi positif bagi perkembangan iptek di
Indonesia. Dengan semakin banyaknya kegiatan penelitian yang dilakukan, maka
output yang dihasilkan oleh peneliti pun akan meningkat dan pada akhirnya akan
meningkatkan pula kinerja pusat penelitian di mana peneliti tersebut berada.
Namun demikian, di lain pihak banyaknya skema seperti ini dapat
mendorong pada beban kerja yang berlebih pada para peneliti serta tidak
meratanya alokasi pendanaan kegiatan penelitian. Apabila hal ini terjadi, maka
justru akan memberi dampat negatif bagi peneliti dan puslit bersangkutan. Oleh
sebab itu, diperlukan adanya kebijakan dari pihak LIPI untuk mengatur mobilisasi
para peneliti yang mencakup distribusi para peneliti LIPI di kegiatan penelitian
beserta beban kerja dan alokasi pendanaannya. Terkait dengan hal tersebut, maka
studi ini memetakan distribusi peneliti dan beban kerjanya, kompetensi peneliti
serta alokasi pendanaan kegiatan penelitian LIPI. Hasil dari studi ini diharapkan
dapat menjadi rekomendasi bagi pihak LIPI untuk menentukan mobilisasi para
peneliti LIPI beserta alokasi pendanaannya.
KERANGKA BERPIKIR
Guna mengidentifikasi kompetensi dan kinerja peneliti LIPI yang
merupakan salah satu dari tujuan studi, maka studi ini akan menggunakan
pendekatan Avital dan Collopy (2001), tetapi disesuaikan dengan karakteristik
LIPI sebagai objek penelitian yang merupakan lembaga penelitian murni atau
bukan universitas. Selain itu, penyesuaian juga akan dilakukan berkaitan dengan
alasan teknis dan akses data. Oleh karena itu, studi ini tidak akan menggunakan
35
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
seluruh indikator yang terdapat pada pendekatan studi evaluatif dan ekplanatif
seperti yang dikemukakan oleh Avital dan Collopy (2001).
Dalam penelitian ini, kompetensi para peneliti LIPI akan diidentifikasi
melalui tingkat pendidikan, jabatan fungsional, dan bidang kepakarannya. Guna
memperdalam analisa, maka identifikasi terhadap kompetensi peneliti juga
dilakukan dengan mengidentifikasi kinerja peneliti LIPI melalui variabel yang
telah dikembangkan oleh Avital dan Collopy (2001) yaitu hasil riset dan
pengaruhnya. Hasil riset peneliti LIPI akan diidentifikasi melalui jumlah publikasi
ilmiah internasional maupun nasional. Data jumlah publikasi ilmiah internasional
baik dalam publikasi jurnal internasional dan conference paper diperoleh melalui
SCOPUS. Sedangkan untuk menjaring data publikasi nasional, penelitian ini
menggunakan data pada Googleschoolar yang telah memperhitungkan publikasi
ilmiah internasional dan nasional. Sementara itu, variabel pengaruh dari hasil
penelitian diindikasikan dari jumlah sitasi dari publikasi yang dihasilkan oleh
peneliti. Data sitasi ini pun diperoleh dari SCOPUS dan Googleschoolar.
Guna memperdalam analisa, studi ini menggunakan analisis kluster. Pada
studi ini, analisis kluster digunakan dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok
peneliti berdasarkan pada kinerja dan banyaknya kegiatan penelitian yang
dilakukan. Kemudian hasil analisis kluster ini dintepretasikan berdasarkan
kompetensi peneliti seperti tingkat pendidikan dan jabatan fungsional.
METODE
Guna mencapai tujuan akhir yang ingin dicapai, penelitian ini dilakukan
dalam tiga tahapan seperti yang diperlihatkan Gambar 1. Uraian dari setiap
tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
Tahap 1: Pemetaan distribusi kompetensi peneliti dan beban kerja
Tahap ini ditujukan untuk menjawab dua pertanyaan pertama penelitian ini.
Untuk pemetaan kompetensi peneliti diperlukan adanya data berupa tingkat
pendidikan, jabatan fungsional, serta bidang kepakaran para peneliti. Data
tersebut diperoleh melalui penelusuran database di Biro Kepegawaian LIPI.
Kompetensi peneliti LIPI juga akan diidentifikasi melalui kinerjanya dalam
melakukan kegiatan penelitian. Analisis kinerja ini akan menggunakan konsep
Avital dan Collopy (2001) dimana kinerja diidentifikasi melalui jumlah
publikasi dan sitasi. Data tersebut diperoleh melalui Scopus dan
Googleshoolars.
Pada tahap pemetaan beban kerja peneliti, data yang dibutuhkan berupa data
kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti. Pada tahap
pemetaan beban kerja peneliti ini menggunakan data sekunder dari Biro
Kepegawaian dan BPK LIPI berupa data umum mengenai jumlah peneliti serta
berbagai kegiatan penelitian yang diikutinya (baik DIPA, Kompetitif, maupun
Iptekda) serta posisinya dalam tim penelitian.
Guna memperdalam analisa maka pemetaan terhadap kompetensi dan beban
kerja dilengkapi dengan analisis kluster. Analisis ini ditujukan untuk
36
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Tahap 2: Analisis tabulasi silang (cross tab) antara kompetensi peneliti dengan
beban kerja
Tahap kedua ini akan fokus untuk menganalisis apakah beban kerja para
peneliti LIPI telah sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Analisis cross
tab yang dilakukan akan menggunakan data yang telah diperoleh pada tahap
pertama khususnya hasil analisis kluster pada kompetensi dan beban kerja
peneliti.
TAHAP 1 TAHAP 1
Pemetaan distribusi Pemetaan kompetensi
beban kerja peneliti peneliti
TAHAP 2
Analisis Cross Tab antara kompetensi
peneliti dengan beban kerjanya
TAHAP 3
Identifikasi alokasi pendanaan riset
HASIL
Rekomendasi kebijakan mobilisasi peneliti: terkait
dengan penentuan beban kerja dan alokasi
pendanaan riset bagi peneliti
37
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
38
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Analisis kluster terhadap kinerja peneliti (publikasi dan sitasi) yang diperlihatkan
Tabel 1 menunjukkan bahwa peneliti yang tergolong memiliki publikasi dan sitasi
yang tinggi (kluster 3 dan 4) hanya sebesar 2.56% dari 1249 peneliti. Sedangkan
sebagian besar peneliti (90.39%) LIPI mempunyai publikasi dan sitasi yang
rendah.
39
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
40
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
tersebut, 40% dari penelitinya memiliki kegiatan penelitian lebih dari dua. Hasil
identifikasi juga menunjukkan bahwa peneliti yang memiliki beban kerja tinggi
(lebih dari dua kegiatan penelitian) didominasi oleh para peneliti yang
berpendidikan S3 dan berjenjang fungsional peneliti madya. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa peneliti yang memiliki beban kerja tinggi adalah peneliti
senior (peneliti dengan jenjang pendidikan dan fungsional yang tinggi).
Guna memetakan beban kerja para peneliti LIPI, maka dilakukan juga
identifikasi terhadap para peneliti LIPI yang tidak mengikuti kegiatan penelitian
apapun baik DIPA, Kompetitif maupun Iptekda. Hasil identifikasi menunjukkan
bahwa terdapat 31% peneliti LIPI yang tidak terlibat dari kegiatan penelitian. Hasil
identifikasi memperlihatkan bahwa banyak unit kerja yang para penelitinya tidak
terlibat dalam kegiatan penelitian. Persentase peneliti yang tidak terlibat kegiatan
penelitian di setiap unit kerjanya juga tergolong tinggi dimana mayoritas di atas
angka 20%. Bahkan pada UPT Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karang
Sambung, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya "Eka Karya" Bali , UPT
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, dan UPT Loka Uji Teknik
Penambangan dan Mitigasi, Bencana Liwa, Lampung Barat LIPI separuh atau lebih
penelitinya tidak terlibat dalam kegiatan penelitian baik DIPA, Kompetitif maupun
Iptekda. Sementara itu, hasil identifikasi juga menunjukkan bahwa lebih dari
separuh (52%) peneliti yang tidak terlibat dalam kegiatan penelitian merupakan
peneliti berpendidikan S1. Sedangkan bila dilihat dari jabatan fungsionalnya,
komposisi peneliti yang tidak terlibat dalam kegiatan penelitian mempunyai
komposisi yang hampir sama antara peneliti pertama, peneliti muda, peneliti
madya, dan peneliti utama. Namun demikian, hasil identifikasi menunjukkan
bahwa mayoritas peneliti yang tidak terlibat dalam penelitian merupakan peneliti
pertama. Kondisi ini mengindikasikan bahwa peneliti-peneliti yunior yaitu peneliti
dengan jenjang pendidikan dan fungsional yang lebih rendah merupakan peneliti
yang cenderung tidak terlibat dalam kegiatan penelitian.
Beban kerja peneliti LIPI juga diidentifikasi melalui mobilitas peneliti dalam
melakukan kegiatan penelitian. Mobilitas peneliti ini diidentifikasi melalui
keikutsertaannya dalam kegiatan penelitian di unit kerja lain. Pada kegiatan
penelitian di LIPI, keikutsertaan seorang peneliti di kegiatan penelitian unit kerja
lain hanya dimungkinkan pada skema kegiatan penelitian Kompetitif dan Iptekda
yang mengakomodasi terjadinya penelitian lintas unit kerja. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa terdapat 39 peneliti yang melakukan penelitian lintas unit
kerja pada kegiatan Kompetitif. Peneliti pada unit kerja Pusat Penelitian Kimia,
Pusal Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, serta Pusat Penelitian Ekonomi
merupakan unit kerja dengan jumlah peneliti yang melakukan penelitian lintas
unit kerja terbanyak. Hasil identifikasi juga menunjukkan bahwa pada kegiatan
Iptekda tahun 2009 hanya terdapat 9 peneliti yang melakukan kegiatan lintas unit
kerja. Kesembilan peneliti tersebut berasal dari tiga unit kerja yaitu UPT LKBL
Bitung, UPT LKBL Ambon, dan Pusat Penelitian KIM.
Guna melengkapi pemetaan terhadap beban kerja peneliti LIPI, maka
dilakukan analisa kluster yang ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok-
kelompok peneliti berdasarkan beban kerjanya. Analisis kluster ini dilakukan
untuk periode dua tahun terakhir yaitu tahun 2008 dan 2009 dengan
41
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Karakteristik Peneliti yang Peneltii yang Peneliti yang Peneliti yang Data
kluster aktif dalam kurang aktif kurang aktif aktif dalam tidak
kegiatan terlibat dalam terlibat dalam kegiatan tersedia
penelitian kegiatan kegiatan penelitian
DIPA (baik penelitian penelitian kompetitif
sebagai (sedikit aktif (sedikit aktif (baik sebagai
koordinator hanya dalam hanya dalam koordinator
maupun kegiatan kegiatan maupun
anggota) dan Iptekda) DIPA) anggota)
sebagai
koordinator
Iptekda
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar peneliti LIPI (452 peneliti atau
36.19%) tergolong tidak banyak terlibat dalam kegiatan penelitian (kluster 2 dan
3). Sementara itu, peneliti yang tergolong aktif dalam kegiatan DIPA dan Iptekda
(kluster 1) sebanyak 111 peneliti atau 8.89%. Sedangkan yang tergolong aktif
dalam kegiatan Kompetitif (kluster 4) sebanyak 50 peneliti atau 4%.
Setelah melakukan pemetaan terhadap kompetensi dan beban kerja para
peneliti LIPI, maka langkah penting selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan
tabulasi silang antara kedua variabel tersebut yang didasari pada hasil analisis
kluster yang telah dilakukan. Langkah ini menjadi penting sebagai bagian dari
evaluasi terhadap para peneliti LIPI, apakah para peneliti yang telah banyak
mengikuti kegiatan memeliki kompetensi yang lebih tinggi yang dapat dilihat dari
kinerjanya yang baik. Hasil analisis tabulasi silang yang diperlihatkan Tabel 2
menunjukkan beberapa hal yang cukup menarik untuk diperhatikan. Pertama,
meskipun para peneliti yang tergolong kurang atau bahkan tidak aktif dalam
melakukan kegiatan penelitian (kluster 2 dan 3) berkontribusi paling besar
terhadap kelompok peneliti yang berkinerja buruk atau mempunyai publikasi dan
sitasi yang rendah (kluster 2), namun data juga menunjukkan bahwa peneliti yang
aktif dalam kegiatan penelitian (kluster 1 dan 4) juga banyak berkontribusi
terhadap kelompok peneliti berkinerja buruk (kluster 2). Artinya, banyak peneliti
42
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
peneliti yang aktif dalam kegiatan penelitian ternyata tidak mampu menghasilkan
cukup banyak publikasi dan sitasi baik di tingkat nasional maupun internasional.
Tabel 3. Tabulasi Silang Antara Kinerja dengan Beban Kerja Peneliti LIPI
kluster 1 kluster 2 kluster 3 kluster 4 Total
(aktif kompetitif)
Hal kedua yang juga cukup menarik untuk diperhatikan adalah kelompok
peneliti berkinerja baik (kluster 3 dan 4) dengan publikasi dan sitasi yang banyak
justru merupakan peneliti yang tergolong kurang aktif dalam keikutsertaaanya di
kegiatan penelitian baik DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda (kluster 2 dan 3).
Artinya, para peneliti yang berkinerja baik tersebut mampu menghasilkan
publikasi dan sitasi yang banyak hanya dari sedikit kegiatan penelitian yang
diikutinya.
43
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
44
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
45
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
peneliti LIPI merupakan peneiti madya. Dalam hal kepakaran, data menunjukkan
bahwa terdapat 126 kepakaran di berbagai bidang yang dimiliki para peniliti LIPI.
Sayangnya, kinerja peneliti LIPI yang diindikasikan dari jumlah publikasi dan sitasi
di tingkat nasional dan internasional tergolong masih rendah. Hasil analisis kluster
menunjukkan bahwa hanya 2.56 % peneliti yang termasuk dalam kelompok
peneliti dengan publikasi dan sitasi yang tinggi.
Sementara itu, pemetaan terhadap beban kerja peneliti LIPI juga
menemukan beberapa hal yang menarik. Hasil identifikasi terhadap beban kerja
peneliti menunjukkan bahwa pada tahun 2009 terdapat peneliti LIPI yang
memiliki beban kerja lebih dari satu kegiatan pada penelitian DIPA dan kompetitif.
Bahkan, terdapat pula peneliti yang memiliki beban kerja lebih dari dua kegiatan
penelitian untuk skema DIPA, Kompetitif, dan Iptekda. Namun demikian, terdapat
31% peneliti LIPI yang tidak terlibat dalam kegiatan penelitian baik pada DIPA,
Kompetitif, maupun Iptekda. Hasil analisis kluster menunjukkan bahwa sebagian
besar peneliti LIPI (36.19%) tergolong tidak banyak terlibat dalam kegiatan
penelitian. Sementara itu, peneliti yang tergolong aktif dalam kegiatan DIPA
sebanyak 8.89%, sedangkan yang tergolong aktif dalam kegiatan kompetitif
sebanyak 4 persen.
Guna melakukan evaluasi terhadap kompetensi dan beban kerja peneliti,
maka penelitian ini telah melakukan analisis tabulasi silang antara kompetensi
peneliti (khususnya kinerja peneliti) dengan beban kerja peneliti. Hasil analisis
tabulasi silang menunjukkan bahwa banyak peneliti yang aktif dalam kegiatan
penelitian ternyata tidak mampu menghasilkan cukup banyak publikasi dan sitasi
baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, hasil analisis juga
menunjukkan bahwa kelompok peneliti berkinerja baik dengan publikasi dan
sitasi yang banyak justru merupakan peneliti yang tergolong kurang aktif dalam
keikutsertaaanya di kegiatan penelitian baik DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda.
Artinya, para peneliti yang berkinerja baik tersebut mampu menghasilkan
publikasi dan sitasi yang banyak hanya dari sedikit kegiatan penelitian yang
diikutinya.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa beban kerja atau
keaktifan yang semakin tinggi dari seorang peneliti LIPI dalam mengikuti berbagai
skema kegiatan penelitian belum tentu mendorong peneliti tersebut untuk mampu
menghasilkan publikasi dan sitasi yang lebih banyak. Padahal, dengan semakin
banyaknya kegiatan penelitian yang diikuti, maka peneliti tersebut seharusnya
juga mampu menghasilkan publikasi dan sitasi yang lebih banyak sehingga pada
akhirnya mampu mendorong perkembangan iptek.
Dalam hal alokasi pendanaan kegiatan penelitian, hasil identifikasi
menunjukkan bahwa terdapat variasi jumlah pendanaan kegiatan penelitian
tematik antar setker di LIPI dan sampai saat ini belum ada ukuran yang dapat
dijadikan sebagai standar yang mengikat berapa rupiah seharusnya suatu kegiatan
penelitian harus dibiayai.
2. Saran
Dalam hal kompetensi, pihak LIPI harus berupaya untuk meningkatkan
kompetensi para penelitinya terutama dalam hal tingkat pendidikan dan
46
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
47
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Paten merupakan sebuah hak esklusif untuk memanfaatkan (membuat,
menggunakan, menjual) hasil invensi dalam jangka waktu tertentu, dalam lingkup
dimana paten tersebut didaftarkan. Hak paten diberikan untuk sebuah penemuan
48
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
yang memenuhi persyaratan asli (novelty), bersifat baru atau inventif (non-
obviousness) dan berpotensi membangkitkan nilai ekonomi dan kemanfaatan bagi
masyarakat (usefulness). Selain hak monopoli terbatas berupa paten, di atas, OECD
(2004) menyebutkan beberapa jenis hak-hak mopoli terbatas yang lain yang pada
umumnya diperuntukkan untuk benda-benda tak berwujud (intangible asset),
seperti halnya hak cipta (copyright), merek dagang (trademark), dan perlindungan
disain produk (design protection).
Dewasa ini pengakuan hak kekayaan intelektual (HKI) mendapat perhatian
besar selaras dengan proses perdagangan bebas. Pentingnya pengakuan HKI ini
terkait dengan perlindungan terhadap produk-produk perdagangan dari berbagai
pola imitasi, pemalsuan produk, dsb. Era perdagangan bebas tersebut melibatkan
berbagai aspek hukum perdagangan nasional yang harus disepakati oleh semua
negara yang terlibat di dalamnya. Masuknya Indonesia dalam keanggotaan
organisasi WTO (World Trade Organization) pada tahun 1994 membawa
konsekuensi bahwa Indonesia ikut menyepakati produk yang dihasilkan oleh WTO
yang salah satunya berupa Perjanjian Umum TRIPs (Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights). TRIPs dideklarasikan di Marakesh, Maroko, pada
tanggal 14 April 1994. TRIPs merupakan hasil dari Putaran Uruguay sejak 1986.
TRIPs ini memuat aspek-aspek dagang dan HKI yang harus ditaati oleh setiap
negara anggota WTO.
Pemberlakuan TRIPs dan era perdagangan bebas ASEAN China Free Trade
Area (ACFTA) tentunya akan memberikan dampak munculnya hambatan-
hambatan di sektor industri dalam negeri. Produk-produk industri dalam negeri
dihadapkan pada persaingan bebas. Produk-produk dalam yang bersaing di pasar
bebas akan berhadapan dengan berbagai standar dari badan-badan perdagangan
internasional. Akibat terburuk adalah produk-produk dalam negeri yang dianggap
merupakan produk imitasi dan melanggar HKI. Bila hal ini terjadi, maka akan
terjadi fenomena larangan masuk produk-produk industri Indonesia ke pasar
internasional serta kewajiban untuk melakukan pembayaran royalti ke pihak-
pihak yang memiliki klaim paten terhadap produk yang bersangkutan.
Tabel 1.
Jumlah Permohonan Paten Berdasarkan Periodisasi Undang-Undang Paten
49
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
50
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
negatif paten terhadap kompetisi dan aktivitas teknologi, studi ini mengkaji dan
mensintesiskan bagaimana kebijakan paten dalam mendorong bekerjanya SIN di
Indonesia. Kebijakan paten lebih tepat ditempatkan sebagai sebuah kebijakan
untuk mendorong aktivitas inovasi. Sebagaimana pemikiran dari ahli-ahli ekonomi
dewasa ini bahwa paten dapat dimanfaatkan sebagai sebuah instrumen kebijakan
untuk mendorong inovasi di level mikro. Hal ini mengimplikasikan bahwa
kebijakan paten ini akan bersifat komplementer dengan instrumen-instrumen
kebijakan yang lain seperti hibah, berbagai bentuk mekanisme subsidi dan
berbagai aktivitas kebijakan publik untuk mendorong aktivitas litbang.
Menempatkan kebijakan paten untuk mendorong aktivitas inovasi dengan
kerangka SIN diharapkan mampu memberikan hasil kajian pemanfaatan kebijakan
paten yang efektif dalam mendorong aktivitas inovasi di Indonesia.
Berbagai pertanyaan muncul terkait dengan kinerja paten di Indonesia dan
terkait dengan kebijakan paten sebagai sebuah bentuk kebijakan dalam
mendorong inovasi. Mengapa pelaksanaan kebijakan paten belum berhasil
meningkatkan aktivitas inovasi di Indonesia? Bagaimana elemen-elemen SIN di
skala mikro mensikapi kebijakan paten terkait dengan aktivitas litbang dan inovasi
yang dilakukan?
KERANGKA ANALISIS
Kebijakan Paten
Inovasi
Jumlah Paten
Makro Mikro
Kebijakan Pemerintah
UU Paten:
Patent Subject Mater
Patenting Requirement Respon Elemen SIN
The Breadth of Patent Lembaga Litbang
Perguruan Tinggi
Industri
Intervening Variabels:
Innovation is central to business strategy
Globalisation of innovation processes
New technology-based firms play an
important role
Greater collaboration
51
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
METODOLOGI
Guna mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan, maka penelitian ini akan
dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah melakukan analisa terhadap
kebijakan paten di Indonesia, dan tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi
motif elemen SIN (lembaga litbang, perguruan tinggi, dan industri) dalam
mengapresiasi pemanfaatan paten dalam mendorong inovasi. Penjelasan tahapan
penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut (Gambar 2):
1) Tahap pertama, analisa kebijakan paten di Indonesia. Penelitian akan
diawali dengan melakukan analisa terhadap kebijakan paten di Indonesia.
Tahap ini ditujukan untuk menjawab tujuan pertama penelitian. Analisa
52
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
TAHAP 2
TAHAP 1: IDENTIFIKASI MOTIF ELEMEN SIN DALAM
ANALISA KEBIJAKAN PATEN DI INDONESIA MENGAPRESIASI PEMANFAATAN PATEN DALAM
MENDORONG INOVASI
Analisa komparasi antar
Kajian literatur Analisa komparasi antara
negara Studi kasus di lembaga
lembaga litbang,
litbang, perguruan tinggi,
perguruan tinggi, dan
dan industri
industri
PEMBAHASAN
Paten dan Aktivitas Inovasi di Industri Manufaktur di Indonesia
Terkait dengan hubungan aktivitas inovasi dan paten yang dihasilkan, suvei
inovasi dilakukan Pappiptek di tahun 2009 terhadap 1500 industri manufaktur
berskala menengah dan besar yang mempunyai satu atau lebih produk inovatif
dalam bentuk inovasi produk atau inovasi proses. Beberapa bagian dari hasil
survey tersebut antara lain ditunjukan dalam Gambar 1. Dari perusahaan yang di
survei, 78,99% perusahaan memiliki mekanisme perlindungan terhadap aktivitas
dan produk inovasi yang dihasilkan, dan 21.01% perusahaan menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki ataupun menerapkan mekanisme perlindungan terhadap
aktivitas inovasi yang dilakukan. Hasil ini survey ini menunjukkan bahwa sebagian
perusahaan yang disurvei memahami berbagai bentuk instrument perlindungan
terhadap aktivitas inovasi.
54
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
55
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
56
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PENUTUP
Terlepas dari masih rendahnya permohonan paten di Indonesia,
perkembangan UU Paten di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia
memahami pentingnya paten dan kebijakan paten dalam mendukung aktivitas
ekonomi modern. UU paten di Indonesia sudah mengacu pada prinsip-prinsip
pengakuan IPR. Kekurangan memang masih dirasakan pada elemen Patenting
Requirement dimana proses permohonan paten seringkali dirasakan memakan
waktu. Kebijakan paten di Indonesia juga masih dihadapkan dengan kebijakan lain
yang kontradiktif seperti kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
57
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
58
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
Aiman, S., Hakim, L., & Simamora, M. (April, 2004). National System Innovation of
Indonesia: Journey and Challenges, the first ASIALIC International Conference
on Innovation System and Cluster, Bangkok.
[http://www.nstda.or.th/nstc/Seminar/paper/pdf/ paper_ Syahrul%
20Aimana.pdf]
Encaoua, D., D. Guellec and C. Martinez (2003), The Economics of Patents: From
Natural Rights to Policy Instruments, Cahiers de la MSE, Collection EUREQua
(2003.124).
Levin, R., Klevorik, A., Nelson, R.R. and Winter, S. (1987) Appropriating the Returns
from Industrial Research and Development. Brookings Paper on Economic
Activity, 19(2), 783-831.
OECD (2004) Patents and Innovation: Trends and Policy Challenges, Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD).
Pavitt, K. (1984) Sectoral Patterns of Technical Change: Towards a Taxonomy and
a Theory. Research Policy, 13(6), 343375.
Porter, M. (1990) The Competitive Advantage of Nations, New York, Free Press.
Rosenberg, N. (1976) Perspectives on Technology. Cambridge University Press.
Rosenberg, N. (1982) Inside the Black Box: Technology and Economics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Schumpeter, J. A. (1950). Capitalism, Socialism and Democracy. 3rd ed. New. York:
Harper. Shimp, T. A. 1991
Solow, R.M., (1957) Technical Change and the Aggregate Production Function. The
Review of Economics and Statistics, Vol. 39, No. 3. (Aug., 1957), pp. 312-320.
59
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ABSTRAK
60
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PENDAHULUAN
Gula tebu merupakan salah satu komoditas strategis pangan di Indonesia
dan telah diakui sebagai kategori komoditas khusus di perundingan WTO
bersama-sama dengan beras, jagung dan kedelai (Arifin 2008). Gula merupakan
sumber energi kedua tertinggi bagi rumah tangga di Indonesia setelah beras
(Rusastra et al. 2008). Seiring dengan kemajuan industri gula nasional dan
kebutuhan gula yang semakin tinggi, pemerintah telah menetapkan berbagai
target terkait upaya mencapai swasembada gula pada tahun 2010. Pemerintah
berusaha menerapkan kebijakan yang sangat protektif terhadap produsen gula
nasional, meskipun (berdasarkan data tertentu) kinerja industri ini diakui relatif
masih rendah. Lebih jauh, industri gula tebu nasional belum efisien dan belum
mampu bersaing dengan para pesaingnya dari negara produsen lainnya di dunia
(Indraningsih & Malian, 2007). Sementara itu kebutuhan gula tebu baik untuk
konsumsi rumah tangga maupun industri makanan dan minuman terus meningkat
dari tahun ke tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan
pendapatan. Ketimpangan antara konsumsi dan kemampuan produksi gula
nasional telah mendorong peningkatan impor gula. Semakin tingginya
ketergantungan pada impor, pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas
pangan dalam negeri.
61
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan industri gula di Indonesia berawal dari masa kolonialisme
Belanda. Pada masa itu gula pasir menjadi salah satu produk unggulan ekspor yang
sangat penting bagi Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda, industri gula
Indonesia mengalami masa kejayaan yaitu pada tahun 1930 dengan jumlah pabrik
gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik, produktivitas sekitar 14.80% dan
rendemen 11-13.80%. Kejayaan industri gula pada masa itu dipengaruhi oleh
kuatnya kontrol kekuasaan. Perkebunan tebu pada masa itu dikembangkan di
lahan sawah penduduk dengan sistim sewa yang ditentukan penjajah Belanda.
Sistim tanam paksa diterapkan untuk mendukung aktivitas perkebunan serta
dilakukan sistim prioritas dan pemanfaatan sistim irigasi untuk perkebunan tebu.
Simatupang et al. (1999) dan Soentoro et al 1999) menyebutkan kebijakan industri
dan perdagangan gula pada masa penjajahan Belanda dibagi dalam empat periode:
a) Periode 1830-1870 (tanam paksa); b) Periode 1870-1900 (Liberalisasi pasar);
c) Periode 1900-1930 (Pengembangan sistim sindikat), dan d) Periode 1931-1942
(Sistim kartel).
Perubahan masa kolonialisme dari Belanda ke Jepang pada tahun 1942
berdampak buruk terhadap turunnya aktivitas industri gula di Indonesia. Pabrik-
pabrik gula yang didirikan oleh penjajah Belanda mengalami kehancuran sebagai
akibat dari berubahnya orientasi ekonomi penjajah Jepang. Akibat negatif lebih
jauh yang ditimbulkan yaitu turunnya gula sebagai komoditas ekspor unggulan
Indonesia. Setelah masa kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada berbagai
masalah untuk merehabilitasi industri gula nasional.
Setelah masa kemerdekaan, kebijakan industri dan perdagangan gula di
Indonesia terbagi dalam dua periode besar (Simatupang et al, 1999, & Soentoro et
al 1999) yaitu (a) Periode 1945-1965 terdiri dari periode Nasionalisasi Industri
Gula Nasional (1945-1959) dan sistim ekonomi terpimpin (1959-1965) dan (b)
periode 1966-sekarang, terdiri dari Liberasi pemasaran (1966-1971), stabilisasi
(1972-1997), Adaptasi terhadap Sistim Perdagangan Bebas (1993-2001); dan
pengendalian impor (2002-sekarang). Tahap pertama periodisasi kebijakan
industri gula menggambarkan kebijakan pemerintah untuk mengembalikan status
dan sistim industri gula dari yang pada awalnya merupakan kepentingan asing,
Belanda dalam hal ini, ke industri nasional. Nasionalisasi perusahan-perusahaan
gula yang sudah ada dan berbagai penyesuaian sistim industri gula dilakukan
untuk membangkitkan kembali industri gula Indonesia. Periode kebijakan gula
tahap dua cenderung terkait dengan penyesuaian-penyesuan terkait dengan pasar
dan stabilisasi pasar. Periodisasi kebijakan tahap dua ini lebih mencerminkan
penyesuaian terkait dengan kondisi dan kemampuan industri gula nasional yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Kebijakan-kebijakan
industri gula tahap dua ini dilakukan dengan melibatkan faktor pasar internasional
terkait dengan kendala di industri gula nasional.
Studi tentang gula di Indonesia baik dari aspek ekonomi, teknis maupun
kebijakan telah banyak dilakukan. Dwiandary (2009), Siagian (1999), Abidin
(2000), Susila dan Sinaga (2005), Hadi dan Nuryanti (2005), Azahari (1983),
Ernawati (1997) dan Aryani (2009) melakukan studi gula menggunakan analisis
63
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
65
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Pola penyediaan gula di masa lampau dibagi ke dalam dua periode besar
yaitu pada masa penjajahan Belanda dan pada masa setelah kemerdekaan. .
Kebijakan industri gula berorientasi ekspor pada masa penjajahan Belanda
berpengaruh positif terhadap kemampuan industri gula masa itu dan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu produsen gula di dunia. Menurunnya kemampuan
industri gula Indonesia setelah masa kemerdekaan telah mengubah Indonesia
sebagai negara pengekspor gula menjadi negara pengimpor gula. Perubahan
orientasi kebijakan tersebut mengacu pada pentingnya penyediaan gula untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Permintaan gula dalam negeri cenderung meningkat seiring pertambahan
penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya angka konsumsi gula per
kapita ini diduga akan terus meningkat selaras dengan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Selain itu, hal ini akan berimbas terhadapterjadinya kenaikan harga
gula pada masa mendatang.
Interaksi penyediaan, permintaan dan harga gula tebu menjadi dasar untuk
menjelaskan ketidakstabilan dinamis penyediaan dan harga gula tebu.
Ketidakstabilan dinamis penyediaan dan harga gula tebu dimodelkan berkaitan
dengan siklus mekanisme pasar yang melibatkan penyediaan dan permintaan.
66
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Stok
+ -
+
-
-
+
Harga
+
Impor Stok
+ -
+
-
-
+ +
Harga
Inovasi teknologi
67
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
5,000 3
3
4,000 4
4
4 3 1
data stok (ribu ton)
3,000 3
2
stok (ribu ton)
4 3
3
data harga (Rp)
2,000 4
4
harga (Rp)
3
2 1
1,000 2 2 4 4
1 2 1 3 3
1 1 12 2
4 1 34 34 2
34 3 2
34 34 2 2 12 12 2
1 1 1 1 12
0
1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
tahun
Gambar 3 Keabsahan Model: Nilai Simulasi versus Data Aktual (tahun 1981-2009)
68
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ANALISIS KEBIJAKAN
Skenario Penyediaan dan Fluktuasi Harga Gula Tebu (Tahun 2010-2020)
Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternative kebijakan apa
yang tepat untuk menyelesaikan masalah penyediaan dan fluktuasi harga gula tebu
di Indonesia. Alternatif kebijakan yang mungkin dilakukan disimulasikan dengan
melakukan intervensi terhadap model gula. Simulasi dilakukan untuk mengetahui
perkiraan apa yang akan terjadi pada penyediaan dan fluktuasi harga gula tebu
bila dilakukan intervensi pada model dalam jangka waktu tahun 2010 2020.
Intervensi dilakukan dengan mengubah nilai parameter-parameter tertentu dalam
model.
Simulasi berdasarkan intervensi terhadap parameter model telah
menghasilkan tiga skenario utama berikut: (i) skenario normal, yaitu perpanjangan
keadaan sekarang di mana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang
di capai melalui impor dan tingkat harga gula tebu akan berfluktuasi dalam jangka
waktu ke depan; (ii) skenario membaik, yaitu intervensi sisi penyediaan gula tebu
dimana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang dicapai melalui
peningkatan produksi, dan tingkat harga berdasarkan produksi akan berfluktuasi
cenderung stabil; dan (iii) skenario terbaik, yaitu intervensi sisi penyediaan
dimana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang dicapai melalui
peningkatan produksi gula tebu serta inovasi teknologi, sehingga harga
bergantung pada peningkatan penyediaan yang akan stabil dalam jangka panjang.
Tiga skenario ini didukung oleh hasil simulasi di bawah ini. Beberapa
kemungkinan kejadian berkaitan dengan parameter efek harga terhadap produksi,
impor, faktor produktivitas lahan, faktor produktivitas pabrik dan variabel impor
ke depan, diperoleh dari simulasi intervensi model yang sudah divalidasi.
Intervensi telah dilakukan pada tahun 2010 terhadap parameter-parameter dan
variabel tersebut. Analisis skenario dilihat dengan perbandingan antara efek
intervensi dengan tanpa intervensi.
Skenario gula tebu tanpa intervensi adalah kecenderungan variabel
penyediaan, penyaluran dan harga pasar dengan angka parameter tetap yaitu nilai
parameter tahun terakhir (tahun 2009). Skenario penyediaan dan penyaluran gula
tebu tanpa intervensi ada dalam gambar di bawah ini.
69
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Gambar 4 Skenario penyediaan dan penyaluran gula tebu 2010 2020 (tanpa
intervensi)
70
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
71
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
72
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
produktivitas lahan dan impor atau peningkatan produktivitas lahan, pabrik dan
impor. jika skenario membaik ini berlaku maka tingkat harga berdasarkan
produksi akan berfluktuasi cenderung stabil.
Skenario terbaik (Gambar 5) dalam mendukung kestabilan penyediaan dan
harga adalah meningkatkan produktivitas lahan dan produktivitas pabrik. Kedua
langkah peningkatan produktivitas pabrik dan peningkatan produktivitas lahan
tidak dapat dipisahkan karena terkait satu sama lain. Peningkatan produktivitas
lahan tebu harus diikuti dengan peningkatan produktivitas pabrik gula, begitu pula
sebaliknya peningkatan produktivitas pabrik gula juga harus diikuti dengan
peningkatan produktivitas lahan tebu. Langkah-langkah peningkatan produktivitas
lahan ini relatif lebih rasional dalam kondisi keterbatasan lahan tebu di Indonesia.
Langkah-langkah semacam ini juga ditempuh Cina dalam pengembangan industri
gula mereka.
Langkah-langkah untuk memacu produktivitas lahan adalah diantaranya
dengan: (1) penggunaan varietas tebu unggul dan tahan terhadap perubahan iklim
yang ekstrim; (2) penggunaan sarana produksi yang ramah lingkungan; (3)
pengairan yang efektif; (4) teknologi pengolahan tanah yang efisien; (5) inovasi
teknologi pemanenan dan pengolahan tebu; (6) insentif anggaran terhadap
produsen tebu dalam mengadopsi teknologi unggul; (7) pendampingan bagi
produsen tebu dalam penerapan teknologi unggul; (8) dukungan riset yang handal
dalam pengembangan inovasi teknologi gula.
KESIMPULAN
Pasar gula Indonesia merupakan sistem yang kompleks, ditunjukkan oleh
interaksi antar unsur-unsurnya yakni sisi penyediaan, sisi permintaan, harga dan
parameter didalam struktur model. Faktor inovasi teknologi ada dalam kestabilan
harga gula melalui sisi penyediaan yakni faktor produktivitas lahan dan faktor
produktivitas pabrik dalam produksi gula lokal.
Beberapa hal yang signifikan menentukan ketidakstabilan penyediaan dan
permintaan gula di Indonesia adalah:
1) faktor produktivitas lahan
2) faktor produktivitas pabrik
Permasalahan produktivitas lahan dan produktivitas pabrik dalam struktur
pasar gula (mempengaruhi permintaan, penyediaan dan harga).
SARAN
Skenario terbaik adalah saat kestabilan harga dan stok gula tebu dalam
jangka panjang dapat dicapai melalui intervensi pada produktivitas lahan dan
produktivitas pabrik. Kebijakan peningkatan produktivitas pabrik dapat dilakukan
sama seperti pada skenario membaik berupa dukungan adopsi teknologi industri
gula nasional dan revitalisasi pabrik gula nasional. Kebijakan pengendalian stok
dengan tetap melakukan impor namun dengan kembali memfungsikan peran
Bulog yang akan memperhatikan produksi domestik dalam melakukan impor.
Namun peran Bulog disini bukan lagi sebagai badan yang memonopoli impor gula
73
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
namun sebagai penyeimbang kekuatan swasta maupun BUMN. Kebijakan ini perlu
didukung kebijakan kelembagaan seperti pencadangan lahan dan penguatan
kelompok produsen gula nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri
Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. Disertasi Doktor, Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Amang, B. 1993. Kebijaksanaan Pemasaran Gula di Indonesia. PT. Dharma Karsa
Utama, Jakarta
Aminullah & Fizzanty, 2009. Dinamika Penyediaan Kedelai:.Peran Penting
Iptek,LIPI Press, Jakarta.
Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Economic Review, No. 211.
Maret 2008.
Aryani, Desi. 2009. Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina dan
Indonesia. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Azahari, D,H.1983. Perdagangan Gula Internasional. Pusat Penelitian Agro
Ekonomi, Badan Litbang Pertanian Deptan, Bogor
Dwiandary, Asri. 2009. Analisis Ekonomi Gula Rafinasi Indonesia, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ernawati. 1997. Kajian Keragaan Gula Indonesia dan Simulasi Dampak Kebijakan
Liberalisasi Perdagangan Gula Dunia. Thesis S2, Program Pascasarjana, IPB,
Bogor
Hadi, P.U. & S. Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi
Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi vol. 23 no.1 Mei 2005: 82-99. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan LITBANG
Pertanian DEPTAN, Bogor
Khudori.2005. Gula Rasa Nasionalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula.
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta
Khumairoh, Lilik & Wirjodirdjo, Budisantoso. 2010. Analisis Keterkaitan Pelaku
Pergulaan Nasional: Suatu Penghampiran Model Dinamika Sistem. Jurusan
Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
Naingolan, Kaman. Makalah Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global:
http:www.agrimedia.mb.ipb.ac.id, (akses: 20 Oktober 2010)
Novitasari, Ratna & Wirjodirdjo, Budisantoso. 2010. Mampukah Kebijakan
Pergulaan Nasional Meningkatkan Perolehan Pendapatan Petani Tebu:
Sebuah Penghampiran Sistem. Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi
Sepuluh November Surabaya
74
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Rusastra, IW, Napitupulu, TA & Bourgeois, R 2008, The Impact of Support for
Imports on Food Security in Indonesia, United Nations ESCAP, Bogor,
Indonesia.
Siagian, V. 1999. Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia: Pendekatan
Fungsi Biaya Multi-Input Multi-Output. Thesis Magister pada PPS IPB
Simatupang et al. 1999.Gula dalam Kebijaksanaan Pangan Nasional: Analisis
Historis. Dalam M. Husein Sawit, dkk (penyunting) Ekonomi Gula di
Indonesia. Penerbit IPB. Bogor.
Soentoro et al. 1999. Usaha Tani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa. Dalam
Ekonomi Gula di Indonesia. Penerbit IPB, Bogor.
Susila, W dan B. Sinaga. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal
Agro Ekonomi Vol. 23 No.1, hlm 50-53. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian Deptan, Bogor.
Wayan R. Susila, dkk, 2001. Pengembangan Model Industri Gula Dengan
Pendekatan Model Ekonomi Politik. Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi & Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta . Laporan Riset
Unggulan Terpadu VIII Tahun 2001
75
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ABSTRAK
76
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PENDAHULUAN
Pengalaman negara maju mengajarkan bahwa lembaga litbang memiliki
peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu bangsa. Telah cukup banyak
kajian yang berupaya mengkaji bagaimana pengetahuan tersebut ditransfer ke
pihak pengguna, terutama pihak industri. Meskipun tidak mudah menetapkan
secara kuantitatif besarnya manfaat ekonomi dari kegiatan lembaga litbang,
banyak kajian yang memperkuat kesimpulan bahwa lembaga litbang pemerintah
telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui hasil penelitian yang
diadopsi oleh sektor industri dan masyarakat.
Dudi Hidayat, dkk (2007) menjelaskan bahwa berbagai studi telah
menunjukkan manfaat ekonomi dari kegiatan litbang dalam lembaga litbang
pemerintah adalah nyata dan signifikan. Manfaat ini melingkupi lima kategori:
meningkatkan cadangan pengetahuan (stock of knowledge), metodologi dan
instrumentasi baru, jaringan profesional, problem solving, dan penciptaan
perusahaan baru.
Sejalan dengan konsep pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) yang direncanakan di Indonesia dengan konsep ABG kompak. ABG
(Academia, Bussiness dan Government) merupakan kerjasama yang melibatkan
Akademisi atau universitas, Bisnis atau industri dan pemerintah. Bentuk kerja
sama ini sering pula disebut sebagai triple helix.
Sebagai bentuk pola keterkaitan dalam inovasi daerah, maka linkages
unsur-unsur ABG di daerah menjadi pokok utama penelitian ini. Hal ini didasarkan
pada adanya sejumlah penelitian yang berkesimpulan bahwa keterkaitan antar
ABG memiliki pola rendah intensitas kerjasama antar aktor, rendah keterkaitan
dan tidak sinergistis sehingga tidak dapat berkontribusi signifikan pada
pertumbuhan ekonomi nasional. Penelitian ini sendiri melihat pada tataran
daerah dengan pendekatan kompleksitas.
Pendekatan kompleksitas dipilih karena pendekatan ini melihat sebuah
sistem yang berkembang secara dinamik sebagai hasil dari proses perkembangan
yang bersifat pengorganisasian-sendiri (self-organization). Sistem terdiri dari
aktor atau agen semi-otonom yang saling berinteraksi dengan cara yang tidak
dapat diprediksi sedemikian sehingga menghasilkan pola sistem menyeluruh.
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah keterkaitan (linkages) yang terjadi antar akademisi, industri
dan pemerintah dilihat dari teori kompleksitas.
KERANGKA KONSEP
Keterkaitan (linkages) antar lembaga litbang, industri dan perguruan tinggi,
atau yang sering disebut ABG (Akademisi, Business dan Governement), dapat
dipandang sebagai sebuah sistem sosial yang terdiri dari berbagai aktor (lembaga
maupun individu) yang saling berinteraksi menghasilkan pola (pattern) yang
membentuk atau menjadi karakteristik sistem. Pola dapat didefinisikan sebagai
struktur koheren yang muncul sebagai hasil interaksi para aktor dalam sistem.
Dalam konteks Indonesia, keterkaitan antar ABG memiliki pola rendah intensitas
77
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
kerjasama antar aktor, rendah keterkaitan dan tidak sinergistis sehingga tidak
dapat berkontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi nasional.
78
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
79
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
80
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif
berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat
penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengandalkan analisis data secara
induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari
dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi
studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan
data, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya
disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian (Lexy J. Moleong,
1989:27).
Selanjutnya pada penelitian ini menggunakan pendekatan CAS dengan
analisis Naratif. Narrative Methodology merupakan bentuk lain dari model
penelitian kualitatif. Dalam menjabarkan posisi penelitian naratif, beberapa artikel
mengacu pada metodologi pengembangan narasi sebagai perluasan dari teori
sastra, atau yang timbul dari teori naratif, perluasan dari etnografi, atau bahkan
berkembang dari psikoanalisis. Perbedaan teoritis ditarik dari pemikiran modernis
yang dibandingkan dengan dasar dan konsekuensi dari tren yang lebih baru
(Addleson, 2000). Beberapa penulis berpendapat bahwa baik pemikiran
postmodernis atau konstruksionisme sosial tidak hanya bertanggungjawab atas
pemikiran modernis, tetapi juga untuk bentuk-bentuk dasar aplikasi dan
pemahamn naratif (Gergen, 1998). Konstruksionisme social merupakan panggilan
untuk landasan pengetahuan dalam konteks interaksi sosial. Dimana hal ini
menekankan pada sifat sosial dan wacana budaya narasi.
Dalam rangka mencapai tujuan dari penelitian ini, maka tahapan
pengumpulan dan analisis data dijabarkan sebagai berikut. Tahap pertama dari
kegiatan penelitian ialah melakukan analisis teori kompleksitas. Tahap ini
menginventarisir konsep dan kerangka model intervensi dari kompleksitas.
Penelusuran dokumen dan kajian literatur menjadi pokok dalam tahapan
peneliitian ini. setelah itu pada tahap kedua, dilakukan pengkajian keterkaitan
antar lembaga litbang, industri, dan pemerintah. Data yang diperoleh dari tahapan
81
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ini adalah berbagai model keterkaitan antar lembaga litbang, industri, dan
pemerintah yang diperoleh melalui pencarian dokumen dan data dari berbagai
literatur, penelusuran melalui internet, dan jurnal.
Data/Informasi Pengumpulan
Pengolahan dan Analisis Data
yang Dibutuhkan Data
HASIL PEMBAHASAN
Tiap-tiap lokasi penelitian, baik Medan (Sumatera Utara), Surabaya (Jawa
Timur), dan Surakarta (Jawa Tengah) memiliki karakteristik yang berbeda satu
dengan yang lain. Karakteristik ini menjadi khasanah baru dalam memahami
fenomena dari linkages di antara aktor-aktor pembangunan sistem inovasi.
Surakarta (Jawa Tengah) ialah daerah yang mulai bergeliat hubungan dan
interaksi diantara pemerintah perguruan tinggi industri. Hal ini berjalan
seiringan dengan tumbuh berkembangnnya Solo Technopark atau yang disingkat
STP. Kehadiran STP tidak lepas dari komitmen yang kuat dari kepala daerah Kota
82
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
83
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PPKS
USU
IPB
KADIN
Peningkatan Nilai Tambah
Komoditi Produk Agribisnis
Pengembangan SIDA
2011 INDUSTRI
Proyek transmigrasi
PLTA Renun
Analisis Amdal
Proyek Asahan 1, 2, 3
PLTU/G Belawan Indosat
DRD
BALITBANG
SUMUT Jaringan Listrik NAD - SUMUT
84
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Forum
Komunikasi
Kelitbangan
Daerah
INDUSTRI INDUSTRI
Proyek transmigrasi
Peningkatan Nilai Tambah
Komoditi Produk Agribisnis PLTA Renun
Proyek Asahan 1, 2, 3
Analisis Amdal
PLTU/G Belawan Indosat
Jaringan Listrik NAD - SUMUT
Forum
Komunikasi
Kelitbangan
Daerah
Rencana Strategis
Penyusunan tata ruang
Rencana Strategis
LP USU LP USU
85
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Gambar 4 menunjukkan adanya pola dari tiap aktor dalam ABG. Interaksi
antar Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (LP USU) dengan sektor
industri relatif lebih dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan,
walaupun hubungan ini hanya untuk bidang penelitian tertentu.
Forum
Komunikasi
Kelitbangan
Daerah
INDUSTRI
Pengembangan SIDA
2011
Dewan Riset
Daerah
Jalinan Interaksi Saat Ini
86
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PEMPROV JATIM
Pola keterkaitan antara badan litbang dan industri dapat dilihat pada
gambar 5.6 Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa belum ada kerjasama
yang terjadi antara badan litbang dengan industri, dengan kata lain kerjasama
antara badan litbang dengan industri tidak terjalin. Namun badan litbang sendiri
sedang mengupayakan adanya kerjasama yang dapat dijalin dengan pihak industri.
Pemprov JATIM
Pola interaksi dua aktor ini dapat digambarkan bahwa masih lemah,
sebagaimana garis yang terlihat pada pola. Pola ini memberikan gambaran bahawa
unit inkubator menjadi fasilitator untuk menjembatani keterkaitan antara
universitas dengan industri namun berfungsi lemah. Industri juga hanya merespon
unit inkubator sebagai tempat berusaha, tidak untuk mengembangkan dirinya.
87
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Universitas Industri
UNIT INKUBATOR
Pemprov Jatim
Universitas Industri
88
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PEMERINTAH
UNIVERSITAS
89
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Pola keterkaitan antara badan litbang dan industri dapat dilihat pada
gambar 12 Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah telah
berusaha untuk berinteraksi dengan industri, dan umpan balik yang diterima pun
sudah cukup baik.
Pola interaksi lain yang terbentuk sebelum menuju adanya keterkaitan atau
linkages akademisi, bisnis dan pemerintah, adalah pola hubungan antara
universitas dan industri. Pola interaksi antara keduanya di gambarkan cukup
menarik.
AKADEMISI
INDUSTRI
90
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PEMPROV
JAWA TENGAH
BALITBANG
BAPEDA
JATENG
AKADEMISI
INDUSTRI
SOLO
TECHOPARK
Gambar di atas menjelaskan bahwa keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun
dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada belum menunjukkan
bahwa interaksi antara universitas dan pemerintah belum kuat, namun interaksi
antara pemerintah dengan industri dan juga industri dengan universitas telah
terjalin cukup kuat.
PENUTUP
Pola dari tiap aktor dalam ABG di Medan (Sumatera Utara) menunjukkan
interaksi antar Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (LP USU) dengan
sektor industri relatif lebih dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan,
walaupun hubungan ini hanya untuk bidang penelitian tertentu khususnya pada
analisis dampak lingkungan (amdal) bagi perusahaan dan peningkatan nilai
tambah komoditi produk agribisnis. Sedangkan jalinan antara LP USU dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sumatera Utara lebih
banyak interaksi dalam kegiatan perencanaan strategis bagi pembangunan daerah,
penyusunan dokumen tata ruang wilayah, dan penelitian terhadap daya dukung
kewilayahan. Interaksi antara Balitbangda Sumatera Utara dengan Industri belum
terjalin sebagaimana mestinya.
Pola linkages di Surabaya (Jawa Timur) menunjukkan keterkaitan ketiga
aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada
belum menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan industri serta
pemerintah dan industri belum kuat. Institut Teknologi Surabaya mengembangkan
unit inkubator untuk menciptakan terjadinya sinergi keterkaitan antara akademisi,
industri dan pemerintah. Salah satu lembaga yang mereka bentuk adalah clearing
house. Clearing house ini untuk menjembatani jalinan kerjasama dan interaksi ABG
dapat berjalan maksimal. Bahkan untuk memantau adanya interaksi antara
ketiganya, lembaga ini memanfaatkan media sebagai pendukung terciptanya
jaringan ini.
91
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
Blaikie, N. 2000. Designing Social Research. Blackwell Publisher Inc.
Hidayat, Dudi dkk. 2007. Studi Faktor Pendorong dan Penghambat Kerjasama Lembaga
Litbang dan Industri Menurut Perspektif Industri. LIPI : Jakarta.
Olson, E.E. dan Eoyang, G.H. 2001. Facilitating Organization Change: Lessons from
Complexity Science. San Francisco: Jossey-Bass.
92
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Taufik, Tatang, A, 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah : Perspektif Kebijakan, Pusat
Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Unggulan Daerah dan
Peningkatan Kapasitas Masyarakat, Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan
Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, bekerjasama dengan
Deputi Pengembangan Sipteknas, Kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta
*Catatan : Makalah ini disusun untuk kepentingan desimenasi hasil penelitian dengan judul
Analisis Keterkaitan (Linkage) Antar Akademisi, Industri dan Pemerintah: Suatu Tinjauan Teoritis
dan Praktis Dari Perspekstif Teori Kompleksitas . Penelitian ini merupakan insentif riset terapan
dari bidang fokus Dinamika Sosial dari Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI Tahun 2010.
93
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ABSTRAK
Kontribusi Industri piranti lunak terhadap perekonomian nasional relatif masih
rendah, sebesar rata-rata 0,1%, dibandingkan kelompok industri lainnya
seperti Kerajinan (1,9%) dan Fesyen (3,7%). Namun demikian, dalam kurun
waktu 2003-2008 pertumbuhan PDB dan penyerapan tenaga kerja industri ini
menunjukkan peningkatan dan tertinggi dibandingkan dengan subsektor
industri kreatif lainnya yaitu pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sebesar
rata-rata 5,6% dan pertumbuhan PDBnya sebesar rata-rata 16,9%. dan industri
ini dapat menjadi teknologi pengungkit (enabling technology), sehingga industri
lain dapat berkembang lebih pesat. Penelitian dilakukan di perusahahan piranti
lunak berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berbadan hukum dan
dibatasi pada industri kreatif piranti lunak yang berada di Jawa Barat, Jakarta
dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk (a) Menganalisis karakteristik
dan proses inovasi di perusahaan piranti lunak lokal; (b) Mengkaji jenis-jenis
insentif yang dapat mendorong interaksi perusahaan dengan pengguna untuk
menghasilkan inovasi piranti lunak. Dalam proses inovasi piranti lunak,
difokuskan terhadap (a) Bagaimana karakteristik dan proses inovasi di
perusahaan pengembang piranti lunak lokal? (b) Jenis insentif apa (ekonomi
maupun non ekonomi) yang mendorong munculnya inovasi di perusahaan
piranti lunak lokal?. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan
menggunakan pendekatan Complex Adaptive Systems (CAS). Analisis data secara
historis menggunakan pendekatan naratif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: (1) Proses inovasi di dalam perusahaan piranti lunak merupakan hasil
interaksi internal, yakni pelaku dalam perusahaan pengembang yang terdiri
dari beragam keahlian dan talenta) dengan pelaku eksternal, khususnya
pengguna dan komunitas pengembang piranti lunak. Tingkat intensitas
hubungan ini dalam berinovasi relatif kuat ketika perusahaan dalam tahap
perusahaan pemula (start-up companies) dan semakin berkurang intensitasnya
dengan semakin meningkatnya kapasitas penyerapan (absorptive capacity) dan
akumulasi knowledge serta kompetensi perusahaan pengembang. Karakteristik
pengguna mendorong tingkat keragaman inovasi yang dihasilkan. Inovasi akan
lebih beragam ketika perusahaan melayani klien dari organisasi yang dinamis
dan sangat memperhatikan efisiensi dan efektivitas penggunaan. Sebaliknya,
inovasi akan semakin kurang beragam ketika perusahaan melayani organisasi
yang kurang dinamis, kurang fleksibel, relatif dominan, dan kurang
memperhatikan efisiensi dan efektivitas produk terhadap kebutuhannya. (2)
Insentif inovasi di perusahaan pengembang lokal sangat dinamis, tergantung
94
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PENDAHULUAN
Pengembangan industri kreatif diyakini berpotensi cukup besar menjadi
salah satu peluang usaha untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional
dalam lingkungan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang
pesat.
Kontribusi industri kreatif terhadap PDB cukup signifikan terhadap
pendapatan nasional maupun penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 2002-
2008 walaupun sumbangan PDB industri ini menunjukkan sedikit penurunan,
namun rata-rata kontribusi PDB industri kreatif masih diatas 7 persen, yakni 7,80
% per tahun terhadap PDB nasional. Kecenderungan peningkatan yang positif ini
juga tampak dari penyerapan tenaga kerjanya. Pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja industri kreatif rata-rata sebesar 7,7 % per tahun.
Khususnya kontribusi Industri piranti lunak terhadap perekonomian
nasional relatif masih rendah, namun demikian industri ini dapat menjadi
teknologi pengungkit (enabling technology), kreativitas dan efisiensi sektor
lainnya, sehingga industri lain dapat berkembang lebih pesat. Dalam kurun waktu
2002-2008 kontribusi industri piranti lunak terhadap PDB nasional relatif rendah
yaitu hanya sebesar rata-rata 0,1%, dibandingkan kelompok industri lainnya
seperti Kerajinan (1,9%) dan Fesyen (3,7%). Demikian juga kontribusinya
terhadap penyerapan tenaga kerja nasional hanya rata-rata 0,02%. Namun
demikian, selama kurun waktu 2003-2008 pertumbuhan PDB dan penyerapan
tenaga kerja industri ini menunjukkan peningkatan dan tertinggi dibandingkan
dengan subsektor industri kreatif lainnya yaitu pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja sebesar rata-rata 5,6% dan pertumbuhan PDBnya sebesar rata-rata 16,9%.
95
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
KERANGKA BERPIKIR
Studi tentang bagaimana industri piranti lunak ini melakukan inovasi
menjadi sesuatu yang strategis untuk dipahami lebih mendalam hingga
memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih efektif bagi industri kreatif piranti
lunak di Indonesia. Studi tentang proses inovasi industri kreatif di negara maju
telah banyak dilakukan (Potts and Morrison 2009; Potts 2009; Potts et,al 2008;
Potts 2007; Tether 2003) dan ditemukan bahwa inovasi di industri kreatif
merupakan interaksi antar perusahaan dengan jejaring sosialnya.
Menurut Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai (2004), inovasi dapat dianggap
sebagai sebuah Complex Adaptive Systems (CAS) karena adanya kesamaan antara
proses inovasi dengan proses biologi. Berdasarkan hal tersebut, Ishimatsu,
Sukagawa, dan Sakurai (2004) mengajukan konsep benih inovasi (innovation seed)
yang merupakan ide yang belum matang atau dalam bentuk teknologi pada tahap
awal menuju inovasi seperti ditunjukkan di tabel 2.1 berikut ini.
Tabel-2.1 Tipe-tipe Innovation Seed
96
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Gambar-2.1 Model Proses Penciptaan Inovasi (Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai, 2004)
X Y Z
Choice Choice
Act Choice
Shared Schemata:
Culture, etc
97
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
METODE PENELITIAN
Pendekatan Studi
98
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Tahapan Penelitian
99
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Perusahaan Pemula
Perusahaan pengembang pemula (start-up companies) umumnya adalah
perusahaan yang baru saja memulai usahanya dan kurang dari tahun masa usaha,
atau mempunyai tenaga kurang dari sepuluh orang, atau mempunyai omset
100
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
kurang dari satu milyar rupiah1. Struktur organisasi perusahaan umumnya tanpa
hierarki dan lebih bersifat pertemanan, sehingga belum ada spesialisasi yang tegas
dalam alokasi pekerjaan. Mengingat perusahaan ini baru tumbuh maka belum ada
atau sedikit sekali keterlibatan mitra bisnis tetap apalagi mitra bisnis internasional
dalam proses inovasi mereka. Studi kasus di perusahaan S dan C merupakan dua
contoh kasus dalam kelompok perusahaan ini.
Sebagian besar perusahaan pemula menghasilkan inovasi produk
ketimbang jasa. Inovasi terjadi dari interaksi para pengembang pemula dengan
pengguna dalam beragam proyek pengembangan sistem dan aplikasi. Ide-ide
pengembangan inovasi cenderung lebih bias pada pengguna, dimana pengguna
sebagai penentu (The Power of User). Inovasi awalnya bersumber dari pengalaman
magang (internship) dan/atau kerjasama antara beberapa tenaga muda dalam
memberikan solusi kepada pengguna (Solution based Innovation). Pengalaman ini
mendorong tenaga-tenaga muda tersebut menjadi pebisnis piranti lunak baru
(New Enterprenuers). Kemudian mengembangkan inovasinya dengan bekerjasama
untuk membentuk perusahaan baru (start-up companies). Pengalaman dari
mengerjakan berbagai proyek skala kecil (project based innovation) meningkatkan
kompetensi pengembang pemula ini melalui proses akumulasi pengetahuan.
Proses ini sebagai modal atau investasi mereka untuk kemudian menghasilkan
inovasi produk piranti lunak tertentu (specialized software). Dengan tingkat
persaingan yang tinggi di kalangan perusahaan piranti lunak lokal dan belum
terbentuknya jejaring bisnis yang kuat, maka perusahaan berupaya bertahan
hidup (survive) dengan menggunakan aturan main atau schemata sebagai berikut:
Rule-1:
101
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Ketika kondisi jejaring bisnis lokal sudah cukup kuat, maka interaksi antara
perusahaan pengembang dengan penggunanya berkembang dari hanya yang
bersifat Tailor-Made menjadi Customization, yang muncul dari aturan main
sebagai berikut:
Rule-2:
102
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Rule-3:
Inovasi merupakan hasil proses pemahaman akan kondisi bisnis saat ini
dan kecenderungan kedepan. Akumulasi pengetahuan dan kompetensi yang
terbangun merupakan dasar (framework) bagi pengembangan inovasi selanjutnya.
Interaksi di dalam dan di luar perusahaan piranti lunak dengan pengguna maupun
inovator lepas, memperkaya inovasi (enriching) yang dikenal sebagai open
innovation. Kegiatan yang bersifat riset dan pengembangan (R&D) terus menerus
dilakukan bersama-sama dengan pola interaksi demikian, serta didukung oleh
kepakaran (tenaga ahli) tertentu untuk mendukung proses inovasi. Proses
keterlibatan langsung pengguna pada perusahaan ini semakin berkurang, dengan
semakin meningkatkan kemampuan absorpsi pengembang terhadap kebutuhan
pengguna. Seperti halnya perusahaan pengembang pada tahap kedua,
perusahaan yang mengembangkan inovasi secara terbuka ini juga melakukan
inovasi pemasaran.
103
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Model proses inovasi yang ditemukan ini (gambar 5.1) menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat akumulasi pengetahuan dan kemampuan absorpsi
pengembang piranti lunak, maka akan semakin berkurang tingkat keterlibatan
(dominasi atau power) pengguna atas pengembang dalam menentukan ide
inovasi. Sebaliknya, akan semakin meningkat jenis inovasi yang didasarkan atas
kepercayaan (trust) pengguna atas pengembang.
104
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Ekonomi
Perusahaan Pengguna
Pe ng ha rg a a n P r o fe s io n a l b o n u s P e m a n fa a ta n
In o v a to r S o ftw a r e
Penghargaan dari Efisiensi Harga
pelanggan
T Produk sesuai kebutuhan
R e s is te n s i P e n g g u n a
R
U Pelayanan
P e la tih a n Penghargaan dari
K u r ik u lu m S D M b e r k o m itm e n K e b e r p ih a k a n
S pelanggan
K e w ir a u s a h a a n S D M k o m p e te n P e m e r in ta h
d i s e k o la h T I (e -g o v d ll)
T e a m work T Referensi Proyek
Pe ng ha rg a a n R e fe r e n s i P r o y e k Pelatihan dari pengembang
m itr a b is n is K o m u n ik a s i y g e fe k tif
P e r lin d u n g a n H A K I B u d a y a o r g a n is a s i k r e a tif
K a p a s ita s T I P e n g g u n a Komunikasi dalam
K n o w le d g e Mg t Komunitas TI
K e s e m p a ta n Non Ekonomi A d m in is tr a s i p a te n
m a g a ng
KELOMPOK 1
Gambar 7.1. Model konseptual insentif bagi perusahaan pemula
105
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Ekonomi
P e n g h a r g a a n In o v a to r Perusahaan Pengguna
Ja m in a n P e m b ia y a a n
In s e n tif P a ja k P r o fe s io n a l B o n u s
K e b e r p ih a k a n S D M k o m p e te n U Pelayanan
p e m e r in ta h Pe ng ha rg a a n
S
m itr a b is n is Penghargaan dari
K u r ik u lu m D is a in T e a m work T pelanggan
D i s e k o la h T I R e fe r e n s i P r o y e k Referensi Proyek
B u d a y a o r g a n is a s i p e n g g u n a
Keamanan data
P e la tih a n S D M
T e n a g a S MK -T I K n o w le d g e Mg t
KELOMPOK 2
106
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Ekonomi
Perusahaan Pengguna
P e ng ha rg a a n Inov a tor
P rofe s iona l B onus
K nowle dg e Mg t Harga software
Ins e ntif P a ja k Ja ring a n bis nis
T Produk sesuai kebutuhan
R
S D M k om pe te n U Pelayanan
P e ng ha rg a a n
S Penghargaan dari
m itra bis nis
pelanggan
K e be rpiha k a n B uda y a org a nis a s i pe ng g una T
pe m e rinta h T e a m work Referensi Proyek
R e fe re ns i P roy e k
D uk ung a n prom os i P e la tiha n S D M
D a ri pe m e rinta h S D M be rk om itm e n
Non Ekonomi
KELOMPOK 3
2
Hasil Diskusi Kelompok Terfokus para Pemangku Kepentingan Industri Piranti Lunak di
Pappiptek-LIPI (November 2010) di Jakarta
107
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
108
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data, maka disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
109
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa industri kreatif
piranti lunak maka terdapat beberapa hal yang menjadi saran dari hasil penelitian
ini yaitu :
1. Agar kebijakan pemerintah dapat efektif dalam mendorong inovasi di
perusahaan piranti lunak, perlu mempertimbangkan tahap perkembangan
perusahaan baik pemula, perusahaan dukungan mitra serta perusahaan
dengan jaringan global.
2. Disamping insentif untuk perusahaan, insentif bagi pengguna produk
piranti lunak perlu dikembangkan.
3. Pengembangan sistem yang berbasis kepercayaan salah satunya melalui
pembentukan suatu badan akreditasi yang berperan sebagai badan
sertifikasi hasil inovasi piranti lunak. Penelitian ini belum menggali lebih
jauh peran network terutama pada pengembang piranti lunak individu
(tidak berbadan hukum).
4. Pemerintah sebaiknya melakukan intervensi dengan memberikan insentif
pajak bagi perusahaan TI internasional yang bermitra dengan industri TI
nasional. Kebijakan insentif pajak ini cukup rasional mengingat dengan
110
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
Flasch Frank, Roy Le Frederick, and Yami Said (2007) Critical growth factors of ICT
start-ups, Management Decision Journal Vol. 45, No.1
Goldtein J (2008) Introduction: Complexity science applied to innovation-Theory
meets praxis The Public Sector Innovation Journal 13(3) article 1.
Gwee, J (2009) Innovation and the creative industries cluster: A case studi of
Singapores creative industries Innovation: Management, Policy & Practice 11
(2): 240-252
Inkpen, A.C and S.C. Currall (2004) The Coevolution of Trust, Control and Learning
in Joint Ventures: Organization Science 15 (5): 586-599
Ishimatsu, H., Sugasawa, Y., and Sakurai, K (2004) Understanding Innovation as a
Complex Adaptive System: Case Studies from Shimadzu and NEC. Pacific
Economic Review 9 (4): 371-376
Jaaniste, L. (2009) Placing the creative sector within innovation: the full gamut
Innovation: Management, Policy & Practice 11 (2): 215-229
Miles, I and L. Green (2008) Hidden innovation in teh creative industries, NESTA
research report July 2008. London: NESTA
Muller, K; C. Rammer and J. Truby (2009) The role of creative industries in
industrial innovation Innovation: Management, Policy & Practice 11 (2): 148-
168
Nelson R and Sampat B (2001) Making sense of institutions as a factor shaping
economic performance Journal of Economic Behavior and Organization 44:
3154.
Potts, J. ( 2009). Introduction: Creative industries and innovation policy.
Innovation: management, policy & practice (2009) 11: 138147.
Potts J (forthcoming) Why the creative industries matter to economic evolution
Economics ofnnovation and New Technology
Potts J and Cunningham S (2008) Four models of the creative industries
International Journal of Cultural Policy 14(3): 23349.
111
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
112
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ABSTRAK
Prakiraan kebutuhan energi listrik nasional pada tahun 2020 berdasarkan
pertumbuhan ekonomi sepuluh tahun terakhir mencapai kurang lebih 1000
Kwh/orang atau terjadi kenaikan sebesar kurang lebih 57% dari tahun 2010.
Selanjutnya, tinjauan terhadap kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan
masyarakat yang belum memperoleh manfaat energi listrik menunjukkan tingkat
yang relatif rendah, karena sebagian besar dari mereka berada di daerah
terpencil dan bermata pencarian dalam bidang pertanian dengan tingkat
pendidikan rata-rata hanya tamat SD. Pada sisi yang lain kegiatan inovasi di
lembaga litbang pemerintah masih ditemukan berbagai hambatan dalam
membangun kegiatan inovasi, baik di dalam (intern) maupun di luar (ekstern)
lembaga litbang. Salah satunya adalah perencanaan yang tidak konsisten,
kerjasama kelembagaan yang belum terjalin, dsb. Untuk menjawab permasalahan
ini dilakukan penelitian dengan metode kualitatif. Kerangka analitik penelitian
ini dibangun dari berbagai teori, yaitu mulai dari definisi inovasi sampai pada
pemahaman rantai inovasi serta hambatan dalam proses inovasi. Dalam kasus ini
pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi tak
terstruktur dan wawancara mendalam dengan pengelola lembaga litbang
(Kapus/kabid), industri dan LSM (pimpinan institusi). Hasil wawancara
kemudian dinarasikan dan dikategorikan sebagai bahan analisis. Analisis data ini
bersifat induktif, yaitu mencari hubungan diantara kategori (domain) data. Pada
akhirnya direkomendasikan beberapa hal penting yaitu perlunya kesiapan
perencanaan dan pelaksanaan yang didukung oleh kebijakan yang mampu
mendorong peneliti menghasilkan teknologi yang berdaya guna. Orientasi
peneliti bukan lagi bagaimana menghasilkan prototipe, makalah ilmiah dan
paten, tetapi lebih berorientasi pada bagaimana teknologi didifusikan ke
masyarakat untuk peningkatan nilai tambah. Selanjutnya perlu dibangun
kerjasama kelembagaan antar pelaku inovasi, diantaranya dengan Industri
terkait, Pemda, LSM dan Koperasi dalam kerangka pembangunan masyarakat.
Dalam kasus ini kerjasama dengan industri dilandasi pada kompetensi
kelembagaan, litbang pemerintah menyediakan rancangan teknologi PLTMH &
PLTB sesuai kebutuhan pengguna dan industri mendukung dalam infrastruktur
manufakturnya. Kerjasama dengan Pemda terkait pada pembangunan
masyarakat di daerah, lembaga litbang menyediakan perangkat teknologi (alat
dan informasi) melalui industri dan pemda menyiapkan dana dan infrastruktur
lain sebagai pendukung (koordinasi dengan dinas terkait seperti pengairan,
pertanian, dsb.). Sementara kerjasama dengan LSM dan koperasi sifatnya teknis,
yaitu pembinaan pengelolaan teknologi yang didifusikan.
Kata Kunci : energi, energi terbarukan, inovasi, litbang, PLTMH, PLTB,
mikrohidro, bayu
113
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PENDAHULUAN
Potensi sumber daya air yang tersebar di daerah, pedesaan atau bahkan
daerah terpencil di seluruh kepulauan Indonesia, dan adanya kebutuhan
masyarakat akan listrik (belum terjangkau listrik PLN), merupakan peluang yang
cukup besar bagi pemanfaatan PLTMH maupun PLTB. Pemanfaatan sumber daya
air dan angin pada gilirannya mampu mengurangi tingkat konsumsi energi fosil
atau bahan bakar minyak (BBM) yang semakin terbatas jumlahnya dan cenderung
semakin mahal. Analisis yang dikemukakan B.J. Habibie (2009) berkenaan dengan
hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan kebutuhan energi listrik
nasional dapat mencapai 999,9 Kwh/orang pada tahun 2020 dari 637,7
Kwh/orang pada tahun 2010 atau terjadi kenaikan sebesar 56,8%. Berdasarkan
data Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, pemanfaatan energi baru dan
terbarukan hanya mencapai 4,4%, sedangkan minyak bumi mencapai 43,9%,
batubara 30,7%, dan gas alam 21 % (PT. Indonesia Power, 2010).
Selanjutnya, tinjauan terhadap kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan
masyarakat yang belum mendapat manfaat energi listrik menunjukkan tingkat
yang relatif rendah, karena sebagian besar dari mereka berada di daerah terpencil
dan bermata pencarian dalam bidang pertanian dengan tingkat pendidikan rata-
rata hanya tamat SD. Sebagai contoh, kelompok tani teh di daerah Kabupaten
Tasikmalaya, kecamatan Pager Ageung desa Cibunar. Penghasilan mereka dari
hasil kebun teh hanya cukup untuk kebutuhan hidup, sementara pemeliharaan
kebun kadang tidak terpenuhi. Hal ini juga sesuai dengan data statistik luas
perkebunan teh rakyat yang semakin sempit akibat tidak adanya biaya
pemeliharaan (Bisnis Indonesia, 2010). Secara umum berdasarkan analisis Gatot
Arianto (Kompas, 2010) menyebutkan bahwa 75% tingkat pendidikan petani
indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24% lulus SMP dan SMA, dan hanya 1% lulus
perguruan tinggi. Tinjauan lebih jauh terhadap penghasilan mereka menunjukkan
bahwa 56% petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, yang berarti mempunyai
pendapatan kurang dari Rp 8 juta/tahun. Kemandirian petani dalam pengelolaan
usahanya juga masih relatif rendah. Petani masih sangat bergantung pada
penyediaan bibit, pestisida, dan pupuk, yang kadang harus di import. Sementara
itu, berdasarkan Permen ESDM No. 7/2010 harga tarif dasar listrik umum
keperluan rumah tangga Rp 415,- kwh. Harga listrik per kwh ini masih relatif
tinggi bagi masyarakat.
Teknologi PLTMH pada prinsipnya relatif sederhana dan ramah lingkungan
dengan investasi yang dapat terjangkau oleh pemerintah provinsi. Komponen-
komponennya relatif dapat dibuat oleh bengkel perorangan dan Perguruan Tinggi
dengan umur operasional diharapkan mencapai 25 tahun. Walaupun demikian
tidak pula dapat dipungkiri bahwa masih banyak didapati instalasi PLTMH yang
sudah terpasang tidak dapat digunakan atau dioperasikan (Statistik ESDM, 2008).
Berbagai aspek perlu dipahami terkait hal ini, mulai dari sisi kebijakan, tekno-
ekonomi, sosial masyarakat, dan proses implementasi atau difusi teknologi ke
masyarakat yang secara keseluruhan merupakan rantai inovasi serta melibatkan
berbagai pelaku inovasi.
114
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
KERANGKA ANALITIK
Kerangka analitik penelitian ini dibangun dari berbagai teori, yaitu mulai
dari definisi inovasi sampai pada pemahaman rantai inovasi serta hambatan dalam
proses inovasi. Secara teoritis, inovasi dipahami sebagai suatu proses pemanfaatan
pengetahuan, keterampilan (termasuk keterampilan teknologi) dan pengalaman
untuk penciptaan (memperbaiki) produk (barang dan atau jasa), proses, dan atau
sistem yang baru, yang memberikan nilai berarti, atau proses di mana gagasan,
temuan tentang produk atau proses diciptakan, dikembangkan dan berhasil
disampaikan ke pasar (Saut dkk, 2006). Sejalan dengan pendefinisian dari OECD
(1999) yang mengungkapkan bahwa inovasi cenderung pada pengembangan
secara kreatif dan interaktif bertumpu pada kemajuan ilmu pengetahuan, juga
dapat diartikan sebagai produk barang dan jasa yang sarat dengan pengetahuan.
Perkembangan yang kompleks dari inovasi menuntut perlunya tinjauan inovasi
tidak terbatas pada lingkup produsen dan litbang semata, akan tetapi perlu
dipandang sebagai suatu sistem yang terpadu. Hal mana memunculkan
pendekatan sistem inovasi untuk mencapai suatu tujuan.
Selanjutnya menurut Zhou (2007), inovasi dipandang dari sisi makro
sebagai inovasi nasional terkait pada sektor industri dan klaster, inovasi juga dapat
dipandang dari sisi mikro, yaitu pada tingkat perusahaan, terkait pada pemilihan
strategi dan struktural kegiatan inovasi, atau pada sisi kelompok inovasi terkait
pada perencanaan maupun pengelolaan proses inovasi. Selanjutnya dinyatakan
pula bahwa kegiatan inovasi selalu bersinggungan dengan berbagai pihak
berkepentingan yang secara sederhana digambarkan pada gambar 1. Dalam hal ini
maka peran organisasi dalam mendorong kegiatan inovasi dapat di jabarkan secara
sederhana dalam tahapan rantai proses kegiatan inovasi, mulai dari penelitian
dasar sampai dengan difusi teknologinya ke masyarakat. Dalam kasus ini maka
proses inovasi dibangun dari empat elemen yang masing masing dinyatakan
sebagai: Generating posibilities, yaitu bagaimana membangaun ide untuk inovasi;
Incubating & Prototyping, yaitu menentukan mekanisme pengembangan idea dan
mengelola resiko kegagalan; Replication and Scaling up, yaitu bagaimana
mempromosikan dan mendifusikan teknologi menuju inovasi yang berhasil; dan
Analysing and learning, yaitu bagaimana evaluasi untuk promosi dan
pengembangan produk yang berkelanjutan. Proses inovasi ini tidaklah linier akan
115
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
tetapi kompleks karena sangat tergantung pada perilaku organisasi, individu, dan
pengaruh lingkungan. Hal mana menunjukkan bahwa prosesnya adalah interaktif
dan sosial, melibatkan para pelaku yang beragam dalam keahlian dan sumbernya.
Incubating and
Prototyping
Analysing and
Learning
116
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
& PLTB, industri-industri yang terkait dalam suatu rantai produksi dan
inovasi, dan untuk menghindari duplikasi investasi.
2. Pembelajaran teknologi dan kapabilitas teknologi merupakan faktor
internal yang penting bagi peningkatan inovasi.
3. Faktor geografis dalam inovasi perlu merefleksikan peluang kapasitas
inovasi daerah dan peluang pertumbuhan ekonomi daerah yang berbasis
pada keunggulan lokal, baik berdasar ketersediaan sumber daya alam,
sumber energi mapun keunggulan dan keahlian khas manusianya. Hal ini
menjadi penting, untuk mendorong fleksibilitas birokrasi.
METODOLOGI
Untuk menjawab permasalahan penelitian digunakan metodologi kualitatif.
Metode kualitatif secara spesifik digunakan untuk memperoleh gambaran
sistematis pengelolaan inovasi teknologi energi terbarukan. Dalam kasus ini
pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi tak
terstruktur dan wawancara mendalam dengan pengelola lembaga litbang
(Kapus/kabid), industri dan LSM (pimpinan institusi). Hasil wawancara kemudian
dinarasikan dan dikategorikan sebagai bahan analisis. Analisis data ini bersifat
induktif, yaitu mencari hubungan diantara kategori (domain) data. Sementara itu
faktor penghambat dan pendorong kegiatan inovasi ditunjukkan dari hasil
wawancara mendalam dengan para pelaku inovasi, yaitu pengelola dan peneliti di
lembaga litbang, atau pimpinan industri/LSM, dan Pemda serta para pengguna
teknologi energi terbarukan (Masyarakat pengguna) menggunakan instrumen
panduan wawancara. Selanjutnya validasi data dilakukan dengan teknik
triangulasi atau membandingkan dari perolehan data berdasarkan teknik
pengumpulan yang berlainan (dokumentasi, observasi dan wawancara mendalam)
atau sumber yang berlainan (para pelaku inovasi). Hasil analisis data, baik dari
lembaga litbang maupun industri dan LSM kemudian dikomparasikan untuk
menyimpulkan penguatan kelembagaan litbang dari para pelaku inovasi untuk
mendorong percepatan pembangunan daerah dengan tersedianya sumberdaya
energi listrik. Secara skematis tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 2 di
bawah ini.
117
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Analisis kualitatif
Perilaku Induktif dan komparatif
organisasi
Perilaku
individu Faktor-faktor Penghambat dan Penguatan
Pendorong inovasi Energi Kelembagaan Litbang
PLTMH & PLTB (Para Pelaku Inovasi)
Pengaruh
lingkungan
FGD
118
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
119
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
1. Turbin Air terdapat empat hasil penelitian PLTMH, antara lain: (a) Turbin
pelton (head tinggi); (b) Turbin Crosflow (head sedang, 3 m s/d 20 m),
runner turbin crosflow sudah dipatenkan dan sudah dipasarkan; (c) Turbin
Propeler (head rendah, < 3 m), dan (d) dalam anggaran DIPA
2010/kompetitif sudah dihasilkan turbin dengan head yang sangat rendah
(head 1 m, debit air 120 liter/det, dengan kapasitas daya output listrik 900
watt) untuk diaplikasikan pada aliran kali. Sudah diuji di aliran
kali/pembuangan kebon raya cibodas, hasil pengujian sudah menghasilkan
daya seperti yang direncanakan 900 watt. Teknologi ini direncanakan akan
dipatenkan.
2. Turbin angin (PLTB), penelitian blade dari turbin angin (anggaran 2010,
DIPA Telimek)
3. Generator kecepatan rendah:
Sudah dihasilkan prototip generator kecepatan rendah bersama dengan
turbin head rendah yang diujikan di aliran kali kebon raya Cipanas.
Generator kecepatan rendah ini juga dirancang untuk PLTB. Inovasi
generator sudah diajukan untuk dipatenkan (untuk konstruksi)
4. Pengembangan PLTMH yang dilakukan oleh Puslit Telimek Sudah
diaplikasikan di masyarakat, diantaranya di Garut dan Tasikmalaya
Propinsi Jabar. Pengembangan PLTMH dilakukan juga oleh BPTG-LIPI
Subang (kerjasama dengan Puslit Telimek) dan sudah diaplikasikan di
beberapa tempat seperti Makki dan Wamena-Papua, Enrekang -Sulawesi
Selatan, serta Nagrak dan Subang Jabar.
Hasil litbang Pusat Teknologi Dirgantara Terapan - LAPAN dalam inovasi
PLTB diantaranya adalah pengembangan PLTB 80 - 1000 W untuk pengadaan
listrik wilayah desa terpencil dan nelayan; pemetaan potensi angin dilakukan
dalam rangka memetakan daerah-daerah yang mungkin dikembangkan untuk
dipasang PLTB baik untuk skala kecil maupun besar di wilayah Indonesia; desain
PLTB skala 30 - 50 kW; siatem hibrid PLTB (panel surya dan turbin angin) untuk
lampu jalan atau penerangan lainnya dan telah diuji cobakan di Parepare dan
Bantul, dan akan menyusul untuk berbagai daerah. Selain sistem pembangkit, juga
dilakukan berbagai rancang bangun instrumentasi seperti anemometer (pengukur
potensi angin), AWS (Automatic Weather Station) dan Tidegauge (alat pengukur
pasang surut). Instrumentasi tersebut telah diujicobakan bekerjasama dengan
berbagai instansi terkait dan telah berhasil memberikan informasi yang
dibutuhkan secara baik dan akurat. Instrumentasi-instrumentasi tersebut juga
dilengkapi dengan sistem informasi sehingga dapat memantau potensi angin,
temperatur, tekanan udara, ketingggian air permukaan dan sebagainya dari jarak
jauh.
Dalam diseminasi hasil litbang teknologi PLTB, kegiatannya dilakukan
bersama sama LPND/LPD, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, serta lebih jauh
melalui kerjasama litbang luar negeri. Lebih rinci kegiatan kerjasama yang
dilakukan oleh puslit Teknologi Terapan Dirgantara - LAPAN ini, sebagaimana
ditunjukkan dalam ringkasan berikut:
120
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
121
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Prasetya Indra Barata (PIB), PT: (1) Relokasi turbin angin milik LAPAN
dari Desa Bulak Baru dan Kali Anyar ke Desa Tanggul Tlare sebagai sarana
penerangan tambak udang milik PT. PIB; (2) Pemasangan turbin angin
TOCARDO untuk kepentingan pemompaan air di areal tambak udang milik
PT. PIB; (3) Penelitian bersama; (4) Evaluasi pemanfaatan PLTB untuk
tambak udang. dan Pemanfaatan PLTB melalui relokasi turbin angin dari
Desa Bulak Baru dan Kalianyar ke Desa Tanggul Tlare, (2002).
Kandiyasa Energi Utama, PT: (1) Penyediaan perangkat lunak dan
perangkat keras PLTB; (2) Pemasaran dan pemanfaatan produk PLTB; (3)
Jasa teknologi di bidang penelitian, pengembangan dan pemanfaatan PLTB
(2005).
PLN (Persero) Litbang Ketenagalistrikan: (1) Evaluasi data potensi angin
di lokasi terpilih; (2) Kajian pemanfaatan PLTB skala besar; (3) Desain
prototip kapasitas 300 kW; (4) Desain prototipe sistem kontrol
interkoneksi ke jaringan PLN; (5) Pembuatan prototype kapasitas 300 kW;
(6) Pilot project skala besar interkoneksi ke jaringan PLN. (2005).
Hasil pengumpulan data lapangan didiskusikan dengan nara sumber dari
lembaga penelitian yang bersangkutan dalam forum Focus Group Discussion (FGD).
Hasilnya menunjukkan hambatan dan alternatif penyelesaiannya dalam kegiatan
inovasi PLTMH & PLTB. Hal mana juga menunjukkan keinginan para peneliti untuk
melanjutkan kegiatan inovasi, terutama yang terkait dengan kebijakan, manfaat
ekonomi, kondisi (kemampuan) masyarakat sosial, dan teknologi (produk litbang).
Temuan lapangan sebagai bahan diskusi FGD ditunjukkan dalam Tabel 4.1 dan
Tabel 4.2.
Tabel 4.1. Rangkuman Pengumpulan Data Inovasi PLTMH Puslit Telimek LIPI
FAKTOR PUSAT PENELITIAN PENGELOLA PLTMH & PLTB
PENGHAMBA
No
T/PENDORO Penelitian Dasar/ Demonstrasi/Kome Masalah/Hambatan Alternatif
NG Terapan rsialisasi /Kendala Penyelesaian
122
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
124
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
sementara iuran
anggota baru
mencapai Rp.
550.000/bulan
125
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
126
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
127
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ilmiah, forum eksibisi industri, informasi di media masa, dan informasi melalui
penyiaran radio dan televisi.
128
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
karena kurangnya data potensi angin dan tata letak peralatan tidak ditunjang oleh
studi atau penelitian yang komperhensif. Selanjutnya secara khusus perlu juga
ditingkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia pengelola teknologi PLTB.
Hasil analisis tersebut di atas pada dasarnya sejalan dengan pendapat pakar
dalam diskusi FGD, yaitu sebagai berikut:
Prioritas pertama yang perlu dilakukan adalah faktor Politik/kebijakan
(baik pimpinan Lembaga/kebijakan nasional): Kebijakan dan kemauan baik
pemerintah sangat menentukan apakah suatu teknologi merupakan
prioritas dalam pengembangan dan penerapannya di masyarakat
(perencanaan dan implementasi yang konsisten);
Prioritas ke dua adalah faktor Ekonomi: Pertimbangannya adalah nilai
tambah bagi masyarakat, saat ini bahkan berkembang kepada ekonomi
yang berdampak pada lingkungan (pencemaran lingkungan yang harus
dibayar oleh masyarakat kedepan);
Prioritas ke tiga adalah faktor Sosial: Pertimbangan mengapa faktor sosial
merupakan prioritas ketiga yang perlu diperhatikan terkait pada
permasalahan yang kerap timbul di masyarakat dalam pemanfaatan
teknologi hasil litbang, khususnya sistem PLTMH & PLTB. Kasus ini terkait
pada sisi sosial kemasyarakatan, seperti manajemen operasional, SDM yang
tersedia, penentuan harga jual listriknya, budaya masyarakat, dan
sebagainya;
Prioritas ke empat adalah faktor Teknologi: Pada prinsipnya lembaga
litbang mampu melakukan pengembangan teknologi dengan berorientasi
pada kebutuhan masyarakat, baik dari sisi nilai jual alat (investasi awal
yang rendah terhadap kwh output) maupun pemenuhan kebutuhan daya
listriknya.
129
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
SARAN
Analisis terhadap pengelolaan inovasi teknologi PLTMH/ PLTB terkait pada
rantai inovasi serta interaksi kelembagaan yang sudah dibangun adalah sebagai
berikut:
Perlunya dibangun perencanaan kegiatan penelitian pengembangan PLTMH &
PLTB yang berkelanjutan untuk perolehan produk litbang yang optimal, baik
dalam koordinasi unit kelembagaan di dalam institusi maupun antar institusi.
Pada sisi kebijakan perlunya sikap tegas dan kemampuan enterprenuer untuk
mewujudkan produk litbang yang berdayaguna dalam peningkatan nilai
130
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
132
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
133
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ABSTRAK
Modal ventura merupakan bagian dari pemecahan masalah di UKM, karena
memberikan modal dalam bentuk saham atau obligasi konversi, dan tidak untuk
melakukan investasi dalam rangka menerima dividen yang bersifat jangka
pendek, tetapi bersama-sama dengan perusahaan pasangan usaha (PPU) untuk
mengembangkan usahanya. PPU yang dimaksud disini adalah UKM yang
memperoleh pembiayaan dari modal ventura. Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan manfaat pembiayaan modal ventura terhadap kegiatan inovasi
di UKM. Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah perusahaan yang di
bawah PT Bahana Artha Ventura saja, yang berjumlah 21 PPU tersebar di
Jogyakarta, Jawa Barat, dan Medan. Walaupun pemanfaatan modal ventura untuk
kegiatan inovasi belum banyak, namun ada PPU yang melakukan pengembangan
penemuan baru untuk meningkatkan inovasi sebesar 14,3%, yaitu jenis usaha
makanan/minuman, konveksi dan pupuk. Selanjutnya sebanyak 4,8% PPU
melakukan penelitian dan rekayasa untuk pengembangan usahanya yaitu jenis
usaha permesinan. Dalam mengembangkan usahanya, PPU sudah ada yang
bekerjasama/bermitra dengan perguruan tinggi, antara lain industri permesinan
di bandung dengan ITB dan industri makanan di Sumatera Utara dengan USU.
PENDAHULUAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) mempunyai peranan dalam
perekonomian suatu negara ataupun daerah. Dalam beberapa dekade terakhir,
UKM telah berhasil meningkatkan jumlah produksi, nilai ekspor, penyerapan
tenaga kerja, inovasi baru dan peningkatan jumlah wirausaha baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Alasan-alasan yang mendasari negara
berkembang terus berupaya mengembangkan UKM ini antara lain: karena kinerja
UKM cenderung menghasilkan tenaga kerja produktif; sering mencapai
peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi (Berry
dalam Lestari, 2005).
Pada tahun 2007, sektor industri menyumbang Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia sebesar 22,4% dan meningkat menjadi 23% pada tahun 2008
(BPS, 2009). Sedangkan jumlah tenaga kerja industri yang terserap pada tahun
134
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
2008 sebesar 12,24% pada industri skala kecil, menengah dan besar. Namun
demikian, pada umumnya UKM Indonesia masih menghadapi berbagai kendala,
antara lain: 1) modal kerja yang minim; 2) kurang tenaga kerja terampil; 3) mutu
produk rendah; 4) biaya produksi tinggi (Wardoyo, 2003). Selain itu UKM pada
umumnya masih memiliki keterbatasan akses finansial, keterbatasan kepemilikan
teknologi, kemampuan manajerial rendah, keterbatasan jaringan pemasaran,
adanya resistensi kepada lembaga keuangan perbankan, dan akhirnya bermuara
pada rendahnya daya tawar produk UKM (Avnimelech,2003). Lebih jauh, akses
terhadap permodalan dan tingginya biaya memperoleh kredit merupakan kendala
mendasar bagi UKM untuk membiayai proses inovasinya.
UKM pada umumnya memiliki karakteristik untuk beresiko dan berbiaya
transaksi tinggi dalam proses perolehan modal. Hal ini disebabkan karena lembaga
keuangan (perbankan) harus melakukan pendataan lebih detail mengenai
eksistensi perusahaan. Sementara itu UKM di Indonesia sebagian besar masih
memiliki sistem manajemen pengelolaan aset dan sistem manajemen pengelolaan
resiko yang terbatas. Sehingga lembaga keuangan (perbankan) harus
mengeluarkan dana lebih banyak untuk mengantisipasi adanya kerugian dan biaya
transaksi yang besar.
Seiring dengan kendala-kendala yang dihadapi UKM ini, pemerintah pernah
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan. Ketentuan pelaksanaan lembaga pembiayaan ini tertuang dalam
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan yang kemudian telah
diubah dengan KMK Nomor 468/KMK.017/1995. Berdasarkan ketentuan ini,
lembaga pembiayaan melakukan kegiatan meliputi bidang usaha, diantaranya
adalah modal ventura.
Modal ventura merupakan bagian dari pemecahan masalah di UKM, karena
modal ventura merupakan modal dalam bentuk saham atau obligasi konversi, dan
tidak untuk melakukan investasi dalam rangka menerima dividen yang bersifat
jangka pendek, tetapi bersama-sama dengan perusahaan pasangan usaha (PPU)
untuk mengembangkan dan meningkatkan nilai dari PPU. Dalam Keppres tersebut
disebutkan bahwa perusahaan modal ventura adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu PPU, untuk :
1) pengembangan suatu penemuan baru, 2) pengembangan perusahaan yang pada
tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana; 3) membantu perusahaan yang
berada pada tahap pengembangan; 4) membantu perusahaan yang berada dalam
taraf kemunduran usaha; 5) pengembangan proyek penelitian dan rekayasa; 6)
pengembangan pelbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi baik dari
dalam dan dari luar negeri; 7) membantu pengalihan perusahaan.
Pada tahun 2006 jumlah perusahaan modal ventura tercatat ada 52
perusahaan (PMV), terdiri atas 20 perusahaan swasta nasional, 6 perusahaan
patungan, dan 26 perusahaan modal ventura daerah (PMVD). Berdasarkan data
yang diperoleh, jumlah PMV aktif sampai dengan 2007 hanya 34 perusahaan
dengan total akumulasi investasi sebesar Rp 3,05 trilyun dengan akumulasi
jumlah PPU sebesar 18.971 unit ( sumber PT BAV, 2010).
135
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
METODE PENELITIAN
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengisian lembar pertanyaan
(kuesioner) serta wawancara (interview) dengan beberapa narasumber dan
responden. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur dan
dokumentasi berupa naskah kebijakan pemerintah, kebijakan perusahaan, bahan
kepustakaan dalam bentuk buku, laporan hasil penelitian, jurnal serta dokumen
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Sampel
PPU yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah perusahaan yang di
bawah PT Bahana Artha Ventura saja. Dalam menentukan sampel terpilih, terlebih
dahulu perlu mengetahui kerangka sampel (sampling frame) yang berisi nama PPU
di setiap PMVD yang akan digunakan sebagai dasar pengambilan sampel. Hasilnya
diperoleh bahwa sekitar 90% PPU yang memperoleh pembiayaan dari modal
ventura adalah sektor perdagangan dan jasa yang dianggap kurang melakukan
kegiatan inovasi dalam usahanya. Dan hanya 2,17% PPU yang bergerak di sektor
136
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
industri yang sebagian besar tersebar di Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat dan
Sumatera Utara.
Atas pertimbangan tersebut dan terbatasnya dana penelitian, maka
pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling (sampling
kebijaksanaan) dan convinience sampling (sampling kemudahan) dengan memilih
PMVD di Yogyakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Karena teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan non probability
sampling (metode tak acak), maka hasilnya tidak dapat digunakan untuk
mengeneralisasi populasi. Selanjutnya adalah menentukan perusahaan pasangan
usaha (PPU) pada setiap PMVD secara subyektif, yang meliputi PMVD Yogyakarta 9
PPU, PMVD Jawa Barat 5 PPU, dan PMVD Sumatera Utara sebanyak 7 PPU.
Variabel Operasional
Untuk mempermudah pemahaman terhadap variabel-variabel yang
tercakup dalam penelitian ini, perlu dicantumkan pembatasan pengertian sesuai
dengan konteks dan lingkup penelitian yang dituangkan melalui variabel
operasional, sebagai berikut :
137
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Metode Analisis
Tiga kota yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini yaitu Bandung,
Yogyakarta, dan Medan menjadi letak perusahaan modal ventura daerah. Seperti
diketahui bahwa PT. Bahana Artha Ventura sebagai perusahaan modal ventura
138
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Modal yang diterima oleh 21 PPU dari tiga PMVD yang diteliti diharapkan
untuk kebutuhan peningkatan inovasi produksi mereka, seperti yang tercantum
dalam kebijakan pemerintah dalam program pembiayaan modal ventura. Ada 7
tujuan pemerintah dalam penyertaan modal ventura kepada PPU. Berdasarkan
temuan lapangan, manfaat pembiayaan modal ventura yang diterima PPU ini
umumnya adalah untuk pengembangan usaha sebagai bagian dari tujuan
penyertaan modal ventura, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.
139
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
140
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Upaya meningkatkan produksi itu membutuhkan modal, dan ini diakui oleh
PPU walaupun dalam jumlah yang relatif berbeda-beda kebutuhannya tergantung
dari jenis usaha dan bentuk produknya. Kebutuhan untuk meningkatkan produksi
ini dilandasi oleh beberapa alasan, antara lain : 1) untuk meningkatkan
kualitas/mutu produk; 2) kebutuhan tenaga terlatih; 3) untuk membeli mesin
baru; 4) mengurangi kebutuhan material; 5) membuat produk baru; 6) untuk
memperluas pasar.
Alasan-alasan ini memberi gambaran tentang kondisi produksi dari 21 PPU
sebelum dan setelah menerima pembiayaan dari perusahaan modal ventura
daerah. Hasilnya adalah menunjukkan bahwa 10% PPU ingin meningkatkan mutu
produk, memiliki tenaga kerja terlatih dan memperluas pemasaran. Sementara
10% PPU lainnya menginginkan kualitas/mutu produknya meningkat, juga ingin
membuat produk baru dan memperluas pasar serta permintaan bertambah.
Demikian pula 10% PPU juga ingin meningkatkan mutu produk, memiliki tenaga
terlatih, bisa menghasilkan produk baru dan memperluas pasar. Dan PPU yang lain
pada umumnya ingin produknya berkualitas, punya tenaga terlatih, menghasilkan
produk baru dengan mesin baru, sehingga permintaan bertambah dan pasar
meluas.
141
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
5.Pupuk Mengolah bahan baku Menyuburkan tanah Perlu modal untuk biaya
tanah pegunungan terutama untuk jenis produksi. Utk jangka
dengan mesin tanaman keras panjang tergantung dr
menjadi pupuk sumber daya alam
dolomit (serbuk) dan
cisrite (butiran
6.Perdagangan Membeli peralatan Meningkatkan : nilai Perlu modal untuk
/Jasa untuk memenuhi ekonomis, pelayanan membeli
kebutuhan pelayanan kesehatan, dan teknologi/peralatan
kesehatan menaikkan peringkat ruang ICU untuk
tipe rumah sakit meningkatkan pelayanan
142
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
b) Aspek Ekonomi
Parameter yang diukur adalah: a). nilai tambah dan produktivitas tenaga
kerja; b).adanya produk baru yang lahir yang dipengaruhi secara tidak
langsung dari pembiayaan modal ventura.
Pada gambar di atas terlihat bahwa jenis usaha pembiayaan bagi hasil yang
diminati PPU untuk memperoleh pembiayaan adalah untuk usaha
makanan/minuman sebesar 42,8%, kemudian diikuti jenis usaha
143
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
a) Perusahaan modal ventura (PMV) dan PMVD masih dibutuhkan oleh UKM
dalam memperoleh pembiayaan, terutama dalam meningkatkan inovasi
dan mengembangkan usaha.
b) Perlu pembinaan yang berkaitan dengan kualitas SDM di UKM, agar mampu
meningkatkan kualitas produk dari hasil inovasinya.
c) PMV dan PMVD perlu mensosialisasikan tujuh point penting kepada UKM,
agar mereka mengetahui bahwa ada kegiatan penemuan baru atau
penelitian dan rekayasa yang bisa dibiyai.
144
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
ADB. 2009. Membangun Potensi Sumber Daya Keuangan Dalam Negeri Indonesia: Peran
Lembaga Keuangan Non-Bank. Websi
ADB. 2009. Membangun Potensi Sumber Daya Keuangan Dalam Negeri Indonesia: Peran
Lembaga Keuangan Non-Bank. Website: www.worldbank.org/id Akses Februari
2009
Avnimelech, Gil and Teubal, Morris. 2003. From Direct Government Support Of Innovative
Smes To Venture Capital/Private Equity(Vc/Pe): A Three Phase Policy Model based on
the Israeli Experience
.www.sofofa.cl/BIBLIOTECA_Archivos/Tecnologia/2004/03/16_teubal.ppt Akses
Februari 2009
Bahana Artha Ventura, PT. 2009. Industri Modal Ventura di Indonesia. Jakarta.
Bishop, Bob. 1996. Venture Capital in The United Kingdom, dalam Venture Capital and
Innovation. OECD. Paris.
Chelimsky, Eleanor. 1989. Program Evaluation, Patterns and Directions, Second edition.
Washington DC : The American Society for Public Administration.
Fox, James W. 1996. The Venture Capital Mirage Assessing USAID Experience With Equity
Investment. USAID Program and Operations Assessment Report No. 17.
www.usaid.gov/pubs/usaid_eval/pdf_docs/pnaby220.pdf Akses Februari 2009
John M. Owen. 1999. Program Evaluation Forms and Approaches. London : Sage
Publication.
Jones, Charles O. 1977. An Introduction to The Study of Public Policy, Third edition.
California : Cole publishing Company.
Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Nomor
31/KEP/M/.KUKM/IV/2002 Tentang Rencana Tindak Jangka Menengah
Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (RTJM-UKM)
145
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Prelipcean, Gabriela and Boscoianu , Mircea .2005. Venture Capital Strategies for
Innovative SMEs. University Stefan cel Mare Suceava.
steconomice.uoradea.ro/anale/volume/2008/v4-management-marketing/093. pdf
Akses Februari 2009.
Puguh. 2001. Peran strategis modal ventura bagi perkembangan usaha kecil.
www.pusatartikel.com/index.php?print/id:1016,pdf Akses Februari 2009
Rahayu, Sri Lestari, 2005. Analisis Peranan Perusahaan Modal Ventura Dalam
Mengembangkan UKM di Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan. Edisi Khusus.
Jakarta.
Saputra dkk. 2008. Studi Inovasi Industri Farmasi. LIPI Press 2008
Solomon, Adam, 1996. Venture Capital in The United States, dalam Venture Capital and
Innovation, OECD. Paris.
Yasui, Masaya, 1996. Venture Capital in Japan dalam Venture Capital and Innovation.
Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD). Paris.te:
www.worldbank.org/id Akses Februari 2009
146
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Iin Surminah, Aziz Taba Pabeta, Achmad Fatony, dan Purnama Alamsyah
ABSTRAK
147
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PENDAHULUAN
Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SINASIPTEK),
pada intinya mengamanatkan bahwa pembangunan ekonomi harus didukung oleh
peran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Salah satu amanat dalam Undang-
Undang tersebut terbangunnya interaksi unsur lembaga litbang, perguruan tinggi
dengan industri/UKM. Unsur lembaga litbang dan perguruan tinggi sebagai
pemasok iptek, sedangkan pihak industri/UKM sebagai pengguna iptek.
Peran iptek sekaligus perekat dalam membangun kemitraan, yang
diharapkan menghasilkan berbagai inovasi untuk dimanfaatkan oleh pihak
industri/UKM agar produknya mampu bersaing di pasar bebas. Sehingga dapat
mendorong percepatan pembangunan ekonomi nasional.
Berbagai upaya dilakukan oleh lembaga litbang sebagai pemasok iptek,
termasuk merumuskan dan menformulasikan konsep-konsep inovasi iptek yang
dapat menjawab dan membantu pemecahan permasalahan di industri/UKM.
Namun hingga memasuki era globalisasi ini tampak dengan nyata
ketidakberdayaan/ketidakmampuan lembaga litbang mengambil peran-peran
yang strategis tersebut, dan hal ini nyaris kehilangan kepercayaan rakyat, industri
dan Pemerintah.
Di negara-negara maju, peran lembaga litbang sangat strategis dalam
menghasilkan produk industri yang inovatif, unggulan untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi dan menguasai pasar bebas dunia. Salah satu kelemahan
industri dalam negeri adalah mempertahankan dan mengamankan pasar
domestik. Dukungan hasil litbang yang inovaif tidak kunjung dapat membantu
produk industri agar mampu bersaing dengan produk impor, juga dalam waktu
yang sama tidak mampu mengantisipasi pasar bebas dunia yang terbuka luas
untuk berkompetisi dengan produk dari berbagai negara.
Sejak diberlakukannya perdagangan bebas di kawasan ASEAN (AFTA) pada
tahun 2003, Asia pasific (APEC) mulai 2003/2008, CAFTA (China Asean Free Trade
Agreement) mulai 2010 menjadi tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia.
Strategi membangun kemitraan lembaga litbang dengan industri/UKM harus lebih
dijamin melalui langkah-langkah yang strategis yang didukung oleh kebijakan
nasional tentang kemitraan menuju daya saing produk industri indonesia.
Dalam kemitraan Lembaga Litbang dengan industri/UKM dan masyarakat
diperlukan berbagai pendekatan agar diperoleh informasi yang meyakinkan
148
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
bahwa hasil litbang mampu dan dapat memenuhi kebutuhan dan pemecahan
permasalahan industri/UKM/masyarakat. Beberapa pendekatan yang banyak
dilakukan di negara-negara industri maju perlu diadopsi, dan didukung
regulasi/kebijakan dan respon langsung Pemerintah.
PERMASALAHAN
Berbagai permasalahan dari hasil penelitian ini yang dikemukakan sebagai
gambaran yang perlu disikapi oleh pihak-pihak terkait terutama dalam
membangun kemitraan yang saling menguntungkan. Permasalahan dari penelitian
ini dapat digambarkan sebagai berikut
1. Belum terumuskannya program pengembangan yang dapat dihasilkan oleh
UPT BPPTK sebagai produk teknologi yang dapat diterima oleh pihak
industri/UKM maupun masyarakat umum. Program pengembangan
tampaknya belum cukup untuk diandalkan sebagai produk teknologi yang
dapat mitrkan dengan industri/UKM maupun masyarakat;
2. Belum menggambarkan sejauh mana modal usaha dan investasi yang
diperlukan untuk membangun teknologi dan harga yang pantas untuk
bersaing di pasar bebas. Selain itu produk teknologi yang ditawarkan
belum dibekali standar mutu yang bertaraf nasional bahkan internasional
sesuai era global yang penuh persaingan dan kompetisi.
3. Bagi pihak industri/UKM dan masyarakat umum, memerlukan produk
pengembangan dari produk yang selama ini sudah diproduksi. Sebab
dengan produk yang sudah ada dan dilakukan inovasi teknologi tidak
terlalu sulit bagi industri/UKM untuk menerima penawaran dari Puslit
Kimia dan UPT BPPTK.
4. Industri/UKM dan masyarakat umum belum dapat menerima dan
menjadikan produk pengembangan teknologi sebagai solusi membangun
usahanya. Oleh karena itu Puslit Kimia dan UPT BPPTK perlu dalam
menyusun program pengembangan melakukan kajian tentang sejauh mana
produk tersebut masih memiliki potensi dan peluang untuk dikembangkan
di mana mutu dapat ditingkatkan untuk kemudian mampu bersaing di
pasar bebas.
5. Industri/UKM yang selama ini bergerak dalam produk yang sudah di
pasarkan, tidak begitu mudah dapat menerima produk teknologi yang
ditawarkan oleh lembaga litbang untuk suatu produk baru, yang diperlukan
berbagai investasi dan hal ini sulit dapat dipenuhi oleh industri/UKM dan
masyarakat umumnya.
6. Pihak industri tampaknya lebih siap menerima pengembangan
produk/teknologi, sebagai contoh UKM Produk Kacang dan Mete serta
Gudeg dalam kemasan. Keduanya adalah produk yang sudah lama di
pasarkan, namun memerlukan inovasi teknologi untuk meningkatkan nilai
tambah produknya dan daya saingnya di pasar bebas sesuai tuntutan era
global.
149
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
TUJUAN PENELITIAN
Sebagai upaya mencari solusi dari permasalahan dalam membangun
kemitraan lembaga litbang pemerintah dengan industri/UKM terutama dalam
menghadapi era globalisasi yang menuntut berbagai persyaratan mutu produk dan
pelayanan yang berdaya saing, sehingga tujuan penelitian ini adalah :
1. Memetakan cara-cara membangun kemitraan antara Lembaga Litbang
dengan Industri;
2. Faktor-faktor yang mendukung terbangunnya kemitraan antara lembaga
litbang dengan industri;
3. Pertimbangan daya saing dalam membangun kemitraan dan kendala-
kendala yang dihadapi dalam membangun kemitraan antara lembaga
litbang dengan industri.
4. Merumuskan konsep kemitraan Lembaga Litbang dengan industri dalam
mendukung daya saing.
150
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Profesional Baru
Unggulan2 dan
DISIPLIN Inovator2 Masa
Depan
DISIPLIN Kerja
PUSLIT KIMIA
DAN BPTK Kemitraan Unit-unit
sama i
Terbatas Industri
DISIPLIN
Kebutuhan
151
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, digunakan metode kualitatif analitik dengan
pendekatan Soft System Methodology (SSM) untuk melihat Kemitraan Lembaga
Litbang dengan Industri yang mengambil kasus UPT BPPTK-LIPI dan Puslit Kimia
LIPI. Penelitian kemitranaa ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan UPT
BPPTK dan Puslit Kimia-LIPI dalam membangun kemitraan dengan industri/UKM.
Penggunaan SSM dalam penelitian ini terutama menekankan pada permasalahan
situasi yang belum terstruktur ( problem situation unstructure) yang dihadapi oleh
organisasi maupun SDM yang ada di dalamnya. Terutama dalam penggunaan SSM
untuk menyoroti peran pimpinan unit litbang maupun industri yang disebut
sebagai aktor-aktor dalam membangun kemitraan.
Suatu pendekatan yang menyeluruh, komprehensif, bersistem dan analitik
seperti dikemukakan Peter Checkland dan Jim Scholes (1990) sebagai pendekatan
Soft Systems Methodology (SSM) yang didasarkan pada kategorisasi kemampuan
organisasi dalam membangun kemitraan antara lembaga litbang dengan Industri.
SSM secara sistemik dengan model-model sistem (Checkland 1993) digunakan
untuk menganalisis permasalahan yang belum terstruktur seperti diungkapkan di
atas dari Puslit Kimia maupu UPT BPPTK yang sudah banyak membangun
kemitraan dengan Industri. Pengembangan model SSM terhadap permasalahan
yang belum terstruktur seperti tampak pada gambar 1, dengan penggalian
permasalahan yang belum terstruktur dengan mendiskusikan secara intensif
dengan pihak terkait atau aktor-aktor di dalamnya, membandingkan konsep
systems thinking dengan dunia nyata (real world), dan melakukan penyelesaian
masalah secara bersama (Raharja 2009).
152
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
iptek dan SDM dengan pihak Industri/UKM sebagai pengguna hasil litbang atau
iptek. Ketujuh tahapan ini meliputi : (1) Pada tahap pertama ini merupakan tahap
penggambaran situasi (rich picture) permasalahan yang belum terstruktur dari
kondisi lembaga litbang dan industri, yaitu menguraikan menyikapi permasalahan.
Berbagai persepsi situasi permasalahan dikumpulkam dari aktor-akor dengan
berbagi peran dalam situasi permasalahan yang terjadi. Wawancara dengan aktor
pengambil keputusan dalam penentuan program litbang sampai hasil dapat
diterima oleh pihak Industri; (2) Tahap ke dua dibahas dan diolah dari hasil
wawancara pada tahap pertama. Fenomena yang terjadi antara kedua pihak yang
membentuk dan menguatkan kemitraan maupun kendala kemitraan
diformulasikan sebagai pernyataan permasalahan. Pernyataan permasalahan
dapat distrukturkan/ diformulasikan sehingga jelas pembentuk kemitraan dan
kendalanya. Dari tahap 1 dan 2 ini disebut dunia nyata (real world) mengingat
struktur permasalahan dibangun dari kondisi nyata (real situation). (3) Tahap ke
tiga dari pernyataan permasalahan (the problem expressed) didefinisikan sebagai
sistem yang relevan. Tahap ke tiga ini disebut sebagai definisi akar permasalahan
sebagai sistem yang relevan. Memformulasikan pandangan tertentu atas situasi
dengan menguraikan sifat yang sesuai dengan pandangan atau perspektif yang
relevan dengan situasi permasalahan kemitraan yang dihadapi kedua pihak. Dalam
langkah kedua ini diuraikan berbagai perspektif dan ekspresi para aktor sesuai
dengan peran masing-masing dalam situasi. (4) Tahap ke empat menganalisis
model-model konseptual yang menghasilkan konsep sistem formal dan berpikir
sistem yang kiranya dapat diimplementasikan sebagai upaya kemitraan antara
lembaga litbang dengan industri. Proses transformasi menggambarkan aktivitas
dalam sistem dan urutan yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses
transformasi terbentuknya kemitraan. (5) Tahap ke lima, membandingkan model
konseptual dengan pernyataan permasalahan yang telah terstruktur dari masalah
kemitraan. Model konseptual sebagai hasil dari systems thingking dengan
pernyataan permasalahan dari kondisi nyata. Pada tahap ini model konseptual
pada langkah ketiga, diajukan dalam suatu diskusi dengan aktor-aktor. (6) Tahap
ke enam definisi atau menetapkan perubahan yang mungkin diinginkan dan layak.
Dari hasil analisis dan pandangan para aktor-aktor dapat ditetapkan perubahan
yang diinginkan untuk mendukung terwujudnya suatu bentuk kemitraan dengan
berbagai persyaratan. Ke tujuh, dengan sendirinya dari tahap 6 ini kedua pihak
unit litbang dengan pihak industri harus menyikapi sintesa dari tahap 5 dan 6
sebagai upaya melakukan tindakan penyelesaian atau perbaikan situasi
permasalahan sebagai upaya nyata dalam meningkatkan daya saing menghadapi
era global tersebut. Dengan demikian membangun kemitraan bukan tujuan akhir
tetapi meningkatkan daya saing produk industri sebagai tujuan akhir dalam
membangun kemitraan.
Lokasi Penelitian
Penelitian mengambil lokasi di Puslit Kimia-LIPI di Bandung dan di UPT
BPTK- LIPI di Yogyakarta. Sedangkan Industri terkait juga diusahakan berada
pada daerah yang sama sehingga dengan mudah dapat dijangkau oleh para
peneliti. Pengambilan lokasi/daerah penelitian sangat ditentukan pada letak unit
153
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
litbang yang beraktivitas di daerah tersebut dengan orientasi litbang pada bidang
industri pangan. Puslit Kimia-LIPI dan UPT BPTK-LIPI keduanya banyak bergerak
dan menghasilkan litbang pada industri pangan yang sudah banyak
dikerjasamakan dengan pihak pengguna khususnya dunia bisnis.
154
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
155
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
156
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Belum dapat dirumuskan peluang pasar dari produk hasil Litbang dan
teknologi yang dianggap merupakan produk yang baru dan belum ada di
pasaran
Industri/UKM belum dapat menerima dan menjadikan produk
pengembangan teknologi sebagai solusi membangun usahanya dan dapat
meningkatkan mutu produk dapat ditingkatkan untuk mampu bersaing di
pasar bebas
157
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Inovasi
L1
Kemitraan
L2 Lp
Terbatas Unit
Industri
L3
Kebutuhan
Industri/UKM
UPT BPPTK-LIPI Konsultasi Litbang
158
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
159
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
160
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
PUSLIT KIMIA-LIPI
Puslit Kimia-LIPI merupakan salah satu satuan kerja yang memposisikan
diri sebagai organisasi penelitian dan pengembangan terkemuka di Indonesia
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kimia dengan reputasi internasional
dan berperan nyata bagi pembangunan nasional dan kualitas lingkungan global.
Suatu impian yang mulia yang dituju bersama dalam mewujudkan masa depan
Puslit Kimia-LIPI yang lebih cerah dengan kemungkinan untuk mencapainya besar
sekali. Sebagai landasan filosofis yang mencerminkan tekad dan usaha perbaikan
masa depan, Puslit Kimia-LIPI juga menjadi motivator bagi semua potensi
organisasi dan menjadi arah di dalam penyusunan program dan strategi dalam
mencapai keinginan tersebut.
Produk hasil Litbang yang dimitrakan oleh Puslit Kimia-LIPI adalah:
pertama: hasil diversifikasi kaldu nabati berbasis kacang kedele ini menghasilkan
produk-produk pangan lainnya seperti: Kecap (manis, asin, dan pedas);
Diversifikasi pengolahan tempe; Bioproses produksi minyak kelapa; dan
Pembuatan bahan acuan untuk analisis aditif dalam saos dan sirup. Kedua:
Diversifikasi produk sawit, seperti: Pengembangan plasticizer pengganti DOP dari
turunan minyak sawit; dan pengembangan teknologi produksi surfaktan. Cara-
cara kemitraan hasil litbang yang telah/sedang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kimia-LIPI, adalah melalui: Lisensi teknologi, jual teknologi, jasa produksi, dan
melalui media promosi. Bentuk-bentuk kemitraan yang dilakukan oleh Puslit
Kimia LIPI dengan industri/masyarakat adalah: Kontrak riset, konsultasi, dan
pembinaan teknis.
161
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
162
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
164
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ekonomi apakah melalui penjualan lisensi dan atau royalty apabila telah
dipatenkan, atau kemitraan untuk bersama-sama mengkomersialisasikan produk
tersebut, dan atau sebagainya yang akan tercermin dari strategi dan model yang
akan disepakati.
Sebagai Puslit Kimia-LIPI yang telah memiliki pengalaman yang cukup lama
dalam memasarkan produk hasil litbang untuk dapat diterima oleh pihak
pengguna/perusahaan industri, maka salah satu langkah yang strategis adalah
dengan meningkatkan kinerja organisasi. Pengenalan produk hasil litbang melalui
pameran, seminar, lokakarya merupakan upaya yang dilakukan setiap tahun.
Bentuk-bentuk peningkatan kinerja itu sendiri berupa pelatihan pada masyarakat
UKM untuk mengenal produk hasil litbang, Selain itu juga dilakukan pelatihan bagi
SDM organisasi baik dalam hal teknis maupun non teknis.
Mengenalkan produk hasil litbang selain melalui pameran, seminar, juga
melakukan/melaksanakan pelatihan pada masyarakat pengguna. Di samping itu
membuat jaringan berbasis website supaya bisa diakses secara mudah oleh dunia
bisnis, industri, dan masyarakat pengguna. Penyebaran informasi tentang profil
produk hasil litbang melalui antara lain liflet, penawaran produk ke unit-unit
industri dan dunia bisnis, di samping unit-unit kerja terkait di lingkungan Pemda
setempat. Penelusuran informasi terkait dengan pasar, peningkatan kuantitas, dan
kualitas SDM. Pelatihan peningkatan pengetahuan pemasaran produk litbang,
peningkatan kuantitas dan kualitas SDM, Meningkatkan komitmen dengan
mendukung nilai-nilai inti satker/UPT litbang, meningkatkan citra organisasi
dengan memberikan pelayanan prima, dan meningkatkan kemandirian dan
profesionalisme organisasi.
165
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
166
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
167
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Kemitraan hasil litbang selayaknya adalah kegiatan yang terencana dari sejak
kegiatan litbang diusulkan dan merupakan kegiatan lintas disiplin ilmu
Pada umumnya peneliti yang bekerja di sangat concern untuk mendapatkan
hasil yang terbaik, tetapi kurang/belum memperhatikan masalah keekonomian
bila hasil litbangnya akan diaplikasikan dalam bisnis
Pengembangan jejaring ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu
konsekuensi dari sifat ilmu pengetahuan dan teknologi yang universal dan
dinamis tidak dapat dibatasi sekat-sekat administratif
Struktur organisasi memiliki beberapa bagian akan tetapi yang mempunyai
tugas dan fungsi sebagai bagian yang mengkoordinasikan kegiatan kerjasama
dan kemitraan adalah bagian jasa dan informasi yang memiliki tugas untuk
menyampaikan atau mempromosikan hasil litbang serta membangun
kemitraan dengan pengguna(industri/UKM)
168
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
169
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
Checkland, Peter and Scholes, Jim. 1990. Soft Systems Methodology In Action. New York:
John Wiley & Sons.
Cu, Shalin J. 1999 dan Richard Nelson 1993, dalam Greca dkk, Pola Interaksi Antara
Perguruan Tinggi-Pemerintah-Industri Kajian Triple Helix, Warta Kebijakan Iptek
dan Manajemen Litbang Vol. 7 No.1 Juli 2008, Jakarta.
Delbridge, R. and Fisher, S. 2007, The use of soft systems methodology (SSM) in the
management of library and information services: a review, Library Management, Vol.
28 Nos 6/7.
Khalil, T.M. 2000. Manajement of Technology: the Key to Competitiveness and Whealth
Creation. New York: McGraw-Hill Books Co
170
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Mohammad Jafar Hafsah,Ir, Dr. 2000. Kemitraan Usaha. Konsepsi dan Strategi.Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta.
Paul C. Light. The Pillars Of High Performance. 4 Kunci Penting Menuju Perusahaan Yang
sehat dan Kuat. PT Buana Ilmu Popular. Juli 2008.
Pettigrew, Andrew dan Whipp, Richard. 1996. Unggul Bersaing Melalui Inovasi, Bisnis
Mutakhir. Penerbit: Abdi Tandur
Porter, M. E., 1980. Competitive Strategy: Technique for Analyzing Industries and
Competitor. New York: The Free Press.
Prescott, J.E and Grant, J.H., 1988. A Managers Guide for Evaluating Competitive Analysis
Tchniques. Interfaces. 18(3), may-Yune, hlm 10-22.
Surminah, Iin dkk. 2006. Studi Kemitraan Lembaga Litbang Untuk Mendorong
Penerapan Iptek. Penerbit LIPI Press. Jakarta
You Tzu Li, David G. Jansson, Ernest G. Cravalho, 1980, Technology Inovation In Education
dan Industry, Massachusetts Institute of Technology Cambridge, Massachusetts.
Pettigrew, Andrew dan Whipp, Richard. 1996. Unggul Bersaing Melalui Inovasi, Bisnis
Mutakhir. Penerbit : Abdi Tandur
Porter, M. E., 1980. Competitive Strategy: Technique for Analyzing Industries and
Competitor. New York: The Free Press.
Prescott, J.E and Grant, J.H., 1988. A Managers Guide for Evaluating Competitive Analysis
Tchniques. Interfaces. 18(3), may-Yune, hlm 10-22.
You Tzu Li, David G. Jansson, Ernest G. Cravalho, 1980, Technology Inovation In Education
dan Industry, Massachusetts Institute of Technology Cambridge, Massachusetts.
171
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produk-produk teknologi terbaru dan canggih relatif mudah ditemukan di
tanah air. Bahkan, produk-produk, seperti smartphone atau komputer tablet,
memasuki pasar Indonesia hampir pada saat yang sama dengan pasar di negara-
negara maju. Bahkan ada vendor yang melakukan peluncuran awal dari
smartphone termahalnya malah dilakukan di Indonesia, bukan di negara-negara
maju dan kaya. Itupun banyak orang antri untuk mendapatkannya. Bukankah ini
menunjukkan penghargaan masyarakat pada teknologi?
Namun, kesukaan terhadap produk teknologi canggih ini tidak diimbangi
pada penghargaan terhadap proses litbang yang panjang dan melelahkan untuk
menghasilkannya. Anggaran litbang masih rendah, dan persentase terbesar masih
172
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
datang dari pemerintah. Kinerja para peneliti kita di tingkat internasional masih
lebih rendah dari pada beberapa negara tetangga yang penghargaan terhadap
penelitinya memang lebih baik.
Perumusan Masalah
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif (exploratory research) yang
mencoba menjawab: Faktor-faktor apa yang berpengaruh pada produktivitas
peneliti di LIPI?
Untuk menjawab pertanyaan ini kami mengeksplorasi dua aspek yang
memiliki kemungkinan berpengaruh pada produktivitas peneliti, yakni:
1. Aspek internal, yakni motivasi dari peneliti, persepsi peneliti tentang
dirinya sendiri.
2. Aspek eksternal, yakni lingkungan kerja, baik organisasi secara formal,
termasuk kepemimpinan, maupun lingkungan sosial sesama peneliti.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang mendorong
produktivitas peneliti.
Manfaat Penelitian
Teridentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada produktivitas peneliti,
sehingga manajemen bisa menentukan kebijakan dan tindakan yang tepat dalam
mendorong peningkatan produktivitas peneliti.
KERANGKA BERPIKIR
Dalam melaksanakan penelitian ini diambil kerangka konseptual sebagai
berikut:
173
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
174
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
METODE
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengisian lembar pertanyaan
(kuesioner) terhadap peneliti di lingkungan LIPI. Sedangkan data sekunder
diperoleh melalui penelusuran literatur dan dokumentasi berupa bahan
kepustakaan dalam bentuk buku, laporan hasil penelitian, jurnal serta dokumen
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan data sekunder
diperoleh sejumlah 1239 peneliti di lingkungan LIPI, yang dianggap sebagai
populasi. Pada penelitian ini yang dijadikan responden penelitian adalah peneliti
di lingkungan Puslit-LIPI, yang terpiih sebagai sampel.
Sampel
Peneliti yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah pegawai negeri sipil
yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat
yang berwenang untuk melakukan penelitian dan/atau pengembangan iptek pada
satuan organisasi litbang di LIPI, yang diatur dalam Petunjuk Teknis Jabatan
Fungsional Peneliti.
Atas pertimbangan tersebut dan terbatasnya dana penelitian, maka
pengambilan sampel dilakukan dengan mengirim kuesioner ke 400 peneliti secara
purposive sampling (sampling kebijaksanaan) dan convinience sampling (sampling
kemudahan) dengan memilih peneliti di dalam daftar kerangka sampling. Karena
teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
non probability sampling (metode tak acak), maka hasilnya tidak dapat digunakan
untuk menggeneralisasi populasi.
Analisis Faktor
175
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
176
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
177
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Tabel 1
Persentase Keragaman Kumulatif Komponen Utama
Pada penelitian ini variabel-variabel yang diamati atau data yang digunakan
berasal dari data sampel, sehingga perlu menghitung nilai Kaiser-Meyer-Olkin
(KMO) yang digunakan untuk menentukan apakah hasil suatu faktor dapat
dinyatakan telah tepat. Berdasarkan data yang diperoleh dari 182 responden,
diperoleh nilai KMO sebesar 0,883, yang berarti analisis faktor dapat dilanjutkan
karena nilai KMO > 0,5.
Sembilan faktor yang terbetuk tersebut, selanjutkan diberi nama sebagai
berikut. Faktor 1 (Kepemimpinan), Faktor 2 (Lingkungan sosial peneliti), Faktor 3
(Konsistensi organisasi), Faktor 4 (motivasi), Faktor 5 (Insentif dan lingkungan),
Faktor 6 (Produktivitas & kompetensi), Faktor 7 (Perkembangan ilmu), Faktor 8
(Pejabat struktural), dan Faktor 9 (Birokrasi). Pengelompokan 37 variabel
penelitian kedalam 9 faktor selengkapnya adalah sebagai berikut.
178
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Tabel 2
Pengelompokan Variabel Penelitian kedalam 9 Faktor
Faktor Kode Variabel
179
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Tabel 3
Korelasi Faktor-faktor Penentu Produktivitas Peneliti
180
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Tabel 4 berikut di bawah merupakan ringkasan hasil korelasi antara 9 faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas penelitian dengan produktivitas peneliti versi 1.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa secara keseluruhan terdapat korelasi yang
rendah antar keduanya. Walaupun koefisien determinasinya rendah sekali, tetapi
secara statistic masih terdapat 3 faktor yang signifikan yaitu untuk Faktor
Aturan/kebijakan (0,004); Faktor Ingin menjadi peneliti yang tangguh (0,003);
Faktor Kompetensi (0,00) dan Faktor Pejabat struktural (0,00)
Tabel 4
181
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
Tabel 5
182
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
digunakan adalah skala likert. Dalam penelitian yang menggunakan skala likert ini
cenderung memiliki hubungan yang relatif kecil.
183
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
dalam jumlah jam kerja yang rendah, sedangkan yang lebih produktif bisa
mendapatkan jumlah jam yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya.
Insentifnya bisa juga dalam bentuk pengakuan. Misalnya setiap satker
menentukan tim penelitian terbaik ataupun peneliti terbaik setiap tahunnya.
Demikian juga di tingkat LIPI perlu ditentukan tim peneliti terbaik ataupun
peneliti yang paling produktif setiap tahunnya. Pengakuan, jika dipublikasikan
secara luas, akan dipersepsi sebagai penghargaan yang berarti juga bagi peneliti.
Strategi harus mengikuti visi, dan struktur harus mengikuti strategi. Karena
itu jika LIPI hendak menjadi world-class research institution, maka seluruh
instrumen organisasi harus diarahkan untuk mendukung pencapaian visi tersebut,
termasuk sistem insentifnya. Jika LIPI ingin memiliki reputasi internasional, maka
publikasi internasional harus secara eksplisit disosialisasikan dan didorong
dengan sistem insentif, baik finansial maupun pengakuan.
Kepemimpinan
Tugas pemimpin satker adalah mencari proporsi yang tepat antara tindakan
memelihara atau maintaining (M) dan tindakan produksi (P). Tindakan
memelihara, antara lain, meliputi memperhatiakan bawahan, perhatian terhadap
kebutuhan dan cita-cita mereka, membuat mereka merasa penting, membuat
orang merasa menjadi bagian dari Satker, dan lain-lain. Sementara tindakan
produksi, antara lain, meliputi menjadwalan pekerjaan, mendefinisikan tujuan,
menjelaskan pada bawahannya bagaimana mencapai tujuan tersebut, serta
memastikan agar bawahannya melakukan apa yang diharapkan dari mereka.
Pemimpin bisa menentukan kualitas manajemen dan konsistensi organisasi.
Lingkungan Sosial Sesama Peneliti
Peran lingkungan sosial cukup besar bagi peneliti. Mereka bisa saling
menginspirasi ataupun sebaliknya saling melemahkan motivasi masing-masing.
Tindakan dari pemimpin Satker bisa turut membantu terbentuknya lingkungan
sosial yang kondusif.
Motivasi
184
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
DAFTAR PUSTAKA
Abbey, A. & Dickson, J.W. (1983). R&D Work Climate and Innovation in Semiconductors.
Academy of Management Journal 26 (2).
Abbott, J, & Kleiner, B.H. (1992). Incentive pay: Not just for top management. Work Study,
Mar/Apr, 41(2).
Abdullah, B. (2006). Menanti kemakmuran negeri: kumpulan esai tentang pembangunan
sosial ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ambos, B. & Schlegelmilch, B.B. (2008). Innovation in Multinational Firms: Does Cultural
Fit Enhance Performance? Management International Review, 48 (2).
Ayers, D.F. (2005). Organizational Climate in Its Semiotic Aspect: A Post Modern
Community College Undergoes Renewal. Community College Review 33(1), Fall.
Badawy, M.K. (1971). Industrial scientists and engineers: Motivational style differences.
California Management Review, Fall, 14(1).
Badawy, M.K. (2007). Managing Human Resources. Research Technology Management, July
August.
Balderston, J., Birnbaum, P., Goodman, R., & Stahl, M. (1984). Modern Management
Techniques in Engineering and R&D. Van Nostrand Reinhold.
Brown, M.G., & Svenson, R.A. (1998). Measuring R&D productivity. Research Technology
Management, Nov/Dec, 41(6).
Chen, Y., Gupta, A., Hoshower, L. (2006). Factors That Motivate Business Faculty to
Conduct Research: An Expectancy Theory Analysis. Journal of Education for Business,
81(4).
Cohen, B.H., & Lea, R.B. (2004). Essentials of Statistics for the Social and Behavioral Sciences.
Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
Cooper, R.G. & KleinSchmidt, E. J. (2007). Winning businesses in product development: the
critical success factors. Research Technology Management, 50 (3), May/June.
Couto, J.P., & Vieira, J.C. (2004). National Culture and Research and Development Activities.
Multinational Business Review, 12(1).
Daryatmi, 2002. Pengaruh motivasi, pengawasan dan budaya kerja terhadap produktivitas
karyawan perusahaan. Diakses http://www.eprints.ums.ac.id/125/1/daryatmi pdf,
26/10/2010.
Denison, D.R. (1996). What is the difference between organizational culture and
organizational climate? A native's point of view on a decade of paradigm wars. The
Academy of Management Review 21(3).
Endang Lestari Hastuti, 1998. Hambatan Sosial Budaya Dalam Pengarusutamaan Gender
di Indonesia, diakses dari http://www.ejournal.unud.ac.id, 03/01/2011.
Fogarty, T.J. & Ruhl, J.M. (1997). Institutional antecedents of accounting faculty research
productivity: A LISREL study of the Best and the Brightest. Issues in Accounting
Education, 12 (1).
Fox, K.J. & Milbourne, R. (1999). What Determines Research Output of Academic
Economists? The Economic Record 75(230), September, p. 256-67.
Gavrila, C., Caulkins, J.P., Feichtinger, G., Tragler, G. , Hartl, R.F. (2005). Managing the
185
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
186
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010
187