Anda di halaman 1dari 187

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN

2010

DINAMIKA LINKAGES LEMBAGA LITBANG DENGAN INDUSTRI

Agus Santoso, Azis Taba Pabeta, Iin Surminah dan Saut H. Siahaan
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK
Kemajuan suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuan
sektor produksi dalam mendayagunakan teknologi untuk menghasilkan produk
barang dan jasa yang berguna bagi pemenuhan kebutuhan pasar domestik dan
ekspor. Salah satu untuk memperoleh kemajuan tersebut, diperlukan suatu
linkages antara lembaga litbang dengan industri. Kasus lembaga litbang (baca:
empat puslit di LIPI) diantaranya: Puslit bioteknologi, puslit informatika, puslit
fisika dan puslit elektronika dan telekomunikasi, bahwa dinamika linkages yang
terjadi dengan industri tampaknya belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan
industri sebagai stakeholder-nya. Hal ini terlihat dari perencanaan kegiatan
penelitian lembaga litbang belum mendorong usaha bersama atau menuju pada
pendirian industri. Sementara dari sisi industri orientasinya lebih pada
peningkatan kemampuan untuk memperoleh nilai tambah dalam kegiatan
usahanya. Sedangkan para penelitinya lebih tertarik pada kegiatan penelitiannya
untuk peningkatan kompetensinya. Sejalan dengan itu mekanisme linkages
lembaga litbang dengan industri umumnya terbangun melalui pembinaan SDM
industri, studi kelayakan, dan pengenalan teknologi yang dihasilkan lembaga
litbang. Kegiatan-kegiatan ini umumnya dilakukan personil peneliti, sehingga
linkages yang dibangun sifatnya lebih pada personal peneliti dengan industri.
Sehingga secara kelembagaan masih relatif belum terbangun, karena linkages
yang terjadi masih dalam tatanan pelatihan SDM industri. Pada akhirnya pola
dinamika linkages lembaga litbang dengan industri hanya pemanfaatan SDM
(peneliti) dan fasilitas di lembaga litbang oleh industri.
Kata kunci: Lingkages, Lembaga Litbang, Industri.

1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

PENDAHULUAN
Dinamika linkages lembaga litbang (kasus empat puslit di LIPI) dengan
industri merupakan suatu proses pembelajaran yang bertujuan untuk
menghasilkan produk lembaga litbang yang dapat berkontribusi pada industri.
Kontribusi produk lembaga litbang sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing
sangat dibutuhkan di era globalisasi saat ini. Untuk mendorong kontribusi hasil
lembaga litbang dibutuhkan terobosan yang strategis. Salah satu terobosan yang
diharapkan mampu menjawab adalah dengan membangun linkages yang dinamis
antara lembaga litbang dengan industri. Banyak produk lembaga litbang yang
berpotensi dan bernilai ekonomi tinggi, namun mengalami kendala sistemik,
seperti kemampuan SDM industri, penguasaan teknologi, manajemen, produksi,
pemasaran dan sebagainya.
Produk lembaga litbang yang berpotensi untuk dikembangkan yang
mempunyai nilai ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat dan pasar, serta
mempunyai manfaat sosial bagi masyarakat terdapat 3 (tiga) aspek yang harus
dikembangkan bersama antara lembaga litbang dengan industri. Untuk
membangun dinamika linkages tersebut, yaitu aspek orientasi program dan
kegiatan yang ditetapkan dalam berbagai kebijakan baik di tingkat lembaga litbang
maupun ditingkat penentu kebijakan serta mencakup interaksi unsur pelaku
sistem iptek (Lembaga Litbang, Perguruan Tinggi, Badan Usaha/Masyarakat).
Tiga aspek yang dimaksud meliputi : (1) Aspek hasil dan nilai manfaat; (2)
Aspek kontribusinya bagi masyarakat; (3) Aspek ekonomi atau nilai komersial
yang disertai strategi pemasaran. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan
kualitatif untuk melihat dinamika linkages, melalui pengumpulan dan pengolahan
data serta analisis dan pembahasan mengenai terbangunnya dinamika linkages
dengan win-win solution. Oleh karenanya ada sejumlah manfaat dari studi ini,
antara lain: yakni memudahkan bagi lembaga litbang untuk membangun
komunikasi dengan industri; memudahkan bagi lembaga litbang untuk
menentukan program-program litbang yang dibutuhkan oleh industri; dan
memudahkan bagi lembaga litbang untuk meningkatkan kemampuan sumber daya
industri. Dengan demikian output dari studi ini adalah akan terlihat pola dinamika
linkages antara lembaga litbang dengan industri yang dapat dijadikan rujukan
dalam mendorong pembangunan nasional/daerah khususnya di bidang iptek.

KERANGKA BERPIKIR
Suatu dinamika linkages antara lembaga litbang dengan industri seperti
dalam gambar 1, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor/variabel. Pada gambar
yang tertulis, didalam lingkaran sebelah kiri tengah adalah lembaga litbang yang
intinya terlihat meliputi perencanaan program lembaga litbang dan kemampuan
sumber daya lembaga litbang yang dimiliki serta iptek yang strategis. Secara
singkat hal ini dimaksudkan bahwa sebagai lembaga litbang, praktis harus
melakukan kegiatan penelitian namun sebelum itu harus mempunyai perencanaan
program terlebih dulu yang diharapkan hasilnya sesuai dengan kebutuhan
industri. Kemudian berikutnya terlihat, sumberdaya lembaga litbang diartikaa
bahwa didalam lembaga litbang tentu mempunyai SDM (khusus tenaga peneliti),

2
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

kemudian sarana dan prasarana litbang (laboratorium). Untuk masalah SDM,


dalam pengembangan kedepan diwajibkan mengikuti diklat serta meningkatkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itu peran lembaga litbang bisa
dikatakan sebagai pemasok iptek yang mempunyai nilai strategis.

Gambar 1: Dinamika linkages lembaga litbang dengan industri

Disisi lain tertulis pada kolom sebelah kanan adalah "Industri" dimana pada
sisi industri ini yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan produk industri,
standar mutu produk yang dihasilkan oleh industri, bahan baku utama dan bahan
baku penolong yang dbutuhkan untuk produksi, teknologi produksi, proses
produksi, desain produk, pemasaran, dan harga yang terjangkau. Sedangkan garis
lingkaran yang menggambarkan angka delapan menunjukkan bahwa garis
tersebut, merupakan proses dinamika linkages secara feedback, nah sejauhmana
dinamika linkages tersebut berjalan tergantung dari pembuktian fakta-fakta di
lapangan dan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Faktor
lain yang juga berpengaruh adalah selain kebijakan internal dari lembaga litbang
juga dukungan kebijakan iptek nasional sebagai pengaruh lingkungan eksternal.
Demikian pula pengaruh lingkungan eksternal lainnya adalah perkembangan
teknologi yang selalu berubah dengan cepat dan penuh ketidakpastian. Dalam
hubungan ini, maka dari kedua belah pihak tersebut, yaitu antara lembaga litbang
dengan industri, bila diperhatikan terhadap garis yang melingkar seperti angka
delapan menunjukkan adanya pola dinamika linkages yang saling berinteraksi. Nah
sejauhmana pola dinamika linkages yang terjadi dari empat kasus puslit di LIPI,
bisa dilihat pada bagian hasil dan pembahasan.

METODE
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Kegiatan penelitian Dinamika Linkages Litbang dengan Industri ditujukan untuk
mengetahui kemampuan lembaga litbang dalam menghasilkan program yang
memiliki keterkaitan/hubungan dengan industri di beberapa bidang Iptek.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan memilih daerah yang

3
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

disesuaikan dengan keberadaan institusi litbang di lingkungan LIPI dan pelaku


industri di bawah organisasi Kadin DKI dan Jawa Barat yang berlokasi di Bandung,
dan Bogor. Dalam penelitian ini ditekankan pada dinamika linkages dengan
produk-produk hasil litbang yang terkait dengan industri. Pemilihan lembaga
litbang didasarkan pada pertimbangan bahwa institusi ini melakukan kegiatan
litbang di bidang yang banyak menghasilkan produk yang dapat
dikomersialisasikan.
Berbagai variabel dalam studi ini disusun dalam pertanyaan-pertanyaan
yang terkait dengan dinamika linkages litbang dengan industri di beberapa bidang
iptek dan industri antara lain: Produk yang terkait atau mempunyai hubungan
dengan industri. Upaya peningkatan kinerja lembaga litbang dalam kaitan
dinamika linkages. Dengan mengetahui variabel kemampuan dan kinerja lembaga
litbang sesuai tujuan yang ingin dicapai organisasi.
Untuk memperoleh informasi yang akurat dan valid, data yang dibutuhkan
adalah data primer. Data primer pada dasarnya adalah data yang diperoleh melalui
kuesioner dan wawancara. Dalam penyebaran kuesioner dilakukan pendekatan
secara langsung dengan menghubungi pimpinan lembaga litbang sekaligus
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian tersebut. Lembaga litbang tersebut,
yaitu Puslit Informatika, Puslit Bioteknologi, Puslit Fisika, Puslit Elektronika dan
Telekomunikasi dilingkungan LIPI. Kuesioner yang disebarkan hanya diisi oleh
pimpinan Satker/UPT litbang atau pejabat yang diberi wewenang atau ditunjuk
oleh pimpinan puslit dan UPT.
Selanjutnya pengolahan data hasil kuesioner dilakukan dengan
mengarahkan pada jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Teknik pengolahan
menggunakan tabulasi sesuai dengan variabel-variabel utama dari studi ini.
Sementara data sekunder yang diperoleh melalui studi literatur baik melalui
kepustakaan, laporan tahunanl lembaga litbang maupun informasi dari media
cetak dan elektronik. Adapun analisa dan pembahasan digunakan analisis isi
(content analisys) untuk mengetahui dinamika linkages dan kemampuan Lembaga
Litbang terkait dengan industri. Hasil analisis dan pembahasan yang secara
mendalam ini diperoleh hasil secara kualitatif yang menunjukkan suatu gambaran
objektif dari dinamika linkages lembaga litbang dengan industri.

Metode Pengumpulan Data


Sebagai alat penghimpun data digunakan panduan wawancara dari
sejumlah responden melalui survey dengan pengambilan sampel secara sengaja
(purposif sampling). Sementara itu panduan wawancara disusun dari landasan
teori dinamika lingkage secara terstruktur. Hal yang perlu diperhatikan pada
pengumpulan data adalah mengungkapkan hal-hal yang bersifat kausalitatif
melalui variabel-variabel atau faktor-faktor dinamika linkages. Selanjutnya
digunakan pula kuesioner untuk penjaringan data kemampuan lembaga litbang.
Secara khusus wawancara mendalam dilakukan kepada pengelola dan
peneliti lembaga litbang, serta ketua Kadin propinsi. Dalam kasus ini peneliti perlu
memahami bagaimana lembaga litbang membangun linkage dengan industri serta

4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

dinamikanya terkait pada perencanaan, sumber daya, dan industri strategis.


Selanjutnya wawancara mendalam dengan pimpinan Kadin untuk memahami
faktor dinamika linkages pada sisi industri terkait pada kebutuhan produk
industri, standar mutu produk, bahan baku utama dan penolong, teknologi
produksi, proses, desain, pemasaran, dan daya saing.

Kriteria Responden, dipilih dari,


a. Kepala Pusat dan Peneliti di lembaga litbang LIPI yaitu:
1. Puslit Fisika (Serpong);
2. Puslit Bioteknologi (Cibinong);
3. Puslit Informatika (Bandung); dan
4. Puslit Elektronika dan Telekomunikasi (Bandung).
b. Ketua Kamar Dagang dan Industri Propinsi Jawa Barat dan DKI.

Jenis Data
Data yang digunakan:
1) Data primer, diperoleh dari hasil wawancara mendalam pada responden
terpilih. Data yang dikumpulkan meliputi faktor dinamika linkage antara
lembaga litbang dengan industri terkait sesuai kerangka pikir penelitian
(lihat gambar 2.1)
2) Data primer, hasil pengisian kuesioner di lembaga litbang dan Kadin.
3) Data sekunder, diperoleh dari laporan tahunan lembaga dan kepustakaan,
baik dari publikasi buku, artikel jurnal/journal-online, proseding, artikel
dalam media masa, dan disertasi.

Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini variabel penelitian meliputi:
(a). Lembaga Litbang:
1. Perencanaan program litbang yang berkaitan dengan dinamika linkage
2. Sumber daya litbang
3. Iptek yang strategis

(b). Industri:
1. Kebutuhan produk industri
2. Standar mutu produk
3. Bahan baku utama & Penolong

5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

4. Teknologi: produk Proses, Desain


5. Pemasaran
6. Daya saing industri

Metode Pengolahan Data dan Analisis


Data Indepth interview ditranskripkan kemudian dipilah, dan dikategorikan
agar dapat diperlakukan sebagai data. Proses pengaturan urutan data, organisasi
data dilakukan dengan suatu pola menurut kategori dan unit analisis (Sugiyono,
2006). Selanjutnya data kuesioner dipetakan dalam bentuk matriks untuk
menunjukkan faktor-faktor dinamika linkages lembaga litbang dengan industri.
Metode analisis kualitatif melalui penyusunan data secara induktif dan
menginterpretasikan dinamika linkages dengan menyoroti keterkaitan program
lembaga litbang dengan kebutuhan industri yang berujung pada win-win solution.
Hal ini akan menunjukkan gambaran skematis dinamika linkages lembaga litbang
dengan industri.

Sumber: Sugiyono (2006)

Gambar 2 : Model Analisis Data Kualitatif

Secara skematis analisis data kualitatif ditunjukkan pada gambar 2. Hal ini
menunjukkan bahwa analisis kualitatif dimulai dari pengumpulan data yang
dilanjutkan dengan proses pemetaan data dan reduksi data. Selanjutnya hasil data
akhir digunakan untuk menggambarkan dinamika linkages. Analisis ini jika masih
belum memuaskan masih dapat diulang kembali ke tahapan pengumpulan data
dan seterusnya (loop tertutup). Analisis kemudian dilanjutkan dengan
membangun model melalui analisis variabel yang terkait dengan dinamika
linkages lembaga litbang dengan industri.

6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Hasil dari Puslit Bioteknologi; Puslit Informatika; Puslit Fisika dan Puslit
PPET:
Dimensi Perencanaan Program Litbang
Dimensi perencanaan program litbang ditunjukkan dari kapasitas dan
kapabilitas perencanaan lembaga litbang terkait pada acuannya, kebutuhan
industri maupun lingkungan serta kebijakan iptek. Hasilnya menunjukkan bahwa
perencanaan program litbang di P2 Bioteknologi mengacu pada nilai jual
teknologi, jasa produksi, kontrak riset, inkubator, dan spin off. Dalam kasus ini
perencanaan program tidak didasarkan pada kemungkinan pendirian industri
maupun pendirian usaha bersama. Sementara itu perencanaan program litbang
untuk memenuhi kebutuhan industri ditunjukkan melalui standar mutu produk,
kemampuan teknologi, proses produksi, pengembangan dan inovasi, potensi pasar
produk industri, daya saing produk dengan keunggulan teknologi dan harga yang
terjangkau. Lebih jauh perencanaan program litbang juga memperhatikan ilmu
pengetahuan yang strategis, lingkungan yang selalu cepat berubah, kebijakan
iptek, dan daya saing bangsa.
Kemudian dalam melihat perencanaan program Puslit Informatika, juga
mengacu pada kapasitas dan kapabilitas lembaga yang antara lain diarahkan pada:
Jasa produksi, seperti membuat software, hardware dan aplikasi (otomasi dan
kontrol). Kemudian pernah melakukan kontrak riset atau mengembangkan
kerjasama dengan sejumlah instansi, seperti pada tahun 2006 dengan BPPT yang
menghasilkan distribusi (distro) IGOS Nusantara. Pada tahun 2007 juga menjalin
kerjasama dengan PT. INTI untuk mengembangkan model bisnis IGOS Nusantara.
Selain itu Puslit Informatika berupaya menerima dan memberi pelayanan
konsultasi yang berkenaan dengan software, hardware dan aplikasi.
Kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki Puslit Informatika tentu disesuaikan
dengan kebutuhan industri, misalnya standar dan mutu produk, beberapa hasil
produk penelitian berupa aplikasi, meliputi Network Digital Library; Aplikasi Multi
Media; Sistem e-Government untuk Aset, SDM dan P2JP dan lain sebagainya.
Sedang kegiatan dalam perencanaan program yang terkait dengan kapabilitas
teknologi, adalah penguasaan iptek yang meliputi: Operating System, Digital, Signal
Processing, Spread Spectrum, Embedded System dan Interfacing, Teknologi
Pengaksesan, Arsitektur Komputer, Multimedia System. Untuk menunjang hal-hal
di atas, daya saing yang dilakukan adalah dengan modifikasi teknologinya.Semua
rangkaian tersebut, tentu mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan: ilmu
pengetahuan yang strategis, karena dunia information technology (IT) dipengaruhi
oleh lingkungan yang selalu cepat berubah.
Dalam perencanaan program Pusat Penelitian Fisika (PPF) didasarkan
pada kapasitas dan kapabilitas lembaga litbang yang mengacu pada: menjual
teknologi, dan kontrak riset sedangkan hal-hal lain seperti jasa produksi,
pembuatan usaha bersama, konsultasi, pendirian industri, inkubator, dan Spint off
tidak menjadi pertimbangan PPF-LIPI. Pilihan tersebut berarti PPF hanya sebatas

7
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

menjual teknologi yang dihasilkan oleh puslit kemudian ditawarkan pada industri,
belum melihat apa sesungguhnya yang dibutuhkan pihak industri. Kemudian PPF
melakukan kontrak riset dengan pihak industri/UKM sebagai pengguna hasil
litbang PPF, dalam hal ini kontrak riset biasanya dilakukan kerjasama baik untuk
produk, proses, maupun jasa.
Dalam perencanaan program litbang PPF tentu disesuaikan kebutuhan
industri dengan mempertimbangkan pada kemampuan teknologi, proses produksi,
pengembangan dan inovasi serta potensi pasar produk industri. Sedangkan dalam
perencanaan program yang disesuaikan dengan kebutuhan industri PPF tidak
mempertimbangkan standar dan mutu produk, bahan baku utama dan bahan baku
penolong, serta daya saing produk dengan keunggulan teknologi dan harga yang
terjangkau dan lainnya. Pilihan ini tentu didasarkan pada kemampuan PPF dalam
menghasilkan produk-produk hasil litbangnya yang dapat dikomersialkan kepada
pengguna. Kemampuan PPF tersebut meliputi kemampuan pengembangan
teknologi, proses produksi, sampai melakukan pengembagan inovasi hasil litbang,
serta mempertimbangkan potensi pasar dari produk hasil litbangnya.
Dalam perencanaan kedepan PPF senantiasa memikirkan iptek yang
strategis yang dapat diterapkan dalam dunia bisnis demikian juga dengan
dukungan kebijakan iptek yang telah ada dan dapat diacu sebagai kebijakan yang
mendukung program-program PPF-LIPI selanjutnya. Di samping itu berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan melalui wawancara dengan Kepala PPF-LIPI
diperoleh informasi bahwa untuk menghasilkan program litbang terapan masih
terbatas pada anggaran yang tersedia serta kesiapan sarana dan prasarana
organisasi yang sudah ada. Dalam penyusunan program litbang terapan yang
dianggap dibutuhkan oleh pelaku industri pada dasarnya mampu dari segi
kesiapan SDM, namun tidak mudah direalisasikan. Salah satu
kendala/hambatannya yang dihadapi oleh PPF LIPI adalah sarana dan prasarana
yang dibutuhkan tidak mudah diadakan karena keterbatasan anggaran yang telah
ditetapkan atau kebijakan pimpinan LIPI yang telah menetapkan pagu anggaran
yang dibiayai APBN dan hal ini menjadi hambatan dan dialami oleh semua satuan
kerja/ Puslit maupun UPT di lingkungan LIPI.
Demikian pula pada kasus perencanaan program litbang di Pusat Penelitian
Elektronika dan Telekomunikasi (PPET)-LIPI pada dasarnya tidak berbeda dengan
puslit lainnya, yaitu selalu didasarkan atas pertimbangan pada kapasitas dan
kapabilitas sumber daya litbang yang mengacu pada jual teknologi; jasa produksi;
kontrak riset. Hal yang tidak dilakukan oleh PPET dalam membangun dinamika
linkages dengan industri dalam perencanaan seperti tidak mengarah pada
pembuatan usaha bersama, konsultasi, pendirian industri, inkubator maupun spin
off.
Selain itu dalam perencanaan program litbang, juga selalu dikaitkan
dengan kebutuhan industri seperti: kemampuan teknologi, proses produksi,
pengembangan dan inovasi, potensi pasar produk industri. Hal yang tidak
dilakukan oleh PPET dalam membangun dinamika linkages dengan industri,
seperti tidak mengarah pada standar dan mutu produk, bahan baku utama dan
penolong, daya saing produk dengan keunggulan teknologi dan harga terjangkau.
Dalam perencanaan program litbang juga telah dipertimbangkan hal-hal yang

8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

menyangkut : Ilmu pengetahuan yang strategis, lingkungan yang cepat berubah,


dan kebijakan iptek.

Dimensi Linkages Lembaga Litbang Dengan Industri


Pada kasus Puslit Bioteknologi lingkages dengan industri dapat dibangun
mulai dari berbagai upaya seperti pengenalan iptek yang dihasilkan oleh lembaga,
penetapan idea, uji coba hasil, studi kelayakan komersial, pembinaan SDM industri,
implementasi produk litbang, bahkan dapat dimulai dari perencanaan sebelum
kerjasama dimulai. Dalam membangun linkages dengan industri diperlukan
kesiapan diantaranya adalah pengadaan peralatan litbang untuk pelengkap
instrument yang sudah tersedia, pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan
kinerja personal lembaga litbang, serta dana yang mencukupi. Selanjutnya
mekanisme yang digunakan untuk membangun linkages dengan industri adalah
melalui koordinasi dengan industri/masyarakat /UKM,
seminar/lokakarya/workshop, pameran dan sosialisasi, jaringan teknologi
informasi, dan jaringan personal/pertemanan. Kegiatan linkages atau kerjasama
dengan industri dimonitor dan dievaluasi dengan mendatangi lokasi industri.
Kunjungan ke industri digunakan juga sebagai ajang negosiasi bagi komersialisasi
hasil litbang. Dalam hal ini negosiasi digunakan untuk menentukan harga dan
standar mutu. Berdasarkan hal ini maka kemampuan yang harus dimiliki lembaga
litbang meliputi kemampuan untuk perubahan dalam mengintegrasikan berbagai
aspek, kemampuan untuk membangun dan menyusun ulang kompetensi internal
ataupun eksternal, kemampuan berinteraksi dan saling hubungan antar kegiatan
ekonomi.
Tetapi pada kasus Puslit Informatika tidak melakukan mitra atau linkages
dengan industri (UKM), tidak seperti puslit lain linkages yang terjadi biasanya
menghasilkan produk, teknologi atau jasa. Jadi jarang sekali bermitra dengan UKM
justru lebih banyak melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah,
seperti BUMN dan PTN atau PTS. Dalam kerjasama tersebut, lebih kearah partner
teknologi, sehingga fungsi Puslit Informatika tidak ubahnya sebagai pengembang
software, hardware dan aplikasi (otomasi). Oleh karenanya hasil litbangnya
berkaitan erat dengan bidang IT, terutama membuat atau mengembangkan
aplikasi software maupun menyangkut hardwarenya. Pernah suatu saat indofood
membutuhkan software untuk pengontrolan barang, tapi ini bersifat sementara
setelah itu aplikasinya dikembangkan sendiri oleh indofood.
Untuk itu dalam rangka membangun linkages atau kerjasama dengan mitra
di atas, tentu kapabilitas SDM menjadi perhatian utama Puslit Informatika. Oleh
karena itu peningkatan SDM melalui jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi
terus dilakukan. Demikian pula kegiatan pelatihan dan mengikut sertakan
sejumlah SDM di bidangnya ke berbagai kesempatan di dalam dan luar negeri juga
merupakan bagian yang tak terpisahkan.Perlakuan semua ini tentu untuk
menginisiasi berbagai kemungkinan, karena mengingat kebutuhan dan
perkembangan informatika yang begitu cepat berubah. Oleh sebab itu kegiatan
penelitian-penelitian baik yang dilakukan melalui program tematik maupun

9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

program kompetitif akan menjadi sumber inspirasi bagi para peneliti khususnya
dan kelembagaan Puslit Informatika pada umumnya.
Pada kasus PPF-LIPI linkages lembaga litbang dengan industri dapat
dibangun dimulai dari: pengenalan iptek yang dihasilkan oleh lembaga dan
pembuatan prototype. Pilihan ini disesuaikan dengan tahapan dalam menghasilkan
produk hasil litbang yang dilakukan oleh PPF. Kemudian seluruh produk yang
dihasilkan sudah berbentuk prototype. Linkages lembaga litbang dengan industri,
dimana PPF dibentuk tidak dimulai dari tahapan-tahapan, seperti perencanaan
sebelum kerjasama dilakukan, penetapan ide, uji coba hasil, uji produksi, studi
kelayakan, komersial implementasi produk litbang, dan pembinaan SDM industri
tidak menjadi pertimbangan oleh PPF-LIPI.
Dalam membangun linkages dengan industri, PPF-LIPI tentu sangat
memerlukan pengadaan peralatan litbang untuk melengkapi alat yang ada dan
memerlukan lembaga penghubung yang didukung penuh dengan kebijakan.
Sedangkan dalam membangun linkages dengan industri PPF tidak memerlukan
pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kinerja SDM lembaga litbang.
Gambaran ini mencerminkan bahwa PPF dalam membangun linkages kedepan
memang sangat membutuhkan sarana dan prasarana litbang untuk melengkapi
sarana prasarana yang telah ada, karena sarana dan prasarana yang sudah ada
belum memadai untuk menghasilkan produk hasil litbang yang dapat bersaing
dengan produk yang dihasilkan oleh industri lain. Dalam menghasilkan produk hasil
litbang untuk membangun linkages dengan pengguna kadang-kadang sarana dan
prasarana yang digunakan PPF meminjam dari Puslit LIPI lainnya untuk saling
melengkapi dan membantu. Selain itu juga perlu dukungan lembaga penghubung
(misalnya: peran Pusinov-LIPI) yang lebih pro-aktif. Akhirnya diharapkan
dukungan kebijakan internal LIPI guna mendorong program-program prioritas
yang mempunyai daya saing di pasar regional maupun global.
Dalam membangun linkages litbang dengan industri dibutuhkan mekanisme,
mekanisme yang dilakukan oleh PPF-LIPI, diantaranya adalah melalui:
Seminar/lokakarya/workshop, dan jaringan teknologi informasi. Kegiatan
seminar/lokakarya dan semacamnya sudah dilakukan baik pada event-event yang
diselenggarakan oleh LIPI maupun pada kesempatan lain di luar LIPI, sepanjang
anggaran untuk kegiatan dimaksud dapat mencukupi. Kemudian yang terkait
dengan jaringan teknologi informasi, linkages yang dibangun dengan industri
nampaknya belum berjalan secara optimal, masih terbatas pada inisiatif individu
(peneliti). Sedangkan koordinasi dengan industri/masyarakat/UKM, pameran dan
sosialisasi, dan jaringan personal/pertemanan tidak menjadi mekanisme dalam
membangun linkages dengan industri.
Dalam melakukan monitoring dan evaluasi linkages lembaga litbang dengan
industri, maka PPF melakukan langkah-langkah antara lain dengan mendatangi
lokasi industri. Hal ini yang paling dianggap paling tepat untuk melakukan
monitoring dan evaluasi atas linkages yang telah dibangun oleh PPF. Kegiatan
mendatangi lokasi industri ini dapat dilakukan oleh Kepala Pusat, Kepala Bidang di
bawahnya, Kepala Sub Bagian kerjasama, dan peneliti. Dalam kaitan ini PPF-LIPI
tidak melakukan dengan mengirimkan daftar isian yang harus diisi oleh industri.
Dalam membangun linkages dengan industri sebagai upaya komersialisasi hasil

10
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

litbang diperlukan negosiasi untuk menentukan: standar mutu/kualitas produk.


Akan tetapi harga teknologi tidak menjadi pertimbangan oleh PPF dalam melakukan
negosiasi. Untuk hal yang satu ini pihak PPF pada prinsipnya selalu menginginkan
produk hasil litbangnya dapat bersaing dengan produk lain yang sejenis.
Dalam membangun linkages dengan industri diperlukan kemampuan yang
menjadi pertimbangan penting bagi PPF-LIPI adalah: kemampuan berinteraksi dan
saling hubungan antar kegiatan ekonomi. Kemampuan dapat membentuk
kerjasama yang baik, saling menguntungkan, dan penuh komitmen selalu dituntut
agar dinamika linkges terus berjalan. Disamping itu perlu jaringan kerja dengan
industri/UKM dan membentuk komunikasi yang baik. Namun bagi PPF-LIPI tidak
menjadi pertimbangan penting adalah mengenai kemampuan untuk perubahan
dalam mengintegrasikan berbagai aspek dan kemampuan untuk membangun dan
menyusun ulang kompetensi internal ataupun eksternal.
Kemudian pada kasus PPET LIPI di bawah kepemimpinan Kapus PPET
selalu diupayakan agar setiap program litbang dapat dibangun suatu linkages
dengan industri. Hal ini tampak dari kegiatan litbang di mana selalu ada pengenalan
iptek dan pembuatan prototype yang dihasilkan oleh PPET untuk sebuah produk
yang berpeluang untuk dimitrakan dengan industri. Selain itu, dilakukan uji coba
produk dan implementasi. Sedangkan yang belum dilakukan oleh PPET pada industri
adalah uji produk, studi kelayakan komersial dan pembinaan SDM industri. Oleh
karenanya dalam membangun linkages dengan industri diperlukan hal-hal, seperti :
(1) Pengadaan peralatan litbang untuk melengkapi alat yang telah ada; (2)
Pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kinerja SDM PPET. Mekanisme dalam
membangun linkages dengan industri dilakukan, seperti: (1) Koordinasi dengan
industri/masyarakat yang terkait; (2) Pameran dan sosialisasi; (3) Mengakses pada
jaringan teknologi informasi; dan (4) jaringan personal/pertemanan.
Dalam monitoring dan evaluasi lingkages dengan industri dilakukan, seperti
mengunjungi/mendatangi lokasi industri. Sedangkan hal yang belum dilakukan,
seperti mengirimkan daftar isian yang perlu diisi oleh industri. Dalam membangun
linkages dengan industri sebagai upaya komersialisasi hasil litbang selalu dilakukan
negosiasi untuk menentukan: 1). Harga teknologi yang ditawarkan kepada industri;
2). Standar mutu/kualitas produk teknologi yang akan ditawarkan. Demikian juga
diperlukan kemampuan yang meliputi: kemampuan untuk perubahan dalam
mengintergrasikan berbagai aspek; berinteraksi dan saling hubungan antar
kegiatan ekonomi. Sedangkan yang belum dilakukan oleh PPET-LIPI kemampuan
untuk membangun dan menyusun ulang kompetensi internal ataupun eksternal

Dimensi Faktor-Faktor Pendukung Linkages


Pada kasus Puslit Bioteknologi faktor-faktor yang mendukung linkages
dengan industri secara sistematis diuraikan di bawah ini. Faktor utama adalah
daya saing produk litbang memegang peranan penting dalam mendukung
terbangunnya kerjasama ini. Selanjutnya perlu disediakan dana litbang oleh
lembaga litbang/Pemerintah yang perlu ditindaklanjuti oleh analisis kelayakan
ekonominya. Selanjutnya faktor pendukung lainnya adalah keunggulan teknologi,
kemudahan dalam komunikasi, memiliki potensi pasar, alih teknologi dapat

11
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

dilakukan dengan mudah, mudah pemanfaatan, pengoperasian, dan perawatannya.


Seperti sudah diuraikan di atas bahwa keunggulan produk adalah faktor
pendukung terbangunnya linkages antara lembaga litbang dengan industri.
Walaupun demikian terbangunnya linkages lembaga litbang dengan industri juga
dipengaruhi oleh kebijakan nasional iptek, kebijakakan internal lembaga litbang,
struktur organisasi,tugas dan fungsi lembaga litbang, strategi dan lingkungan iptek
yang strategis.
Dilihat dari sisi lembaga litbang (puslit) kesinambungan linkages tentu
adanya interaksi positif antara puslit dengan industri dan sangat ditentukan oleh
kapasitas dan kapabilitas puslit itu sendiri. Oleh karenanya dalam interaksi ini
tentu ada banyak faktor-faktor pendukung linkages tersebut, antara lain: daya
saing produk litbang; tersedia dana litbang oleh puslit; analisis kelayakan
ekonomi; keunggulan teknologi; kemudahan dalam komunikasi; memiliki potensi
pasar; alih teknologi dapat dilakukan dengan mudah; mudah pemanfaatan,
pengoperasian, dan perawatannya.
Pada kasus Puslit Informatika selain faktor-faktor pendukung linkages,
secara struktural didalam struktur organisasi lembaga litbang (puslit) kegiatan ini
terkait erat dengan tugas dan fungsi yang menjadi acuan dalam melaksanakan
kegiatan harian. Ada 3 (tiga) kegiatan bidang yang menjadi perhatian utama di
puslit informatika, yaitu: (1) bidang komputer, (2) bidang otomasi dan (3) bidang
sistem informasi.
Pada bidang komputer, sasaran yang hendak dicapai adalah, kemampuan
penguasaan teknologi dan perekayasaan rangkaian elektronika berbasis processor
DSP, microprocessor dan microcontroller, yang mendukung berbagai aplikasi di
bidang industri, lingkungan, keamanan, kesehatan, teknologi jaringan informasi
dan komunikasi.
Di bidang otomasi merupakan laboratorium otomasi dan kontrol (kendali)
yang melakukan litbang berbagai aplikasi otomasi, diantaranya sistem monitoring,
kendali dan robotika. Kemudian di bidang sistem informasi, bidang ini merupakan
laboratorium komputasi yang melakukan litbang perangkat lunak (software) untuk
berbagai aplikasi ilmiah, administrasi dan umum. Bidang ini juga meneliti sejumlah
kinerja layanan yang diberikan oleh server dan perangkat jaringan, serta
mengamati pendistribusian paket, pengalokasian koneksi, dan keamanan jaringan.
Selain itu mencakup perancangan sistem, inovasi algoritma, dan pencarian solusi
komputer.
Hal-hal tersebut di atas, setidaknya melihat dan mempertimbangkan
strategi dan lingkungan iptek yang strategis. Satu hal yang tidak kalah penting
adalah adanya daya dukung kebijakan nasional iptek disamping kebijakan internal
puslit tentunya. Nampaknya semua ini menjadi pertimbangan dalam rangka
mendukung linkages.
Demikian pada kasus Puslit Fisika LIPI, faktor-faktor yang mendukung
terbangunnya linkages sangat ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas lembaga
litbang. Oleh karena itu PPF melakukan tiga pilihan yang dianggap terkait, yaitu:
tersedianya dana litbang oleh Lembaga litbang/pemerintah, keunggulan teknologi,
dan memiliki potensi pasar. Berdasarkan ketiga pilihan ini, melihat kapasitas dan

12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

kapabilitas puslit fisika, maka diperlukan faktor-faktor pendukung linkages,


diantaranya dukungan dana penelitian. Dengan tersedianya dana pencapaian atau
keunggulan teknologi melalui konsep inovasi bisa dicapai. Selain itu sebagai
faktor-faktor pendukung linkages lainnya seperti, memiliki potensi pasar. Untuk
hal yang satu ini tampaknya hasil litbang PPF belum bisa memenuhi kebutuhan
industri secara optimal, tetapi kalau untuk kategori skala kecil sebagian puslit
sudah melakukan bahkan sudah berjalan. Akan tetapi PPF-LIPI tidak menilih enam
poin pilihan lainnya, yaitu: Daya saing produk litbang, analisis kelayakan ekonomi,
kemudahan dalam komunikasi, alih teknologi dapat dilakukan dengan mudah, dan
mudah pemanfaatan, pengoperasian, dan perawatannya.
Di samping itu faktor-faktor pendukung lain dalam membangun linkages
antara PPF dengan industri juga dipertimbangkan kebijakan nasional Iptek.
Masalah kebijakan nasional iptek, sejauh ini implementasi kebijakannya memang
belum berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan kebijakan
internal lembaga litbang, Sstruktur organisasi, tugas dan fungsi lembaga litbang,
dan strategi dan lingkungan iptek yang strategis tidak merupakan pertimbangan
dari PPF.
Pada akhirnya kasus Puslit Elektronika dan Telekomunikasi (PPET)
dalam membangun linkages ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas litbang
PPET. Oleh karena itu faktor-faktor pendukung seperti : 1). Daya saing produk
litbang; 2). Keunggulan teknologi; 3). Memiliki potensi pasar. Sedangkan faktor
pendukung lainnya belum diperhitungkan oleh PPET seperti : 1). Tersedianya
dana litbang oleh lembaga litbang; 2). Analisa kelayakan ekonomi; 3). Kemudahan
dalam komunikasi; 4). Alih teknologi dapat dilakukan dengan mudah; 5). Mudah
pemanfaatan; 6). Pengoperasian dan perawatannya.Selain faktor pendukung
lingkages antara litbang dengan industri yang berpengaruh seperti : 1). Kebijakan
nasional iptek; 2). Kebijakan internal lembaga litbang; 3). Struktur organisasi,
tugas dan fungsi lembaga litbang; 4). Strategi dan lingkungan iptek yang strategis.

Dimensi Faktor-Faktor Penghambat Terjadinya Linkages


Pada kasus Puslit Bioteknologi-LIPI, faktor penghambat linkages ini
umumnya terkait pada masalah yang timbul di lembaga litbang maupun yang
terjadi di industri. Masalah di lembaga litbang umumnya terkait pada budaya
kerjasama yang belum kondusif, belum adanya standar uji mutu produk yang
dihasilkan oleh lembaga litbang, terbatasnya potensi pasar, harga yang tidak
kompetitif/daya saing, kemampuan berkomunikasi yang masih lemah, jiwa
entrepreneur yang tidak dimiliki, dan kepercayaan yang belum terbangun.
Sementara masalah di industri meliputi perbedaan cara pandang industri dengan
lembaga litbang, kemampuan SDM industri dalam alih dan menerapkan hasi, dan
tidak adanya litbang di industri.Namun sebaliknya ada pula faktor-faktor
penghambat untuk menjalin terjadinya linkages, ini menunjukkan ada masalah-
masalah yang dihadapi dalam membangun linkages. Pada kasus Puslit Informatika,
mungkin kendalanya juga tidak jauh berbeda dengan puslit lain. Misalkan pada
masalah, budaya kerjasama yang belum kondusif, seperti pendanaan merupakan
kendala terbesar bagi kemajuan riset di Indonesia. Dengan adanya keterbatasan

13
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

tersebut, selayaknya dilakukan kerjasama dari dua atau bahkan beberapa


laboratorium untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Kerjasama antar
laboratoirum juga akan mampu menekan penelitian yang berulang yang
sebenarnya telah dilakukan oleh salah satu laboratorium.
Kemudian pada kasus Puslit Informatika, faktor penghambat lain tentang
linkages, yaitu belum standarnya uji mutu produk yang dihasilkan oleh lembaga
litbang (puslit). Kalau masalah standar sebagaimana disebutkan sangat sulit,
karena ini menyangkut masalah TI tetapi untuk uji mutu produk hasilnya sudah
dilakukan. Faktor penghambat lain, seperti terbatasnya bahan baku utama dan
bahan baku penolong yang dibutuhkan untuk industri. Bagi Puslit Informatika,
kalau di bidang software untuk bahan baku, mungkin belum perlu. Sedangkan
kalau di bidang hardwarenya tentu sangat perlu, karena terkait dengan komponen,
material dan lainnya. Tetapi dalam memenuhi kebutuhan bahan baku hardware
tersebut, ketergantungan terhadap bahan baku impor masih sangat tinggi
sehingga pada akhirnya harganya menjadi mahal.
Berkenaan dengan terbatasnya potensi pasar, dapat dikatakan relatif,
karena posisi puslit informatika sebagai lembaga pemerintah salah satu tugas dan
fungsinya adalah melayani jasa iptek di bidang informasi. Jasa iptek tersebut lebih
kepada teknologi partner baik dalam bentuk kontrak riset atau kerjasama dengan
instansi pemerintah atau swasta sekalipun. Berbeda dengan pelaku pengembang
software dari swasta yang murni orientasinya bisnis. Sehingga kalau ditanyakan
masalah "harga yang tidak kompetitif/daya saing" sebagai faktor penghambat
terjadinya linkages, inipun dapat dikatakan relatif.
Kemudian pada kasus Puslit Fisika (PPF) LIPI, masalah yang dihadapi
dalam membangun linkages lembaga litbang dengan industri adalah: budaya
kerjasama yang belum kondusif, akan tetapi masalah seperti belum standard dan
uji mutu produk yang dihasilkan oleh lembaga litbang, terbatasnya bahan baku
utama dan bahan baku penolong yang dbutuhkan untuk produksi di industri,
terbatasnya potensi pasar, dan harga yang tidak kompetitif/daya saing tidak
merupakan masalah yang penting bagi PPF-LIPI. Gambaran ini menunjukkan
bahwa dalam membangun linkages dengan industri sangat didasari oleh
pengalaman yang cukup lama, bahwa yang mana keduanya masih terjadinya
diskoneksi, misalnya perbedaan "speed", "mind set" dan lain sebagainya.
Masalah lainnya yang terkait dengan industri dilihat dari kacamata industri,
PPF-LIPI menilai bahwa dalam membangun linkages tidak dapat berjalan seperti
yang diharapkan karena adanya perbedaan cara pandang industri terhadap
lembaga litbang, dan kemampuan SDM industri dalam alih teknologi dan
menerapkan hasil litbang belum seimbang. Akan tetapi PPF-LIPI tidak menjadi
pertimbangan bahwa hal ini merupakan penghambat adalah mengenai rendahnya
tingkat pendidikan SDM, rendahnya penguasaan teknologi SDM industri, dan
terbatasnya kemampuan pemasaran.
Demikian halnya pada kasus PPET-LIPI, masalah yang dihadapi terutama
sebagai institusi pemerintah dalam membangun lingkages dengan industri
terdapat faktor penghambat seperti: (1) Budaya kerjasama yang belum kondusif;
(2) Produk litbang PPET LIPI belum memenuhi standar dan uji mutu. Sedangkan

14
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

yang tidak diperhitungkan sebagai faktor penghambat, seperti: (1) Terbatasnya


bahan baku utama dan penolong; (2) Terbatasnya potensi pasar; (3) Harga yang
tidak kompetitif/berdaya saing. Faktor penghambat internal industri dalam
membangun linkages seperti, perbedaan cara pandang antara lembaga litbang
dengan industri. Sedangkan hal yang tidak diperhitungkan sebagai penghambat
seperti: (1) Rendahnya tingkat pendidikan SDM industri; (2) Kemampuan SDM
industri dalam alih teknologi dan penerapkan hasil litbang masih rendah; (3)
Rendahnya penguasaan teknologi SDM industri; (4) Terbatasnya kemampuan
pemasaran.

Dimensi Upaya-Upaya Meningkatkan Hubungan Dengan Industri


Untuk kasus Puslit Bioteknologi, upaya yang dilakukan lembaga litbang
untuk mendrong linkages dengan industri dilakukan dengan peningkatan
kapabilitas lembaga yang meliputi peningkatan kemampuan SDM, kualitas
jaringan komunikasi, sarana dan prasarana litbang, anggaran/dana litbang,
promosi, potensi pasar hasil litbang. Kemampuan pengelolaan lembaga litbang
juga terus dikembangkan diantaranya melalui peran pimpinan dalam melibatkan
peneliti untuk menjalin linkages dengan industri. Selanjutnya untuk meningkatkan
keberhasilan dalam membangun linkages jangka panjang maka diperlukan
pertimbangan untuk membangun mekanisme linkages yang efektif dan efisien,
ketersediaan peraturan dan prosedur yang semakin mudah dan mengikuti,
memberikan keuntungan kedua belah pihak yang membangun linkages.
Sedang kasus Puslit Informatika, sejauh ini upaya-upayanya tidak saja
dalam rangka mendorong linkages untuk meningkatkan hubungan dengan
industri, tetapi disisi lain ini merupakan kebijakan internal puslit yang terus
dilakukan, yaitu pembinaan sumberdaya manusia terutama kemampuan SDM,
melalui pendidikan formal dalam dan luar negeri; mengikutsertakan training,
seminar; dan pemberian bimbingan teknis serta berupaya untuk berperan aktif
dalam pemasyarakatan hasil penelitian. Selain itu upaya-upaya untuk mendorong
linkages, puslit juga menjaga dan memelihara kualitas jaringan komunikasi serta
investasi sarana dan prasarana.
Mengenai sarana dan prasarana cukup mendukung, seperti JEC (Java
Education Center) merupakan pusat pelatihan dan pengembangan teknologi Java
dan Open Technology yang dilengkapi dengan prasarana yang memadai yang
meliputi sejumlah workstation berteknologi 64-bit dengan Processor UltraSparc lli
- Sun Blade 150, koneksi internet yang memadai dan materi pelatihan berbasis
web. JEC yang diresmikan pada tanggal 22 Maret 2005 merupakan kerjasama
antara Sun Microsystem dengan Pusat Penelitian Informatika - LIPI.
Masalah promosi juga sangat penting, karena hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan harus dipromosikan baik melalui media cetak atau media
elektronik. Bersamaan dengan promosi tersebut, diharapkan dapat meningkatkan
potensi pasar hasil litbang. Dan terakhir masalah peningkatan anggaran/dana
litbang, untuk hal yang satu ini sangat sulit, sebab anggaran pemerintah sangat
terbatas, kecuali ada temuan atau inovasi yang strategis dan spektakuler mungkin

15
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

bisa didanai dengan nominal yang pantas, tetapi harus melalui kegiatan program
tematik/kompetitif.
Secara empiris peran pimpinan dalam membangun linkages cukup proaktif
baik pada pimpinan terdahulu maupun saat ini. Kegiatan linkages ini juga
melibatkan pejabat struktural dibawahnya, yaitu kepala subbagian jasa dan
informasi (Eselon IV), namun subbagian ini ruang geraknya agak terbatas,
mungkin mengingat pemegang eselon tersebut dipimpin oleh seorang wanita.
Seandainya bagian ini masuk pada level eselon III mungkin kiprahnya agak
berbeda, baik dari sisi penampilan; skill; kemampuan dan lainnya. Sedangkan
keterlibatan tenaga peneliti dalam membangun linkages masih bersifat individual
yang langsung dengan industri, lebih sering dilakukan oleh pimpinan lembaga atau
pejabat struktural dibawahnya dan ini bersifat formal.
Upaya-upaya meningkatkan hubungan dengan industri yang dilakukan oleh
Puslit Informatika selama ini diistilahkan sebagai kerjasama. Uniknya sebagian
besar kerjasama tersebut dilakukan dengan instansi pemerintah, diantaranya
dengan: Kementrian Negara Riset dan Teknologi - IGOS Desktop; Kementrian
Komunikasi dan Informasi; PT. INTI; PT. PLN; PT. TELKOM; TNI - Angkatan Laut;
PTN dan PTS. Sebaliknya hubungan dengan industri usaha kecil menengah (UKM),
jarang terjadi atau bisa dikatakan tidak pernah ada. Walaupun demikian pada
intinya bahwa semua bentuk kerjasama yang pernah ada tentu untuk
memperlancar keberhasilan dalam membangun linkages jangka panjang. Semua
ini tentunya diperlukan tahapan-tahapan: mekanisme yang efisien dan efektif;
aturan dan prosedur yang semakin mudah dalam mengikuti perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi serta memberikan keuntungan kedua belah
pihak.
Pada kasus PPF-LIPI, dalam mendorong linkages upaya-upaya yang
dilakukan oleh melakukan peningkatan kualitas jaringan komunikasi,
anggaran/dana litbang, dan potensi pasar hasil litbang. Upaya-upaya lain seperti
peningkatan kemampuan SDM, peningkatan, sarana dan prasarana litbang, dan
peningkatan promosi tidak merupakan pilihan dari PPF. Gambaran ini
menunjukkan bahwa merupakan pilihan ini yang dianggap cukup signifikan dalam
upaya meningkakan hubungan dengan industri. Peningkatan jaringan komunikasi
merupakan cara yang efektif dalam membangun linkages, disamping cukup
anggaran/dana litbang dalam mengembangkan produk hasil litbang yang
dibutuhkan oleh pengguna/industri/UKM, serta tidak melupakan potensi pasar
yang sedang in di masyarakat agar produk-produk hasil litbang dari PPF tidak
ketinggalan trend dibandingkan dengan produk-produk lain.
Peran pimpinan dalam membangun linkages PPF hanya memilih dua saja,
yakni: Melibatkan pejabat di bawahnya secara aktif dalam menjalin linkages, dan
pimpinan melibatkan peneliti secara aktif dalam menjalin linkages. Sedangkan
peran pimpinan dalam membangun linkages pilihan pimpinan proaktif dalam
menjalin linkages, melibatkan pejabat di bawahnya secara aktif dalam menjalin
Linkages, dan Pimpinan melibatkan peneliti secara aktif dalam menjalin Linkages
tidak menjadi pilihan bagi PPF-LIPI. Nampaknya pilihan ini, pimpinan
menyerahkan sepenuhnya pada bawahannya secara struktural atau juga pada
penelitinya dalam membangun linkages dengan industri.

16
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Untuk memperlancar keberhasilan dalam membangun linkages jangka


panjang PPF melakukan upaya meningkatkan kemampuan teknologi pada: proses
produksi, investasi, dan inovasi teknologi dan pasar, dan pilihan kedua,
memberikan keuntungan kedua belah pihak yang membangun linkages.
Sedangkan mekanisme yang efisien dan efektif dan aturan dan prosedur yang
semakin mudah dan mengikuti perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi bukan merupakan pilihan bagi PPF dalam upaya memperlancar
keberhasilan membangun linkages. Kedua pilihan ini setidaknya untuk memacu
kompetensi puslit guna membangun linkages jangka panjang.
Akhirnya pada kasus PPET LIPI, dalam mendorong lingkages, upaya-
upaya yang dilakukan secara internal seperti: (1) Meningkatkan kemampuan,
keterampilan SDM PPET; (2) Kualitas jaringan komunikasi; (3) Sarana dan
prasarana litbang; (4) Promosi; (5) Potensi pasar hasil litbang. Peran pimpinan
dalam membangun linkages seperti : 1). Pimpinan proaktif dalam menjalin
linkages; 2). Melibatkan pejabat di bawahnya secara aktif dalam menjalin linkages;
3). Pimpinan melibatkan peneliti secara aktif dalam menjalin linkages. Untuk
memperlancar kebehasilan dengan membangun linkages jangka panjang perlu
dilakukan seperti : 1). Meningkatkan kemampuan teknologi pada proses produksi,
investasi, inovasi teknologi dan pasat; 2). Memberikan keuntungan kedua pihak
yang bekerjasama membangun linkages.

Dimensi Unsur Dinamika Linkages

Diawali pada kasus Puslit Bioteknologi-LIPI, unsur dinamika lingkages


lembaga litbang dengan industri dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan
pada alat-alat kerja setiap tahun yang mendukung produk/hasil litbang, kerjasama
antar lembaga dalam penggunaan alat kerja dalam mendukung produk/hasil
litbang, pengembangan SDM dalam mendukung program litbang untuk
menghasilkan produk litbang yang dapat diterima oleh pengguna, SDM litbang
yang turut serta dalam kegiatan litbang dengan industri, dan pengembangan
produk litbang.
Pada kasus Puslit Informatika, unsur dinamika tentang perubahan pada
alat-alat kerja yang mendukung produk/hasil litbang setiap tahunnya bisa
dikatakan relatif dikaitkan pada masalah anggaran dan kebutuhan. Sedangkan
dinamika dan perubahan pada aplikasi software tentu sangat dimungkinkan bisa
terjadi mengingat perkembangan TI begitu pesat. Demikian pula perubahan pada
hardware-nya terutama yang terkait dengan komponen dan material lain yang
memungkinkan untuk membuat atau mengembangkan sebuah produk.
Tentang kerjasama antar lembaga dalam penggunaan alat kerja dalam
mendukung produk/hasil litbang, dilihat dari beberapa pengalaman kerjasama
yang pernah dilakukan, adanya saling ketergantungan dalam penggunaan alat
atau perangkat teknologi tidak menutup kemungkinan bisa saja terjadi. Kemudian
pada masalah pengembangan SDM dalam mendukung program litbang untuk
menghasilkan produk litbang yang dapat diterima oleh pengguna. Untuk hal ini

17
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

bagi puslit informatika secara efektif selalu menyesuaikan dengan perkembangan


informatika dan ilmu pengetahuan komputer terakhir.
Pada kasus PPF-LIPI, unsur dinamika gambaran dari produk hasil litbang
yang duhasilkan belum menunjukkan suatu kondisi yang dinamis karena baik
dampak pada internal maupun eksternal belum memberikan perubahan yang
dapat dirasakan oleh dunia bisnis maupun masyarakat. Padahal sebagaimana
diharapkan bahwa produk litbang terapan seharusnya mampu berkontribusi
dalam memperbaiki atau mengembangkan suatu produk yang ada menjadi lebih
unggul lagi sehingga mampu meningkatkan nilai tambah pada suatu produk
industri. Kegiatan penelitian di lembaga litbang pada umumnya harus dimulai dari
perencanaan pembuatan program kegiatan yang melihat pada kebutuhan
pengguna, akan tetapi ternyata belum sepenuhnya dapat direalisasikan oleh PPF-
LIPI. Alasan ini karena hasil litbang belum dapat mendorong usaha bersama yang
mengarah pada pendirian industri. PPF baru pada tahap pengenalan ide
dilanjutkan pembuatan prototype. Apabila dilihat dari sisi pengguna yaitu
indusrti/UKM yang memanfaatkan produk hasil litbang PPF belum mengarah pada
pembentukan industry tapi hanya sebatas memanfaatkan produk hasil litbang.
Sedangkan pada kasus PPET-LIPI, Dalam mebangun lingkages dengan industri
seperti : 1). Kerjasama antar lembaga dalam penggunaan peralatan kerja dalam
mendukung produk/hasil litbang; 2) Pengembangkan SDM dalam mendukung
program litbang untuk menghasilkan produk litbang yang dapat diterima oleh
pengguna terutama industri terkait.

Pembahasan untuk Puslit Bioteknologi; Puslit Informatika; Puslit Fisika dan


Puslit Elektronika dan Telekomunikasi
Linkages lembaga litbang dengan industri yang dibangun oleh lembaga
litbang (empat puslit), secara teoritis umumnya diawali dari perencanaan program
litbang untuk kemudian direalisasikan kedalam kegiatan penelitian yang
merangkul industri dalam suatu kemitraan yang dinamis. Dalam kenyataannya
kegiatan litbang yang berinteraksi dengan industri tidaklah sederhana, Tusy A.
Adibroto (2010) menunjukkan bahwa masalah pembangunan iptek merupakan
gap atau perbedaan antara supplay (diperankan lembaga litbang) dalam
penyediaan solusi teknologi dan kemampuan pengguna dengan demand
(diperankan industri) dalam menyerap dan mengembangkan teknologi baru yang
tersedia. Sehingga pada akhirnya dibutuhkan integrasi antara lembaga litbang
sebagai penyedia teknologi dan industri sebagai penerima teknologi.
Kegiatan penelitian di lembaga litbang yang diawali dari perencanaan
belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan industri sebagai stakeholder-nya. Hal
ini terlihat dari belum sepenuhnya perencanaan kegiatan penelitian yang
mendorong usaha bersama atau menuju pada pendirian industri. Sementara dari
sisi industri orientasinya lebih pada peningkatan kemampuan untuk memperoleh
nilai tambah dalam kegiatan usahanya. Walaupun wacana untuk mendorong
lingkages dengan industri sudah dikemukakan melalui perencanaan yang
mendukung keunggulan teknologi dan harga, akan tetapi para peneliti lebih
tertarik pada penelitian untuk peningkatan kompetensinya. Sebagai contoh

18
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

proposal penelitian dibuat oleh peneliti di sejumlah puslit dengan


mempertimbangkan kebutuhan industri seperti kegiatan penelitian Pada sisi yang
lain juga mengemukakan bahwa kesiapan industri untuk pemanfaatan hasil litbang
melalui lembaga litbangnya (litbang industri) tidak terealisasi karena pada
umumnya industri menghendaki produk yang sudah siap dan sesuai
permintaannya (didasari dari permintaan pasar).
Untuk membangun linkages antara lembaga litbang dengan industri sudah
disadari perlunya dukungan peralatan litbang, keterampilan SDM dan dana yang
mencukupi. Sementara keterbatasan lembaga litbang pemerintah dalam
penyediaan dana dan peralatan merupakan salah satu kendala dalam membangun
lingkages. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa empat puslit di LIPI dalam
penelitiannya mengacu pada tupoksi yang cakupannya relatif besar, yaitu
penyiapan bahan perumusan kebijakan penelitian bidang kajian; penyusunan
pedoman, pembinaan, dan pemberian bimbingan teknis dalam bidang masing-
masing; penyusunan rencana, program, dan pelaksanaan penelitian bidang
bioteknologi; pemantauan pemanfaatan hasil penelitian bidang bioteknologi;
pelayanan jasa iptek; melakukan evaluasi dan penyusunan laporan penelitian
bioteknologi; dan pelaksanaan urusan tata usaha. Sejalan dengan itu mekanisme
linkages lembaga litbang dengan industri pada umumnya terbangun melalui
pembinaan SDM industri, studi kelayakan, dan pengenalan teknologi yang
dihasilkan lembaga litbang. Kegiatan-kegiatan ini pada umumnya dilakukan
personil peneliti, sehingga kerjasama penelitian yang dibangun sifatnya lebih pada
personal peneliti dengan industri. Sementara secara kelembagaan masih relatif
belum terbangun, karena pada umumnya secara kelembagaan kerjasama masih
dalam tatanan pelatihan SDM industri.
Selanjutnya hasil temuan penelitian juga menunjukkan bahwa lembaga
litbang, khususnya empat puslit LIPI sebagai kasus, menyadari untuk kegiatan
lingkages perlu ditopang oleh kemampuan lembaga dalam pengelolaan perubahan
dan integrasi aspek teknologi, kemampuan untuk pembangunan dan penyusunan
ulang kompetensi internal atau eksternal kelembagaan, kemampuan untuk
berinteraksi dan saling berhubungan antar kegiatan ekonomi. Hal mana akan
melahirkan daya saing produk litbang, ketepatan pengalokasian dana, keunggulan
teknologi, komunikasi yang baik, keberhasilan alih teknologi dari lembaga litbang
ke industri, yang kesemuanya menuju linkages lembaga litbang-industri yang
dinamis. Kerjasama linkages empat puslit di LIPI tentunya juga dilakukan dengan
pertimbangan kebijakan nasional bidang iptek, strategi dan lingkungan strategis
iptek.
Dalam upaya membangun linkages dengan industri, pimpinan lembaga
litbang harus mampu untuk menciptakan budaya kerjasama yang kondusif serta
melibatkan peneliti secara aktif. Hal mana pada gilirannya akan mendorong
terbangunnya komunikasi yang baik guna menghasilkan produk litbang sesuai
standar yang diinginkan industri dan harga yang kompetitif. Budaya kerjasama
yang kondusif ini juga diharapkan dapat menurunkan perbedaan cara pandang
industri dengan lembaga litbang serta ketiadaan unit litbang di industri. Beberapa
cara yang dapat ditempuh misalnya melalui keterbukaan dan kemudahan industri
untuk akses ke lembaga litbang. Oleh karena itu upaya peningkatan kemampuan

19
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

SDM lembaga litbang dan peningkatan kualitas jaringan komunikasi perlu


dilakukan, baik melalui promosi hasil litbang, peningkatan sarana dan prasarana,
serta insentif bagi kegiatan kerjasama litbang dengan industri. Upaya lain yang
perlu ditempuh untuk membangun linkages ini antara lain adalah menciptakan
mekanisme yang efektif dan efisien dan tidak menekankan pada birokrasi yang
kaku serta memberikan keuntungan pada kedua belah pihak.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan yang
sekaligus juga menyarankan pada sejumlah puslit sebagai kasus, tentang dinamika
linkages dengan industri yang akan dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Dari setiap puslit di lingkungan LIPI agar dalam penyusunan program
litbang agar selalu dikaitkan dengan kebutuhan
industri/masyarakat/pemerintah yang telah dikoordinasi, sosialisasi
perencanaan program litbangnya baik itu berupa temuan baru yang dapat
diterapkan, inovasi teknologi, maupun kemampuan dalam hal kontrak riset,
konsultasi sehingga industri/masyarakat/pemerintah dapat memahami
dan menjawab kebutuhan mereka.
2. Dalam membangun program litbang yang diperkirakan dibutuhkan oleh
industri/ masyarakat/pemerintah hendaknya ada pengembangan kualitas
SDM satker yang memperlihatkan kemajuan sejalan dengan program
litbang yang dihasilkan, sehingga menghasilkan SDM yang profesional dan
ahli dalam bidangnya.
3. Program litbang dari setiap satker yang sudah jelas untuk membantu dan
menyelesaikan kebutuhan industri/masyarakat/ pemerintah yang dapat
memberi nilai tambah bagi penggunanya serta dapat meningkatkan dan
menambah pengetahuan dan keahlian SDM satker perlu ada upaya-upaya
yang serius untuk memperjuangkan agar pendanaan dapat dipenuhi.

4. Anggaran litbang untuk mensikapi dinamika linkages perlu bahkan


berbagai instrumen kebijakan harus digunakan antara lain UU Otonomi
daerah No. 22 dan No. 25 serta hasil revisi menjadi UU no. 34 Tahun 2003.
Undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai strategi dalam
pembiayaan litbang Daerah. Dengan demikian akan memberi peluang bagi
keikutsertaan partisipasi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Pujiati. 2008. Inter Firm Linkage : Teori dan Implementasi di Indonesia,

Adibroto, Tusy A. 2007. Peran Negara Dalam Pembangunan Riset.


(http://oc.its.ac.id/ ambifile.php?idp=120, diakses 18 Februari 2009)

20
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Cohen.W.M (at.al). 1998. "Industry and the Academy: Uneasy Partners in the Cause
of Technological Advance" in Challenge to the Research Universities. R.No.ll
(ed). Washington D.C.: Brookings Institutions (dalam Grace).

IGN 2009 dan LIPIRISm@ di ITB Fair 2010. (http://informatika.lipi.


go.id/latest/ign- 2009-dan-lipirism-di-itb-fair-2010.html, diakses 12 Januari
2011 ).

Jenny, K. 1999. "The Indo-Swiss Collaboration in Biotechnology in Search of New


Direction." In Biotechnology and Development Monitor. No.39 (dalam
Grace).

Leonard, D & Barton, 1990. Organization Science, Vol. 1, No. 3, Special Issue:
Longitudinal Field Research Methods for Studying Processes of
Organizational Change. (1990), pp. 248-266.

Movery, D. 1998. The Roles and Contributions of R&D Collaboration: Matching Policy
Goals and Design. Berkeley: University of California (dalam Grace).

Schunk, K. 1999. GMD's Techno Park - Window to Technology and SME. German
National Research Center for Information Technology (dalam Grace).

Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,


dan R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung.

Teece, David J at.al. Gary Pisano; Amy Shuen. Dinamic Capabilities and Strategic
Management . Strategic Management Journal, Vol.18, No.7. (Aug., 1997),pp.
509-533.

21
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

EVALUASI HASIL LITBANG KOMPETITIF LIPI UNTUK


MENETAPKAN KLASTER UNGGULAN

Mohammad Arifin, Radot Manalu, dan Setiyowiji Handoyo

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK

Sejak tahun 2003, LIPI melaksanakan program kompetitif. Esensi dari program
kompetitif adalah mensinergikan berbagai sumberdaya yang dimiliki LIPI, baik
secara lintas satuan kerja (satker) maupun lintas kedeputian guna menghasilkan
luaran yang holistik dan strategik. Program ini ditetapkan secara top-down
dengan tema kegiatan mempertimbangkan isu-isu strategis dan mendesak untuk
ditangani. Harapannya adalah menghasilkan keluaran yang terukur, berkualitas,
dan jelas pengguna akhirnya. Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 100
peneliti utama yang telah melakukan kegitan penelitian kompetitif minimal tiga
kali selama periode 2004-2009. Hasil lapangan menunjukkan bahwa sebaran
kegiatan litbang kompetitif menurut tujuan sosial ekonomi (TSE), yang terbesar
digunakan untuk tujuan environmental management & other aspects (15,7%).
Untuk tujuan manufacturing dan advancenment of natural sciences & humanities
masing-masing sebesar 11,8%, serta animal production & animal primary
products dan natural sciences masing-masing sebesar 9,8%. Sementara itu,
kegiatan litbang untuk TSE yang lain proporsinya di bawah 8% dan yang terkecil
adalah untuk TSE energy supply dan health masing-masing sebesar 2%. Pada
klaster I (kegiatan eksplorasi), hampir 50% merupakan kegiatan litbang yang
lebih menekankan pada aspek pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk klaster II
(kegiatan kebijakan), kurang dari 50% merupakan kegiatan litbang yang lebih
menekankan pada aspek pemanfatan/aplikasi. Sedangkan klaster III (kegiatan
menghasilkan produk), hanya sebagian kecil yang merupakan kegiatan litbang
yang menekankan tidak hanya pada aspek pengembangan ilmu pengetahuan
tetapi juga aspek aplikasi.

Kata kunci: Evaluasi, hasil litbang, kompertitif.

PENDAHULUAN
Tuntutan masyarakat yang semakin besar akan peran iptek dalam
memberikan solusi bagi pemecahan permasalahan dan peningkatan daya saing
perekonomian bangsa, mendorong LIPI sebagai salah satu lembaga riset untuk
terus berupaya memberikan kontribusi yang signifikan. Selama ini, LIPI telah
melakukan berbagai program dan kegiatan riset dalam berbagai spektrum
keilmuan yang cukup luas. Akan tetapi, sangat menyebarnya kegiatan riset

22
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

tersebut menyebabkan output yang dihasilkan masih berskala kecil, divergen dan
cenderung terfragmentasi antar satu kegiatan dengan kegiatan lainnya.
Bertolak dari hal di atas, sejak tahun 2003 LIPI menyepakati untuk
melaksanakan program kompetitif. Esensi dari program kompetitif adalah
mensinergikan berbagai sumberdaya yang dimiliki LIPI, baik secara lintas satuan
kerja (satker) maupun lintas kedeputian guna menghasilkan luaran yang holistik
dan strategik. Program ini merupakan program LIPI yang ditetapkan secara top-
down dengan tema kegiatan mempertimbangkan isu-isu strategis dan mendesak
untuk ditangani.
Sesuai dengan buku panduan program kompetitif, yang dimaksud dengan
program kompetitif LIPI adalah program korporat LIPI yang ditetapkan secara
topdown dan keluarannya diarahkan dapat memberikan sumbangan bagi solusi
masalah nasional dan/ atau pengembangan keilmuan yang strategis.
Program kompetitif bertujuan untuk mencapai tujuan berlingkup nasional
maupun daerah:
1. Memberikan solusi terhadap persoalan nasional dan/atau daerah yang
strategis dan berjangka panjang, serta memberikan dampak luas bagi daerah/
sektor/ disiplin keilmuan tertentu;
2. Menghasilkan penemuan baru dalam bidang keilmuan tertentu;
3. Memberikan efek bergulir dalam arti kemungkinan sumber pendanaan,
peningkatan pendapatan nasional maupun daerah, penciptaan lapangan kerja;
4. Menggerakkan keterpaduan antar unit penelitian maupun antar peneliti yang
berorientasi pada kebutuhan riil, jangka pendek maupun jangka panjang;
5. Efisiensi alokasi dan penggunaan sumber daya (dana, waktu, sarana,
pelaksana penelitian) LIPI dalam melaksanakan visi dan misinya.

Tabel berikut ini menunjukkan kegiatan dalam program kompetitif yang


telah berlangsung dari awal program digulirkan (tahun 2003) hingga tahun 2009,
sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Kegiatan dan Biaya Program Kompetitif, 2003-2009

Tabel Sub Program Kegiatan Biaya


Kompetitif (miliar rupiah)
2003 5 60 14.53

2004-2008 11 625 137.49

2009 7 104 27.30

Jumlah 789 179.32


Sumber : Sayuti, 2009

23
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa periode 2003-2009 jumlah


kegiatan yang dilakukan dalam program kompetitif berjumlah 789 kegiatan
dengan total anggaran yang dikeluarkan sebesar Rp 179,32 miliar. Artinya bahwa,
dari satu judul kegiatan kompetitif dibiayai sekitar Rp 227 juta.
Pada periode 2004-2009 terdapat 11 Sub Program yang dilakukan dalam
program kompetitif, meliputi: 1).Sensus Biota Laut; 2).Domestikasi Hayati;
3).Pasca Genomic Molecular Farming; 4).Bahan Baku Obat; 5).Produk, Komoditi,
dan Teknologi; 6).Kajian Pertahanan dan Keamanan (Hankam); 7).Energi Baru dan
Terbarukan; 8).Kalimantan Timur dan Bangka Belitung (Kaltim Babel); 9).Wilayah
Perbatasan; 10).Pengelolaan DAS Terpadu; 11).Otda, Konflik dan Daya Saing.
Selanjutnya pada tahun 2009 kegiatan kompetitif dikelompokkan menjadi 7
sub program, yaitu:
1). Eksplorasi dan Pemanfaatan Terukur Sumberdaya Hayati;
2). Molecular Farming dan Bahan Baku Obat;
3). Material Maju dan Nanoteknologi;
4). Energi Bersih Terbarukan dan Pasokan Air Bersih Berkelanjutan;
5). Ketahanan dan Daya Saing Wilayah dan Masyarakat Pesisir;
6). Kebencanaan dan Lingkungan;
7). Critical Strategic Social Issues.
Harapan dari tujuan dan sasaran program kompetitif adalah menghasilkan
keluaran yang terukur, berkualitas, dan jelas pengguna akhirnya. Oleh karena itu,
untuk mengetahui hal tersebut, perlu kiranya dilakukan evaluasi program
kompetitif baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
maupun pencapaian hasil akhir kegiatan. Untuk lebih memperdalam analisis,
ketujuh Sub Program tersebut akan dikelompokkan berdasarkan capaian-capaian
yang telah dihasilkan dalam bentuk klaster unggulan dengan mempertimbangkan
aspek kedalaman pengembangan iptek (knowledge intensity) dan manfaat
penerapannya di masyarakat (aplicability). Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kegiatan litbang kompetitif dalam hal output dan tujuan


sosial ekonominya;
2. Mendapatkan klaster unggulan hasil litbang kompetitif pada setiap sub
program

Sumber data

Populasi dalam penelitian ini adalah peneliti utama yang telah melakukan
kegitan penelitian kompetitif minimal tiga kali selama periode 2004-2009.
Jumlahnya sebesar 100 peneliti utama, rinciannya adalah yang telah melakukan
penelitian 3 kali berjumlah 65 peneliti utama, yang melakukan 4 kali berjumlah 16
peneliti utama, dan yang telah melakukan 5 kali sebanyak 19 peneliti utama.

24
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Analisis Data
Target kegiatan litbang pada umumnya bermuara pada dua hal pokok, yaitu
pengembangan iptek dan aplikasinya di masyarakat. Jika digambarkan dalam
grafik dua dimensi, maka pengelompokkan hasil kegiatan litbang dapat dipetakan
dalam tiga klaster unggulan sebagai berikut:
Knowledge Intensity

Klaster Unggulan I Klaster Unggulan III

Basic Basic

Non Applied Applied


Non Klaster Klaster Unggulan II
(Fundamental) (Strategic)
Non Basic Non Basic

Non Applied Applied


Aplicability
(Development)

Sumber: Hakim, 2009

Gambar 1. Klaster Unggulan Hasil-hasil Kegiatan Program Kompetitif

Berdasarkan gambar di atas, maka terdapat tiga klaster unggulan yang


dapat dianalisis dari kegiatan litbang program kompetitif. Klaster Unggulan I
(Fundamental) dideskripsikan dengan kegiatan litbang yang lebih menekankan
pada basic dan tidak memperhatikan pada penerapannya di masyarakat. Berbeda
dengan klaster unggulan I, pada Klaster Unggulan II (Development) kegiatan
litbang lebih menekankan pada aspek penerapannya di masyarakat. Sedangkan
Klaster III (Strategic) menitikberatkan pada kegiatan Basic dan Applied yang
.artinya di samping penekanan pada aspek pengembangan keilmuan juga
memperhatikan aspek penerapannya pada masyarakat.
Suatu kegiatan litbang kompetitif masuk dalam salah satu klaster unggulan
dilihat berdasarkan jenis kegiatan litbang yang dilakukan. Dalam penelitian ini
terdapat tiga jenis kegiatan litbang, yaitu kegiatan eksplorasi (E), kebijakan (K),
dan produk (P).
Untuk menetapkan suatu kegiatan litbang yang memiliki keunggulan
dibandingkan dengan kegiatan lainnya dalam satu klaster maka dilakukan
pembobotan terhadap output kegiatan yang bersangkutan. Output tersebut
dikelompokkan ke dalam dua hal, yaitu knowledge intensity (meliputi: prosiding,
jurnal, buku, HKI) dan aplicability (meliputi: makalah kebijakan, prototipe, dan
produk).
Adapun pembobotan dari masing-masing output kegiatan litbang tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut ini:

25
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Tabel 2. Pembobotan output kegiatan litbang menurut kriteria knowledge intensity


dan aplicability

Kriteria Output Kegiatan Bobot

Knowledge Intensity HKI (Paten, Desain Industri, PVT, 0,25


dll)

Buku, diterbitkan penerbit asing 0,21

Jurnal internasional 0,18

Buku, diterbitkan penerbit nasional 0,14

Prosiding internasional 0,11

Jurnal nasional 0,07

Prosiding nasional 0,04

Aplicability Produk komersial/makalah 0,5


kebijakan

Produk skala laboratorium 0,33

Prototipe 0,17

Berdasarkan pembobotan di atas maka masing-masing kegiatan litbang


dalam satu klaster dapat ditentukan apakah memiliki keunggulan relatif jika
dibandingkan dengan kegiatan lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Peneliti utama yang produktif melakukan litbang kompetitif secara
kontinyu selama periode 2004-2008 berjumlah sembilan belas peneliti utama.
Puslit Kimia adalah yang paling banyak peneliti utamanya yang melakukan
kegiatan kompetitif secara kontinyu dalam periode tersebut, yaitu sebanyak 4
peneliti utama. Selanjutnya diikuti oleh Puslit Oseanografi yang memiliki 3 peneliti
utama yang melakukan kegiatan kompetitif kontinyu selama 5 tahun. Sedangkan
Puslit Biologi, Bioteknologi, Informatika, dan Limnologi hanya memiliki satu
peneliti utama yang melakukan kegiatan secara kontinyu selama periode tersebut.

26
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Selanjutnya produktifitas peneliti utama yang melakukan 4 kali kegiatan


kompetitif selama periode 2004-2008 berjumlah enambelas peneliti utama, dan
yang paling produktif adalah Puslit Oseanografi ada 4 peneliti utama, diikuti oleh
Puslit P2ET ada 3 peneliti utama.
Sedangkan peneliti utama yang frekuensinya 3 kali melakukan kegiatan
kompetitif, yang paling banyak adalah Puslit Kimia sebanyak 9 peneliti utama,
diikuti Puslit Limnologi sebanyak 8 peneliti utama. Puslit Biologi dan Fisika
masing-masing sebanyak 6 peneliti utama. Yang terendah atau hanya satu peneliti
utama yang melakukan kegiatan kompetitif sebanyak 3 kali dalam periode 2004-
2005 adalah P2KIM, P2SMTP, P2 Politik, dan P2 Ekonomi.
Dengan menggunakan instrumen penelitian yang berupa kuesioner, pada
bulan Juni 2010 telah disebar ke sembilanpuluh tujuh peneliti utama, dan
responden yang mengembalikan kuesioner sebanyak 51 responden (52%).
Disamping kuesioner yang disebar kepada para peneliti utama, juga
dilakukan wawancara dengan para peneliti utama terpilih pada setiap sub
program yang meliputi aspek: a). Proses seleksi; b).Output kegiatan; c). Pergeseran
program; d). Laporan penelitian; e). Kelebihan dan kelemahan. Adapun aspek-
aspek, uraian dan hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Beberapa hasil wawancara terkait dengan faktor penelitian

No. Faktor Uraian

1 Proses seleksi Secara umum proses seleksi sudah bagus, karena panelisnya melibatkan
orang luar LIPI yang sesuai dengan kompetensinya. Kemudian sudah ada
pedoman dan aturan2nya
2 Output kegiatan Output kegiatan yang dihasilkan perlu dikembangkan lebih lanjut oleh Satker
sendiri.
3 Pergeseran Sebenarnya penelitian yang dilakukan tidak ada perubahan program dari
program tahun ke tahun, justru setelah disetujui Panelis programnya berubah. Atau
ada juga penggabungan program yang dilakukan oleh Panelis, jadi bukan
penelitinya yang merubah.
Ada juga penelitian yang sudah selesai tahun 2007, kemudian pada tahun
2009 dimulai lagi kegiatan penelitian baru.
4 Laporan Laporan penelitian sudah ada yang membuat 3 versi, yaitu a). ditujukan
penelitian untuk pertanggungan jawab administrasi; b). bentuk majalah populer; c).
bentuk science untuk masyarakat ilmiah.
5 Kelebihan dan a).Kelebihannya: peneliti dapat melakukan penelitian lebih fokus/spesifik
kelemahan untuk mencapai sasaran. Membantu peneliti untuk meningkatkan
kemampuannya, karena dana DIPA terbatas. b). Kelemahannya: kadang-
kadang belum sampai kepada tujuan yang diharapkan karena terbatasnya
waktu dan dana.

27
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Output dan Produktivitas Peneliti

Peneliti utama yang mengembalikan kuesioner sebanyak 52% yang


tersebar di tujuh sub program kompetitif. Dalam penelitian ini output/luaran
kegiatan program kompetitif diklasifikasikan menjadi 4 (empat) yaitu : (1)
Makalah/publikasi ilmiah antara lain: buku, jurnal ilmiah, proceeding, dan
makalah kebijakan, (2) Hak Kekayaan Intelektual (HKI) antara lain: Paten, Merek,
Disain Industri, Disain Tata Letak dan Varietas Tanaman, dan (3) Prototipe yaitu:
model, rancang bangun, dan (4) Produk/proses.

(a) Makalah/Publikasi Ilmiah

Publikasi ilmiah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: buku, jurnal
ilmiah, proceding, dan makalah kebijakan. Berdasarkan data yang diperoleh,
jumlah publikasi ilmiah pada tahun 2008 sebanyak 82 publikasi, yang paling
banyak adalah proceding nasional sebanyak 49 (60%), sedangkan yang sedikit
adalah proceding dan jurnal internasional masing-masing sebesar 0,1%. Pada
tahun 2009 terdapat 74 publikasi ilmiah, yang berati ada penurunan sekitar 10%
jika dibandingkan dengan tahun 2008. Publikasi terbesar dalam bentuk jurnal
nasional sebanyak 29 jurnal (39%), disusul proceding internasional sebanyak 13
proceding (17%) dan yang terkecil adalah makalah kebijakan sebesar 0,03%.

(b) Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Dalam penelitian ini Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dikelompokkan


menjadi 3 yaitu: paten terdaftar, paten yang diterima, dan disain industri. Jumlah
HKI hasil litbang program kompetitif pada tahun 2008-2009, sebanyak 7 buah,
terdiri dari 3 paten terdaftar dan 2 paten diterima pada tahun 2008. Sedangkan
pada tahun 2009 hanya ada 2 yaitu 1 paten terdaftar dan 1 disain industri.

(c) Prototipe

Jumlah prototipe pada tahun 2008 sebanyak 15, dan pada tahun 2009
sebanyak 10 prototipe. Jika dibandingkan dengan jumlah protototipe yang
diperoleh pada tahun 2008 terjadi penurunan sebesar 33%.

(d) Produk

Selain publikasi ilmiah, HKI, dan prototipe, output program riset


kompetitif lainnya ada yang berupa produk baik dalam skala komersial maupun
masih skala laboratorium. Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2008
terdapat 12 produk pada skala laboratorium dan 4 dalam skala komersial. Pada
tahun 2009 terdapat 10 produk skala laboratorium dan 3 produk skala komersial.

Secara persentase pada tahun 2008 jumlah produk skala laborarorium


sebesar 75% dan produk komersial sebesar 25%. Sedangkan pada tahun 2009

28
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

terdapat lebih dari 77% skala laboratorium dan sekitar 23% dalam skala
komersial.

Output/luaran dan produktivitas peneliti utama program kompetitif dapat


dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Output dan Produktivitas Litbang Kompetitif 2008-2009

Outpu/Luaran Tahun Produktivitas


2008 2009 2008 2009
Buku nasional/internasional 11 6 0,22 0,12
Jurnal nasional/internasional 11 36 0,22 0,70
Proceeding 57 29 1,12 0,57
nasional/internasional
Makalah kebijakan 3 3 0,06 0,06
Paten terdaftar 3 1 0,06 0,02
Paten diterima 2 0 0,04 0
Disain industri 0 1 0 0,02
Prototipe/model/rancang 15 10 0,29 0,20
bangun
Produk skala lab 12 10 0,24 0,20
Produk komersial 4 3 0,08 0,06

Sumber: diolah dari data lapangan

Pada tahun 2008, terlihat pada Tabel 3, bahwa output terbesar dari hasil
litbang kompetitif adalah proceeding nasional/internasional (57), diantaranya 8
buah proceeding internasional, disusul prototipe (15) dan produk skala
laboratorium (12). Sedangkan output dalam bentuk paten terdaftar (3) dan paten
yang diterima (2) buah disain industri tidak ada sama sekali. Selanjutnya pada
tahun 2009, luaran terbesar adalah dalam bentuk jurnal nasional/internasional
sebanyak (36), diantaranya 7 buah jurnal internasional. Kemudian dilanjutkan
luaran dalam bentuk proceeding nasional/internasional (29), diantaranya 13 buah
proceeding internasional. Luaran dalam bentuk hanya 1 buah dalam bentuk
terdaftar. Sedangkan dalam bentuk disain industri 1 buah.
Produktivitas peneliti yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah
output setiap luaran dibagi jumlah peneliti utama yang mengembalikan kuesioner.
Hasil dari produktivitasnya terlihat pada setiap tahunnya bervariasi. Pada tahun
2008 produktivitas yang tertinggi adalah proceding nasional/internasional (1,12),
yang artinya dalam 100 peneliti utama kompetitif mampu menghasilkan proceding
nasional/internasional sejumlah 112 buah. Selanjutnya produktivitas yang
terkecil adalah paten diterima hanya sebesar 0,04, yang artinya dalam seratus
peneliti utama kompetitif hanya mampu menghasilkan 4 paten diterima.

29
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Pada tahun 2009, produktivitas tertinggi adalah jurnal ilmiah


nasional/internasional (0,70), yang artinya dalam seratus peneliti utama setiap
tahun mampu menghasilkan 70 jurnalnasional/internasional, Selanjutnya
produktivitas terkecil adalah kemampuan peneliti utama membuat disain industri
dan paten terdaftar masing-masing hanya sebesar 0,02, artinya dalam seratus
peneliti utama hanya mampu menghasilkan 2 paten terdaftar dan 2 disain industri.
Sedangkan paten diterima tidak ada sama sekali.

Kegiatan Litbang Kompetitif Menurut Tujuan Sosial Ekonomi (TSE)


Sebaran kegiatan litbang kompetitif menurut tujuan sosial ekonomi (TSE),
dapat dilihat pada Gambar 2. Kegiatan kompetitif terbesar digunakan untuk tujuan
environmental management & other aspects (15,7%). Berikutnya digunakan untuk
tujuan manufacturing dan advancenment of natural sciences & humanities masing-
masing sebesar 11,8%, serta animal production & animal primary products dan
natural sciences masing-masing sebesar 9,8%. Sementara itu, kegiatan litbang
kompetitif untuk TSE yang lain proporsinya di bawah 8% dan yang terkecil adalah
untuk TSE energy supply dan health masing-masing sebesar 2%.

Gambar 2. Distribusi Sub program Kompetitif Menurut TSE

Klaster unggulan I: kegiatan eksplorasi

Mengacu pada definisi bahwa klaster unggulan I (kegiatan eksplorasi)


merupakan kegiatan litbang yang lebih menekankan pada aspek pengembangan
ilmu pengetahuan maka dapat disimpulkan bahwa hampir 50% kegiatan pada
klaster ini telah memenuhi kriteria knowledge intensity. Hal ini ditunjukkan dengan

30
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

output kegiatan penelitian yang dihasilkan dalam bentuk buku, jurnal ilmiah,
prosiding pertemuan ilmiah, dan HKI. Kegiatan biodiversitas, distribusi, dan
kelimpahan ikan sidat tropis serta kaitannya dengan kondisi lingkungan
merupakan kegiatan yang paling diunggulan berdasarkan kriteria yang telah
disebutkan diatas. Kegiatan ini selama tahun 2008-2009 telah menghasilkan 10
buah jurnal ilmiah internasional, lima buah jurnal ilmiah nasional, empat buah
prosiding internasional, dan enam buah prosiding nasional.

Walaupun pada klaster unggulan ini lebih menekankan pada aspek


pengembangan ilmu pengetahuan akan tetapi beberapa kegiatan juga telah dapat
diaplikasikan/dimanfaatkan oleh pengguna, yaitu kegiatan model aplikasi subs
perifiton dalam memperbaiki kualitas air di daerah etrofikasi dan tercemar.
Disamping menghasilkan prosiding nasional (1 buah) dan jurnal ilmiah nasional
(2), kegiatan ini juga telah berhasil menghasilkan produk sebanyak 2 buah di
tahun 2008 dan 2009 walaupun masih dalam skala laboratorium.

Klaster unggulan II: kegiatan menghasilkan kebijakan


Mengacu pada definisi bahwa klaster unggulan II (kegiatan kebijakan)
merupakan kegiatan litbang yang lebih menekankan pada aspek
pemanfatan/aplikasi disimpulkan bahwa kurang dari 50% yang memenuhi
kriteria aplicability. Hal ini ditunjukkan dengan output kegiatan penelitian yang
dihasilkan dalam bentuk makalah kebijakan baik pada skala daerah maupun
nasional. Kegiatan mobilitas penduduk dan pengembangan potensi perdagangan di
wilayah perbatasan NTT-Timur Leste merupakan kegiatan yang paling
diunggulkan berdasarkan kriteria yang telah disebutkan diatas. Kegiatan ini
selama tahun 2008-2009 telah menghasilkan empat buah buku nasional, prosiding
nasional (2) dan makalah daerah (1). Walaupun pada klaster unggulan ini lebih
menekankan pada aspek aplikasi akan tetapi beberapa kegiatan belum dapat
diaplikasikan/dimanfaatkan dikarenakan masih bersifat eksplorasi (knowledge
intensity).

Klaster unggulan III: kegiatan menghasilkan produk

Dengan merujuk pada definisi bahwa klaster unggulan III (kegiatan


menghasilkan produk) merupakan kegiatan litbang yang menekankan tidak hanya
pada aspek pengembangan ilmu pengetahuan tetapi juga aspek aplikasi maka
dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil (lima kegiatan) pada klaster ini
telah dapat diaplikasikan. Kegiatan pengembangan usaha pertanian terpadu untuk
meningkatkan potensi lahan kritis di NTT merupakan kegiatan yang paling
diunggulan berdasarkan kriteria yang telah disebutkan diatas. Kegiatan ini selama
tahun 2008-2009 telah menghasilkan enam produk komersial, dua prototipe, dan
satu prosiding nasional.

31
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

KESIMPULAN
1. Perlu adanya alokasi dana yang dikhususkan untuk kegiatan diseminasi
hasil litbang yang dinilai layak diterapkan di masyarakat.
2. Penggabungan beberapa sub program hendaknya didasari pada kebutuhan
untuk menjawab permasalahan aktual baik tingkat daerah, nasional,
maupun sektor dengan melibatkan stakeholder terkait.
3. Pada program kompetitif yang lebih diarahkan untuk menghasilkan produk
yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh pengguna baik tingkat
nasional maupun daerah ternyata masih sedikit yang menghasilkan produk
komersial.
4. Pada Tujuan Sosial Ekonomi (TSE), hasil kegiatan litbang kompetitif juga
menaruh perhatian pada permasalahan yang berkaitan dengan bidang
lingkungan, industri, peternakan, dan sumberdaya alam.
5. Secara umum, kegiatan litbang kompetitif lebih mengarah kepada
pengembangan dan penemuan baru ilmu pengetahuan sesuai dengan sub
program masing-masing. Sedangkan yang mengarah kepada penggunaan
produk hasil litbang masih terbatas.
6. Perlu adanya Satker yang berfungsi untuk mengevaluasi dan
menindaklanjuti hasil litbang kompetitif yang layak untuk dimanfaatkan
oleh masyarakat.
7. Dalam perumusan proposal dan pelaksanaan penelitian perlu melibatkan
pihak pengguna dari awal agar hasil litbang benar-benar dapat
dimanfaatkan dan tidak hanya mengarah kepada pengembangan ilmu
pengetahuan saja.

DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 2004. Psikologi Terapan: Mengupas Dinamika Kehidupan Umat Manusia.
Yogyakarta: Darussalam.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia.

Bungin, B. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana.

Johnson, R.A & Wechern, D.W. 1992. Applied Multivariate Statistical Analysis. Third
Edition. New Jersey: Prentice Hall. Englewood Cliffs.

Hartinah, S. 2009. Pemetaan Hasil Tracking Riset Kompetitif LIPI 2003-2007.


Workshop Pemetaan Hasil Tracking Riset Kompetitif LIPI. Refleksi Lima
Tahun Program Kompetitif LIPI. Jakarta 21 Desember 2009.

Ivankova N.V., John W.Creswell. & Sheldon L.Stick. 2006. Using Mixed Methods
Sequential Explanatory Design. Field Methods, Vol.18 No.1, February 2006.
(3-20)

32
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Santoso A., dkk. 2004. Studi Evaluasi Proyek-proyek Riset Unggulan/Kompetitif


Untuk Mendukung Perencanaan LIPI. Jakarta : Pappiptek-LIPI.

Www.stat.fi/isi99/proceeding... (Www.stat.fi/isi99/proceeding... (internet Nov


2009).

------------. 2009. Panduan Penyusunan dan Seleksi Proposal Program Kompetitif LIPI
Tahun 2010. LIPI. Jakarta.

33
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

STUDI MOBILISASI TENAGA PENELITI LIPI

Budi Triyono, Chichi Shintia Laksani, Indri Juwita Asmara, Tri Agus

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK

Pada saat ini LIPI memiliki berbagai skema pendanaan penelitian, baik yang
berasal dari LIPI sendiri maupun dari instansi pemerintah lainnya.
Banyaknya skema pendanaan penelitian tersebut dapat berdampak pada
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia di satu
pihak, dan menyebabkan beban kerja peneliti yang berlebih di pihak lain
serta tidak meratanya alokasi pendanaan kegiatan penelitian. Oleh sebab itu,
studi ini memetakan kompetensi peneliti, distribusi peneliti dan beban
kerjanya, serta alokasi pendanaan kegiatan penelitian LIPI. Hasil studi
menunjukkan bahwa peneliti LIPI masih didominasi oleh peneliti yang
berpendidikan S1 dengan mayoritas jenjang fungsional sebagai peneliti
madya. Sayangnya, kinerja peneliti LIPI yang diindikasikan dari jumlah
publikasi dan sitasi di tingkat nasional dan internasional tergolong masih
rendah. Sementara itu, pemetaan terhadap beban kerja peneliti LIPI
menunjukkan bahwa pada tahun 2009 terdapat peneliti LIPI yang memiliki
beban kerja lebih dua kegiatan penelitian untuk skema DIPA, Kompetitif, dan
Iptekda. Namun demikian, terdapat juga peneliti LIPI yang tidak terlibat
dalam kegiatan penelitian baik pada DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda. Hasil
analisis tabulasi silang menunjukkan bahwa banyak peneliti yang aktif dalam
kegiatan penelitian ternyata tidak mampu menghasilkan cukup banyak
publikasi dan sitasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu,
hasil analisis juga menunjukkan bahwa kelompok peneliti berkinerja baik
dengan publikasi dan sitasi yang banyak justru merupakan peneliti yang
tergolong kurang aktif dalam keikutsertaaanya di kegiatan penelitian baik
DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda. Artinya, para peneliti yang berkinerja
baik tersebut mampu menghasilkan publikasi dan sitasi yang banyak hanya
dari sedikit kegiatan penelitian yang diikutinya. Hasil identifikasi alokasi
pendanaan kegiatan penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi jumlah
pendanaan kegiatan penelitian tematik antar satker di LIPI. Sampai saat ini
juga belum ada ukuran yang dapat dijadikan sebagai standar yang mengikat
berapa rupiah seharusnya suatu kegiatan penelitian harus dibiayai.
Kata Kunci: pendanaan, peneliti LIPI

34
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

PENDAHULUAN
Pada saat ini LIPI memiliki berbagai skema pendanaan penelitian, baik yang
berasal dari LIPI sendiri maupun dari instansi pemerintah lainnya. Salah satu
sumber pendanaan utama kegiatan penelitian LIPI adalah DIPA LIPI seperti
pendanaan penelitian untuk program tematik dan kompetitif. Selain itu, terdapat
pula skema pendanaan dari instansi pemerintah lainnya seperti dari DIPA
Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) berupa instentif riset dan DIPA
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Depdiknas. Program tematik
LIPI dimaksudkan sebagai program untuk meningkatkan kompetensi pusat
penelitian dan peneliti LIPI pada pusat penelitian tersebut. Sedangkan skema
pendanaan bagi program kompetitif riset LIPI bersifat kompetitif. Demikian pula
dengan program insentif ristek. Dalam skema seperti ini peneliti harus
mengajukan proposal penelitian dan akan melalui serangkaian proses seleksi
sebelum dinyatakan dapat dibiayai atau tidak. Sedangkan bantuan dana penelitian
dari Dirjen Dikti memiliki skema yang hampir sama dengan program tematik,
hanya pada skema ini setiap peneliti diberi kuota penelitian sebesar Rp 50 juta
rupiah.
Banyaknya skema pendanaan penelitian di atas, tentu merupakan hal yang
positif dalam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
di Indonesia. Dengan demikian, para peneliti akan terangsang untuk berlomba
mengajukan proposal penelitian untuk memperoleh pembiayaan bagi kegiatan
litbangnya. Kondisi ini tentu saja akan mendorong semakin banyaknya kegiatan
penelitian. Hal ini tentu saja berimplikasi positif bagi perkembangan iptek di
Indonesia. Dengan semakin banyaknya kegiatan penelitian yang dilakukan, maka
output yang dihasilkan oleh peneliti pun akan meningkat dan pada akhirnya akan
meningkatkan pula kinerja pusat penelitian di mana peneliti tersebut berada.
Namun demikian, di lain pihak banyaknya skema seperti ini dapat
mendorong pada beban kerja yang berlebih pada para peneliti serta tidak
meratanya alokasi pendanaan kegiatan penelitian. Apabila hal ini terjadi, maka
justru akan memberi dampat negatif bagi peneliti dan puslit bersangkutan. Oleh
sebab itu, diperlukan adanya kebijakan dari pihak LIPI untuk mengatur mobilisasi
para peneliti yang mencakup distribusi para peneliti LIPI di kegiatan penelitian
beserta beban kerja dan alokasi pendanaannya. Terkait dengan hal tersebut, maka
studi ini memetakan distribusi peneliti dan beban kerjanya, kompetensi peneliti
serta alokasi pendanaan kegiatan penelitian LIPI. Hasil dari studi ini diharapkan
dapat menjadi rekomendasi bagi pihak LIPI untuk menentukan mobilisasi para
peneliti LIPI beserta alokasi pendanaannya.

KERANGKA BERPIKIR
Guna mengidentifikasi kompetensi dan kinerja peneliti LIPI yang
merupakan salah satu dari tujuan studi, maka studi ini akan menggunakan
pendekatan Avital dan Collopy (2001), tetapi disesuaikan dengan karakteristik
LIPI sebagai objek penelitian yang merupakan lembaga penelitian murni atau
bukan universitas. Selain itu, penyesuaian juga akan dilakukan berkaitan dengan
alasan teknis dan akses data. Oleh karena itu, studi ini tidak akan menggunakan

35
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

seluruh indikator yang terdapat pada pendekatan studi evaluatif dan ekplanatif
seperti yang dikemukakan oleh Avital dan Collopy (2001).
Dalam penelitian ini, kompetensi para peneliti LIPI akan diidentifikasi
melalui tingkat pendidikan, jabatan fungsional, dan bidang kepakarannya. Guna
memperdalam analisa, maka identifikasi terhadap kompetensi peneliti juga
dilakukan dengan mengidentifikasi kinerja peneliti LIPI melalui variabel yang
telah dikembangkan oleh Avital dan Collopy (2001) yaitu hasil riset dan
pengaruhnya. Hasil riset peneliti LIPI akan diidentifikasi melalui jumlah publikasi
ilmiah internasional maupun nasional. Data jumlah publikasi ilmiah internasional
baik dalam publikasi jurnal internasional dan conference paper diperoleh melalui
SCOPUS. Sedangkan untuk menjaring data publikasi nasional, penelitian ini
menggunakan data pada Googleschoolar yang telah memperhitungkan publikasi
ilmiah internasional dan nasional. Sementara itu, variabel pengaruh dari hasil
penelitian diindikasikan dari jumlah sitasi dari publikasi yang dihasilkan oleh
peneliti. Data sitasi ini pun diperoleh dari SCOPUS dan Googleschoolar.
Guna memperdalam analisa, studi ini menggunakan analisis kluster. Pada
studi ini, analisis kluster digunakan dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok
peneliti berdasarkan pada kinerja dan banyaknya kegiatan penelitian yang
dilakukan. Kemudian hasil analisis kluster ini dintepretasikan berdasarkan
kompetensi peneliti seperti tingkat pendidikan dan jabatan fungsional.

METODE
Guna mencapai tujuan akhir yang ingin dicapai, penelitian ini dilakukan
dalam tiga tahapan seperti yang diperlihatkan Gambar 1. Uraian dari setiap
tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
Tahap 1: Pemetaan distribusi kompetensi peneliti dan beban kerja
Tahap ini ditujukan untuk menjawab dua pertanyaan pertama penelitian ini.
Untuk pemetaan kompetensi peneliti diperlukan adanya data berupa tingkat
pendidikan, jabatan fungsional, serta bidang kepakaran para peneliti. Data
tersebut diperoleh melalui penelusuran database di Biro Kepegawaian LIPI.
Kompetensi peneliti LIPI juga akan diidentifikasi melalui kinerjanya dalam
melakukan kegiatan penelitian. Analisis kinerja ini akan menggunakan konsep
Avital dan Collopy (2001) dimana kinerja diidentifikasi melalui jumlah
publikasi dan sitasi. Data tersebut diperoleh melalui Scopus dan
Googleshoolars.
Pada tahap pemetaan beban kerja peneliti, data yang dibutuhkan berupa data
kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti. Pada tahap
pemetaan beban kerja peneliti ini menggunakan data sekunder dari Biro
Kepegawaian dan BPK LIPI berupa data umum mengenai jumlah peneliti serta
berbagai kegiatan penelitian yang diikutinya (baik DIPA, Kompetitif, maupun
Iptekda) serta posisinya dalam tim penelitian.
Guna memperdalam analisa maka pemetaan terhadap kompetensi dan beban
kerja dilengkapi dengan analisis kluster. Analisis ini ditujukan untuk

36
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

mengidentifikasi kelompok-kelompok peneliti LIPI berdasarkan kompetensi


dan beban kerjanya.

Tahap 2: Analisis tabulasi silang (cross tab) antara kompetensi peneliti dengan
beban kerja
Tahap kedua ini akan fokus untuk menganalisis apakah beban kerja para
peneliti LIPI telah sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Analisis cross
tab yang dilakukan akan menggunakan data yang telah diperoleh pada tahap
pertama khususnya hasil analisis kluster pada kompetensi dan beban kerja
peneliti.
TAHAP 1 TAHAP 1
Pemetaan distribusi Pemetaan kompetensi
beban kerja peneliti peneliti

Penelusuran database Penelusuran database

TAHAP 2
Analisis Cross Tab antara kompetensi
peneliti dengan beban kerjanya

Hasil dari Tahap 1

TAHAP 3
Identifikasi alokasi pendanaan riset

Hasil dari tahap 1 dan 2, serta FGD

HASIL
Rekomendasi kebijakan mobilisasi peneliti: terkait
dengan penentuan beban kerja dan alokasi
pendanaan riset bagi peneliti

Gambar 1 . Alur Kerja Penelitian

Tahap 3: Identifikasi alokasi pendanaan riset


Tahap terakhir ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan ketiga dari studi ini.
Pada tahap ini akan dilakukan identifikasi terhadap alokasi pendanaan yang
sesuai untuk kegiatan penelitian dan para penelitinya. Identifikasi akan
dilakukan melalui FGD dengan para peneliti senior yang tergolong unggul
dalam bidangnya. FGD akan bersumber pada data yang telah diperoleh pada
tahap sebelumnya.

37
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Dengan melakukan tiga tahapan penelitian tersebut, maka diharapkan penelitian


ini akan menghasilkan rekomendasi berupa kebijakan mobilisasi para peneliti
khususnya yang terkait dengan pengaturan beban kerja serta alokasi pendanaan
untuk kegiatan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kompetensi Peneliti LIPI
Guna memetakan kompetensi peneliti di LIPI maka dilakukan identifikasi
terhadap tingkat pendidikan, jabatan fungsional, dan bidang kepakaran yang
dimiliki oleh setiap peneliti. Selain itu, kompetensi yang dimiliki oleh peneliti LIPI
juga diidentifikasi melalui kinerjanya di bidang peneitian yang dinilai dari jumlah
publikasi dan sitasi. Data yang berkaitan dengan kompetensi peneliti di LIPI
diperoleh dari Biro Organisasi dan Kepegawaian (BOK) LIPI, dengan jumlah
peneliti sebesar 1249 orang.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa hampir sebagian besar peneliti di
LIPI didominasi oleh peneliti yang berpendidikan S1 sebesar 47,32%, kemudian
S2 sebesar 33,47% dan sisanya S3 sebesar 19,22%. Identifikasi pada tingkat
kedeputian juga menunjukkan hasil yang serupa bahwa peneliti di setiap
kedeputian didominasi oleh peneliti yang berpendidikan S1. Kondisi tersebut tidak
terjadi hanya pada Kedeputian IPSK dimana peneliti didominasi oleh peneliti
berpendidikan S2. Jika dilihat dari jenjang fungsionalnya, sebagian besar peneliti
LIPI merupakan peneliti madya (32%), kemudian diikuti dengan peneliti pertama
(26%), peneliti muda (25%), dan yang terendah adalah peneliti utama (17%).
Sementara itu, hasil identifikasi terhadap kepakaran peneliti LIPI menunjukkan
terdapat 126 kepakaran. Lima besar kepakaran yang digeluti peneliti LIPI meliputi
kepakaran oseanografi/oseanologi (9,85%) yang hanya berada di kedeputian IPK;
kepakaran botani (6,41%) berada di kedeputian IPH; kepakaran teknik
interdisiplin (6,24%) berada di kedeputian IPT dan Jasil; kepakaran mikrobiologi
(4,56%) berada di kedeputian IPK, IPH dan IPT; dan kepakaran ekologi dan evolusi
(3,76%) berada di kedeputian IPK, IPH dan IPT.
Selanjutnya, kinerja peneliti LIPI diidentifikasi melalui jumlah publikasi dan
sitasinya yang tercatat di SCOPUS dan Googleshoolars. Jika data SCOPUS hanya
mencatat publikasi dan sitasi dari jurnal dan converence paper di tingkat
internasional, data Googleschoolars juga mencakup data publikasi dan sitasi dari
publikasi nasional. Data SCOPUS menunjukkan bahwa dari 1249 peneliti LIPI
terdapat 244 peneliti atau 19,54% yang tercatat memiliki publikasi di jurnal ilmiah
internasional. Sementara itu, yang tercatat memiliki sitasi dari publikasi yang
dihasilkan sebanyak 202 peneliti atau 16,17%. Sementara itu, data publikasi dan
sitasi conference paper yang tercatat di SCOPUS juga menunjukkan hal yang tidak
jauh berbeda bahwa hanya sebagian kecil peneliti LIPI yang mempunyai publikasi
pada conference paper di tingkat internasional. Data SCOPUS menunjukkan bahwa
dari 1249 peneliti LIPI, hanya 38 atau 3,04% yang tercatat memiliki publikasi
dalam bentuk international conference paper. Sedangkan yang pubikasinya dalam
conference paper disitasi hanya sebanyak 19 peneliti atau 1.52%. Identifikasi
dengan menggunakan data publikasi dan sitasi yang tercatat pada SCOPUS dan

38
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Googleschoolar memperlihatkan bahwa peneliti dari kedeputian IPH merupakan


peneliti paling produktif dalam menghasilkan publikasi dan sitasi. Sedangkan pada
tingkat unit kerja, hasil identifikasi menunjukkan bahwa Pusat Penelitian
Bioteknologi menjadi unit kerja yang penelitinya paling produktif dalam
menghasilkan publikasi dan sitasi.
Guna memperdalam hasil pemetaan kompetensi peneliti LIPI, maka
dilakukan analisis kluster terhadap kinerja peneliti LIPI. Analisis ini dilakukan
untuk mengidentifikasi kelompok peneliti yang tergolong berkinerja baik. Seperti
sebelumnya, variabel kinerja yang digunakan dalam melakukan analisis kluster ini
adalah publikasi dan sitasi yang tercatat di data SCOPUS dan Googleschoolar.
Dengan demikian, kelompok peneliti yang berkinerja baik berarti adalah kelompok
peneliti dengan publikasi dan sitasi yang tergolong banyak. Analisis kluster yang
dilakukan dengan membentuk empat kluster peneliti mengidentifikasi kinerja
peneliti LIPI seperti yang diperlihatkan Tabel 1.

Tabel 1. Kluster Kinerja Peneliti LIPI


Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3 Kluster 4

Karakteristik Peneliti dengan Peneliti dengan Peneliti dengan Peneliti dengan


kluster output sedang: output rendah: output tergolong output sangat
hanya cukup publikasi dan tinggi terutama tinggi terutama
baik pada sitasi baik pada publikasi pada publikasi
publikasi jurnal internasional dan sitasi pada dan sitasi jurnal
internasional maupun nasional internasional internasional
(data Scopus) rendah conference (data (data SCOPUS)
dan publikasi SCOPUS) serta publikasi
yang tercatat di dan sitasi
googleschoolar berdasarkan
data
googleschoolar

Jumlah 88 (7.04%) 1129 (90.39%) 21 (1.68%) 11 (0.88%)


peneliti

Analisis kluster terhadap kinerja peneliti (publikasi dan sitasi) yang diperlihatkan
Tabel 1 menunjukkan bahwa peneliti yang tergolong memiliki publikasi dan sitasi
yang tinggi (kluster 3 dan 4) hanya sebesar 2.56% dari 1249 peneliti. Sedangkan
sebagian besar peneliti (90.39%) LIPI mempunyai publikasi dan sitasi yang
rendah.

Beban Kerja Peneliti LIPI


Pemetaan terhadap beban kerja peneliti dilakukan dengan mengidentifikasi
keikutsertaan peneliti dalam kegiatan DIPA, Kompetitif, dan Iptekda. Identifikasi
dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari Biro

39
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Perencanaan dan Keuangan LIPI. Identifikasi terhadap keikutsertaan peneliti di


berbagai kegiatan penelitian ini dilakukan dalam periode waktu tahun 2009.
Selanjutnya pemetaan beban kerja dilengkapi dengan analisis kluster yang
ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok peneliti berdasarkan
keikutsertaannya pada kegiatan penelitian. Analisis kluster ini dilakukan untuk
periode waktu dua tahun terakhir yaitu tahun 2008 dan 2009.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat sekitar 8,31% peneliti yang
melakukan dua atau lebih kegiatan penelitian DIPA sekaligus. Unit-unit kerja yang
penelitinya cenderung banyak melakukan kegiatan penelitian DIPA secara rangkap
adalah UPT Loka Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi,
Pusat Penelitian Kependudukan, dan Pusat Penelitian Sumberdaya Regional. Pada
ketiga unit kerja tersebut, paling sedikit terdapat 20% dari penelitinya yang
melakukan kegiatan penelitian DIPA lebih dari satu kegiatan. Hasil identifikasi juga
menunjukkan bahwa sebagian besar peneliti yang melakukan kegiatan penelitian
DIPA lebih dari satu sebagian besar merupakan peneliti berpendidikan S2 dan
mempunyai jabatan fungsional peneliti madya. Peneliti utama yang melakukan
kegiatan penelitian DIPA secara rangkap juga tergolong banyak yaitu sebesar 23%
(urutan nomor dua terbesar). Kondisi ini mengindikasikan bahwa peneliti-peneliti
yang melakukan kegiatan penelitian DIPA lebih dari satu kegiatan merupakan
peneliti-peneliti yang tergolong senior dengan tingkat jabatan fungsional yang
sudah tinggi.
Sementara itu, identifikasi terhadap peneliti yang melakukan kegiatan
penelitian kompetitif menunjukkan bahwa terdapat 3.91% peneliti yang
melakukan kegiatan penelitian lebih dari satu. Namun jika dilihat dari keseluruhan
peneliti di setiap unit kerja, hanya sebagian kecil (tidak lebih dari 15%) yang
penelitinya memiliki kegiatan penelitian kompetitif lebih dari satu. Berbeda
dengan yang terjadi di penelitian DIPA, pada penelitian kompetitif, sebagian besar
peneliti yang melakukan kegiatan lebih dari satu merupakan peneliti
berpendidikan S3 dan mempunyai jabatan fungsional peneliti muda. Hal penting
lain yang perlu diperhatikan dalam kasus ini adalah sedikitnya peneliti utama yang
melakukan kegiatan penelitian Kompetitif lebih dari satu. Kondisi ini berbeda
dengan yang terjadi di kegiatan DIPA dimana 23% peneliti yang melakukan
kegiatan DIPA lebih dari satu merupakan peneliti utama. Sedangkan pada kegiatan
kompetitif, dari semua peneliti yang melakukan kegiatan rangkap pada penelitian
Kompetitif hanya 8% yang merupakan peneliti utama. Hal yang perlu diperhatikan
di sini adalah penelitian kompetitif yang seharusnya lebih membutuhkan keahlian
khusus, para peneliti yang melakukan kegiatan rangkap justru bukan berasal dari
jenjang fungsional tertinggi.
Selanjutnya untuk memperdalam analisa, dilakukan identifikasi terhadap
peneliti-peneliti yang memiliki beban kerja lebih dari dua kegiatan sekaligus baik
dari kegiatan DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda. Hasil identifikasi menunjukkan
bahwa terdapat 4,40% peneliti yang memiliki beban kerja lebih dari dua kegiatan
penelitian sekaligus. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa dari total jumlah
peneliti di setiap unit kerja, tidak lebih dari 10% peneliti yang memiliki beban
kerja lebih dari dua kegiatan penelitian sekaligus, kecuali pada UPT Loka
Pengembangan Kompetensi Sumberdaya Manusia Oseanografi. Pada unit kerja

40
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

tersebut, 40% dari penelitinya memiliki kegiatan penelitian lebih dari dua. Hasil
identifikasi juga menunjukkan bahwa peneliti yang memiliki beban kerja tinggi
(lebih dari dua kegiatan penelitian) didominasi oleh para peneliti yang
berpendidikan S3 dan berjenjang fungsional peneliti madya. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa peneliti yang memiliki beban kerja tinggi adalah peneliti
senior (peneliti dengan jenjang pendidikan dan fungsional yang tinggi).
Guna memetakan beban kerja para peneliti LIPI, maka dilakukan juga
identifikasi terhadap para peneliti LIPI yang tidak mengikuti kegiatan penelitian
apapun baik DIPA, Kompetitif maupun Iptekda. Hasil identifikasi menunjukkan
bahwa terdapat 31% peneliti LIPI yang tidak terlibat dari kegiatan penelitian. Hasil
identifikasi memperlihatkan bahwa banyak unit kerja yang para penelitinya tidak
terlibat dalam kegiatan penelitian. Persentase peneliti yang tidak terlibat kegiatan
penelitian di setiap unit kerjanya juga tergolong tinggi dimana mayoritas di atas
angka 20%. Bahkan pada UPT Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karang
Sambung, UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya "Eka Karya" Bali , UPT
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, dan UPT Loka Uji Teknik
Penambangan dan Mitigasi, Bencana Liwa, Lampung Barat LIPI separuh atau lebih
penelitinya tidak terlibat dalam kegiatan penelitian baik DIPA, Kompetitif maupun
Iptekda. Sementara itu, hasil identifikasi juga menunjukkan bahwa lebih dari
separuh (52%) peneliti yang tidak terlibat dalam kegiatan penelitian merupakan
peneliti berpendidikan S1. Sedangkan bila dilihat dari jabatan fungsionalnya,
komposisi peneliti yang tidak terlibat dalam kegiatan penelitian mempunyai
komposisi yang hampir sama antara peneliti pertama, peneliti muda, peneliti
madya, dan peneliti utama. Namun demikian, hasil identifikasi menunjukkan
bahwa mayoritas peneliti yang tidak terlibat dalam penelitian merupakan peneliti
pertama. Kondisi ini mengindikasikan bahwa peneliti-peneliti yunior yaitu peneliti
dengan jenjang pendidikan dan fungsional yang lebih rendah merupakan peneliti
yang cenderung tidak terlibat dalam kegiatan penelitian.
Beban kerja peneliti LIPI juga diidentifikasi melalui mobilitas peneliti dalam
melakukan kegiatan penelitian. Mobilitas peneliti ini diidentifikasi melalui
keikutsertaannya dalam kegiatan penelitian di unit kerja lain. Pada kegiatan
penelitian di LIPI, keikutsertaan seorang peneliti di kegiatan penelitian unit kerja
lain hanya dimungkinkan pada skema kegiatan penelitian Kompetitif dan Iptekda
yang mengakomodasi terjadinya penelitian lintas unit kerja. Hasil identifikasi
menunjukkan bahwa terdapat 39 peneliti yang melakukan penelitian lintas unit
kerja pada kegiatan Kompetitif. Peneliti pada unit kerja Pusat Penelitian Kimia,
Pusal Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, serta Pusat Penelitian Ekonomi
merupakan unit kerja dengan jumlah peneliti yang melakukan penelitian lintas
unit kerja terbanyak. Hasil identifikasi juga menunjukkan bahwa pada kegiatan
Iptekda tahun 2009 hanya terdapat 9 peneliti yang melakukan kegiatan lintas unit
kerja. Kesembilan peneliti tersebut berasal dari tiga unit kerja yaitu UPT LKBL
Bitung, UPT LKBL Ambon, dan Pusat Penelitian KIM.
Guna melengkapi pemetaan terhadap beban kerja peneliti LIPI, maka
dilakukan analisa kluster yang ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok-
kelompok peneliti berdasarkan beban kerjanya. Analisis kluster ini dilakukan
untuk periode dua tahun terakhir yaitu tahun 2008 dan 2009 dengan

41
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

menggunakan variabel jumlah kegiatan penelitian (DIPA, Kompetitif, dan Iptekda)


yang diikuti serta jumlah kegiatan penelitian dengan posisi sebagai koordinator.
Sayangnya, hanya 613 peneliti atau 49.01% yang datanya tersedia untuk dilakukan
analisis kluster. Analisis kluster yang dilakukan dengan membentuk empat kluster
peneliti yang diperlihatkan Tabel 2.

Tabel 2. Kluster Beban Kerja Peneliti LIPI


Kluster 1 Kluster 2 Kluster 3 Kluster 4 N/A

Karakteristik Peneliti yang Peneltii yang Peneliti yang Peneliti yang Data
kluster aktif dalam kurang aktif kurang aktif aktif dalam tidak
kegiatan terlibat dalam terlibat dalam kegiatan tersedia
penelitian kegiatan kegiatan penelitian
DIPA (baik penelitian penelitian kompetitif
sebagai (sedikit aktif (sedikit aktif (baik sebagai
koordinator hanya dalam hanya dalam koordinator
maupun kegiatan kegiatan maupun
anggota) dan Iptekda) DIPA) anggota)
sebagai
koordinator
Iptekda

Jumlah 111 214 238 50 636


peneliti (50.92%)
(8.89%) (17.13%) (19.05%) (4.00%)

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar peneliti LIPI (452 peneliti atau
36.19%) tergolong tidak banyak terlibat dalam kegiatan penelitian (kluster 2 dan
3). Sementara itu, peneliti yang tergolong aktif dalam kegiatan DIPA dan Iptekda
(kluster 1) sebanyak 111 peneliti atau 8.89%. Sedangkan yang tergolong aktif
dalam kegiatan Kompetitif (kluster 4) sebanyak 50 peneliti atau 4%.
Setelah melakukan pemetaan terhadap kompetensi dan beban kerja para
peneliti LIPI, maka langkah penting selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan
tabulasi silang antara kedua variabel tersebut yang didasari pada hasil analisis
kluster yang telah dilakukan. Langkah ini menjadi penting sebagai bagian dari
evaluasi terhadap para peneliti LIPI, apakah para peneliti yang telah banyak
mengikuti kegiatan memeliki kompetensi yang lebih tinggi yang dapat dilihat dari
kinerjanya yang baik. Hasil analisis tabulasi silang yang diperlihatkan Tabel 2
menunjukkan beberapa hal yang cukup menarik untuk diperhatikan. Pertama,
meskipun para peneliti yang tergolong kurang atau bahkan tidak aktif dalam
melakukan kegiatan penelitian (kluster 2 dan 3) berkontribusi paling besar
terhadap kelompok peneliti yang berkinerja buruk atau mempunyai publikasi dan
sitasi yang rendah (kluster 2), namun data juga menunjukkan bahwa peneliti yang
aktif dalam kegiatan penelitian (kluster 1 dan 4) juga banyak berkontribusi
terhadap kelompok peneliti berkinerja buruk (kluster 2). Artinya, banyak peneliti

42
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

peneliti yang aktif dalam kegiatan penelitian ternyata tidak mampu menghasilkan
cukup banyak publikasi dan sitasi baik di tingkat nasional maupun internasional.

Tabel 3. Tabulasi Silang Antara Kinerja dengan Beban Kerja Peneliti LIPI
kluster 1 kluster 2 kluster 3 kluster 4 Total

(output (Output (output (output


sedang) rendah) tinggi) sangat
tinggi)

kluster 1 0.64% 8.25% 0.00% 0.00% 8.89%

(aktif DIPA dan Iptekda)

kluster 2 1.20% 15.45% 0.40% 0.08% 17.13%

(sedikit aktif dalam


Iptekda)

kluster 3 1.12% 17.61% 0.16% 0.16% 19.06%

(sedikit aktif dalam


DIPA)

kluster 4 0.40% 3.20% 0.40% 0.00% 4.00%

(aktif kompetitif)

data tidak tersedia 3.68% 45.88% 0.72% 0.64% 50.92%

Total 7.05% 90.39% 1.68% 0.88% 100.00%

Hal kedua yang juga cukup menarik untuk diperhatikan adalah kelompok
peneliti berkinerja baik (kluster 3 dan 4) dengan publikasi dan sitasi yang banyak
justru merupakan peneliti yang tergolong kurang aktif dalam keikutsertaaanya di
kegiatan penelitian baik DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda (kluster 2 dan 3).
Artinya, para peneliti yang berkinerja baik tersebut mampu menghasilkan
publikasi dan sitasi yang banyak hanya dari sedikit kegiatan penelitian yang
diikutinya.

Alokasi Pendanaan Kegiatan Penelitian LIPI


Pendanaan yang bersumber dari internal LIPI diperoleh dari anggaran DIPA
yang besarnya terus meningkat dari tahun ke tahun, walaupun dengan porsi
peningkatan yang tidak besar, yaitu sekitar 5 sampai 10% per tahun. Anggaran
dari DIPA ini digunakan untuk membiayai kegiatan penelitian yang dapat
dikelompokan menjadi program penelitian tematik, program penelitian kompetitif,
program Iptekda, dan program penugasan khusus. Terkait dengan alokasi
pendanaan kegiatan program tematik, hasil identifikasi menunjukkan bahwa

43
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

jumlah kegiatan penelitian tematik di masing-masing satker sangat bervariasi.


Variasi ini terlihat terutama antara satker eselon II (Puslit) dengan jumlah
kegiatan penelitian yang banyak dan satker eselon III (UPT) dengan jumlah
kegiatan penelitian yang jauh lebih sedikit. Variasi ini terutama sangat ditentukan
oleh jumlah peneliti yang tersedia di masing-masing satker dan ukuran organisasi,
disamping adanya kebijakan satker dengan berbagai tujuan. Antara lain adalah
adanya kebijakan satker yang bertujuan untuk pemerataan, efektifitas sasaran
penelitian dan tujuan percepatan peningkatan jenjang fungsional peneliti. Variasi
juga tampak jelas jika dilihat dari jumlah pendanaan rata-rata per kegiatan, rata-
rata dana per peneliti dan rentangnya. Rata-rata jumlah dana per kegiatan
penelitian sangat bervariasi hampir sepuluh kali lipat, yaitu antara Rp. 32.555.333
sampai Rp. 310.948.333. Demikian juga variasi rata-rata dana per peneliti yang
berkisar antara Rp. 6.666.667 sampai Rp. 62.189.667. Variasi jumlah pendanaan
penelitian tematik juga terjadi antar satker dalam satu kedeputian.
Sementara itu, untuk pengalokasian dana penelitian kompetitif LIPI dan
program iptekda dilakukan melalui metode seleksi yang kompetitif, sehingga
hanya satker tertentu saja yang dapat lolos seleksi dan memperoleh dana
penelitian dalam program ini. Pada tahun 2009, terdapat sekitar 24 satker, dengan
perbandingan 18 dari eselon II (puslit) dan 6 dari eselon III (UPT dan Balai Besar),
yang memperoleh dana program kompetitif. Dengan demikian beban kerja para
peneliti di 24 satker tersebut menjadi bertambah, terutama untuk tiga puslit
dengan jumlah kegiatan kompetitif lebih dari 10 kegiatan, yaitu Puslit Bioteknologi
(14 kegiatan), Biologi dan Fisika masing-masing 13 kegiatan. Jika dibandingkan
dengan alokasi pendanaan kegiatan penelitian tematik, variasi rata-rata anggaran
untuk setiap kegiatan penelitian program kompetitif ini tidak terlalu besar. Variasi
mencolok terjadi antara penelitian dengan topik sosial yang dilakukan PAPPIPTEK
dan PSDR dengan topik penelitian teknologi yang dilakukan satker-satker di
bawah Kedeputian IPH, IPK, IPT dan Jasil. Walaupun demikian, topik penelitian
sosial lainnya yang dilakukan Puslit Politik, Ekonomi dan PMB mempunyai rata-
rata anggaran yang hampir sama dengan topik penelitian teknologi. Jadi
sebenarnya tidak cukup bukti untuk menyatakan adanya perbedaan jumlah
nominal pendanaan antara penelitian kelompok sosial dengan kelompok teknologi.
Sementara itu, jumlah pendanaan setiap kegiatan pada program iptekda lebih
bervariatif dibandingkan program kompetitif, yaitu antara Rp. 121.059.260 sampai
Rp.355.000.000. Seperti halnya pada program kompetitif, sebagian besar
pelaksana program iptekda juga berasal dari puslit dibandingkan UPT/Balai Besar.
Jumlah kegiatannya per puslit juga lebih sedikit dibandingkan program kompetitif
dengan jumlah kegiatan terbanyak ada di UPT. BPPTK sebanyak 5 kegiatan. Selain
itu, dua puslit pelaksana kegiatan terbanyak pada kegiatan kompetitif, yaitu Puslit
Bioteknologi dan Biologi juga menjadi puslit dengan pelaksana terbanyak kedua
dalam program iptekda.
Adanya fakta bahwa jumlah alokasi dana untuk setiap kegiatan penelitian
tematik, output yang dihasilkan dan struktur tim penelitian sangat bervariatif
antar satker, menyebabkan munculnya ide untuk membuat standar pendanaan
dan struktur tim penelitian di LIPI yang ideal. Namun ternyata ide ini sulit untuk
direalisasikan. Hasil diskusi terfokus (FGD) dengan para PME di lima kedeputian

44
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

menyimpulkan sulit untuk membuat standarisasi tersebut. Walaupun dalam


diskusi tersebut telah dicoba membedakan antara penelitian lapangan yang
menjadi ciri penelitian IPSK, penelitian laboratorium (Puslit fisika, kimia, dll) dan
penelitian campuran lapangan dan laboratorium (Puslit Oseanografi, Limnologi,
dll), namun penyusunan standar ini tetap sulit disepakati. Sulitnya pembuatan
standar ini disebabkan:
1. Dalam struktur DIPA secara nasional telah ditentukan pembagaian
komponen biaya yang terdiri dari : belanja bahan, honor, belanja bahan non
operasional lainnya, dan belanja jasa profesi. Besarnya biaya dalam setiap
komponen tersebut dikalkulasi dalam standar biaya umum (SBU). Namun
dalam kenyataannya, kebutuhan komponen-komponen tersebut dalam
setiap kegiatan penelitian sangat bervariasi
2. Konteks dan tema penelitian berubah-ubah sesuai dengan isu yang
berkembangan dan ide para peneliti.
Namun demikian, tim monev program penelitian kompetitif telah
menerapkan standar pembiayaan dan batasan struktur tim kegiatan penelitian
kompetitif. Hal yang sama dilakukan oleh PME di Kedeputian IPSK yang telah
membuat exercise anggaran penelitian kualitatif untuk Kedeputian IPSK. Dalam
exercise tersebut dibuat simulasi besarnya dana penelitian untuk tim dengan 5
peneliti dan 2 pembantu peneliti mengikuti struktur DIPA. Besarnya dana
penelitian tersebut berkisar antara Rp. 602.877.500 sampai Rp. 1.345.107.500.
Dengan demikian, sebenarnya memungkinkan untuk dibuat simulasi standar biaya
penelitian tersebut.
Hasil diskusi FGD memunculkan ide agar kegiatan penelitian, terutama
penelitian-penelitian unggulan dibuat dalam usulan standar biaya khusus (SBK)
seperti telah dilakukan oleh Puslit Kimia dan Oseanografi. Namun muncul masalah
baru berkaitan dengan SBK ini, yaitu dana SBK tersebut biasanya jauh lebih besar
dibandingkan dana untuk kegiatan tematik lainnya. Akibatnya, jika setiap satker
mengusulkan dana SBK, pagu DIPA LIPI tidak akan mencukupi.Catatan penting
lainnya adalah dalam penyusunan standar pembiayaan penelitian LIPI harus
dimulai dari formulasi output penelitian, sehingga standar pembiayaan tersebut
bukan dalam bentuk pendanaan per peneliti, tetapi per output yang direncanakan.
Demikian juga dalam formulasi output tersebut juga harus dila kukan analisis
pembobotan yang benar. Jika outputnya sudah ditentukan, baru dapat dibuat
struktur biayanya yang efektif.

KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Pemetaan terhadap kompetensi peneliti LIPI yang diidentifikasi melalui
tingkat pendidikan, jabatan fungsional, bidang kepakaran, dan kinerja peneliti
yang dinilai dari jumlah publikasi dan sitasi menunjukkan beberapa hal yang
penting untuk diperhatikan. Hasil pemetaan terhadap kompetensi peneliti LIPI
menunjukkan bahwa peneliti LIPI masih didominasi oleh peneliti yang
berpendidikan S1. Namun demikian, bila diihat dari jenjang fungsional, mayoritas

45
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

peneliti LIPI merupakan peneiti madya. Dalam hal kepakaran, data menunjukkan
bahwa terdapat 126 kepakaran di berbagai bidang yang dimiliki para peniliti LIPI.
Sayangnya, kinerja peneliti LIPI yang diindikasikan dari jumlah publikasi dan sitasi
di tingkat nasional dan internasional tergolong masih rendah. Hasil analisis kluster
menunjukkan bahwa hanya 2.56 % peneliti yang termasuk dalam kelompok
peneliti dengan publikasi dan sitasi yang tinggi.
Sementara itu, pemetaan terhadap beban kerja peneliti LIPI juga
menemukan beberapa hal yang menarik. Hasil identifikasi terhadap beban kerja
peneliti menunjukkan bahwa pada tahun 2009 terdapat peneliti LIPI yang
memiliki beban kerja lebih dari satu kegiatan pada penelitian DIPA dan kompetitif.
Bahkan, terdapat pula peneliti yang memiliki beban kerja lebih dari dua kegiatan
penelitian untuk skema DIPA, Kompetitif, dan Iptekda. Namun demikian, terdapat
31% peneliti LIPI yang tidak terlibat dalam kegiatan penelitian baik pada DIPA,
Kompetitif, maupun Iptekda. Hasil analisis kluster menunjukkan bahwa sebagian
besar peneliti LIPI (36.19%) tergolong tidak banyak terlibat dalam kegiatan
penelitian. Sementara itu, peneliti yang tergolong aktif dalam kegiatan DIPA
sebanyak 8.89%, sedangkan yang tergolong aktif dalam kegiatan kompetitif
sebanyak 4 persen.
Guna melakukan evaluasi terhadap kompetensi dan beban kerja peneliti,
maka penelitian ini telah melakukan analisis tabulasi silang antara kompetensi
peneliti (khususnya kinerja peneliti) dengan beban kerja peneliti. Hasil analisis
tabulasi silang menunjukkan bahwa banyak peneliti yang aktif dalam kegiatan
penelitian ternyata tidak mampu menghasilkan cukup banyak publikasi dan sitasi
baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, hasil analisis juga
menunjukkan bahwa kelompok peneliti berkinerja baik dengan publikasi dan
sitasi yang banyak justru merupakan peneliti yang tergolong kurang aktif dalam
keikutsertaaanya di kegiatan penelitian baik DIPA, Kompetitif, maupun Iptekda.
Artinya, para peneliti yang berkinerja baik tersebut mampu menghasilkan
publikasi dan sitasi yang banyak hanya dari sedikit kegiatan penelitian yang
diikutinya.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa beban kerja atau
keaktifan yang semakin tinggi dari seorang peneliti LIPI dalam mengikuti berbagai
skema kegiatan penelitian belum tentu mendorong peneliti tersebut untuk mampu
menghasilkan publikasi dan sitasi yang lebih banyak. Padahal, dengan semakin
banyaknya kegiatan penelitian yang diikuti, maka peneliti tersebut seharusnya
juga mampu menghasilkan publikasi dan sitasi yang lebih banyak sehingga pada
akhirnya mampu mendorong perkembangan iptek.
Dalam hal alokasi pendanaan kegiatan penelitian, hasil identifikasi
menunjukkan bahwa terdapat variasi jumlah pendanaan kegiatan penelitian
tematik antar setker di LIPI dan sampai saat ini belum ada ukuran yang dapat
dijadikan sebagai standar yang mengikat berapa rupiah seharusnya suatu kegiatan
penelitian harus dibiayai.
2. Saran
Dalam hal kompetensi, pihak LIPI harus berupaya untuk meningkatkan
kompetensi para penelitinya terutama dalam hal tingkat pendidikan dan

46
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

kemampuan peneliti dalam menghasilkan publikasi dan sitasi baik di tingkat


nasional maupun internasional. Sementara itu, dalam hal beban kerja pihak LIPI
juga harus mengupayakan alokasi pemberian beban kerja yang sesuai dengan
kompetensi para peneliti. Dengan menggunakan peta beban kerja yang telah
dihasilkan penelitian ini, pihak LIPI harus dapat mengalokasikan beban kerja di
antara peneliti dan unit kerja agar tidak ada lagi sebagian peneliti yang
mempunyai beban kerja yang berlebih dan sebagian lainnya tidak terlibat dalam
kegiatan peneltian apapun. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas peneliti dan
kegiatan penelitian di LIPI, maka pihak pimpinan LIPI juga harus melakukan
perbaikan dalam menentukan alokasi pendanaan dan struktur tim yang ideal
dalam kegiatan penelitian. Standar pembiayaan dan struktur tim peneliti di
program kegiatan kompetitif LIPI dan hasil exercise Tim PME Kedeputian IPSK
dapat digunakan dalam penyusunan pendanaan kegiatan penelitian tematik.

DAFTAR PUSTAKA

Avital, Michel and Fred Collopy. 2001. Assessing Research Performance:


Implications for Selection and Motivation.
http://sprouts.case.edu/2001/010303.pdf.
B.J, Prayudho. 2010. Analisis Cluster.
http://prayudho.wordpress.com/2008/12/30/analisis-cluster/.

47
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

STUDI KEBIJAKAN PATEN DALAM MENDORONG AKTIVITAS


INOVASI DI INDONESIA

Hadi Kardoyo, Budi Triyono, Chichi Shintia Laksani, Setiowiji Handoyo


Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK

Paten merupakan instrumen penting dalam melindungi aktivitas


inovasi dalam perekonomian modern. Studi Kebijakan Paten dalam
Mendorong Aktivitas Inovasi di Indonesia ini dilakukan untuk
menjawab pertanyaan terkait dengan mengapa pelaksanaan kebijakan
paten belum berhasil meningkatkan aktivitas inovasi di Indonesia. dan
bagaimana elemen-elemen SIN di skala mikro mensikapi kebijakan
paten terkait dengan aktivitas litbang dan inovasi yang dilakukan. Dua
tahapan studi dilakukan yaitu: 1). Analisa kebijakan paten di Indonesia
dan, 2). Tahap kedua, identifikasi respon elemen SIN (lembaga litbang,
perguruan tinggi, dan industri) dalam mengapresiasi pemanfaatan
paten dalam mendorong inovasi. Tahap pertama dari studi ini,
menghasilkan beberapa hal penting terkait dengan kebijakan paten di
Indonsia, yaitu: 1). Rendahnya paten di Indonesia tidak disebabkan oleh
lemahnya aktivitas inovasi di industri di Indonesia, 2) Instrumen paten
merupakan salah satu dari sekian banyak instrumen-instrumen
perlindungan inovasi, baik berupa mekanisme formal dan informal, 3).
Rendahnya paten di Indonesia bukan menjadi kesimpulan bahwa
aktivitas inovasi yang rendah di level mikro. Sedang tahap kedua dari
studi ini menghasilkan dua hal terkait dengan respon elemen SIN
terhadap yang mengemuka dari hasil studi ini yaitu terkait dengan 1).
Efektifitas pengelolaan dan pemanfaatan paten oleh sektor industri dan
2). Harmonisasi antara kebijakan paten dengan kebijakan lain yang
mampu merangsang intensitas aktivitas litbang, terutama pelaku
litbang pemerintah dan perguruan tinggi negeri. Hasil dari tahap ke-dua
dari studi ini diharapkan menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan
paten Indonesia kedepan.
Kata kunci : inovasi, kebijakan, paten

PENDAHULUAN
Paten merupakan sebuah hak esklusif untuk memanfaatkan (membuat,
menggunakan, menjual) hasil invensi dalam jangka waktu tertentu, dalam lingkup
dimana paten tersebut didaftarkan. Hak paten diberikan untuk sebuah penemuan

48
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

yang memenuhi persyaratan asli (novelty), bersifat baru atau inventif (non-
obviousness) dan berpotensi membangkitkan nilai ekonomi dan kemanfaatan bagi
masyarakat (usefulness). Selain hak monopoli terbatas berupa paten, di atas, OECD
(2004) menyebutkan beberapa jenis hak-hak mopoli terbatas yang lain yang pada
umumnya diperuntukkan untuk benda-benda tak berwujud (intangible asset),
seperti halnya hak cipta (copyright), merek dagang (trademark), dan perlindungan
disain produk (design protection).
Dewasa ini pengakuan hak kekayaan intelektual (HKI) mendapat perhatian
besar selaras dengan proses perdagangan bebas. Pentingnya pengakuan HKI ini
terkait dengan perlindungan terhadap produk-produk perdagangan dari berbagai
pola imitasi, pemalsuan produk, dsb. Era perdagangan bebas tersebut melibatkan
berbagai aspek hukum perdagangan nasional yang harus disepakati oleh semua
negara yang terlibat di dalamnya. Masuknya Indonesia dalam keanggotaan
organisasi WTO (World Trade Organization) pada tahun 1994 membawa
konsekuensi bahwa Indonesia ikut menyepakati produk yang dihasilkan oleh WTO
yang salah satunya berupa Perjanjian Umum TRIPs (Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights). TRIPs dideklarasikan di Marakesh, Maroko, pada
tanggal 14 April 1994. TRIPs merupakan hasil dari Putaran Uruguay sejak 1986.
TRIPs ini memuat aspek-aspek dagang dan HKI yang harus ditaati oleh setiap
negara anggota WTO.
Pemberlakuan TRIPs dan era perdagangan bebas ASEAN China Free Trade
Area (ACFTA) tentunya akan memberikan dampak munculnya hambatan-
hambatan di sektor industri dalam negeri. Produk-produk industri dalam negeri
dihadapkan pada persaingan bebas. Produk-produk dalam yang bersaing di pasar
bebas akan berhadapan dengan berbagai standar dari badan-badan perdagangan
internasional. Akibat terburuk adalah produk-produk dalam negeri yang dianggap
merupakan produk imitasi dan melanggar HKI. Bila hal ini terjadi, maka akan
terjadi fenomena larangan masuk produk-produk industri Indonesia ke pasar
internasional serta kewajiban untuk melakukan pembayaran royalti ke pihak-
pihak yang memiliki klaim paten terhadap produk yang bersangkutan.

Tabel 1.
Jumlah Permohonan Paten Berdasarkan Periodisasi Undang-Undang Paten

49
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

UUP No.6 / 1989 UUP No.13 / 1997 UUP No.14 / 2001

Tahun Domestik Asing Tahun Domestik Asing Tahun Domestik Asing

1991 34 1,280 1998 93 1,753 2002 391 3,657

1992 67 3,905 1999 152 2,784 2003 364 3,128

1993 38 2,031 2000 157 3,733 2004 404 3,473

1994 29 2,305 2001 409 3,738 2005 398 4,101

1995 61 2,813 2006 530 4,350

1996 40 3,957 2007 493 4,884

1997 79 3,939 2008 600 4,781

2009 662 4,141

Sumber: Laporan Statistik Paten, Juni 2010

Lemahnya pemahaman HKI di Indonesia dapat juga dilihat dari proporsi


negara asal pengaju paten yang terdaftar di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Selama periode 1991-2009, dari sekitar 71.024 buah permohonan paten, hanya
sebesar 8% (5.839 buah) paten terdaftar yang berasal dari Indonesia sedangkan
sisanya merupakan pengaju dari negara asing seperti Amerika Serikat dengan
19.406 buah paten atau sekitar 27% dan Jepang sebanyak 12.639 buah paten atau
sekitar 18%. Demikian pula halnya jika melihat data paten yang berhasil diberikan
(granted) kepada pihak pemohon paten. Pada periode 1992-2009, dari sejumlah
22.579 buah paten granted, pemohon dalam negeri hanya berhasil mendapatkan
sekitar 2% paten granted dan sebagian besar (98%) dinikmati oleh pihak luar
negeri (Dit. Paten, 2010).
Kondisi di atas tentunya dapat menjadi catatan kinerja aktivitas riset dan
teknologi di sebuah negara. Perbandingan jumlah paten di negara-negara maju dan
negara-negara berkembang menunjukkan bahwa paten menjadi salah satu
indikator dalam mengkaji kinerja ekonomi dan tingkat kemajuan teknologi sebuah
negara yang bersangkutan. Seperti halnya karakteristik negara berkembang
lainnya, rendahnya jumlah paten di Indonesia salah satunya disebabkan
perkembangan sains dan teknologi masih cenderung imitatif, tingkat orisinalitas
yang rendah dan tingkat kreatifitas yang rendah (Kadiman, 2007).
Belum optimalnya instrumen paten dalam mendukung daya saing produk-
produk industri di Indonesia, masih rendahnya kesadaran akan pentingnya paten
dan berbagai permasalahan terkait pelanggaran pengakuan HKI menjadi dasar
bagi studi ini untuk mengkaji kebijakan paten dalam kerangka mendorong
bekerjanya SIN. Terlepas dari perdebatan terkait dengan dampak positif dan

50
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

negatif paten terhadap kompetisi dan aktivitas teknologi, studi ini mengkaji dan
mensintesiskan bagaimana kebijakan paten dalam mendorong bekerjanya SIN di
Indonesia. Kebijakan paten lebih tepat ditempatkan sebagai sebuah kebijakan
untuk mendorong aktivitas inovasi. Sebagaimana pemikiran dari ahli-ahli ekonomi
dewasa ini bahwa paten dapat dimanfaatkan sebagai sebuah instrumen kebijakan
untuk mendorong inovasi di level mikro. Hal ini mengimplikasikan bahwa
kebijakan paten ini akan bersifat komplementer dengan instrumen-instrumen
kebijakan yang lain seperti hibah, berbagai bentuk mekanisme subsidi dan
berbagai aktivitas kebijakan publik untuk mendorong aktivitas litbang.
Menempatkan kebijakan paten untuk mendorong aktivitas inovasi dengan
kerangka SIN diharapkan mampu memberikan hasil kajian pemanfaatan kebijakan
paten yang efektif dalam mendorong aktivitas inovasi di Indonesia.
Berbagai pertanyaan muncul terkait dengan kinerja paten di Indonesia dan
terkait dengan kebijakan paten sebagai sebuah bentuk kebijakan dalam
mendorong inovasi. Mengapa pelaksanaan kebijakan paten belum berhasil
meningkatkan aktivitas inovasi di Indonesia? Bagaimana elemen-elemen SIN di
skala mikro mensikapi kebijakan paten terkait dengan aktivitas litbang dan inovasi
yang dilakukan?

KERANGKA ANALISIS

Kebijakan Paten
Inovasi

Jumlah Paten
Makro Mikro

Kebijakan Pemerintah
UU Paten:
Patent Subject Mater
Patenting Requirement Respon Elemen SIN
The Breadth of Patent Lembaga Litbang
Perguruan Tinggi
Industri

Intervening Variabels:
Innovation is central to business strategy
Globalisation of innovation processes
New technology-based firms play an
important role
Greater collaboration

Sumber: Dikembangkan dari OECD (2004)


Gambar 1. Kerangka Analisis Penelitian
Pendekatan kajian kebijakan paten dalam sebuah rezim mengadopsi
kerangka yang dikembangkan oleh OECD (2004). Kerangka ini menetapkan tiga
elemen utama dalam mengkaji rezime paten di sebuah negara yang meliputi:

51
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

1. Patent subject matter merupakan wilayah-wilayah pengetahuan (domain of


knowledge) yang dapat dipatenkan, jika kriteria paten tentang hal-hal baru
(novelty), jelas/ nyata dan memiliki kegunaan (usefulness) ditemukan.
2. Patenting requirement merupakan tahap-tahap persyaratan dalam
permohonan paten sebelum diberikan kepada inovator.
3. The breadth of a patent merupakan suatu bentuk proteksi yang diberikan
kepada pemegang paten dalam menghadapi peniru (imitator) dan pengikut
(follow-on).

Serta faktor-faktor eksternal dari aspek ekonomi yang berpengaruh


terhadap orientasi sebuah institusi untuk mendapatkan paten, seperti halnya:
1. Innovation is central to business strategy; Inovasi dan aktivitas litbang
sebagai sebuah sumber keunggulan kompetif menjadi sebuah pemahaman
umum bagi pelaku-pelaku industri dari semua sektor.
2. Globalisation of innovation processes; Globalisasi membawa perubahan
pola investasi secara global. Hal ini juga berdampak pada berbagai aktivitas
litbang yang mendekatkan diri ke lokasi pasar dan sumber-sumber iptek.
3. The expansion of ICT and the internet; Perkembangan information dan
communication technology (ICT) berkontribusi terhadap ketersediaan dan
akses informasi terkait dengan sumber-sumber teknologi. Terkait dengan
inovasi-inovasi baru, informasi terkait produk-produk inovasi tersebut
dapat dengan cepat di akses pasar. Pelaku industri yang inovatif
memerlukan sebuah instrumen untuk melindungi aktivitas mereka, dalam
hal ini termasuk instrumen paten.
4. Greater collaboration. Semakin kompleksnya perkembangan teknologi
baik produk dan proses, meningkatnya peluang-peluang di area teknologi,
pesatnya perubahan-perubahan teknologi, meningkatnya kompetisi,
tingginya biaya dan resiko dari aktivitas inovasi memaksa pelaku-pelaku
industri untuk beraktivitas dalam lingkup jaringan kerja dan kolaborasi.
Di era globalisasi saat ini, kelima faktor tersebut lah yang berpengaruh dalam
menstimulus aktivitas inovasi di level mikro.

METODOLOGI
Guna mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan, maka penelitian ini akan
dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah melakukan analisa terhadap
kebijakan paten di Indonesia, dan tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi
motif elemen SIN (lembaga litbang, perguruan tinggi, dan industri) dalam
mengapresiasi pemanfaatan paten dalam mendorong inovasi. Penjelasan tahapan
penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut (Gambar 2):
1) Tahap pertama, analisa kebijakan paten di Indonesia. Penelitian akan
diawali dengan melakukan analisa terhadap kebijakan paten di Indonesia.
Tahap ini ditujukan untuk menjawab tujuan pertama penelitian. Analisa

52
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

terhadap kebijakan paten di Indonesia akan fokus mengkaji aspek-aspek


kebijakan paten yang terkait dengan inovasi seperti yang diperlihatkan
Gambar 2. Analisa yang akan dilakukan bersumber pada kajian literatur dan
diperkuat dengan data-data sekunder yang terkait dengan paten dan
inovasi di Indonesia. Guna memperdalam analisa, maka dilakukan juga
analisa komparasi terhadap kebijakan paten di Indonesia dengan beberapa
negara lain yang kebijakan patennya tergolong sukses mendorong aktivitas
inovasi. Tahap pertama ini akan menghasilkan gambaran mengenai
kebijakan paten yang ada di Indonesia, khususnya pada aspek-aspek yang
masih masih menjadi kelemahan atau penghambat (dibandingkan dengan
negara lain) sehingga menyebabkan masih rendahnya produktivitas paten
dan inovasi di Indonesia.
2) Tahap kedua, identifikasi motif elemen SIN (lembaga litbang,
perguruan tinggi, dan industri) dalam mengapresiasi pemanfaatan
paten dalam mendorong inovasi. Tahap ini ditujukan untuk menjawab
tujuan penelitian kedua. Pada tahap ini akan dilakukan studi kasus pada
ketiga pelaku SIN yaitu lembaga litbang, perguruan tinggi, dan industri.
Studi kasus yang dilakukan ditujukan untuk mengidentifikasi motif elemen
SIN dalam mengapresiasi pemanfaatan paten dalam mendorong inovasi.
selain akan memberikan gambaran apresiasi elemen SIN dalam
pemanfaatan paten untuk mendorong inovasinya, hasil dari tahap ini juga
akan memberikan gambaran mengenai instrument lain (selain paten) yang
selama ini menjadi orientasi lembaga litbang, perguruan tinggi, dan industri
dalam melakukan inovasi.
Hasil dari kedua tahapan tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar
penyusunan alternatif kebijakan paten di Indonesia guna meningkatkan inovasi.
Alternatif kebijakan akan disusun dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang
belum ada atau masih lemah dalam kebijakan paten di Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara yang tergolong sukses dalam kebijakan patennya sebagai
benchmark. Alternatif kebijakan paten yang disusun juga akan mempertimbangkan
motif elemen SIN dalam mengapresiasi pemanfaatan paten yang teridentifikasi
pada tahap dua. Dalam penyusunan alternatif kebijakan ini juga akan
mempertimbangkan instrumen selain paten yang selama ini menjadi orientasi
dalam melakukan aktivitas inovasi. Dengan demikian, maka diharapkan alternatif
kebijakan paten yang akan dihasilkan dari penelitian ini akan menjadi saran
kombinasi kebijakan yang tepat dan lebih baik guna meningkatkan peran paten
dalam mendorong aktivitas inovasi di Indonesia.

53
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

TAHAP 2
TAHAP 1: IDENTIFIKASI MOTIF ELEMEN SIN DALAM
ANALISA KEBIJAKAN PATEN DI INDONESIA MENGAPRESIASI PEMANFAATAN PATEN DALAM
MENDORONG INOVASI
Analisa komparasi antar
Kajian literatur Analisa komparasi antara
negara Studi kasus di lembaga
lembaga litbang,
litbang, perguruan tinggi,
perguruan tinggi, dan
dan industri
industri

PENYUSUNAN ALTERNATIF KEBIJAKAN


PATEN DALAM MENDORONG AKTIVITAS
INOVASI DI INDONESIA

Gambar 2. Tahapan Penelitian

Studi kasus dilakukan di lima elemen SIN (lembaga litbang pemerintah,


industri, dan perguruan tinggi) untuk mengkaji aktivitas inovasi dan pandangan
masing-masing institusi tersebut terhadap paten dan instrumen appropriability
lainnya. Institusi-institusi tersebut tersebut adalah PT. Sang Hyang Sri (PT. SHS)
dan PT. Biofarma dari elemen industri; Institut Teknologi Bandung (ITB) dan
Institut Pertanian Bogor (IPB) dari elemen perguruan tinggi (PT), serta Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia (BPBPI, LRPI).

PEMBAHASAN
Paten dan Aktivitas Inovasi di Industri Manufaktur di Indonesia
Terkait dengan hubungan aktivitas inovasi dan paten yang dihasilkan, suvei
inovasi dilakukan Pappiptek di tahun 2009 terhadap 1500 industri manufaktur
berskala menengah dan besar yang mempunyai satu atau lebih produk inovatif
dalam bentuk inovasi produk atau inovasi proses. Beberapa bagian dari hasil
survey tersebut antara lain ditunjukan dalam Gambar 1. Dari perusahaan yang di
survei, 78,99% perusahaan memiliki mekanisme perlindungan terhadap aktivitas
dan produk inovasi yang dihasilkan, dan 21.01% perusahaan menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki ataupun menerapkan mekanisme perlindungan terhadap
aktivitas inovasi yang dilakukan. Hasil ini survey ini menunjukkan bahwa sebagian
perusahaan yang disurvei memahami berbagai bentuk instrument perlindungan
terhadap aktivitas inovasi.

54
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Sumber: Pappiptek, 2009

Gambar 3. Perbandingan Perusahan Manufaktur yang Memiliki Dengan Yang


Tidak Memiliki Perlindungan Terhadap Produk Inovatifnya

Sementara itu, perbandingan penggunaan instrumen appropriability, formal


maupun informal, menunjukkan bahwa penggunaan masing-masing instrumen
tersebut seimbang dari seluruh perusahaan yang disurvei (Gambar 3). Penggunaan
mekanisme formal (paten, trademark, hak cipta, dan disain industri) memiliki
komposisi 49.58% dari total perusahaan yang disurvei. Mekanisme informal
seperti metode lead time, secrecy, dan complementary technology menempati porsi
50.42% dari seluruh perusahaan yang disurvei (Gambar 4). Hal ini menunjukkan
bervariasinya pemanfaatan instrumen perlindungan terhadap aktivitas inovasi
pada perusahaan-perusahaan yang disurvei.

Sumber: Pappiptek, 2009

Gambar 4. Perbandingan penggunaan mekanisme formal vs informal

55
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Sumber: Pappiptek, 2009

Gambar 5. Porsi penggunaan berbagai metode perlindungan

Porsi pengggunaan metode perlindungan terhadap inovasi dari 1500


perusahaan yang disurvei yang diperlihatkan Gambar 5 menunjukkan bahwa trade
mark dan secrecy memiliki porsi terbesar masing-masing 21%. Instrumen paten
hanya menempati urutan ke-tiga dengan 15%. Metode informal seperti lead time,
complexity of design, dan confidentially agreement juga umum digunakan dan
memiliki proporsi merata sebesar 9-15%. Hal ini menunjukkan bahwa paten
bukan menjadi instrument utama dalam melindungi aktivitas inovasi di masing-
masing perusahaan yang disurvei. Perusahaan akan melakukan pilihan instrumen
perlindungan terhadap inovasi sesuai dengan karakteristik bidang usaha dan
produk perusahaan tersebut, serta merespon struktur, perilaku, dan pengaruh
pasar dalam konteks yang lebih besar.

Paten dan Inovasi: Studi Kasus di Enam Institusi Elemen SIN


Mengkaji kebijakan paten di Indonesia dengan kerangka yang
dikembangkan OECD (2004) tersebut menghasilkan pemahaman bahwa Indonesia
memiliki kebijakan paten yang bagus seperti halnya yang terdapat di negara-
negara maju dan mengakomodasi prinsip-prinsip internasional terkait dengan
pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap intellectual property right
(IPR). Kendala yang seringkali dihadapi oleh inventor relatif berkenaan dengan
elemen patenting requirement dimana proses administrasi paten masih dianggap
memakan waktu. Elemen Patent Subject matter dan the Breadth of Patent tidak
menjadi sebuah permasalahan yang berpengaruh negatif terhadap aktivitas
inovasi yang dilakukan pada masing-masing institusi. Namun demikian, terdapat
hal yang cukup penting untuk diperhatikan guna melakukan perbaikan dalam

56
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

kebijakan paten di Indonesia yaitu masih terdapatnya beberapa kebijakan yang


kontradiktif dengan kebijakan paten seperti dengan kebijakan penerimaan negara.
UU NO 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dirasakan
oleh lembaga riset dan perguruan tinggi negeri sangat tidak berpihak pada
semangat nasional untuk menggerakkan ekonomi dari inovasi. Peraturan tentang
PNBP ini seakan-akan bernuansa ketidakpercayaan pengelolaan keuangan
pemerintah terhadap lembaga riset dan perguruan tinggi. Peraturan ini
mengindikasikan kurang pedulinya pemerintah terhadap ide, proses, dan hasil
karya.
Sementara itu, dalam konteks kompetisi di era globalisasi, aktivitas inovasi
pada elemen SIN di bidang bioteknologi tergolong cukup baik. Mereka telah
memahami benar pentingnya aktivitas litbang untuk menghasilkan inovasi yang
akan menentukan posisi daya saing mereka di pasar global. Oleh sebab itu, para
elemen SIN tersebut telah melakukan berbagai upaya guna memperkuat aktivitas
litbang dan kemampuannya dalam menghasilkan inovasi. Mereka pun telah secara
sadar untuk mengikuti perkembangan ICT yang terjadi saat ini guna mendukung
aktivitas litbangnya. Guna memperkuat aktivitas litbang, mereka pun telah
berupaya untuk melakukan berbagai kolaborasi dan kerjasama dengan pihak
eksternal. Para pelaku inovasi memahami benar pentingnya adanya kerjasama di
antara para elemen SIN untuk menghasilkan suatu inovasi yang bernilai ekonomi
dan mempunyai manfaat bagi masyarakat luas. Sayangnya, keterkaitan antara
elemen SIN ini masih tergolong lemah. Salah satunya disebabkan oleh belum
mampunya perguruan tinggi dalam memenuhi kebutuhan industri. Kerjasama
yang terjalin antara elemen SIN pun cenderung masih pada taraf nasional. Kondisi
ini kontradiktif dengan tuntutan globalisasi yang mensyaratkan terjadinya
kolaborasi aktivitas litbang pada tingkat internasional.
Dengan demikian, bila dikaitkan dengan rendahnya paten di Indonesia,
maka tidak dapat dikatakan bahwa hal tersebut terjadi karena masih rendahnya
aktivitas inovasi di level mikro. Studi kasus yang dilakukan cukup menjadi bukti
bahwa para elemen SIN telah melalukan berbagai upaya untuk memperkuat
aktivitas litbang di institusi mereka. Hal ini mereka lakukan karena mereka
memahami benar pentingnya inovasi bagi daya saing mereka di era globalisasi ini.
Dengan kata lain, rendahnya paten di Indonesia bukan disebabkan oleh masih
rendahnya aktivitas inovasi di level mikro.

PENUTUP
Terlepas dari masih rendahnya permohonan paten di Indonesia,
perkembangan UU Paten di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia
memahami pentingnya paten dan kebijakan paten dalam mendukung aktivitas
ekonomi modern. UU paten di Indonesia sudah mengacu pada prinsip-prinsip
pengakuan IPR. Kekurangan memang masih dirasakan pada elemen Patenting
Requirement dimana proses permohonan paten seringkali dirasakan memakan
waktu. Kebijakan paten di Indonesia juga masih dihadapkan dengan kebijakan lain
yang kontradiktif seperti kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

57
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Rendahnya permohonan dan patent granted Indonesia tidak dapat menjadi


justifikasi bahwa aktivitas inovasi kita rendah. Paten hanya salah satu instrumen
dari berbagai instrumen appropriability baik formal maupun informal. Belajar dari
pengalaman negara-negara maju, kebijakan paten merupakan salah satu kebijakan
dalam mendorong aktivitas litbang dan inovasi. Efektifitas kebijakan paten dalam
mendorong inovasi di negara-negara maju didukung dengan harmonisasi
kebijakan paten dan kebijakan-kebijakan lain terkait dengan aktivitas litbang
dalam perekonomian. Terkait dengan hal ini, ke depan pemerintah perlu
menjamin bekerjanya sistem inovasi nasional (SIN) dan elemen kebijakan paten
menjadi salah satu pendukungnya.
Beberapa hal di bawah ini dirasakan perlu dilakukan untuk mengefektifkan
kebijakan paten dalam mendukung SIN:
1) Pemerintah perlu melakukan pembenahan di manajemen pengelolaan
paten di Indonesia. Proses administrasi paten yang ditangani oleh DJHKI,
yang merupakan sebuah lembaga pemerintah, perlu dilakukan pembenahan
terutama terkait dengan tahapan dan jangka waktu proses administrasi
paten.
2) Perlunya perluasan aktivitas DJHKI sebagai lembaga yang memiliki
wewenang dalam memberikan hak paten ke cakupan aktivitas yang lebih
luas meliputi aktivitas promosi dan komersialisasi paten kepada pihak
industri. Selain sebagai lembaga yang memberikan sertifikasi dan hak paten
ke pemohon, DJHKI juga diharapkan menjadi sebuah lembaga yang mampu
menjembatani pelaku-pelaku litbang dan perguruan tinggi ke pihak
industri.
3) Harmonisasi kebijakan paten dan kebijakan lain yang berpihak pada pelaku
litbang dan perguruan tinggi perlu dilakukan. Kebijakan terkait PNBP perlu
diperbaharui dengan harapan kebijakan PNBP yang baru menjadi kebijakan
PNBP yang berpihak pada pelaku litbang pemerintah dan perguruan tinggi.
Kebijakan PNBP yang mewadahi skema insentif sangat diperlukan dalam
merangsang semangat dan intensitas aktivitas pelaku litbang pemerintah
dan perguruan tinggi untuk menghasilkan hasil-hasil riset yang memiliki
nilai kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat dan perekonomian pada
umumnya.
Pembenahan kebijakan paten dengan melibatkan tiga hal tersebut di atas,
diharapkan kebijakan paten di Indonesia benar-benar menjadi sebuah kebijakan
yang efektif dan mampu mendorong pertumbuhan aktivitas litbang dan inovasi di
Indonesia.

58
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

DAFTAR PUSTAKA

Aiman, S., Hakim, L., & Simamora, M. (April, 2004). National System Innovation of
Indonesia: Journey and Challenges, the first ASIALIC International Conference
on Innovation System and Cluster, Bangkok.
[http://www.nstda.or.th/nstc/Seminar/paper/pdf/ paper_ Syahrul%
20Aimana.pdf]

Encaoua, D., D. Guellec and C. Martinez (2003), The Economics of Patents: From
Natural Rights to Policy Instruments, Cahiers de la MSE, Collection EUREQua
(2003.124).
Levin, R., Klevorik, A., Nelson, R.R. and Winter, S. (1987) Appropriating the Returns
from Industrial Research and Development. Brookings Paper on Economic
Activity, 19(2), 783-831.

Mowery, D. and Nelson, R. (1999) The Sources of Industrial Leadership. Cambridge:


Cambridge University Press.
Nelson, R. (1994) The Coevolution of Technology, Industrial Structure and
Supporting Institutions. Industrial and Corporate Change, 3(1), 4763.

OECD (2004) Patents and Innovation: Trends and Policy Challenges, Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD).
Pavitt, K. (1984) Sectoral Patterns of Technical Change: Towards a Taxonomy and
a Theory. Research Policy, 13(6), 343375.

Porter, M. (1990) The Competitive Advantage of Nations, New York, Free Press.
Rosenberg, N. (1976) Perspectives on Technology. Cambridge University Press.

Rosenberg, N. (1982) Inside the Black Box: Technology and Economics. Cambridge:
Cambridge University Press.

Schumpeter, J. A. (1950). Capitalism, Socialism and Democracy. 3rd ed. New. York:
Harper. Shimp, T. A. 1991

Solow, R.M., (1957) Technical Change and the Aggregate Production Function. The
Review of Economics and Statistics, Vol. 39, No. 3. (Aug., 1957), pp. 312-320.

World Bank. (2007b) World Development Indicators 2007.

59
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

SAATNYA MENGGENJOT INOVASI DI INDUSTRI GULA NASIONAL

Trina Fizzanty, Erman Aminullah, Hadi Kardoyo, Sayim Dolant,


Nur Laili, dan Purnama Alamsyah

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan studi pemodelan kestabilan dinamis penyediaan gula


tebu sebagai salah satu pangan strategis. Penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang dinamika harga gula tebu di
pasar domestik sehingga diperoleh hasil mengenai kompleksitas penyediaan dan
permintaan gula tebu di Indonesia serta dapat digunakan dalam menstrukturkan
persoalan ketidakstabilan harga gula tebu di Indonesia dan memberikan
rekomendasi tindakan kebijakan (policy action) yang dapat menjamin kestabilan
harga gula tebu di Indonesia dalam jangka panjang. Model generik awal
dibangun dari kerangka teori ekonomi dalam bentuk causal loops. Data awal yang
terkumpul yakni 1995-2009 bersumber dari Dewan Gula Nasional mencakup
data produksi gula, konsumsi gula, stock, harga lelang gula. Dengan
menggunakan data nasional gula tersebut telah dihasilkan model dinamis hasil
iterasi kedua. Model awal ini selanjutnya akan diverifikasi dengan: (1)
menambahkan data gula nasional dengan series yang lebih panjang yakni dari
tahun 1969-2009; dan (2) menambahkan variabel-variabel utama lainnya
kedalam model. Selain itu, lebih dari 25 informasi sekunder tentang industri gula
nasional telah terkumpul baik berupa jurnal nasional, proceeding, buku maupun
thesis magister dan disertasi doktor di Indonesia maupun dari negara lain yang
berminat terhadap masalah gula nasional. Dalam penelitian ini dilakukan pula
proses simulasi komputer dan kemudian validasi menggunakan metode
wawancara dan focus group discussion dengan sejumlah pemangku kepentingan
terkait. Analisis kebijakan akan dibangun pada bagian akhir dari penelitian ini.

Kata kunci: pemodelan, dinamika sistem, kestabilan penyediaan,


kestabilan harga, ketahanan pangan, gula tebu, Indonesia

60
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

PENDAHULUAN
Gula tebu merupakan salah satu komoditas strategis pangan di Indonesia
dan telah diakui sebagai kategori komoditas khusus di perundingan WTO
bersama-sama dengan beras, jagung dan kedelai (Arifin 2008). Gula merupakan
sumber energi kedua tertinggi bagi rumah tangga di Indonesia setelah beras
(Rusastra et al. 2008). Seiring dengan kemajuan industri gula nasional dan
kebutuhan gula yang semakin tinggi, pemerintah telah menetapkan berbagai
target terkait upaya mencapai swasembada gula pada tahun 2010. Pemerintah
berusaha menerapkan kebijakan yang sangat protektif terhadap produsen gula
nasional, meskipun (berdasarkan data tertentu) kinerja industri ini diakui relatif
masih rendah. Lebih jauh, industri gula tebu nasional belum efisien dan belum
mampu bersaing dengan para pesaingnya dari negara produsen lainnya di dunia
(Indraningsih & Malian, 2007). Sementara itu kebutuhan gula tebu baik untuk
konsumsi rumah tangga maupun industri makanan dan minuman terus meningkat
dari tahun ke tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan
pendapatan. Ketimpangan antara konsumsi dan kemampuan produksi gula
nasional telah mendorong peningkatan impor gula. Semakin tingginya
ketergantungan pada impor, pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas
pangan dalam negeri.

Sebagai langkah perlindungan produksi gula nasional, pemerintah


menerapkan proteksi yang cukup besar terhadap industri gula nasional dengan
menerapkan tarif impor yang cukup tinggi. Akan tetapi kebijakan protektif
tersebut belum diikuti oleh peningkatan efisiensi produsen gula lokal baik BUMN
maupun swasta. Kondisi ini menyebabkan harga gula di pasar domestik menjadi
tinggi, sehingga merugikan konsumen rumah tangga dan industri makanan dan
minuman nasional.
Banyaknya intervensi pemerintah dan insentif bagi produsen lokal serta
lemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola impor (Rusastra et al. 2008)
telah berpengaruh terhadap lemahnya kemampuan produksi lokal. Di era
liberalisasi (sejak tahun 1998), Bulog tidak lagi bertindak sebagai importir tunggal,
dan pasar domestik semakin terbuka luas bagi produk impor. Pembatasan
importir dan penetapan tarif impor kemudian dilakukan pemerintah, namun
kebijakan ini tidak cukup kuat untuk mendorong industri gula lokal. Kemudian
pemerintah mengelola impor sejak tahun 2002 melalui kebijakan yang lebih detil
terkait kualitas, jadwal impor dan jaminan harga. Kebijakan ini berhasil
mendukung pengembangan industri gula di Indonesia dan turunnya impor
(Rusastra et al. 2008). Namun demikian, apakah perilaku produksi gula lokal yang
mulai meningkat akhir-akhir ini bisa berlanjut (sustain) di masa depan? Apakah
kebijakan pengelolaan impor juga mampu mengelola fluktuasi harga gula di pasar
domestik dan apakah kebijakan ini masih relevan di masa depan? Informasi
tentang hubungan antara kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan teknologi,
dan fluktuasi harga gula di pasar domestik belum banyak diketahui.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memahami kompleksitas pasar
komoditas gula tebu di Indonesia dan peran iptek dalam kestabilan penyediaan
tersebut; (2) menstrukturkan persoalan ketidakstabilan penyediaan dan
permintaan gula tebu di Indonesia; (3) memecahkan persoalan struktural dalam

61
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

ketidakstabilan penyediaan dan permintaan gula tebu Indonesia; dan (4)


merekomendasikan tindakan kebijakan (policy action) yang dapat menjamin
kestabilan penyediaan gula di Indonesia dalam jangka panjang.

Tahapan Studi, Keluaran dan Metode

Tabel 1 Tahapan studi, keluaran dan metode


Tahapan Studi Keluaran Metode
Penggambaran Model hipotesis
Wawancara
Kajian literature
Data historis, Mendifinisikan indikator dan ukuran
penyediaan(supply), setiap variabel
pasokan (stock), Pengumpulan data sekunder (historis
permintaan harga dan minimal 20 tahun)
inovasi teknologi
Teknik analitik dinamika sistem (diagram
sebab akibat atau umpan balik)
Peenstrukturan Memahami pola perilaku dengan
Model menafsirkan:
Pola perilaku masalah 1) Pola dan kecenderungan perilaku
(setiap variabel dan variabel utama (penyediaan gula)
antarvariabel) 2) Urutan faktor pebab/proses if-then
(feedback loops)
3) Menyatukan indikator yang sama
(coupling multiple feedback loops).
Keabsahan struktur Iterasi pengujian keabsahan struktur
model model dengan simulasi komputer
(Powersim) dan diskusi dengan
stakeholder, struktur logis, konsistensi
dimensi, kecocokan data empirik
dengan data simulasi.
Intervensi terhadap Modelling (Powersim) terhadap:
model efek Intervensi fungsional parameter dan
peningkatan inovasi kombinasi parameter
Intervensi teknologi terhadap Intercensi struktural, perubahan
Model/Analisis kestabilan penyediaan unsur atau hubungan yang
Kebijakan dan permintaan gula membentuk struktur model.
tebu dalam pasar.
Strategi Kebijakan: Simulasi Komputer dengan kondisi:
Kebijakan fungsional model tetap, parameter berubah;
atau struktural dalam model diubah dengan parameter tententu
lingkungan
tetap/berubah

62
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan industri gula di Indonesia berawal dari masa kolonialisme
Belanda. Pada masa itu gula pasir menjadi salah satu produk unggulan ekspor yang
sangat penting bagi Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda, industri gula
Indonesia mengalami masa kejayaan yaitu pada tahun 1930 dengan jumlah pabrik
gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik, produktivitas sekitar 14.80% dan
rendemen 11-13.80%. Kejayaan industri gula pada masa itu dipengaruhi oleh
kuatnya kontrol kekuasaan. Perkebunan tebu pada masa itu dikembangkan di
lahan sawah penduduk dengan sistim sewa yang ditentukan penjajah Belanda.
Sistim tanam paksa diterapkan untuk mendukung aktivitas perkebunan serta
dilakukan sistim prioritas dan pemanfaatan sistim irigasi untuk perkebunan tebu.
Simatupang et al. (1999) dan Soentoro et al 1999) menyebutkan kebijakan industri
dan perdagangan gula pada masa penjajahan Belanda dibagi dalam empat periode:
a) Periode 1830-1870 (tanam paksa); b) Periode 1870-1900 (Liberalisasi pasar);
c) Periode 1900-1930 (Pengembangan sistim sindikat), dan d) Periode 1931-1942
(Sistim kartel).
Perubahan masa kolonialisme dari Belanda ke Jepang pada tahun 1942
berdampak buruk terhadap turunnya aktivitas industri gula di Indonesia. Pabrik-
pabrik gula yang didirikan oleh penjajah Belanda mengalami kehancuran sebagai
akibat dari berubahnya orientasi ekonomi penjajah Jepang. Akibat negatif lebih
jauh yang ditimbulkan yaitu turunnya gula sebagai komoditas ekspor unggulan
Indonesia. Setelah masa kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada berbagai
masalah untuk merehabilitasi industri gula nasional.
Setelah masa kemerdekaan, kebijakan industri dan perdagangan gula di
Indonesia terbagi dalam dua periode besar (Simatupang et al, 1999, & Soentoro et
al 1999) yaitu (a) Periode 1945-1965 terdiri dari periode Nasionalisasi Industri
Gula Nasional (1945-1959) dan sistim ekonomi terpimpin (1959-1965) dan (b)
periode 1966-sekarang, terdiri dari Liberasi pemasaran (1966-1971), stabilisasi
(1972-1997), Adaptasi terhadap Sistim Perdagangan Bebas (1993-2001); dan
pengendalian impor (2002-sekarang). Tahap pertama periodisasi kebijakan
industri gula menggambarkan kebijakan pemerintah untuk mengembalikan status
dan sistim industri gula dari yang pada awalnya merupakan kepentingan asing,
Belanda dalam hal ini, ke industri nasional. Nasionalisasi perusahan-perusahaan
gula yang sudah ada dan berbagai penyesuaian sistim industri gula dilakukan
untuk membangkitkan kembali industri gula Indonesia. Periode kebijakan gula
tahap dua cenderung terkait dengan penyesuaian-penyesuan terkait dengan pasar
dan stabilisasi pasar. Periodisasi kebijakan tahap dua ini lebih mencerminkan
penyesuaian terkait dengan kondisi dan kemampuan industri gula nasional yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Kebijakan-kebijakan
industri gula tahap dua ini dilakukan dengan melibatkan faktor pasar internasional
terkait dengan kendala di industri gula nasional.
Studi tentang gula di Indonesia baik dari aspek ekonomi, teknis maupun
kebijakan telah banyak dilakukan. Dwiandary (2009), Siagian (1999), Abidin
(2000), Susila dan Sinaga (2005), Hadi dan Nuryanti (2005), Azahari (1983),
Ernawati (1997) dan Aryani (2009) melakukan studi gula menggunakan analisis

63
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

ekonometrik dan statistic, sedangkan Novitasari dan Budisantoso (2010) dan


Khumairoh dan Budisantoso (2010) menggunakan pendekatan system dynamics.
Studi gula di Indonesia pada umumnya mengkaji obyek, aspek dan metode
penelitian, baik tentang produksi, ekspor, impor, konsumsi dan pasar gula di dalam
maupun di luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan dalam
penyusunan model bagi industri gula Indonesia yang menggunakan System
Dynamics.

POLA PENYEDIAAN GULA DI INDONESIA

Periode Penjajahan Belanda


Pola penyediaan gula tebu di Indonesia tidak terlepas dari sejarah dan
periodesasi kebijakan industri gula di Indonesia. Perkembangan komoditi gula
tebu di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijakan industri dan perdagangan
gula pada masa penjajahan Belanda. Penekanan kebijakan pergulaan di periode
tersebut terletak pada kebijakan menempatkan komoditi gula sebagai komoditi
strategis dan memenuhi kebutuhan ekspor. Perubahan bentuk kebijakan dari satu
periode ke periode yang lain merupakan bentuk antisipasi politik dagang, dengan
tujuan untuk mengantisipasi pergerakan politik internasional maupun kondisi
yang terjadi di pergerakan politik lokal di Indonesia.
Perkembangan lebih lanjut dari sistem tanam paksa adalah sistem
liberalisasi pasar. Sistem ini mampu mendorong perkembangan jumlah pabrik
gula dan luas lahan tebu. Pada tahun 1875 terdapat 139 pabrik gula dan kemudian
meningkat menjadi 151 unit pada tahun 1880. Perkembangan politik kolonialisasi
dan politik etis di Indonesia banyak berpengaruh terhadap kebijakan industri dan
perdagangan gula Belanda di Indonesia. Kebijakan liberalisasi yang diterapkan
mampu memacu investasi pengembangan lahan tebu dan pendirian pabrik-pabrik
gula oleh pelaku industri selain pemodal dari pihak Belanda. Kebijakan ini mampu
mendorong persaingan produksi dan perdagangan gula antara perusahaan-
perusahaan gula Belanda dan Cina. Perkembangan lebih lanjut berkaitan dengan
terjadinya depresi ekonomi dunia yang berpengaruh buruk terhadap industri dan
perdagangan gula di Indonesia. Depresi ekonomi tersebut mengakibatkan
banyaknya pabrik gula mengalami kebangkrutan. Produksi gula turun dari 2.9 juta
ton di tahun 1930 ke 492.6 ribu ton di tahun 1995. Namun setelah pulihnya
ekonomi dunia, industri dan perdagangan gula di Indonesia mulai tumbuh
kembali.

Periode Setelah Masa Penjajahan Belanda


Periode industri dan perdagangan gula di Indonesia setelah masa
kemerdekaan terbagi menjadi dua tahap yaitu: a) Periode pertama (1945-1965)
sebagai tahap Nasionalisasi Industri gula dan sistem ekonomi terpimpin, dan b)
Periode kedua meliputi Liberalisasi Pemasaran (1966-1971), Stabilisasi (1972-
1993), Adaptasi terhadap Perdagangan Bebas (1993-2001), dan Pengendalian
Impor (2002-sampai sekarang).

64
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

POLA PERMINTAAN GULA DI INDONESIA


Konsumsi gula nasional dan harga menentukan volume gula yang harus
diproduksi. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi berpengaruh
positif terhadap tumbuhnya konsumsi gula untuk konsumsi penduduk maupun
kebutuhan industri. Konsumsi gula per kapitapada tahun 1976 sekitar 1,8
kg/tahun dan terus mengalami kenaikan sampai tahun 1996 sekitar 2,7 kg/tahun.
Konsumsi gula per kapita ini diduga akan terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun demikian, produksi gula dalam negeri ternyata tidak mampu
memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional. Kebijakan industri dan
perdagangan gula Indonesia pasca periode demokrasi terpimpin (1945-1965)
ditujukan untuk mengantisipasi ketidakmampuan industri gula nasional dalam
memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Akibatnya impor menjadi alternatif
untuk memenuhi kekurangan stok. Periode 1995-1997 index dependency ratio gula
Indonesia sebesar 31,78%, artinya 31,78% kebutuhan konsumsi gula nasional
sangat tergantung dari impor. Index dependency ratio gula nasional terus
meningkat hingga mendekati 50% pada periode 1998-2004 (Rusastra, Napitupulu
dan Burgeois 2008: hal.27).
Impor gula nasional diyakini sangat berfluktuasi. Hal ini Periode 1972-2008
impor gula berfluktuasi dengan tren positif. Tahun 1972 misalnya, impor gula
nasional tercatat sebesar 6.123 ton dan melonjak ke 1.099.306 ton pada tahun
1996, dan tercatat 2.972.788 ton pada tahun 2007. Walaupun impor gula
cenderung meningkat, namun sangat fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh kebijakan
pengendalian impor oleh pemerintah dengan mempertimbangkan aspek stok dan
harga gula di dalam negeri.

KECENDERUNGAN PENYEDIAAN GULA DI INDONESIA


Aktivitas industri dan produksi gula Indonesia telah mengalami perubahan
orientasi pemenuhan kebutuhan. Pada masa kolonialisasi Belanda, industri gula
Indonesia dimaksimalkan untuk orientasi ekspor dan mendukung kepentingan
ekonomi Belanda. Penurunan kemampuan industri gula setelah masa penjajahan
mengubah orientasi produksi dari ekspor menuju orientasi produksi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Membuka pasar dalam negeri untuk
masuknya gula impor merupakan pilihan kebijakan bagi pemerintah Indonesia
untuk menutupi kekurangan stok gula dalam negeri.

Kecenderungan menurunnya luas areal perkebunan tebu selama sepuluh


tahun terakhir dapat menjadi ancaman bagi kemampuan produksi gula nasional,
jika tidak ada terobosan dalam peningkatan produktivitas. Industri gula tidak
dapat dipungkiri sangat tergantung dari ketersediaan lahan sebagai input dalam
proses produksi. Produktivitas industri gula nasional baik dilihat dari
produktivitas lahan, produktivitas tebu, maupun produktivitas pabrik relatif masih
rendah, sehingga perlu mendapat perhatian serius dari pihak-pihak terkait. Bila
dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda, tingkat rendemen tebu dan
produktivitas batang tebu berkisar 12% dan sepuluh tahun terakhir tingkat
randemen tebu menurunrata-rata sebesar 6-7%. Hal ini menunjukkan kurang
intensifnya perhatian pemerintah terhadap kemajuan industri gula saat ini.

65
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Kecenderungan ini menunjukkan semakin kurangnya tingkat inovasi, adopsi


teknologi, dan manajemen industri nasional. Bila permasalahan di atas diabaikan,
maka kedepan akan mengganggu kesinambungan industri gula nasional.

Pola penyediaan gula di masa lampau dibagi ke dalam dua periode besar
yaitu pada masa penjajahan Belanda dan pada masa setelah kemerdekaan. .
Kebijakan industri gula berorientasi ekspor pada masa penjajahan Belanda
berpengaruh positif terhadap kemampuan industri gula masa itu dan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu produsen gula di dunia. Menurunnya kemampuan
industri gula Indonesia setelah masa kemerdekaan telah mengubah Indonesia
sebagai negara pengekspor gula menjadi negara pengimpor gula. Perubahan
orientasi kebijakan tersebut mengacu pada pentingnya penyediaan gula untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Permintaan gula dalam negeri cenderung meningkat seiring pertambahan
penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya angka konsumsi gula per
kapita ini diduga akan terus meningkat selaras dengan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Selain itu, hal ini akan berimbas terhadapterjadinya kenaikan harga
gula pada masa mendatang.

KONSEP DASAR DALAM STRUKTUR MODEL


Konsep dasar struktur model gula tebu menggunakan teori mekanisme
pasar, dimana permintaan dan penyediaan mempengaruhi perilaku pasar.
Perubahan harga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap permintaan (demand)
dan penyediaan (supply). Kurva permintaan (demand curve) menjelaskan adanya
penurunan harga menyebabkan kenaikan jumlah permintaan produk dan adanya
kenaikan harga menyebabkan penurunan jumlah produk yang diminta. Sedangkan
dalam kurva penyediaan (supply curve), adanya kenaikan harga akan berpengaruh
terhadap kenaikan jumlah produk yang diproduksi dan penurunan harga
menyebabkan penurunan barang produksi. Pada dasarnya, kenaikan harga
merupakan stimulus untuk meningkatkan penyediaan. Peningkatan permintaan
dapat terjadi pada kenaikan harga akibat pergeseran kurva permintaan (misalnya
melalui promosi) dan peningkatan penyediaan dapat terjadi pada penurunan
harga akibat pergeseran kurva penyediaan (misalnya melalui stok penyangga).

Interaksi penyediaan, permintaan dan harga gula tebu menjadi dasar untuk
menjelaskan ketidakstabilan dinamis penyediaan dan harga gula tebu.
Ketidakstabilan dinamis penyediaan dan harga gula tebu dimodelkan berkaitan
dengan siklus mekanisme pasar yang melibatkan penyediaan dan permintaan.

66
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Stok

+ -
+

Penyediaan (-) Kemampuan stok (-) Permintaan

-
-
+
Harga

Gambar 1 Struktur Umum Model Ketidakstabilan Dinamis Harga dan Penyediaan


Gula Tebu

Selanjutnya, kestabilan dinamis penyediaan dan harga gula tebu dalam


pasar dikembangkan berdasarkan konsep kendali terhadap fluktuasi sisi
penyediaan dan stok. Kestabilan perilaku penyediaan dalam model dapat diuji
dengan menambahkan konsep inovasi teknologi, sedangkan kestabilan stok dalam
model dapat diuji dengan menambahkan konsep impor. Konsep inovasi teknologi
berupa peningkatan produktivitas perkebunan yang terdiri dari peningkatan
produktivitas lahan tebu dan peningkatan produktivitas pabrik gula. Konsep impor
diwakili dengan adanya keterbukaan peluang untuk melakukan impor gula tebu ke
Indonesia.

Struktur umum model kendali ketidakstabilan dinamis harga ditunjukkan pada


gambar 2 di bawah ini

+
Impor Stok

+ -
+

Penyediaan (-) Kemampuan stok (-) Permintaan

-
-
+ +
Harga

Inovasi teknologi

Gambar 2 Struktur Umum Model Kendali Ketidakstabilan Dinamis Harga

67
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

KEABSAHAN MODEL GULA TEBU


Pengembangan model gula tebu Indonesia telah menghasilkan tiga luaran
(output) yaitu: i) struktur model diagram sebab-akibat; ii) struktur model diagram
arus/model matematik dan iii) hasil simulasi model dinamika sistem dengan
Powersim. Model gula tebu telah diuji validitasnya dengan melihat: i) kebenaran
struktur logis dari model sebab-akibat; ii) konsistensi dimensi model diagram arus
/ model matematik, dan iii) kecocokan data aktual dengan data simulasi.
Kebenaran struktur logis dari model gula tebu telah sesuai dengan teori
umum dalam ekonomi, yaitu keseimbangan penyediaan dan permintaan gula tebu
akan menentukan harga pasar. Ketidakstabilan penyediaan berakibat
ketidakseimbangan antara permintaan dan penyediaan yang tercermin dalam
perubahan harga. Dimensi unsur-unsur dalam model diagram arus / model
matematik telah diuji dan terbukti konsisten. Kecocokan (fitting) kurva data aktual
dengan kurva hasil simulasi baik untuk stok maupun harga hasil simulasi adalah
sebagai berikut: i) secara visual kurva hasil simulasi sudah menirukan pola
(patterns) dan kecenderungan (trends) data aktual; ii) penyimpangan (deviasi)
rata-rata lima tahunan dari kurva hasil simulasi terhadap data aktual relatif kecil
(berkisar 5-10%) dan hasil uji statistik progresif menunjukkan model yang
dibangun sudah absah. Dengan demikian struktur model sudah memenuhi syarat
logis dan empiris. Logis karena memiliki
Gambar penjelasan
1 nalar yang berdasarkan
landasan teoritis, dan empiris karena memiliki kecocokan dengan data empiris.
Data vs Hasil Simulasi
Kurva perbandingan data aktual dan simulasi dapat dilihat pada gambar 3.
Stok dan Harga Gula Tebu (tahun 1981-2009)
4

5,000 3
3

4,000 4
4
4 3 1
data stok (ribu ton)
3,000 3
2
stok (ribu ton)
4 3
3
data harga (Rp)
2,000 4
4
harga (Rp)
3
2 1
1,000 2 2 4 4
1 2 1 3 3
1 1 12 2
4 1 34 34 2
34 3 2
34 34 2 2 12 12 2
1 1 1 1 12
0
1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
tahun

Gambar 3 Keabsahan Model: Nilai Simulasi versus Data Aktual (tahun 1981-2009)

68
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

ANALISIS KEBIJAKAN
Skenario Penyediaan dan Fluktuasi Harga Gula Tebu (Tahun 2010-2020)
Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternative kebijakan apa
yang tepat untuk menyelesaikan masalah penyediaan dan fluktuasi harga gula tebu
di Indonesia. Alternatif kebijakan yang mungkin dilakukan disimulasikan dengan
melakukan intervensi terhadap model gula. Simulasi dilakukan untuk mengetahui
perkiraan apa yang akan terjadi pada penyediaan dan fluktuasi harga gula tebu
bila dilakukan intervensi pada model dalam jangka waktu tahun 2010 2020.
Intervensi dilakukan dengan mengubah nilai parameter-parameter tertentu dalam
model.
Simulasi berdasarkan intervensi terhadap parameter model telah
menghasilkan tiga skenario utama berikut: (i) skenario normal, yaitu perpanjangan
keadaan sekarang di mana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang
di capai melalui impor dan tingkat harga gula tebu akan berfluktuasi dalam jangka
waktu ke depan; (ii) skenario membaik, yaitu intervensi sisi penyediaan gula tebu
dimana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang dicapai melalui
peningkatan produksi, dan tingkat harga berdasarkan produksi akan berfluktuasi
cenderung stabil; dan (iii) skenario terbaik, yaitu intervensi sisi penyediaan
dimana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang dicapai melalui
peningkatan produksi gula tebu serta inovasi teknologi, sehingga harga
bergantung pada peningkatan penyediaan yang akan stabil dalam jangka panjang.
Tiga skenario ini didukung oleh hasil simulasi di bawah ini. Beberapa
kemungkinan kejadian berkaitan dengan parameter efek harga terhadap produksi,
impor, faktor produktivitas lahan, faktor produktivitas pabrik dan variabel impor
ke depan, diperoleh dari simulasi intervensi model yang sudah divalidasi.
Intervensi telah dilakukan pada tahun 2010 terhadap parameter-parameter dan
variabel tersebut. Analisis skenario dilihat dengan perbandingan antara efek
intervensi dengan tanpa intervensi.
Skenario gula tebu tanpa intervensi adalah kecenderungan variabel
penyediaan, penyaluran dan harga pasar dengan angka parameter tetap yaitu nilai
parameter tahun terakhir (tahun 2009). Skenario penyediaan dan penyaluran gula
tebu tanpa intervensi ada dalam gambar di bawah ini.

69
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar 4 Skenario penyediaan dan penyaluran gula tebu 2010 2020 (tanpa
intervensi)

Gambar 5 menunjukkan hasil simulasi dengan intervensi terhadap


parameter faktor produktivitas lahan dan faktor produktivitas pabrik. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa dengan intervensi tersebut maka stok / penyediaan
gula tebu akan mengalami peningkatan dan cenderung stabil mulai tahun 2010.
Harga gula tebu di pasar bergantung pada stok gula tebu yang diperkirakan stabil
mulai tahun 2010 sampai tahun 2020. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
produktivitas pabrik merupakan faktor pengungkit (leverage point) bagi kestabilan
penyediaan dan kestabilan harga gula tebu. Di sini terlihat pentingnya inovasi
teknologi yang berperan meningkatkan faktor produktivitas pabrik gula. Selain itu
juga terlihat bahwa intervensi terhadap faktor produktivitas pabrik juga
merupakan intervensi yang efeknya dapat langsung terlihat tanpa memerlukan
waktu yang lama.

Gambar 5 Skenario penyediaan dan penyaluran gula tebu 2010 2020


(dengan intervensi faktor produktivitas lahan & faktor produktivitas pabrik)

70
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar 6 menunjukkan hasil simulasi dengan intervensi terhadap


parameter faktor produktivitas pabrik dan impor. Hasil simulasi menunjukkan
bahwa dengan intervensi tersebut maka stok / penyediaan gula tebu akan
mengalami peningkatan dan cenderung stabil mulai tahun 2010. Di sisi lain, harga
gula tebu di pasar bergantung pada stok gula tebu yang diperkirakan akan stabil
mulai tahun 2010 karena tercapainya kestabilan stok gula tebu di pasar antara
tahun 2010 sampai tahun 2020. Perilaku hasil simulasi ini serupa dengan hasil
simulasi pada gambar 5.5 yaitu hasil intervensi parameter faktor produktivitas
lahan dan faktor produktivitas pabrik.

Gambar 6 Skenario penyediaan dan penyaluran gula tebu 2010 2020


(dengan intervensi faktor produktivitas pabrik & impor)

POLA KEBIJAKAN INDUSTRI GULA DUNIA


Bagian ini mengulas analisis kebijakan pasar gula yang mengkaji
perbandingan kebijakan antara Indonesia dengan negara-negara produsen utama
gula dunia. Kebijakan ini meliputi tiga area yakni: (1) kebijakan dari sisi pasokan;
(2) kebijakan dari sisi permintaan; dan (3) kebijakan dari sisi pasar. Analisis
dilakukan dengan membandingkan tiga area kebijakan tersebut di beberapa
negara produsen gula selama satu dekade terakhir, yang kemudian dibandingkan
dengan corak kebijakan gula Indonesia saat ini. Hasil analisis perbandingan
mendukung isi pilihan kebijakan yang diinginkan dan layak untuk mencapai
skenario terbaik dalam mencapai kestabilan harga gula Indonesia kedepan.
Negara-negara produsen gula yang dibahas dalam studi ini adalah Brasil,
Cina, India, Thailand dan Australia karena merupakan negara produsen utama; dan
bisa dijadikan masukan dalam pengembangan industri gula Indonesia. Kelima
negara tersebut menyumbang sekitar 80% terhadap total produksi gula dunia,
sehingga akan sangat mempengaruhi dinamika pasar gula dunia.

71
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Berbagai kebijakan pemerintah Indonesia dalam pergulaan belum efektif


mendorong kemajuan industri gula nasional (Rasyid dkk, 2008), sementara
Indonesia berkeinginan untuk berswasembada gula pada akhir tahun 2014. Oleh
karena itu, analisis perbandingan kebijakan Indonesia dengan negara lain ini
sangat penting dilakukan. Pada bagian awal dibahas kebijakan dari sisi pasokan,
kemudian kebijakan dari sisi permintaan dan kebijakan dari sisi pasar atau
perdagangan.

Kebijakan dari sisi pasokan


Kebijakan meningkatkan pasokan gula umumnya dilakukan melalui
peningkatan kemampuan produksi yang umumnya melalui perluasan lahan
maupun perbaikan teknologi. Kebijakan produksi gula Indonesia bergeser dari
kontrol yang ketat dari pemerintah terhadap mekanisme penguasaan lahan
tebu, kemudian bergeser ke kebijakan perluasan lahan melalui penataan
kelembagaan petani tebu.
Kebijakan dari Sisi Permintaan
Permintaan gula dunia terus meningkat seiring dengan pertambahan populasi
dunia dan berkembangnya industry makanan dan minuman. Saat ini dan
kedepan, konsumen gula langsung semakin memperhatikan kualitas gula (P3GI,
2008). Semakin tingginya tingkat pendidikan dan semakin terbukanya
informasi global, serta kesadaran akan kesehatan dan keamanan pangan
semakian tinggi, telah mendorong konsumen untuk lebih memperhatikan
kualitas gula. Disamping pemenuhan kebutuhan konsumen gula rumahtangga,
permintaan industri makanan dan minuman terhadap kebutuhan gula juga
menjadi perhatian pemerintah di beberapa negara.
Kebijakan dari Sisi Pasar (perdagangan)
Kebijakan perdagangan merupakan kebijakan paling populer diantara negara-
negara produsen gula dunia. Akibatnya, harga gula dunia maupun di tingkat
lokal terdistorsi oleh kebijakan-kebijakan perdagangan dalam negeri dan luar
negeri di masing-masing negara produsen gula. Kebijakan perdagangan gula di
tingkat domestik umumnya dilakukan dengan mengelola kestabilan harga
dengan pengelolaan cadangan gula domestik. Kebijakan yang bersifat
memberikan jaminan harga masih tetap dilakukan. Sebagai contoh negara India
menerapkan harga minimum atau harga dasar untuk pembelian gula tebu dari
petani oleh pabrik penggiling tebu. Kebijakan semacam ini pernah pula
diterapkan oleh pemerintah Cina di masa lalu, namun saat ini kebijakan
semacam itu sudah mulai ditinggalkan dan mengarah pada mekanisme pasar.
Pemerintah Cina, melalui Ministry of Commerce and Finance dan NDRC,
mengelola cadangan gula nasional untuk menyesuaikan pergerakan harga
pasar.

PILIHAN KEBIJAKAN GULA KE DEPAN


Mengacu pada hasil simulasi kebijakan pada bagian sebelumnya mengenai
skenario penyediaan dan fluktuasi harga gula tebu (Tahun 2010-2020) maka
kebijakan gula Indonesia ke depan pada skenario membaik, yaitu jika intervensi
sisi penyediaan gula tebu dimana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka
panjang dicapai melalui peningkatan produktivitas lahan atau peningkatan

72
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

produktivitas lahan dan impor atau peningkatan produktivitas lahan, pabrik dan
impor. jika skenario membaik ini berlaku maka tingkat harga berdasarkan
produksi akan berfluktuasi cenderung stabil.
Skenario terbaik (Gambar 5) dalam mendukung kestabilan penyediaan dan
harga adalah meningkatkan produktivitas lahan dan produktivitas pabrik. Kedua
langkah peningkatan produktivitas pabrik dan peningkatan produktivitas lahan
tidak dapat dipisahkan karena terkait satu sama lain. Peningkatan produktivitas
lahan tebu harus diikuti dengan peningkatan produktivitas pabrik gula, begitu pula
sebaliknya peningkatan produktivitas pabrik gula juga harus diikuti dengan
peningkatan produktivitas lahan tebu. Langkah-langkah peningkatan produktivitas
lahan ini relatif lebih rasional dalam kondisi keterbatasan lahan tebu di Indonesia.
Langkah-langkah semacam ini juga ditempuh Cina dalam pengembangan industri
gula mereka.
Langkah-langkah untuk memacu produktivitas lahan adalah diantaranya
dengan: (1) penggunaan varietas tebu unggul dan tahan terhadap perubahan iklim
yang ekstrim; (2) penggunaan sarana produksi yang ramah lingkungan; (3)
pengairan yang efektif; (4) teknologi pengolahan tanah yang efisien; (5) inovasi
teknologi pemanenan dan pengolahan tebu; (6) insentif anggaran terhadap
produsen tebu dalam mengadopsi teknologi unggul; (7) pendampingan bagi
produsen tebu dalam penerapan teknologi unggul; (8) dukungan riset yang handal
dalam pengembangan inovasi teknologi gula.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Pasar gula Indonesia merupakan sistem yang kompleks, ditunjukkan oleh
interaksi antar unsur-unsurnya yakni sisi penyediaan, sisi permintaan, harga dan
parameter didalam struktur model. Faktor inovasi teknologi ada dalam kestabilan
harga gula melalui sisi penyediaan yakni faktor produktivitas lahan dan faktor
produktivitas pabrik dalam produksi gula lokal.
Beberapa hal yang signifikan menentukan ketidakstabilan penyediaan dan
permintaan gula di Indonesia adalah:
1) faktor produktivitas lahan
2) faktor produktivitas pabrik
Permasalahan produktivitas lahan dan produktivitas pabrik dalam struktur
pasar gula (mempengaruhi permintaan, penyediaan dan harga).

SARAN
Skenario terbaik adalah saat kestabilan harga dan stok gula tebu dalam
jangka panjang dapat dicapai melalui intervensi pada produktivitas lahan dan
produktivitas pabrik. Kebijakan peningkatan produktivitas pabrik dapat dilakukan
sama seperti pada skenario membaik berupa dukungan adopsi teknologi industri
gula nasional dan revitalisasi pabrik gula nasional. Kebijakan pengendalian stok
dengan tetap melakukan impor namun dengan kembali memfungsikan peran
Bulog yang akan memperhatikan produksi domestik dalam melakukan impor.
Namun peran Bulog disini bukan lagi sebagai badan yang memonopoli impor gula

73
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

namun sebagai penyeimbang kekuatan swasta maupun BUMN. Kebijakan ini perlu
didukung kebijakan kelembagaan seperti pencadangan lahan dan penguatan
kelompok produsen gula nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri
Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. Disertasi Doktor, Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Amang, B. 1993. Kebijaksanaan Pemasaran Gula di Indonesia. PT. Dharma Karsa
Utama, Jakarta
Aminullah & Fizzanty, 2009. Dinamika Penyediaan Kedelai:.Peran Penting
Iptek,LIPI Press, Jakarta.
Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Economic Review, No. 211.
Maret 2008.
Aryani, Desi. 2009. Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina dan
Indonesia. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Azahari, D,H.1983. Perdagangan Gula Internasional. Pusat Penelitian Agro
Ekonomi, Badan Litbang Pertanian Deptan, Bogor
Dwiandary, Asri. 2009. Analisis Ekonomi Gula Rafinasi Indonesia, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ernawati. 1997. Kajian Keragaan Gula Indonesia dan Simulasi Dampak Kebijakan
Liberalisasi Perdagangan Gula Dunia. Thesis S2, Program Pascasarjana, IPB,
Bogor
Hadi, P.U. & S. Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi
Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi vol. 23 no.1 Mei 2005: 82-99. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan LITBANG
Pertanian DEPTAN, Bogor
Khudori.2005. Gula Rasa Nasionalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula.
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta
Khumairoh, Lilik & Wirjodirdjo, Budisantoso. 2010. Analisis Keterkaitan Pelaku
Pergulaan Nasional: Suatu Penghampiran Model Dinamika Sistem. Jurusan
Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
Naingolan, Kaman. Makalah Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global:
http:www.agrimedia.mb.ipb.ac.id, (akses: 20 Oktober 2010)
Novitasari, Ratna & Wirjodirdjo, Budisantoso. 2010. Mampukah Kebijakan
Pergulaan Nasional Meningkatkan Perolehan Pendapatan Petani Tebu:
Sebuah Penghampiran Sistem. Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi
Sepuluh November Surabaya

74
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Rusastra, IW, Napitupulu, TA & Bourgeois, R 2008, The Impact of Support for
Imports on Food Security in Indonesia, United Nations ESCAP, Bogor,
Indonesia.
Siagian, V. 1999. Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia: Pendekatan
Fungsi Biaya Multi-Input Multi-Output. Thesis Magister pada PPS IPB
Simatupang et al. 1999.Gula dalam Kebijaksanaan Pangan Nasional: Analisis
Historis. Dalam M. Husein Sawit, dkk (penyunting) Ekonomi Gula di
Indonesia. Penerbit IPB. Bogor.
Soentoro et al. 1999. Usaha Tani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa. Dalam
Ekonomi Gula di Indonesia. Penerbit IPB, Bogor.
Susila, W dan B. Sinaga. 2005. Analisis Kebijakan Industri Gula Indonesia. Jurnal
Agro Ekonomi Vol. 23 No.1, hlm 50-53. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian Deptan, Bogor.
Wayan R. Susila, dkk, 2001. Pengembangan Model Industri Gula Dengan
Pendekatan Model Ekonomi Politik. Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi & Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta . Laporan Riset
Unggulan Terpadu VIII Tahun 2001

75
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

KETERKAITAN (LINKAGE) ANTAR AKADEMISI, INDUSTRI DAN


PEMERINTAH DARI PERSPEKTIF TEORI KOMPLEKSITAS

Dudi Hidayat, Prakoso Bhairawa Putera, Dini Oktaviyanti,


Muhammad Zulhamdani, dan Sri Mulatsih

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK

Unsur-unsur Akademisi Bussines Government (ABG) dalam Sistem Inovasi Daerah


penting untuk dilihat dari keterkaitan (linkages) antar lembaga litbang, industri dan
perguruan tinggi. Sebagai bentuk pola keterkaitan dalam inovasi daerah, maka
linkages unsur-unsur ABG di daerah menjadi pokok utama penelitian ini. Penelitian
ini melihat pada tataran daerah dengan pendekatan kompleksitas. Pendekatan
kompleksitas dipilih karena pendekatan ini melihat sebuah sistem yang berkembang
secara dinamik sebagai hasil dari proses perkembangan yang bersifat
pengorganisasian-sendiri (self-organization). Sistem terdiri dari aktor atau agen
semi-otonom yang saling berinteraksi dengan cara yang tidak dapat diprediksi
sedemikian sehingga menghasilkan pola sistem menyeluruh. Pola dari tiap aktor
dalam ABG di Medan (Sumatera Utara) menunjukkan interaksi antar Lembaga
Penelitian Universitas Sumatera Utara (LP USU) dengan sektor industri relatif lebih
dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan, walaupun hanya untuk bidang
penelitian tertentu. Sedangkan jalinan antara LP USU dengan Balitbang Sumatera
Utara lebih banyak interaksi dalam kegiatan perencanaan strategis bagi
pembangunan daerah, penyusunan dokumen tata ruang wilayah, dan penelitian
terhadap daya dukung kewilayahan. Interaksi antara Balitbangda Sumatera Utara
dengan Industri belum terjalin sebagaimana mestinya. Pola linkages di Surabaya
(Jawa Timur) menunjukkan keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun dengan
intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada menunjukkan bahwa interaksi
antara universitas dan industri serta pemerintah dan industri belum kuat. ITS
mengembangkan unit inkubator untuk menciptakan terjadinya sinergi keterkaitan
antara akademisi, industri dan pemerintah. Salah satu lembaga yang mereka bentuk
adalah clearing house. Clearing house ini untuk menjembatani jalinan kerjasama dan
interaksi ABG dapat berjalan maksimal. Bahkan untuk memantau adanya interaksi
antara ketiganya, lembaga ini memanfaatkan media sebagai pendukung terciptanya
jaringan ini. Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas ataupun
magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama lain.
Sementara di Surakarta (Jawa Tengah) menunjukkan bahwa keterkaitan ketiga aktor
telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada
menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan pemerintah belum kuat, namun
interaksi antara pemerintah dengan industri dan juga industri dengan universitas
telah terjalin cukup kuat. Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas
ataupun magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu
sama lain.

Kata Kunci : Linkage, ABG, Kompleksitas, dan Self-Organization

76
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

PENDAHULUAN
Pengalaman negara maju mengajarkan bahwa lembaga litbang memiliki
peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu bangsa. Telah cukup banyak
kajian yang berupaya mengkaji bagaimana pengetahuan tersebut ditransfer ke
pihak pengguna, terutama pihak industri. Meskipun tidak mudah menetapkan
secara kuantitatif besarnya manfaat ekonomi dari kegiatan lembaga litbang,
banyak kajian yang memperkuat kesimpulan bahwa lembaga litbang pemerintah
telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui hasil penelitian yang
diadopsi oleh sektor industri dan masyarakat.
Dudi Hidayat, dkk (2007) menjelaskan bahwa berbagai studi telah
menunjukkan manfaat ekonomi dari kegiatan litbang dalam lembaga litbang
pemerintah adalah nyata dan signifikan. Manfaat ini melingkupi lima kategori:
meningkatkan cadangan pengetahuan (stock of knowledge), metodologi dan
instrumentasi baru, jaringan profesional, problem solving, dan penciptaan
perusahaan baru.
Sejalan dengan konsep pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) yang direncanakan di Indonesia dengan konsep ABG kompak. ABG
(Academia, Bussiness dan Government) merupakan kerjasama yang melibatkan
Akademisi atau universitas, Bisnis atau industri dan pemerintah. Bentuk kerja
sama ini sering pula disebut sebagai triple helix.
Sebagai bentuk pola keterkaitan dalam inovasi daerah, maka linkages
unsur-unsur ABG di daerah menjadi pokok utama penelitian ini. Hal ini didasarkan
pada adanya sejumlah penelitian yang berkesimpulan bahwa keterkaitan antar
ABG memiliki pola rendah intensitas kerjasama antar aktor, rendah keterkaitan
dan tidak sinergistis sehingga tidak dapat berkontribusi signifikan pada
pertumbuhan ekonomi nasional. Penelitian ini sendiri melihat pada tataran
daerah dengan pendekatan kompleksitas.
Pendekatan kompleksitas dipilih karena pendekatan ini melihat sebuah
sistem yang berkembang secara dinamik sebagai hasil dari proses perkembangan
yang bersifat pengorganisasian-sendiri (self-organization). Sistem terdiri dari
aktor atau agen semi-otonom yang saling berinteraksi dengan cara yang tidak
dapat diprediksi sedemikian sehingga menghasilkan pola sistem menyeluruh.
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah keterkaitan (linkages) yang terjadi antar akademisi, industri
dan pemerintah dilihat dari teori kompleksitas.

KERANGKA KONSEP
Keterkaitan (linkages) antar lembaga litbang, industri dan perguruan tinggi,
atau yang sering disebut ABG (Akademisi, Business dan Governement), dapat
dipandang sebagai sebuah sistem sosial yang terdiri dari berbagai aktor (lembaga
maupun individu) yang saling berinteraksi menghasilkan pola (pattern) yang
membentuk atau menjadi karakteristik sistem. Pola dapat didefinisikan sebagai
struktur koheren yang muncul sebagai hasil interaksi para aktor dalam sistem.
Dalam konteks Indonesia, keterkaitan antar ABG memiliki pola rendah intensitas

77
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

kerjasama antar aktor, rendah keterkaitan dan tidak sinergistis sehingga tidak
dapat berkontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Pendekatan Kompleksitas dalam Kajian Sistem


Dalam diskursus yang mengkaji sistem sosial atau sistem yang berkenaan
dengan dan terdiri dari aktor manusia, baik di level organisasi maupun level inter-
organisasi, terdapat dua paradigma utama yang saling berbeda dalam memandang
proses pembentukan dan perkembangan sebuah sistem sosial. Kedua paradigma
tersebut adalah paradigma mekanistik deterministik dan paradigma organistik
dinamik (McMillan, 2004; Olson dan Eoyang, 2001).
Dalam perkembangan berikutnya, sebagian ilmuwan sosial melihat bahwa
sistem sosial adalah sebuah sistem yang kompleks (complex), yang tidak tunduk
pada satu hukum yang jelas dan karenanya sulit untuk diprediksi
perkembangannya. Sistem sosial sebagai sebuah sistem yang kompleks
digambarkan oleh Allen (2001) sebagaimana dikutip McMillan (2004) sebagai
berikut: It is any system that has within itself a capacity to respond to its
environment in more than one way. This essentially means that it is not a mechanical
system with a single trajectory, but has some internal possibilities of choice or
response that it can bring into play.
Sistem yang kompleks dicirikan oleh kemampuannya untuk merespon
lingkungan melalui lebih dari satu cara. Dengan demikian, sistem yang kompleks
bukanlah sistem mekanik dengan hanya kemungkinan satu trayektori
perkembangan yang ditentukan oleh satu hukum, tetapi merupakan sistem yang
memiliki kemampuan untuk memilih berbagai kemungkinan dalam merespon
lingkungan. Pilihan sangat ditentukan oleh kondisi lokal dan pada saat itu yang
sangat sulit untuk diprediksi. Lebih jauh, Allen menegaskan bahwa hampir semua
situasi merupakan sistem kompleks. Kelompok masyarakat, keluarga, organisasi
dan kota merupakan contoh dari sistem kompleks.
Secara lebih spesifik, kajian ini menggunakan pendekatan Complex
Adaptive System. Hal ini dilakukan dengan argumentasi sebagai berikut.
Sistem sosial adalah sebuah sistem yang kompleks, yang tidak tunduk pada
satu hukum yang jelas dan karenanya sulit untuk diprediksi perkembangannya.
Sistem sosial sebagai sebuah sistem yang kompleks digambarkan oleh Allen
(2001) sebagaimana dikutip McMillan (2004) sebagai berikut : It is any system
that has within it self a capacity to respond to its environtment in more than one
way. This essentially means that it is not a mechanical system with a single
trajectory, but has some internal possibilities of choice or response that in can bring
into play.
Pada dasarnya complex adaptive systems merupakan pendekatan yang
berkaitan dengan pemahaman mengenai kompleksitas, kesulitan dan paradox
yang dihadapi dalam dunia nyata. Ini merupakan dunia dari dynamic complex
systems yang terjadi secara spontan dan tidak terprediksi. Ini merupakan dunia
dari sistem manusia, maka dari itulah dalam hal ini organisasi diartikan sebagai
sebuah sistem yang diartikan seperti awan badai yang berkumpul ataupun semut
yang berkoloni.

78
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Dalam proses saling memengaruhi antara interaksi dengan pola sistem


yang dihasilkannya seperti diuraikan di atas, terdapat dua konsep penting yang
membedakan pendekatan complex adaptive system dengan pendekatan
deterministik: Pengorganisasian-sendiri (self-organization) dan Kemunculan
(emergence).
Meskipun Complex Adaptive System (CAS) memiliki sifat dasar berupa
pengorganisasian-sendiri, namun hal ini tidak berarti bahwa sistem tidak dapat
diintervensi. Baik sebagai pengamat maupun sebagai bagian dari sistem, kita dapat
melakukan intervensi untuk mengarahkan agar interaksi antar aktor
menghasilkan pola yang koheren.

Konsep Dasar dalam Pendekatan Kompleksitas


Salah satu kerangka pendekatan kompleksitas adalah sistem kompleks
adaptif (Complex adaptive system) yang juga sering disingkat CAS. Sistem kompleks
adaptif adalah sebuah sistem yang berkembang secara dinamik sebagai hasil dari
proses perkembangan yang bersifat pengorganisasian-sendiri (self-organization).
Sistem terdiri dari aktor atau agen semi-otonom yang saling berinteraksi dengan
cara yang tidak dapat diprediksi sedemikian sehingga menghasilkan pola sistem
menyeluruh.
Proses saling mempengaruhi antara interaksi dan pola yang
ditimbulkannya yang bersifat timbal balik memutar dapat digambarkan sebagai
berikut:

Agen atau aktor semi-otonom adalah


komponen yang membangun sistem. Aktor
dari sistem dapat berupa individu, kelompok
atau organisasi. Aktor bertindak dibawah
constraint tertentu, tapi cukup memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihan
bagaimana mereka akan berinteraksi dengan
aktor lainnya atau dengan lingkungan.
Aktor semi otonom

Oleh karena para aktor memiliki kebebasan


untuk bertindak, perilaku mereka tidak dapat
diprediksi. Meskipun kita dapat
mengantisipasi pola perilaku tertentu, tetapi
kita tidak dapat menentukan dengan pasti
apa yang akan dilakukan oleh seorang aktor
dalam situasi tertentu

Berinteraksi dengan cara yang tidak dapat


diprediksi

79
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Interaksi antar aktor dalam sistem


menghasilkan pola yang menyeluruh dalam
sistem. Ketika para aktor berinteraksi dengan
saling menghormati misalnya, maka kita
akan melihat pola saling percaya dan
keterbukaan dalam mengeksplorasi ide baru.

... yang menghasilkan pola sistem

Pola dalam sistem ini pada gilirannya


memengaruhi perilaku para aktor dalam
sistem yang akan memperkuat pola sistem
atau membentuk pola baru. Misalnya, kalau
pola yang muncul dalam sistem adalah pola
keterbukaan dan saling menghormati, maka
hal ini memengaruhi cara interaksi para
aktor yang pada gilirannya interaksi ini akan ... kemudian pola ini memengaruhi
memperkuat pola keterbukaan. interaksi antar aktor

Kerangka Model Untuk Mengintervensi CAS


Meskipun CAS memiliki sifat dasar berupa pengorganisasian-sendiri,
namun hal ini tidak berarti bahwa sistem tidak dapat diintervensi. Baik sebagai
pengamat maupun sebagai bagian dari sistem, kita dapat melakukan intervensi
untuk mengarahkan agar interaksi antar aktor menghasilkan pola yang koheren.
Meskipun kita tidak dapat mengontrol atau memprediksi proses
pengorganisasian-diri yang terjadi dalam sistem, kita dapat mengintervensi sistem
dengan memahami kondisi yang menentukan arah, trayektori dan kecepatan
proses pengorganisasian-diri. Menurut Olson dan Eoyang (2001), terdapat tiga hal
yang menentukan proses pengorganisasian-diri: wadah-pembatas (Container),
perbedaan signifikan (Difference) dan pertukaran yang mentransformasi
(Transforming exchange).
Keberadaan ketiga kondisi ini mutlak diperlukan agar terjadi proses
pengorganisasian-sendiri yang menghasilkan pola baru dalam sistem. Ketiganya
juga saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Kombinasi ketiga kondisi yang
tepat dapat menghasilkan proses pengorganisasian-diri yang menghasilkan pola
yang koheren yang pada gilirannya akan menghasilkan kinerja sistem yang lebih
baik. Kemungkinan hasil dari proses pengorganisasian-diri dapat digambarkan
dalam gambar berikut ini.

80
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar 1 Proses Pengorganisasian Diri

METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif
berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat
penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengandalkan analisis data secara
induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari
dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi
studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan
data, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya
disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian (Lexy J. Moleong,
1989:27).
Selanjutnya pada penelitian ini menggunakan pendekatan CAS dengan
analisis Naratif. Narrative Methodology merupakan bentuk lain dari model
penelitian kualitatif. Dalam menjabarkan posisi penelitian naratif, beberapa artikel
mengacu pada metodologi pengembangan narasi sebagai perluasan dari teori
sastra, atau yang timbul dari teori naratif, perluasan dari etnografi, atau bahkan
berkembang dari psikoanalisis. Perbedaan teoritis ditarik dari pemikiran modernis
yang dibandingkan dengan dasar dan konsekuensi dari tren yang lebih baru
(Addleson, 2000). Beberapa penulis berpendapat bahwa baik pemikiran
postmodernis atau konstruksionisme sosial tidak hanya bertanggungjawab atas
pemikiran modernis, tetapi juga untuk bentuk-bentuk dasar aplikasi dan
pemahamn naratif (Gergen, 1998). Konstruksionisme social merupakan panggilan
untuk landasan pengetahuan dalam konteks interaksi sosial. Dimana hal ini
menekankan pada sifat sosial dan wacana budaya narasi.
Dalam rangka mencapai tujuan dari penelitian ini, maka tahapan
pengumpulan dan analisis data dijabarkan sebagai berikut. Tahap pertama dari
kegiatan penelitian ialah melakukan analisis teori kompleksitas. Tahap ini
menginventarisir konsep dan kerangka model intervensi dari kompleksitas.
Penelusuran dokumen dan kajian literatur menjadi pokok dalam tahapan
peneliitian ini. setelah itu pada tahap kedua, dilakukan pengkajian keterkaitan
antar lembaga litbang, industri, dan pemerintah. Data yang diperoleh dari tahapan

81
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

ini adalah berbagai model keterkaitan antar lembaga litbang, industri, dan
pemerintah yang diperoleh melalui pencarian dokumen dan data dari berbagai
literatur, penelusuran melalui internet, dan jurnal.

Konsep Kompleksitas, Pencarian dokumen


dan data dari berbagai Pada tahapan ini dilakukan pengkajian
TAHAP 1 Kerangka Model literatur, internet, jurnal berbagai literatur tentang konsep
Analisis Teori Intervensi dll
kompleksitas dan kerangka model intervensi
Kompleksitas Kompleksitas kompleksitas.

Model-model Pencarian dokumen Tahapan ini telah mengkaji berbagai model-


TAHAP 2 keterkaitan (linkages) dan data dari berbagai model keterkaitan (linkages) antar lembaga
Analisis keterkaitan literatur, internet, jurnal
antar lembaga litbang, dll litbang, industri dan pemerintah dengan
(lingkages) antar pendekatan sistem inovasi daerah dari berbagai
industri dan
lembaga litbang, industri literatur.
dan pemerintah pemerintah

Kondisi riil implementasi Wawancara mendalam,


keterkaitan (linkages) antar Analisis data pada tahapan ini dilakukan secara
FGD, Data sekunder,
lembaga litbang, industri dan kualitatif dengan menggunakan teori
Observasi
TAHAP 3 pemerintah didaerah, Model kompleksitas terhadap keterkaitan (linkages)
Keterkaitan (linkages) antar antar lembaga litbang, industri dan pemerintah.
lembaga litbanga, industri dan
pemerintah

Data/Informasi Pengumpulan
Pengolahan dan Analisis Data
yang Dibutuhkan Data

Gambar 2 Tahapan Kegiatan dan Alur Kerja Analisis Data Penelitian

Pemilihan atau penentuan sampel dalam penelitian ini lebih ditekankan


dari unsur aktor dalam interaksi. Kelembagaan yang diteliti meliputi perguruan
tinggi, lembaga litbang pemerintah, dan industri.
PERGURUAN TINGGI Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Surabaya,
Inkubator Industri dan Bisnis Institut Teknologi Bandung Surabaya
Business Incubator Center - Institut Teknologi Surabaya,
LITBANG PEMERINTAH Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sumatera Utara,
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Jawa Timur
INDUSTRI Kelompok Industri Penyedia Jasa Energi Listrik Sumatera Utara,

LOKASI Medan (Sumatera Utara), Surakarta (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa


Timur)

HASIL PEMBAHASAN
Tiap-tiap lokasi penelitian, baik Medan (Sumatera Utara), Surabaya (Jawa
Timur), dan Surakarta (Jawa Tengah) memiliki karakteristik yang berbeda satu
dengan yang lain. Karakteristik ini menjadi khasanah baru dalam memahami
fenomena dari linkages di antara aktor-aktor pembangunan sistem inovasi.
Surakarta (Jawa Tengah) ialah daerah yang mulai bergeliat hubungan dan
interaksi diantara pemerintah perguruan tinggi industri. Hal ini berjalan
seiringan dengan tumbuh berkembangnnya Solo Technopark atau yang disingkat
STP. Kehadiran STP tidak lepas dari komitmen yang kuat dari kepala daerah Kota

82
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Surakarta yang mengkedepankan iptek. Bahkan diakhir 2008 telah disusun


Strategi Inovasi Daerah Kota Surakarta Tahun 2009 2013.
Fenomena menarik juga terlihat di Medan (Sumatera Utara), kehadiran
perkebunan terutama kelapa sawit banyak memberi andil dalam hubungan dan
interaksi antar aktor. Namun, interaksi tersebut mengelompok disekitar pusat
penelitian kelapa sawit industri kelapa sawit saja. Perguruan tinggi dan
pemerintah tidak terlalu memiliki pengaruh besar bahkan cenderung berjalan
sendiri.
Kondisi lain juga terungkap dari lokasi Surabaya (Jawa Timur). Kehadiran
perguruan tinggi terkemuka di Indonesia memberikan dukungan bagi berjalannya
interaksi di antara aktor. Institut Teknologi Surabaya (ITS) di Jawa Timur berhasil
menciptakan dan menghadirkan industri-industri baru melalui program Inkubator
Bisnis. Bahkan beberapa tenant telah tumbuh menjadi perusahaan berskala
nasional.

Studi Kasus Medan (Sumatera Utara)


Hadirnya perkebunan di wilayah Sumatera Utara sejak zaman kolonial
Belanda diawal 1900-an, membentuk daerah ini sebagai salah satu wilayah
komoditas unggulan perkebunan nusantara. Hal ini diindikasi dengan hadirnya
Perusahaan Perkebunan Nasional atau yang lebih dikenal dengan PTPN.
Setidaknya ada dua perusahaan perkebunan nasional yang berpusat di Sumatera
Utara yaitu PTPN III dan PTPN IV.
Pada sektor unggulan kelapa sawit berdasarkan penelitian M. Zoelhamdani,
dkk (2009). Pelaku industri pada komoditi ini dibagi menjadi tiga kelompok yakni :
(i) sektor on farm (perkebunan); (ii) sektor off farm. Sementara itu, lembaga
penelitian dan pengembangan (litbang) kelapa sawit di Sumatra Utara dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (i) lembaga litbang milik pemerintah (Pusat
Penelitian Kelapa Sawit/PPKS dan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia/LRPI),
(ii) lembaga litbang mandiri yang pada umumnya dimiliki oleh perusahaan
perkebunan swasta asing, dan (iii) lembaga litbang yang merangkap sebagai
produsen bibit.
Dalam hal penyediaan bibit, wilayah Sumatra Utara memiliki lebih kurang
sembilan produsen bibit sawit di antaranya adalah PPKS, PT Asian Agri, PT
Sucofindo, dan PT London Sumatra. Sedangkan untuk pemenuhan tenaga kerja
terampil dan kerja sama kegiatan litbang, selain mengandalkan Universitas
Sumatra Utara (USU), juga melibatkan beberapa perguruan tinggi unggulan yang
berada di Pulau Jawa antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Insititut Teknologi
Bandung (ITB), dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS).

83
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

PTPN III PTPN IV

PPKS
USU

IPB

: HUBUNGAN TIMBAL BALIK YANG CUKUP KUAT

: HUBUNGAN TIMBAL BALIK YANG TIDAK TERLALU KUAT

: HUBUNGAN SEARAH YANG TIDAK KUAT

Sumber: M. Zulhamdani, 2009

Gambar 3. Gambaran Interaksi Antar Aktor dalam Penelitian Kelapa Sawit

Pada level selanjutnya, industri kelapa sawit di Sumatra Utara diperkuat


beberapa institusi pendukung yang meliputi lembaga keuangan (terutama bank),
lembaga pemerintah (kantor pelabuhan, perpajakan, dll), dan asosiasi industri.
Berdasarkan gambar 3 dapat dilihat bahwa diantara lima pelaku inovasi di
industri kelapa sawit Sumatera Utara telah terjadi suatu jalinan kerjasama inovasi.
Pada level hubungan timbal balik yang kuat terjadi antara PPKS dengan PTPN IV.
Sedangkan hubungan timbal balik yang tidak terlalu kuat terjadi antara PTPN III
dengan PTPN IV dan USU (dan sebaliknya).

KADIN
Peningkatan Nilai Tambah
Komoditi Produk Agribisnis
Pengembangan SIDA
2011 INDUSTRI

Proyek transmigrasi
PLTA Renun
Analisis Amdal

Proyek Asahan 1, 2, 3
PLTU/G Belawan Indosat
DRD
BALITBANG
SUMUT Jaringan Listrik NAD - SUMUT

Mobil Oil Perkebunan Swasta


Perencanaan pembangunan
Pertamina
Penyusunan tata ruang
Rencana Strategis LP USU
Daya dukung kewilayahan
PEMDA
SUMUT

Gambar 4. Jalinan Linkages ABG Mas di Sumatera Utara

84
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Forum
Komunikasi
Kelitbangan
Daerah

INDUSTRI INDUSTRI
Proyek transmigrasi
Peningkatan Nilai Tambah
Komoditi Produk Agribisnis PLTA Renun
Proyek Asahan 1, 2, 3

Analisis Amdal
PLTU/G Belawan Indosat
Jaringan Listrik NAD - SUMUT

Mobil Oil Perkebunan Swasta


Anali Pertamina
sis Amda
l
Peningkatan Nilai Tambah
Komoditi Produk Agribisnis
LP USU LP USU

Tahap Awal Interaksi


Dewan Riset
Daerah

Jalinan Interaksi Saat Ini

Gambar 4 Pola Interaksi Industri Akademisi di Medan (Sumatera Utara)

Interaksi linkages tidak hanya terjalin pada sektor perkebunan saja.


Pemerintah daerah melalui Balitbangda Sumatera Utara mengkoordinasikan setiap
penelitian baik yang dilakukan lembaga penelitian setingkat perguruan tinggi,
maupun pusat penelitian perkebunan seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Koordinasi tersebut terjalin dalam sebuah forum yang dinamakan Forum
Komunikasi Kelitbangan Daerah.

Forum
Komunikasi
Kelitbangan
Daerah

BALITBANG BALITBANG PEMDA


SUMUT

Rencana Strategis
Penyusunan tata ruang
Rencana Strategis

Daya dukung kewilayahan


Perencanaan pembangunan
Perencanaan pembangunan

LP USU LP USU

Tahap Awal Interaksi


Dewan Riset
Daerah
Jalinan Interaksi Saat Ini

Gambar 5. Pola Interaksi Akademisi Pemerintah di Medan (Sumatera Utara)

85
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar 4 menunjukkan adanya pola dari tiap aktor dalam ABG. Interaksi
antar Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (LP USU) dengan sektor
industri relatif lebih dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan,
walaupun hubungan ini hanya untuk bidang penelitian tertentu.

Forum
Komunikasi
Kelitbangan
Daerah

BALITBANG BALITBANG PEMDA


SUMUT

INDUSTRI
Pengembangan SIDA
2011

Tahap Awal Interaksi


INDUSTRI

Dewan Riset
Daerah
Jalinan Interaksi Saat Ini

Gambar 6. Pola Interaksi Pemerintah - Industri di Medan (Sumatera Utara)

Studi Kasus Surabaya (Jawa Timur)


Keterkaitan antara pemerintah dan universitas, pemerintah dan industri
serta universitas dan industri telah berkembang menjadi sebuah segitiga
perhubungan diantara mereka. Linkages antara akademisi, industri dan
pemerintah telah tumbuh dari berbagai institusi yang berbeda-beda. Penjelasan
berikut merupakan salah satu linkages antara akademisi, industri dan pemerintah
dengan lingkup pemerintah lokal yakni pemerintah provinsi Jawa Timur.
Keterkaitan atau linkages antara akademisi, bisnis dan pemerintah (ABG)
yang terjadi di Jawa Timur terjadi melalui serangkaian proses hubungan antar
masing-masing aktor. Analisis terhadap interaksi antara ketiga aktor dijabarkan
melalui interaksi bilateral antar aktor terlebih dahulu.
Interaksi bilateral antara pemerintah dan universitas di Jawa Timur terjadi
melalui perantara Balitbang Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Keterkaitan kedua
aktor ini terjadi pada saat Badan Penelitian dan Pengembangan Pemprov Jatim
mengadakan kegiatan penelitian yang bersifat teknis. Badan litbang mengadakan
kerjasama dengan pihak universitas terutama dalam hal kegiatan yang bersifat
teknis. Sedangkan jika penelitian bersifat sosial dan kependudukan, kegiatan
penelitian hanya ditangani oleh badan litbang saja.

86
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Keterkaitan antara badan litbang dan universitas (ITS) dilakukan melalui


proses pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Salah satu hal yang
menjadi hubungan ini menjadi kuat adalah ketersediaan sumber daya uang yang
dimiliki oleh pemerintah dan besarnya arus informasi dari universitas. Dari
penjabaran diatas dapat ditentukan bahwa pola interaksi yang terjadi antara
pemerintah dan universitas terjadi dalam bentuk hubungan yang digambarkan
pada gambar berikut.

PEMPROV JATIM

Badan Litbang Universitas

Gambar 7. Pola Interaksi Pemerintah Badan Litbang dan ITS

Pola keterkaitan antara badan litbang dan industri dapat dilihat pada
gambar 5.6 Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa belum ada kerjasama
yang terjadi antara badan litbang dengan industri, dengan kata lain kerjasama
antara badan litbang dengan industri tidak terjalin. Namun badan litbang sendiri
sedang mengupayakan adanya kerjasama yang dapat dijalin dengan pihak industri.

Pemprov JATIM

Badan Litbang Industri

Gambar 8. Pola Interaksi Pemerintah (Balitbang) dan Industri

Pola interaksi dua aktor ini dapat digambarkan bahwa masih lemah,
sebagaimana garis yang terlihat pada pola. Pola ini memberikan gambaran bahawa
unit inkubator menjadi fasilitator untuk menjembatani keterkaitan antara
universitas dengan industri namun berfungsi lemah. Industri juga hanya merespon
unit inkubator sebagai tempat berusaha, tidak untuk mengembangkan dirinya.

87
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Universitas Industri

UNIT INKUBATOR

Gambar 9. Pola Interaksi Universitas (ITS) - Industri

Runtutan kejadian pola interaksi ketiga aktor menggambarkan


pembentukan pola interaksi atau keterkaitan akademisi, industri dan pemerintah.
Banyak hal yang mempengaruhi pembentukan keterkaitan antara ketiganya.
Jalinan interaksi antara ketiga aktor dapat digambarkan dalam bagan alir berikut.

Pemprov Jatim

Badan Penelitian dan


Pengembangan

Universitas Industri

Inkubator Bisnis ITS

Clearing House MEDIA

Gambar 10. Keterkaitan atau linkages antara Akademisi, Universitas dan


Pemerintah di Jawa Timur

Gambar di atas menjelaskan bahwa keterkaitan ketiga aktor telah terjalin


namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada belum
menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan industri serta pemerintah
dan industri belum kuat. Institut Teknologi Surabaya mengembangkan unit
inkubator untuk menciptakan terjadinya sinergi keterkaitan antara akademisi,
industri dan pemerintah. Salah satu lembaga yang mereka bentuk adalah clearing
house. Clearing house ini untuk menjembatani jalinan kerjasama dan interaksi ABG

88
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

dapat berjalan maksimal. Bahkan untuk memantau adanya interaksi antara


ketiganya, lembaga ini memanfaatkan media sebagai pendukung terciptanya
jaringan ini.

Studi Kasus Surakarta (Jawa Tengah)


Keterkaitan antara akademisi, bisnis (industri), dan government
(pemerintah) telah berkembang menjadi suatu sinergi didalam penelitian dan
pengembangan. Linkages antara akademisi, industri dan pemerintah telah tumbuh
dari berbagai institusi yang berbeda-beda. Linkeges tersebut menimbulkan efek
yang berbeda pada setiap unsure ABG yang ada dan juga lingkungan di sekitar
ketiga unsur tersebut. Dalam penjelasan di bawah ini merupakan gambaran salah
satu linkages antara akademisi, industri dan pemerintah dengan lingkup
pemerintah lokal yakni pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan pola
interaksi masing-masing aktor yang terjadi di Solo muncul berbagai dampak yang
berakibat pada pola pengembangan industry dan juga lembaga litbang yang ada di
Solo. Jika disoroti ada berbagai permasalahan yang mendasar, diantaranya adalah
jumlah lembaga litbang yang semakin berkurang.
Permasalahan lainnya yang menyebabkan lembaga penelitian di daerah
Jawa Tengah menjadi sulit berkembang adalah berkurangnya dana yang
disediakan untuk penelitian, sedangkan dana pengembangan yang ditingkatkan.
Dan terkadang yang menyulitkan adalah ketika outputnya harus model.
Kajian hubungan antara aktor melalui pendekatan complex adaptive
system meliputi wadah pembatas, pembeda dan sarana transformasi. Jika dilihat
lebih dalam bahwa wadah pembatas dalam hubungan antar aktor ini adalah
kebutuhan kegiatan penelitian, dan juga institusi masing-masing aktor yang
memiliki kesamaan identitas. Kesamaan identitas yakni memiliki sumber daya
yang mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan penelitian. Bapeda dan
universitas merupakan sebuah lembaga institusi yang kuat dalam menjalankan
tugas dan fungsi mereka sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, sedangkan
industry sebagai penghasil produk.
Keterkaitan antara BAPPEDA ataupun badan litbang dan universitas (UMS
dan UNS) masih belum optimal. Antara universitas dan pemerintah masih
mempunyai batasan ataupun tembok yang sangat kuat. Pemerintah dengan
tembok birokrasi yang cukup tebal terkadang membuat informasi antar
universitas dan pemerintah menjadi berjalan tidak efektif, dengan kata lain
komunikasi yang berjalan tidak dua arah, bentuk hubungan yang ada digambarkan
pada gambar berikut.

PEMERINTAH

UNIVERSITAS

89
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar 11. Pola Interaksi Pemerintah dan Universitas

Pola keterkaitan antara badan litbang dan industri dapat dilihat pada
gambar 12 Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah telah
berusaha untuk berinteraksi dengan industri, dan umpan balik yang diterima pun
sudah cukup baik.

Gambar 12 Pola Interaksi Pemerintah dan Industri

Pola interaksi lain yang terbentuk sebelum menuju adanya keterkaitan atau
linkages akademisi, bisnis dan pemerintah, adalah pola hubungan antara
universitas dan industri. Pola interaksi antara keduanya di gambarkan cukup
menarik.

Jalinan Interaksi Kuat dan


Saling Membutuhkan

AKADEMISI

INDUSTRI

Gambar 13 Pola Interaksi Universitas - Industri

Runtutan kejadian pola interaksi ketiga aktor menggambarkan


pembentukan pola interaksi akademisi, industri dan pemerintah. Banyak hal yang
mempengaruhi pembentukan keterkaitan antara ketiganya. Jalinan interaksi
antara ketiga aktor digambarkan dalam bagan berikut.

90
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

PEMPROV
JAWA TENGAH

BALITBANG
BAPEDA
JATENG

AKADEMISI

INDUSTRI

SOLO
TECHOPARK

Gambar 14. Keterkaitan atau linkages antara Akademisi, Universitas dan


Pemerintah di Jawa Tengah

Gambar di atas menjelaskan bahwa keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun
dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada belum menunjukkan
bahwa interaksi antara universitas dan pemerintah belum kuat, namun interaksi
antara pemerintah dengan industri dan juga industri dengan universitas telah
terjalin cukup kuat.

PENUTUP
Pola dari tiap aktor dalam ABG di Medan (Sumatera Utara) menunjukkan
interaksi antar Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (LP USU) dengan
sektor industri relatif lebih dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan,
walaupun hubungan ini hanya untuk bidang penelitian tertentu khususnya pada
analisis dampak lingkungan (amdal) bagi perusahaan dan peningkatan nilai
tambah komoditi produk agribisnis. Sedangkan jalinan antara LP USU dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sumatera Utara lebih
banyak interaksi dalam kegiatan perencanaan strategis bagi pembangunan daerah,
penyusunan dokumen tata ruang wilayah, dan penelitian terhadap daya dukung
kewilayahan. Interaksi antara Balitbangda Sumatera Utara dengan Industri belum
terjalin sebagaimana mestinya.
Pola linkages di Surabaya (Jawa Timur) menunjukkan keterkaitan ketiga
aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada
belum menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan industri serta
pemerintah dan industri belum kuat. Institut Teknologi Surabaya mengembangkan
unit inkubator untuk menciptakan terjadinya sinergi keterkaitan antara akademisi,
industri dan pemerintah. Salah satu lembaga yang mereka bentuk adalah clearing
house. Clearing house ini untuk menjembatani jalinan kerjasama dan interaksi ABG
dapat berjalan maksimal. Bahkan untuk memantau adanya interaksi antara
ketiganya, lembaga ini memanfaatkan media sebagai pendukung terciptanya
jaringan ini.

91
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas ataupun magnet


yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama lain.
Kegiatan penelitian yang dilakukan belum menjadi daya tarik bagi industri untuk
menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan industri.
Kegiatan penelitian diciptakan berdasarkan keinginan masing-masing aktor di
lembaga penelitian tidak berdasarkan keinginan ataupun kemauan industri.
Sebaliknya industri tidak mempunyai kemauan untuk mendapatkan hasil litbang.
Sementara di Surakarta (Jawa Tengah) menunjukkan bahwa keterkaitan
ketiga aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan
yang ada belum menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan pemerintah
belum kuat, namun interaksi antara pemerintah dengan industri dan juga industry
dengan universitas telah terjalin cukup kuat.
Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas ataupun
magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama
lain. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh universitas belum mendapat respon
positif dari pemerintah dikarenakan komunikasi yang ada belum berjalan efektif.
Sinergi yang baik atau rantai kinerja harus terjadi antara perguruan tinggi
yang menghasilkan sumber daya manusia dan teknologi, pengusaha atau
industriawan yang memberdayakan secara optimal sumberdaya manusia dan
teknologi, pemerintah yang memfasilitasi dengan perundangan, peraturan serta
infrastrukturnya, masyarakat yang kreatif dan dengan komitmen yang tinggi
terhadap kemajuan industri sendiri. Dengan sinergi semacam itu yang disebut
dengan sinergi ABG sangat patut dikembangkan secara solid untuk mengatur
ketertinggalan dengan bangsa lain. Dengan terbentuknya sinergi tersebut maka
industri yang berbasis riset dan sumberdaya yang tangguh akan terbentuk dan
memiliki keunggulan komparatif.
Konsep ekonomi dan inovasi harus menjadi satu kesatuan sehingga dapat
bersinergi, hal ini penting bagi daerah. Ada baiknya wadah yang muncul bukan
hanya wadah yang ada sekarang, tetapi ada wadah lain yang memang disesuaikan
dengan kepentingan. Peran penting dari lembaga-lembaga riset pun menjadi salah
satu faktor yang bisa dipakai untuk mengintervensi munculnya wadah-wadah baru
di daerah.

DAFTAR PUSTAKA
Blaikie, N. 2000. Designing Social Research. Blackwell Publisher Inc.

Hidayat, Dudi dkk. 2007. Studi Faktor Pendorong dan Penghambat Kerjasama Lembaga
Litbang dan Industri Menurut Perspektif Industri. LIPI : Jakarta.

Olson, E.E. dan Eoyang, G.H. 2001. Facilitating Organization Change: Lessons from
Complexity Science. San Francisco: Jossey-Bass.

Mitchell, M and Egudo, M. 2003. A Review of Narrative Methodology. Australia : Defence


Science and Technology Organisation

92
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

McMillan, E. 2004. Complexity, Organizations and Change. New York: Routledge.

Taufik, Tatang, A, 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah : Perspektif Kebijakan, Pusat
Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Unggulan Daerah dan
Peningkatan Kapasitas Masyarakat, Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan
Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, bekerjasama dengan
Deputi Pengembangan Sipteknas, Kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta

*Catatan : Makalah ini disusun untuk kepentingan desimenasi hasil penelitian dengan judul
Analisis Keterkaitan (Linkage) Antar Akademisi, Industri dan Pemerintah: Suatu Tinjauan Teoritis
dan Praktis Dari Perspekstif Teori Kompleksitas . Penelitian ini merupakan insentif riset terapan
dari bidang fokus Dinamika Sosial dari Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI Tahun 2010.

93
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

PROSES INOVASI DAN MEKANISME INSENTIF DI INDUSTRI


KREATIF: STUDI KASUS DI BEBERAPA PERUSAHAAN
PIRANTI LUNAK

Trina Fizzanty, Radot Manalu, Nur Laili, Agus Santoso


Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK
Kontribusi Industri piranti lunak terhadap perekonomian nasional relatif masih
rendah, sebesar rata-rata 0,1%, dibandingkan kelompok industri lainnya
seperti Kerajinan (1,9%) dan Fesyen (3,7%). Namun demikian, dalam kurun
waktu 2003-2008 pertumbuhan PDB dan penyerapan tenaga kerja industri ini
menunjukkan peningkatan dan tertinggi dibandingkan dengan subsektor
industri kreatif lainnya yaitu pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sebesar
rata-rata 5,6% dan pertumbuhan PDBnya sebesar rata-rata 16,9%. dan industri
ini dapat menjadi teknologi pengungkit (enabling technology), sehingga industri
lain dapat berkembang lebih pesat. Penelitian dilakukan di perusahahan piranti
lunak berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berbadan hukum dan
dibatasi pada industri kreatif piranti lunak yang berada di Jawa Barat, Jakarta
dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk (a) Menganalisis karakteristik
dan proses inovasi di perusahaan piranti lunak lokal; (b) Mengkaji jenis-jenis
insentif yang dapat mendorong interaksi perusahaan dengan pengguna untuk
menghasilkan inovasi piranti lunak. Dalam proses inovasi piranti lunak,
difokuskan terhadap (a) Bagaimana karakteristik dan proses inovasi di
perusahaan pengembang piranti lunak lokal? (b) Jenis insentif apa (ekonomi
maupun non ekonomi) yang mendorong munculnya inovasi di perusahaan
piranti lunak lokal?. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan
menggunakan pendekatan Complex Adaptive Systems (CAS). Analisis data secara
historis menggunakan pendekatan naratif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa: (1) Proses inovasi di dalam perusahaan piranti lunak merupakan hasil
interaksi internal, yakni pelaku dalam perusahaan pengembang yang terdiri
dari beragam keahlian dan talenta) dengan pelaku eksternal, khususnya
pengguna dan komunitas pengembang piranti lunak. Tingkat intensitas
hubungan ini dalam berinovasi relatif kuat ketika perusahaan dalam tahap
perusahaan pemula (start-up companies) dan semakin berkurang intensitasnya
dengan semakin meningkatnya kapasitas penyerapan (absorptive capacity) dan
akumulasi knowledge serta kompetensi perusahaan pengembang. Karakteristik
pengguna mendorong tingkat keragaman inovasi yang dihasilkan. Inovasi akan
lebih beragam ketika perusahaan melayani klien dari organisasi yang dinamis
dan sangat memperhatikan efisiensi dan efektivitas penggunaan. Sebaliknya,
inovasi akan semakin kurang beragam ketika perusahaan melayani organisasi
yang kurang dinamis, kurang fleksibel, relatif dominan, dan kurang
memperhatikan efisiensi dan efektivitas produk terhadap kebutuhannya. (2)
Insentif inovasi di perusahaan pengembang lokal sangat dinamis, tergantung

94
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

pada tingkat kemapanan perusahaan dan interaksi antara perusahaan


pengembang dengan pengguna. Insentif inovasi dirasakan oleh persahaan
pengembang maupun pengguna piranti lunak. Saling percaya (trust) adalah
insentif utama bagi perusahaan pengembang dan pengguna untuk berinteraksi.
Insentif bagi pengguna piranti lunak diantaranya efisiensi harga, produk sesuai
kebutuhan, pelayanan, referensi proyek, dan pelatihan dari pengembang. Jenis
Insentif internal perusahaan adalah sama untuk semua tahap perkembangan
berupa profesional bonus, kesempatan pelatihan, referensi proyek, dan
penghargaan dari pelanggan. Sedangkan insentif eksternal dari luar perusahaan
berbeda untuk tiap kelompok perusahaan. Jenis insentif eksternal yang khusus
pada industri pemula berupa perlindungan HKI, administrasi paten dan
kesempatan magang (internship) di organisasi pemerintah. Jenis insentif
eksternal yang khusus pada industri dengan dukungan mitra adalah jaminan
pembiayaan, insentif pajak, pengukuran aset oleh bank, penghargaan dari mitra
bisnis. Jenis insentif eksternal yang khusus pada industri dengan jaringan global
yaitu insentif pajak dan dukungan promosi dari pemerintah.

Kata Kunci: Industri Kreatif, Industri Piranti Lunak, Proses Inovasi,


Karakteristik, Insentif Inovasi, Complex Adaptive Systems
(CAS).

PENDAHULUAN
Pengembangan industri kreatif diyakini berpotensi cukup besar menjadi
salah satu peluang usaha untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional
dalam lingkungan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang
pesat.
Kontribusi industri kreatif terhadap PDB cukup signifikan terhadap
pendapatan nasional maupun penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 2002-
2008 walaupun sumbangan PDB industri ini menunjukkan sedikit penurunan,
namun rata-rata kontribusi PDB industri kreatif masih diatas 7 persen, yakni 7,80
% per tahun terhadap PDB nasional. Kecenderungan peningkatan yang positif ini
juga tampak dari penyerapan tenaga kerjanya. Pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja industri kreatif rata-rata sebesar 7,7 % per tahun.
Khususnya kontribusi Industri piranti lunak terhadap perekonomian
nasional relatif masih rendah, namun demikian industri ini dapat menjadi
teknologi pengungkit (enabling technology), kreativitas dan efisiensi sektor
lainnya, sehingga industri lain dapat berkembang lebih pesat. Dalam kurun waktu
2002-2008 kontribusi industri piranti lunak terhadap PDB nasional relatif rendah
yaitu hanya sebesar rata-rata 0,1%, dibandingkan kelompok industri lainnya
seperti Kerajinan (1,9%) dan Fesyen (3,7%). Demikian juga kontribusinya
terhadap penyerapan tenaga kerja nasional hanya rata-rata 0,02%. Namun
demikian, selama kurun waktu 2003-2008 pertumbuhan PDB dan penyerapan
tenaga kerja industri ini menunjukkan peningkatan dan tertinggi dibandingkan
dengan subsektor industri kreatif lainnya yaitu pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja sebesar rata-rata 5,6% dan pertumbuhan PDBnya sebesar rata-rata 16,9%.

95
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Penelitian dilakukan di perusahahan piranti lunak berskala kecil, menengah


dan mikro yang berbadan hukum dan di batasi pada industri kreatif piranti lunak
yang berada di Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk
(a) Menganalisis karakteristik dan proses inovasi di perusahaan piranti lunak
lokal; (b) Mengkaji jenis-jenis insentif yang dapat mendorong interaksi perusahaan
dengan pengguna untuk menghasilkan inovasi piranti lunak. Dalam proses inovasi
piranti lunak, difokuskan terhadap (a) Bagaimana karakteristik dan proses inovasi
di perusahaan pengembang piranti lunak lokal? (b) Jenis insentif apa (ekonomi
maupun non ekonomi) yang mendorong munculnya inovasi di perusahaan piranti
lunak lokal?.

KERANGKA BERPIKIR
Studi tentang bagaimana industri piranti lunak ini melakukan inovasi
menjadi sesuatu yang strategis untuk dipahami lebih mendalam hingga
memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih efektif bagi industri kreatif piranti
lunak di Indonesia. Studi tentang proses inovasi industri kreatif di negara maju
telah banyak dilakukan (Potts and Morrison 2009; Potts 2009; Potts et,al 2008;
Potts 2007; Tether 2003) dan ditemukan bahwa inovasi di industri kreatif
merupakan interaksi antar perusahaan dengan jejaring sosialnya.
Menurut Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai (2004), inovasi dapat dianggap
sebagai sebuah Complex Adaptive Systems (CAS) karena adanya kesamaan antara
proses inovasi dengan proses biologi. Berdasarkan hal tersebut, Ishimatsu,
Sukagawa, dan Sakurai (2004) mengajukan konsep benih inovasi (innovation seed)
yang merupakan ide yang belum matang atau dalam bentuk teknologi pada tahap
awal menuju inovasi seperti ditunjukkan di tabel 2.1 berikut ini.
Tabel-2.1 Tipe-tipe Innovation Seed

Tipe Deskripsi Sifat Faktor lingkungan penstimulus


Reproduksi Produk dari Dapat diprediksi 1) Lingkungan diskusi yang bebas
interaksi antara hingga tingkat 2) organisasi yang flat
knowledge tertentu 3) Latar belakang budaya dan
akademik yang berbeda dari
pekerja
4) Mobilisasi sumberdaya manusia
Mutasi 1.Accidental Tidak dapat 1) Toleransi terhadap kegagalan
discorey diprediksi 2) Gaya eksekusi trial & error
2.Unintentional 3) Pendekatan heuristic
outcomes
Sumber: Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai (2004)

Berdasarkan tiga karakteristik utama Complex Adaptive Systems (CAS) yakni


variation, interaction, dan selection (Axelrod, 2000) serta konsep innovation seed,
dapat digambarkan model proses penciptaan inovasi seperti diperlihatkan pada
Gambar-2.1.

96
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar-2.1 Model Proses Penciptaan Inovasi (Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai, 2004)

Model tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah perusahaan, orang-


orang yang memiliki innovation seeds saling berinteraksi satu dengan yang
lainnya,dari hasil interaksi tersebut, terciptalah innovation seeds lainnya.
CAS menghasilkan perilaku non linier yang dihasilkan dari interaksi antar agen
dan interaksi antara agen dengan lingkungan sesuai dengan rules yang dimilikinya
(Garcia, 2005), yang biasanya sedikit dan sederhana (Lewin & Regine, 2000).
Menurut Gell-Mann (1994), interaksi agen dalam suatu organisasi mengikuti
schemata, yang terdiri dari rules, rencana, latihan dan tujuan serta tekanan
kompetitif. Cara CAS mengembangkan schemata dan bagaimana menggunakannya
untuk mengubah perilaku dijelaskan dalam gambar berikut (Gambar 2.2).

Act Discovery Act Discovery Act Discovery

X Y Z

Choice Choice
Act Choice

Individual Schema: Individual Schema: Individual Schema:


operation operation Operation
evaluation evaluation Evaluation

Shared Schemata:
Culture, etc

Gambar-2.2 Perilaku CAS

97
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

METODE PENELITIAN

Pendekatan Studi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan Complex


Adaptive Systems (CAS) untuk memahami industri piranti lunak, maka yang
menjadi perhatian studi ini adalah pada pola-pola interaksi yang komunikatif
(communicative interaction) antara individual yang saling bergantung
(interdependent), pola-pola yang bersifat inklusif dan ekslusif dalam hubungan
manusia yang tampak. Pemetaan pola-pola tersebut dimulai dengan menganalisis
Actor, Function, Rules and Condition, seperti yang juga telah dilakukan Fizzanty
(2009) dalam studinya tentang proses pembentukan dan rusaknya suatu
kerjasama bisnis. Secara spesifik, studi ini akan mengumpukan informasi secara
historis yang terkait dengan: (a) Aktor-aktor yang terlibat secara langsung dan
tidak langsung didalam perusahaan maupun diluar perusahaan dalam kemunculan
suatu inovasi; (b) Peran atau fungsi masing-masing aktor dalam kemunculan suatu
inovasi; (c) Hal-hal yang mendasari keputusan aktor dalam berinteraksi dengan
aktor lain untuk memunculkan suatu inovasi. Hal-hal ini dapat berkaitan dengan
aturan formal (tertulis) maupun informal (tidak tertulis) yang muncul dalam
interaksi selama proses inovasi (d) Kondisi serta perubahan-perubahan yang
terjadi selama proses inovasi berlangsung.
Pendekatan studi kasus (Yin 2003) dilakukan untuk memahami fenonema
inovasi di tingkat perusahaan. Pendekatan studi kasus dipilih karena merupakan
pendekatan yang sesuai untuk jenis pertanyaan penelitian tentang bagaimana
(know-how) inovasi di industri piranti lunak bisa terjadi. Selain itu, pendekatan
studi kasus ini juga sesuai untuk mempelajari fenomena sosial yang kompleks (Yin,
1994). Berdasarkan studi kasus ini kemudian diformulasikan sistem insentif yang
efektif dalam mendorong inovasi perusahaan piranti lunak. Laporan ini bertujuan
untuk menyajikan temuan hasil penelitian mencakup dua aspek, yaitu: (1) Proses
inovasi yang terjadi di industri piranti lunak; dan (2) Bentuk-bentuk insentif untuk
mendorong inovasi pengembang piranti lunak. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif, pengetahuan dihasilkan dari dialog dan diskusi mendalam
antar peneliti dengan partisipan dalam penelitian. Interaksi antara dinamika
kemampuan absorbsi perusahaan pengembang dengan lingkungan industri piranti
lunak merupakan fokus dari penelitian ini. Lebih jauh pendekatan CAS digunakan
untuk memahami perilaku perusahaan pengembang piranti lunak ini dalam
berinovasi. CAS mempunyai elemen-elemen berikut, yakni: aktor-aktor, peranan
aktor, dan strategi atau aturan (schemata atau rules) serta dinamika
lingkungannya. Pendekatan yang sama juga telah digunakan oleh beberapa studi
industri kreatif.
Data lapang dikumpulkan dengan melakukan wawancara dan observasi
lapang yang terdokumentasi, serta mengumpulkan archival document. Diskusi
kelompok terfokus (FGD) digunakan untuk memvalidasi model konseptual yang
dihasilkan dan menyusun alternatif kebijakan mendorong inovasi di perusahaan
piranti lunak lokal. Studi kasus dilakukan di lima perusahaan pengembang piranti
lunak dan sebelas pengguna piranti lunak yang mewakili organisasi pemerintah,
perusahaan bisnis, dan organisasi pendidikan. Data kualitatif diolah dengan

98
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

melakukan reduksi dan pengelompokan ide yang kemudian bersama-sama dengan


data kuantitatif dimasukan kedalam matriks. Jenis data yang dikumpulkan adalah
data historis (sejak perusahaan berdiri hingga saat ini) merujuk pada elemen-
elemen dalam CAS tersebut. Analisis data secara historis digunakan pendekatan
naratif dan inferensi dalam bentuk model konseptual dibangun dari analisis dalam
kasus itu sendiri (within case).

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, seperti diperlihatkan pada


Gambar 3.1.

Identifikasi informasi dan proses (aktor,


fungsi dan rule aktor dalam berinteraksi)
dan perubahan kondisi lingkungan

Kondisi dan hambatan proses


inovasi

Pemodelan proses inovasi


di industri perangkat lunak

Model proses inovasi di industri


perangkat lunak

Penyusunan alternatif kebijakan insentif


untuk pengembangan industri kreatif

Gambar 3.1. Tahapan Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses Inovasi Piranti Lunak

Hasil studi kasus di lima perusahaan piranti lunak menunjukkan bahwa


secara umum proses inovasi piranti lunak merupakan suatu proses pembelajaran
yang direncanakan (planned learning), dan adanya kemampuan menyerap
(absorptive capacity) informasi dari beragam pengguna tentang kebutuhan
mereka. Proses ini kemudian meningkatkan kemampuan perusahaan dalam
mengintegrasikan kompetensi internal dan eksternal yang dimilikinya untuk
menghasilkan sesuatu dalam menghadapi perubahan lingkungan yang cepat dan
tidak pasti dengan melakukan perubahan pada proses manajerial dalam
organisasi.

99
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Inovasi di perusahaan piranti lunak merupakan hasil penciptaan bersama


(co-creations) antara pengembang dan pengguna piranti lunak, bukan dari hasil
kekuatan penentu inovasi dari salah satu pihak tersebut. Pendapat yang
menyatakan bahwa proses ini harus dipahami dengan power theory karena
pengguna sebagai satu-satunya penentu ide dan inovasi piranti lunak sementara
pengembang hanyalah pengikut ide, tidaklah dapat dibenarkan pada kondisi
tertentu. Oleh karena itu, pembahasan terhadap karakteristik dan proses inovasi
piranti lunak di perusahaan pengembang dikelompokkan menjadi tiga tahap, yakni
perusahaan pemula, perusahaan dengan dukungan mitra, dan perusahaan dengan
jaringan global (Tabel 1).

Tabel 1 Proses Inovasi Piranti Lunak Menurut Tahapan Perusahaan

Perusahaan Pemula Perusahaan dengan Perusahaan dengan Jaringan


Studi Kasus: S dan C Dukungan Mitra Global
(Bandung) Studi Kasus: A (Bogor) dan M Studi Kasus: P (Jakarta)
(Jakarta)
-Belum ada nitra bisnis tetap -Usaha kecil hingga -Usaha menengah hingga
-Usaha skala kecil menengah besar
-Struktur organisasi yang -Menjadi mitra dari -Mitra dengan banyak negara
longgar dan informal perusahaan internasional dan -Struktur organisasi yang
-Belum ada spesialisasi lokal lebih formal
pekerjaan -Organisasi perusahaan semi -Pekerjaan lebih
formal (struktur yang lebih terspesialisasi
tegas)
-Spesialisasi pekerjaan mulai
terbentuk
Produk berbasis projeck -Berbasis riset pasar -Berbasis riset pasar terus
-Customisasi menerus
-Inovasi oleh inovator lepas
(open innovation)
Inovasi produk -Inovasi produk -Inovasi produk
-Inovasi pemasaran dan jasa -Inovasi pemasaran dan jasa

Tingkat keterlibatan pengguna piranti lunak dalam proses inovasi itu


beragam bergantung pada karakteristik inovasi dan tingkat akumulasi
pengetahuan di perusahaan pengembang. Hasil studi kasus menunjukkan bahwa
tingkat keterlibatan (power) dari pengguna dalam mempengaruhi inovasi akan
semakin berkurang dengan semakin meningkatnya akumulasi pengetahuan dari
pengembang.

Perusahaan Pemula
Perusahaan pengembang pemula (start-up companies) umumnya adalah
perusahaan yang baru saja memulai usahanya dan kurang dari tahun masa usaha,
atau mempunyai tenaga kurang dari sepuluh orang, atau mempunyai omset

100
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

kurang dari satu milyar rupiah1. Struktur organisasi perusahaan umumnya tanpa
hierarki dan lebih bersifat pertemanan, sehingga belum ada spesialisasi yang tegas
dalam alokasi pekerjaan. Mengingat perusahaan ini baru tumbuh maka belum ada
atau sedikit sekali keterlibatan mitra bisnis tetap apalagi mitra bisnis internasional
dalam proses inovasi mereka. Studi kasus di perusahaan S dan C merupakan dua
contoh kasus dalam kelompok perusahaan ini.
Sebagian besar perusahaan pemula menghasilkan inovasi produk
ketimbang jasa. Inovasi terjadi dari interaksi para pengembang pemula dengan
pengguna dalam beragam proyek pengembangan sistem dan aplikasi. Ide-ide
pengembangan inovasi cenderung lebih bias pada pengguna, dimana pengguna
sebagai penentu (The Power of User). Inovasi awalnya bersumber dari pengalaman
magang (internship) dan/atau kerjasama antara beberapa tenaga muda dalam
memberikan solusi kepada pengguna (Solution based Innovation). Pengalaman ini
mendorong tenaga-tenaga muda tersebut menjadi pebisnis piranti lunak baru
(New Enterprenuers). Kemudian mengembangkan inovasinya dengan bekerjasama
untuk membentuk perusahaan baru (start-up companies). Pengalaman dari
mengerjakan berbagai proyek skala kecil (project based innovation) meningkatkan
kompetensi pengembang pemula ini melalui proses akumulasi pengetahuan.
Proses ini sebagai modal atau investasi mereka untuk kemudian menghasilkan
inovasi produk piranti lunak tertentu (specialized software). Dengan tingkat
persaingan yang tinggi di kalangan perusahaan piranti lunak lokal dan belum
terbentuknya jejaring bisnis yang kuat, maka perusahaan berupaya bertahan
hidup (survive) dengan menggunakan aturan main atau schemata sebagai berikut:

Rule-1:

Apa yang anda inginkan, kami kerjakan

Dengan menggunakan aturan main tersebut, maka interaksi perusahaan


dengan pengguna lebih banyak ditujukan untuk melayani apa yang pengguna
butuhkan akan produk piranti lunak mereka. Tingkat keterlibatan pengguna
dalam menentukan inovasi yang akan dihasilkan relatif lebih tinggi, dan kondisi
inilah yang dinyatakan sebagai bentuk hubungan yang dibangun atas dasar
kekuatan ( power) pengguna atas pengembangan produk piranti lunak.

Perusahaan dengan Dukungan Mitra

Perusahaan pada kelompok ini umumnya adalah perusahaan nasional


dengan skala usaha kecil hingga menengah. Berbeda dengan perusahaan
sebelumnya, perkembangan perusahaan ini banyak didukung tidak hanya oleh
kegiatan proyek namun juga dukungan mitra bisnis internasional secara langsung
maupun tidak langsung dalam kegiatan bisnis mereka. Dukungan bisnis secara
langsung dalam bentuk kemitraan tetap, sedangkan dukungan tidak langsung
1
Sumber : BPS

101
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

adalah pemanfaatan jaringan bisnis mitra internasional oleh perusahaan


pengembang lokal. Organisasi perusahaan ini cenderung lebih terstruktur
dibandingkan perusahaan kelompok pemula, tanpa membuat hubungan yang kaku
dan formal antar pelaku dalam perusahaan. Dengan demikian pekerjaan-
pekerjaan dilakukan secara fleksibel namun sudah mulai ada spesialisasi
pekerjaan yang lebih tegas. Studi kasus di perusahaan SMI dan M merupakan dua
contoh kasus dalam kelompok perusahaan ini.
Dengan terbukanya peluang bisnis melalui berbagai projeck (Project based
innovation), baik proyek pemerintah maupun swasta yang sudah terbina
sebelumnya meningkatkan akumulasi kapasitas atau kompetensi perusahaan. Hal
ini akan mendorong perusahaan bergerak kearah inovasi untuk menghasilkan
produk piranti lunak tertentu yang lebih terspesialiasi (Specialized Software).

Ketika kondisi jejaring bisnis lokal sudah cukup kuat, maka interaksi antara
perusahaan pengembang dengan penggunanya berkembang dari hanya yang
bersifat Tailor-Made menjadi Customization, yang muncul dari aturan main
sebagai berikut:

Rule-2:

Kami punya ini, apakah sesuai dengan yang Anda


butuhkan?

Dengan aturan main demikian, maka perusahaan tidak lagi sekedar


mengerjakan apa yang dibutuhkan pengguna (tailor made), namun juga
menawarkan solusi tertentu yang telah mereka kembangkan sendiri dalam
perusahaan. Kemampuan ini muncul dengan semakin tingginya tingkat
kemampuan absorpsi pengembang piranti lunak.

Perusahaan dengan Jaringan Global

Perusahaan yang masuk pada kelompok jejaring global ini umumnya


merupakan perusahaan nasional dengan skala usaha besar dan sedang, karena
melibatkan jumlah pengembang yang cukup besar. Perusahaan mempunyai
struktur yang organisasi yang lebih tegas dan distribusi pekerjaan yang lebih
terspesialisasi. Meskipun demikian, perusahaan ini tetap mendukung lingkungan
kerja yang informal untuk tetap mendorong proses kreativitas. Setiap orang dalam
setiap tahap pekerjaan berkontribusi terhadap penciptaan nilai tambah kreativitas
terhadap hasil inovasi.
Proses inovasi di perusahan ini bersifat terbuka. Inovasi dihasilkan tidak
hanya dari interaksi internal perusahaan, namun juga hasil interaksi perusahaan

102
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

dengan aktor di luar perusahaan, baik pengguna maupun inovator-inovator lepas.


Dalam berinteraksi untuk menghasilkan inovasi, perusahaan mengembangkan rule
atau schemata sebagai berikut.

Rule-3:

Kami punya ini, mari kita perkaya

Inovasi merupakan hasil proses pemahaman akan kondisi bisnis saat ini
dan kecenderungan kedepan. Akumulasi pengetahuan dan kompetensi yang
terbangun merupakan dasar (framework) bagi pengembangan inovasi selanjutnya.
Interaksi di dalam dan di luar perusahaan piranti lunak dengan pengguna maupun
inovator lepas, memperkaya inovasi (enriching) yang dikenal sebagai open
innovation. Kegiatan yang bersifat riset dan pengembangan (R&D) terus menerus
dilakukan bersama-sama dengan pola interaksi demikian, serta didukung oleh
kepakaran (tenaga ahli) tertentu untuk mendukung proses inovasi. Proses
keterlibatan langsung pengguna pada perusahaan ini semakin berkurang, dengan
semakin meningkatkan kemampuan absorpsi pengembang terhadap kebutuhan
pengguna. Seperti halnya perusahaan pengembang pada tahap kedua,
perusahaan yang mengembangkan inovasi secara terbuka ini juga melakukan
inovasi pemasaran.

Diskusi : Proses Inovasi di Perusahaan Piranti Lunak


Studi di lima perusahaan pengembang piranti lunak menunjukkan bahwa
proses inovasi tersebut merupakan hasil penciptaan bersama (co-creation) yang
terus berkembang (co-evolution) dari pelaku-pelaku di dalam perusahaan
pengembang maupun dengan pelaku-pelaku di luar perusahaan, khususnya
pengguna piranti lunak. Pentingnya peranan pengguna dalam proses inovasi juga
diperkuat oleh temuan Miles dan Green (2008) di industri kreatif. Oleh karena itu,
menurut mereka, riset yang diperlukan oleh industri kreatif adalah riset pelanggan
dan kecenderungan pasar.
Lingkungan industri teknologi informasi dan bisnis yang sangat dinamis
mendorong perusahaan piranti lunak untuk terus melakukan perubahan terhadap
karakteristik inovasi. Proses inovasi piranti lunak terus berkembang (co-evolve)
dari inovasi dengan dominasi pengguna (power based inovation) ke sistem yang
lebih didasarkan pada kepercayaan pengguna (trust based innovation), seperti
ditunjukkan pada gambar 5.1 berikut ini.

103
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar 5.1 Model Co-evolving Proses Inovasi di Industri Piranti Lunak


Indonesia

Model proses inovasi yang ditemukan ini (gambar 5.1) menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat akumulasi pengetahuan dan kemampuan absorpsi
pengembang piranti lunak, maka akan semakin berkurang tingkat keterlibatan
(dominasi atau power) pengguna atas pengembang dalam menentukan ide
inovasi. Sebaliknya, akan semakin meningkat jenis inovasi yang didasarkan atas
kepercayaan (trust) pengguna atas pengembang.

Insentif Inovasi Piranti Lunak : Kondisi Internal dan Eksternal

Kondisi internal dan eksternal digambarkan sebagai wadah bagi


terbentuknya inovasi. Sehingga kondisi internal dan eksternal sangat menentukan
keberhasilan inovasi di industri piranti lunak. Kondisi yang merupakan kondisi
internal merupakan kondisi yang bersifat intrinsik dalam perusahaan dan
berpengaruh langsung terhadap inovasi. Kondisi eksternal merupakan kondisi di
luar perusahaan namun juga berpengaruh terhadap proses inovasi.
Hasil studi kasus menunjukkan bahwa perusahaan yang telah menjadi
mitra dari perusahaan besar mendapat peluang tidak hanya jejaring bisnis yang
sudah kuat juga pembangunan kapasitas dan kompetensi pengembang software
lokal. Menjadikan inovasi sebagai salah satu unsur indikator kinerja kunci (key
performance index) dalam mengukur kinerja karyawan di perusahaan software.

104
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Penerapan kebijakan ini akan meningkatkan motivasi karyawan untuk


menghasilkan ide-ide kreatif yang mendorong munculnya inovasi di perusahaan
piranti lunak.

Model Konseptual Sistem Insentif Industri Piranti Lunak


Lima perusahaan yang menjadi partisipan dalam studi kasus ini telah
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok perusahaan pemula,
perusahaan dengan dukungan mitra dan perusahaan dengan jaringan global. Hasil
analisis terhadap temuan studi kasus menunjukkan bahwa insentif untuk industri
pengembang piranti lunak tidak bersifat general untuk ketiga kelompok
perusahaan piranti lunak, artinya insentif bagi perusahaan pemula belum tentu
menjadi insentif bagi perusahaan dengan dukungan mitra serta belum tentu juga
menjadi insentif bagi perusahaan dengan jaringan global, begitu juga sebaliknya.
Model konseptual insentif yang efektif untuk kelompok perusahaan pemula
dapat dilihat pada gambar 7.1.

Ekonomi
Perusahaan Pengguna
Pe ng ha rg a a n P r o fe s io n a l b o n u s P e m a n fa a ta n
In o v a to r S o ftw a r e
Penghargaan dari Efisiensi Harga
pelanggan
T Produk sesuai kebutuhan
R e s is te n s i P e n g g u n a
R

U Pelayanan
P e la tih a n Penghargaan dari
K u r ik u lu m S D M b e r k o m itm e n K e b e r p ih a k a n
S pelanggan
K e w ir a u s a h a a n S D M k o m p e te n P e m e r in ta h
d i s e k o la h T I (e -g o v d ll)
T e a m work T Referensi Proyek
Pe ng ha rg a a n R e fe r e n s i P r o y e k Pelatihan dari pengembang
m itr a b is n is K o m u n ik a s i y g e fe k tif
P e r lin d u n g a n H A K I B u d a y a o r g a n is a s i k r e a tif
K a p a s ita s T I P e n g g u n a Komunikasi dalam
K n o w le d g e Mg t Komunitas TI

K e s e m p a ta n Non Ekonomi A d m in is tr a s i p a te n
m a g a ng

KELOMPOK 1
Gambar 7.1. Model konseptual insentif bagi perusahaan pemula

Pada model konseptual insentif untuk kelompok perusahaan pemula yaitu


hubungan pengembang dan pengguna masih dalam tahap awal, proses inovasi
relatif lebih banyak didorong oleh insentif yang bersifat ekstrinsik dari
lingkungannya. Penghargaan dari perlombaan TI, serta penghargaan dari mitra
bisnis masih menjadi insentif bagi perusahaan pemula. Keterlibatan perusahaan
dalam suatu komunitas juga masih merupakan insentif bagi perusahaan karena
perusahaan pemula masih berada pada fase pembentukan jaringan.

105
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Model konseptual insentif yang efektif untuk kelompok perusahaan dengan


dukungan mitra dapat dilihat pada gambar 7.2.

Pada model konseptual insentif untuk kelompok kedua yaitu perusahaan


dengan dukungan mitra, insentif yang dibutuhkan relatif berupa insentif intrinsik
yang berasal dari eksternal perusahaan khususnya kebijakan dari pemerintah.
Perusahaan dengan dukungan mitra sudah memiliki proses bisnis internal yang
baik sehingga insentif yang diperlukan sudah berupa insentif eksternal. Dukungan
dari pemerintah yang berupa keberpihakan pemerintah terhadap software lokal,
dukungan finansial perbankan serta ketersediaan kurikulum TI merupakan
insentif bagi perusahaan ini.
Model konseptual insentif yang efektif untuk kelompok perusahaan dengan
jaringan global dapat dilihat pada gambar 7.3.

Ekonomi
P e n g h a r g a a n In o v a to r Perusahaan Pengguna

Ja m in a n P e m b ia y a a n
In s e n tif P a ja k P r o fe s io n a l B o n u s

U k u r a n P e n ila ia n S D M b e r k o m itm e n Efisiensi Harga


A s s e t o le h b a n k
T Produk sesuai kebutuhan
Ja r in g a n b is n is
R

K e b e r p ih a k a n S D M k o m p e te n U Pelayanan
p e m e r in ta h Pe ng ha rg a a n
S
m itr a b is n is Penghargaan dari
K u r ik u lu m D is a in T e a m work T pelanggan
D i s e k o la h T I R e fe r e n s i P r o y e k Referensi Proyek
B u d a y a o r g a n is a s i p e n g g u n a
Keamanan data
P e la tih a n S D M
T e n a g a S MK -T I K n o w le d g e Mg t

Prog ra m O pe n Non Ekonomi Komunikasi dalam


S ourc e Komunitas TI

KELOMPOK 2

Gambar 7.2. Model konseptual insentif bagi perusahaan dengan dukungan


mitra

106
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Ekonomi
Perusahaan Pengguna
P e ng ha rg a a n Inov a tor
P rofe s iona l B onus
K nowle dg e Mg t Harga software
Ins e ntif P a ja k Ja ring a n bis nis
T Produk sesuai kebutuhan
R

S D M k om pe te n U Pelayanan
P e ng ha rg a a n
S Penghargaan dari
m itra bis nis
pelanggan
K e be rpiha k a n B uda y a org a nis a s i pe ng g una T
pe m e rinta h T e a m work Referensi Proyek
R e fe re ns i P roy e k
D uk ung a n prom os i P e la tiha n S D M
D a ri pe m e rinta h S D M be rk om itm e n

Non Ekonomi

KELOMPOK 3

Gambar 7.3. Model konseptual insentif bagi perusahaan dengan jaringan


global

Pada model konseptual insentif bagi perusahaan dengan jaringan global,


mekanisme insentifnya hampir sama dengan kelompok 2, namun tidak
menekankan pada kebutuhan pemenuhan SDM karena kelompok perusahaan ini
mengembangkan open innovation. Perusahaan yang mengembangkan open
innovation memperoleh ide-ide kreatif dari para innovator lepas maupun dari
pakar.

Pilihan Kebijakan yang Memberikan Insentif bagi Industri Piranti Lunak


Kedepan
Pada pembahasan di atas dikemukakan bahwa pengguna dan pengembang
sama-sama punya motivasi untuk berinteraksi dalam menghasilkan inovasi
tertentu. Insentif itu dapat pula berasal dari sisi internal pengembang maupun dari
luar pengembang, sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah. Inovasi dapat
muncul jika pemerintah mendorong kebijakan berikut ini2:

2
Hasil Diskusi Kelompok Terfokus para Pemangku Kepentingan Industri Piranti Lunak di
Pappiptek-LIPI (November 2010) di Jakarta

107
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

1) Sistem yang mendukung inovasi tanpa henti (supporting system for


conducting continuous innovation).
2) Diperlukan kebijakan yang dapat mendorong penciptaan kondisi sehingga
industri software dapat terus bertahan serta berinovasi, khususnya bagi
perusahaan pemula (start-up company). Inovasi tanpa henti tersebut perlu
didorong dengan kebijakan atau aturan pemerintah yang bersifat
mendukung inovasi tanpa henti tersebut dan mendukung kemitraan
(partnership) antara perusahaan piranti lunak skala besar dengan
perusahaan piranti lunak lokal skala kecil. Kemitraan semacam ini telah
terbukti memberikan kesempatan bagi pelaku lokal skala kecil untuk
memperoleh pengetahuan tentang perkembangan teknologi software
terbaru, serta akan memberikan kesempatan pelaku skala kecil untuk
mendapatkan akses pasar (order). Pihak yang paling berwenang dalam hal
ini adalah Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) untuk
mendorong pengembangan industri software lokal.
3) Apresiasi dari pemerintah. Salah satu insentif yang mendorong
perkembangan industri Teknologi Informasi (TI) adalah adanya apresiasi
atau penghargaan dari pengguna. Apresiasi pengguna yaitu pemanfaatan
secara optimal software yang dikembangkan industri TI. Apresiasi
semacam ini belum dirasakan oleh industri TI apabila pengguna mereka
dari pemerintah. Permasalahan yang sama juga terungkap dari penelitian
ini, bahwa efisiensi penggunaan software oleh pemerintah relatif lebih
rendah bila dibandingkan dengan pengguna yang lain misalnya kalangan
bisnis dan akademisi. Pemanfaatan software secara maksimal oleh
pemerintah tentunya juga akan meningkatkan efisiensi pekerjaan di
pemerintah.
4) Insentif Pajak bagi Mitra Internasional. Indonesia merupakan salah satu
negara pengguna TI terbesar di dunia. Hal ini mendorong mitra
internasional, baik perusahaan TI maupun pengguna TI dari negara lain,
untuk melakukan kemitraan dengan pelaku industri TI nasional. Kemitraan
semacam ini, menurut peraturan dari Kementerian Keuangan, akan
dibebani dengan berbagai macam pajak yang cenderung dis-insentif
terhadap kemitraan itu sendiri. Dalam mengatasi hal ini, maka pemerintah
sebaiknya melakukan intervensi dengan memberikan insentif pajak bagi
perusahaan TI internasional yang bermitra dengan industri TI nasional.
Kebijakan insentif pajak ini cukup rasional mengingat dengan masuknya
mitra internasional terbukti banyak mendorong perkembangan industri TI
nasional.
5) Pengembangan kurikulum IT di SMK. Kementrian Diknas telah
mengembangkan kurikulum IT di SMK. Pengembangan kurikulum IT
bertujuan agar lulusan SMK menjadi lulusan yang siap kerja. Dalam studi
kasus yang dilakukan memang telah terbukti bahwa lulusan SMK IT
berpotensi bagi perusahaan IT serta secara kemampuan tidak kalah dengan
lulusan S1 IT. Hal yang harus diperhatikan yaitu pengembangan kurikulum
IT di SMK harus diikuti dengan pengembangan kompetensi guru/pengajar
di SMK, salah satunya bisa dilakukan dengan pelatihan.

108
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

6) Kebutuhan akan modal awal (seed capital) untuk berlanjut ke level


selanjutnya. Fenomena yang umum terjadi di industri TI Indonesia adalah
banyaknya inovasi yang berakhir di tahap inisiasi saja. Sebagai contoh,
begitu banyak pemenang lomba TI yang kemudian tidak dapat
mengembangkan inovasi produknya karena ketiadaan modal awal (seed
capital), padahal bibit inovasi yang mereka miliki cukup potensial.
7) Mekanisme pembiayaan inovasi software house dengan asuransi oleh
pemerintah. Kebijakan ini berkaitan dengan pembiayaan inovasi software
yang belum memperoleh dukungan dari perbankan. Perbankan belum bisa
melakukan penilaian tentang nilai dari industri piranti lunak, sehingga
pemerintah perlu melakukan penjaminan pembiayaan inovasi piranti lunak
berupa asuransi. Hal ini diperlukan untuk meyakinkan pihak perbankan
bahwa mereka tidak akan mengalami kerugian bila memberikan
pembiayaan kepada industri piranti lunak.
8) Repository software Open Source pemerintah. Pemerintah dalam melakukan
pengembangan piranti lunak belum memperhatikan aspek akumulasi
pengalaman. Dilihat dari substansinya, terdapat kesesuaian antara piranti
lunak yang digunakan di satu pemerintah daerah dengan pemerintah
daerah lain. Sebenarnya bila dibuat suatu repository piranti lunak
pemerintah, maka piranti lunak yang dibuat oleh pemerintah daerah di
seluruh Indonesia dapat diakumulasikan dalam repository tersebut.
Pengembangan industri piranti lunak dapat dilihat dari repository tersebut.
Manfaat yang diperoleh yaitu tidak adanya pengulangan pembuatan
software yang sama sehingga dana pengembangan dapat digunakan untuk
pengembangan lebih lanjut dari software yang ada di repository tersebut.
9) Aturan lisensi penggunaan Open Source. Kebijakan dalam aturan lisensi
berkaitan dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Penggunaan Open Source (OS) walaupun bersifat bebas namun harus
mencantumkan software asalnya. Lisensi atau aturan penggunaan OS ini
belum ada sehingga dirasa perlu mengingat industri software sudah banyak
yang mengembangkan produknya dengan menggunakan OS.
10)Badan audit/verifikasi TI untuk teknologi khusus software Indonesia yang
digunakan untuk sertifikasi dan memudahkan masuk ke struktur
pemerintah mendukung standarisasi software Indonesia.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data, maka disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Proses inovasi merupakan hasil penciptaan bersama (co-creation) yang


terus berkembang (co-evolution) dari pelaku-pelaku di dalam perusahaan
pengembang maupun dengan pelaku-pelaku di luar perusahaan, dengan
beragam keahlian dan talenta khususnya system analyst dengan pelaku-
pelaku di luar perusahaan, khususnya pengguna piranti lunak maupun
komunitas serta jejaring bisnis yang dapat bertindak sebagai sumber ide
kreatif dan marketing agent.

109
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

2. Proses inovasi piranti lunak terus berkembang (co-evolve) dari inovasi


dengan dominasi pengguna (power based inovation) ke sistem yang lebih
didasarkan pada kepercayaan pengguna (trust based innovation) dan
jejaring pelaku bisnis dan inovator lepas ke sistem yang lebih didasarkan
pada hubungan atas dasar kepercayaan (trust based innovation).
3. Perbedaan karakteristik pengguna tidak menghasilkan proses inovasi yang
berbeda, namun mempengaruhi tingkat pemanfaatan inovasi. Tingkat
utilitas fungsi-fungsi produk piranti lunak oleh organisasi pemerintah lebih
rendah (inefiesiensi) dari pada pemanfaatan produk piranti lunak oleh
perusahaan swasta dan kalangan akademik.
4. Saling percaya (trust) merupakan insentif utama untuk berinteraksi bagi
perusahaan, sedangkan jenis insentif bagi pengguna yaitu: efisiensi harga,
produk sesuai kebutuhan, pelayanan, referensi project, dan pelatihan dari
pengembang. Jenis insentif ini sama untuk semua tahap perkembangan
perusahaan.
5. Jenis insentif internal yaitu: profesional bonus, kesempatan peltihan,
referensi project, dan penghargaan dari pelanggan. Jenis insentif ini juga
sama untuk semua tahap perkembangan perusahaan.
6. Jenis insentif eksternal yaitu: mendapatkan kesempatan yang sama
terhadap program Pemerintah dan pengghargaan inovator. Jenis insentif
khusus pada perusahaan pemula yaitu: perlindungan HKI, administrasi
paten, dan kesempatan magang (intership) di intansi pemerintah. Jenis
insentif eksternal khusus pada perusahaan dukungan mitra yaitu: jaminan
pembiayaan, insentif pajak, pengukuran asset oleh bank, penghargaan dari
mitra bisnis dan jenis insentif eksternal khusus pada perusahaan dengan
jaringan global yaitu: insentif pajak dan dukungan promosi ke luar negeri
dari pemerintah.

SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa industri kreatif
piranti lunak maka terdapat beberapa hal yang menjadi saran dari hasil penelitian
ini yaitu :
1. Agar kebijakan pemerintah dapat efektif dalam mendorong inovasi di
perusahaan piranti lunak, perlu mempertimbangkan tahap perkembangan
perusahaan baik pemula, perusahaan dukungan mitra serta perusahaan
dengan jaringan global.
2. Disamping insentif untuk perusahaan, insentif bagi pengguna produk
piranti lunak perlu dikembangkan.
3. Pengembangan sistem yang berbasis kepercayaan salah satunya melalui
pembentukan suatu badan akreditasi yang berperan sebagai badan
sertifikasi hasil inovasi piranti lunak. Penelitian ini belum menggali lebih
jauh peran network terutama pada pengembang piranti lunak individu
(tidak berbadan hukum).
4. Pemerintah sebaiknya melakukan intervensi dengan memberikan insentif
pajak bagi perusahaan TI internasional yang bermitra dengan industri TI
nasional. Kebijakan insentif pajak ini cukup rasional mengingat dengan

110
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

masuknya mitra internasional terbukti banyak mendorong perkembangan


industri TI nasional. Insentif pajak dimaksud tidak harus berarti
pembebasan dari pajak, tetapi keringanan pajak dari pemerintah cukup
membantu pengembang industri piranti lunak di Indonesia.
5. Sebaiknya Pemerintah membuat kebijakan yang spesifik terhadap industri
piranti lunak, karena industri ini membutuhkan kebijakan sesuai dengan
kebutuhan tergantung tahap perkembangan perusahaan (pemula,
dukungan mitra, jaringan global).

DAFTAR PUSTAKA

Flasch Frank, Roy Le Frederick, and Yami Said (2007) Critical growth factors of ICT
start-ups, Management Decision Journal Vol. 45, No.1
Goldtein J (2008) Introduction: Complexity science applied to innovation-Theory
meets praxis The Public Sector Innovation Journal 13(3) article 1.
Gwee, J (2009) Innovation and the creative industries cluster: A case studi of
Singapores creative industries Innovation: Management, Policy & Practice 11
(2): 240-252
Inkpen, A.C and S.C. Currall (2004) The Coevolution of Trust, Control and Learning
in Joint Ventures: Organization Science 15 (5): 586-599
Ishimatsu, H., Sugasawa, Y., and Sakurai, K (2004) Understanding Innovation as a
Complex Adaptive System: Case Studies from Shimadzu and NEC. Pacific
Economic Review 9 (4): 371-376
Jaaniste, L. (2009) Placing the creative sector within innovation: the full gamut
Innovation: Management, Policy & Practice 11 (2): 215-229
Miles, I and L. Green (2008) Hidden innovation in teh creative industries, NESTA
research report July 2008. London: NESTA
Muller, K; C. Rammer and J. Truby (2009) The role of creative industries in
industrial innovation Innovation: Management, Policy & Practice 11 (2): 148-
168
Nelson R and Sampat B (2001) Making sense of institutions as a factor shaping
economic performance Journal of Economic Behavior and Organization 44:
3154.
Potts, J. ( 2009). Introduction: Creative industries and innovation policy.
Innovation: management, policy & practice (2009) 11: 138147.
Potts J (forthcoming) Why the creative industries matter to economic evolution
Economics ofnnovation and New Technology
Potts J and Cunningham S (2008) Four models of the creative industries
International Journal of Cultural Policy 14(3): 23349.

111
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Potts J, Hartley J, Banks J, Burgess J, Cobcroft R, Cunningham S and Montgomery L


(2008a) Consumer co-creation and situated creativity Industry & Innovation
15(5): 45974.
Potts J and Morrison K (2009a) Nudging innovation: fifth generation innovation,
behavioural constraints and the role of creative business, NESTA working
paper. London: NESTA
Potts J and Morrison K (2009b) Toward behavioural innovation economics:
Heuristics and biases in choice under novelty School of Economics
Discussion Paper No. 379, University of Queensland, Australia.
Potts J (2007) Art and innovation: An evolutionary view of the creative industries
UNESCO Observatory e-journal. 1(1).
http://www.abp.unimelb.edu.au/unesco/ejournal/
QUT CIRAC and Cutler&Co (2003) Research and Innovation Systems in the
production of Digital
Silberstang, J and J.K. Hazy (2008) Toward a micro-enactment theory of leadership
and the emergence of innovation The Innovation Journal: The Public Sector
Innovation Journal 13 (3),article 5
Tether B (2003) The sources and aims of innovation in services: variety within
and between sector Economics of Innovation and New Technology 12(4):
481505.
Tilebein, M (2006) A complex adaptive systems approach to efficiency and
innovation Kybernetics 35 (7/8): 10871099.

112
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

INOVASI TEKNOLOGI ENERGI TERBARUKAN DI LEMBAGA


LITBANG PEMERINTAH (KASUS PLTMH & PLTB)

Saut H. Siahaan, Sayim Dolant, Tri Agus Murwanto


Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK
Prakiraan kebutuhan energi listrik nasional pada tahun 2020 berdasarkan
pertumbuhan ekonomi sepuluh tahun terakhir mencapai kurang lebih 1000
Kwh/orang atau terjadi kenaikan sebesar kurang lebih 57% dari tahun 2010.
Selanjutnya, tinjauan terhadap kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan
masyarakat yang belum memperoleh manfaat energi listrik menunjukkan tingkat
yang relatif rendah, karena sebagian besar dari mereka berada di daerah
terpencil dan bermata pencarian dalam bidang pertanian dengan tingkat
pendidikan rata-rata hanya tamat SD. Pada sisi yang lain kegiatan inovasi di
lembaga litbang pemerintah masih ditemukan berbagai hambatan dalam
membangun kegiatan inovasi, baik di dalam (intern) maupun di luar (ekstern)
lembaga litbang. Salah satunya adalah perencanaan yang tidak konsisten,
kerjasama kelembagaan yang belum terjalin, dsb. Untuk menjawab permasalahan
ini dilakukan penelitian dengan metode kualitatif. Kerangka analitik penelitian
ini dibangun dari berbagai teori, yaitu mulai dari definisi inovasi sampai pada
pemahaman rantai inovasi serta hambatan dalam proses inovasi. Dalam kasus ini
pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi tak
terstruktur dan wawancara mendalam dengan pengelola lembaga litbang
(Kapus/kabid), industri dan LSM (pimpinan institusi). Hasil wawancara
kemudian dinarasikan dan dikategorikan sebagai bahan analisis. Analisis data ini
bersifat induktif, yaitu mencari hubungan diantara kategori (domain) data. Pada
akhirnya direkomendasikan beberapa hal penting yaitu perlunya kesiapan
perencanaan dan pelaksanaan yang didukung oleh kebijakan yang mampu
mendorong peneliti menghasilkan teknologi yang berdaya guna. Orientasi
peneliti bukan lagi bagaimana menghasilkan prototipe, makalah ilmiah dan
paten, tetapi lebih berorientasi pada bagaimana teknologi didifusikan ke
masyarakat untuk peningkatan nilai tambah. Selanjutnya perlu dibangun
kerjasama kelembagaan antar pelaku inovasi, diantaranya dengan Industri
terkait, Pemda, LSM dan Koperasi dalam kerangka pembangunan masyarakat.
Dalam kasus ini kerjasama dengan industri dilandasi pada kompetensi
kelembagaan, litbang pemerintah menyediakan rancangan teknologi PLTMH &
PLTB sesuai kebutuhan pengguna dan industri mendukung dalam infrastruktur
manufakturnya. Kerjasama dengan Pemda terkait pada pembangunan
masyarakat di daerah, lembaga litbang menyediakan perangkat teknologi (alat
dan informasi) melalui industri dan pemda menyiapkan dana dan infrastruktur
lain sebagai pendukung (koordinasi dengan dinas terkait seperti pengairan,
pertanian, dsb.). Sementara kerjasama dengan LSM dan koperasi sifatnya teknis,
yaitu pembinaan pengelolaan teknologi yang didifusikan.
Kata Kunci : energi, energi terbarukan, inovasi, litbang, PLTMH, PLTB,
mikrohidro, bayu

113
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

PENDAHULUAN
Potensi sumber daya air yang tersebar di daerah, pedesaan atau bahkan
daerah terpencil di seluruh kepulauan Indonesia, dan adanya kebutuhan
masyarakat akan listrik (belum terjangkau listrik PLN), merupakan peluang yang
cukup besar bagi pemanfaatan PLTMH maupun PLTB. Pemanfaatan sumber daya
air dan angin pada gilirannya mampu mengurangi tingkat konsumsi energi fosil
atau bahan bakar minyak (BBM) yang semakin terbatas jumlahnya dan cenderung
semakin mahal. Analisis yang dikemukakan B.J. Habibie (2009) berkenaan dengan
hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan kebutuhan energi listrik
nasional dapat mencapai 999,9 Kwh/orang pada tahun 2020 dari 637,7
Kwh/orang pada tahun 2010 atau terjadi kenaikan sebesar 56,8%. Berdasarkan
data Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, pemanfaatan energi baru dan
terbarukan hanya mencapai 4,4%, sedangkan minyak bumi mencapai 43,9%,
batubara 30,7%, dan gas alam 21 % (PT. Indonesia Power, 2010).
Selanjutnya, tinjauan terhadap kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan
masyarakat yang belum mendapat manfaat energi listrik menunjukkan tingkat
yang relatif rendah, karena sebagian besar dari mereka berada di daerah terpencil
dan bermata pencarian dalam bidang pertanian dengan tingkat pendidikan rata-
rata hanya tamat SD. Sebagai contoh, kelompok tani teh di daerah Kabupaten
Tasikmalaya, kecamatan Pager Ageung desa Cibunar. Penghasilan mereka dari
hasil kebun teh hanya cukup untuk kebutuhan hidup, sementara pemeliharaan
kebun kadang tidak terpenuhi. Hal ini juga sesuai dengan data statistik luas
perkebunan teh rakyat yang semakin sempit akibat tidak adanya biaya
pemeliharaan (Bisnis Indonesia, 2010). Secara umum berdasarkan analisis Gatot
Arianto (Kompas, 2010) menyebutkan bahwa 75% tingkat pendidikan petani
indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24% lulus SMP dan SMA, dan hanya 1% lulus
perguruan tinggi. Tinjauan lebih jauh terhadap penghasilan mereka menunjukkan
bahwa 56% petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, yang berarti mempunyai
pendapatan kurang dari Rp 8 juta/tahun. Kemandirian petani dalam pengelolaan
usahanya juga masih relatif rendah. Petani masih sangat bergantung pada
penyediaan bibit, pestisida, dan pupuk, yang kadang harus di import. Sementara
itu, berdasarkan Permen ESDM No. 7/2010 harga tarif dasar listrik umum
keperluan rumah tangga Rp 415,- kwh. Harga listrik per kwh ini masih relatif
tinggi bagi masyarakat.
Teknologi PLTMH pada prinsipnya relatif sederhana dan ramah lingkungan
dengan investasi yang dapat terjangkau oleh pemerintah provinsi. Komponen-
komponennya relatif dapat dibuat oleh bengkel perorangan dan Perguruan Tinggi
dengan umur operasional diharapkan mencapai 25 tahun. Walaupun demikian
tidak pula dapat dipungkiri bahwa masih banyak didapati instalasi PLTMH yang
sudah terpasang tidak dapat digunakan atau dioperasikan (Statistik ESDM, 2008).
Berbagai aspek perlu dipahami terkait hal ini, mulai dari sisi kebijakan, tekno-
ekonomi, sosial masyarakat, dan proses implementasi atau difusi teknologi ke
masyarakat yang secara keseluruhan merupakan rantai inovasi serta melibatkan
berbagai pelaku inovasi.

114
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Kegiatan inovasi di lembaga litbang pemerintah dalam kerangka penelitian


menunjukkan berbagai fakor penghambat kegiatan inovasi. Faktor perencanaan
penelitian merupakan salah satu hambatan utama yang berimplikasi pada
rangkaian kegiatan dan hasil akhir penelitian. Kemampuan membangun kerjasama
lembaga litbang dengan para pelaku inovasi terkesan dibangun oleh peneliti secara
individu dan tidak dalam kerangka kelembagaan yang harmonis. Kerjasama
dengan pemda yang dibungkus dalam kerjasama MOU terkesan merupakan
jembatan bagi lembaga litbang untuk menerapkan teknologinya. Implikasinya,
ketika pasca proyek program kegiatan litbang implementasi di daerah terkendala
dalam kegiatan evaluasi/monitoring akan berujung pada tidak diadopsinya produk
litbang.

KERANGKA ANALITIK
Kerangka analitik penelitian ini dibangun dari berbagai teori, yaitu mulai
dari definisi inovasi sampai pada pemahaman rantai inovasi serta hambatan dalam
proses inovasi. Secara teoritis, inovasi dipahami sebagai suatu proses pemanfaatan
pengetahuan, keterampilan (termasuk keterampilan teknologi) dan pengalaman
untuk penciptaan (memperbaiki) produk (barang dan atau jasa), proses, dan atau
sistem yang baru, yang memberikan nilai berarti, atau proses di mana gagasan,
temuan tentang produk atau proses diciptakan, dikembangkan dan berhasil
disampaikan ke pasar (Saut dkk, 2006). Sejalan dengan pendefinisian dari OECD
(1999) yang mengungkapkan bahwa inovasi cenderung pada pengembangan
secara kreatif dan interaktif bertumpu pada kemajuan ilmu pengetahuan, juga
dapat diartikan sebagai produk barang dan jasa yang sarat dengan pengetahuan.
Perkembangan yang kompleks dari inovasi menuntut perlunya tinjauan inovasi
tidak terbatas pada lingkup produsen dan litbang semata, akan tetapi perlu
dipandang sebagai suatu sistem yang terpadu. Hal mana memunculkan
pendekatan sistem inovasi untuk mencapai suatu tujuan.
Selanjutnya menurut Zhou (2007), inovasi dipandang dari sisi makro
sebagai inovasi nasional terkait pada sektor industri dan klaster, inovasi juga dapat
dipandang dari sisi mikro, yaitu pada tingkat perusahaan, terkait pada pemilihan
strategi dan struktural kegiatan inovasi, atau pada sisi kelompok inovasi terkait
pada perencanaan maupun pengelolaan proses inovasi. Selanjutnya dinyatakan
pula bahwa kegiatan inovasi selalu bersinggungan dengan berbagai pihak
berkepentingan yang secara sederhana digambarkan pada gambar 1. Dalam hal ini
maka peran organisasi dalam mendorong kegiatan inovasi dapat di jabarkan secara
sederhana dalam tahapan rantai proses kegiatan inovasi, mulai dari penelitian
dasar sampai dengan difusi teknologinya ke masyarakat. Dalam kasus ini maka
proses inovasi dibangun dari empat elemen yang masing masing dinyatakan
sebagai: Generating posibilities, yaitu bagaimana membangaun ide untuk inovasi;
Incubating & Prototyping, yaitu menentukan mekanisme pengembangan idea dan
mengelola resiko kegagalan; Replication and Scaling up, yaitu bagaimana
mempromosikan dan mendifusikan teknologi menuju inovasi yang berhasil; dan
Analysing and learning, yaitu bagaimana evaluasi untuk promosi dan
pengembangan produk yang berkelanjutan. Proses inovasi ini tidaklah linier akan

115
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

tetapi kompleks karena sangat tergantung pada perilaku organisasi, individu, dan
pengaruh lingkungan. Hal mana menunjukkan bahwa prosesnya adalah interaktif
dan sosial, melibatkan para pelaku yang beragam dalam keahlian dan sumbernya.

Incubating and
Prototyping

Generating Replication and


Possibilities Scaling Up

Analysing and
Learning

Sumber: Geof Mulgan dan David Albury, 2007

Gambar 1. Proses Inovasi

Menurut Mulgan dan Albury hambatan dalam mekanisme inovasi di


lembaga litbang pemerintah adalah: keengganan menutup program yang gagal;
budaya menghindari resiko; ketergantungan yang terlampau tinggi pada unjuk
kerja (performance) sebagai sumber inovasi; beban administrasi dan birokrasi;
teknologi tersedia tetapi menghambat budaya; anggaran jangka pendek dan
perencanaan horisontal; tidak adanya insentif untuk berinovasi maupun yang
mengadopsi inovasi; pengelola yang tidak terampil.
Berdasarkan berbagai teori tersebut di atas maka pada prinsipnya, iptek
baru yang berguna secara komersial (produk inovasi) merupakan hasil dari
interaksi dan proses pembelajaran diantara berbagai pelaku inovasi, seperti:
lembaga litbang pemerintah atau industri, otoritas publik (pemda), dan para
pengguna (masyarakat). Penyelarasan faktor lingkungan eksternal dalam proses
inovasi PLMTH & PLTB memerlukan kerjasama yang saling menguntungkan
diantara para pelaku, yaitu dengan:
1. Kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah, baik pemerintah pusat
maupun daerah sebagai pendorong investasi kegiatan inovasi di lembaga
litbang baik dari sumber pendanaan publik maupun swasta. Kebijakan
lintas sektor menjadi sangat penting untuk mengaitkan hasil litbang PLMTH

116
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

& PLTB, industri-industri yang terkait dalam suatu rantai produksi dan
inovasi, dan untuk menghindari duplikasi investasi.
2. Pembelajaran teknologi dan kapabilitas teknologi merupakan faktor
internal yang penting bagi peningkatan inovasi.
3. Faktor geografis dalam inovasi perlu merefleksikan peluang kapasitas
inovasi daerah dan peluang pertumbuhan ekonomi daerah yang berbasis
pada keunggulan lokal, baik berdasar ketersediaan sumber daya alam,
sumber energi mapun keunggulan dan keahlian khas manusianya. Hal ini
menjadi penting, untuk mendorong fleksibilitas birokrasi.

METODOLOGI
Untuk menjawab permasalahan penelitian digunakan metodologi kualitatif.
Metode kualitatif secara spesifik digunakan untuk memperoleh gambaran
sistematis pengelolaan inovasi teknologi energi terbarukan. Dalam kasus ini
pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi tak
terstruktur dan wawancara mendalam dengan pengelola lembaga litbang
(Kapus/kabid), industri dan LSM (pimpinan institusi). Hasil wawancara kemudian
dinarasikan dan dikategorikan sebagai bahan analisis. Analisis data ini bersifat
induktif, yaitu mencari hubungan diantara kategori (domain) data. Sementara itu
faktor penghambat dan pendorong kegiatan inovasi ditunjukkan dari hasil
wawancara mendalam dengan para pelaku inovasi, yaitu pengelola dan peneliti di
lembaga litbang, atau pimpinan industri/LSM, dan Pemda serta para pengguna
teknologi energi terbarukan (Masyarakat pengguna) menggunakan instrumen
panduan wawancara. Selanjutnya validasi data dilakukan dengan teknik
triangulasi atau membandingkan dari perolehan data berdasarkan teknik
pengumpulan yang berlainan (dokumentasi, observasi dan wawancara mendalam)
atau sumber yang berlainan (para pelaku inovasi). Hasil analisis data, baik dari
lembaga litbang maupun industri dan LSM kemudian dikomparasikan untuk
menyimpulkan penguatan kelembagaan litbang dari para pelaku inovasi untuk
mendorong percepatan pembangunan daerah dengan tersedianya sumberdaya
energi listrik. Secara skematis tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 2 di
bawah ini.

117
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Indept interview & Pengumpulan dokumentasi


observasi tak terstruktur Data sekunder

Identifikasi Faktor-Faktor Validasi Data


Kegiatan Inovasi di lembaga Triangulasi
Litbang

Analisis kualitatif
Perilaku Induktif dan komparatif
organisasi

Perilaku
individu Faktor-faktor Penghambat dan Penguatan
Pendorong inovasi Energi Kelembagaan Litbang
PLTMH & PLTB (Para Pelaku Inovasi)
Pengaruh
lingkungan

FGD

Peneliti & Pengelola


Lembaga Litbang

Gambar 2. Alur/Tahapan Penelitian

Teknik Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui
survei dengan secara sengaja (purposif sampling) dari sejumlah responden
menggunakan panduan wawancara sebagai alat untuk menghimpun data. Kriteria
Responden, dipilih dari para pelaku dalam kegiatan inovasi teknologi energi
PLTMH & PLTB, menggunakan metode purposive sampling dari pimpinan
organisasi & personil pelaku, yaitu dari LIPI, BPPT, LAPAN; Bapeda Bantul
Jogyakarta; LSM: Paguyuban KalimaronJatim & Koperasi Tani-Tasikmalaya
Data Indepth interview ditranskripkan kemudian dipilah, dan dikategorikan
agar dapat diperlakukan sebagai data. Proses pengaturan urutan data, organisasi
data dilakukan dengan suatu pola menurut kategori dan unit analisis (Sugiyono,
2006). Selanjutnya data ini perlu dipetakan dan dibandingkan antara satu
responden dengan responden dari kelembagaan lainnya (proses triangulasi)
sehingga diperoleh data kualitatif yang valid karena bersumber dari kelompok
responden yang berbeda. Proses triangulasi juga dilakukan dengan pemeriksaan
silang antara data dokumerntasi dengan data indepth interview. Sementara
metode analisis kualitatif melalui penyusunan data secara induktif dan
menginterpretasikannya, akan menunjukkan gambaran skematis kegiatan inovasi
teknologi energi PLTMH & PLTB. Secara skematis analisis data kualitatif
ditunjukkan pada gambar 3. di bawah ini. Analisis dilanjutkan dengan
membandingkan kegiatan inovasi di lembaga litbang dengan inovasi di lembaga

118
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

swadaya masyarakat (LSM) maupun dengan inovasi di industri. Selanjutnya


berdasarkan analisis ini ditentukan alternatif penguatan pengelolan inovasi energi
PLTMH & PLTB untuk mendukung percepatan pembangunan daerah. Analisis
penguatan dalam pengelolaan inovasi energi PLTMH & PLTB akan lebih
dipertajam berdasarkan hasil FGD. Dalam kasus ini proses diskusi kelompok
diarahkan berdasarkan hasil temuan dalam wawancara mendalam yang telah
dilakukan.

Sumber: Model Miles & Huberman dalam Sugiyono, 2006

Gambar 3. Model Analisis Data Kualitatif

HASIL DAN BAHASAN


Inovasi teknologi PLTMH & PLTB di lembaga litbang pemerintah maupun di
industri swasta menunjukkan adanya kegiatan litbang untuk mendapatkan sesuatu
yang baru dan menerapkannya ke masyarakat pengguna. Kegiatan ini tentunya
tidak dapat dilepaskan dari rantai inovasi yang meliputi kegiatan litbang,
demonstrasi/sosialisasi, komersialisasi dan difusi yang kesemuanya berinteraksi
dengan pengguna. Dalam interaksinya kepada masyarakat, ditemukan berbagai
kendala dan hambatan yang sebenarnya merupakan masukan berharga bagi
lembaga litbang pemerintah dalam pengembangan sistem PLTMH & PLTB.
Pergeseran sistem PLTMH & PLTB, baik yang terkait dengan sistem komponen
maupun sistem secara keseluruhan sesuai kebutuhan masyarakat pengguna.
Bentuk kerjasama yang dibangun lembaga litbang pemerintah dengan stakeholder
seperti pihak industri (pelaku inovasi), pemerintah daerah, LSM/Koperasi
merupakan interaksi dinamis dalam pengembangan PLTMH & PLTB guna
memberikan nilai manfaat ekonomi, dan memberikan pemahamanan kepada
masyarakat tentang arti penting penguasaan teknologi PLTMH & PLTB.
Hasil litbang PLTMH yang dikembangkan Pusat Penelitian Tenaga Listrik
dan MekatronikaLIPI diantaranya adalah sebagai berikut :

119
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

1. Turbin Air terdapat empat hasil penelitian PLTMH, antara lain: (a) Turbin
pelton (head tinggi); (b) Turbin Crosflow (head sedang, 3 m s/d 20 m),
runner turbin crosflow sudah dipatenkan dan sudah dipasarkan; (c) Turbin
Propeler (head rendah, < 3 m), dan (d) dalam anggaran DIPA
2010/kompetitif sudah dihasilkan turbin dengan head yang sangat rendah
(head 1 m, debit air 120 liter/det, dengan kapasitas daya output listrik 900
watt) untuk diaplikasikan pada aliran kali. Sudah diuji di aliran
kali/pembuangan kebon raya cibodas, hasil pengujian sudah menghasilkan
daya seperti yang direncanakan 900 watt. Teknologi ini direncanakan akan
dipatenkan.
2. Turbin angin (PLTB), penelitian blade dari turbin angin (anggaran 2010,
DIPA Telimek)
3. Generator kecepatan rendah:
Sudah dihasilkan prototip generator kecepatan rendah bersama dengan
turbin head rendah yang diujikan di aliran kali kebon raya Cipanas.
Generator kecepatan rendah ini juga dirancang untuk PLTB. Inovasi
generator sudah diajukan untuk dipatenkan (untuk konstruksi)
4. Pengembangan PLTMH yang dilakukan oleh Puslit Telimek Sudah
diaplikasikan di masyarakat, diantaranya di Garut dan Tasikmalaya
Propinsi Jabar. Pengembangan PLTMH dilakukan juga oleh BPTG-LIPI
Subang (kerjasama dengan Puslit Telimek) dan sudah diaplikasikan di
beberapa tempat seperti Makki dan Wamena-Papua, Enrekang -Sulawesi
Selatan, serta Nagrak dan Subang Jabar.
Hasil litbang Pusat Teknologi Dirgantara Terapan - LAPAN dalam inovasi
PLTB diantaranya adalah pengembangan PLTB 80 - 1000 W untuk pengadaan
listrik wilayah desa terpencil dan nelayan; pemetaan potensi angin dilakukan
dalam rangka memetakan daerah-daerah yang mungkin dikembangkan untuk
dipasang PLTB baik untuk skala kecil maupun besar di wilayah Indonesia; desain
PLTB skala 30 - 50 kW; siatem hibrid PLTB (panel surya dan turbin angin) untuk
lampu jalan atau penerangan lainnya dan telah diuji cobakan di Parepare dan
Bantul, dan akan menyusul untuk berbagai daerah. Selain sistem pembangkit, juga
dilakukan berbagai rancang bangun instrumentasi seperti anemometer (pengukur
potensi angin), AWS (Automatic Weather Station) dan Tidegauge (alat pengukur
pasang surut). Instrumentasi tersebut telah diujicobakan bekerjasama dengan
berbagai instansi terkait dan telah berhasil memberikan informasi yang
dibutuhkan secara baik dan akurat. Instrumentasi-instrumentasi tersebut juga
dilengkapi dengan sistem informasi sehingga dapat memantau potensi angin,
temperatur, tekanan udara, ketingggian air permukaan dan sebagainya dari jarak
jauh.
Dalam diseminasi hasil litbang teknologi PLTB, kegiatannya dilakukan
bersama sama LPND/LPD, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, serta lebih jauh
melalui kerjasama litbang luar negeri. Lebih rinci kegiatan kerjasama yang
dilakukan oleh puslit Teknologi Terapan Dirgantara - LAPAN ini, sebagaimana
ditunjukkan dalam ringkasan berikut:

120
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Kerjasama dengan LPND/LPD: Balitbang ESDM (2001):


Pemanfaatan/operasionalisasi 1 unit turbin angin kapasitas 1000 watt di unit
pemukiman transmigrasi (UPT) Oitui-Bima, NTB, (2001); dan Puslitbang
Telimek-LIPI, kerjasama penelitian teknologi PLTB.
Kerjasama dengan Perguruan Tinggi: ITB dalam rekayasa teknologi PLTB;
UGM kerjasama dalam rangka pemetaan sosial ekonomi masyarakat provinsi
Yogyakarta, sehubungan dengan rencana pengembangan techno-park energi
di Kabupaten Bantul yang akan diresmikan pada tahun 2010, dan beberapa
perguruan tinggi lainnya seperti Udayana, dan Univ. Kupang terkait dengan
program monitoring implementasi teknologi PLTB yang dipasang di kedua
provinsi Bali dan NTT.
Kerjasama dengan Pemda:
1. Pemda Bangka Belitung: Pemanfaatan teknologi PLTB untuk pembangkit
tenaga listrik dan pemompaan air, 2007;
2. Kabupaten Halmahera Tengah dan Kab. Maluku Tenggara: Pelatihan dan
sosialisasi manfaat PLTB (2005);
3. Kabupaten Sumenep: (1) Implementasi teknologi PLTB kapasitas 25,5 kW,
dan sosialisasinya kepada operator dan masyarakat pengguna; (2) Kajian
pemanfaatan PLTB terpasang, dan (3) Pemasangan teknologi PLTB untuk
penyediaan listrik di Pulau Giliyang, Kecamatan Dungkek, Kabupaten
Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur, (2005);
4. Sumatera Utara: Pemanfaatan PLTB untuk pembangkit tenaga listrik dan
pemompaan air, (2005);
5. Pemda D.I. Yogyakarta yang difokuskan di Kabupaten Bantul: Pemanfaatan
Sistem Konversi Energi Angin PLTB untuk penyediaan tenaga listrik 10 kW
dan sosialisasi dan pelatihan pengembangan dan pemanfaatan PLTB;
Sebagai lokasi untuk uji coba pengembangan dan pemanfaatan berbagai
prototip PLTB untuk penyediaan jasa listrik dan pemompaan air di
Kabupaten Bantul, (2002); Pemanfaatan Sistem Pemompaan Tenaga Angin
(SPTA) untuk pengadaan air minum dan pengairan lahan pertanian, (2003).
Tahun 2010 (s.d. akhir Desember) ditargetkan sebanyak 48 unit kincir
angin akan dipsang di pesisir Kabupaten Bantul, terpilih sebagai lokasi
pembangunan kincir angin, yang difokuskan di Pantai Pandansimo,
Kecamatan Srandakan.
Kerjasama dengan pihak Industri:
Smart Aviation Indonesia, PT: Perancangan, fabrikasi dan prototyping;
Pengujian dan sertifikasi produk; dan Industrialisasi dan pemasaran
produk (2006)
Indokomas Buana Perkasa, PT: (1) Pembuatan perangkat lunak dan
perangkat keras; (2) Pemasyarakatan produk dan jasa teknologi PLTB; (3)
Peningkatan kemampuan dan keterampilan dan Relokasi 5 unit turbin
angin dari Bulak Baru dan Kali Anyar ke Pulau Karya, Kep. Seribu, Provinsi
DKI Jakarta,(2003).

121
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Prasetya Indra Barata (PIB), PT: (1) Relokasi turbin angin milik LAPAN
dari Desa Bulak Baru dan Kali Anyar ke Desa Tanggul Tlare sebagai sarana
penerangan tambak udang milik PT. PIB; (2) Pemasangan turbin angin
TOCARDO untuk kepentingan pemompaan air di areal tambak udang milik
PT. PIB; (3) Penelitian bersama; (4) Evaluasi pemanfaatan PLTB untuk
tambak udang. dan Pemanfaatan PLTB melalui relokasi turbin angin dari
Desa Bulak Baru dan Kalianyar ke Desa Tanggul Tlare, (2002).
Kandiyasa Energi Utama, PT: (1) Penyediaan perangkat lunak dan
perangkat keras PLTB; (2) Pemasaran dan pemanfaatan produk PLTB; (3)
Jasa teknologi di bidang penelitian, pengembangan dan pemanfaatan PLTB
(2005).
PLN (Persero) Litbang Ketenagalistrikan: (1) Evaluasi data potensi angin
di lokasi terpilih; (2) Kajian pemanfaatan PLTB skala besar; (3) Desain
prototip kapasitas 300 kW; (4) Desain prototipe sistem kontrol
interkoneksi ke jaringan PLN; (5) Pembuatan prototype kapasitas 300 kW;
(6) Pilot project skala besar interkoneksi ke jaringan PLN. (2005).
Hasil pengumpulan data lapangan didiskusikan dengan nara sumber dari
lembaga penelitian yang bersangkutan dalam forum Focus Group Discussion (FGD).
Hasilnya menunjukkan hambatan dan alternatif penyelesaiannya dalam kegiatan
inovasi PLTMH & PLTB. Hal mana juga menunjukkan keinginan para peneliti untuk
melanjutkan kegiatan inovasi, terutama yang terkait dengan kebijakan, manfaat
ekonomi, kondisi (kemampuan) masyarakat sosial, dan teknologi (produk litbang).
Temuan lapangan sebagai bahan diskusi FGD ditunjukkan dalam Tabel 4.1 dan
Tabel 4.2.

Tabel 4.1. Rangkuman Pengumpulan Data Inovasi PLTMH Puslit Telimek LIPI
FAKTOR PUSAT PENELITIAN PENGELOLA PLTMH & PLTB
PENGHAMBA
No
T/PENDORO Penelitian Dasar/ Demonstrasi/Kome Masalah/Hambatan Alternatif
NG Terapan rsialisasi /Kendala Penyelesaian

(a) (b) (c) (d) (e) (f)

1 POLITIK/ Melakukan Kebijakan kerja Untuk kasus di Untuk kasus di


penelitian lanjut sama pengujian Tasikmalaya Tasikmalaya
KEBIJAKAN
PLTMH teknologi produk Penerapan Kebijakan
litbang dengan teknologi PLTMH yang diambil
pihak yang harus adalah
berkompeten. menguntungkan penghentian
masyarakat. sementara
operasional
PLTMH,
sampai ada
perbaikan.

122
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

2 EKONOMI Dana berasal dari Runner Turbin Kasus di Dana


DIPA, Ristek. Crossflow sdh Tasikmalaya. Biaya diperoleh dari
dipatenkan dan untuk iuran bulanan
siap pembangunan masyarakat
dikomersielkan. PLTMH dan setempat atas
teknologi belum dasar besar
Dana berasal dari
siap, sehingga kecilnya
Dikti, dan juga ada
membebani penggunaan
kerja sama dg
operasional listrik, titik
Malaysia (waitro),
koperasi sebagai lampu
Kerjasama dg TTG
pengelola PLTMH.
Subang (termasuk
sbg pemasar
PLTMH)
Rencana lanjut
setelah PLN
terpasang, PLTMH
akan digunakan
untuk mendukung
pabrik teh yang
akan dibangun LIPI.

3 SOSIAL ----- Turbine putaran PLTMH di Koperasi


sangat rendah head Tasikmalaya belum PLTMH
1 m debit 120 l/det sepenuhnya Tasikmalaya
daya 900 Watt. diuji tersosialisasikan sudah
cobakan di Kebon dengan baik pada terbentuk,
Raya LIPI Cibodas masyarakat. adapun jumlah
dengan harapan pelanggan
masyarakat yg listrik 40 KK
berkunjung dapat hasil dari
mengetahui. iuran listrik
warga/bulan
mencapai Rp
Dilakukan di : Garut 550.000,-
(lok:Cisewu) daya dengan
10 KW karyawan
pengelola aktif
Tasikmalaya
3 orang.
(lok:Cibunar) daya
30 KW. dengan
membangun
kelompok untuk
pengelolaan dan
direncanakan
sesuai dengan
potensi yang ada di
lapangan.

4 TEKNOLOGI Turbin Pelton Untuk PLTMH daya Untuk Turbine Pengujian


(head tinggi), 30 Kw sudah putaran sangat dilakukan oleh
Crosflow (head terpasang di desa rendah head 1 m para peneliti
sedang 3 20 m), Cibunar Kec. debit 120 l/det daya dan teknisi

123
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Propeler (head Pageurageung Kab. 900 Watt masih dari Puslit


rendah < 3m), Tasikmalaya. belum Telimek,
Turbine putaran mendapatkan teknologi
Garut (lokasi:
sangat rendah paten. Sedangkan dibangun
Cisewu) daya 10
head 1 m debit untuk Generator sederhana,
KW (potensi air
120 l/det daya putaran rendah dalam arti
didaerah ini relatif
900 Watt. terbentur pada mudah
besar), dana
Generator pembuatan dioperasikan
penelitian dari
putaran rendah. permanent magnit, dan mudah
Ristek, dikelola
Blade yang sama sampai dengan saat dimengerti
oleh koperasi yang
dirancang juga ini belum terwujud. bagi pengelola,
dibentuk oleh
untuk turbin serta handal,
Telimek.
angin. dan suku
(Diseminasi
PLTMH daya 30 Kw cadang harus
Turbine putaran PLTMH, untuk
sudah terpasang di mudah
sangat rendah menghasilkan
desa Cibunar Kec diperoleh
head 1 m debit listrik bagi
Pageurageung dipasaran
120 l/det daya masyarakat)
kab.Tasikma-laya. setempat.
900 Watt.
generator Masalahnya pada
Diujicobakan di
kecepatan rendah perencanaan
kebon Raya
bekerjasama (pengelolaan)
Cibodas, beserta
dengan industri penerapan
Generator
turbin angin teknologi yang tidak
putaran rendah
melalui sistem benar, terutama
yang dirancang
PLTB (pembangkit dalam hal
untuk PLTB
listrik tenaga pemanfaatan air.
sedangkan
bayu) dibangun di Terjadi benturan
Runner Turbin
daerah (Bojong- kepentingan
Crossflow PLTMH
koneng Bandung) dengan pihak petani
pengujian
setempat (untuk
dilakukan dengan
pengairan sawah),
pihak PLN.
dan utk lokasi yang
jauh dari PLTMH
listrik yang
diberikan kepada
masyarakat tidak
memuaskan
(redup) karena
jaringan transmisi
tidak dilengkapi
dengan
tranformator.
Teknologi kurang
handal baru, 1
minggu beroperasi
sudah trouble, belt
putus, bearing
cepat rusak, saat
dioperasikan
getarannya cukup
tinggi. Dari sisi
ekonomi tidak
menguntungkan,
biaya perawatan
mencapai Rp
2.500.000,-,

124
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

sementara iuran
anggota baru
mencapai Rp.
550.000/bulan

Pada saat ini


kondisi mesin
PLTMH sudah
diperbaiki dan
tidak ada getaran
lagi. Namun belum
dioperasikan
karena air sedang
digunakan untuk
irigasi sawah.
(musim kering)

Tabel 4.2. Rangkuman Pengumpulan Data Inovasi PLTB


Pusat Teknologi Dirgantara Terapan - LAPAN
FAKTOR PUSAT PENELITIAN HASIL PENGAMATAN LAPANGAN
PENGHAMBA
No
T/PENDORO Penelitian Dasar/ Demonstrasi/Kome Masalah/Hambata Alternatif
NG Terapan rsialisasi n/Kendala Penyelesaian

(a) (b) (c) (d) (e) (f)

1 POLITIK/ Kebijakan Diarahkan untuk Pemerintah Pemerintah


pimpinan LAPAN bekerjasama Daerah Bantul Daerah
KEBIJAKAN
dalam dengan PLN, Pemda menyambut baik menyiapkan
pengembangan dan Industri kegiatan dana
PLTB dirasakan penerapan pendamping
kurang teknologi. Perlu untuk
mendukung terkait Kerjasama dengan disiapkan SDM, menyiapkan
prioritas penelitian Pemda dan infrastruktur dan kebutuhan
saat ini lebih Menristek untuk industri infrastruktur
kepada membangun desa pendukung di dan SDM dalam
pengembangan mandiri di Bantul daerah penerapan
teknologi roket Joyakarta teknologi,
koordinasi
teknis dengan
instansi terkait
maupun
perguruan
tinggi,
penyediaan
dan pelatihan
SDM, dan
industri
pendukung.

125
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

2 EKONOMI Dana penelitian LAPAN, tidak Saat ini Diusulkan


disediakan dari menyediakan pengoperasian perlunya
anggaran DIPA anggaran khusus PLTB tidak kebijakan
untuk demonstrasi menguntungkan, pemerintah
dan komersialisasi karena hasil yang mengatur
perhitungan harga jual
menunjukkan listrik PLTB
Kegiatan nilai jual disubsidi oleh
demonstrasi, lebih listriknya masih pemerintah
diarahkan untuk lebih mahal
penyediaan sistem dibandingkan
perangkat keras listrik PLN agar
PLTB di lokasi tercapainya BEP
penerapan (uji (investasi dan
coba) perawatan)

3 SOSIAL Sosialisasi sistem Sosialisasi PLTB Saat ini belum ------------


PLTB dilakukan dilakukan diserahkan
dengan bekerjasama kepada suatu
penyebaran brosur dengan Menristek kelompok dalam
yang memuat dalam penyediaan pengelolaan PLTB,
spesifikasi teknis, dana terkait nilai
ekonomi yang
belum terpenuhi
sosialisasi sistem
PLTB juga
dilakukan melalui
seminar.

4 TEKNOLOGI Penelitian Uji coba dan demo Teknologi masih Diperbaiki


teknologi konversi PLTB di kabupaten kurang handal, oleh teknisi
energi angin Bantul untuk: masih sering dari LAPAN
berorientasi rusak
1. Penerangan
kepada pengguna
masjid, dan
(spin-off) Sistem
rumah contoh
Kerusakan dimodifikasi
dalam kawasan
instalasi karena (disempurnak
Laboratorium
Penelitian meliputi cuaca an)
Alam Milik
potensi angin,
Pemda
perancangan PLTB,
Bakosurtanal
pengujian
dan UGM.
komponen,
diseminasi 2. Penerangan dan
pengairan untuk
kelompok
Tersedia lapangan peternakan sapi
uji coba di (penggemukan
Jogyakarta (Balai sapi) di desa
Penelitian

126
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Perikanan Dinas Waru dan


Perikanan
3. Penerangan
Pemdakab Bantul
pantai dan
di TPI SAMAS)
mesjid di Depok-
Parangtritis.
Penerapan PLTB di
Bantul 20 unit a
Melakukan
daya10 kW, 2 unit
pengujian dan
a daya 10 kW, 1
pemasangan PLTB
unit daya 50 kW.
dari swasta
Pembuatan PLTB
ini bekerjasama
dengan PT. Pindad
PLTB untuk
nelayan, dipasang
di kapal penangkap
ikan, sudah
diproduksi oleh
swasta

Analisis terhadap perolehan data menunjukkan bahwa: (a) Pengelolaan


litbang tidak terlepas dari prosedur birokrasi. Birokrasi ini pada satu sisi
menghambat proses inovasi karena rutinitas kerja lembaga litbang pemerintah
yang belum sepenuhnya melakukan penyesuaian terhadap tuntutan
profesionalisme dalam penyelenggaraan pengelolaan litbang. Sehingga
pengelolaan litbang terkesan kaku dalam membangun kemampuan lembaga
litbang untuk berinteraksi dengan lembaga litbang lainnya maupun dengan
stakeholder; (b) Beberapa kasus penelitian yang dilakukan untuk pengembangan
sistem PLTMH & PLTB terkendala dalam alokasi pembiayaan karena perencanaan
dan implementasi tidak konsisten sampai pada hasil implementasi ke masyarakat;
(c) Komersialisasi dan penerapan hasil penelitian terkesan merupakan kegiatan
lain atau dilakukan oleh unit kegiatan lain. Sehingga belum terintegrasinya
kegiatan penerapan dalam satu paket kegiatan penelitian; dan (d) Beragamnya
institusi litbang yang sudah terbangun di negeri masih belum mampu mendorong
pemanfaatan teknologi, khususnya teknologi energi terbarukan dari air dan angin
atau secara spesifik disebut teknologi PLTMH & PLTB, bagi kesejahteraan
masyarakatnya. Sejalan dengan ini Aiman dkk. (2007) dalam workshop National
Innovation System (NIS) menguraikan bahwa institusi penelitian dan
pengembangan publik di bawah koordinasi Presiden Republik Indonesia
terpetakan sebagai berikut: (1) Institusi Penelitian dan Pengembangan Pemerintah
Non Departemen, (2) Institusi Penelitian dan Pengembangan Kementrian Ristek,
(3) Institusi Penelitian dan Pengembangan Departemen Teknis, (4) Bappenas, (5)
AIPI - Indonesian Academic of Sciences. Secara spesifik dinyatakan pula bahwa
sampai saat ini telah terbangun kelembagaan untuk memfasilitasi kegiatan alih
teknologi dalam kerangka inovasi, diantaranya adalah BTC (oleh BPPT), SENADA
(oleh Pemerintah Jawa Barat), Pusat Inovasi (oleh LIPI), dan BBRC (LIPI, BPPT).
Sementara media untuk kegiatan diseminasi juga tersedia, baik melalui jurnal

127
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

ilmiah, forum eksibisi industri, informasi di media masa, dan informasi melalui
penyiaran radio dan televisi.

Berbagai langkah ditempuh unit penelitian dalam lembaga litbang


pemerintah dalam usaha mendekatkan hasil penelitiannya ke masyarakat sepertti
terlihat dalam pengelolaan inovasi PLTMH & PLTB. Hal mana ditempuh karena
kelembagaan formal yang sudah dibentuk belum sepenuhnya mampu untuk
mengalihkan teknologi yang ada ke masyarakat. Upaya-upaya dan terobosan yang
dilakukan unit lembaga litbang ini tentunya dilakukan dengan berbagai
keterbatasan yang timbul karena berbagai sebab dan berpulang pada belum
terencanakannya kegiatan secara matang. Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan
Mekatronika - LIPI melakukan terobosan inovasi PLTMH melalui penelitian dan
pengembangan yang hasilnya diterapkan dan diuji-cobakan pada kelompok
masyarakat. Terobosan ini pada dasarnya ditempuh peneliti dengan pemahaman
bahwa hasil penelitian harus dapat berfungsi sebagai pendorong kegiatan
masyarakat dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka. Dalam
kenyataannya, berbagai kendala ditemukan dalam kegiatan ini yang berpulang
kepada kesiapan teknologi yang akan diterapkan atau didifusikan, kemampuan
peneliti dalam mengkoordinasikan kegiatannya dengan pemerintah daerah
sebagai fasilitator, serta keterbatasan anggaran penelitian yang birokratis. Dalam
kasus teknologi PLTMH ini, pertanyaan mendasar yang belum terjawab adalah
sampai seberapa jauh keandalan suatu sistem teknologi dapat diterapkan di
masyarakat, walaupun itu masih dalam proses uji coba atau penelitian. Hal ini
perlu diperhatikan mengingat kerjasama yang berkelanjutan dibangun dengan
dasar komunikasi dua arah dan kerjasama dilakukan untuk saling menguntungkan.
Sehingga kegagalan sistem, baik karena adanya masalah sosial budaya maupun
teknologi, berpotensi untuk melemahkan kerjasama ini. Oleh karena itu, walaupun
masih dalam rangka penelitian setidaknya sistem yang terintegrasi sudah diuji
cobakan dalam skala laboratorium sebelum diterapkan di masyarakat.
Secara bersamaan terobosan inovasi teknologi PLTB juga dilakukan Pusat
Teknologi Dirgantara Terapan LAPAN yang melakukan uji coba kelayakan
teknologinya melalui kerjasama dengan pemerintah daerah. Hasil pengumpulan
data dari penelitian ini menunjukkan bahwa kerjasama yang sudah dibangun
antara lain dengan pemerintah daerah seperti , propinsi Sumatera Utara, DI
Yogyakarta, pemda kepulauan Bangka Belitung, dan kabupaten Sumenep.
Kegiatannya pada umumnya implementasi teknologi PLTB untuk pembangkit
listrik. Sejalan dengan ini, unit litbang juga sudah melakukan kerjasama dengan
perguruan tinggi ITB untuk proses diseminasi dan industri seperti untuk Smart
Aviation Indonesia, Indokomas Buana Perkasa, Prasetya Indra Barata, Kandiyasa
Energi Utama, PLN (Persero) Litbang Ketenagalistrikan, untuk perancangan,
pabrikasi dan atau pembuatan prototipe. Seperti halnya pada kasus penerapan
teknologi PLTMH, penerapan teknologi PLTB oleh Pusat Teknologi Dirgantara
LAPAN juga terkendala oleh berbagai sebab. Hasil pengumpulan data melalui
wawancara, FGD dan observasi memperlihatkan bahwa keandalan teknologi PLTB
masih perlu ditingkatkan bersamaan dengan peningkatan efisiensi terkait pada
biaya instalasi. Pengoperasian dan pemilihan lokasi PLTB tidak atau kurang sesuai

128
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

karena kurangnya data potensi angin dan tata letak peralatan tidak ditunjang oleh
studi atau penelitian yang komperhensif. Selanjutnya secara khusus perlu juga
ditingkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia pengelola teknologi PLTB.
Hasil analisis tersebut di atas pada dasarnya sejalan dengan pendapat pakar
dalam diskusi FGD, yaitu sebagai berikut:
Prioritas pertama yang perlu dilakukan adalah faktor Politik/kebijakan
(baik pimpinan Lembaga/kebijakan nasional): Kebijakan dan kemauan baik
pemerintah sangat menentukan apakah suatu teknologi merupakan
prioritas dalam pengembangan dan penerapannya di masyarakat
(perencanaan dan implementasi yang konsisten);
Prioritas ke dua adalah faktor Ekonomi: Pertimbangannya adalah nilai
tambah bagi masyarakat, saat ini bahkan berkembang kepada ekonomi
yang berdampak pada lingkungan (pencemaran lingkungan yang harus
dibayar oleh masyarakat kedepan);
Prioritas ke tiga adalah faktor Sosial: Pertimbangan mengapa faktor sosial
merupakan prioritas ketiga yang perlu diperhatikan terkait pada
permasalahan yang kerap timbul di masyarakat dalam pemanfaatan
teknologi hasil litbang, khususnya sistem PLTMH & PLTB. Kasus ini terkait
pada sisi sosial kemasyarakatan, seperti manajemen operasional, SDM yang
tersedia, penentuan harga jual listriknya, budaya masyarakat, dan
sebagainya;
Prioritas ke empat adalah faktor Teknologi: Pada prinsipnya lembaga
litbang mampu melakukan pengembangan teknologi dengan berorientasi
pada kebutuhan masyarakat, baik dari sisi nilai jual alat (investasi awal
yang rendah terhadap kwh output) maupun pemenuhan kebutuhan daya
listriknya.

Lebih dalam analisis terhadap linkage lembaga litbang dan stakeholder


menunjukkan bahwa inovasi PLTMH & PLTB yang dibangun lembaga litbang
pemerintah LIPI maupun LAPAN terkait pada interaksi kelembagaannya terkesan
unik dan merupakan proses pembelajaran dalam pengembangan produknya.
Kerjasama yang sudah dibangun kerap kali terkendala faktor teknologi, oleh
karena itu perlu kembali dipertanyakan sampai sejauh mana teknologi yang sudah
dibangun lembaga litbang dapat diuji cobakan ke masyarakat. Hal ini perlu
ditekankan karena konsep inovasi yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa
proses inovasi merupakan proses pembelajaran yang mengikut sertakan
stakeholder. Sementara dari sisi yang lain, dipahami bahwa kerjasama dibangun
berdasarkan tingkat kooperasi, penyelesaian konflik dan tingkat kepercayaan.
Kegagalan implementasi PLTMH & PLTB karena ketidak-andalan teknologinya
secara keseluruhan sangat mempengaruhi interaksi dengan stakeholder. Oleh
karena itu alangkah baiknya jika teknologi yang akan diujicobakan
(diimplementasikan atau didifusikan) ke masyarakat sudah melalui proses ujicoba
secara keseluruhan di lembaga litbang yang bersangkutan.

129
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan hasil analisis yang sudah
dilakukan, pada priinsipnya inovasi teknolgi PLTMH & PLTB di lembaga litbang
pemerintah sudah dilakukan, akan tetapi dalam kegiatannya masih ditemukan
berbagai kendala sehingga kegiatan ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik,
terutama dalam proses difusi teknologinya. Lebih rinci pada bab ini akan
disimpulkan hasil pembahasan analisis kegiatan inovasi PLTMH & PLTB di
lembaga litbang pemerintah serta interaksinya dengan shareholder maupun
stakeholdernya sebagai berikut:
3. Kebijakan nasional energi terbarukan dalam pemanfaatan energi terbarukan
sudah cukup baik ditunjukkan dari terbitnya UU tentang energi, demikian pula
kebijakan daerah yang ditunjukkan dari RKPD. Sementara itu kebijakan
pimpinan terkait dengan aspek birokrasi dalam kegiatan inovasi Sistem
PLTMH & PLTB di lembaga litbang pemerintah berpotensi sebagai penghambat
proses inovasi karena menumbuhkan rutinitas kerja lembaga litbang
pemerintah yang terkesan kaku dalam membangun kemampuan lembaga
litbang untuk berinteraksi dengan lembaga litbang lainnya (shareholder)
maupun dengan stakeholder.
4. Faktor ekonomi menunjukkan bahwa perlunya dipahami peningkatan nilai
tambah bagi adopter dengan diterapkannya teknologi di daerahnya.
5. Faktor sosial berpengaruh dalam keberhasilan inovasi PLTMH & PLTB terkait
pada kesesuaiannya dengan masyarakat pengguna. Ketidaksiapan masyarakat
dalam menerima teknologi pengguna merupakan hambatan dalam proses
inovasi, terutama dalam kegiatan sosialisasi dan difusi teknologinya.
6. Faktor teknologi terkait pada kesiapan teknologi sistem PLTMH & PLTB
lembaga litbang pemerintah yang kurang menyebabkan masih memerlukannya
pengujian sistem lebih lanjut agar didapatkan hasil yang optimum. Sistem yang
belum teruji, jika diuji cobakan pada kelompok masyarakat dapat
mempengaruhi persepsi masyarakat yang kurang baik terhadap teknologi hasil
litbang. Oleh karena itu sampai seberapa besar keandalan suatu teknologi
sistem PLTMH & PLTB untuk sampai pada tahap difusi dan penerapan
merupakan hal yang penting dalam pengelolaan inovasi di lembaga litbang.

SARAN
Analisis terhadap pengelolaan inovasi teknologi PLTMH/ PLTB terkait pada
rantai inovasi serta interaksi kelembagaan yang sudah dibangun adalah sebagai
berikut:
Perlunya dibangun perencanaan kegiatan penelitian pengembangan PLTMH &
PLTB yang berkelanjutan untuk perolehan produk litbang yang optimal, baik
dalam koordinasi unit kelembagaan di dalam institusi maupun antar institusi.
Pada sisi kebijakan perlunya sikap tegas dan kemampuan enterprenuer untuk
mewujudkan produk litbang yang berdayaguna dalam peningkatan nilai

130
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

tambah yang berujung pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Dengan


demikian berarti, penyelenggaraan kegiatan litbang lebih didasarkan pada
sikap profesionalisme dan bukan pada birokrasi yang terkesan kaku.
Perlunya penguatan kelembagaan litbang dengan membangun infrastruktur
kelembagaan litbang yang didukung kebijakan pimpinan yang
memprioritaskan inovasi sistem PLTMH & PLTB yang berujung pada
peningkatan nilai tambah masyarakat pengguna (pengetahuan, ekonomi, dan
lingkungan sosial).

DAFTAR PUSTAKA

Abdinagoro, Sri Bramantoro. 2003. 25 Langkah Menjalankan Bianis.Penerbit


Republika. Jakarta.
Aiman, Syahrul dkk. 2007. Commerzialization Of Public R&D in Indonesia. (
www.unescap.org.tid/ projects/sisindo, diakses Oktober 2010)
Arianto, Gatot. 2010. Sudahkah Petani Merdeka?. (http://17-08-
1945.blogspot.com/2010/08/koran-digital-gatot-irianto-sudahkah.html,
diakses September 2010)
Chandra, Boby. 2009. Potensi Air Jawa Barat Bisa Penuhi Kebutuhan Listrik Ribuan
Keluarga.http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/04/15/brk,20
090415-170473,id.html, diakses Juni 2010)
Dewan Riset Nasional (DRN). 2006. Agenda Riset Nasional 2006 2009.
(http://www.batan.go.id/ sjk/download/arn.pdf, diakses Juni 2010)
ESDM. 2008. Data Implementasi PLTMH 2008. Jakarta
Grubb, Michael. 2003. Analytic And Transatlantic Divisions In Responding To
Climate Change. Presentation to HGDC seminar, Cambridge.
(http://www.slidefinder.net/p/ppt00036/ 7509060, diakses Maret 2010)
Habibie,BJ. 2010. Beberapa Catatan tentang Kebutuhan Energi Indonesia Masa
Depan. (http://tsdipura.files.wordpress.com/2010/02/2010-beberapa-
catatan-tentang-kebutuhan-energi-indonesia-masa-depan_bjhabiebie.pdf),
diakses Juni 2010.
Hasibuan, Malayu . 2003. Organisasi dan Motivasi : Dasar Peningkatan Produktivitas.
PT. Bumi Aksara. Jakarta
Hendry. 2010. Iklim Organisasi. http://teorionline.wordpress.com/category/teori-
iklim-organisasi, diakses Maret 2010)
IMIDAP. 2010. Potensi Listrik Jawa Timur.
(http://imidap.mikrohidro.net/index.php?option=
com_content&view=article&id=99:potensi-listrik-jawa-
timur&catid=21:announcement&Itemid=57, diakses Juni 2010.)

131
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Kompas. 2008. Indonesia Power Targetkan 11 PLTMH di Jateng.


(http://nasional.kompas.com/read/
2008/08/07/19322397/Indonesia.Power.Targetkan.11.PLTMH.di.Jateng,
diakses Juni 2010.)
Kompas. 2010. PLT Angin 10 MW di Sukabumi Pasok PLN.
(http://www.alpensteel.com/article/47-103-energi-angin--wind-turbine--
wind-mill/3821--bangun-pembangkit-listrik-tenaga-angin-dengan-
melibatkan-pt-dirgantara-indonesia-dan-lipi.ht ml, diakses Juni 2010)
Kurniawan, Basuki. 2007. Mengapa Mikrohidro. Seminar Nasional Teknologi 2007-
Jogyakarta. (http://www.scribd.com/doc/41521916/MENGAPA-
MIKROHIDRO , diakses Juni 2010)
Maryono, Agus. 2008. Revolusi Energi Di Indonesia Pembangkit Listrik Tenaga
Mikrohidro (PLTMH) Sebagai Jawaban Krisis Listrik Di Indonesia.
(http://elkace.wordpress.com/ 2008/02/18/pltmh-sebagai-jawaban-
krisis-listrik-di-indonesia/, diakses Juni 2010)
Masyarakat Energi Angin Indonesia. 2010. Program Klaster Energi Angin.
Sarasehan energi baru terbarukan (www.energiterbarukan.net, diakses
Desember 2010)
Mulgan, Geoff; David Albury. 2003. Innovation In The Public Sector.
(http://www.michaellittle.org/documents/Mulgan%20on%20Innovation.p
df, diakses Oktober 2010)
Mulyana. 2008. Peranan Komunikasi Dalam Difusi Teknologi.
(http://wsmulyana.wordpress.com, diakses April 2009)
Niesen, Mark. 2001. Process Innovation.
(web.nps.navy.mil/~menissen/mn3309/lectures/ m09l18.ppt, diakses
April 2010)
Notodisuryo, Endro Utomo dkk. 2008. Peranan Energi Terbarukan Untuk
Pembangkit Energi Listrik dan Transportasi, Diskusi Interaktif METI, Jakarta.
(www.meti.or.id/, diakses Mei 2010)
OECD. 1999. Managing National Innovation Systems. OECD Publication. Paris.
Pemda Garut, 2009. Garut Potensial PLTB.
(http://www.garutkab.go.id/pub/news/detail/3107-garut-potensial-
pltb.html, diakses Juni 2010.)
Rahayu, Amy S. 2010. Lingkungan Organisasi.
(xa.yimg.com/kq/groups/22999204/ .../TEORI+ORG +(LINGKUNGAN).ppt,
diakses Maret 2010)
Reza, Muhammad. 2010. Konversi Energi - Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air
Untuk Pedesaan (Mikrohidro). (http://majalahenergi.com/forum/energi-
baru-dan-terbarukan/energi-air/tf-2106-konversi-energi-sistem-
pembangkit-listrik-tenaga-air-untuk-pedesaan-mikrohidro, diakses
November 2010)
Rogers, Everett . 1983. Diffusion of Innovations. Free Press, London

132
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Rothwell, Roy. 1994. Towards the Fifth-generation Innovation Process. International


Marketing Review, Vol 11No.1. MCB University Press.
Siahaan, Saut dkk. 2005. Studi Sistem Inovasi Serat Alam Ungul Sebagai Bahan Baku
Substitusi Industri Tekstil. LIPI Press. Jakarta
Siahaan, Saut dkk. 2006. Studi Penguatan Sistem Inovasi Agro Industri Gula
Nasional. LIPI Press. Jakarta
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Sumiarso, Luluk. 2010. Kebijakan Energi Baru dan Energi Terbarukan. Kementrian
ESDM (http://www.esdm.go.id/, diakses November 2010)
Taufik, Tatang A. 2006. Kebijakan Inovasi di Indonesia: Bagaimana Sebaiknya.
(www.scriebd.com/ doc/kebijakan, diakses Oktober 2010)
Van Ham, John. 2003. The CriticalSuccess Factors for the Commercial Application of
Emerging Alternative Energy Technologies, Innovation in Alternative Energy.
(www.thecis.ca/.../
John%20Van%20Hams%20prsentation%20March%2011%202003.pdf ,
diakses April 2010)
Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Prenada Galia, Jakarta
Winarno, Djoko. 2010. Pemanfaatan Energi Air: Minihidro dan PLTA di Indonesia.
Sarasehan energi baru terbarukan (www.energiterbarukan.net, diakses
Desember 2010)
Zhou, Changhui. 2007. Challenge in Innovation Research. Peking University Beijing.
China.

133
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

ANALSIS MODAL VENTURA DALAM PENINGKATAN INOVASI

Sri Mulatsih, Mohamad Arifin

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK
Modal ventura merupakan bagian dari pemecahan masalah di UKM, karena
memberikan modal dalam bentuk saham atau obligasi konversi, dan tidak untuk
melakukan investasi dalam rangka menerima dividen yang bersifat jangka
pendek, tetapi bersama-sama dengan perusahaan pasangan usaha (PPU) untuk
mengembangkan usahanya. PPU yang dimaksud disini adalah UKM yang
memperoleh pembiayaan dari modal ventura. Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan manfaat pembiayaan modal ventura terhadap kegiatan inovasi
di UKM. Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah perusahaan yang di
bawah PT Bahana Artha Ventura saja, yang berjumlah 21 PPU tersebar di
Jogyakarta, Jawa Barat, dan Medan. Walaupun pemanfaatan modal ventura untuk
kegiatan inovasi belum banyak, namun ada PPU yang melakukan pengembangan
penemuan baru untuk meningkatkan inovasi sebesar 14,3%, yaitu jenis usaha
makanan/minuman, konveksi dan pupuk. Selanjutnya sebanyak 4,8% PPU
melakukan penelitian dan rekayasa untuk pengembangan usahanya yaitu jenis
usaha permesinan. Dalam mengembangkan usahanya, PPU sudah ada yang
bekerjasama/bermitra dengan perguruan tinggi, antara lain industri permesinan
di bandung dengan ITB dan industri makanan di Sumatera Utara dengan USU.

Kata kunci: Inovasi, modal Ventura, UKM

PENDAHULUAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) mempunyai peranan dalam
perekonomian suatu negara ataupun daerah. Dalam beberapa dekade terakhir,
UKM telah berhasil meningkatkan jumlah produksi, nilai ekspor, penyerapan
tenaga kerja, inovasi baru dan peningkatan jumlah wirausaha baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Alasan-alasan yang mendasari negara
berkembang terus berupaya mengembangkan UKM ini antara lain: karena kinerja
UKM cenderung menghasilkan tenaga kerja produktif; sering mencapai
peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi (Berry
dalam Lestari, 2005).
Pada tahun 2007, sektor industri menyumbang Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia sebesar 22,4% dan meningkat menjadi 23% pada tahun 2008
(BPS, 2009). Sedangkan jumlah tenaga kerja industri yang terserap pada tahun

134
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

2008 sebesar 12,24% pada industri skala kecil, menengah dan besar. Namun
demikian, pada umumnya UKM Indonesia masih menghadapi berbagai kendala,
antara lain: 1) modal kerja yang minim; 2) kurang tenaga kerja terampil; 3) mutu
produk rendah; 4) biaya produksi tinggi (Wardoyo, 2003). Selain itu UKM pada
umumnya masih memiliki keterbatasan akses finansial, keterbatasan kepemilikan
teknologi, kemampuan manajerial rendah, keterbatasan jaringan pemasaran,
adanya resistensi kepada lembaga keuangan perbankan, dan akhirnya bermuara
pada rendahnya daya tawar produk UKM (Avnimelech,2003). Lebih jauh, akses
terhadap permodalan dan tingginya biaya memperoleh kredit merupakan kendala
mendasar bagi UKM untuk membiayai proses inovasinya.
UKM pada umumnya memiliki karakteristik untuk beresiko dan berbiaya
transaksi tinggi dalam proses perolehan modal. Hal ini disebabkan karena lembaga
keuangan (perbankan) harus melakukan pendataan lebih detail mengenai
eksistensi perusahaan. Sementara itu UKM di Indonesia sebagian besar masih
memiliki sistem manajemen pengelolaan aset dan sistem manajemen pengelolaan
resiko yang terbatas. Sehingga lembaga keuangan (perbankan) harus
mengeluarkan dana lebih banyak untuk mengantisipasi adanya kerugian dan biaya
transaksi yang besar.
Seiring dengan kendala-kendala yang dihadapi UKM ini, pemerintah pernah
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan. Ketentuan pelaksanaan lembaga pembiayaan ini tertuang dalam
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan yang kemudian telah
diubah dengan KMK Nomor 468/KMK.017/1995. Berdasarkan ketentuan ini,
lembaga pembiayaan melakukan kegiatan meliputi bidang usaha, diantaranya
adalah modal ventura.
Modal ventura merupakan bagian dari pemecahan masalah di UKM, karena
modal ventura merupakan modal dalam bentuk saham atau obligasi konversi, dan
tidak untuk melakukan investasi dalam rangka menerima dividen yang bersifat
jangka pendek, tetapi bersama-sama dengan perusahaan pasangan usaha (PPU)
untuk mengembangkan dan meningkatkan nilai dari PPU. Dalam Keppres tersebut
disebutkan bahwa perusahaan modal ventura adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu PPU, untuk :
1) pengembangan suatu penemuan baru, 2) pengembangan perusahaan yang pada
tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana; 3) membantu perusahaan yang
berada pada tahap pengembangan; 4) membantu perusahaan yang berada dalam
taraf kemunduran usaha; 5) pengembangan proyek penelitian dan rekayasa; 6)
pengembangan pelbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi baik dari
dalam dan dari luar negeri; 7) membantu pengalihan perusahaan.
Pada tahun 2006 jumlah perusahaan modal ventura tercatat ada 52
perusahaan (PMV), terdiri atas 20 perusahaan swasta nasional, 6 perusahaan
patungan, dan 26 perusahaan modal ventura daerah (PMVD). Berdasarkan data
yang diperoleh, jumlah PMV aktif sampai dengan 2007 hanya 34 perusahaan
dengan total akumulasi investasi sebesar Rp 3,05 trilyun dengan akumulasi
jumlah PPU sebesar 18.971 unit ( sumber PT BAV, 2010).

135
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Dalam mengemban misi untuk memberdayakan dan menumbuh-


kembangkan UKM agar dapat berkompetisi di arena global, PT BAV menyusun
program pendampingan manajemen untuk perkembangan UKM yang meliputi
seluruh aspek yang terkait dengan perkembangan UKM, yaitu mencakup : a)
training/workshop, b) iptek, c) manajemen, d) akses pasar, dan e) pengembangan
produk.
Berdasarkan uraian di atas dan mengingat besarnya potensi pendanaan
dari modal ventura yang diharapkan untuk mendorong kegiatan inovasi di sektor
industri, seperti yang telah dilakukan PT. BAV, maka perlu evaluasi terhadap
peran perusahaan modal ventura terhadap pelaksanaan kebijakan pembiayaan
modal ventura yang memfokuskan terhadap pencapaian dan peningkatan inovasi,
khususnya di UKM. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pemetaan inovasi yang dilakukan oleh UKM (dalam hal ini PPU) dari
pembiayaan modal ventura.
Beberapa penelitian dan tulisan mengenai modal ventura telah dilakukan,
namun demikian studi yang berkaitan dengan dampak keberadaan modal ventura
terhadap inovasi di sektor UKM masih relatif terbatas. Oleh karena itu, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan masukan baik kepada pembuat kebijakan
maupun kepada PMV dan PPU dalam meningkatkan inovasi di UKM Indonesia
agar berdaya saing baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan manfaat pembiayaan modal ventura terhadap kegiatan inovasi di
UKM

METODE PENELITIAN
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengisian lembar pertanyaan
(kuesioner) serta wawancara (interview) dengan beberapa narasumber dan
responden. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur dan
dokumentasi berupa naskah kebijakan pemerintah, kebijakan perusahaan, bahan
kepustakaan dalam bentuk buku, laporan hasil penelitian, jurnal serta dokumen
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Sampel
PPU yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah perusahaan yang di
bawah PT Bahana Artha Ventura saja. Dalam menentukan sampel terpilih, terlebih
dahulu perlu mengetahui kerangka sampel (sampling frame) yang berisi nama PPU
di setiap PMVD yang akan digunakan sebagai dasar pengambilan sampel. Hasilnya
diperoleh bahwa sekitar 90% PPU yang memperoleh pembiayaan dari modal
ventura adalah sektor perdagangan dan jasa yang dianggap kurang melakukan
kegiatan inovasi dalam usahanya. Dan hanya 2,17% PPU yang bergerak di sektor

136
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

industri yang sebagian besar tersebar di Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat dan
Sumatera Utara.
Atas pertimbangan tersebut dan terbatasnya dana penelitian, maka
pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling (sampling
kebijaksanaan) dan convinience sampling (sampling kemudahan) dengan memilih
PMVD di Yogyakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Karena teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan non probability
sampling (metode tak acak), maka hasilnya tidak dapat digunakan untuk
mengeneralisasi populasi. Selanjutnya adalah menentukan perusahaan pasangan
usaha (PPU) pada setiap PMVD secara subyektif, yang meliputi PMVD Yogyakarta 9
PPU, PMVD Jawa Barat 5 PPU, dan PMVD Sumatera Utara sebanyak 7 PPU.

Variabel Operasional
Untuk mempermudah pemahaman terhadap variabel-variabel yang
tercakup dalam penelitian ini, perlu dicantumkan pembatasan pengertian sesuai
dengan konteks dan lingkup penelitian yang dituangkan melalui variabel
operasional, sebagai berikut :

Tabel 1. Variabel Operasional Penelitian

No. Konsep Variabel


1 Pelaksanaan Pembiayaan Modal a.Lamanya perusahaan memperoleh
Ventura pembiayaan dari PMVD.
b.Jenis pembiayaan yang diminati
dalam penyertaan modal ventura.
c.Pertimbangan memilih sumber
pembiayaan modal ventura.

2 Kebutuhan PPU terhadap Penyertaan a.Jenis kebutuhannya apa


Modal b.Pembiayaannya apa digunakan untuk
inovasi
3 Proses dan Outcome Penyertaan a.Semenjak memperoleh biaya dari
Modal Ventura modal ventura apa terjadi peningkatan
produksi.
b.Berapa kali peningkatan produksinya.
c.Alasan peningkatan produksinya.
d.Mitra perusahaan
e. hambatan dan kesulitan dalam inovasi

137
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Metode Analisis

Dalam penelitian ini metode analisis yang digunakan pertama-tama adalah


analisis deskriptif yang terdiri dari analisis tabel yang digunakan untuk
mengetahui perbedaan karakteristik responden di setiap PPU. Kemudian
dilanjutkan dengan analisis kualitatif dari wawancara dengan stakeholders di
Perusahaan modal ventura. Adapun pengolahannya menggunakan program
Statistical Package for Social Science (SPSS). Alur pikir metodologi penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut :

Bagan. Kerangka Metodologi


Phase Procedure Product

Quantitative Cross sectional survey numeric data


Data Collection (n=21) categorie data

Frequencies Descriptive Statistics


Quantitative Data Analysis SPSS V.12
Purposive 3 PMVD
Conecting Quantitative and Developing interview Cases (n=3)
Qualitative Phases questions interview protocol
Individual in-depth with 3 Text data (interview
Qualitative PMVD transcripts, documents,
Data Collection Individual indept with 21 artifact description
PPU Image data
(photographs)

Coding and thematic Visual model of multiple


analysis case analysis
Qualitative Within-case and across- Codes and themes and
Data Analysis case theme development categories
Cross-thematic analysis Cross- thematic matrix

Interpretation and iscussion


Integration of the Quantitative and explanation of the mplications
Qualitative Phases quantitative and uture Research
qualitative result
Sumber : Nataliya V. Ivankova (2006)

ANALISIS PEMBIAYAAN MODAL VENTURA DALAM PENINGKATAN


INOVASI
Peta Kegiatan Inovasi yang Dilakukan PPU

Tiga kota yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini yaitu Bandung,
Yogyakarta, dan Medan menjadi letak perusahaan modal ventura daerah. Seperti
diketahui bahwa PT. Bahana Artha Ventura sebagai perusahaan modal ventura

138
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

nasional yang cukup besar, dalam mengoperasionalkan perannya sebagai lembaga


pembiayaan dibantu oleh 27 PMVD yang tersebar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan informasi temuan lapangan bahwa masing-masing PMVD ada
perbedaan dalam menerapkan kebijakan/program pemerintah tentang modal
ventura. Lembaga pembiayaan modal ventura daerah merupakan kepanjangan
tangan dari perusahaan modal ventura, dalam hal ini BAV sebagai perusahaan
modal ventura BUMN berperan mengembangkan dananya melalui PMVD itu
kepada PPU.
PT.Sarana Yogya Ventura mempunyai visi dan misi sesuai dengan kebijakan
pemerintah bahwa penyertaan modal ventura kepada PPU itu mencakup 7 tujuan,
antara lain: a) pengembangan penemuan baru; b) pengembangan perusahaan yang
mengalami kesulitan dana; c) membantu perusahaan dalam taraf pengembangan;
d)membantu perusahaan yang berada dalam tahap kemunduran; e)
pengembangan proyek penelitian dan rekayasa, dsb. Sementara untuk Bandung
dan Medan (Sarana Jabar Ventura dan Sarana Sumut), dalam menampilkan visi,
misi dan tujuannya tidak menjelaskan tentang kegiatan inovasi seperti yang
tertuang dalam 7 unsur tersebut.
Pada proses pengajuan pembiayaan modal ventura di tiga lokasi itu, pada
umumnya memang tidak disebutkan persyaratan yang menjelaskan mengenai
kegiatan inovasi. Sehingga PPU yang memperoleh dana juga tidak terlalu
memperhatikan manfaat khusus untuk kegiatan inovasi. Dengan mengidentifikasi
hasil temuan diketahui bahwa PPU yang cenderung melakukan inovasi di 3 kota itu
dikelompokkan kedalam 6 kelompok usaha, yaitu: 1) makanan/minuman; 2)
kerajinan; 3) konveksi; 4) perdagangan/jasa, 5) permesinan; dan 6) pupuk.

Modal yang digunakan menurut kebutuhan

Modal yang diterima oleh 21 PPU dari tiga PMVD yang diteliti diharapkan
untuk kebutuhan peningkatan inovasi produksi mereka, seperti yang tercantum
dalam kebijakan pemerintah dalam program pembiayaan modal ventura. Ada 7
tujuan pemerintah dalam penyertaan modal ventura kepada PPU. Berdasarkan
temuan lapangan, manfaat pembiayaan modal ventura yang diterima PPU ini
umumnya adalah untuk pengembangan usaha sebagai bagian dari tujuan
penyertaan modal ventura, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.

139
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Sumber : Hasil survey 2010 diolah tim

Gambar 1. Pemanfaatan Modal Ventura menurut Kebutuhan


Keterangan :
a. Perusahaan yang berada pada tahap kemunduran, berada pada tahap pengembangan dan
pengembangan penemuan baru
b. Perusahaan yang berada pada tahap pengembangan dan mengalami kesulitan dana
c. Pengembangan suatu penemuan baru
d. Perusahaan yang berada pada tahap kemunduran dan pengembangan suatu penemuan baru
e. Perusahaan yang berada pada tahap pengembangan dan penemuan baru
f. Perusahaan yang berada pada tahap pengembangan
g. Pengembangan perusahaan yang mengalami kesulitan dana
h. Pengembangan suatu penemuan baru, penelitian dan rekayasa
i. Perusahaan yang berada pada tahap pengembangan dan penggunaan teknologi baru
j. Perusahaan yang mengalami kesulitan dana penelitian dan rekayasa
k. Lainnya

Tampak bahwa dari 21 PPU, sebesar 14,3% PPU memanfaatkan


pembiayaan modal ventura ini untuk kebutuhan pilihan 1 yaitu pengembangan
suatu penemuan baru, tercakup didalamnya adalah pengembangan produksi dan
inovasi dengan ide-ide baru untuk menciptakan model dan produk baru.
Kemudian sekitar 10% PPU menggunakan modal ventura ini untuk kebutuhan
karena kesulitan dana dan untuk pengembangan, sementara 10% PPU
menggunakan modal untuk kebutuhan 1,2,3 dan 4, artinya PPU tersebut memang
butuh modal untuk pengembangan usaha karena mengalami kemunduran dan
kekurangan dana dan mereka ini juga bergairah mencari ide untuk meningkatkan
produksi.

140
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Alasan Peningkatan Produksi

Upaya meningkatkan produksi itu membutuhkan modal, dan ini diakui oleh
PPU walaupun dalam jumlah yang relatif berbeda-beda kebutuhannya tergantung
dari jenis usaha dan bentuk produknya. Kebutuhan untuk meningkatkan produksi
ini dilandasi oleh beberapa alasan, antara lain : 1) untuk meningkatkan
kualitas/mutu produk; 2) kebutuhan tenaga terlatih; 3) untuk membeli mesin
baru; 4) mengurangi kebutuhan material; 5) membuat produk baru; 6) untuk
memperluas pasar.
Alasan-alasan ini memberi gambaran tentang kondisi produksi dari 21 PPU
sebelum dan setelah menerima pembiayaan dari perusahaan modal ventura
daerah. Hasilnya adalah menunjukkan bahwa 10% PPU ingin meningkatkan mutu
produk, memiliki tenaga kerja terlatih dan memperluas pemasaran. Sementara
10% PPU lainnya menginginkan kualitas/mutu produknya meningkat, juga ingin
membuat produk baru dan memperluas pasar serta permintaan bertambah.
Demikian pula 10% PPU juga ingin meningkatkan mutu produk, memiliki tenaga
terlatih, bisa menghasilkan produk baru dan memperluas pasar. Dan PPU yang lain
pada umumnya ingin produknya berkualitas, punya tenaga terlatih, menghasilkan
produk baru dengan mesin baru, sehingga permintaan bertambah dan pasar
meluas.

Matrik Kegiatan inovasi yang dilakukan PPU


Data kualitatif yang dipetakan dalam bentuk matrik di bawah ini
merupakan deskripsi atau penjelasan terhadap kegiatan inovasi yang dilakukan
oleh 21 PPU yang dibiayai PMVD di Bandung, Yogyakarta, dan Medan tercakup
dalam 6 kelompok usaha. Di bawah ini dapat dilihat peta kegiatan inovasi yang
dilakukan oleh 21 PPU dalam matrik data kualitatif.
Tabel 2. Matrik kegiatan inovasi yang dilakukan PPU di 3 PMVD
Jenis usaha Hasil inovasi Nilai tambah Hambatan

1.Makanan/minu -Penghematan energi -Penghematan energi Banyak saingan, sehingga


man -Pengemasan produk mengurangi biaya harus terus
-Variasi rasa kue produksi meningkatkan kualitas
-Penyaring air minum -Meningkatkan kualitas produk (inovasi),
-Pasteurisasi jamur produk memperluas pasar, dan
-Mengolah limbah -Meningkatkan menambah modal.
singkong penjualan/pasar Tidak/belum ada
-Meningkatkan nilai lembaga litbang khusus
ekonomis dan yang menangani budi
lingkungan daya jamur.
-Membentuk plasma Mengajukan hak paten
jamur (kumpulan usaha dan merk dagang
jamur) dalam badan membutuhkan biaya dan
hukum wkt lama
-Menghasilkan air
minum menyehatkan

141
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

2.Kerajinan ide menciptakan -Meningkatkan mutu Untuk melakukan inovasi


model baru, -Memperluas pasar perlu modal lebih besar
mendesain sampai -Meningkatkan ilmu
dengan membuat dan pengalaman
contoh (sampel)
produk
3.Konveksi Ide membuat sprei Memanfaatkan Perlu modal untuk
dari kain perca limbah/sisa potongan membiayai inovasi.
Ide membuat model kain shg bernilai Keterbatasan pemasaran
pakaian jadi ekonomis

4.Permesinan Membuat pegas dan -meredam kebisingan


mesin lain berkualitas -eliminasi keretakan,
setara dengan mesin penghemat pemakaian
impor (l bantalan air
untuk meredam -mengurangi biaya
getaran dan produksi
kebisingan, alat
pengatur tekanan air,

5.Pupuk Mengolah bahan baku Menyuburkan tanah Perlu modal untuk biaya
tanah pegunungan terutama untuk jenis produksi. Utk jangka
dengan mesin tanaman keras panjang tergantung dr
menjadi pupuk sumber daya alam
dolomit (serbuk) dan
cisrite (butiran
6.Perdagangan Membeli peralatan Meningkatkan : nilai Perlu modal untuk
/Jasa untuk memenuhi ekonomis, pelayanan membeli
kebutuhan pelayanan kesehatan, dan teknologi/peralatan
kesehatan menaikkan peringkat ruang ICU untuk
tipe rumah sakit meningkatkan pelayanan

Sumber : Hasil survey 2010 diolah tim


Dari matrik di atas menjelaskan bahwa PPU yang melakukan kegiatan
inovasi pada 6 kelompok usaha, masing-masing kelompok usaha ada yang sudah
menghasilkan beragam inovasi dan nilai tambah. Pada umumnya nilai tambah
yang dihasilkan itu berdampak pada nilai ekonomis meliputi peningkatan mutu
produk, dan pengurangan biaya produksi. Hal ini diharapkan dapat memotivasi
PPU dalam meningkatkan dan mengembangkan usaha. Hambatan yang dihadapi
oleh PPU secara umum yang menonjol adalah faktor modal yang akan digunakan
untuk pembiayaan usaha. Sedangkan faktor kualitas juga sangat diperlukan,
sehingga perlu melakukan inovasi.

Manfaat Pembiayaan Modal Ventura Terhadap Peningkatan Inovasi

Analisis mengenai manfaat pembiayaan modal ventura terhadap


peningkatan inovasi di perusahaan pasangan usaha (PPU) dapat dilihat dari dua
(2) aspek, yaitu: a). Aspek teknologi; b). Aspek ekonomi. Kedua aspek utama
tersebut dengan berbagai karakteristiknya akan dianalisis guna mengetahui
keberhasilan pembiayaan modal ventura untuk meningkatkan inovasi di PPU.

142
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Parameter dari kedua aspek tersebut adalah:.


a) Aspek teknologi (meliputi teknologi proses dan produk)
Parameter yang akan digunakan adalah: a). sejauhmana perubahan
teknologi itu terjadi di PPU; b). peningkatan kemampuan teknologi di PPU
(kemampuan untuk memodifikasi dan mengembangkan teknologi yang
digunakan kearah yang lebih efisien); c). menghasilkan produk yang baru
yang secara signifikan berbeda dengan produk yang sebelumnya.

b) Aspek Ekonomi
Parameter yang diukur adalah: a). nilai tambah dan produktivitas tenaga
kerja; b).adanya produk baru yang lahir yang dipengaruhi secara tidak
langsung dari pembiayaan modal ventura.

Seluruh PPU yang menjadi obyek penelitian menyatakan bahwa jenis


pembiayaan yang diminati adalah pola bagi hasil, dan tidak ada yang berminat
penyertaan saham langsung dan obligasi konversi. Pada tabel di bawah ini terlihat
distribusi PPU berdasarkan jenis usaha dan pembiayaan bagi hasil yang diminati
adalah sebagai berikut.

Sumber: Hasil survey 2010 diolah tim

Gambar 2. Distribusi PPU Menurut Jenis Usaha dan Pembiayaan Yang


Diminati

Pada gambar di atas terlihat bahwa jenis usaha pembiayaan bagi hasil yang
diminati PPU untuk memperoleh pembiayaan adalah untuk usaha
makanan/minuman sebesar 42,8%, kemudian diikuti jenis usaha

143
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

perdagangan/jasa 23,8%, usaha kerajinan sebesar 19% dan usaha konveksi,


permesinan dan pupuk masing-masing sebesar 4,8%.
Berdasarkan hasil lapangan belum terlihat banyak adanya pemanfaatan
modal ventura untuk kegiatan inovasi. Namun demikian tampak bahwa ada PPU
yang melakukan pengembangan penemuan baru untuk meningkatkan inovasi
sebesar 14,3%, yaitu jenis usaha makanan/minuman, konveksi dan pupuk.
Selanjutnya sebanyak 4,8% PPU melakukan penelitian dan rekayasa untuk
pengembangan usahanya yaitu jenis usaha permesinan. Kemudian ada sebuah
perusahaan makanan/minuman yang melakukan penemuan baru, penelitian dan
rekayasa untuk pengembangan usahanya. Dalam mengembangkan usahanya, PPU
sudah ada yang bekerjasama/bermitra dengan perguruan tinggi, antara lain
industri permesinan di bandung dengan ITB dan industri makanan di Sumatera
Utara dengan USU.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a) PPU belum sepenuhnya memanfaatkan pembiayaan modal ventura untuk
inovasi, namun demikian dari hasil lapangan tampak bahwa ada PPU yang
melakukan pengembangan penemuan baru untuk meningkatkan inovasi
sebesar 14,3%, yaitu jenis usaha makanan/minuman, konveksi dan pupuk.
Selanjutnya sebanyak 4,8% PPU melakukan penelitian dan rekayasa untuk
pengembangan usahanya yaitu jenis usaha permesinan. Kemudian ada
sebuah perusahaan makanan/minuman yang melakukan penemuan baru,
penelitian dan rekayasa untuk pengembangan usahanya.
b) Dalam meningkatkan usahanya, 25% dari 21 PPU ada yang menyatakan
bermitra dengan pihak lain diantaranya dengan ITB, USU, dan litbang
pemerintah.
c) Inovasi yang dihasilkan mencakup dua jenis, yaitu inovasi produk (inovasi
penyaringan air tanah menghasilkan air untuk kesehatan) dan inovasi
proses (kerajinan: kap lampu, keripik singkong, pupuk, mesin;
perdagangan/jasa). Dari inovasi yang dihasilkan tersebut ada yang mampu
menciptakan energi panas dan pengolahan limbah singkong yang
berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan
perekonomian daerah.
Saran

a) Perusahaan modal ventura (PMV) dan PMVD masih dibutuhkan oleh UKM
dalam memperoleh pembiayaan, terutama dalam meningkatkan inovasi
dan mengembangkan usaha.
b) Perlu pembinaan yang berkaitan dengan kualitas SDM di UKM, agar mampu
meningkatkan kualitas produk dari hasil inovasinya.
c) PMV dan PMVD perlu mensosialisasikan tujuh point penting kepada UKM,
agar mereka mengetahui bahwa ada kegiatan penemuan baru atau
penelitian dan rekayasa yang bisa dibiyai.

144
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

DAFTAR PUSTAKA

ADB. 2009. Membangun Potensi Sumber Daya Keuangan Dalam Negeri Indonesia: Peran
Lembaga Keuangan Non-Bank. Websi

ADB. 2009. Membangun Potensi Sumber Daya Keuangan Dalam Negeri Indonesia: Peran
Lembaga Keuangan Non-Bank. Website: www.worldbank.org/id Akses Februari
2009

Avnimelech, Gil and Teubal, Morris. 2003. From Direct Government Support Of Innovative
Smes To Venture Capital/Private Equity(Vc/Pe): A Three Phase Policy Model based on
the Israeli Experience
.www.sofofa.cl/BIBLIOTECA_Archivos/Tecnologia/2004/03/16_teubal.ppt Akses
Februari 2009

Bahana Artha Ventura, PT. 2009. Industri Modal Ventura di Indonesia. Jakarta.

Bishop, Bob. 1996. Venture Capital in The United Kingdom, dalam Venture Capital and
Innovation. OECD. Paris.

Chelimsky, Eleanor. 1989. Program Evaluation, Patterns and Directions, Second edition.
Washington DC : The American Society for Public Administration.

Fox, James W. 1996. The Venture Capital Mirage Assessing USAID Experience With Equity
Investment. USAID Program and Operations Assessment Report No. 17.
www.usaid.gov/pubs/usaid_eval/pdf_docs/pnaby220.pdf Akses Februari 2009

Ikhwan, Andi. 2001.Strengthening venture capital company as a source of mid-term finance


for sme in Indonesia (bahasa indonesia). ADB Technical Assistance: SME
Development State Ministry for Cooperatives & SME.
www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func=download&
pathext=ContentExpress/&view.../venture%20capital, Akses Februari 2009

Ivanka, Natalyia V, Creswell, John W, Stick, Sheldon L. Using Mixed-Methods Sequential


Explanatory Design : From Theory to Practice. University of Alabama at Birmingham,
University of Nebrasca-Lincoln. Field Methods, Vo. 18 No. 1 February 2006.

John M. Owen. 1999. Program Evaluation Forms and Approaches. London : Sage
Publication.

Jones, Charles O. 1977. An Introduction to The Study of Public Policy, Third edition.
California : Cole publishing Company.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1251/KMK.013/1988 Tentang


Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. 1988. Jakarta.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 58/KMK.017/1999 Tentang


Pengawasan Kegiatan Perusahaan Modal Ventura Daerah. 1999. Jakarta

Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Nomor
31/KEP/M/.KUKM/IV/2002 Tentang Rencana Tindak Jangka Menengah
Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (RTJM-UKM)

145
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga


Pembiayaan.1988. Jakarta.

Malaysian Venture Capital Development Council. www.mcdc.com.my/details diakses 10


Maret 2010

OECD, 1996. Venture Capital and Innovation. Paris

Prelipcean, Gabriela and Boscoianu , Mircea .2005. Venture Capital Strategies for
Innovative SMEs. University Stefan cel Mare Suceava.
steconomice.uoradea.ro/anale/volume/2008/v4-management-marketing/093. pdf
Akses Februari 2009.

Puguh. 2001. Peran strategis modal ventura bagi perkembangan usaha kecil.
www.pusatartikel.com/index.php?print/id:1016,pdf Akses Februari 2009

Rahayu, Sri Lestari, 2005. Analisis Peranan Perusahaan Modal Ventura Dalam
Mengembangkan UKM di Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan. Edisi Khusus.
Jakarta.

Saputra dkk. 2008. Studi Inovasi Industri Farmasi. LIPI Press 2008

Solomon, Adam, 1996. Venture Capital in The United States, dalam Venture Capital and
Innovation, OECD. Paris.

Wardoyo. 2006. Modal Ventura Salah Satu Alternatif Pembiayaan Ukmk.


wardoyo.staff.gunadarma.ac.id/Publications/files/200/modal+ventura.pdf Akses
Februari 2009.

Yasui, Masaya, 1996. Venture Capital in Japan dalam Venture Capital and Innovation.
Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD). Paris.te:
www.worldbank.org/id Akses Februari 2009

146
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

KEMITRAAN LEMBAGA LITBANG DENGAN INDUSTRI DALAM


MENDUKUNG DAYA SAING: KASUS UPT BPPTK DAN PUSLIT KIMIA
LIPI

Iin Surminah, Aziz Taba Pabeta, Achmad Fatony, dan Purnama Alamsyah

Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK

Program dan kegiatan Lembaga Litbang perlu diarahkan dan berorientasi


pada pemecahan masalah industri melalui kemitraan yang saling
menguntungkan (win-win solution). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini
adalah: (1) memetakan cara-cara membangun kemitraan antara Lembaga
Litbang dengan Industri; faktor-faktor yang mendukung terbangunnya
kemitraan antara lembaga litbang dengan industri; apakah dalam membangun
kemitraan telah mempertimbangkan daya saing; dan kendala-kendala
kemitraan antara lembaga litbang dengan industri(khususnya unit litbang)
dan (2) merumuskan konsep kemitraan Lembaga Litbang dengan industri
dalam mendukung daya saing. Kemitraan yang dibangun oleh Puslit Kimia-
LIPI dan UPT BPPTK-LIPI didasarkan pada hasil penelitian dan
pengembangan (litbang), kemudian dari hasil litbang tersebut dimitrakan
dengan pengguna (industry/UKM/masyarakat). Kemitraan yang dibangun
didasarkan pada program dan kegiatan litbang yang telah direncanakan
terlebih dahulu, baik yang didasarkan pada justifikasi para peneliti maupun
kebutuhan/pemecahan masalah yang dihadapi industry/UKM/masyarakat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Soft Systems Methodology (SSM) yang
didasarkan pada kategorisasi kemampuan organisasi litbang dalam
membangun kemitraan dengan Industri untuk mendukung daya saing.
Penggunaan SSM untuk menganalisis permasalahan yang tidak terstruktur
seperti yang terjadi antara Lembaga Litbang dengan Industri. Belum
terbangunnya permasalahan dengan jelas dan terdefinisikan dengan baik,
dianggap sesuai dengan pendekatan Soft Systems Methodology (SSM), yang
menggunakan pendekatan secara sistemik dengan model-model sistem
(Checkland 1993). Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut: (1).
Pada umumnya peneliti yang bekerja sangat concern untuk mendapatkan hasil
yang terbaik, tetapi kurang/belum memperhatikan masalah keekonomian bila
hasil litbangnya akan diaplikasikan dalam bisnis; (2). Pengembangan jejaring
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu konsekuensi dari sifat ilmu
pengetahuan dan teknologi yang universal dan dinamis tidak dapat dibatasi
sekat-sekat administratif; (3). Kemampuan dan pengalaman Puslit dan UPT
perlu peningkatan lagi untuk sampai pada tahap dimanfaatkan oleh pihak
industry, karena kemitraan yang terbangun hanya membantu
mengembangkan industri kecil dan masyarakat yang bersifat jangka pendek.;

147
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

(4). Sebagai unit penelitian, pengembangan, penerapan, dan perekayasaan


hasil litbang harus secara terencana untuk membangun kemampuan dan
keahlian disertai pengalaman, program konsultasi, program kontrak riset,
pembinaan teknis, sampai pada inovasi teknologi untuk produk baru unggulan
yang berdaya saing.

Kata Kunci: Kemitraan, Lembaga Litbang, Daya Saing

PENDAHULUAN
Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SINASIPTEK),
pada intinya mengamanatkan bahwa pembangunan ekonomi harus didukung oleh
peran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Salah satu amanat dalam Undang-
Undang tersebut terbangunnya interaksi unsur lembaga litbang, perguruan tinggi
dengan industri/UKM. Unsur lembaga litbang dan perguruan tinggi sebagai
pemasok iptek, sedangkan pihak industri/UKM sebagai pengguna iptek.
Peran iptek sekaligus perekat dalam membangun kemitraan, yang
diharapkan menghasilkan berbagai inovasi untuk dimanfaatkan oleh pihak
industri/UKM agar produknya mampu bersaing di pasar bebas. Sehingga dapat
mendorong percepatan pembangunan ekonomi nasional.
Berbagai upaya dilakukan oleh lembaga litbang sebagai pemasok iptek,
termasuk merumuskan dan menformulasikan konsep-konsep inovasi iptek yang
dapat menjawab dan membantu pemecahan permasalahan di industri/UKM.
Namun hingga memasuki era globalisasi ini tampak dengan nyata
ketidakberdayaan/ketidakmampuan lembaga litbang mengambil peran-peran
yang strategis tersebut, dan hal ini nyaris kehilangan kepercayaan rakyat, industri
dan Pemerintah.
Di negara-negara maju, peran lembaga litbang sangat strategis dalam
menghasilkan produk industri yang inovatif, unggulan untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi dan menguasai pasar bebas dunia. Salah satu kelemahan
industri dalam negeri adalah mempertahankan dan mengamankan pasar
domestik. Dukungan hasil litbang yang inovaif tidak kunjung dapat membantu
produk industri agar mampu bersaing dengan produk impor, juga dalam waktu
yang sama tidak mampu mengantisipasi pasar bebas dunia yang terbuka luas
untuk berkompetisi dengan produk dari berbagai negara.
Sejak diberlakukannya perdagangan bebas di kawasan ASEAN (AFTA) pada
tahun 2003, Asia pasific (APEC) mulai 2003/2008, CAFTA (China Asean Free Trade
Agreement) mulai 2010 menjadi tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia.
Strategi membangun kemitraan lembaga litbang dengan industri/UKM harus lebih
dijamin melalui langkah-langkah yang strategis yang didukung oleh kebijakan
nasional tentang kemitraan menuju daya saing produk industri indonesia.
Dalam kemitraan Lembaga Litbang dengan industri/UKM dan masyarakat
diperlukan berbagai pendekatan agar diperoleh informasi yang meyakinkan

148
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

bahwa hasil litbang mampu dan dapat memenuhi kebutuhan dan pemecahan
permasalahan industri/UKM/masyarakat. Beberapa pendekatan yang banyak
dilakukan di negara-negara industri maju perlu diadopsi, dan didukung
regulasi/kebijakan dan respon langsung Pemerintah.

PERMASALAHAN
Berbagai permasalahan dari hasil penelitian ini yang dikemukakan sebagai
gambaran yang perlu disikapi oleh pihak-pihak terkait terutama dalam
membangun kemitraan yang saling menguntungkan. Permasalahan dari penelitian
ini dapat digambarkan sebagai berikut
1. Belum terumuskannya program pengembangan yang dapat dihasilkan oleh
UPT BPPTK sebagai produk teknologi yang dapat diterima oleh pihak
industri/UKM maupun masyarakat umum. Program pengembangan
tampaknya belum cukup untuk diandalkan sebagai produk teknologi yang
dapat mitrkan dengan industri/UKM maupun masyarakat;
2. Belum menggambarkan sejauh mana modal usaha dan investasi yang
diperlukan untuk membangun teknologi dan harga yang pantas untuk
bersaing di pasar bebas. Selain itu produk teknologi yang ditawarkan
belum dibekali standar mutu yang bertaraf nasional bahkan internasional
sesuai era global yang penuh persaingan dan kompetisi.
3. Bagi pihak industri/UKM dan masyarakat umum, memerlukan produk
pengembangan dari produk yang selama ini sudah diproduksi. Sebab
dengan produk yang sudah ada dan dilakukan inovasi teknologi tidak
terlalu sulit bagi industri/UKM untuk menerima penawaran dari Puslit
Kimia dan UPT BPPTK.
4. Industri/UKM dan masyarakat umum belum dapat menerima dan
menjadikan produk pengembangan teknologi sebagai solusi membangun
usahanya. Oleh karena itu Puslit Kimia dan UPT BPPTK perlu dalam
menyusun program pengembangan melakukan kajian tentang sejauh mana
produk tersebut masih memiliki potensi dan peluang untuk dikembangkan
di mana mutu dapat ditingkatkan untuk kemudian mampu bersaing di
pasar bebas.
5. Industri/UKM yang selama ini bergerak dalam produk yang sudah di
pasarkan, tidak begitu mudah dapat menerima produk teknologi yang
ditawarkan oleh lembaga litbang untuk suatu produk baru, yang diperlukan
berbagai investasi dan hal ini sulit dapat dipenuhi oleh industri/UKM dan
masyarakat umumnya.
6. Pihak industri tampaknya lebih siap menerima pengembangan
produk/teknologi, sebagai contoh UKM Produk Kacang dan Mete serta
Gudeg dalam kemasan. Keduanya adalah produk yang sudah lama di
pasarkan, namun memerlukan inovasi teknologi untuk meningkatkan nilai
tambah produknya dan daya saingnya di pasar bebas sesuai tuntutan era
global.

149
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

TUJUAN PENELITIAN
Sebagai upaya mencari solusi dari permasalahan dalam membangun
kemitraan lembaga litbang pemerintah dengan industri/UKM terutama dalam
menghadapi era globalisasi yang menuntut berbagai persyaratan mutu produk dan
pelayanan yang berdaya saing, sehingga tujuan penelitian ini adalah :
1. Memetakan cara-cara membangun kemitraan antara Lembaga Litbang
dengan Industri;
2. Faktor-faktor yang mendukung terbangunnya kemitraan antara lembaga
litbang dengan industri;
3. Pertimbangan daya saing dalam membangun kemitraan dan kendala-
kendala yang dihadapi dalam membangun kemitraan antara lembaga
litbang dengan industri.
4. Merumuskan konsep kemitraan Lembaga Litbang dengan industri dalam
mendukung daya saing.

KERANGKA PIKIR PENELITIAN


Lembaga litbang yang berorientasi pada hasil (outcome) dan mampu
menjawab kebutuhan dunia bisnis khususnya Industri pangan terutama dalam
meningkatkan daya saing industri di pasar bebas merupakan suatu keharusan.
Lembaga litbang yang didukung sumber daya manusia yang memiliki disiplin ilmu
pengetahuan, pengalaman penelitian, inovator-inovator yang unggul, profeional
baru berpeluang membangun dan memiliki tradisi/kultural keilmuan.
Keterbukaan dalam menawarkan hasil litbang salah satu ciri/karakteristik yang
dimiliki lembaga litbang.
Fenomena/kejadian yang bersifat kualitatif yang berperan dalam
membentuk kemitraan menjadi sorotan dalam penelitian ini dengan menggunakan
metode kualitatif. Metode kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bagdan
(1993:5) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dari
uraian tersebut menunjukkan bahwa metode kualitatif lebih menekankan pada
hasil pengamatan dan pemahaman secara holistik mengenai berbagai gejala,
fenomena dan tingkah laku pihak-pihak terkait dalam membentuk/membangun
kemitraan yang saling menguntungkan ke dua pihak.
Dari pengertian kemitraan dikemukakan bahwa kemitraan itu terjadi pada
pihak-pihak terkait, saling membutuhkan, perkongsian, persekutuan, win-win
solution dilain pihak kebutuhan industri dapat diketahui oleh unit litbang/UPT.
Pihak lembaga litbang harus mampu memberi jaminan kepada pihak industri
bahwa hasil litbang (inovasi teknologi) mampu meningkatkan kualitas produk
industri yang berdaya saing sesuai kebutuhan industri. Kedua pihak sama-sama
berkomitmen untuk masing-masing memenuhi kewajibannya untuk terbentuknya
kemitraan tersebut (Gambar 3.1).

150
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Dari gambar 1 tersebut, diperlihatkan suatu bentuk struktur kemitraan


antara lembaga litbang dengan Industri. Dari gambar tersebut terdapat dua
lingkaran besar yang pertama Unit Litbang/UPT sebagai pemasok inovasi
teknologi, dan kedua Unit Industri sebagai pengguna inovasi teknologi yang
ditawarkan oleh Unit Litbang/Unit Pelaksana Teknis.
Dari dua lingkaran besar tersebut terdapat satu lingkaran yang berfungsi
sebagai penghubung yang disebut kerjasama (co-operation) yang berfungsi
membangun kemitraan dengan hasil litbang/inovasi teknologi yang dihasilkan
melalui unit inovasi. Kerjasama ini pada umumnya dilakukan/fungsi dari pimpinan
unit litbang/UPT dan Industri. Secara komprehensif kerjasama ini mendapat
masukan dari hasil yang dilakukan unit litbang untuk menjawab kebutuhan
industri, pengalaman para peneliti dari hasil litbang, juga kebutuhan industri yang
disampaikan kepada pimpinan Unit Litbang/UPT, profesional baru, dan inovator-
inovator serta unggulan masa depan.

Profesional Baru

Unggulan2 dan
DISIPLIN Inovator2 Masa
Depan

DISIPLIN Kerja
PUSLIT KIMIA
DAN BPTK Kemitraan Unit-unit
sama i
Terbatas Industri

DISIPLIN

Kebutuhan

Konsultasi Unit INDUSTRI


Unit Litbang/
Litbang/UPT
UPT
Pengalaman Peneliti

Gambar 1. Pola Pikir Penelitian

Kedudukan unit inovasi teknologi dan disiplin-disiplin merupakan bagian


dari unit litbang/UPT yang sangat berperan dalam menghasilkan inovasi teknologi.
Unit inovasi teknologi dengan disiplin-disiplin terjadi secara interaktif untuk saling
memberi informasi terkait dengan kegiatan inovasi teknologi. Unit inovasi
teknologi juga didukung penuh hasil konsultasi, yang selalu dilakukan unit litbang
untuk melakukan konsultasi pada pihak industri. Unit litbang ini merupakan
representasi dari disiplin-disiplin yang ada di dalam organisasi Unit litbang/UPT
(Puslit Kimia dan BPTK). Hal yang menarik dari bentuk struktur inovasi teknologi
ini tampak kewajiban para peneliti untuk menghasilkan litbang atau pengalaman
litbang yang mendukung kemitraan. Selain hasil konsultasi unit litbang/UPT dan
pengalaman para peneliti, juga kemitraan yang strategis dengan hasil kinerja baru
dan secara konsisten oleh unit litbang/UPT yang dapat memberikan inovator-
inovator dan unggulan masa depan bagi pihak Industri.

151
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, digunakan metode kualitatif analitik dengan
pendekatan Soft System Methodology (SSM) untuk melihat Kemitraan Lembaga
Litbang dengan Industri yang mengambil kasus UPT BPPTK-LIPI dan Puslit Kimia
LIPI. Penelitian kemitranaa ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan UPT
BPPTK dan Puslit Kimia-LIPI dalam membangun kemitraan dengan industri/UKM.
Penggunaan SSM dalam penelitian ini terutama menekankan pada permasalahan
situasi yang belum terstruktur ( problem situation unstructure) yang dihadapi oleh
organisasi maupun SDM yang ada di dalamnya. Terutama dalam penggunaan SSM
untuk menyoroti peran pimpinan unit litbang maupun industri yang disebut
sebagai aktor-aktor dalam membangun kemitraan.
Suatu pendekatan yang menyeluruh, komprehensif, bersistem dan analitik
seperti dikemukakan Peter Checkland dan Jim Scholes (1990) sebagai pendekatan
Soft Systems Methodology (SSM) yang didasarkan pada kategorisasi kemampuan
organisasi dalam membangun kemitraan antara lembaga litbang dengan Industri.
SSM secara sistemik dengan model-model sistem (Checkland 1993) digunakan
untuk menganalisis permasalahan yang belum terstruktur seperti diungkapkan di
atas dari Puslit Kimia maupu UPT BPPTK yang sudah banyak membangun
kemitraan dengan Industri. Pengembangan model SSM terhadap permasalahan
yang belum terstruktur seperti tampak pada gambar 1, dengan penggalian
permasalahan yang belum terstruktur dengan mendiskusikan secara intensif
dengan pihak terkait atau aktor-aktor di dalamnya, membandingkan konsep
systems thinking dengan dunia nyata (real world), dan melakukan penyelesaian
masalah secara bersama (Raharja 2009).

Gambar 2 Tahapan SSM


Pendekatan SSM seperti dalam gambar 1, terdapat 7 (tujuh) tahapan dalam
menyelesaikan permasalahan kemitraan antara lembaga litbang sebagai penyedia

152
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

iptek dan SDM dengan pihak Industri/UKM sebagai pengguna hasil litbang atau
iptek. Ketujuh tahapan ini meliputi : (1) Pada tahap pertama ini merupakan tahap
penggambaran situasi (rich picture) permasalahan yang belum terstruktur dari
kondisi lembaga litbang dan industri, yaitu menguraikan menyikapi permasalahan.
Berbagai persepsi situasi permasalahan dikumpulkam dari aktor-akor dengan
berbagi peran dalam situasi permasalahan yang terjadi. Wawancara dengan aktor
pengambil keputusan dalam penentuan program litbang sampai hasil dapat
diterima oleh pihak Industri; (2) Tahap ke dua dibahas dan diolah dari hasil
wawancara pada tahap pertama. Fenomena yang terjadi antara kedua pihak yang
membentuk dan menguatkan kemitraan maupun kendala kemitraan
diformulasikan sebagai pernyataan permasalahan. Pernyataan permasalahan
dapat distrukturkan/ diformulasikan sehingga jelas pembentuk kemitraan dan
kendalanya. Dari tahap 1 dan 2 ini disebut dunia nyata (real world) mengingat
struktur permasalahan dibangun dari kondisi nyata (real situation). (3) Tahap ke
tiga dari pernyataan permasalahan (the problem expressed) didefinisikan sebagai
sistem yang relevan. Tahap ke tiga ini disebut sebagai definisi akar permasalahan
sebagai sistem yang relevan. Memformulasikan pandangan tertentu atas situasi
dengan menguraikan sifat yang sesuai dengan pandangan atau perspektif yang
relevan dengan situasi permasalahan kemitraan yang dihadapi kedua pihak. Dalam
langkah kedua ini diuraikan berbagai perspektif dan ekspresi para aktor sesuai
dengan peran masing-masing dalam situasi. (4) Tahap ke empat menganalisis
model-model konseptual yang menghasilkan konsep sistem formal dan berpikir
sistem yang kiranya dapat diimplementasikan sebagai upaya kemitraan antara
lembaga litbang dengan industri. Proses transformasi menggambarkan aktivitas
dalam sistem dan urutan yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses
transformasi terbentuknya kemitraan. (5) Tahap ke lima, membandingkan model
konseptual dengan pernyataan permasalahan yang telah terstruktur dari masalah
kemitraan. Model konseptual sebagai hasil dari systems thingking dengan
pernyataan permasalahan dari kondisi nyata. Pada tahap ini model konseptual
pada langkah ketiga, diajukan dalam suatu diskusi dengan aktor-aktor. (6) Tahap
ke enam definisi atau menetapkan perubahan yang mungkin diinginkan dan layak.
Dari hasil analisis dan pandangan para aktor-aktor dapat ditetapkan perubahan
yang diinginkan untuk mendukung terwujudnya suatu bentuk kemitraan dengan
berbagai persyaratan. Ke tujuh, dengan sendirinya dari tahap 6 ini kedua pihak
unit litbang dengan pihak industri harus menyikapi sintesa dari tahap 5 dan 6
sebagai upaya melakukan tindakan penyelesaian atau perbaikan situasi
permasalahan sebagai upaya nyata dalam meningkatkan daya saing menghadapi
era global tersebut. Dengan demikian membangun kemitraan bukan tujuan akhir
tetapi meningkatkan daya saing produk industri sebagai tujuan akhir dalam
membangun kemitraan.

Lokasi Penelitian
Penelitian mengambil lokasi di Puslit Kimia-LIPI di Bandung dan di UPT
BPTK- LIPI di Yogyakarta. Sedangkan Industri terkait juga diusahakan berada
pada daerah yang sama sehingga dengan mudah dapat dijangkau oleh para
peneliti. Pengambilan lokasi/daerah penelitian sangat ditentukan pada letak unit

153
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

litbang yang beraktivitas di daerah tersebut dengan orientasi litbang pada bidang
industri pangan. Puslit Kimia-LIPI dan UPT BPTK-LIPI keduanya banyak bergerak
dan menghasilkan litbang pada industri pangan yang sudah banyak
dikerjasamakan dengan pihak pengguna khususnya dunia bisnis.

Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dan informasi sangat ditentukan dan bergantung
pada metode penelitian yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan
pendekatan soft systems methodology (SSM), yang pendekatannya meliputi 7
(tujuh) tahapan yang sudah mencakup pengumpulan data dan informasi,
pengelohan, dan analisis. Dari tujuh tahapan tersebut, tahap pertama dan kedua
dapat dikategorikan sebagai teknik pengumpulan data. Kedua tahap tersebut
dimulai dengan observasi dan pengumpulan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan hasil penelitian maupun bentuk kemitraan yang sudah diwujudkan dan
wawancara mendalam dengan responden yang dikenal sebagai aktor-aktor
pengambil keputusan pada kedua pihak yang bermitra yaitu pimpinan dan pejabat
struktural serta para peneliti. Tahap ketiga adalah pembentukan model konseptual
tentang kemitraan antara Puslit Kimia-LIPI dan UPT BPPTK-LIPI dengan industri.

Teknik Pengolahan Dan Analisis Data


Data dan informasi dari hasil wawancara diolah berdasarkan fokus
pengamatan menurut teori untuk menentukan faktor pembentuk kemitraan,
kendala dan pendorong terbentuknya kemitraan. Teknik pengolahan sesuai
dengan tahap ketiga sampai tahap ke tujuh sesuai pendekatan SSM. Dari hasil
pengumpulan data dan informasi akan ditranskripkan, dipilah, dan dikategorisasi
agar dapat diperlakukan sebagai data dan informasi. Tahapan pengolahan dalam
pendekatan SSM terkait pada tahap ke tiga, pendefinisian sesuai sistem yang
relevan, yang disebut sebagai definisi akar permasalahan sesuai sistem yang
relevan. Membangun definisi akar permasalahan yaitu memformulasi pandangan
tertentu atas situasi dengan menguraikan sifat yang sesuai dengan pandangan atau
perspektif yang relevan dengan situasi permasalahan kemitraan yang dihadapi
kedua pihak. Definisi akar permasalahan yang relevan ini sebagai bahan masukan
dalam penyusunan model-model konseptual yang mengambarkan bentuk
kemitraan antara Lembaga Litbang dan Industri, faktor-faktor pembentuk dan
kendalanya.
Selanjutnya dilakukan analisis model-model konseptual yang menghasilkan
konsep sistem formal dan berpikir sistem lain yang dapat diimplementasikan
sebagai upaya kemitraan antara lembaga litbang dengan industri. Model
konseptual tersebut menggambarkan sistem sesuai dengan definisi akar
permasalahan. Sistem dalam gambar tersebut menerima input dan menghasilkan
output dalam proses transformasi baik internal kedua pihak maupun eksternal
terutama antara kedua pihak yang saling membutuhkan. Proses transformasi
menggambarkan aktivitas dalam sistem dan urutan yang dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses transformasi tersebut terbentuknya kemitraan. Masih

154
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

dalam konteks analisis yaitu membandingkan model konseptual dengan


pernyataan permasalahan yang telah terstruktur dari masalah kemitraan antara
lembaga litbang dan industri.
Model konseptual sebagai hasil dari systems thingking dengan pernyataan
permasalahan dari real condition. Model konseptual yang telah dibuat, diajukan
dalam suatu diskusi dengan reaponden. Beberapa pertanyaan penting antara lain
apakah aktivitas dalam model sesuai dengan dunia nyata, dan bagaimana model
sistem bekerja. Masih dalam analisis yaitu mendefinisikan atau menetapkan
perubahan yang mungkin diinginkan dan layak. Disini hasil analisis dan pandangan
para aktor-aktor dapat ditetapkan perubahan yang diinginkan untuk mendukung
terwujudnya suatu bentuk kemitraan dengan berbagai persyaratan. Dalam langkah
ini ditentukan perubahan yang mungkin terhadap situasi permasalahan kemitraan
antara unit litbang/UPT dengan industri, yang dihasilkan melalui diskusi antar
aktor dalam tiga macam perubahan, yaitu: (1) perubahan prosedur dalam
perbaikan aktivitas dalam struktur yang ada, (2) perubahan struktural dalam
bentuk re-grouping organisasi, tugas pokok, kewenangan dan tanggung jaawab,
(3) perubahan sikap dan kultur dalam bentuk pembelajaran, perubahan nilai,
norma dan cara berpikir. Sebagai tahapan analisis terakhir, yaitu tindakan
penyelesaian atau perbaikan atas kondisi permasalahan. Dari hasil analisis tahap
akhir ini dengan perbaikan atas kondisi permasalahan yang mendukung
terwujudnya kemitraan yang strategis. Dalam hal ini dilakukan koreksian
perubahan dalam bentuk implementasi model sebagai hasil analisis terbentuknya
struktur kemitraan antara unit litbang/UPT dengan Industri.
Secara umum penelitian dengan pendekatan SSM dimulai dari
pengumpulan data dan pembuatan model konseptual sebagai bentuk kemitraan
yang dapat diimplementasikan oleh lembaga litbang dengan industri sesuai
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menggambarkan situasi permasalahan yang diilustrasikan dengan Rich Picture
Diagram dan mengumpulkan data aktivitas-aktivitas Kepala Pusat Penilitian di
Lingkungan LIPI, para peneliti LIPI dan manajer pemilik usaha/industri dalam
membangun kemitraaan yang berdaya saing dengan melihat 3 kemampuan
teknologi yang dikemukakan oleh Lall (1992).
2. Membangun model-model aktivitas bertujuan atau model konseptual yang
dilengkapi dengan definisi yang jelas dari aktivitas bertujuan (root definition)
dan pengujian kinerja.

HASIL DAN BAHASAN


UPT BPPTK -LIPI
Produk Puslit Kimia dan UPT BPPTK LIPI tercermin dalam perencanaan
program yang setiap tahun dilakukan oleh para peneliti yang berlokasi di
Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Visi dan
misi organisasi ini tetap menjadi dasar dalam pengembangan ide dan programnya.

155
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

UPT BPPTK melakukan pengembangan teknologi untuk suatu produk yang


telah ada di pasaran/industri atau menciptakan produk baru yang ditawarkan
kepada pelaku bisnis maupun masyarakat yang berminat. Beberapa hasil
pengembangan antara lain :
1. Pembuatan pakan ternak bermitra dengan Pusat Inovasi dan kelompok
peternak. Pakan Ternak sedang dikembangkan oleh UPT BPPTK dalam tahap
uji coba kelayakan bisnis dalam pengujian kualitas dan kemanfaatan.
2. Pengalengan Gudeg merupakan penawaran langsung dari pemilik produk
(produsen) untuk tujuan agar dikemas dalam kaleng, label, namun dipasarkan
oleh pemilik produk tersebut. Kemitraan ini terbangun setelah pemilik meminta
UPT BPPTK melakukan pengemasan dalam kaleng agar produk gudeg dapat
bertahan lebih lama dengan tidak mengalami perubahan/kerusakan sebelum
dikonsumsi masyarakat.
3. Pembuatan Susu Kedelai Instant. Produk susu kedelai bubuk saat ini sudah
dapat diproduksi sampai 750 kg (2010) dengan dukungan bahan baku lokal
serta teknologi dari UPT BPPTK LIPI. Kemitraan yang terbangun dari produk ini
adalah pemasaran dan modal produksi ditangani oleh pengusaha Koliga. Dalam
hal produksi kedelai instan dilakukan di bawah kontrol UPT BPPTK LIPI di
mana produksi telah meningkat mencapai 750 kg dari sebelumnya 250 Kg.
4. Pengolahan Jamur Tiram menjadi minuman kesehatan. UPT BPPTK kerjasama
dengan PT Media Agro Merapi. Kerjasama ini dirintis sejak tahun 2007 dan saat
ini mulai diproduksi.
5. Pembuatan Tepung Bengkoang merupakan pengembangan produk yang
berfungsi sebagai bahan baku utama yang dapat diolah menjadi produk akhir
berbagai jenis. Seperti diketahui bahwa bengkoang dapat diolah menjadi bahan
kosmetik untuk penghalus kulit. Diolahnya bengkoang menjadi tepung
bengkoang akan memudahkan bagi pelaku industri kosmetik maupun makanan
untuk merubah dan memanfaatkan sesuai kemampuannya.
6. Pembuatan Sonde (Makanan orang sakit)
Produk makan sonde bagi pasien di rumah sakit.. Sonden ini dibuat dari tempe
dicampur ganyong. Tempe sebagai sumber protein merupakan makanan pokok
masyarakat Indonesia dan terdapat di pasar-pasar tradisional dalam jumlah
yang cukup besar, begitu pula ganyong banyak terdapat di pasar-pasar yang
mempunyai kandungan protein tinggi. Produk sonden merupakan hasil inovasi
teknologi yang saat ini sedang dalam tahap uji coba.

TAHAP SATU: Permasalahan Yang Tidak Terstruktur UPT BPPTK LIPI


Belum terumuskannya program pengembangan yang dapat dihasilkan oleh
UPT BPPTK-LIPI sebagai produk teknologi yang dapat diterima oleh pihak
industri/UKM
Belum menggambarkan sejauh mana modal usaha dan investasi yang
diperlukan serta harga yang pantas untuk bersaing di pasar bebas.

156
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Belum dapat dirumuskan peluang pasar dari produk hasil Litbang dan
teknologi yang dianggap merupakan produk yang baru dan belum ada di
pasaran
Industri/UKM belum dapat menerima dan menjadikan produk
pengembangan teknologi sebagai solusi membangun usahanya dan dapat
meningkatkan mutu produk dapat ditingkatkan untuk mampu bersaing di
pasar bebas

TAHAP DUA: Menyusun dan Memetakan Permasalahan UPT BPPTK LIPI


Perlu suatu langkah strategis agar program pengembangan yang
direncanakan dari awal dapat diklasifikasi menjadi:
Program pengembangan produk yang sudah ada dan berpeluang untuk
dilakukan inovasi;
Program pengembangan dengan teknologi baru yang memerlukan hak
paten (HKI) dan uji kelayakan Know-How, dan
produk pengembangan untuk pemberdayaan pada masyarakat, yang
langsung dapat diterapkan untuk membantu masyarakat dalam suatu
daerah yang daerah tersebut mendukung sumber dayanya untuk
pengembangan suatu usaha tersebut.

TAHAP KETIGA: Membangun Definisi Kemitraan Pada Langkah Kedua


Tahapan Real world UPT BPPTK LIPI
Secara umum UPT BPPTK dengan industri/UKM memiliki kepentingan
yang sama dalam hal pengembangan produk yang inovatif dan kompetitif di
pasar bebas di era global ini. Kedua pihak dapat dipandang sebagai
subsistem-subsistem yang memiliki keterkaitan (related), interaktif
(interaction) dan dapat saling memperkuat. Pihak UPT BPPTK memiliki
kompetensi, sarana lab, SDM ahli dan berpengalaman, yang dapat
dibutuhkan untuk mengembangkan produk-produk industri/UKM menjadi
produk yang unggul, berdaya saing dan kompetitif dalam menghadapi
persaingan pasar bebas
Untuk dapat membangun kemitraan yang salinng terkait, ketergantungan
dan saling membutuhkan yang memberi keuntungan kedua pihak, perlu
adanya keterbukaan pihak lembaga litbang untuk menawarkan kompetensi
dan kemampuan yang dimiliki sebagai upaya dalam peningkatan daya
saing untuk menghadapi kompetisi diantara produk-produk yang sama
dari negara lain (impor) atau produk baru yang berkualitas dengan
teknologi yang unggul pula.
Membangun Definisi Kemitraan dan CATWOE
Pihak-pihak yang berperan dalam proses kemitraan tersebut dinyatakan
dalam analisis CATWOE sebagai berikut:

157
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

C : Customer : Seluruh Staf dan Peneliti


A : Actor : Kepala Pusat dan Seluruh Staf dan Peneliti
W : Worldview : Tebangunnya Kemitraan Puslit Kimia-LIPI dengan
industri
O : Owner : Kepala Pusat Kimia - LIPI
E : Environment : Kebijakan Nasional Iptek, Kebijakan Lembaga,
Keadaan social ekonomi dan keamanan

TAHAP EMPAT: Membuat Konseptual Model UPT BPPTK LIPI

PIMPINAN Pengalaman Pemasaran


PUSINOV
LIPI

Inovasi

L1

Kemitraan
L2 Lp
Terbatas Unit
Industri

L3
Kebutuhan
Industri/UKM
UPT BPPTK-LIPI Konsultasi Litbang

Gambar 3. Konseptual Model Dalam Membangun Kemitraan


Masa Depan (UPT BPPTK- Industri/UKM)

Sesuai model konseptual yang dikembangkan di negara maju seperti


Amerika, telah menumbuhkan kemitraan dengan industri. Model konseptual
tersebut menunjukkan bahwa universitas atau lembaga litbang harus didukung
oleh Pusat Inovasi. Melalui kompetensi-keahlian dari disiplin ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dimiliki organisasi dapat menawarkan produk inovasi
teknologi profesional baru yang unggulan untuk ditawarkan kepada industri.
Dari Gambar 3, Konseptual Model Dalam Membangun Kemitraan Masa
Depan untuk menjawab tantangan ke masa depan melalui kemitraan yang saling
menguntungkan (win-win solution). Model konsptual tersebut menawarkan 4
(empat) kompetensi yang dibutuhkan oleh pelaku industri/UMKM jika ingin

158
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

bermitra. Ke 4 kompetensi tersebut adalah (1) pengalaman litbang, (2) konsultasi;


(3) produk inovasi; (4) produk profesional baru yang unggulan. Ke 4 kompetensi
tersebut merupakan pemikiran yang jauh ke depan yang dapat ditawarkan
lembaga litbang/Universitas terutama dalam menghadapi tantangan yang amat
berat dalam persaingan global yang membutuhkan keterbukaan semua pihak yang
terkait.
Puslit Kimia dan UPT BPPTK dipandang dan diposisikan sebagai unit
inovasi yang memiliki visi dan misi yang jelas untuk menjawab tantangan 10
sampai 20 tahun ke depan. Bahwa kerjasama membangun kemitraan harus
dimulai dari pengalaman penelitian dan pengembangan (litbang) yang
menawarkan produk hasil inovasi teknologi yang sangat mungkin untuk di
produksi oleh pihak industri/UMKM.
Bahwa produk inovasi teknologi hasil litbang mampu meningkatkan
kualitas produk industri, begitu pula unggulan baru yang mampu membangun
industri baru yang melbatkan industri baru pula. Pengalaman litbang harus
menjadi modal yang boleh jadi belum dimiliki oleh industri/UMKM sehingga perlu
diperkenalkan. Betapa banyak yang bisa dihasilkan oleh Lembaga litbang dari
pengalaman litbang tersebut, sehingga perlu ditawarkan kepada pelaku industri/
UMKM. SDM peneliti ahli yang berpengalaman sangat dimungkinakan untuk
menawarkan agar pelaku industru/UMKM mengenal dan merasakan peran dan
pengalaman tersebut. Sebagai Puslit dan UPT BPPTK, salah satu tugas utamanya
adalah melakukan konsultasi ke industri/UMKM untuk dapat memperkenalkan
kompetensi dan keahliannya agar pelaku industri mengenal dan mempercayai
keahlian SDM peneliti dan pengembang teknologi.
Dari 4 (empat) kompetensi keahlian yang bisa ditawarkan Puslit Kimia dan
UPT BPPTK-LIPI ke masa depan sangat dimungkinkan pihak pelaku industri
terbuka dalam menjelaskan kondisi internalnya. Yang paling penting dapat
menyampaikan kebutuhannya dalam menghadapi persaingan yang semakin berat.
Produk industri yang mulai terancam dengan persaingan pasar bebas, tentu akan
dengan mudah diungkapkan sehingga Puslit Kimia dan UPT BPPTK dapat segera
merespon untuk mengambil langkah-langkah membangun kemitraan sebagaimana
yang diharapkan.

TAHAP LIMA: Membandingkan Permasalahan dengan Model Konseptual UPT


BPPTK LIPI
Program Pengembangan UPT BPPTK-LIPI tampak belum terarah sebagai
unit pengembangan teknologi yang memiliki atau mengarah ke 4 (empat)
kompetensi dan keahlian yang diharapkan oleh pelaku industri/UMKM.
Padahal apa yang diharapkan oleh pelaku industri sehingga terbangun
kepercayaan, komitmen adalah konsistensi unit pengembangan teknologi
dalam membangun kompetensi dan keahliannya. Sedangkan konseptual
model yang sesuai masa depan diharapkan lebih menjamin pada
terbangunnya kompetensi dan keahlian semua pihak terkait yang akan
memudahkan dalam membangun kemitraan

159
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Untuk lebih mengembangkan peran UPT BPPTK-LIPI pada tingkat yang


lebih tinggi untuk membawa teknologi unggulan dan produk inovasi perlu
pendanaan yang cukup besar , maka Pimpinan LIPI harus ikut mebantu
memperjuangkan dalam hal pendanaan

TAHAP ENAM: Perubahan Definisi Dari Kemungkinan


Diperlukan/Diinginkan
UPT BPPTK LIPI
Dilihat dari pengalaman UPT BPPTK-LIPI dalam membangun kemitraan
UPT BPPTK LIPI dengan industri belum terjadi seperti yang diharapkan
sesuai dalam konseptuan model ke depan, bahkan masih jauh dari
tumbuhnya kepercayaan pada UPT BPPTK. Kemitraan yang terbangun dari
kedua pihak sangat diwarnai untuk waktu jangka pendek
Tantangan dan persaingan yang dihadapi ke depan mendorong kedua pihak
perlu melakukan perubahan visi dan misi. UPT BPPTK sebagai unit
pengembangan hasil litbang perlu secara terencana untuk membangun
kompetensi dan keahlian seperti yang dikembangkan melalui konseptual
model tersebut. Pengalaman, program konsualtasi, inovasi teknologi
sampai produk baru unggulan merupakan arah yang jelas yang diperlukan
oleh pelaku industri jika ditawarkan oleh UPT BPPTK-LIPI
membangun kompetensi dan keahlian organisasi agar kebutuhan industri
terkait dalam berkonsultasi penelitian, hasil litbang unggulan dan inovasi
serta produk baru profesional baru, yang diharapkan akan dapat
mempercepat terbangunnya kemitraan dengan industri/UMKM

TAHAP TUJUH: Kegiatan Pemecahan Masalah UPT BPPTK LIPI


Pimpinan LIPI harus ikut berperan secara langsung dalam mendorong
dalam menumbuhkan kepercayaan untuk memenuhi dan menjawab
kebutuhan pihak industri/UMKM
Harus melakukan perubahan/reformasi visi dan misi untuk 10 20 tahun
ke depan, yang menyangkut 4 (empat) kompetensi, yaitu (1) pengalaman
penelitian, (2) konsultasi, (3) inovasi produk, dan (4) produk baru
profesional yang unggulan
Ke 4 (empat) kompetensi tersebut secara internal organisasi harus
dibangun sehingga menjadi kompetensi dan keahlian, yang diharapkan
dapat dengan mudah menarik simpati dari pihak pelaku industri/UMKM
untuk menjawab kebutuhan sekaligus membangun kemitraan yang saling
menguntungkan (win-win solution)
Untuk menghadapi tantangan global saat ini perlu peran Pusinov lebih
nyata/ril terutama dalam membantu UPT BPPTK LIPI dalam
mempercepat kemitraan dengan industri maupun dalam menggali sumber-
sumber pendanaan bagi program pengembangan UPT BPPTK

160
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Pemerintah diharapkan untuk membantu Lembaga Litbang membuatkan


pendanaan bagi produk pengembangan yang memiliki nilai tambah dan
dapat menciptakan lapangan kerja baru untuk menyerap pengangguran

PUSLIT KIMIA-LIPI
Puslit Kimia-LIPI merupakan salah satu satuan kerja yang memposisikan
diri sebagai organisasi penelitian dan pengembangan terkemuka di Indonesia
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kimia dengan reputasi internasional
dan berperan nyata bagi pembangunan nasional dan kualitas lingkungan global.
Suatu impian yang mulia yang dituju bersama dalam mewujudkan masa depan
Puslit Kimia-LIPI yang lebih cerah dengan kemungkinan untuk mencapainya besar
sekali. Sebagai landasan filosofis yang mencerminkan tekad dan usaha perbaikan
masa depan, Puslit Kimia-LIPI juga menjadi motivator bagi semua potensi
organisasi dan menjadi arah di dalam penyusunan program dan strategi dalam
mencapai keinginan tersebut.
Produk hasil Litbang yang dimitrakan oleh Puslit Kimia-LIPI adalah:
pertama: hasil diversifikasi kaldu nabati berbasis kacang kedele ini menghasilkan
produk-produk pangan lainnya seperti: Kecap (manis, asin, dan pedas);
Diversifikasi pengolahan tempe; Bioproses produksi minyak kelapa; dan
Pembuatan bahan acuan untuk analisis aditif dalam saos dan sirup. Kedua:
Diversifikasi produk sawit, seperti: Pengembangan plasticizer pengganti DOP dari
turunan minyak sawit; dan pengembangan teknologi produksi surfaktan. Cara-
cara kemitraan hasil litbang yang telah/sedang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kimia-LIPI, adalah melalui: Lisensi teknologi, jual teknologi, jasa produksi, dan
melalui media promosi. Bentuk-bentuk kemitraan yang dilakukan oleh Puslit
Kimia LIPI dengan industri/masyarakat adalah: Kontrak riset, konsultasi, dan
pembinaan teknis.

TAHAP SATU: Permasalahan Yang Tidak Terstruktur Puslit Kimia-LIPI


Perencanaan penelitian tidak mengacu pada kebutuhan pasar dan tren yang
ada di pasaran terlebih dahulu
Pendokumentasian hasil litbang kurang baik
Produk hasil Litbang selama ini masih skala lab belum dilakukan uji
keekonomian dan uji mutu dan standar yang telah ditetapkan
Dana untuk promosi terhadap produk hasil Litbang untuk sampai pada
industri/UKM dirasakan kurang
Terbatasnya anggaran untuk pengembangan kegiatan komersialisasi

TAHAP DUA: Menyusun dan Memetakan Permasalahan Puslit Kimia-LIPI


Perencanaan penelitian tidak mengacu pada kebutuhan pasar dan tren yang
ada di pasaran terlebih dahulu

161
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Pendokumentasian hasil litbang kurang baik


Produk hasil Litbang selama ini masih skala lab belum dilakukan uji
keekonomian dan uji mutu dan standar yang telah ditetapkan
Dana untuk promosi terhadap produk hasil Litbang untuk sampai pada
industri/UKM dirasakan kurang
Terbatasnya anggaran untuk pengembangan kegiatan komersialisasi

TAHAP KETIGA: Membangun Definisi Kemitraan Pada Langkah Kedua


Tahapan
Real world Puslit Kimia-LIPI
Proses perubahan dari situasi permasalahan kemitraaan yang belum
terbentuk dengan baik dan terus-menerus dan saling menguntungkan adalah
sebagai berikut:

Kemitraan terbangun dengan baik


Kemitraan belum terbangun antara Puslit Kimia-LIPI dengan
dengan baik antara Puslit Kimia- pengguna (industry/UKM) apabila
LIPI dengan pengguna Pimpinan dan peneliti melakukan
(industri/UKM) sehingga masih usaha-usaha yang keras untuk
dibutuhkan usaha yang keras dari membangun kemitraan sesuai
Kepala Puslit Kimia-LIPI dan dengan kebutuhan pengguna
peneliti (industri/UKM)

Gambar 4. Proses Transformasi Kemitraan Litbang dengan Indutsri

Membangun Definisi Kemitraan dan CATWOE


Pihak-pihak yang berperan dalam proses kemitraan tersebut dinyatakan dalam
analisis CATWOE sebagai berikut:
C : Customer : Seluruh Staf dan Peneliti
A : Actor : Kepala Pusat dan Seluruh Staf dan Peneliti
W: worldview : Tebangunnya Kemitraan Puslit Kimia-LIPI dengan
industri
O : Owner : Kepala Pusat Kimia - LIPI
E : Environment : Kebijakan Nasional Iptek, Kebijakan Lembaga ,
keadaan social ekonomi dan keamanan

TAHAP EMPAT: Membuat Konseptual Model Puslit Kimia-LIPI

162
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Model Konseptual adalah mengidentifikasi kegiatan/aktivitas yang


diperlukan minimal untuk mengidentifikasi Human Activity Systems (HAS).
Berdasarkan root definition yang telah diuraikan diatas, model yang dapat
dibangun oleh Puslit Kimia-LIPI mengenai kemitraan dimulai dari proses
kemitraan. Proses kemitraan dilaksanakan dimulai dari ide yang dirancang dengan
baik, perencanaan, diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor serta dievaluasi
terus menerus oleh pihak yang bermitra. Dengan demikian terjadi alur tahapan
pekerjaan yang jelas dan teratur sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai.
Keberhasilan suatu kegiatan kemitraan dapat diukur dari tercapaiannya nilai
tambah yang di dapat oleh pihak yang bermitra baik dari segi material maupun
non-material. Nilai tambah ini akan berkembang terus sesuai dengan
meningkatnya tuntutan untuk mengadaptasi berbagai perubahan yang terjadi.
Singkatnya, nilai tambah yang didapat merupakan fungsi dari kebutuhan yang
ingin dicapai. Dengan kata lain keberhasilan membangun kemitraan merupakan
suatu resultante dari konsistensi dalam penerapan etika bisnis maupun dalam
melakukan pembaharuan iptek/teknologi, perencanaan yang tepat dibarengi
dengan strategi yang tepat pula serta proses pelaksanaan yang selalu dimonitor
dan dievaluasi .
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh kedua pihak
atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan
prinsip saling membutuhkan saling membesarkan. Oleh karena kemitraan
merupakan suatu strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan
oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemitraan mencakup: (1) Hubungan
(kerja sama) antara dua pihak atau lebih; (2) Kesetaraan antara pihak pihak
tersebut; dan (3) Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau saling
memberi manfaat atau tujuan yang sama.
Ada berbagai konsep kemitraan, seperti yang dikategorikan sederhana yaitu
hubungan biasa ditingkatkan menjadi hubungan bisnis dengan ikatan tanggung
jawab dalam mewujudkan kemitraan usaha yang saling membutuhkan,
menguntungkan, dan saling memperkuat. Dalam kemitraan ini tanggung jawab
memberikan bantuan atau kemudahan memperoleh permodalan untuk
mengembangkan usaha, penyediaan sarana produksi yang dibutuhkan, bantuan
teknologi disepakati bersama atau ditekankan pada pemilik Usaha yang relatief
besar dan atau pemilik teknologi. Sedangkan bagi UKM/pengusaha usaha kecil
yang menjadi mitra mempunyai kewajiban untuk membayar jasa yang telah
diberikan oleh lembaga litbang yang menjadi mitranya dengan harga yang telah
disepakati bersama.
Pada prinsipnya yang membedakan hubungan kemitraan antara lembaga
litbang dengan UKM/pengusaha kecil adalah bentuk pembinaan, penyuluhan,
penerapan teknologi, peningkatan kemampuan SDM, pembinaan manajemen,
bantuan teknologi untuk peningkatan produksi dan mutu produksi, serta jaminan
pemasaran, memberikan modal usaha, dan penyediaan sarana dan prasarana.
Serta iklim yang kondusif yang ditetapkan Pemerintah bagi pengembangan usaha.
Peran lembaga litbang sebagai fasilitator dan pembina kemitraan dengan

163
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

UKM/Pengusaha kecil tetap dibutuhkan sebagaimana pola-pola kemitraan yang


lain agar dapat terwujudnya kemitraan yang diharapkan.
Apabila konsep kemitraan dikaitkan dengan kerjasama antara Lembaga
Litbang dengan pihak lain dalam suatu sistem, lembaga litbang tidak dapat berdiri
sendiri. Lingkungan eksternal dan internal sangat berpengaruh terhadap
perkembangan Lembaga Litbang. Dalam lingkungan internal, berhadapan dengan
kesiapan infrastruktur litbang (SDM, sarana/prasarana, anggaran, orientasi dan
kualitas hasil). Sedangkan pada lingkungan eksternal, berhadapan dengan iklim
dan atau kepastian peraturan perundang-undangan yang berlaku, pasar dan
konsumen, pesaing, penyandang dana (Bank/LKBK), dan faktor-faktor lainnya.
Beberapa alasan umum yang melatar belakangi terbentuknya kemitraan
adalah antara lain: sebaran resiko (spreading the risks), berbagi biaya tetap
(sharing fixed costs), memperoleh skala ekonomi (capturing of economies scale) ,
mendapatkan akses pemasaran baru, mencapai reposisi yang kompetitif dan
berbagi usaha penelitian. Beberapa kajian memperkirakan setengah dari
kemitraan antara Lembaga Litbang dengan industri tidak dapat berlanjut
dikarenakan adanya perbedaan pandangan dalam hal strategi, kesulitan
manajemen, koordinasi, ketidak setujuan spesifikasi disain, kebijakan pemerintah.
Sejak tahun 1980, kemitraan lembaga litbang dengan industri sudah banyak
dilakukan di negara Eropa dan Amerika. Kemitraan yang dilakukan ini lebih
diarahkan pada peningkatan kemampuan daya saing industri di dalam dan di luar
negeri, dengan mempercepat penciptaan inovasi suatu produk, proses, dan jasa
serta menciptakan suatu kondisi yang dapat memudahkan komersialisasi. Selama
itu lembaga litbang yang sebagian besar kegiataannya dibiayai oleh pemerntah
tidak sepenuhnya mengkonsentrasikan kegiatannya pada kebutuhan indrustri
terutama pada penelitian dasar yang hasilnya tidak dapat diterapkan di indrustri
karena berbagai faktor teknis maupun ekonomis. Kemitraan lembaga litbang
dengan industri selalu melalui proses atau tahap panjang untuk dapat
menghasilkan Litbang yang siap untuk dimitrakan dan atau dikomersialisasikan.
Dari tahap prototype, pilot plan, kemudian diadakan uji kelayakan baik secara
teknis apabila berhasil dan kemudian dilengkapi dengan analisis ekonomi maka
hasil tersebut sudah siap untuk dimitrakan. Hal ini mencerminkan bahwa tahapan
litbang memerlukan waktu yang relatif panjang untuk dapat menghasilkan produk
yang siap untuk dimitrakan dan selanjutnya dikomersialkan. Diperlukan strategi
dan perencanaan yang matang dalam menentukan orientasi kegiatan litbang,
apakah berorientasi pada pemecahaan masalah yang dihadapai oleh industri/UKM
pada berbagai skala produksi atau berorientasi pada memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, dengan tekanannya pada penelitian terapan. Strategi kemitraan
dapat dibangun sejak dimulainya penelitian atau setelah menghasilkan penelitian
yang memiliki nilai relatif tinggi baik dari aspek teknologi (misalnya menghasilkan
paten) maupun aspek manfaat dan komersial.
Dari kondisi ini ada 2(dua) aspek yang perlu digaris bawahi, yaitu: Pertama,
strategi yang ditetapkan berkaitan dengan penetapan ide hingga menghasilkan
produk yang layak diaplikasikan ke skala ekonomi, dan ini tertuang dalam
perencanaan penelitian; Kedua, bagaimana mengkomunikasikan hasil litbang
kepada masyarakat/industri agar dapat dimanfaatkan atau diproduksi dalam skala

164
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

ekonomi apakah melalui penjualan lisensi dan atau royalty apabila telah
dipatenkan, atau kemitraan untuk bersama-sama mengkomersialisasikan produk
tersebut, dan atau sebagainya yang akan tercermin dari strategi dan model yang
akan disepakati.
Sebagai Puslit Kimia-LIPI yang telah memiliki pengalaman yang cukup lama
dalam memasarkan produk hasil litbang untuk dapat diterima oleh pihak
pengguna/perusahaan industri, maka salah satu langkah yang strategis adalah
dengan meningkatkan kinerja organisasi. Pengenalan produk hasil litbang melalui
pameran, seminar, lokakarya merupakan upaya yang dilakukan setiap tahun.
Bentuk-bentuk peningkatan kinerja itu sendiri berupa pelatihan pada masyarakat
UKM untuk mengenal produk hasil litbang, Selain itu juga dilakukan pelatihan bagi
SDM organisasi baik dalam hal teknis maupun non teknis.
Mengenalkan produk hasil litbang selain melalui pameran, seminar, juga
melakukan/melaksanakan pelatihan pada masyarakat pengguna. Di samping itu
membuat jaringan berbasis website supaya bisa diakses secara mudah oleh dunia
bisnis, industri, dan masyarakat pengguna. Penyebaran informasi tentang profil
produk hasil litbang melalui antara lain liflet, penawaran produk ke unit-unit
industri dan dunia bisnis, di samping unit-unit kerja terkait di lingkungan Pemda
setempat. Penelusuran informasi terkait dengan pasar, peningkatan kuantitas, dan
kualitas SDM. Pelatihan peningkatan pengetahuan pemasaran produk litbang,
peningkatan kuantitas dan kualitas SDM, Meningkatkan komitmen dengan
mendukung nilai-nilai inti satker/UPT litbang, meningkatkan citra organisasi
dengan memberikan pelayanan prima, dan meningkatkan kemandirian dan
profesionalisme organisasi.

165
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar 5. Konseptual Model Dalam Membangun Kemitraan Masa Depan


(Puslit Kimia-LIPI Dengan Industri/UKM)

Konseptual Model Dalam Membangun Kemitraan Masa Depan untuk


menjawab tantangan kemitraan masa depan bagi lembaga litbang dengan
industri/UKM untuk siap membangun daya saing melalui kemitraan yang saling
menguntungkan (win-win solution). Model konseptual yang dikemukakan pada di
atas tersebut (Gambar 5) tersebut seyogianya dapat dijadikan sebagai suatu
sistem yang besar berdasarkan pada visi dan misi lembaga litbang yang dimulai
dari perencanaan untuk sampai pada pembentukan kemitraan dengan
pengguna/industri. Beberapa kompetensi yang perlu dimiliki oleh masing pihak
dalam melakukan kemitraan. Kompetensi yang harus dimiliki oleh Pusat Penelitian
Kimia-LIPI yang dibutuhkan oleh pengguna/industri/UKM jika ingin bermitra
adalah: (1) Kemampuan dan pengalaman lembaga litbang dalam hal adopsi dan
alih teknologi, seperti: Kontrak riset, pembinaan teknis, konsultasi; (2). inovasi
teknologi; dan (3). Produk Unggulan. Untuk melakukan inovasi teknologi dan
program produk unggulan, Puslit Kimia-LIPI selalu melakukan adopsi dan alih
teknologi dari luar (negara maju). Demikian pula bagi pihak industri harus
mempunyai kemampuan SDM nya dalam adopsi dan alih teknologi dan
mempunyai kebutuhan akan produk-produk hasil litbang dari lembaga litbang.
Sebagai suatu sistem terbentuknya kemitraan Puslit Kimia-LIPI harus
memandang bahwa tugas dan fungsinya adalah mewujudkan kemitraan yang

166
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

dilandasi keterbukaan, kepercayaan, komitmen yang tinggi, dan saling


menguntungkan.
Puslit Kima-LIPI perlu memposisikan dirinya sebagai unit inovasi yang
memiliki visi dan misi yang jelas untuk menjawab tantangan 10 sampai 20 tahun
ke depan. Sesuai dengan Visi Pusat Penelitian Kimia adalah: menjadi Pusat
Penelitian Kimia kelas dunia di tahun 2015 dengan para peneliti yang cerdas,
kreatif, dan inovatif. Sedangkan Misi Puslit Kimia-LIPI adalah: melakukan
penelitian mendasar dan mutakhir di bidang: Kimia Analitik dan Standar (High
tech. Standard and Method), Kimia Bahan Alam, Pangan dan Farmasi (Pharma &
Nutraceuticals), Teknologi Proses dan Katalisis (Natural Res. Cleaner Prod.),
Teknologi Lingkungan (Ecobiotech.), Pengembangan Jasa Iptek (High Calibre
Marketing S&T.), untuk memajukan iptek kimia, mendukung masyarakat ilmiah
dan industri bidang kimia, serta menghasilkan output dan outcome bereputasi
internasional.
Puslit Kimia-LIPI merupakan pusat inovasi dan adopsi teknologi untuk
produk-produk yang dihasilkan oleh industri/UKM. Oleh karena itu Puslit Kimia-
LIPI perlu secepat mungkin mempertegas arah ke depan dengan inovasi teknologi
atas produk yang sudah ada mau pun produk baru yang dibutuhkan oleh
industri/UMKM. Berdasarkan kemampuan SDM dan pengalaman yang cukup
merupakan modal dalam membentuk kemitraan. Disamping pengetahuan dan
keahlian dalam mengembangkan produk-produk yang sangat dibutuhkan oleh
pengguna/industri dan merupakan produk-produk yang berdaya saing.
Sebagai Pusat Penelitian di Bidang Kimia, salah satu tugas utamanya adalah
melakukan konsultasi dengan pihak pengguna/industri/UMKM untuk
memperkenalkan kemampuan dan keahliannya yang dimiliki oleh lembaga litbang.
Dengan cara tersebut perlu komunikasi yang efektif sehingga lembaga litbang juga
dapat mengetahui kebutuhan dan keinginan pihak pengguna/industri/UKM serta
keahlian yang dimikili oleh pihak pengguna/industry/UKM.
Puslit Kimia-LIPI juga perlu mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh
pengguna/industi/UKM tentang kemampuan produksi, besarnya modal yang
dapat digunakan dalam memproduksi, kemampuan pemasaran, tersedianya bahan
baku, peluang pasar untuk produk hasil Litbang tersebut. Produk hasil litbang dari
Puslit Kimia- LIPI berupa produk industri yang saat ini sudah mulai berhasil
membangun kemitraan merupakan langkah awal untuk melakukan kemitraan
yang berkesinambungan oleh karena itu pembinaan teknis, kontrak riset, dan
kosultasi perlu dilakukan dalam rangka pembentukan kemitraan, sedangkan untuk
jangka menengah dan jangka panjang dengan program inovasi dan program
produk unggulan yang berdaya saing.

TAHAP LIMA: Membandingkan Permasalahan dengan Model Konseptual


Puslit Kimia-LIPI
Pembentukkan kemitraan dengan pihak industri/UKM sudah ada akan tetapi
masih belum memuaskan

167
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Kemitraan hasil litbang selayaknya adalah kegiatan yang terencana dari sejak
kegiatan litbang diusulkan dan merupakan kegiatan lintas disiplin ilmu
Pada umumnya peneliti yang bekerja di sangat concern untuk mendapatkan
hasil yang terbaik, tetapi kurang/belum memperhatikan masalah keekonomian
bila hasil litbangnya akan diaplikasikan dalam bisnis
Pengembangan jejaring ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu
konsekuensi dari sifat ilmu pengetahuan dan teknologi yang universal dan
dinamis tidak dapat dibatasi sekat-sekat administratif
Struktur organisasi memiliki beberapa bagian akan tetapi yang mempunyai
tugas dan fungsi sebagai bagian yang mengkoordinasikan kegiatan kerjasama
dan kemitraan adalah bagian jasa dan informasi yang memiliki tugas untuk
menyampaikan atau mempromosikan hasil litbang serta membangun
kemitraan dengan pengguna(industri/UKM)

TAHAP ENAM: Perubahan Definisi Dari Kemungkinan


Diperlukan/Diinginkan Puslit Kimia-LIPI
Berdasarkan pengamatan bahwa kemampuan dan pengalaman Puslit
Kimia-LIPI dalam membangun kemitraan dengan
industri/UKM/masyarakat sudah cukup terbangun hanya saja masih perlu
peningkatan lagi untuk sampai pada tahap yang diharapkan yaitu
banyaknya hasil litbang yang dimanfaatkan oleh pihak industri
Kemitraan yang terbangun hanya membantu mengembangkan industri
kecil dan masyarakat yang bersifat jangka pendek. Walaupun ada beberapa
produk hasil litbang yang dapat dimitrakan pada industri besar seperti
dengan Kimia Farma untuk produk-produk obat masih dalam tahap
negosiasi
Sebagai unit penelitian, pengembangan, penerapan, dan perekayasaan hasil
litbang harus secara terencana untuk membangun kemampuan dan
keahlian disertai pengalaman, program konsultasi, program kontrak riset,
pembinaan teknis, sampai pada inovasi teknologi untuk produk baru
unggulan merupakan sasaran yang sudah jelas yang perlu dikembangkan
kemudian bagi pihak industri./UKM diharapakan dengan penuh kesadaran
dapat menerima hasil litbang yang ditawarkan oleh lembaga litbang

TAHAP Tujuh: Kegiatan Pemecahan Masalah Puslit Kimia-LIPI


1. Sebagai organisasi litbang terkemuka di Indonesia dalam bidang Iptek
kimia dengan reputasi internasional dan berperan nyata dalam
pembangunan nasional
2. Memberi komitmen masa depan bagi SDM Puslit Kimia LIPI baik secara
individu maupun bersama sehingga semua SDM secara sukarela akan mau
bekerja bersemangat dan bersunguh-sungguh

168
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

3. Berdasarkan tekad untuk menjadi lembaga terkemuka dan komitmen SDM


yang didukung oleh sarana dan prasarana yang ada, Puslit Kimia LIPI akan
semakin meningkat kepercayaan dirinya, keyakinan untuk berperan
langsung pada pembangunan nasional yang dilandasi oleh kemampuan
yang dimilikinya
4. Dalam penyusunan program/kegiatan selalu mengacu pada kebutuhan
pengguna/industry/masyarakat untuk memenuhi dan menjawab
kebutuhan pihak industri/UMKM

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Terbangunnya kemitraan antara UPT BPPTK-LIPI dan Puslit Kimia-LIPI
dengan industri/UKM belum maksimal dan manfaat yang saling
menguntungkan karena kemitraan yang terjadi belum sepenuhnya
profesional baik dari pihak lembaga litbang maupunpihak industri
2. Pihak industri/UKM belum sepenuhnya percaya atas kemampuan dan
pengelaman yang dimiliki oleh UPT BPPTK-LIPI dan Puslit Kimia-LIPI
dalam membantu perbaikan baik produk maupun teknologi dari
indsutri/UMKM
3. UPT BPPTK-LIPI dan Puslit Kimia-LIPI sebagai organisasi litbang selalu
berupaya mambangun kemitraan melalui produk teknologi yang dihasilkan
meski pun belum maksimal, karena belum termasuk produk inovasi
teknologi yang benar-benar memiliki nilai tambah bagi industri baik skala
besar atau minimal skala menengah baru sebatas industri kecil/UKM
4. UPT BPPTK-LIPI dan Puslit Kimia-LIPI sebagai unit pengembangan produk
teknologi khusunya di bidang pangan dan obat-obatan terkendala pada
kewenangan dalam membangun kemitraan untuk produk teknologi yang
benar-benar hasil inovasi maupun produk unggulan yang dibutuhkan oleh
pihak industri/UKM sebagai produk industri yang berdaya saing tinggi
5. Untuk ke depan UPT BPPTK dan Puslit Kimia-LIPI belum memiliki
kompetensi keahlian yang betul-betul dapat dijadikan merek dagang (trade
mark) yang dapat dijual untuk mendorong dalam membangun kemitraan
yang saling menguntungkan (win-win solution)
Saran
1. Untuk membangun kemitraan kearah yang profesional perlu dilakukan
perubahan secara fungsional agar dapat menghasilkan inovasi yang mampu
meningkatkan nilai tambah bagi poduk industri/UKM
2. Untuk membangun kemitraan yang profesional produk teknologi untuk
memperbaiki dan meningkatkan mutu produk industri perlu menetapkan
kompetensi keahlian yang benar-benar bisa menjamin pihak industri/UKM
dan berminat untuk membangun kemitraan yang profesional, seperti
produk unggulan yang dijamin memiliki pasar dalam negeri maupun

169
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

ekspor; produk inovasi yang dibutuhkan oleh pihak industri dalam


meningkatkan nilai tambah yang saling menguntungkan (win-win solution).
3. Pemerintah perlu membantu pimpinan lembaga litbang dalam kebijakan
pendanaan bagi pengembangan produk teknologi sebagai hasil inovasi
maupun produk baru profesional yang unggulan dan memiliki nilai tambah
dan dapat menciptakan lapangan kerja baru. Dengan pengembangan
produk teknologi yang akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing
produk juga untuk mempertahankan jati diri bangsa dalam memasuki era
globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Checkland, Peter and Scholes, Jim. 1990. Soft Systems Methodology In Action. New York:
John Wiley & Sons.

Cu, Shalin J. 1999 dan Richard Nelson 1993, dalam Greca dkk, Pola Interaksi Antara
Perguruan Tinggi-Pemerintah-Industri Kajian Triple Helix, Warta Kebijakan Iptek
dan Manajemen Litbang Vol. 7 No.1 Juli 2008, Jakarta.

Delbrdige. 2008. An Illustrative application of Soft Systems Methodology (SSM) in a Library


and Information Service Context: Process and Outcome. Library Management Vol 29
No.6/7

Delbridge, R. and Fisher, S. 2007, The use of soft systems methodology (SSM) in the
management of library and information services: a review, Library Management, Vol.
28 Nos 6/7.

Endang Lestari HASTUTI. Kelembagaan Pemasaran Dan Kemitraan Komoditi Sayuran:


Kasus di Desa-Desa di Jawa Tengah dan Sumatera Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian, Jl. A. Yani 70
Bogor, 16170

Ginandjar KARTASASMITA. Pemberdayaan ekonomi rakyat melalui kemitraan guna


Mewujudkan ekonomi nasional yang tangguh dan mandiri. Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. Disampaikan Pada Seminar
Nasional Lembaga Pembinaan Pengusaha Kecil Menengah dan Koperasi (LP2KMK-
GOLKAR) Jakarta, 7 Nopember 1996

Khalil, T.M. 2000. Manajement of Technology: the Key to Competitiveness and Whealth
Creation. New York: McGraw-Hill Books Co

Kotler, Philip. 1995. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan


Pengendalian, Edisi Kedelapan, Edisi Indonesia. Penerbit : Indonesia Empat

Konishi, Y. 2000. Industry-University Linkage and Role of Universities in the 21 Century.


Dalam Conceicao P et al

Lall,S 1992, Understanding Technological Development, Development and Change, Vol 24


(1).

170
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Lembaga Pengembangan Inovasi. 2002. Komersialisasi Produk Litbang.Sebuah Proses


Pembelajaran. Jakarta.

Mohammad Jafar Hafsah,Ir, Dr. 2000. Kemitraan Usaha. Konsepsi dan Strategi.Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta.

Misra.K.V,(1995) Komersialisasi Program Litbang: Suatu Skenario Indah. 39.

Nazir, Moh, Ph.D. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.

Pandangan dan Sikap SPI tentang kedaulatan pangan, 2 January 2008

Paul C. Light. The Pillars Of High Performance. 4 Kunci Penting Menuju Perusahaan Yang
sehat dan Kuat. PT Buana Ilmu Popular. Juli 2008.

Pettigrew, Andrew dan Whipp, Richard. 1996. Unggul Bersaing Melalui Inovasi, Bisnis
Mutakhir. Penerbit: Abdi Tandur

Porter, M. E., 1980. Competitive Strategy: Technique for Analyzing Industries and
Competitor. New York: The Free Press.

Prescott, J.E and Grant, J.H., 1988. A Managers Guide for Evaluating Competitive Analysis
Tchniques. Interfaces. 18(3), may-Yune, hlm 10-22.

SAPTANA, Keunggulan Komparatif-Kompetitif Dan Strategi Kemitraan, Pusat Penelitian


dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertaniaNBadan Litbang Pertanian, Departemen
Pertanian RI.

http://bisnis.vivanews.com/news/read/112909-. diambil tanggal 8 juni 2010


Jakarta, matanews.com Mon, Aug 31, 2009. Diakses 13 mei 2010

Surminah, Iin dkk. 2006. Studi Kemitraan Lembaga Litbang Untuk Mendorong
Penerapan Iptek. Penerbit LIPI Press. Jakarta

UU Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian,


Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

You Tzu Li, David G. Jansson, Ernest G. Cravalho, 1980, Technology Inovation In Education
dan Industry, Massachusetts Institute of Technology Cambridge, Massachusetts.

Pettigrew, Andrew dan Whipp, Richard. 1996. Unggul Bersaing Melalui Inovasi, Bisnis
Mutakhir. Penerbit : Abdi Tandur

Porter, M. E., 1980. Competitive Strategy: Technique for Analyzing Industries and
Competitor. New York: The Free Press.

Prescott, J.E and Grant, J.H., 1988. A Managers Guide for Evaluating Competitive Analysis
Tchniques. Interfaces. 18(3), may-Yune, hlm 10-22.

UU Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian,


Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

You Tzu Li, David G. Jansson, Ernest G. Cravalho, 1980, Technology Inovation In Education
dan Industry, Massachusetts Institute of Technology Cambridge, Massachusetts.

171
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN


PRODUKTIVITAS PENELITI DI LEMBAGA LITBANG STUDI KASUS
LIPI

Hartiningsih, Sigit Setiawan, Ikbal Maulana, Kusbiantono


Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRAK

Setiap organisasi litbang berkepentingan untuk meningkatkan produktivitas


para penelitinya. Namun, kegiatan litbang adalah kegiatan intelektual yang
kreatif, di mana produktivitas tiap orang tidak bisa dipaksakan oleh
manajemen. Sebagian besar kegiatan penelitian terjadi di dalam
kepala/pikiran yang tidak terlihat oleh orang lain. Yang bisa dilakukan oleh
manajemen/organisasi hanyalah menciptakan kondisi-kondisi yang bisa
berpengaruh positif mendorong para peneliti untuk lebih produktif. Melalui
survei kuantitatif penelitian ini melacak faktor-faktor yang berpengaruh pada
produktivitas peneliti, yang meliputi faktor pribadi/motivasi peneliti dan
faktor lingkungan kerja. Dengan memahami bagaimana faktor-faktor ini
berpengaruh pada produktivitas peneliti diharapkan organisasi bisa
mengetahui kebijakan dan strategi yang tepat dalam meningkatkan
produktivitas ini. Dengan analisa faktor dan penghitungan korelasi antar-
faktor ditemukan bahwa faktor-faktor kepemimpinan, konsistensi organisasi
dan lingkungan sosial peneliti berkorelasi erat dengan produktivitas peneliti.
Namun, pengaruh faktor-faktor ini terhadap produktivitas lebih rendah
dibandingkan pengaruh motivasi pribadi terhadap produktivitas.
Dibandingkan dengan di negara-negara maju, di Indonesia lebih banyak faktor
higin yang belum dipenuhi. Tidak dipenuhinya faktor-faktor higin yang
menyebabkan motivasi berpengaruh terhadap produktivitas.

Kata Kunci: produktivitas peneliti, motivasi, lingkungan kerja

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produk-produk teknologi terbaru dan canggih relatif mudah ditemukan di
tanah air. Bahkan, produk-produk, seperti smartphone atau komputer tablet,
memasuki pasar Indonesia hampir pada saat yang sama dengan pasar di negara-
negara maju. Bahkan ada vendor yang melakukan peluncuran awal dari
smartphone termahalnya malah dilakukan di Indonesia, bukan di negara-negara
maju dan kaya. Itupun banyak orang antri untuk mendapatkannya. Bukankah ini
menunjukkan penghargaan masyarakat pada teknologi?
Namun, kesukaan terhadap produk teknologi canggih ini tidak diimbangi
pada penghargaan terhadap proses litbang yang panjang dan melelahkan untuk
menghasilkannya. Anggaran litbang masih rendah, dan persentase terbesar masih

172
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

datang dari pemerintah. Kinerja para peneliti kita di tingkat internasional masih
lebih rendah dari pada beberapa negara tetangga yang penghargaan terhadap
penelitinya memang lebih baik.

Perumusan Masalah
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif (exploratory research) yang
mencoba menjawab: Faktor-faktor apa yang berpengaruh pada produktivitas
peneliti di LIPI?
Untuk menjawab pertanyaan ini kami mengeksplorasi dua aspek yang
memiliki kemungkinan berpengaruh pada produktivitas peneliti, yakni:
1. Aspek internal, yakni motivasi dari peneliti, persepsi peneliti tentang
dirinya sendiri.
2. Aspek eksternal, yakni lingkungan kerja, baik organisasi secara formal,
termasuk kepemimpinan, maupun lingkungan sosial sesama peneliti.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang mendorong
produktivitas peneliti.

Manfaat Penelitian
Teridentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada produktivitas peneliti,
sehingga manajemen bisa menentukan kebijakan dan tindakan yang tepat dalam
mendorong peningkatan produktivitas peneliti.

KERANGKA BERPIKIR
Dalam melaksanakan penelitian ini diambil kerangka konseptual sebagai
berikut:

173
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Dalam kerangka konseptual kami menggunakan konsep iklim organisasi,


bukan kultur organisasi, karena, menurut Denison (1996, hal. 621), Studying
culture required qualitative research methods and an appreciation for the unique
aspects of individual social settings. Studying organizational climate, in contrast,
required quantitative methods and the assumption that generalization across
social setting not only was warranted but also was the primary objective of the
research. Karena studi kami mengambil data pada satu situasi (snapshot), dengan
menggunakan kuesioner, maka yang sesuai adalah dengan mengambil konsep
iklim organisasi. Iklim organisasi ini memiliki dimensi-dimensi (Siegel &
Kaemmerer, 1978) sebagai berikut:

1. Kepemimpinan (leadership): tipe kepemimpinan yang mendukung inisiasi


dan pengembangan ide-ide baru dan memastikan penyebaran kekuasaan ke
seluruh sistem, dan mendukung pengembangan individu dan mengahargai
kapasitas tiap orang untuk berfungsi secara kreatif.
2. Rasa memiliki (ownership): anggota-anggota organisasi bisa memberikan
dan mengembangkan gagasan, proses dan prosedur yang berhubungan
dengan pekerjaan mereka.
3. Norma-norma keragaman (norms of diversity): anggota-anggota organisasi
maupun manajemen memiliki sikap yang positif terhadap keragaman, dan
menghargai pendekatan dan solusi yang kreatif.
4. Pengembang terus-menerus (continuous development): bagi organisasi yang
inovatif, perubahan dianggap selalu terjadi, karena itu anggota-anggota
organisasi selalu mempertanyakan asumsi-asumsi dasar dari sistem,

174
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

sebagai akibatnya organisasi terus menggeser titik berat dari tujuan-


tujuannya.
5. Konsistensi: adanya keselarasan atau konsistensi antara proses dan produk
yang hendak dihasilkannya.
Setelah melihat pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kuesioner dari Siegel
& Kaemmerer (1978), kami memutuskan untuk menanggalkan dimensi tersebut,
karena hal itu sudah otomatis ada pada lembaga litbang seperti LIPI.

METODE
Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengisian lembar pertanyaan
(kuesioner) terhadap peneliti di lingkungan LIPI. Sedangkan data sekunder
diperoleh melalui penelusuran literatur dan dokumentasi berupa bahan
kepustakaan dalam bentuk buku, laporan hasil penelitian, jurnal serta dokumen
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan data sekunder
diperoleh sejumlah 1239 peneliti di lingkungan LIPI, yang dianggap sebagai
populasi. Pada penelitian ini yang dijadikan responden penelitian adalah peneliti
di lingkungan Puslit-LIPI, yang terpiih sebagai sampel.

Sampel

Peneliti yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah pegawai negeri sipil
yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat
yang berwenang untuk melakukan penelitian dan/atau pengembangan iptek pada
satuan organisasi litbang di LIPI, yang diatur dalam Petunjuk Teknis Jabatan
Fungsional Peneliti.
Atas pertimbangan tersebut dan terbatasnya dana penelitian, maka
pengambilan sampel dilakukan dengan mengirim kuesioner ke 400 peneliti secara
purposive sampling (sampling kebijaksanaan) dan convinience sampling (sampling
kemudahan) dengan memilih peneliti di dalam daftar kerangka sampling. Karena
teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
non probability sampling (metode tak acak), maka hasilnya tidak dapat digunakan
untuk menggeneralisasi populasi.

Analisis Faktor

Sebelum melakukan analisis data, pertama-tama yang perlu dilakukan


adalah Uji reabilitas. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan sejauh mana suatu
instrumen yang digunakan dapat dipercaya atau dapat dandalkan. Dalam
penelitian ini, dengan menggunakan skor-skor item dalam daftar pertanyaan
dilakukan uji reabilitas menggunakan uji Alpha Cronbach. Variabel dikatakan valid,
bila nilai nilai realibilitasnya (r) lebih besar dari 0,3.

175
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Dimensi-dimensi yang sudah kami jelaskan dalam kerangka berpikir, kami


bongkar dan susun ulang dengan analisis faktor. Ini dimaksudkan untuk mencari
faktor-faktor yang mendasari variabel-variabel atau pertanyaan-pertanyaan
tersebut.

Analisis faktor, merupakan perluasan dari analisis komponen utama adalah


suatu teknik untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menerangkan
hubungan variabel-variabel yang berkaitan. Maksud melakukan analisis faktor
ialah mencari variabel baru yang disebut faktor yang saling tidak berkorelasi,
bebas satu sama lainnya. Sehingga tujuannya adalah untuk mendapatkan sejumlah
kecil faktor yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1). Mampu menerangkan keragaman data dengan semaksimal mungkin;

2). Saling bebas;

3). Dapat diinterpretasikan dengan lebih jelas.

Di dalam memformulasikan/merumuskan masalah analisis faktor, variabel


yang digunakan untuk menganalisis faktor harus dispesifikasikan berdasarkan
hasil penelitian dan variabel-nariabel tersebut harus diukur dengan menggunakan
skala interval dan rasio sebagai data metrik (Supranto, 2004).
Variabel operasional dalam penelitian ini menggunakan 37 variabel, yang
perlu dihitung tingkat reliabilitasnya untuk melihat kesesuaian alat ukur
(instrumen yang digunakan) dengan yang diukur, sehingga alat ukur ini dapat
dipercaya atau diandalkan. Untuk mencapai reliabilitas perlu memperhatikan 3
aspek : kemantapan, ketepatan, dan homogenitas (Bungin, 2006).
Salah satu ukuran untuk mengetahui apakah data layak dianalisis dengan
analisis faktor adalah dengan menggunakan statistik Kaiser-Meyer-Olkin (KMO)
yang mengukur kecukupan sampling. Nilai KMO yang kecil mengindikasikan
bahwa penggunaan analisis faktor harus dipertimbangkan kembali, karena
korelasi antara variabel tidak dapat diterangkan oleh variabel lain. Kaiser dan Rice
(1974) menetapkan karakteristik pengukuran bahwa nilai KMO sebesar 0,90
adalah sangat bagus, 0,80 adalah bagus, 0,70 adalah cukup, 0,60 adalah kurang,
0,50 adalah jelek, dan dibawah 0,50 tidak dapat diterima (Sharma, 1996).
Faktor-faktor (komponen) yang diperoleh melalui AKU seringkali masih
sulit untuk secara langsung diinterpretasikan. Seringkali suatu variabel
nampaknya tidak mempunyai korelasi dengan faktor manapun, sedangkan tujuan
dari analisis faktor adalah untuk memperoleh faktor yang berisi variabel-variabel
yang mempunyai korelasi yang tinggi satu sama lain. Untuk itu dilakukan rotasi
terhadap matriks loading. Dengan merotasi matriks loading maka setiap variabel
asal akan mempunyai korelasi yang tinggi dengan faktor tertentu saja dan tidak
dengan faktor lainnya. Dengan demikian setiap faktor akan lebih mudah
diinterpretasikan.

176
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

HASIL DAN BAHASAN

Pembentukan Faktor dan Pengelompokan Variabel Produktivitas Peneliti


Untuk keperluan analisis faktor dalam menentukan peningkatan
produktivitas peneliti, digunakan 37 (tigapuluh tujuh) variabel yang dianggap
mempengaruhi salah satu (atau lebih) dari faktor-faktor yang terbentuk. Tigapuluh
tujuh variabel tersebut dikembangkan oleh tim peneliti yang disesuaikan dengan
kondisi unit penelitian dan pengembangan di LIPI.
Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, terhadap 37 variabel yang berperan
dalam menentukan produktivitas peneliti LIPI dilakukan uji validitas. Penelitian ini
menggunakan nilai r kritis 0,3 yang berarti jika nilai r hitung berada di atas 0,3
maka dinyatakan valid. Dari hasil uji validitas dan realibilitas terhadap 37 variabel
tersebut, diperolehhasil bahwa secara keseluruhan 37 variabel tersebut signifikan
dengan nilai Cronbach's Alpha sebesar 0,9. Dari masing-masing variabel (37
variabel) secara statistik juga diperoleh hasil yang signifikan dengan nilai
Cronbach's Alpha pada kisaran 0,893 sampai dengan 0,903 (Lihat lampiran luaran
SPSS).
Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah menentukan nilai akar ciri
(eigen value) atau persentase keragaman dari kombinasi linier. Nilai akar ciri
menunjukkan besarnya keragaman yang dapat diterangkan oleh masing-masing
komponen/kombinasi linier. Semakin besar nilai akar ciri (eigen value), maka
semakin besar pula persentase keragaman yang diterangkan oleh
komponen/kombinasi linier tersebut, sehingga akar ciri disusun dari nilai yang
tertinggi sampai ke nilai yang terendah.
Pemilihan komponen utama itu sendiri menggunakan kriteria (minimum
eigen value) yaitu memilih komponen-komponen yang memiliki akar ciri (eigen
value) lebih besar dari 1 (satu) atau persentase proporsi keragaman kumulatif
sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh total keragaman. Dengan ketentuan
tersebut diperoleh hasil bahwa dari ketigapuluh tujuh variabel bebas tersebut
mampu direduksi menjadi 9 (sembilan) komponen utama atau sering disebut
sembilan faktor atau dimensi.
Kesembilan komponen utama tersebut mampu menjelaskan keragaman
data asal sebesar 66,05%. Yang uraiannya adalah sebagai berikut. Komponen
pertama mampu menjelaskan keragaman data asal sebesar 28,67%. Komponen
kedua mampu menjelaskan keragaman data asal sebesar 7,86%. Komponen ketiga
mampu menjelaskan keragaman data asal sebesar 6,14%. Komponen kesembilan
mampu menjelaskan keragaman data asal sebesar 2,82%. Kesembilan komponen
utama tersebut tidak berkorelasi satu sama lain (orthogonal).
Dalam analisis komponen utama, biasanya interpretasi variabel ke dalam
salah satu komponen utama masih sulit dilakukan karena masih ada variabel yang
mempunyai korelasi cukup tinggi di beberapa komponen utama sehingga perlu
dilakukan rotasi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu dilakukan rotasi
dengan menggunakan metode rotasi varimax yaitu rotasi ortogonal yang
memaksimumkan keragaman. Nilai keragaman faktor-faktor tersebut tidak
berubah baik sebelum maupun sesudah rotasi. Dengan dilakukannya rotasi dapat

177
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

lebih jelas menafsirkan hubungan variabel-variabel asal dengan masing-masing


faktornya. Dari hasil analisis komponen utama tersebut, ketigapuluh tujuh variabel
mengelompok kedalam 9 komponen utama (selanjutnya masing-masing
komponen disebut sebagai faktor dari produktivitas peneliti).

Tabel 1
Persentase Keragaman Kumulatif Komponen Utama

Komponen Akar Ciri Keragaman (%) Kumulatif Keragaman (%)

1 10.61 28.67 28.67


2 2.91 7.86 36.53
3 2.27 6.14 42.67
4 2.01 5.43 48.1
5 1.74 4.71 52.81
6 1.44 3.9 56.7
7 1.23 3.32 60.02
8 1.19 3.21 63.24
9 1.04 2.82 66.05
Sumber: Hasil dari pengolahan data dengan SPSS

Pada penelitian ini variabel-variabel yang diamati atau data yang digunakan
berasal dari data sampel, sehingga perlu menghitung nilai Kaiser-Meyer-Olkin
(KMO) yang digunakan untuk menentukan apakah hasil suatu faktor dapat
dinyatakan telah tepat. Berdasarkan data yang diperoleh dari 182 responden,
diperoleh nilai KMO sebesar 0,883, yang berarti analisis faktor dapat dilanjutkan
karena nilai KMO > 0,5.
Sembilan faktor yang terbetuk tersebut, selanjutkan diberi nama sebagai
berikut. Faktor 1 (Kepemimpinan), Faktor 2 (Lingkungan sosial peneliti), Faktor 3
(Konsistensi organisasi), Faktor 4 (motivasi), Faktor 5 (Insentif dan lingkungan),
Faktor 6 (Produktivitas & kompetensi), Faktor 7 (Perkembangan ilmu), Faktor 8
(Pejabat struktural), dan Faktor 9 (Birokrasi). Pengelompokan 37 variabel
penelitian kedalam 9 faktor selengkapnya adalah sebagai berikut.

178
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Tabel 2
Pengelompokan Variabel Penelitian kedalam 9 Faktor
Faktor Kode Variabel

Faktor 1 P1 Pimpinan menghargai kesungguhan peneliti dalam melakukan penelitian


Kepemimpinan p2 Pimpinan mengawasi agar kegiatan penelitian berjalan baik
p3 Pimpinan menganggap para peneliti sangat kompeten dalam melakukan
p6 penelitian
p7 Pimpinan menerima ide penelitian siapa saya yang berkualitas
p8 Pimpinan mendorong peneliti utk menyatakan pendapat dan kritik
p9 Pimpinan mendorong pengembangan diri peneliti
pd10 Pimpinan memiliki visi untuk meningkatkan reputasi Puslit
Prestasi saya sebagai peneliti dihargai rekan2 saya
Faktor 2 k1 Peneliti bisa bekerjasama dengan baik dalam tim penelitian
Lingkunan k2 Peneliti mudah dimintai saran dan pendapatnya
sosial peneliti k3 Peneliti sangat antusia melakukan penelitian dan publikasi ilmiah
k4 Peneliti berambisi menjadi profesor riset yang hebat
k5 Peneliti menghargai prestasi rekan2 nya
k6 Sebagian peneliti memiliki reputasi hebat & berpengaruh pada peneliti lainnya
k7 Peneliti menghargai perbedaan pendapat
Faktor 3 O1 Rencana nyata untuk meningkatkan reputasinya
Konsistensi O2 Saya fleksibel & terbuka pada perubahan
organisasi O3 Saya melaksanakan kegiatan sesuai dengan yang direncanakan
O4 Aturan/kebijakan yang hendak dicapai
Faktor 4 S2 Turut berusaha memajukan puslit saya
Motivasi S4 Turut menentukan keberhasilan penelitian tim saya
Pd1 Saya menikmati bekerja sebagai peneliti
Pd6 Saya berambisi menjadi peneliti reputasi nasional
Pd7 Saya berambisi menghasilkan karya ilmiah yang monumental
Pd12 Saya ingin mempengaruhi masyarakat/negara/industri melalui penelitian
Faktor 5 Pd2 Saya giat melakukan penelitian untuk menghindari teguran atasan
Insentif dan Pd4 Saya membuat karya tulis ilmiah agar fungsional tidak dicabut
lingkungan Pd5 Tunjangan fungsional & insentif merupakan faktor dominan membuat karya
Pd9 ilmiah
Pd11 Saya meneliti sunguh2 supaya diterima di lingkungan
S3 Saya giat melakukan penelitian karena terbawa suasana lingkungan yang aktif
Saya bekerja di LIPI karena suka meneliti
Faktor 6 Pd14 Produktivitas saya sebagai peneliti di bawah rata-rata
Produktivitas & Pd15 Kompetensi saya sebagai peneliti di bawah rata-rata
kompetensi
Faktor 7 K8 Mengalokasikan waktunya untuk kegiatan di puslit
Perkembangan K9 Mengikuti perkembangan terkini di bidang keilmuan
ilmu
Faktor 8 Pd13 Saya ingin menjadi pejabat struktural agar bisa merealisasikan ide
Pejabat
Struktural
Faktor 9 P4 Pimpinan puslit sangat dominan dalam menentukan topik/tema penelitian
Birokrasi
Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS

179
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Hubungan antara Faktor-faktor Penentu Kualitas Produktivitas Peneliti

Uraian ini mencoba mengkaitkan faktor-faktor penentu produktivitas


peneliti yang meliputi: Kepemimpinan, Lingkungan sosial peneliti, Konsistensi
organisasi, motivasi, Insentif dan lingkungan, Produktivitas & kompetensi,
Perkembangan ilmu, Pejabat struktural, dan Birokrasi. Hal ini karena faktor-faktor
tersebut memiliki aspek yang penting dalam menentukan produktivitas peneliti di
lingkungan LIPI. Tabel di bawah ini adalah nilai korelasi antara faktor-faktor
penentu produktivitas yang hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 3
Korelasi Faktor-faktor Penentu Produktivitas Peneliti

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Faktor 5 Faktor 6 Faktor 7 Faktor 8 Faktor 9

Faktor 1 1 0.67*) 0.71*) 0.29*) 0.25 0.08 0.21 0.17 0.11


Faktor 2 1 0.56*) 0.31*) 0.24 -0.01 0.30*) 0.11 0.03
Faktor 3 1 0,28*) 0,18 -0,08 0,19 0,14 -0,01
Faktor 4 1 -0,05 -0,21 0,06 0,16 0,01
Faktor 5 1 0,08 0,04 0,21 0,11
Faktor 6 1 0,06 -0,03 0,05
Faktor 7 1 0,03 -0,14
Faktor 8 1 0,09
Faktor 9 1

Sumber: Diolah dari data primer


Faktor penentu produktivitas peneliti yang berkorelasi positif dan
signifikan secara statistik, adalah antara faktor 1 (Kepemimpinan) dengan faktor
2 (Lingkungan sosial peneliti) sebesar 0,67. Selanjutnya antara faktor 1 dengan
faktor 3 (Konsistensi organisasi) sebesar 0,71. Dan yang terakhir antara faktor 2
dengan faktor 3 sebesar 0,56. Selanjutnya nilai koefisien korelasi secara statistik
masih signifikan, namun nilainya masih di bawah 0,5 adalah antara faktor 1
dengan faktor 4 (Motivasi), antara faktor 2 dengan faktor 4, antara faktor 2 dengan
faktor 7 (perkembangan ilmu), serta antara faktor 3 dengan faktor 4. Namun
secara keseluruhan faktor-faktor penentu produktivitas berkorelasi relatif rendah.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Peneliti

Untuk melihat pengaruh suatu variabel independen terhadap variabel


dependen, maka perlu analisis regresi. Dalam hal ini Analisis regresi yang
dimaksudkan adalah untuk melihat berapa besar pengaruh/hubungan faktor

180
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

independent (faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas penelitian)


terhadap faktor dependent (produktivitas peneliti). Faktor independent dalam
panelitian ini adalah 9 faktor yang terbentuk dari variabel operasional dalam
peningkatan kualitas penelitian yang direduksi dari 37 variabel. Sementara itu
untuk faktor produktivitas, dalam penelitian ini digunakan 2 versi ukuran
produktivitas. Produktivitas versi 1 diukur berdasarkan kecepatan relatif dalam
pencapaian jenjang fungsional peneliti (semakin muda usia peneliti dan semakin
tinggi jenjang fungsional peneliti semakin produktif). Produktivitas versi 2
didasarkan pada jumlah total publikasi ilmiah peneliti 3 tahun terakhir.
Dari hasil analisis regresi antara keseluruhan faktor (9 faktor) yang
mempengaruhi kualitas penelitian dengan Produktivitas peneliti (produktivitas
versi 1 maupun versi 2), keduanya diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang
kecil sekali, yaitu sebesar 0,203. Ini berarti bahwa kesembilan faktor tersebut
hanya mampu menjelaskan produktivitas peneliti sebesar 20,3% sedangkan
sisanya 79,7% dipengaruhi atau dijelaskan oleh faktor lain diluar kesembilan
faktor tersebut.

Tabel 4 berikut di bawah merupakan ringkasan hasil korelasi antara 9 faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas penelitian dengan produktivitas peneliti versi 1.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa secara keseluruhan terdapat korelasi yang
rendah antar keduanya. Walaupun koefisien determinasinya rendah sekali, tetapi
secara statistic masih terdapat 3 faktor yang signifikan yaitu untuk Faktor
Aturan/kebijakan (0,004); Faktor Ingin menjadi peneliti yang tangguh (0,003);
Faktor Kompetensi (0,00) dan Faktor Pejabat struktural (0,00)

Tabel 4

Ringkasan Hasil Korelasi antara 9 Faktor yang Berpengaruh terhadap


Kualitas Penelitian dengan Produktivitas Peneliti versi 1
Faktor Koefisien Beta Nilai t Signifikan

Kepemimpinan -0,117 -1,143 0.254

Lingkungan sosial peneliti -0,028 -0,322 0,748

Konsistensi organisasi 0,259 2,947 0,004

Motivasi 0,204 2,982 0,003

Insentif dan lingkungan 0,103 1,568 0,118

Kompetensi -0,228 -3,540 0,000

Perkembangan ilmu -0,050 -0,785 0,433

181
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

Pejabat structural -0,238 -3,672 0,000

Birokrasi 0,000 0,004 0,996

Koefisien determinasi (R2) 0,203

Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS

Tabel 5 berikut di bawah merupakan ringkasan hasil korelasi antara 9


faktor yang berpengaruh terhadap kualitas penelitian dengan produktivitas
peneliti versi 2. Dari tabel tersebut terlihat bahwa secara keseluruhan terdapat
korelasi yang rendah antar keduanya (0,203). Tetapi secara statistik terdapat 2
faktor yang signifikan yaitu untuk Faktor Ingin menjadi peneliti yang tangguh
(0,001); dan Kompetensi (0,001).

Tabel 5

Ringkasan Hasil Korelasi antara 9 Faktor yang Berpengaruh terhadap


Kualitas Penelitian dengan Produktivitas Peneliti versi 2.

Faktor Koefisien Beta Nilai t Signifikan

Kepemimpinan 0,174 1,714 0,088

Lingkungan sosial peneliti 0,012 0,142 0,887

Konsistensi organisasi 0,046 0,523 0,602

Motivasi 0,236 3,465 0,001

Insentif dan lingkungan 0,013 0,197 0,844

Kompetensi -0,225 -3,508 0,001

Perkembangan ilmu -0,097 -1,523 0,129

Pejabat structural -0,108 -1,679 0,095

Birokrasi -0,019 -0,299 0,765

Koefisien determinasi (R2) 0,203

Sumber: Hasil pengolahan data dengan SPSS

Berdasarkan analisis di atas, ternyata produktivitas peneliti dalam


pengembangan pengetahuan tidak ditentukan oleh seluruh faktor tersebut di atas,
namun hanya 3 faktor yang berperan mempengaruhi produktivitas peneliti. Hal
lain yang menyebabkan lemahnya hubungan ini adalah skala pengukuran yang

182
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

digunakan adalah skala likert. Dalam penelitian yang menggunakan skala likert ini
cenderung memiliki hubungan yang relatif kecil.

Kekuatan Sistem Insentif

Secara total pengaruh variabel-variabel dalam kuesioner kami hanya


sekitar 20 persen pada produktivitas. Mengapa hal ini terjadi?
Yang memebedakan kondisi di Indonesia dengan di negara-negara maju
adalah ukuran produktivitas yang digunakan. Di Indonesia, nilai KUM antara
makalah yang terbit di jurnal luar neger dan jurnal dalam negeri hanya berbeda 5
angka. Padahal perbedaan tingkat kesulitannya, maupun lamanya waktu untuk
bisa diterbitkan sangat besar. Karena itu dorongan untuk menulis di jurnal
internasional sangat rendah. Hanya orang-orang tertentu, yang jumlahnya sangat
terbatas, yang mau mengupayakan untuk menulis di jurnal internasional. Ini bisa
dilihat dari rata-rata publikasi jurnal internasional dalam 3 tahun terakhir yang
hanya 0.82 (kurang dari 1).
Berdasarkan FGD yang kami lakukan di tiga puslit P2 Fisika, P2
Informatika dan P2 Biologi didapat informasi bahwa untuk proyek DIPA dan
Dikti/Ristek semuanya dilibatkan, apapun kinerjanya sebelumnya. Produktivitas
dan kualitas penelitian tidak menjadi pertimbangan dalam melibatkan orang
dalam proyek DIPA ataupun Dikti/Ristek. Proyek penelitan yang lebih selektif
adalah yang berasal dari program kompetitif, ataupun yang pendanaannya dari
luar.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian ini adalah:
Pengaruh organisasi secara keseluruhan sangat rendah terhadap
produktivitas peneliti. Ini dikarenakan organisasi tidak memberikan
insentif pada kinerja yang bisa dirasakan dalam jangka pendek. Atau hal-hal
yang mestinya bisa dijadikan insentif, hilang efek insentifnya karena
dibagikan ke setiap orang secara sama tanpa memperdulikan kinerjanya.
Di antara pengaruh-pengaruh yang kecil ini, motivasi pribadi memiliki
pengaruh yang berarti.

Saran-saran yang bisa kami ajukan adalah sebagai berikut:


Insentif

Agar peneliti lebih terdorong meningkatkan produktivitasnya, maka


komponen insentif yang diperoleh karena kinerjanya harus lebih besar
dibandingkan yang pasti diperoleh tanpa mempertimbangkan kinerja seseorang.
Insentifnya juga tidak harus dalam bentuk seseorang mendapatkan atau tidak
sama sekali. Bisa juga insentifnya dibuat dalam beberapa tingkat. Misalnya yang
kinerjanya sangat rendah hanya diijinkan melakukan studi meja (desk study), atau

183
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

dalam jumlah jam kerja yang rendah, sedangkan yang lebih produktif bisa
mendapatkan jumlah jam yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya.
Insentifnya bisa juga dalam bentuk pengakuan. Misalnya setiap satker
menentukan tim penelitian terbaik ataupun peneliti terbaik setiap tahunnya.
Demikian juga di tingkat LIPI perlu ditentukan tim peneliti terbaik ataupun
peneliti yang paling produktif setiap tahunnya. Pengakuan, jika dipublikasikan
secara luas, akan dipersepsi sebagai penghargaan yang berarti juga bagi peneliti.
Strategi harus mengikuti visi, dan struktur harus mengikuti strategi. Karena
itu jika LIPI hendak menjadi world-class research institution, maka seluruh
instrumen organisasi harus diarahkan untuk mendukung pencapaian visi tersebut,
termasuk sistem insentifnya. Jika LIPI ingin memiliki reputasi internasional, maka
publikasi internasional harus secara eksplisit disosialisasikan dan didorong
dengan sistem insentif, baik finansial maupun pengakuan.

Kepemimpinan

Tugas pemimpin satker adalah mencari proporsi yang tepat antara tindakan
memelihara atau maintaining (M) dan tindakan produksi (P). Tindakan
memelihara, antara lain, meliputi memperhatiakan bawahan, perhatian terhadap
kebutuhan dan cita-cita mereka, membuat mereka merasa penting, membuat
orang merasa menjadi bagian dari Satker, dan lain-lain. Sementara tindakan
produksi, antara lain, meliputi menjadwalan pekerjaan, mendefinisikan tujuan,
menjelaskan pada bawahannya bagaimana mencapai tujuan tersebut, serta
memastikan agar bawahannya melakukan apa yang diharapkan dari mereka.
Pemimpin bisa menentukan kualitas manajemen dan konsistensi organisasi.
Lingkungan Sosial Sesama Peneliti

Peran lingkungan sosial cukup besar bagi peneliti. Mereka bisa saling
menginspirasi ataupun sebaliknya saling melemahkan motivasi masing-masing.
Tindakan dari pemimpin Satker bisa turut membantu terbentuknya lingkungan
sosial yang kondusif.

Motivasi

Meskipun motivasi intrinsik sangat berperanan dalam menentukan


produktivitas, penghargaan dan pengakuan dari lingkungan dan manajemen bisa
membuat peneliti lebih bersemangat lagi dalam berprestasi. Karena itu pemimpin
perlu memaksimalkan pengaruh insentif baik finansial dan penghargaan dalam
mendorong produktivitas para peneliti.

184
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

DAFTAR PUSTAKA

Abbey, A. & Dickson, J.W. (1983). R&D Work Climate and Innovation in Semiconductors.
Academy of Management Journal 26 (2).
Abbott, J, & Kleiner, B.H. (1992). Incentive pay: Not just for top management. Work Study,
Mar/Apr, 41(2).
Abdullah, B. (2006). Menanti kemakmuran negeri: kumpulan esai tentang pembangunan
sosial ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ambos, B. & Schlegelmilch, B.B. (2008). Innovation in Multinational Firms: Does Cultural
Fit Enhance Performance? Management International Review, 48 (2).
Ayers, D.F. (2005). Organizational Climate in Its Semiotic Aspect: A Post Modern
Community College Undergoes Renewal. Community College Review 33(1), Fall.
Badawy, M.K. (1971). Industrial scientists and engineers: Motivational style differences.
California Management Review, Fall, 14(1).
Badawy, M.K. (2007). Managing Human Resources. Research Technology Management, July
August.
Balderston, J., Birnbaum, P., Goodman, R., & Stahl, M. (1984). Modern Management
Techniques in Engineering and R&D. Van Nostrand Reinhold.
Brown, M.G., & Svenson, R.A. (1998). Measuring R&D productivity. Research Technology
Management, Nov/Dec, 41(6).
Chen, Y., Gupta, A., Hoshower, L. (2006). Factors That Motivate Business Faculty to
Conduct Research: An Expectancy Theory Analysis. Journal of Education for Business,
81(4).
Cohen, B.H., & Lea, R.B. (2004). Essentials of Statistics for the Social and Behavioral Sciences.
Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
Cooper, R.G. & KleinSchmidt, E. J. (2007). Winning businesses in product development: the
critical success factors. Research Technology Management, 50 (3), May/June.
Couto, J.P., & Vieira, J.C. (2004). National Culture and Research and Development Activities.
Multinational Business Review, 12(1).
Daryatmi, 2002. Pengaruh motivasi, pengawasan dan budaya kerja terhadap produktivitas
karyawan perusahaan. Diakses http://www.eprints.ums.ac.id/125/1/daryatmi pdf,
26/10/2010.
Denison, D.R. (1996). What is the difference between organizational culture and
organizational climate? A native's point of view on a decade of paradigm wars. The
Academy of Management Review 21(3).
Endang Lestari Hastuti, 1998. Hambatan Sosial Budaya Dalam Pengarusutamaan Gender
di Indonesia, diakses dari http://www.ejournal.unud.ac.id, 03/01/2011.
Fogarty, T.J. & Ruhl, J.M. (1997). Institutional antecedents of accounting faculty research
productivity: A LISREL study of the Best and the Brightest. Issues in Accounting
Education, 12 (1).
Fox, K.J. & Milbourne, R. (1999). What Determines Research Output of Academic
Economists? The Economic Record 75(230), September, p. 256-67.
Gavrila, C., Caulkins, J.P., Feichtinger, G., Tragler, G. , Hartl, R.F. (2005). Managing the

185
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

reputation of an award to motivate performance . Mathematical Methods of


Operations Research, 61: 1 22.
Giddens, A. (1984). The Constitution of Society. University of California Press, Berkeley and
Los Angeles.
Goodwin, T.H., & Sauer, R.D. (1995). Life Cycle Productivity in Academic Research:
Evidence from Cumulative Publication Histories of Academic Economists. Southern
Economic Journal 61(3).
Grover, V., Segars, A.H., and Simons, S.J. (1992). An Assessment of Institutional Research
Productivity in MIS. Data Base, 23(4), 5-9.
Hofstede, G. (1987). Culture and Organizations: Software of the Mind. New York: McGraw-
Hill.
Hofstede, G. (1994). Mangement Scientists are Human. Management Science, 40 (1).
Hu, Q. & Gill, T.G. (2000). IS faculty research productivity: Influencial factors and
implications. Information Resources Management Journal, 13(2), 15-25.
Isaac, R.G., Herremans, I.M., Kline , T.J.B. (2009). Intellectual capital management:
pathways to wealth creation. Journal of Intellectual Capital , 10(1), hal. 81-92.
Jain, R.K., Triandis, H.C., & Weick, C.W. (2010). Managing research, development and
innovation : managing the unmanageable. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons,
Inc.
Jamrog, J., Vickers, M., & Bear, D. (2006). Building and Sustaining a Culture that Supports
Innovation. HR. Human Resource Planning, 29 (3).
Jin, J.C. & Yau, L. (1999). Research productivity of the economics professions in East Asia.
Economic Inquiry 37(4), October.
Johnson, R.A. & Wichern, D.W. (1992). Applied Multivariate Statistical Analysis. Prentice
Hall, Inc. New Jersey.
Jordan, G.B. (2005). What matters to r&d workers. Research Technology Management,
May/Jun, 48(3).
Kalling, T. (2003), Organization-internal transfer of knowledge and the role of
motivation: a qualitative case study, Knowledge and Process Management, Vol.
10 No. 2, Chichester, April/June, p. 115.
Kaya, N. & Weber, M.J. (2003). Faculty Research Productivity: Gender and Discipline
Differences. Journal of Family and Consumer Sciences, Nov, 95(4).
Kenny, L.W. & Studley, R.E. (1995). Economists' salaries and life-time productivity.
Southern Economic Journal October, 62(2).
Lach, S. & Mark Schankerman, M. (2008). Incentives and invention in universities . The
Rand Journal of Economics, Summer, 39(2).
Kadiman, Kusmayanto (2008). Membangun daya saing Kemandirian Sains dan Teknologi
Bangsa. Sekneg
Khodyakov, D.M. (2007). The Complexity of Trust-Control Relationships in Creative
Organizations: Insights from a Qualitative Analysis of a Conductorless Orchestsa.
Social Forces, 86 (1).
Long, R.G., Bowers, W.P., Barnett, T., & White, M.C. (1998). Research productivity of
graduates in management: Effects of academic origin and affiliation. Academy of
Management Journal 41(6), December.
Lucas, L.M. & Ogilvie, D.T. (2006). Things are not always what they seem: How reputations,

186
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN IPTEK TAHUN
2010

culture and incentives influence knowledge transfer. The Learning Organization


13(1).
Manners Jr, G.E., Steger.J.A., Zimmerer, T.W. (1997). Motivating your R&D staff. Research
Technology Management, Nov/Dec, 40(6).
Milne (2007). Motivation, incentives and organisational culture. Journal of Knowledge
Management, 11(6).
Muhlemeyer, P. (1992). R&D Personnel Management by Incentive Management: Results
of an Empirical Survey in Research & Development. Personnel Review, 21(4).
Noordin, F., Omar, S., Sehan, S., & Idrus, S. (2010). Organizational Climate and Its Influence
on Organizational Commitment. International Business and Economics Research
Journal 9(2).
Park, Y. (2009). Factors influencing self-directed career management: an integrative
investigation . Journal of European Industrial Training 33(7).
Patterson, M.G., West, M.A., Shackleton, V.J., Dawson, J.F., Lawthom, R., Maitlis, S., Robinson,
D.L., & Wallace, A.M. (2005). Validating the organizational climate measure: links to
managerial practices, productivity and innovation . Journal of Organizational
Behavior 26, 379408.
Sabrin, M. (2002). A Ranking of the Most Productive Business Ethics Scholars: A Five-Year
Study. Journal of Business Ethics 36(4).
Sugianto (2001). Pengolahan Data Statistik. Penerbit Salemba Infotek. Jakarta.
Supranto, J. (2004). Analisis Multivariate (Arti & Interpretasi). Penerbit. Rineka Cipta.
Siagian, Sondang P. (1995). Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta
Xie, Y. & Shauman, K.A. (1998). Sex differences in research productivity: new evidence
about an old puzzle. American Sociological Review 63(6), December.

187

Anda mungkin juga menyukai