Anda di halaman 1dari 185

NASKAH AKADEMIK

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI


REPUBLIK INDONESIA
2012

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

PERUBAHAN
UNDANG UNDANG
NOMOR 18 TAHUN 2002
TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN,
PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Bab 1
Pendahuluan
1.1.

Latarbelakang

Pertanyaan yang paling mendasar yang perlu dijawab adalah: apa kontribusi teknologi dalam
negeri terhadap pembangunan nasional? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi tolok ukur
bagi perkembangan Sistem Inovasi Nasional (SINas) di setiap negara, termasuk Indonesia.1
Akan tetapi untuk menjawab pertanyaan sederhana ini, maka perlu didahului dengan
pemahaman yang lebih mendalam tentang anatomi permasalahannya.

Keberadaan lembaga riset yang banyak, aktivitas riset yang rutin dan masif, serta dukungan
pembiayaan dari berbagai sumber ternyata belum menjadi jaminan bahwa akan mampu
menghasilkan teknologi yang secara langsung dapat ditranslasi menjadi produk barang
dan/atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, sampai saat ini masih sangat sedikit
teknologi domestik yang dihasilkan oleh akademisi, peneliti, atau perekayasa di dalam negeri
yang diadopsi oleh industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan publik. Tidak banyak juga teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang
digunakan oleh masyarakat, maupun oleh berbagai lembaga pemerintah, baik untuk
peningkatan kualitas pelayanan publik maupun sebagai landasan pembuatan kebijakan dan
regulasi.
Rendahnya adopsi teknologi tersebut antara lain berakar pada kenyataan bahwa intensitas dan
kualitas komunikasi dan interaksi antara lembaga riset atau perguruan tinggi (sebagai aktor
pengembang teknologi) dengan industri atau pengguna teknologi lainnya yang masih sangat
terbatas. Hal ini mengakibatkan ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan
dengan kebutuhan industri atau para pengguna teknologi lainnya. Masalah ini merupakan
masalah yang paling serius dan mendasar (fundamental problem) dalam upaya mewujudkan
1

Sistem Inovasi Nasional adalah sistem aliran teknologi dan informasi antara kelembagaan pengembang-pengguna teknologi,
didukung oleh kelembagaan terkait lainnya, yang menjadi kunci dari proses inovatif pada suatu negara.
Dibawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi terdapat 7 kelembagaan yang tugas pokoknya
menyelenggarakan riset atau kegiatan yang terkait dengan implementasi hasil riset. Kelembagaan riset tersebut berstatus
sebagai Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Selain LPNK tersebut, pada masing-masing kementerian teknis juga
terdapat Badan Penelitian dan Pengembangan masing-masing. Kelembagaan riset non-pemerintah terdapat di beberapa
industri besar, selain itu juga ada yang berupa lembaga riset independen yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sesungguhnya banyak kelembagaan di Indonesia yang melakukan kegiatan riset. Setiap institusi
pendidikan tinggi wajib melakukan kegiatan riset sebagaimana amanah Tridharma Perguruan
Tinggi. Tiga tugas pokok institusi pendidikan tinggi negeri maupun swasta adalah melakukan
kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain
instansi pendidikan tinggi, di Indonesia juga terdapat banyak lembaga riset pemerintah dan
non-pemerintah.2

SINas. UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan sistem nasional penelitian, pengembangan dan
penerapan (litbangrap) iptek bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk
percepatan pencapaian tujuan negara, peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa dalam
pergaulan internasional.
Berfungsinya SINas tidak hanya membutuhkan: [1] keberadaan lembaga pengembang teknologi
yang produktif dan berkualitas;3 [2] industri yang dikelola dengan baik dan didukung tenaga
kerja terampil dan/atau terdidik yang produktif serta kelimpahan bahan baku; dan [3] fasilitasi
aktif dari pemerintahan serta kebijakan dan regulasi yang mendukung pewujudan ekosistem
yang kondusif; tetapi juga membutuhkan [4] niat dan motivasi yang tinggi antara pihak
pengembang dan pengguna teknologi untuk berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain
berdasarkan asas kesetaraan dan saling menguntungkan (mutualistik). UU No. 18 Tahun 2002
menyebutkan fungsi dari sistem nasional litbangrap iptek adalah untuk membentuk pola
hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan
iptek dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan sistem nasional litbangrap
iptek.

Kegagalan paradigma yang lalu ini perlu disikapi secara cerdas dan objektif, dengan
mengesampingkan kepentingan sektoral ataupun profesi. Tentu perlu telaah komprehensif
terhadap anatomi permasalahan dalam implementasi paradigma supply-push yang kurang
optimal tersebut, selain juga perlu dilakukan pencermatan yang matang terhadap alternatifalternatif untuk memperbaiki paradigma lama tersebut.
Kenyataan ini menjadi argumen yang sangat kuat untuk melakukan penelaahan terhadap posisi
SINas Indonesia saat ini dan mencari alternatif pendekatan yang tepat agar pola hubungan
pengembang-pengguna teknologi dapat efektif, efisien, dan produktif menghasilkan produk
barang dan/atau jasa yang dibutuhkan rakyat Indonesia, yang berarti sekaligus secara nyata
akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan (perekonomian) nasional.
Upaya mengubah paradigma yang lama dengan paradigma yang baru agar ditekankan pada
pola dan arah hubungan antara pengembang dan pengguna teknologi serta pihak-pihak lain
yang terkait. Secara substansial upaya ini dapat disebut sebagai upaya reorientasi arah dan pola
hubungan antar-aktor dalam sistem nasional litbangrap iptek. Diharapkan dengan melakukan
3

Kualitas kelembagaan pengembang teknologi dilihat dari kualitas akademik sumberdaya manusia (SDM) yang
mengawakinya, ketersediaan sarana dan prasarana riset yang canggih dan sesuai dengan kebutuhan fokus riset
yang menjadi tugas pokoknya, ketersediaan dan/atau kemudahan mengakses sumber informasi ilmiah, dan
fasilitas pendukung lainnya untuk menciptakan suasana akademik (academic environment) yang kondusif, serta
kemampuannya dalam mendifusikan teknologi yang dihasilkan kepada pengguna potensial.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Paradigma yang lalu menempatkan pihak pengembang teknologi (institusi pendidikan tinggi
dan lembaga riset) secara dominan dalam mewarnai genre teknologi yang dikembangkan.
Pendekatan yang lebih dominan bersifat supply-push ini ternyata gagal dalam mempersuasi
industri dan pihak pengguna lainnya untuk mengadopsi teknologi hasil riset oleh perguruan
tinggi maupun lembaga riset tersebut.

reorientasi sistem nasional litbangrap iptek, maka teknologi domestik yang dihasilkan akan
lebih berpeluang untuk diadopsi oleh para pengguna, terutama industri dan pelaku produksi
lainnya di dalam negeri. Resultan dari adopsi teknologi untuk produksi barang dan/atau jasa ini
adalah peningkatan kontribusi nyata teknologi terhadap pembangunan nasional.
Satu hal yang sangat fundamental yang perlu reorientasi adalah anggapan bahwa masalah
litbangrap iptek merupakan permasalah teknologi yang berkaitan dengan ekonomi
(economically-related technological problems), padahal sesungguhnya penguatan sistem
nasional litbangrap iptek adalah permasalahan ekonomi yang butuh dukungan teknologi untuk
memecahkannya (technologically-related economical problems).

Kesesuaian teknologi dengan kebutuhan nyata membuka peluang lebih lebar untuk teknologi
tersebut dapat diadopsi, namun belum sepenuhnya menjamin bahwa sistem nasional
litbangrap iptek akan otomatis terbangun. Ekosistem yang kondusif sangat dibutuhkan untuk
tumbuh-kembang inovasi, terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang akomodatif,
yang memudahkan para aktor inovasi untuk berkomunikasi dan berinteraksi serta juga
memudahkan proses adopsi teknologi domestik oleh para pengguna di dalam negeri.
Arahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono5 untuk mengutamakan upaya pemenuhan
kebutuhan (demand) pasar domestik menumbuhkan semangat untuk lebih gigih mewujudkan
sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) iptek yang lebih handal.
Penduduk Indonesia yang saat ini (BPS, 2010) telah mencapai 237 juta, merupakan pasar yang
sangat besar dan menjadi target banyak negara asing dalam memasarkan produknya. Para
pengembang teknologi dan industri dalam negeri harus bahu membahu membangun sinergi
untuk tidak membiarkan pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk dan/atau jasa dari
negara-negara asing.

Untuk pelaksanaan MP3EI, telah pula diterbitkan Perpres 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menetapkan tiga kelompok kerja (Pokja), yakni:
Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan Pokja SDM dan
Iptek. Pokja SDM dan Iptek diketuai oleh Menteri Pendidikan Nasional dan wakil ketuanya adalah Menteri
Negara Riset dan Teknologi, dengan anggota dari kementerian PPN/Bappenas, Ristek, Diknas, Nakertrans,
Keuangan, UKM dan Koperasi, serta dari anggota KIN, Kadin, dan ketua asosiasi profesi dan usaha terkait.

Pada Seminar di Institut Teknologi 10 November Surabaya tanggal 14 Desember 2010.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kemajuan perekonomian sangat tergantung pada kinerja litbangrap iptek-nya, yang pada
prinsipnya adalah tergantung pada kapasitas negara dalam mengembangkan teknologi yang
sesuai dengan kebutuhan nyata dan sesuai pula dengan kapasitas adopsi dari para pengguna
teknologi. Untuk kasus Indonesia, kesadaran akan pentingnya peran teknologi dalam
pembangunan perekonomian nasional tersurat dari ditetapkannya pengembangan sumberdaya
manusia (SDM) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sebagai salah satu dari tiga strategi
utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),
disamping dua strategi utama lainnya, yakni pengembangan potensi ekonomi melalui enam
koridor yang telah ditetapkan dan memperkuat konektivitas nasional.4

Sinergi pengembang-pengguna teknologi dalam penguatan inovasi nasional merupakan aksi


yang tepat dan sepatutnya dilakukan. Inisiatif inovasi dari Komite Inovasi Nasional yang
ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan,
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), antara lain menyebutkan penguatan
inovasi melalui skema 747 memerlukan pendanaan R&D hingga 1% dari GDP. Skema 747 ini
mencakup tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi, pengembangan empat wahana
percepatan pertumbuhan ekonomi, dan pencapaian tujuh sasaran visi inovasi 2025.
Peningkatan dukungan pendanaan untuk menunjang program inovasi ini dapat dilaksanakan
secara bertahap sesuai dengan daya dukung pemerintah, BUMN, dan partisipasi badan usaha.
Akan sangat ideal jika Pemerintah mampu mewujudkan tujuh sasaran visi inovasi 2025 melalui
pembentukan ekosistem yang lebih kondusif melalui regulasi dan kebijakan yang tepat. Adanya
peraturan perundang-undangan yang konsisten dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (good governance), sehingga tumbuh-kembang sistem nasional litbangrap iptek dapat
berlangsung secara lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan.

Permasalahan

Keberadaan lembaga riset yang banyak, aktivitas riset yang rutin dan masif, serta dukungan
pembiayaan dari berbagai sumber ternyata belum menjadi jaminan bahwa akan mampu
menghasilkan teknologi yang secara langsung dapat ditranslasi menjadi produk barang
dan/atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya, sampai saat ini masih sangat sedikit
teknologi domestik yang dihasilkan oleh akademisi, peneliti, atau perekayasa di dalam negeri
yang diadopsi oleh industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan publik. Tidak banyak juga teknologi yang dikembangkan di dalam negeri yang
digunakan oleh masyarakat, maupun oleh berbagai lembaga pemerintah, baik untuk
peningkatan kualitas pelayanan publik maupun sebagai landasan pembuatan kebijakan dan
regulasi.
Hasil penelitian LIPI (Sri Mulatsih dan Prakoso Bhairawa Putera, 2000) terkait dengan sistem
penelitian iptek dan sistem inovasi nasional, antara lain menyimpulkan inovasi masih belum
memenuhi kebutuhan pasar (ekonomi). Interaksi dan koordinasi antar elemen dalam
menghasilkan inovasi masih sangat diperlukan dalam membangun suatu sistem inovasi
nasional. Menurut Benyamin Lakitan (2012), rendahnya adopsi teknologi tersebut antara lain
berakar pada kenyataan bahwa intensitas dan kualitas komunikasi dan interaksi antara
lembaga riset atau perguruan tinggi (sebagai aktor pengembang teknologi) dengan industri
atau pengguna teknologi lainnya yang masih sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan
ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan industri atau
para pengguna teknologi lainnya. Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan
mendasar (fundamental problem) dalam upaya mewujudkan SINas. UU No. 18 Tahun 2002
menyebutkan sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) iptek

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

1.2.

bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk percepatan pencapaian tujuan negara,
peningkatan daya saing dan kemandirian bangsa dalam pergaulan internasional.

1.3.

Maksud dan Tujuan Penulisan

Persoalan terkait dengan upaya penguatan inovasi tidak dapat disederhanakan secara
berlebihan (over-simplified) hanya menjadi persoalan relevansi teknologi. Disadari betul bahwa
upaya penguatan inovasi nasional merupakan upaya penguatan sistem inovasi yang sangat
kompleks. Banyak aktor yang ikut berperan, dengan derajat dan jenis partisipasi yang berbeda
tentunya. Banyak faktor yang mempengaruhi ekosistem dimana sistem inovasi ditumbuhkan,
termasuk ekonomi, sosio-kultural, hukum, dan politik. Interaksi dari berbagai aktor dan faktorfaktor yang ikut berpengaruh tersebut yang akan membentuk sistem inovasi nasional yang
lebih kokoh. Selain kompleks, upaya penguatan inovasi juga sensitif terhadap dinamika peran
para aktor dan faktor-faktor pembentuk ekosistem tumbuhnya.
Memahami persoalan dalam upaya penguatan inovasi nasional yang sangat kompleks tersebut,
maka penulisan naskah akademik perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002 ini dimaksudkan untuk:
[1] Memahami realita dan permasalahan dalam upaya penguatan kemampuan
penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek saat ini;
[2] Mencoba merajut sosok ideal SINas Indonesia dalam mewujudkan tujuh sasaran visi
inovasi 2025 secara lebih produktif dan menyejahterakan rakyat;
[3] Mengidentifikasi dan mengantisipasi dinamika perubahan faktor-faktor yang berpotensi
mempengaruhi ekosistem SINas (lingkungan strategis); dan
[4] Mengembangkan konsepsi SINas Indonesia yang realistis yang diyakini mampu
diaktualisasikan untuk mewujudkan sasaran penguatan inovasi.
Penulisan dokumen ini bertujuan untuk digunakan sebagai bahan referensi akademik yang
menjadi dasar pertimbangan perubahan UU No. 18 Tahun 2002, terutama dalam penyusunan
regulasi yang relevan dengan upaya mewujudkan penguatan inovasi yang lebih produktif dan
menyejahterakan rakyat. Sebagai referensi akademik, dokumen cetak biru ini diharapkan

Perlu selalu diingat bahwa konsitusi UUD 1945 jelas mengamanahkan bahwa pembangunan ilmu pengetahuan
dan teknologi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa (Pasal
31 ayat 5).

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pertanyaan yang fundamental dan filosofis perlu ditranslasi menjadi pertanyaan-pertanyaan


teknis dan operasional agar jawabannya juga menjadi lebih dapat ditindaklanjuti dalam bentuk
aksi nyata yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan nyata yang menjadi
batu sandungan dalam upaya mewujudkan penguatan inovasi secara lebih produktif dan
menyejahterakan rakyat.6 Berbagai persoalan terkait rendahnya kontribusi teknologi di
Indonesia saat ini diyakini berakar pada tidak relevannya teknologi yang dikembangkan dengan
kebutuhan nyata yang dihadapi rakyat, bangsa, dan negara ini.

mampu memberikan informasi yang komprehensif, mutakhir, dan relevan dengan kondisi
Indonesia, serta memberikan kerangka konsepsi yang objektif dan mungkin-dicapai
(achievable) dengan sumberdaya yang dimiliki Indonesia. Informasi ini merupakan langkah
langkah yang diperlukan untuk melakukan perbaikan ekosistem inovasi. Sesuai Perpres No. 32
Tahun 2011 tentang MP3EI, langkah-langkah perbaikan ekosistem inovasi mencakup:
a. pengembangan sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya
penggunaan produk dalam negeri;
b. peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia;
c. pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM;
d. pembangunan klaster inovasi daerah;
e. pengembangan sistem remunerasi peneliti yang lebih baik;
f. revitalisasi infrastruktur R&D; dan
g. pengembangan sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi.

1.4. Metode Penelitian Hukum


Penyusunan Naskah Akademik tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menggunakan metode pendekatan deskriptifanalitis. Pendekatan ini menggambarkan berbagai permasalahan secara utuh dan menyeluruh,
selanjutnya dilakukan analisis yang menjadi bagian-bagian sebagai sistem yang terbagi atas sub
sistem-sub sistem dari suatu ekosistem sebagai suatu kesatuan dalam merumuskan
penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU Nomor 18
Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
Hasil analisis tersebut menjadi landasan untuk mengidentifikasi peraturan perundangundangan yang ada, khususnya hukum tertulis yang berlaku yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya-upaya penguatan inovasi secara nasional.
Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan secara interdisipliner dan multidisipliner,
dan dengan pendekatan dari segi pengelolaannya secara terpadu. Melalui pendekatan
interdisipliner akan diketahui hukum dan ilmu hukum yang mengatur penguatan inovasi dan
melalui pendekatan multi disipliner akan diketahui ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang
mendukung pengaturan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Karena tujuannya adalah untuk menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan dan/atau
regulasi, maka dokumen cetak biru ini walaupun kental berbasis akademik, namun diupayakan
agar mudah dan enak dibaca dengan gaya bahasa dan penggunaan terminologi yang lebih
bersahabat (reader-friendly), terutama bagi para pembuat kebijakan dan regulasi.

Perubahan UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Metode pendekatan sistemik ini digunakan sebagai konsekuensi dari pengertian dan
pemahaman mengenai kompleksitas penguatan inovasi secara nasional. Penelitian ini harus
pula mendekati permasalahan yang ada dalam upaya peningkatan penguasaan, pemanfaatan
dan pemajuan iptek untuk mendorong inovasi dan difusi teknologi seoptimal mungkin. Oleh
karena itu penelitian ini secara futuristik harus menyangkut upaya pembangunan yang
berkelanjutan dalam sistem hukum yang ada bagi penguatan inovasi nasional.

Tahapan penelitian diawali dengan melakukan inventarisasi hukum, khususnya peraturan


perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan perekayasaan, inovasi, maupun difusi
teknologi, serta kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Data ini selanjutnya dianalisis secara kualitatif berdasarkan norma-norma hukum
yang berlaku dan disusun sebagai bagian dari pengembangan sistem hukum nasional di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan merupakan bahan-bahan hukum dalam mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002
tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.
Sumber hukum materiil masalah perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi ini mengacu
pada inventarisasi permasalahan, kemudian diupayakan untuk menarik azas-azas hukum dan
rumusan norma yang akan dijadikan acuan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sedangkan inventarisasi dan
pengolahan data dilakukan melalui:
1. Penelusuran kepustakaan, dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan
yang sudah ada dan berlaku di Indonesia termasuk kebijakan inovasi nasional, konvensi
dan traktat internasional yang terkait alih teknologi, maupun yang terkait dengan
perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi;
2. Mengkaji bahan-bahan seminar, makalah, kertas kerja, maupun putusan pengadilan yang
terkait dengan inovasi teknologi;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pada dasarnya penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian yuridis normatif. Metode ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis, dengan
data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perekayasaan, inovasi, maupun difusi teknologi, serta kegiatan
penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi), serta bahan
hukum sekunder maupun tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian, majalah hukum, hasil focus
group discussion, dan sebagainya) serta data-data yang diperoleh dari para anggota tim
penyusunan naskah akademik.

3. Mengkaji Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,


Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, termasuk pelaksanaan
peraturan pelaksanaannya, terutama Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005
tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual, dan Hasil Penelitian Pengembangan oleh
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan; serta Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagaian Pendapatan Badan
Usaha untuk Kegiatan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Kajian ini mencakup
bagaimana implementasi, kendala-kendala dalam prakteknya, dan peraturan perundangundangan yang terkait; dan
4. Hasil Diskusi atau informasi anggota tim di Kementerian Riset dan Teknologi.
1.5. Sistematika Penulisan
Sesuai dengan maksud penulisan naskah akademik perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002 ini
dan tujuan yang hendak dicapai, maka sistematika penulisan dirinci sebagai berikut:
Bab
Pendahuluan
(UU No. 12/2011: latar belakang, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan naskah akademik,
metode penelitian hukum)

Mencakup tentang latar belakang penulisan naskah akademik perubahan UU


Nomor 18 Tahun 2002, permasalahan, maksud dan tujuan penulisan dokumen,
metode penelitian hukum, serta rincian sistematika penulisan dokumen.
Latar Belakang memberikan informasi awal tentang persoalan pokok yang
dihadapi terkait dengan rendahnya kontribusi teknologi terhadap
pembangunan nasional Indonesia, argumen tentang pentingnya upaya
memperkuat inovasi nasional dalam rangka meningkatkan kontribusi
teknologi, terutama untuk meningkatkan produktivitas nasional dan
kesejahteraan. Inisiatif inovasi nasional dari Komite Inovasi Nasional dalam
rangka pencapaian tujuh sasaran inovasi nasional perlu diperkuat melalui
peraturan perundang-undangan. Program penguatan inovasi nasional ini
mencakup tujuh langkah perbaikan ekosistem inovasi, pengembangan empat
wahana percepatan pertumbuhan ekonomi, dan pencapaian tujuh sasaran
visi inovasi 2025.
Permasalahan secara garis besar memberikan gambaran kondisi kegiatan
penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek, serta berbagai kendala
dalam upaya memenuhi kebutuhan pasar (ekonomi). Interaksi dan
koordinasi antar elemen dalam menghasilkan inovasi masih sangat
diperlukan dalam membangun suatu sistem inovasi nasional yang lebih
tangguh. Ketidakpaduan (mismatch) antara teknologi yang dihasilkan dengan
kebutuhan industri atau para pengguna teknologi lainnya perlu diperhatikan.
Masalah ini merupakan masalah yang paling serius dan mendasar
(fundamental problem) dalam upaya penguatan inovasi, sehingga

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Judul dan Deskripsi Substansi

Bab

Judul dan Deskripsi Substansi


memerlukan perubahan UU No. 18 Tahun 2002.
Maksud dan tujuan penulisan adalah menjelaskan tentang niat yang
terkandung dalam penyusunan dokumen naskah akademik ini dan
kemanfaatan yang dapat diperoleh publik dengan tersedianya dokumen ini.
Metode penelitian hukum memberikan gambaran mengenai metode yang
dilakukan di dalam penelitian ini. Metode yang digunakan adalah yuridis
normatif, dengan analisis deskriptif terhadap berbagai peraturan perundangundangan, teori-teori hukum, dan fakta di masyarakat, maupun berbagai
informasi yang relevan dari berbagai narasumber maupun diskusi-diskusi.
Sistematika menjelaskan tentang tata urut penulisan dokumen yang
sekaligus juga merinci tentang substansi isi dokumen.

II

Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi


Mencakup kajian teoritis dan kajian implementasi UU No. 18 Tahun 2002.

Kajian implementasi UU No. 18 Tahun 2002 mencakup:


Analisis Undang-undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge Based Economy) : Sri
Mulatsih, dan Prakoso Bhairawa Putera, LIPI, 2009.
Seri Diskusi Sistem Inovasi dan Daya Saing - Pengembangan Sistem Inovasi
Daerah: Perspektif Kebijakan: Tatang A Taufik, BPPT dan Kementerian Riset
dan Teknologi, 2005.
Pengembangan Peraturan untuk Mendukung Unit
Kelembagaan Iptek, Kementerian Riset dan Teknologi, 2007.
III

Komersialisasi

Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait


Untuk menyajikan realita potret peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek di Indonesia saat ini,
maka akan diulas tentang kinerja perekonomian nasional; dilakukan analisis
tentang ekosistem pembangunan nasional, terutama kebijakan-kebijakan yang
secara langsung mempengaruhi tumbuh-kembang inovasi nasional, termasuk
kebijakan maupun peraturan perundang-undangan terkait makro ekonomi,
perindustrian dan perdagangan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pembangunan
infrastruktur sosial; dan dilakukan pula identifikasi permasalahan dan analisis
efisiensi sistem inovasi terkait orientasi pembangunan inovasi, peran dan
kontribusi aktor inovasi, ketersediaan dan kesiapan infrastruktur inovasi, dan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kajian teoritis mencakup uraian tentang beberapa konsepsi penting termasuk


makna inovasi, pendekatan kesisteman, penguatan inovasi, dan ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge-base economy); para aktor inovasi nasional yang terdiri
dari aktor pengembang, pengguna, dan aktor penting lainnya yang ikut
menentukan dinamika ekosistem inovasi; dinamika interaksi antar-aktor; dan
upaya penciptaan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh kembang inovasi.

10

Bab

Judul dan Deskripsi Substansi


peran pemerintah dalam skenario pengembangan SINas.
Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis
Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, penyusunan peraturan perundang-undangan setidaknya harus
memenuhi tiga syarat, yaitu syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis. Syarat yuridis,
menurut Hans Kelsen, apabila pembentukannya berdasarkan pada kaidah atau
peraturan yang lebih tinggi (teori Stufenbaunya dari Kelsen). Menurut Kelsen,
efektivitas dari peraturan perundang-undangan harus dibedakan dengan
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, karena efektivitas hukum
merupakan fakta. Syarat kedua adalah syarat sosiologis, yang menekankan pada
efektivitas hukum yang akan dibuat. Menurut teori kekuasaan, hukum berlaku
secara sosiologis karena adanya pemaksaaan berlakunya oleh penguasa; terlepas
apakah masyarakat menerima atau menolaknya. Syarat filosofis apabila peraturan
perundang-undangan yang diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau sesuai
dengan nilai positif yang tertinggi, misal cita-cita hukum bangsa Indonesia
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Secara sosiologis penguatan inovasi nasional dapat memenuhi karakteristik inovasi
yang khas Indonesia yang mencakup: [1] orientasi arah dan prioritas teknologi yang
dikembangkan; [2] skenario interaksi yang intensif dan produktif antara
lembaga/aktor inovasi; [3] relevansi dan produktivitas lembaga pengembang
teknologi; [4] kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, dan [5] kontribusinya
terhadap pembangunan nasional.
Reorientasi Arah dan Prioritas Riset, kesesuaian teknologi yang
dikembangkan dengan kebutuhan pengguna (demand-driven) merupakan
salah satu kunci keberhasilan dalam membangun inovasi nasional. Selain itu,
dalam rangka membangun kemandirian bangsa, teknologi yang
dikembangkan harus pula sesuai dengan potensi sumberdaya nasional;
Interaksi yang Intensif Antar-aktor Inovasi diharapkan mampu mendorong
pengembangan SDM yang relevan dengan kebutuhan, membangun
semangat kebersamaan antar aktor inovasi, secara bertahan mengubah
minset pada pengembang teknologi agar lebih berorientasi pada kebutuhan
nyata dan lebih sensitif terhadap persoalan yang dihadapi pengguna
teknologi;
Peningkatan Produktivitas dan Relevansi Teknologi Domestik menjadi isu
yang sangat penting. Namun demikian, teknologi yang relevan saja memang
belum cukup menjadi jaminan bahwa teknologi tersebut akan diadopsi
pengguna, karena masih akan tergantung pada kapasitas adopsi pengguna
teknologi; peranan lembaga intermediasi akan sangat berat jika teknologi
yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan dan tidak sepadan
dengan kapasitas adopsi pengguna;
Ekosistem Inovasi yang Kondusif dibutuhkan untuk tumbuh-kembang SINas.
Ekosistem SINas yang kondusif dapat diwujudkan melalui kebijakan dan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

IV

11

Bab

Judul dan Deskripsi Substansi


regulasi yang tepat di berbagai sektor yang secara langsung mempengaruhi
kinerja para aktor inovasi dan interaksi antar-aktor tersebut;
Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional pada akhirnya akan dievaluasi
berdasarkan kontribusi inovasi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat,
disamping sebagai sasaran antaranya adalah pertumbuhan ekonomi,
terbangunnya masyarakat berbasis pengetahuan, dan stabilitas keamanan
nasional.
Secara filosofis penguatan inovasi nasional harus mampu mengantisipasi
perubahan lingkungan strategis. Upaya penguatan inovasi nasional harus bersifat
dinamis menyesuaikan dengan dinamika perubahan lingkungan strategis, baik
pada tingkat global, regional, maupun nasional.

Dinamika Lingkungan Regional ASEAN memperlihatkan bahwa posisi


Indonesia secara relatif lebih lamban kemajuan pembangunan ipteknya
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh sebab itu, perlu
percepatan dalam mewujudkan dan memperkuat inovasi Indonesia yang
dimulai dengan perubahan mindset para pengembang teknologi dan
meningkatkan peran dunia usaha dalam pembangunan iptek.
Dinamika Lingkungan Nasional pada tahun 2011 ini ditandai dengan
diluncurkannya MP3EI yang menempatkan pembangunan iptek sebagai salah
satu strategi utama untuk percepatan dan perluasan pembanguan ekonomi
Indonesia. Pengakuan atas potensi peran iptek ini diharapkan dapat menjadi
momentum yang tepat untuk memperkuat inovasi nasional.
V

Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup


Arah dan Jangkauan Pengaturan Penguatan Inovasi Nasional
Upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif dalam mendukung
pembangunan perekonomian membutuhkan peranan pemerintah dalam
menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang SINas tersebut.
Tugas utama pemerintah adalah menyiapkan panggung untuk
pengembangan SINas agar para aktor inovasi secara nyaman dapat
memainkan peranannya masing-masing.
Panggung SINas yang ideal perlu didahului dengan formulasi kebijakan di
berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Kebijakan yang terkait
secara langsung dan diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja SINas
adalah kebijakan ekonomi makro, keuangan, dan perpajakan; kebijakan
perindustrian dan perdagangan; kebijakan riset dan pengembangan teknologi;
kebijakan ketenagakerjaan; kebijakan pendidikan nasional; kebijakan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dinamika Lingkungan Global yang paling penting adalah semakin kentaranya


kecenderungan untuk mendorong pengembangan teknologi yang sesuai
dengan kebutuhan nyata, sehingga lebih berpeluang untuk digunakan dalam
proses produksi barang dan/atau jasa.
Selanjutnya secara nyata
berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian.

12

Bab

Judul dan Deskripsi Substansi


penyediaan infrastruktur sosial; dan kebijakan dalam rangka mewujudkan tata
kepemerintahan yang baik (good governance). Kebijakan dapat mendukung
arah penguatan inovasi nasional yang mencakup: [1] membangun inovasi
sebagai sistem; [2] revitalisasi lembaga pengembang teknologi; [3]
peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi; [4] peningkatan
peran lembaga intermediasi; [5] penyiapan S&T Park; [6] membangun pusat
unggulan inovasi; [7] mendorong pembentukan konsorsium inovasi; [8]
revitalisasi DRN; [9] sinkronisasi dan perbaikan regulasi, dan [10] berbasis
sumberdaya dan memenuhi kebutuhan nasional.
Lingkup Materi Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 18 Tahun
2002
Kebijakan inisiatif inovasi 1-747, maupun penentuan arah penguatan SINas
merupakan upaya untuk mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan
penerapan teknologi yang lebih bersifat demand-driven. Dua kebijakan
tersebut, secara garis besar menekankan pada penguatan empat hal, yaitu:
1. penguatan jaringan rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga
ristek, universitas, dan swasta;

3. peningkatan penerapan dan diseminasi hasil penelitian, pengembangan,


dan penerapan iptek (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yang
mempunyai nilai ekonomi) agar dapat dirasakan masyarakat; dan
4. penguatan inovasi nasional agar diprioritaskan untuk dilakukan di wilayah
NKRI.
VI

Rangkuman dan Rekomendasi


Merupakan bagian akhir dokumen yang menyajikan rangkuman terkait dengan
unsur dan isu penting dalam penguatan inovasi nasional serta rekomendasi materi
perubahan kebijakan dan/atau regulasi yang ada.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2. peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi - pengembangan,


difusi, dan pemanfaatan teknologi;

13

Bab 2
Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi

2.1. Kajian Teoritis


Adanya pemahaman yang tepat tentang terminologi dasar dan konsepsi pokok merupakan
langkah awal yang sangat strategis dan penting untuk dilakukan. Hal ini sangat relevan dalam
memformulasikan kebijakan publik dan/atau regulasi yang secara legal sifatnya mengikat
semua pihak. Pemahaman yang tepat ini sangat diperlukan ketika pokok bahasannya terfokus
pada inovasi, karena kata inovasi sudah sangat populer, digunakan dalam berbagai komunitas,
dikaitkan dengan banyak aspek kehidupan, tetapi dengan interpretasi yang sangat variatif.
Rentang interpretasi itu mulai dari yang sangat longgar, yakni inovasi dipadankan sebatas
sesuatu yang berbeda (dari yang umumnya sudah diketahui) sampai ke definisi akademik yang
lebih teknis dan spesifik. Keadaan menjadi lebih runyam karena di kalangan akademik pun,
definisi inovasi masih beragam. Oleh sebab itu, perlu penegasan tentang apa yang dimaksud
dengan inovasi yang digunakan dalam dokumen naskah akademik ini.
Ketika yang dibahas adalah inovasi, maka pemahaman tentang inovasi sebagai suatu sistem
perlu dimantapkan. Pendekatan sistem diperlukan dalam menganalisis maupun dalam
merancang kebijakan inovasi nasional SINas yang paling cocok. Inovasi sebagai suatu sistem
yang kompleks tidak dapat dianalisis dengan cara memutilasi komponen-komponennya untuk
ditelaah secara terpisah; sebaliknya juga tidak bisa dirancang komponen-komponennya secara
parsial baru kemudian dirajut menjadi inovasi nasional. Interaksi dinamis antar-aktor, interaksi
antara aktor inovasi dengan ekosistemnya, serta dinamikan dan kontinyuitas sirkulasi aliran
informasi kebutuhan dan pasokan teknologi merupakan kesatuan utuh yang diperlukan dalam
upaya penguatan inovasi.
Dalam suatu sistem, kebijakan penguatan inovasi secara tersurat mengindikasikan bahwa
sistem inovasi yang dimaksud berada pada level negara. Namun masih perlu dijelaskan bahwa
sistem dimaksud bersifat sentralistik menjadi sebuah sistem tunggal yang besar dan kompleks,
atau terdiri dari banyak sub-sistem sesuai dengan karakteristik persoalan dan potensi
sumberdaya masing-masing satuan wilayah dalam suatu negara yang diikat oleh satu tujuan
kolektif, misalnya untuk menyejahterakan rakyat. Penguatan inovasi yang akan diwujudkan
tentu perlu dijelaskan kepada publik agar publik dapat secara nyata, efektif, dan efisien
memberikan kontribusinya bagi kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
Penguatan inovasi nasional haruslah menjadi simpul pengikat antara teknologi dan ekonomi.
Pengembangan teknologi dalam kerangka penguatan inovasi dirancang agar dapat memberikan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2.1.1. Konsepsi Inovasi Nasional

14

kontribusi nyata terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Para ekonom era modern
yakin bahwa di saat sekarang dan di masa yang akan datang mesin utama yang akan
mendorong perkembangan perekonomian suatu negara adalah tingkat penguasaan dan
aplikasi dari teknologi yang dikuasai tersebut. Oleh sebab itu, pembangunan perekonomian
harus berbasis pada pengetahuan (knowledge-based economy, disingkat KBE), tidak dapat lagi
hanya dengan mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam.

Inovasi diadopsi dari Bahasa Latin innovatus yang berarti memperbarui. Pada awalnya inovasi
diartikan sebagai suatu proses untuk memperbarui sesuatu yang sudah ada atau menghasilkan
sesuatu yang dianggap baru. Untuk melakukan suatu pembaruan berarti seseorang perlu
mengubah caranya dalam membuat keputusan, melakukan sesuatu dengan metoda yang
berbeda, atau memilih sesuatu yang diluar norma yang berlaku. Inovasi dapat dimaknai sebagai
upaya mengubah nilai-nilai yang selama ini telah menjadi landasan dari suatu sistem. Jika
suatu sistem berubah, maka sangat mungkin akan membuka peluang untuk menghasilkan
sesuatu yang berbeda, atau sesuatu yang sama sekali baru. Inovasi dapat berkaitan dengan
penambahan atas sesuatu yang telah ada, memunculkan unsur yang sama sekali baru, atau
melakukan perubahan cara berpikir yang radikal dan revolusioner. Perubahan tersebut dapat
terlihat dari produk yang dihasilkan, proses untuk menghasilkan produk tersebut, atau struktur
dan fungsi organisasi yang berperan dalam proses produksinya.
Saat ini, inovasi telah menjadi topik yang penting dalam berbagai bidang ilmu, termasuk
ekonomi, bisnis, desain, teknologi, engineering, dan sosiologi. Dalam perspektif ekonomi,
inovasi harus menghasilkan nilai tambah atau peningkatan produktivitas. Walaupun inovasi
lebih sering dikaitkan dengan produk yang dihasilkan, namun dalam perspektif ekonomi, proses
untuk menghasilkan produk tersebut juga sama pentingnya. Proses yang dimulai dari ide,
kemudian ditransformasi menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Inovasi sering dicampur-aduk pengertiannya dengan invensi. Kedua terminologi ini sebetulnya
berbeda, invensi adalah proses atau produk baru yang secara nyata berbeda atau sama sekali
baru dibandingkan dengan proses atau produk serupa yang telah ada; sedangkan inovasi lebih
dilihat dari perspektif kemanfaatan (ekonomi) dari proses dan produk baru yang dihasilkan
tersebut. Ada perumpamaan yang menarik untuk membedakan antara invensi dan inovasi.
Invensi merupakan proses konversi uang menjadi ide; sedangkan inovasi mengubah ide
menjadi uang. Inovator menghasilkan keuntungan finansial dari hasil karyanya; sedangkan
inventor menemukan sesuatu yang baru, namun belum tentu dapat menghasilkan uang dari
hasil temuannya tersebut. World Bank (2010) menyatakan bahwa what is not disseminated

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pengertian inovasi, konsepsi tentang pendekatan sistem, dan KBE selanjutnya akan ditelaah
secara lebih komprehensif, serta akan pula diberi penegasan pada bab ini tentang pengertian
dan konsepsi dasar yang digunakan dalam dokumen naskah akademik ini. Inovasi merupakan
sebuah kata yang saat ini sedang naik daun. Semua komponen masyarakat menggunakan
kata ini baik dalam komunikasi sosial maupun pada forum yang lebih formal. Persoalannya
adalah walaupun masing-masing pihak menggunakan kata yang sama, namun sangat mungkin
bahwa pihak-pihak tersebut mempunyai pemahaman yang berbeda tentang inovasi.

15

and used, is not an innovation. Berdasarkan ini, maka inovasi harus didiseminasikan (oleh
penghasil) dan dipakai (oleh pengguna), bermakna pula bahwa inovasi harus bermanfaat
(terbukti karena dipakai oleh pengguna). Pengguna dalam konteks ini adalah industri/dunia
usaha, masyarakat awam, atau pemerintah.7 OECD (2005) menggunakan definisi inovasi: An
innovation is the implementation of a new or significantly improved product (good or service),
or process, a new marketing method, or a new organizational method in business practices,
workplace organization or external relations.8 Inovasi merupakan implementasi dari suatu
produk, proses, metoda pemasaran, atau metoda organisasi yang baru atau secara signifikan
telah diperbaiki. Produk dapat berupa barang maupun jasa. Metoda organisasi mencakup
praktek bisnis, organisasi kerja, atau hubungan dengan pihak eksternal.

Proses inovasi berlangsung mulai dari munculnya ide di benak para inovator sampai pada
termanfaatkannya produk inovatif tersebut. Proses yang panjang ini hampir selalu melibatkan
banyak aktor, baik yang terlibat secara langsung dalam aliran ide menjadi produk yang
bermanfaat, maupun para aktor yang berperan dalam membangun ekosistem yang kondusif
bagi keberlangsungan aliran tersebut. Proses inovatif selalu membentuk suatu sistem yang
kompleks. Oleh sebab itu, penelaahan inovasi harus dilakukan dengan pendekatan sistem, tidak
dapat dilakukan secara linier.
Interaksi antar-aktor dan interaksi antara aktor dengan ekosistem inovasi bersifat sangat
dinamis dan timbal-balik. Telaah secara partial dengan pendekatan linier tak akan mampu
menjelaskan sistem inovasi secara komprehensif dan benar. Dengan demikian, maka sangatlah
penting untuk membekali setiap pihak yang terlibat dalam upaya mewujudkan inovasi nasional
untuk memahami konsepsi pendekatan sistem. Perlu dibedakan antara unsur sistem dengan
lingkungannya (ekosistem). Hal ini perlu untuk membedakan antara penghela endogen
(endogenous drivers), yakni para aktor yang secara langsung menggerakkan inovasi, dengan
penghela eksogen (exogenous drivers), yakni para aktor yang memberikan dukungan dalam
mewujudkan ekosistem yang kondusif untuk tumbuh-kembang inovasi nasional (Bathelt, 2003).
7

Bandingkan dengan pengertian inovasi yang digunakan pada UUNo. 18/2002 pada Pasal 1 butir 9 yang saat ini
masih berlaku: Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan
mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk
menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi.
Pengertian inovasi versi UUNo. 18/2002 ini dirasakan sudah tidak pas lagi dengan konteks saat ini.

OECDs Oslo Manual 2005 Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Uraian dan referensi di atas memberikan pemahaman bahwa: [1] inovasi merupakan sesuatu
(produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi) yang baru, yang tentunya hanya
dapat terlahirkan dari pemikiran yang kreatif; [2] inovasi selain baru, juga harus pula secara
signifikan lebih baik dari produk, proses, cara pemasaran, atau metoda organisasi yang telah
dikenal sebelumnya; [3] status yang lebih baik ini, membuka peluang bagi produk dan proses
inovatif untuk digunakan dalam berbagai aktivitas manusia, sehingga pada dasarnya inovasi
merupakan sesuatu yang bermanfaat; [4] kemanfaatan suatu produk merupakan prasyarat
untuk komersialisasi atau untuk peningkatan kesejahteraan sosial.

16

Liu dan White (2001) menggunakan istilah aktor primer dan sekunder. Pemilahan ini hanya
untuk membedakan posisi peran para aktor yang terlibat, tetapi akan keliru jika pembagian ini
berdampak pada pengisolasian sistem dari lingkungannya (Asheim dan Coenen, 2005)

Sistem Inovasi Nasional (SINas) didefinisikan dalam beberapa versi. Freeman (1987)
mendefinisikan SINas sebagai jaringan kelembagaan pemerintah dan/atau swasta yang
melaksanakan dan berinteraksi dalam inisiasi, modifikasi, difusi, dan impor teknologi baru;
sedangkan Lundvall (1992) mendefinisikan SINas sebagai elemen dan hubungan yang interaktif
dalam proses produksi, difusi, dan penggunaan pengetahuan baru yang bernilai ekonomi yang
berada dalam atau berasal dari suatu negara. Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh
Nelson (1993), yang menyatakan bahwa SINas sebagai sekelompok institusi yang interaksinya
menentukan kinerja inovatif suatu negara. Sementara Patel dan Pavitt (1994) mengambarkan
SINas sebagai kelembagaan-kelembagaan nasional dengan struktur dan kompetensinya yang
menentukan laju dan arah pembelajaran teknologi (technological learning) pada suatu negara.
Definisi SINas yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Metcalfe (1995), yakni sebagai
sekumpulan institusi yang secara sendiri dan bersama-sama berkontribusi dalam
pengembangan dan difusi teknologi baru serta memberikan kerangka bagi pemerintah dalam
membuat dan mengimplementasikan kebijakan untuk mempengaruhi proses inovasi. Dengan
kata lain, SINas merupakan suatu sistem keterkaitan antar-kelembagaan untuk menciptakan,
menyimpan, dan mentransfer pengetahuan, ketrampilan, dan artefak untuk melahirkan
teknologi-teknologi baru.
Definisi menurut peraturan perundang-undangan, dapat ditemui dalam Peraturan Presiden
Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional, disebutkan bahwa SINas adalah suatu
jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor
swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang
dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan,
mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta
mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan dan produk
inovatif dapat dirasakan masyarakat..

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pendekatan sistem merupakan buah dari pemikiran sistemik (systems thinking). Mingers dan
White (2010) menyatakan bahwa systems thinking is a discipline in its own right, with many
theoretical and methodological developments, but it is also applicable to almost any problem
area because of its generality. Selanjutnya, Mingers dan White (2010) merinci bahwa
pendekatan sistem (systems approach) mencakup: [1] melihat situasi secara holistik (berarti
tidak bersifat reduksionis), sebagai kumpulan elemen yang berinteraksi satu sama lain dalam
suatu lingkungan tertentu; [2] memposisikan hubungan atau interaksi antara elemen lebih
penting dari elemen-elemennya sendiri dalam membentuk perilaku sebuah sistem; [3]
memahami adanya hirarki/jenjang dalam suatu sistem dan mutual casuality dalam masingmasing jenjang maupun antar-jenjang; dan [4] memahami bahwa manusia akan beraksi sesuai
dengan tujuan dan rasionalitas yang berbeda.

17

Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka ada beberapa pengertian dasar yang dapat ditarik
berkaitan dengan SINas, yakni: [1] kegiatan yang dicakup adalah pengembangan, difusi, dan
pemanfaatan teknologi; [2] pelakunya terdiri dari beberapa kelembagaan baik pemerintah
maupun swasta- yang berinteraksi satu sama lain secara sinergis; [3] produk yang dihasilkan
adalah teknologi baru yang mempunyai nilai ekonomi; dan [4] ruang lingkup dalam
melaksanakan kegiatan inovasi ini adalah negara. Pengertian dasar dalam sistem inovasi
nasional ini diperkuat dalam Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Nomor
246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan
Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional.

The World Bank (2010) dengan sangat tegas mencanangkan bahwa sesuatu (baca: teknologi)
yang tidak didiseminasikan dan tidak digunakan bukanlah inovasi. Sharif (2010)
mendeskripsikan inovasi sebagai upaya kolektif mengubah ide menjadi sesuatu yang bernilai
(turning idea into values). Prakteknya, inovasi harus diawali dengan menjawab tiga pertanyaan
yang sangat fundamental, yakni: [1] what is possible with technology? [2] what is desirable to
the society? [3] what is viable in the market?9
Pendekatan dalam upaya penguatan inovasi nasional secara ekstrim dapat dibedakan menjadi
dua, yakni berdasarkan pendekatan supply-push dan pendekatan demand-driven. Pendekatan
supply-push mengutamakan dan dimulai dari proses pengembangan teknologi oleh institusi
pendidikan tinggi dan lembaga riset. Produk teknologi yang dihasilkan kemudian didifusikan
kepada pihak pengguna, terutama industri yang akan memanfaatkannya untuk menghasilkan
produk komersial berupa barang dan jasa. Proses difusi teknologi tersebut dapat melalui atau
tanpa melalui lembaga intermediasi, dapat difasilitasi atau tanpa difasilitasi oleh Pemerintah
atau pihak lain yang kompeten.
Pengembangan inovasi nasional dengan pendekatan demand-driven mengutamakan dan
dimulai dari pemahaman tentang masalah, kebutuhan, dan preferensi masyarakat yang dapat
dideteksi langsung oleh pihak pengembang teknologi maupun melalui mitranya dari komunitas
bisnis. Sinyal kebutuhan masyarakat ini diterjemahkan oleh industri dalam bentuk kebutuhan
teknologi untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang sesuai dengan keinginan masyarakat
tersebut. Berdasarkan informasi ini, lembaga riset dan/atau institusi pendidikan tinggi
9

Dicuplik dari keynote address oleh Nawaz Sharif (2010) berjudul Governance of Innovation Systems in the
Current Global Setting, di LIPI, Jakarta

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Definisi SINas yang diusung pada periode 1980-1990an telah menyebutkan bahwa SINas
mencakup kegiatan difusi dan pemanfaatan teknologi, serta telah menyebutkan bahwa
teknologi yang dimaksud adalah teknologi yang punya potensi untuk dikomersialisasikan.
Namun demikian, adopsi teknologi oleh para pengguna teknologi di banyak negara (terutama
negara-negara berkembang) masih sangat minimal. Oleh sebab itu, kegalauan akan rendahnya
adopsi teknologi tersebut terlihat mewarnai definisi atau deskripsi SINas yang diusung pada
kurun waktu tahun 2000-an, yang memberi ketegasan bahwa teknologi yang dihasilkan harus
berakhir dengan dimanfaatkannya teknologi tersebut oleh para pengguna.

18

mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan. Inovasi yang dikembangkan


melalui pendekatan demand-driven akan lebih berpeluang untuk memberikan kontribusi nyata
terhadap pembangunan perekonomian, karena lebih berpeluang untuk diadopsi industri.
Walaupun demikian, sebagian komunitas akademik dan peneliti menganggap pendekatan
demand-driven akan mengebiri kreativitas ilmiah. Anggapan yang demikian, mengabaikan
kenyataan bahwa kreativitas sesungguhnya lebih terangsang untuk muncul pada kondisi yang
tidak nyaman, misalnya dalam kondisi serba keterbatasan, di bawah tekanan, dalam
kerangkeng regulasi yang kaku, dan tentu termasuk dalam kondisi keharusan mengembangkan
teknologi sesuai kebutuhan pasar.

Sejak tahun 1960-an mulai muncul keyakinan bahwa perbedaan kemajuan perekonomian
antar-negara terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi dari masing-masing negara
(Fagerberg dan Srholec, 2008). Sebelum periode tersebut, kemajuan perekonomian lebih
banyak dikaitkan dengan jumlah uang yang terakumulasi (accumulated capital) per tenaga
kerja. Keyakinan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara kemajuan perekonomian dengan
tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan mazhab ekonomi baru,
yakni ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy selanjutnya disingkat KBE)
yang menunjukkan bahwa dalam perkembangannya, ekonomi saat ini semakin bergantung
pada kemajuan pengetahuan dan teknologi, informasi, dan tenaga kerja berketerampilan
tinggi. Untuk dapat memberikan dampak nyata dan langsung, maka sumberdaya ekonomi ini
harus mudah diakses oleh dunia usaha dan para penguna lainnya.10
KBE pada prinsipnya merupakan ekonomi yang secara langsung berbasis pada produksi,
distribusi, dan penggunaan pengetahuan dan informasi. Saat ini banyak upaya yang dilakukan
oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan secara langsung (baik secara teoritis maupun
pengembangan model) tentang kontribusi pengetahuan dan teknologi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory) mencerminkan upaya untuk
memahami tentang peran pengetahuan dan teknologi dalam mendorong produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi. Investasi di bidang riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan,
serta manajerial merupakan determinan penting KBE. Selain besaran nilai investasi untuk
pengembangan pengetahuan dan teknologi, kelancaran distribusi pengetahuan (baik melalui
10

OECD (2005) mendefinisikan ekonomi berbasis pengetahuan sebagai: an expression coined to describe trends
in advanced economic towards greater dependence on knowledge, information, and high skill levels, and the
increasing need for ready access to all of these by the business and public sectors.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Secara teoritis dapat dimunculkan pendekatan yang moderat dan akomodatif, yakni dengan
memadukan pendekatan supply-push dan demand-driven. Akan tetapi, sebagaimana halnya
teori fisika, proses aliran hanya akan terjadi jika ada perbedaan derajat antara posisi asal dan
posisi sasaran. Maknanya, dalam penguatan inovasi, walaupun pendekatan demand-driven
yang dipilih tetapi tidak berarti ruang untuk pendekatan supply-push digusur habis. Pilihan
pendekatan tersebut lebih untuk menjamin agar aliran teknologi dapat terjadi secara
berkesinambungan dan komersialisasi produk yang dihasilkan dapat menjadi pasokan energi
untuk kontinuitas aliran teknologi tersebut.

19

jalur formal maupun informal) juga merupakan faktor esensial yang mempengaruhi kinerja
perekonomian. Penguasaan pengetahuan dan teknologi yang tinggi tetapi hanya terisolir di
kalangan akademik atau periset semata tidak akan memberikan dampak terhadap kinerja
perekonomian. Intensitas hubungan dan kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi antaraktor dalam sistem inovasi akan menjadi faktor penentu kinerja perekonomian.

Upaya untuk menaksir kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan perekonomian dilakukan


antara lain dengan menghitung Total Factor Productivity (TFP). Namun demikian, tidak semua
pakar ekonomi sependapat bahwa TFP bisa mencerminkan kontribusi teknologi. Kelemahan
teoretis dan ketidakkonsistenan empiris dari hasil perhitungan pada berbagai negara dengan
tingkat kemajuan teknologi yang berbeda menjadi lahan subur untuk perdebatan. Kesimpulan
dari kajian yang dilakukan oleh Lipsey dan Carlaw (2001) patut direnungkan: There is no reason
to believe that changes in TFP in any way measure technological change. Prinsip dasarnya
adalah bahwa teknologi hanya memberikan kontribusi jika digunakan dalam proses produksi
untuk menghasilkan produk barang/jasa yang dibutuhkan konsumen. Adopsi teknologi akan
terjadi jika pihak pengembang teknologi memahami kebutuhan pihak pengguna. Dalam konteks
komersialisasi, pengguna yang dimaksud adalah industri yang memahami kebutuhan dan
preferensi konsumen. Produk teknologi yang pengembangannya tidak berorientasi pada
kebutuhan nyata tentu akan sulit dijual ke pengguna. Upaya yang umum dilakukan untuk
merangsang atau mempercepat difusi teknologi adalah membentuk lembaga intermediasi.
Akan tetapi, lembaga intermediasi akan sulit berfungsi efektif jika teknologi yang ditawarkan
adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan, atau dibutuhkan tapi kalah handal secara teknis
dan/atau kurang kompetitif secara ekonomi.
Ada kesulitan dalam mengevaluasi ekonomi berbasis pengetahuan, antara lain karena
keterbatasan dan mutu indikator terkait pengetahuan yang saat ini tersedia. Indikator yang
berbasis pada nilai investasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semata
(seperti jumlah belanja riset dan pengembangan, jumlah dan kualitas personel pengembang
teknologi) belum cukup untuk memberikan gambaran tentang kinerja KBE. Indikator dari sisi
keluaran kegiatan riset dan pengembangan serta distribusinya diyakini akan lebih relevan,

11

Elaborasi lebih mendalam mengenai isu ini dapat dibaca pada Lakitan (2009):Kebijakan Pengembangan dan
Implementasi Sistem Inovasi Nasional: menjembatani pendidikan, riset, industri, dan konsumen. Jurnal
Dinamika Masyarakat 8(1):1501-1516.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lapangan kerja dalam konteks KBE akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dengan
ketrampilan tinggi atau berpendidikan tinggi, mengingat bahwa dinamika perubahan
pengetahuan dan teknologi berlangsung dalam tempo yang cepat. Walaupun demikian,
pendidikan dan ketrampilan tinggi tersebut perlu mempunyai relevansi yang juga tinggi dengan
persoalan dan kebutuhan nyata. Oleh sebab itu, untuk mendukung KBE, institusi pendidikan
tinggi perlu dirancang agar selain mampu menyelenggarakan pendidikan yang secara akademik
berkualitas, juga harus pula memahami persoalan dan kebutuhan nyata agar dapat mengemas
kurikulum yang relevan terhadap persoalan dan kebutuhan nyata tersebut.11

20

misalnya data stok pengetahuan dan kelancaran aliran distribusi/difusinya, intensitas interaksi
antara aktor sistem inovasi, serta tingkat ketrampilan dan relevansi pendidikan tenaga kerja.
OECD (1996) mengidentifikasi empat gugus indikator penting yang perlu dikembangkan teknik
pengukurannya (secara statistik) untuk mengevaluasi kinerja KBE, yakni indikator terkait: [1]
knowledge stocks and flows, [2] knowledge rates of return, [3] knowledge networks, dan [4]
knowledge and learning. Gugus indikator [1] memperlihatkan pentingnya mengetahui
penambahan stok pengetahuan per satuan input pada kegiatan riset dan pengembangan, serta
mengetahui kelancaran aliran pengetahuan dan teknologi dari penyedia ke pengguna. Gugus
indikator [2] merupakan indikasi dari besarnya perolehan sosial dan kemanfaatan bagi publik
per satuan input kegiatan riset dan pengembangan. Gugus indikator [3] memberikan indikasi
tentang proses aliran dan intensitas interaksi antara aktor inovasi. Sedangkan gugus indikator
[4] melingkupi indikator human capital, mengukur kemanfaatan bagi publik untuk investasi di
bidang pendidikan dan pelatihan, atau kegiatan lain yang terkait langsung dengan upaya
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,


dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU No. 18 Tahun 2002) menggunakan
terminologi kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai aktor inovasi. Nuansa
kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi ini mencakup perguruan tinggi, lembaga
penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang merupakan aktor-aktor
utama dalam inovasi.12 Namun demikian UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan pula perlunya
peran aktif warganegara dalam pelaksanaan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan
pemajuan iptek.
Kompleksitas penguatan inovasi tercermin antara lain dari banyaknya aktor yang terlibat dan
ikut menentukan atau mempengaruhi kinerja sistem ini. Untuk memudahkan pemahaman dan
agar kompleksitas yang ada tidak mengaburkan esensi dasar dari inovasi, maka ada baiknya
aktor yang banyak tersebut dipilah menjadi: [1] aktor utama (primer) yang terlibat langsung
dalam proses aliran teknologi, mulai dari pengembangannya sampai pada penggunaannya
untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen; dan [2] aktor
penunjang (sekunder) yang berperan dalam membentuk ekosistem yang kondusif agar aktoraktor utama dapat unjuk kinerja secara optimal.
Aktor utama terdiri dari para pengembang/penyedia teknologi, para pengguna teknologi, dan
para pihak yang memfasilitasi dan/atau melakukan intermediasi interaksi dan komunikasi
antara penyedia dan pengguna teknologi. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksud UU No. 18 Tahun 2002 merupakan unsur penting dari

12

Pasal 6 ayat (1) UU No. 18/2002 menetapkan bahwa kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas
unsur perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2.1.2. Aktor Inovasi Nasional

21

pengembang/penyedia teknologi. Namun demikian pengembang/penyedia teknologi tidak


hanya terbatas pada dua unsur tersebut, tetapi mencakup semua pihak yang secara nyata
melakukan kegiatan pengembangan teknologi, misalnya institusi riset non-pemerintah, unsur
pelaksana riset dan pengembangan pada industri, dan para periset individual. 13
OECD (2002) membuat klasifikasi lembaga riset dan pengembangan (R&D) berdasarkan
pengelola, pemegang kendali kebijakannya, penyandang dana, dan orientasi komersialisasi
produk riset yang dihasilkannya (Gambar 1). Berdasarkan kriteria ini maka ada empat
kelompok lembaga R&D, yakni: [1] perguruan tinggi (higher education), [2] lembaga R&D bisnis
(business enterprise), [3] lembaga R&D pemerintah (government), dan [4] lembaga R&D nirlaba
(private non-profit). Pengelompokan ini digunakan dalam mengevaluasi kinerja lembaga riset
dan pengembangan negara-negara dunia.

Lembaga R&D pemerintah termasuk: [1] Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK,


sebelumnya dikenal sebagai LPND) yang (salah satu) tugas pokok dan fungsinya adalah
melaksanakan kegiatan riset dan pengembangan; dan [2] unit kerja penelitian dan
pengembangan pada kementerian dan pemerintah daerah.

13

Pasal 8 ayat (3) UU No.18/2002 menetapkan lembaga-lembaga yang tergolong sebagai lembaga litbang, yakni
dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi pemerintah, pemerintah daerah,
perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi masyarakat.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

UU No. 18 Tahun 2002 hanya mengenal dua lembaga pengembang teknologi, yakni perguruan
tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan. Seluruh perguruan tinggi di Indonesia,
negeri maupun swasta, mengemban tiga tugas pokok yang dikenal sebagai tridharma
perguruan tinggi, yakni melakukan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Namun demikian, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia masih lebih
dominan terkonsentrasi pada kegiatan pendidikan dan pengajaran. Kiprah dan kontribusinya
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum kentara. Hal ini antara
lain disebabkan karena kegiatan riset masih lebih diposisikan sebagai academic exercises,
belum fokus pada upaya untuk menghasilkan invensi dan inovasi.

22

Lembaga Riset & Pengembangan


Apakah berada dalam institusi
pendidikan tinggi?

TIDAK

YA
Apakah produknya dijual sesuai harga
pasar?

Perguruan Tinggi

TIDAK

YA
Badan Usaha

Apakah dikendalikan atau dominan


dibiayai oleh badan usaha?

TIDAK

YA
Badan Usaha

Apakah dikendalikan atau dominan


dibiayai oleh pemerintah?

YA

YA

TIDAK

Apakah secara administratif dikelola


oleh perguruan tinggi?

TIDAK
TIDAK

Perguruan Tinggi

Apakah dikendalikan atau dominan


dibiayai oleh lembaga non-pemerintah?

Lembaga Pemerintah
YA
Perguruan Tinggi

YA
Apakah secara administratif dikelola
oleh perguruan tinggi?
TIDAK

Jika kendali dan pembiayaan dilakukan


oleh pihak yang berbeda, maka status
lembaga riset & pengembangan tersebut
tergantung pada pihak mana yang
dominan membiayainya

Lembaga Non-Pemerintah

Perguruan Tinggi

Badan Usaha

Lembaga Pemerintah

Sementara kegiatan riset di perguruan tinggi lebih berorientasi pada pengembangan ilmu
pengetahuan, maka selayaknya riset yang dilaksanakan oleh lembaga R&D pemerintah lebih
fokus pada upaya menyediakan solusi teknologi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi
rakyat dan negara dan/atau menyediakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata
dalam rangka mendukung pembangunan perekonomian nasional, kesejahteraan rakyat, dan
peningkatan peradaban bangsa.14
Banyak industri dan badan usaha lainnya mempunyai unit kerja yang tugas utamanya adalah
melakukan riset dan pengembangan, baik riset untuk mendapatkan informasi kebutuhan dan
selera konsumen yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan strategi pemasaran maupun
riset-riset pengembangan produk. Riset yang dilakukan badan usaha jelas berorientasi
komersil, walaupun saat ini sering dikemas dengan berbagai bungkus lain dalam rangka
membangun citra perusahaan atau memanfaatkan kecenderungan preferensi konsumen,
misalnya terkait dengan kepedulian mengenai isu lingkungan.
Peningkatan intensitas kegiatan riset oleh badan usaha dapat menjadi indikasi yang positif
tetapi sekaligus juga negatif. Positif dalam konteks pengembangan teknologi akan mengalami
akselerasi mengingat potensi kekuatan dunia usaha dalam membiayai kegiatan riset dan
relevansi teknologi yang dikembangkan juga akan semakin meningkat, karena dunia usaha
14

Sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan peradaban bangsa.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 1. Klasifikasi berdasarkan status formal lembaga riset dan pengembangan


(adaptasi dari OECD, 2002)

23

tidak akan melakukan kegiatan riset jika tidak ada potensi kemanfaatan hasilnya. Dunia usaha
akan selalu memposisikan biaya riset sebagai bagian dari investasi. Kecenderungan
peningkatan intensitas riset oleh dunia usaha dapat pula menjadi indikasi negatif, apabila
kecenderungan ini merupakan bentuk reaksi dari dunia usaha atas rendahnya relevansi
dan/atau mutu teknologi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dan lembaga riset
pemerintah. Bukan rahasia umum bahwa saat ini komunikasi dan interaksi antara para pihak
pengembang teknologi (perguruan tinggi dan lembaga R&D pemerintah) dengan pihak industri
belum terbangun secara intensif. Walaupun saat ini, lembaga R&D yang berorientasi komersial
umumnya masih merupakan unit kerja internal lembaga bisnis, namun cikal-bakal lembaga
R&D komersial yang independen sudah mulai nampak tumbuh. Jurang yang masih
membentang lebar antara perguruan tinggi atau lembaga R&D pemerintah dengan dunia usaha
merupakan peluang untuk tumbuh kembang lembaga R&D independen.

Badan usaha atau industri merupakan salah satu unsur pengguna teknologi.15 Unsur pengguna
lainnya adalah [1] masyarakat pelaku produksi barang/komoditas/jasa, misalnya petani,
nelayan, peternak, pengrajin; dan [2] pemerintah dalam rangka melaksanakan pelayanan publik
dan untuk menjaga kedaulatan negara. Badan usaha merupakan pengguna teknologi yang
bersifat komersial, sedangkan masyarakat dan pemerintah lebih bersifat bauran antara
komersial dan pelayanan publik. Dapat bersifat komersial jika lembaga pengembang
teknologinya bukan merupakan lembaga R&D pemerintah, kegiatannya tidak dibiayai oleh
pemerintah, atau merupakan lembaga R&D asing. Sebaliknya, jika pengembang teknologinya
adalah lembaga R&D pemerintah, atau kegiatan pengembangan teknologi dimaksud
sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, maka sudah sepatutnya teknologi yang dihasilkan
tersebut dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat secara bebas. Perlu diingat bahwa
kepemilikan paten lazimnya adalah ditangan pihak yang membiayai kegiatan pengembangan
teknologi yang bersangkutan.
Kapasitas adopsi para pengguna teknologi di Indonesia masih belum besar. Badan usaha di
Indonesia masih dominan bergerak di sektor perdagangan, sehingga kebutuhan dan kapasitas
adopsi teknologinya relatif rendah. Industri produsen barang dan jasa di Indonesia banyak yang
hanya merupakan unit produksi dari sebuah perusahaan multinasional atau hanya bersifat
sebagai penerap teknologi asing yang sudah mapan yang dilaksanakan berdasarkan lisensi yang
diberikan oleh pihak-pihak pengembang teknologi luar negeri. Mengingat pada saat ini segmen
industri besar cenderung lebih bergantung pada teknologi asing (yang mungkin disebabkan
15

UU No. 18 Tahun 2002 hanya menyebutkan badan usaha sebagai aktor pengguna teknologi.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lembaga R&D swasta nirlaba sudah berkiprah lama di Indonesia dengan sumber pembiayaan
umumnya dari lembaga-lembaga internasional. Lembaga R&D nirlaba ini lebih banyak
berkiprah di ranah ilmu-ilmu sosial, terutama fokus pada isu-isu hangat pada tataran global,
misalnya isu sosial (kesejahteraan rakyat, penyakit menular, pendidikan anak), isu politik dan
pemerintahan (demokratisasi, desentralisasi, hak asasi manusia, korupsi), dan isu lingkungan
(deforestasi, pencemaran/polusi, perubahan iklim).

24

karena kemampuan teknologi nasional belum memadai untuk memasok kebutuhan teknologi
tersebut atau mungkin karena alasan lain yang bersifat non-teknis), maka pengguna teknologi
domestik yang paling potensial adalah masyarakat awam dan usaha kecil dan menengah
(UKM). Oleh sebab itu, harusnya segmen pengguna ini harus dipasok penuh oleh pengembang
teknologi domestik.

Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa dan kebutuhan peralatan utama sistem
pertahanan (alutsista) nasional yang besar, mengingat luas wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang sedemikian besar, merupakan dua argumen utama untuk menjadikan
kebutuhan domestik sebagai pasar utama bagi produk teknologi dalam negeri. Orientasi
pengembangan teknologi Indonesia perlu lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dan
pemecahan persoalan dalam negeri terlebih dahulu, baru setelah pasar domestik dikuasai (dan
teknologi Indonesia sudah lebih kompetitif) maka pertimbangan ekspor teknologi nasional
menjadi lebih layak diupayakan.
Pihak ketiga yang tergolong sebagai aktor utama inovasi adalah para pihak yang berperan
sebagai intermediator atau fasilitator untuk meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi
antara para pengembang dengan para pengguna teknologi. Pada saat ini, peran intermediasi
dan fasilitasi ini diharapkan dimainkan lebih banyak oleh pemerintah. Pemerintah tentunya
dapat membentuk lembaga-lembaga khusus untuk menjalankan fungsi/tugas ini.
Untuk menjalankan peran intermediasi, Kementerian Riset dan Teknologi, misalnya, pernah
mendorong pembentukan lembaga yang dirancang khusus untuk fungsi intermediasi ini, yakni
Business Technology Center (BTC) di 8 lokasi, tersebut di beberapa kota.17 Namun peran
intermediasi dari lembaga-lembaga BTC tersebut kelihatannya masih jauh dari harapan,
sebagian penyebabnya berasal dari kapasitas dan kompetensi lembaga yang tidak memadai,
dan sebagian lagi karena teknologi hasil pengembangan dalam negeri yang tidak sesuai dengan
16

Sudah ada arahan dari Presiden RI agar kebutuhan teknologi dan produk teknologi di bidang pertahanan dan
keamanan memprioritaskan teknologi dalam negeri sebagai langkah strategis untuk meningkatkan
kemandirian bangsa.

17

Pendirian BTC ini merupakan tidak lanjut rekomendasi dari hasil kajian Periskop yang dilaksanakan pada
tahun 2000 atas kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Kementerian
Pendidikan Jerman. Sejak tahun 2010, BTC yang dikelola BPPT telah dilebur masuk ke dalam organisasi BPPT
Engineering.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kenyataannya, teknologi yang dibutuhkan masyarakat awam dan UKM pun belum sepenuhnya
dikuasai oleh teknologi domestik, masih dibanjiri oleh teknologi maupun produk teknologi
asing. Misalnya, kebutuhan alat dan mesin pertanian masih dominan diimpor dari berbagai
negara, terutama Jepang dan Cina. Untungnya benih padi sudah dapat dipenuhi dari hasil riset
dan teknologi dalam negeri. Pemerintah seharusnya menjadi pengguna utama teknologi dalam
negeri, terutama teknologi di bidang pertahanan dan keamanan.16 Disamping untuk
meningkatkan kemandirian bangsa, juga penggunaan teknologi dalam negeri akan
menggairahkan kegiatan pengembangan teknologi itu sendiri, karena secara langsung akan
meningkatkan aliran dana untuk pembiayaannya.

25

kebutuhan nyata (tidak relevan). Teknologi yang dikembangkan lebih mahal dan/atau kalah
handal dibandingkan dengan teknologi sejenis yang sudah tersedia di pasar.
Untuk penguatan peran intermediasi ini, pemerintah melalui Kementerian Riset dan Teknologi
juga telah menfasilitasi pendirian Business Innovation Center (BIC) pada tahun 2008.18 Sejak
tahun 2008 tersebut, BIC telah menerbitkan katalog tahunan hasil-hasil riset yang dianggap
berpeluang untuk dikomersialisasikan, melalui serial terbitan buku 100 Inovasi Indonesia
(2008), 101 Inovasi Indonesia (2009), 102 Inovasi Indonesia (2010), dan yang terakhir 103
Inovasi Indonesia (2011). Visi BIC adalah menjadi lembaga intermediasi inovasi bisnis yang
terdepan, dalam menunjang daya saing ekonomi dan bisnis di Indonesia. Hal ini dilakukan
dengan mensinergikan elemen-elemen akademisi, bisnis, dan pemerintah (A-B-G) dalam proses
inovasi, sehingga dalam waktu 10 tahun, kegiatan inovasi di Indonesia akan menjadi unggulan
(benchmark) negara-negara lain di ASEAN.

Selain tiga aktor utama inovasi yang telah dijelaskan sebelumnya, juga banyak aktor atau
lembaga pendukung lainnya yang berperan penting dalam membangun inovasi secara lebih
produktif dan berkesinambungan. Lembaga pendukung mencakup lembaga-lembaga yang
mempunyai kewenangan dan/atau kapasitas untuk: [1] membuat regulasi dan/atau kebijakan
terkait tumbuh-kembang inovasi nasional maupun daerah; [2] menyiapkan sumberdaya
manusia yang dibutuhkan untuk aktor penggerak sistem inovasi; [3] memberikan dukungan
finansial bagi para aktor inovasi dalam menjalankan perannya masing-masing; dan [4]
membangun infrastruktur sosial. 19
Kelembagaan yang dikategorikan sebagai pendukung adalah lembaga atau aktor yang tidak
terlibat langsung dalam proses pengembangan, difusi, maupun penggunaan teknologi untuk
produksi barang dan/atau jasa yang dibutuhkan publik maupun negara; tetapi berperan nyata
dan signifikan dalam mewujudkan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh-kembang inovasi.
Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ministry of
Education, Culture, Sport, Science and Technology, secara resmi disingkat MEXT) Jepang
18

19

Entah mengapa lembaga-lembaga intermediasi yang dibentuk penamaannya selalu menggunakan bahasa
Inggeris, walaupun lebih banyak orientasinya adalah untuk memediasi antara pengembang teknologi nasional
dengan para (calon) pengguna potensial di dalam negeri.
Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan dan membentuk iklim yang
kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (UU No. 18 Tahun 2002, Pasal 10 ayat (1)).

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sejak 2011, BIC ditempatkan di kawasan Puspiptek Serpong sesuai dengan skenario untuk
menjadikan kawasan ini sebagai Science and Technology Park (STP), dimana aktor-aktor utama
inovasi akan difasilitasi untuk berada dalam kawasan yang sama. Kedekatan secara fisik diyakini
akan mampu merangsang aktor-aktor tersebut untuk meningkatkan komunikasi dan
interaksinya. Keterkaitan lembaga-lembaga pengembang, intermediasi, dan pengguna
teknologi di kawasan ini diharapkan dapat menjadi model implementasi Sistem Inovasi
Nasional.

26

menggunakan diagram konseptual untuk memperlihatkan posisi lembaga pendukung atau


penunjang ini (Gambar 2), yakni berupa lembaga-lembaga yang berwenang untuk membuat
kebijakan tentang perekonomian, infrastruktur sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta pajak dan keuangan. Kebijakan-kebijakan ini berperan
menunjang kemantapan panggung (platform) basis pengetahuan untuk interaksi atau
kerjasama antara pengembang dengan pengguna teknologi.
Suatu hal yang menarik dari konsepsi ini adalah: [1] fondasi yang paling mendasar dalam
penguatan inovasi adalah lingkungan, budaya, tradisi, dan karakter bangsa; [2] kemantapan
panggung untuk para aktor utama inovasi dalam berkiprah akan tergantung pada dukungan
kebijakan dan regulasi yang relevan; dan [3] secara jelas memperlihatkan bahwa pada akhirnya
kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi harus berujung pada produk/barang
dan/atau jasa yang sesuai dengan permintaan pasar. Namun demikian dalam konsepsi MEXT
tersebut, tidak ditampakkan posisi dan peran lembaga intermediasi dalam mewujudkan suatu
sistem inovasi.
Pasar

Pasar

Pengembang
Kerjasama
Teknologi
[Univesitas,
Basis Pengetahuan
Litbang]

Basis Pengetahuan

Pajak&Keuangan

Iptek

Ketenagakerjaan

Pendidikan

Sosial

Infrastruktur

Ekonomi

Kebijakan

Pengguna
Teknologi
[Industri]

AKTOR UTAMA

AKTOR PENDUKUNG

Pemerintah
Masyarakat

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Permintaan

Produk & jasa

Industri

Politik dan Ekonomi


Lingkungan, budaya, tradisi, karakter bangsa

Gambar 2. Diagram Konsepsi Sistem Inovasi Nasional (adaptasi dari MEXT, 2002)

Regulasi dan kebijakan yang mendukung upaya penumbuh-kembangan inovasi, antara lain
misalnya: pemberian insentif teknis dan/atau finansial bagi badan usaha yang menggunakan
teknologi nasional dalam kegiatan usahanya; pemberian kompensasi yang sebanding bagi
badan usaha yang berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi
nasional; pemberian prioritas dukungan pembiayaan bagi lembaga dan/atau individu peneliti

27

atau perekayasa yang fokus pada upaya untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan
dan/atau dapat menjadi solusi bagi permasalahan nasional; pemberian insentif bagi lembaga
intermediasi yang berhasil meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara
pengembang dan pengguna teknologi. Memberikan akses yang lebih mudah dalam
pemanfaatan laboratorium pemerintah di berbagai lembaga penelitian dan pengembangan,
maupun pengembangan program pendampingan dari para tenaga ahli (peneliti dan
perekayasa) juga dapat menjadi alternatif upaya penumbuh-kembangkan inovasi.

Venture capital (VC) merupakan salah satu bentuk sumber pembiayaan bagi perusahaan baru
tumbuh (startup companies). VC menjadi opsi sumber pembiayaan bagi perusahaan yang
belum berpengalaman, masih terlalu kecil untuk bisa menarik dana publik melalui pasar modal,
atau masih sulit meyakinkan pihak perbankan untuk mendapatkan pinjaman. Skenario VC yang
umum adalah pemodal memberikan dana awal bagi suatu usaha dan dana tersebut
diperhitungkan sebagai saham pada perusahaan yang bersangkutan. Karena resiko usaha baru
yang tinggi dan investasi butuh waktu 3-7 tahun untuk bisa cair, maka biasanya pemodal selain
mendapat porsi saham yang signifikan, juga ikut mengendalikan kebijakan dan pengambilan
keputusan pada perusahaan tersebut.
Secara umum ada 6 tahap pembiayaan yang mungkin didapat dari VC, yakni: [1] seed money,
pembiayaan yang tidak besar dan dipergunakan untuk membuktikan bahwa ide baru yang
digagas berpotensi untuk menghasilkan produk atau jasa komersial biasanya disediakan oleh
angel investor; [2] start-up, pembiayaan tahap awal untuk dana pemasaran atau
pengembangan produk; [3] First-Round, dana untuk penjualan awal dan biaya produksi; [4]
Second-Round, untuk biaya kerja tahap awal dimana perusahaan sudah mulai menjual produk
tetapi belum memberikan keuntungan; [5] Third-Round, disebut juga mezzanine financing,
untuk biaya pengembangan usaha bagi perusahaan yang mulai memperoleh keuntungan; dan
[6] Fourth-Round, disebut juga bridge financing, digunakan untuk pembiayaan persiapan go
public.
Peran penting infrastruktur sosial sangat sering terabaikan dalam berbagai sektor
pembangunan, berbeda dengan infrastruktur fisik yang telah cukup dipahami peran dan
kontribusinya. Oleh sebab itu, upaya penguatan inovasi tidak boleh mengabaikan peran

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang dapat menggerakkan inovasi, maka institusi
pendidikan (terutama pendidikan tinggi) perlu mengembangkan program studi dan kurikulum
yang relevan dengan sektor atau profesi yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Academic
excellence yang sering menjadi jargon pendidikan tinggi harus dibarengi dengan peningkatkan
relevansinya dengan kebutuhan pembangunan dan potensi sumberdaya nasional. Konsepsi
inovasi di Jepang (Gambar 2) dapat dijadikan referensi dalam konteks ini. Kebijakan yang
mendukung dan akses yang terbuka luas untuk mendapatkan sumber pembiayaan merupakan
pra-kondisi yang dibutuhkan dalam upaya penguatan inovasi nasional. Ketersediaan dan akses
ke skim kredit atau bentuk kemudahan lain untuk modal kerja baik bagi pengembang teknologi
maupun industri akan ikut merangsang tumbuh-kembang inovasi.

28

infrastruktur sosial ini.20 Sesungguhnya sangat jelas bahwa amanah konstitusi menyatakan
bahwa tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk menyejahterakan
rakyat dan memajukan peradaban. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pembangunan
infrastruktur sosial menjadi bagian esensial dari skenario membangun kemampuan inovasi
nasional. Infrastruktur sosial termasuk sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan, seni dan
budaya, informasi, olahraga dan rekreasi, perumahan, sarana komunitas/lingkungan, pelatihan
dan kesempatan kerja, hukum dan keamanan publik, layanan tanggap darurat, transportasi
publik, serta dukungan lain untuk individu, keluarga, dan komunitas (Casey, 2005).

Pendekatan untuk memahami inovasi tentunya harus bersifat sistemik, tidak dapat dimutilasi
menjadi segmen-segmen yang terpisah satu sama lain. Penelaahan aktor-aktor inovasi tidak
dapat dilakukan secara terisolir satu sama lain. Sebagai contoh, walaupun seandainya lembaga
R&D Indonesia sudah sedemikian majunya sehingga setara dengan lembaga-lembaga serupa
pada level dunia, tetapi tidak otomatis bahwa inovasi di Indonesia menjadi lebih produktif dan
memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Kemajuan R&D bisa menjadi modal untuk mewujudkan kemampuan inovasi yang lebih
tangguh. Data empiris juga menunjukkan adanya korelasi antara penguasaan teknologi dengan
kemajuan perekonomian suatu negara. Akan tetapi adalah keliru jika serta-merta disimpulkan
bahwa hubungan sebab akibat tersebut bersifat otomatis. Perlu diingat pula, upaya
membangun kemampuan inovasi nasional merupakan suatu yang kompleks dan banyaknya
aktor yang ikut berperan di dalamnya. Resultan dari interaksi antar-aktor juga masih sangat
tergantung pada ekosistem dimana hal tersebut berlangsung.
Interaksi dan komunikasi antar-aktor yang intensif akan memperbesar peluang untuk terjadinya
aliran informasi kebutuhan teknologi dari para pihak pengguna teknologi ke pihak pengembang
teknologi, sehingga teknologi yang dikembangkan diharapkan sudah semakin mengacu pada
upaya memenuhi kebutuhan nyata. Pengembangan teknologi yang relevan dengan kebutuhan
pengguna jika telah mempertimbangkan juga secara seksama kapasitas adopsi oleh pihak
pengguna, baik dari dimensi teknis, finansial, maupun sosio-kultural, maka akan meningkatkan
kemungkinan bagi teknologi tersebut untuk digunakan.
Keberhasilan untuk mewujudkan kemampuan inovasi yang lebih produktif dan berkontribusi
positif terhadap pembangunan perekonomian suatu bangsa (yang pada gilirannya diharapkan
dapat memberikan dampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat) berkorelasi
positif dengan intensitas komunikasi dan interaksi antara para aktor inovasi. Namun demikian,
pada saat ini justeru persoalan interaksi dan komunikasi antara aktor inovasi ini yang masih
tersumbat, masih sangat sering terkendala.
20

Pemerintah Jepang, sebagai contoh, telah mengenali peran infrastruktur sosial ini dalam menentukan
keberhasilan membangun SINas, sebagaimana yang terlihat pada konsepsi SINas yang dikembangkan oleh
MEXT (2002).

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2.1.3. Interaksi Antar-Aktor Inovasi

29

Survei Periskop tahun 2000, yang dilaksanakan di 10 kota besar Indonesia (Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, Padang, Palembang, Samarinda, Makassar, Manado, dan Mataram) atas
kerjasama antara Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Pendidikan Jerman
berhasil mengungkapkan bahwa kerjasama antara industri dengan perguruan tinggi, lembaga
R&D, dan lembaga intermediasi teknologi masih sangat jarang. Kalaupun ada, umumnya hanya
terbatas pada masalah operasional dan perawatan mesin dan peralatan saja (Hidayat, 2010).

Terlepas dari konsepsi mana yang digunakan untuk menjelaskan tentang kinerja inovasi
nasional, permasalahan fundamentalnya adalah sama, yaitu rendahnya intensitas komunikasi
dan interaksi antara aktor inovasi. Komunikasi dan interaksi antara pengembang dengan
pengguna teknologi, antara akademisi dengan bisnis, antara perguruan tinggi atau lembaga
R&D dengan industri masih memerlukan dukungan kebijakan. Teknologi yang dihasilkan oleh
pengembangan seringkali tidak sesuai atau tidak relevan dengan kebutuhan para pengguna
untuk meningkatkan produktivitas ataupun untuk dijadikan solusi terhadap persoalan yang
dihadapi. Selanjutnya, karena relevansi teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan nyata
yang rendah, maka lembaga intermediasi mendapat beban yang sangat berat, bahkan mungkin
menjadi mission impossible bagi lembaga intermediasi untuk mendorong agar teknologi
tersebut digunakan oleh industri/badan usaha, masyarakat, maupun pemerintah.

2.1.4. Ekosistem Inovasi Nasional


Kemampuan inovasi nasional pada prinsipnya ditentukan oleh kelancaran aliran informasi
kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh pihak (calon) pengguna potensial ke pihak
pengembang teknologi dan sebaliknya. Disisi lain kelancaran aliran paket teknologi yang
dihasilkan pihak pengembang ke pihak pengguna juga menjadi faktor yang menentukan.
Namun demikian performa akhir dari upaya penguatan kemampuan inovasi nasional akan
dipengaruhi oleh berbagai pihak. Berbagai regulasi dan kebijakan akan ikut mempengaruhi,
termasuk kebijakan-kebijakan yang diluar kendali para aktor utama inovasi, misalnya kebijakan
pembangunan perekonomian, kebijakan keuangan dan perpajakan, kebijakan pendidikan
nasional, kebijakan ketenaga-kerjaan, dan kebijakan pembangunan infrastruktur sosial (lihat

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dalam konteks interaksi antar-aktor inovasi ini, pada tahun 1994 lahir model Triple Helix dari
upaya untuk mengawinkan antara analisis kelembagaan infrastruktur pengetahuan dengan
analisis evolusioner ekonomi berbasis pengetahuan (Leydesdorff dan Meyer, 2006). Untuk
menyederhanakan sebuah sistem yang kompleks, model triple helix menggunakan dinamika
non-linier hubungan universitas-industri-pemerintah. Pada periode tahun 2000-an, konsepsi
triple helix ini juga gencar dikumandangkan di Indonesia sebagai bentuk model penguatan
kemampuan inovasi nasional dengan menggunakan nama populer triple helix ABG (academicbusiness-government) (Kadiman, 2008). Pada dasarnya, akademisi dalam konsepsi ABG ini
mewakili komunitas pengembang teknologi, bisnis mewakili komunitas pengguna teknologi,
dan pemerintahan mewakili lembaga yang berfungsi untuk melakukan regulasi, intermediasi,
dan fasilitasi.

30

Gambar 2). Berbagai regulasi dan kebijakan di berbagai sektor ini merupakan komponen dalam
ekosistem inovasi nasional. Pada level daerah, ada lagi regulasi dan kebijakan daerah, misalnya
berupa berbagai peraturan daerah (Perda).
Dalam kajiannya yang terkait dengan upaya translasi rationale21 menjadi kebijakan, Laranja et
al. (2008) mencoba menjawab tiga pertanyaan yang sangat mendasar, yakni: (1) Apakah
rationale untuk intervensi pemerintah dapat diturunkan dari berbagai teori dengan perspektif
yang berbeda? (2) Apakah bentuk instrumen kebijakan yang digunakan dalam intervensi
pemerintah berkaitan dengan berbagai rationale? Dan (3) Apakah yang dapat disimpulkan
terkait level teritorial/kewilayahan yang tepat dari suatu kebijakan sistem inovasi yang
didasarkan atas teori terpilih dan rationale yang dikembangkan berdasarkan teori tersebut?

Tabel 1. Synthesis of theoretical rationales for science, technology and innovation policy

Neoclassical

Schumpeterian
growth theory

Neo-Marshallian

Systemic
institutional
approaches

Evolutionary

Consideration of
technology

Technology as
information and
incorporated in
capital
investment

Technology as
Broad definition
endogenous non- including social
rival, noninnovation
excludable
generated by
R&D

Broad (including
social innovations).
Technology as
applied knowledge

Broad
Technology as
applied
knowledge

Consideration of
space

No consideration
of space beyond
reduction of
information
costs,
transportas,
location costs

Neutral but with


implications for
divergence/conve
rgence

Proximity (and
space) play a role in
inducing changes in
behaviour

Space as on
dimension for
specific
evolutionary
processes

21

Rationale dalam konteks ini adalah model yang diformalisasi dan didasarkan dari teori dan konsepsi terpilih
yang memberikan informasi tentang desain, implementasi, dan evaluasi kebijakan (Laranja et al., 2008)

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Untuk menjawab tiga pertanyaan di atas, ada lima teori yang ditelaah Laranja et al. (2008),
yakni: (1) Neoclassical, (2) Schumpeterian Growth Theory, (3) Neo-Marshallian, (4) Systemic
Institutional Approaches, dan (5) Evolutionary (Tabel 1). Pemilihan teori yang berbeda sebagai
landasannya, akan melahirkan rationale untuk intervensi pemerintah, level intervensi, dan
instrumen kebijakan yang berbeda pula. Namun demikian, teori sangat jarang diadopsi secara
utuh untuk diterjemahkannya menjadi rationale oleh pembuat kebijakan. Umumnya, hanya
akan dicuplik beberapa elemen saja sesuai dengan kepentingan yang hendak dikawal.
Rationale yang berbasis teori lebih sering diposisikan sebagai justifikasi atau alasan untuk
menetapkan kebijakan tertentu sesuai dengan yang diinginkan, jarang untuk merumuskan atau
memilih alternatif kebijakan yang paling tepat.

31

Rationale for
Market failures.
public intervention Informationtransmission
failures.
Appropriability
failure

Schumpeterian
growth theory

Neo-Marshallian

Systemic
institutional
approaches

Evolutionary

Support to
Flexible external System failure,
Learning
accumulation of economies of
Institutional failures failures,
endogenous R&D agglomeration System dysfunctions cognitive gaps,
Block-in,
dysfunctions.
Lack of diversity

Objective of
intervention

Substitute for less Creat conditions


than optimal use for increasing
of resources
returns to R&D

Reduction of
costs in
information,
transports.
Promote locally
based networks
of cooperation,
and competition

Level of
intervention

Centralisednational level
No differentiation
of levels of
intervention

Centralisednational level,
but with focus in
more advanced
region

Regional level but National and


also national
regional levels
level with
regional
focus(decentralis
ed)

Multi-level.
Balances
centralised with
decentralised
intervention

Role of policy
maker

Compensate for
less than optimal
private
investment.
Optimise
resources

Incentivate
accumulation of
monopolistic
gains

Creation of a
collaborative
industrial
community.
Education for
creating pool of
skills

Coodinating the
system, help in
networking.
Animateur

Identification of
technology
specific failures.
Design of
segmented
targeted
intervention
adaptive role

Examples of policy Subsidies and tax


instruments
incentives to
R&D, investment
in local advanced
technology
infrastructure.
Park for Science
and Technology

Subsides and tax


incentives to
R&D, Investment
in local advanced
technology
infrastructure.
Park for Science
and Technology.
Large
mobilisation
projects

Technology
infrastructure.
Extension
services(servizi
reali) ranging
from technology
to education and
training cluster
policies

Subsidies and tax


incentivate to R&D,
Technology
infrastructures.
Extension services

Subsidies and
tax incentivate
to R&D,
technology
infrastructures.
Extension
services.
Proactive
intermediation
brokerage
(translation of
implicit
knowledge)

Mode of
operationalisation
(target, eligibility
criteria, selectivity)

Targets different
kind of individual
actors.
Favours science
push and large
R&D projects.
Favours R&D
support to hitech, criteria of

Targets both
individual actors
and collective
actions.
Favours demand
approaches and
provision of
shared public
services.

System as a target.
Criteria balances
support to individual
actors with
increasing
collaboration,
interactions and
networking.
Favours collective

Targets both
individual
actors and
groups,
networks of
actors or
systems of
innovation.
Learning

Target different
kinds of
individual actors.
Favours supplyside initiatives.
Science push
measures.
Return on
Investment and

Overall coherence of
the system, roles and
function of actors.
Adequate
institutional setting

Avoid lock-in.
Increase
cognitive
capacity.
Improve
diversity and
selectivity

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Neoclassical

32

Neoclassical
opportunity for
appropristion as
criteria

Schumpeterian
growth theory

Neo-Marshallian

concentration for Use of the value


increasing
chain or cluster
returns
concept

Systemic
institutional
approaches
governance

Evolutionary
opportunity,
and variety
(increase or
reduction) as
Criteria.
Favours
collective
governance

Source: Laranja et al (2008)

Ekosistem inovasi terbangun dari komponen-komponen yang bersifat intangible maupun yang
bersifat tangible. Komponen yang bersifat intangible atau tak-berwujud mencakup semua
regulasi, kebijakan, budaya, tradisi, karakter, dan komponen lain yang dapat mempengaruhi
performa SINas tetapi tidak dapat divisualisasikan wujud fisiknya. Komponen yang bersifat
tangible (wujud fisiknya dapat divisualisasikan) mencakup antara lain sumberdaya manusia
terdidik dan/atau terlatih yang tersedia, sumberdaya alam yang potensial untuk dikelola
sebagai bahan baku proses produksi barang maupun jasa yang dibutuhkan, dan sumberdaya
finansial untuk mendukung kegiatan pengembangan teknologi maupun untuk proses produksi.
Interaksi antara inovasi dengan ekosistem tempat dimana inovasi akan dikembangkan dan
ditumbuhkan pada dasarnya bersifat saling-pengaruh. Regulasi dan kebijakan (baik yang secara
langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengaturan inovasi, dan difusi teknologi) tentu
akan mempengaruhi (secara positif atau mungkin juga negatif) performa inovasi nasional;
sebaliknya dinamika interaksi antar-aktor inovasi, perkembangan iptek, serta dinamika
kebutuhan dan persoalan pengguna teknologi akan mengharuskan terjadinya penyesuaian
regulasi dan kebijakan.
Budaya, tradisi, dan nilai-nilai luhur atau karakter merupakan penciri suatu bangsa yang
cenderung untuk selalu dilestarikan eksistensinya. Dengan demikian, dalam konteks inovasi,
komponen ini merupakan komponen ekosistem yang bersifat statis, yang diposisikan sebagai
fondasi untuk bangunan kebijakan inovasi. Potensi sumberdaya alam juga merupakan
komponen ekosistem yang menjadi acuan dalam merancang kemampuan inovasi nasional. Saat
ini kecenderungan yang terjadi adalah ketersediaan dan jenis keahlian sumberdaya manusia
yang secara dominan mewarnai inovasi. Seharusnya kebutuhan untuk mendukung tumbuhkembang inovasi sesuai dengan potensi nasional dan kebutuhan pasar (atau pengguna) yang
menentukan pola penyiapan dan pengembangan sumberdaya manusia.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Komponen ekosistem inovasi tidak hanya berupa regulasi dan kebijakan yang bersifat legalformal, tetapi juga mencakup berbagai komponen non-formal, seperti budaya (termasuk
norma dan etika), tradisi, dan nilai-nilai luhur atau karakter bangsa (Gambar 2). MEXT (2002)
sudah mengenali komponen ini dan mengintegrasikannya dalam upaya membangun
kemampuan inovasi nasional di Jepang.

33

Sumberdaya finansial dan inovasi akan saling berhubungan secara interaktif, saling beinteraksi
secara positif (snowballing effect) sehingga masing-masing berkembang dan tumbuh semakin
kuat. Sumberdaya finansial yang tersedia akan mendorong kemampuan inovasi semakin
tumbuh berkembang menjadi sebuah sistem yang lebih produktif dan efisien dalam
menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai ekonomi, sehingga secara nyata akan
mendorong pertumbuhan perekonomian suatu negara. Selanjutnya pertumbuhan
perekonomian secara langsung juga berarti meningkatnya ketersediaan sumberdaya finansial
untuk membangun kemampuan inovasi nasional dengan kapasitas yang lebih besar.
Sebaliknya inovasi yang bersifat stagnan (atau dorman) karena tidak mampu menghasilkan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas atau efisiensi proses produksi, tidak akan pula
mampu memberikan kotribusi terhadap pertumbuhan perekonomian. Kondisi ini selain
menyebabkan rendahnya sumberdaya finansial untuk mendukung pengembangan inovasi juga
menghilangkan kepercayaan publik terhadap inovasi itu sendiri. Akibatnya inovasi bukan akan
tumbuh berkembang, tetapi sebaliknya akan menjadi faktor yang semakin tidak diperhitungkan
dalam skenario besar pembanguan perekonomian suatu bangsa.

2.2.1. Mulatsih, Sri,. dan Prakoso Bhairawa Putera. 2009. Analisis Undang-undang No. 18
Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge
Based Economy).
Penelitian yang dilakukan oleh Sri Mulatsih dan Prakoso Bhairawa Putera terhadap
implementasi UU No. 18/2002 menunjukkan pengembangan dan penerapan iptek masih belum
dimanfaatkan secara optimal, terutama di kegiatan ekonomi dan sosial budaya. Menurut
penelitian yang dilakukan, hal itu disebabkan antara lain belum terjalinnya hubungan yang baik
antara lembaga penelitian perguruan tinggi dan industri. Kondisi ini mendorong industri
nasional cenderung memanfaatkan lisensi impor. Selain itu, secara umum Indonesia belum
menjadi pelaku iptek yang diperhitungkan dalam dunia internasional, serta sumber daya iptek
yang mampu diakumulasikan masih terbatas.
Berdasarkan implementasi UU No. 18 Tahun 2002, temuan mendasar yang diidentifikasikan
dalam pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 adalah lemahnya koordinasi kegiatan riset di daerah,
dan interaksi pelaku iptek. Padahal sejak awal UU No. 18 Tahun 2002 dimaksudkan untuk
meletakkan dasar bagi perkembangan kelembagaan iptek dengan interaksinya. UU No. 18
Tahun 2002 meletakkan pemerintah daerah sebagai salah satu komponen pendukung
pelaksanaan sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan iptek khususnya
ditingkat daerah. Pemerintah daerah berkewajiban menumbuh-kembangkan motivasi,
memberi stimulus dan memfasilitasi dalam menciptakan iklim pertumbuhan dan sinergi unsur
kelembagaan, sumber daya dan jaringan iptek.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2.2. Kajian Implementasi UU No. 18 Tahun 2002

34

Kondisi awal di lokasi yang menjadi sampel penelitian ini (tahun 2009) terlihat telah ada
dukungan secara yuridis formal melalui pembentukan Peraturan Daerah ataupun Keputusan
Gubernur tentang pembentukan badan/bagian/unit yang menangani kegiatan penelitian dan
pengembangan di daerah. Namun demikian, dukungan yuridis tidak diikuti ini tidak diikuti
adanya dukungan sumber daya yang memadai. Semua daerah responden menyebutkan
minimnya sumber daya peneliti, begitu juga dengan dana, sarana dan prasarana dalam
pemaksimalan tugas dan fungsi di daerah.
Temuan lainnya yang menarik adalah mengenai pembentukan jalinan interaksi antar
kelembagaan yang diharapkan dapat membentuk pola sistem nasional bagi kemajuan iptek di
Indonesia. Pada awalnya dan sampai saat ini, pembentukan jalinan interaksi ini distimulus oleh
Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan memberikan dana insentif untuk kegiatan penelitian,
pengembangan dan penerapan iptek diharapkan akan memperkuat jaringan kelembagaan
perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga penunjang dan badan
usaha. Namun demikian menurut penelitian Mulatsih dan Putera (2009), kondisi yang terjadi
cukup ironis karena interaksi yang terjadi hanya terjalin sebatas pemanfaatan dana riset, tanpa
adanya keberlanjutan difusi hasil penelitian yang aplikatif oleh dunia usaha.

Dalam menganalisis temuan dalam implementasi UU Nomor 18 Tahun 2002 di atas, Mulatsih
dan Putera (2009) menggunakan indikator keadaan, yaitu tanggapan lembaga-lembaga
(stakeholders). Pelaksana undang-undang ini adalah perguruan tinggi, lembaga litbang, dan
industri. Untuk mengetahui keadaan tersebut ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Table 6.1 Tanggapan terhadap UU No. 18 Tahun 2002

Variabel

Lembaga

Pandangan/Perspektif

Tanggapan/respon
terhadap UU No.
18/2002

Perguruan tinggi

Pada umumnya pengetahuan tentang UU ini masih


sangat sedikit. Namun UU ini perlu untuk
mengarahkan/mengatur kegiatan penelitian supaya
efektif. Yang lebih diperlukan lagi adalah sosialisasi
dan implementasinya.

Balitbang pemerintah
daerah (balitbangda)

Secara umum UU ini belum diketahui, Balitbangda


merasa bahwa UU ini belum menjadikan lembagalembaga penelitian daerah sebagai garda terdepan
dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
Selama ini balitbangda terikat dengan PP No. 38,
bahwa penelitian dan pengembangan itu tidak
termasuk sebagai kegiatan wajib atau pilihan.

Badan usaha (Stem


cell and cancer
institute-PT Kalbe
Farma)

Cukup paham dengan UU ini, karena sering


diundang sebagai pemangku kepentingan,
khususnya dalam diskusi penyusunan PP No. 35
Tahun 2007 tentang alokasi dana sebagian
pendapatan badan usaha.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Perspektif Pemangku Kepentingan UU No. 18 Tahun 2002

35

Tabel di atas menunjukkan bahwa unsur kelembagaan yang diteliti (perguruan tinggi, lembaga
litbang daerah, dan badan usaha/industri) masih rendah tanggapannya terhadap UU No. 18
Tahun 2002, hanya salah badan usaha yang terlihat aktif dalam merespon kebijakan ini. Karena
dari temuan penelitian, perusahaan (badan usaha) ini meletakkan visi dan misi usahanya untuk
bisnis dan penelitian. Di samping itu juga interaktif terhadap kebijakan pemerintah, khususnya
dalam mengemban misi penelitian dan pengembangan baik untuk kepentingan industri
maupun kepentingan nasional masih rendah.

Keberadaan undang-undang ini cukup diketahui, tetapi yang belum adalah menjadikan lembagalembaga penelitian dan pengembangan daerah ini sebagai garda terdepan dalam hal penelitian dan
pengembangan di daerah. Selain itu masih adanya paradigma memandang sebelah mata terhadap
balitbangda oleh pihak-pihak di daerah. Kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan yang
dilakukan selama ini diarahkan untuk mendukung visi dan misi pembangunan daerah. Sehingga
Balitbangda Sumsel berkolaborasi dengan lemlit-lemlit di perguruan tinggi yang berada di wilayah
ini. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, menimbulkan kebingungan pada balitbangda, karena
masing-masing instansi memiliki litbang sehingga fungsi dan tugas balitbangda apa.

Kondisi semacam ini memang berbeda dengan lembaga litbang di daerah yang lain, seperti
Balitbangda Sulawesi Selatan; pelaksanaan penelitian dan pengembangan hanya menjadi tugas
pendukung instansi lain di wilayah kerjanya, dan adanya PP No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadikan penelitian di daerah bukan merupakan urusan
wajib, tetapi pilihan. Bagian penelitian dan pengembangan yang menjadi subbagian di bawah
struktur Sekretaris Daerah Provinsi Yogyakarta, belum mengimplementasikan kebijakan ini
pada tingkat daerah, hal ini disebabkan karena alasan teknis dengan perpindahan struktur
bagian penelitian dan pengembangan yang sebelumnya di bawah Badan Perencanaan Daerah.
Sehingga bagian ini masih merencanakan tindakan untuk pelaksanaan kegiatan, walaupun
sebenarnya berdasarkan surat pembentukan terjabarkan tugas dan fungsi bagian ini tentunya
memberikan tugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan di daerah.
Kelembagaan, Sumberdaya, dan Jaringan
Kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek merupakan unsur-unsur utama dalam sistem
nasional penelitian, pengembangan dan penerapan iptek, yang didukung adanya peran
pemerintah/pemerintah daerah, dan masyarakat. Adanya UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan
kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek menjadi berkembang lebih baik untuk

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang daerah, khususnya yang diteliti tampaknya kurang
memahami kedudukan dan fungsi mereka dalam memperkuat visi dan misi dalam upaya
penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek. Namun demikian, ada beberapa responden
yang cukup tertarik dengan memaksimalkan peran dan fungsi litbang daerah dalam dua tahun
terakhir, seperti yang telihat dari Badan Litbang Daerah Sumatera Selatan;

36

membangun kemampuan iptek nasional yang lebih kuat untuk mencapai tingkatan ekonomi
sejajar dengan negara lain.
Pasal 6 UU No. 18 Tahun 2002 menyebutkan, setiap kelembagaan iptek (perguruan tinggi,
lembaga litbang, badan usaha dan lembaga penunjang) berfungsi mengorganisasikan
pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan
difusi teknologi. Menurut Mulatsih dan Putera (2009), perguruan tinggi sebagai kelembagaan
iptek diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia (peneliti, perekayasa, teknisi, dan
sebagainya) yang diperlukan dalam upaya peningkatan kemampuan penguasaan, pemanfaatan
dan pemajuan iptek. Lembaga litbang menjadi mencari peneliti, perekayasa, teknisi dan
semberdaya manusia lain yang diperlukan untuk memperkuat kegiatan penelitian,
pengembangan, dan penerapan iptek. Selanjutnya untuk mengetahui fungsi kelembagaan iptek
yang disurvei, dapat dilihat pada Tabel 6.2 di bawah ini.

Kelembagaan

Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kelembagaan

Perguruan tinggi (ITB,UGM,


UNHAS, UNSRI)

Dalam mengembangkan inovasi melalui penelitian dan pengembangan,


lebih banyak dilandasi oleh Tri Darma Perguruan Tinggi.

Balitbangda (Sumsel,Sulsel,
DIY)

Tugas penelitian pada dasarnya sebagai tugas struktural dari


Kemendagri. Sehingga kegiatan ini tidak selalu dilakukan seperti lembaga
penelitian lainnya. Bahkan seperti Pemda DIY, bidang penelitian
menurut struktur organisasi baru hanya berfungsi sebagai lembaga
pemberi ijin penelitian. Namun demikian, juga melakukan koordinasi
untuk menginventarisasi hasil penelitian di daerah.

Badan usaha (Stem cell and


cancer institute-PT Kalbe
Farma)

Tugas utamanya adalah melakukan penelitian bidang mikrobiologi untuk


sell kanker. Sumber dana murni swasta di PT Kalbe Farma (bergerak di
bidang farmasi).

Selain kelembagaan, sumber daya, jaringan dan pembiayaan dipandang sebagai aspek inti
dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Dalam Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2002
disebutkan, pemerintah mendorong kerja sama antar kelembagaan iptek dalam
pengembangan jaringan informasi iptek. Untuk itu, perguruan tinggi dan lembaga litbang agar
mengusahakan penyebaran informasi hasil kegiatan, termasuk pembentukan Sentra HKI.
Kelembagaan iptek juga diarahkan untuk membentuk jalinan hubungan interaktif yang
memadukan unsur-unsur kelembagaan iptek untuk menghasilkan kinerja dan manfaat lebih
besar secara bersama. Namun demikian, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang masih
bersifat sektoral menjadikan amanah yang disebutkan dalam UU No. 18 Tahun 2002 ini belum
berjalan dengan baik.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Tabel 6.2 Tugas Pokok dan Fungsi Kelembagaan Iptek

37

Aspek terpenting dalam pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek adalah
pembiayaan. Menurut UU No. 18 Tahun 2002, pembiayaan pelaksanaan kegiatan penelitian,
pengembangan dan penerapan iptek merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah
dan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, ketentuan ini masih memerlukan penjelasan
bagaimana merealisasikan pembiayaan ini, terutama dalam pelaksanaan fungsi dan pemerintah
sebagai motivator dan stimulator perkembangan sistem nasional litbangrap iptek.
Pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002

Secara hierarkis, Undang-Undang sebagai produk policy level akan diimplementasikan melalui
tingkatan organisasi (level of organization) yaitu berupa peraturan pelaksanaannya. UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan peraturan
pelaksanaan dari undang-undang adalah sesuai dengan hirarkhi-nya, yaitu peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi; dan peraturan daerah
kabupaten/kota. Dalam pelaksanaannya UU No. 18 Tahun 2002, tiga tahun setelah disahkan
diturunkan dua Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 20
Tahun 2005 dan PP No. 35 Tahun 2007. Tahun 2005 disahkan, PP No. 20 Tahun 2005 tentang
Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan. Kemudian di tahun berikutnya,
PP No. 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk
Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan Difusi Teknologi. Peraturan pemerintah
terakhir yang diturunkan sebagai pelaksanaan dari undang-undang No. 18 Tahun 2002 adalah
mengenai Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang Berisiko Tinggi dan Berbahaya, tertanggal 18 Juli 2009 dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2009
Pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002, antara lain dapat mengacu penjelasan Riant Nugroho
(2009), dalam public policy, undang-undang sebagai bentuk dari kebijakan di Indonesia masih
menganut model kebijakan continental atau yang berasal dari Belanda; model kebijakan yang
dibuat berjenjang sesuai dengan hierarki implementabilitasnya. Undang-undang merupakan
kebijakan yang dinilai mempunyai posisi tertinggi, dan dibuat dengan pasal-pasal yang bersifat
makro atau umum untuk kemudian dibuat petunjuk pelaksanannya. Akibatnya di Indonesia

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pelaksanaan suatu undang-undang merupakan suatu penjabaran isi dari pasal-pasal ke dalam
peraturan-peraturan atau kebijakan yang disebut sebagai arrangement institutions, berupa
peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan kebijakan PP. Selama hampir
sepuluh tahun pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 telah diturunkan empat peraturan
pemerintah yang perlu disusun, yaitu terkait dengan pelaksanaan Pasal 16, 17, 22 dan Pasal 28.
UU No. 18 Tahun 2002 mencakup 9 bab dan 32 pasal dan penjelasannya, termasuk 2 bab di
dalamnya tentang ketentuan sanksi dan ketentuan peralihan. Secara politis UU ini telah
memenuhi syarat dalam proses penyusunannya sehingga UU ini telah diundangkan sejak 29 Juli
2002. Sebagai payung hukum UU ini merupakan acuan seluruh elemen yang tercakup dalam
sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek, antara lain lembaga
penelitian, perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya.

38

banyak terjadi kasus di mana sudah ada undang-undang, tetapi pelaksanaannya tidak effektif
karena peraturan atau kebijakan pelaksanaannya belum dibuat.
Dalam kaitannya dengan penguatan inovasi, pola jalinan interaksi atau yang dikenal dengan
jaringan, responden penelitian Mulatsih dan Putera (2009) berpendapat interaksi yang
dilakukan antar pelaku iptek di lembaga litbang, perguruan tinggi, badan usaha maupun di
masyarakat selama ini masih tidak terpola. Interaksi yang dilakukan belum terlembaga dan
hanya dilakukan secara personal (individu). Responden lainnya menyatakan, kerjasama atau
interaksi yang terjalin selama ini hanya sebatas pemanfaatan dana riset yang dimiliki oleh
badan litbang daerah saja.
Jalinan interaksi selama ini belum berjalan maksimal, walaupun kami memiliki jaringan peneliti
Sumatera Selatan yang telah mendapat pesetujuan dari gubernur tetapi belum maksimal. Interaksi
berjalan karena adanya kerjasama penelitian yang menggunakan dana atau dibiayai oleh
balitbangda. Interaksi yang terlaksana sebatas antara balitbangda dengan peneliti yang
bersangkutan yang mayoritas berasal dari perguruan tinggi.

Simpul pola interaksi terlihat lebih baik dilakukan oleh perguruan tinggi. Jaringan yang
dikembangkan di perguruan tinggi, beberapa telah dapat menyambung simpul industri
(beberapa), lembaga penelitian pemerintah lainnya, dan penelitian swasta.

Dukungan pemerintah daerah dalam menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi


dan fasilitas, serta menciptakan iklim kondusif dalam sistem penelitian, pengembangan, dan
penerapan iptek di daerah sesuai dengan amanat UU No. 18 Tahun 2002 secara bertahap
mengalami kemajuan.
Dengan keluarnya Perda No. 5 Tahun 2008 menunjukkan bahwa adanya perhatian dari pemerintah
daerah. Masuknya Bagian Penelitian dan Pengembangan di Biro Administrasi Pembangunan adalah
indikasi baik. Untuk kelengkapan lainnya sedang diproses. Untuk Dewan Riset Daerah, pemerintah
daerah masih mencari format terbaik, karena yang ada selama ini adanya kumpulan pakar-pakar di
Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi DIY.
Pemerintah daerah telah menganggarkan sejumlah dana sehingga setiap tahunnya balitbangda
melaksanakan program dan kegiatan penelitian pengembangan yang mengacu pada program
prioritas pemerintah provinsi, pada tahun 2008 kemarin melaksanakan sebanyak 2 program utama
dan 60 kegiatan dengan pendanaan sebesar Rp. 10.323.550.072,- yang seluruhnya bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah pemerintah provinsi. Indikasi ini menandakan bahwa
adanya dukungan dari pemerintah walaupun masih dirasa kurang dalam segi penambahan alokasi
dana ataupun sarana prasarana untuk menunjang kegiatan penelitian.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah memberikan ruang untuk
mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek. Akan tetapi, kebijakan
internal di setiap daerah responden berbeda, adanya ruang bagi masing-masing elemen dalam
UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan dapat mengoptimalkan dan keberlanjutan aktivitas
litbangrap iptek. Dukungan kebijakan serta pendanaan yang secara terus menerus dan
berkelanjutan program yang dilakukan pada tingkat daerah, karena bagaimanapun juga sistem
nasional tidak dapat berjalan secara maksimal tanpa adanya dukungan pelaksanaan sistem
pada level daerah.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

LPPM-ITB melakukan jejaring penelitian dengan lembaga lain disebut sebagai mitra kerja, namun
tampaknya jejaring peneliti yang dibangun antar lembaga penelitian di wilayah Jawa Barat (ITB,
Bappeda, LSM) belum ada.

39

2.2.2. Seri Diskusi Sistem Inovasi dan Daya Saing - Pengembangan Sistem Inovasi Daerah:
Perspektif Kebijakan, Tatang A Taufik: BPPT dan Kementerian Riset dan Teknologi,
2005.
UU No. 18 Tahun 2002 merupakan tonggak penting, landasan hukum yang diharapkan dapat
memperkuat landasan pembangunan dan mempercepat perkembangan iptek, mendorong
pertumbuhan dan pendayagunaan sumberdaya iptek. UU No. 18 Tahun 2002 diharapkan dapat
memperkuat jaringan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat untuk
berpartisipasi secara aktif dalam pemajuan iptek.
Menurut Tatang (2005) meskipun tidak secara eksplisit disebutkan sistem inovasi, namun
sistem nasional litbangrap iptek merupakan keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling
memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan iptek dalam satu
keseluruhan yang utuh. Selanjutnya Tatang (2005) menyebutkan, esensi keterkaitan ini sama
dengan atau setidaknya berangkat dari konsep sistem inovasi nasional, dan karenanya
merupakan langkah penting bagi perkembangan sistem inovasi di Indonesia. Sistem nasional
litbangrap iptek ini diperlukan untuk mencapai tujuan:
a. memperkuat daya dukung iptek bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan
negara, serta

Oleh karena itu perkembangan sistem inovasi ini akan ditentukan oleh pelaksanaan lebih lanjut
(secara legal) dan implementasinya. Salah satu pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 adalah
penguatan fungsi kelembagaan iptek dalam sistem nasional litbangrap iptek. Upaya ini
dilakukan melalui:
a. mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan,
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi;
b. pembentukan iklim dan memberikan dukungan kebijakan yang diperlukan bagi
penyelenggaraan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek.
Pemajuan ataupun penguatan sistem inovasi pada tataran daerah menurut Tatang (2005)
adalah sesuatu yang penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional dan peningkatan daya
saing secara nasional. Penguatan sistem inovasi di tataran daerah merupakan bagian integral
atau sub sistem dari pilar sistem inovasi nasional. Upaya-upaya terpadu dalam penguatan
kelembagaan, interaksi dan proses pembelajaran akan menjadi semakin penting pada tataran
daerah. Dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tanggung jawab daerah dalam
pembangunan iptek dan sistem inovasi cukup besar. Hal ini juga ditegaskan dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain:
a. tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan
umum, dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat (3));
b. kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban antara lain: memajukan
dan mengembangkan daya saing daerah (Pasal 27 ayat (1) butir g.)
UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

b. meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara


dalam pergaulan internasional.

40

Pembangunan Nasional, maupun peraturan perundang-undangan lainnya diharapkan menjadi


landasan legislasi untuk mengintegrasikan, meningkatkan sinkronisasi dan sinergi dalam
pengembangan sistem inovasi.
2.2.3.

Pengembangan Peraturan untuk Mendukung Unit Komersialisasi Kelembagaan


Iptek, Kementerian Riset dan Teknologi, 2007

Transfer teknologi dari lembaga penelitian dan pengembangan kepada industri dan masyarakat
melalui bentuk kemitraan, seringkali masih menghadapi persoalan yang cukup serius, seperti
HKI, pembagian royalty, pemanfaatan produk. Kesulitan dalam proses transfer teknologi
tersebut tidak hanya terjadi pada industri besar saja tapi terjadi juga pada industri kecil dan
menengah. Hal ini menyebabkan industri kecil dan menengah cenderung menggunakan tenaga
konvensional yang dimiliki atau membeli dari luar negeri untuk perbaikan (improvement) dalam
kegiatan proses produksinya.
Alasan yang melatarbelakangi kondisi tersebut sebenarnya adalah suatu hal yang cukup logis.
Para pengusaha kecil dan menengah ini masih meragukan kualitas produk teknologi hasil
penelitian dan pengembangan, termasuk juga keberlanjutannya (sustainability). Alasan lainnya,
adanya gap antara teknologi hasil penelitian dan pengembangan dengan kebutuhan pasar yang
ada, belum lagi ketepatan waktu pemanfaatannya. Andaipun ada keterkaitan antara dunia
usaha dan lembaga penelitian dan pengembangan saat ini baru sebatas asistensi dari pihak
penelitian dan pengembangan yang kebanyakan masih terbatas pada aspek pengujian produk
dan peralatan.
Kondisi ini memperlihatkan, program yang direncanakan dan dilaksanakan masih kurang fokus,
cenderung mengerjakan terlalu banyak kegiatan. Hal ini masih ditambah kurangnya
perhitungan pencapaian optimal dalam penggunaan sumberdaya keuangan dan sumberdaya
manusia, meskipun peralatan yang dimiliki sebenarnya sudah cukup memadai. Jumlah dan
kualitas sumberdaya manusia di Indonesia yang cukup memadai, kurang dimanfaatkan secara
optimal. Hasil-hasil penelitian dan pengembangan umumnya masuk dalam publikasi ilmiah

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembangunan iptek dalam upaya memperkuat daya
dukung iptek untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa adalah ketergantungan
yang tinggi terhadap teknologi luar. Ketergantungan ini sebagai akibat dari kurang
berkembangnya teknologi/inovasi dalam negeri. Dalam beberapa kasus, sektor usaha masih
merasakan hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri belum dapat diterapkan dalam
kegiatan industri. Ketergantungan teknologi dari luar, seringkali dibarengi kesulitan dalam
pemeliharaannya, karena tidak selalu mendapatkan akses secara lengkap teknologi yang ada.
Kerjasama-kerjasama yang dilakukan mengenai transfer teknologi cenderung mengarah pada
kerjasama perdagangan, sehingga transfer teknologi dapat dikatakan tidak terjadi, yang ada
adalah jual beli teknologi. Teknologi menjadi komoditas yang sangat mahal dan seringkali
memberatkan beban keuangan negara secara keseluruhan, karena pembelian barang modal
yang sarat dengan teknologi.

41

tingkat nasional, hanya sedikit yang menghasilkan hak paten dan masuk dalam publikasi
internasional. Hal ini juga menunjukkan, hasil-hasil kajian dari perguruan tinggi maupun
lembaga penelitian masih belum sesuai dengan kebutuhan pasar, juga belum memadai untuk
mendapatkan pengakuan secara ekonomis.

Permasalahan krusial lainnya adalah pembentukan unit kerja dalam upaya komersialisasi hasil
litbang. Di satu sisi perguruan tinggi maupun lembaga litbang memerlukan adanya unit kerja
yang mandiri untuk melakukan pengelolaan administrasi hasil penjualan produk litbang secara
lebih optimal. Semua hasil penjualan hasil litbang dapat dikelola secara langsung oleh lembaga
melalui unit komersialisasi hasil litbang ini, sehingga lembaga memperoleh pendapatan yang
dapat digunakan untuk investasi berbagai kegiatan litbang lainnya, yang mungkin ditujukan
untuk pengembangan teknologi tepat guna maupun sebagai upaya mendukung perbaikan
pendapatan peneliti. Pembentukan unit kerja yang mendorong peningkatan komersialisasi hasil
litbang ini, sesuai dengan PP No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual
dan Hasil Penelitian Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Pengembangan. Dalam Pasal 16 peraturan pemerintah tersebut menyatakan, perguruan tinggi
dan lembaga litbang wajib membentuk unit kerja yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pengelolaan dan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan litbang di
lingkungannya. Sedangkan pengaturan mengenai pembentukan, susunan organisasi, rincian
tugas, tata kerja unit kerja, dan penetapan prosedur pengelolaan dan alih tekologi kekayaan
intektual serta hasil kegiatan litbang diatur oleh lembaga yang bersangkutan. Unit kerja ini
dapat merupakan lembaga baru, sebagai penambahan unit-unit kerja yang ada, atau dengan
memanfaatkan unit yang ada, seperti penambahan tugas dan fungsi lembaga Sentra HKI di
perguruan tinggi dan lembaga litbang.
Dalam pelaksanaannya pembentukan unit kerja seperti yang disyaratkan pada PP No. 20 Tahun
2005 masih mengalami hambatan. Adanya perubahan struktur organisasi lembaga, sebagai
pelaksanaan kebijakan pemerintah, misal Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara (Menpan) untuk mengurangi pembentukan lembaga baru, seperti Unit Komersialisasi
Hasil Litbang. Kebijakan ini akan membatasi pembentukan lembaga baru, dan tampaknya akan
menjadi salah satu hambatan dalam merealisasikan komersialisasi hasil litbang. Oleh karena
itu, kajian pengembangan kebijakan yang mendukung komersialisasi hasil litbang masih perlu

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sesuai pasal 16 UU No. 18 Tahun 2002, perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan
pengembangan wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan
litbangnya. Ketentuan ini ditujukan bagi kegiatan litbang yang dibiayai sepenuhnya atau
sebagian oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Pengalihan ini dilakukan pada badan usaha,
pemerintah, atau masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban ini dimaksudkan agar hasil litbang
dapat dimanfaatkan seluas mungkin oleh masyarakat, menghasilkan nilai tambah ekonomi dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan. Investasi pemerintah dalam bentuk
hasil litbang ini diharapkan dapat menghasilkan public return sebesar mungkin.

42

dilakukan dengan bersinergi lebih erat dengan para pengambil keputusan di bidang aparatur
negara.

Perguruan Tinggi sebagai bagian integral dari pendidikan di Indonesia diarahkan seoptimal
mungkin melakukan proses transformasi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan
pengembangan di bidang iptek, serta aplikasi hasil litbang tersebut melalui kegiatan
pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa kegiatan penelitian dan
pengabdian sebenarnya tidak bisa dipisahkan dan telah menjadi tugas dan kewajiban dari
perguruan tinggi untuk merealisasikannya. Hal ini menuntut perguruan tinggi untuk menggali
sumber dana lainnya selain dari Pemerintah, melalui penjualan jasa konsultasi dan jasa teknis
litbang, suatu kegiatan komersialisasi hasil riset. Upaya komersialisasi ini belum berjalan
maksimal, sehingga hasilnya belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Hasil
riset di bidang teknologi industri yang dihasilkan lembaga penelitian dan pengabdian
masyarakat maupun para peneliti di perguruan tinggi sebenarnya cukup banyak, namun kurang
sosialisasi, dan memberikan sentuhan komersialisasi terhadap produk yang dihasilkan. Hasil
dari riset ini juga seringkali tidak memperhatikan struktur biaya, sehingga ketika diterapkan
tidak mampu bersaing dengan produk-produk yang dihasilkan oleh pihak lain, swasta atau
perusahaan. Struktur biaya penelitian yang tinggi menyebabkan hasil penelitian perguruan
tinggi menjadi terlalu mahal untuk pengguna. Oleh karena itu, lembaga litbang dan perguruan
tinggi perlu memperhatikan struktur biaya litbangnya agar menarik untuk dikomersialkan
kepada para pelaku usaha dan masyarakat. Tingginya biaya litbang antara lain disebabkan biaya
administrasi yang tinggi, seperti misalnya birokrasi yang panjang dalam mekanisme
pengelolaan dana penelitian, dan perpajakan.
Dilihat dari proses penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dituntut untuk
menghasilkan produk-produk yang memiliki keunggulan kompetitif untuk dapat diterima
pengusaha sebagai pengguna hasil penelitian. Untuk menghasilkan produk yang lebih
kompetitif, maka perguruan tinggi didorong menuju terwujudnya universitas penelitian
(research university). Dalam bentuk ini, kegiatan penelitian menjadi kegiatan utama, disamping
kegiatan pengajaran dan pengabdian masyarakat. Para dosen dan mahasiswa harus memiliki
kemampuan dalam memecahkan masalah aktual yang ada di masyarakat, melalui berbagai
kegiatan penelitian yang bersifat aplikatif. Permasalahan lainnya adalah kurangnya sosialisasi
hasil litbang, dan produk penelitian masih banyak yang bersifat teoritis dan belum dapat
diterapkan di masyarakat. Banyak skripsi, tesis, maupun desertasi tersimpan di perpustakaan,
padahal banyak diantaranya yang memiliki potensi untuk dikomersialisasikan. Banyak karya
ilmiah yang tidak aplikatif, meskipun secara akademik dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan fakta di lapangan, umumnya pihak industri menghendaki hasil litbang yang dapat
menghasilkan produk akhir secara cepat, mudah, murah. Pihak pengguna beranggapan hasil
litbang perguruan tinggi maupun lembaga litbang Pemerintah masih bersifat teoritis dan belum
dapat diaplikasikan. Kalangan dunia usaha lebih menyukai teknologi yang sudah siap pakai,
daripada membeli hasil litbang perguruan tinggi yang masih belum teruji dalam

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Unit Profit Pelayanan Jasa Teknis dan Jasa Konsultasi di Perguruan Tinggi

43

pemanfaatannya. Penyediaan dana penelitian kepada para peneliti sering kali belum dapat
memberikan solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang ada di lapangan, baik di
masyarakat maupun di dunia usaha.
Pembiayaan kegiatan perguruan tinggi, termasuk biaya litbang mengacu pada PP No. 60 Tahun
1999 tentang Perguruan Tinggi. Dalam Pasal 114 antara lain diatur sebagai berikut :

Dalam ketentuan di atas, perguruan tinggi dapat menggali penerimaan dari masyarakat. Hal ini
memberikan kemungkinan bagi perguruan tinggi mendirikan unit usaha sebagai salah satu
sumber pembiayaan dari masyarakat. Unit usaha ini dapat pula berbentuk unit usaha
komersial, suatu unit yang mampu menunjang penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi
melalui pengelolaan hasil litbang yang lebih profesional.
Unit Profit Pelayanan Jasa Teknis dan Jasa Konsultasi di Lembaga Litbang
Pembentukan unit pelayanan jasa teknis dan jasa konsultasi di lembaga litbang lebih diarahkan
untuk mengkomersialkan kekayaan intelektual dan hasil-hasil litbang. Inovasi yang memiliki
nilai komersial yang harus dilindungi oleh hak atas kekayaan intelektual. Agar inovasi dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat diperlukan sosialisasi, upaya untuk memperkenalkan berbagai
produk litbang kepada masyarakat. Penerimaan masyarakat ini akan mendorong terjadinya alih
teknologi, baik berupa kekayaan intelektual maupun hasil-hasil litbang lainnya.
Hasil yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan pengalihan teknologi dapat berupa pengalihan
codified knowledge maupun tacit knowledge transfer. Kegiatan terebut merupakan upaya
pemanfaatan hasil litbang dan pengalihan kemampuan penguasaan iptek oleh perguruan tinggi
dan lembaga litbang. Kegiatan ini memerlukan pendekatan tersendiri, dan seringkali tidak sama
dengan pengelolaan kelembagaan lain, seperti pengelolaan perizinan, atau penerimaan hasil

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 114
(1) Pembiayaan Perguruan Tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan pihak
luar negeri.
(2) Penggunaan dana yang berasal dari Pemerintah baik dalam bentuk anggaran rutin maupun
anggaran pembangunan serta subsidi diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah perolehan dana Perguruan Tinggi yang berasal dari
sumber-sumber sebagai berikut :
a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);
b. Biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;
c. Hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi;
d. Hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi;
e. Sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga nonPemerintah; dan
f. Penerimaan dari masyarakat lainnya.
(4) Penerimaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari pihak luar negeri diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat didasarkan atas pola prinsip tidak
mencari keuntungan.

44

selisih harga ataupun penerimaan keuntungan dari BUMN. Keuntungan yang diperoleh dari
pengalihan teknologi juga dapat mengurangi ketergantungan pendanaan kegiatan litbang di
Perguruan Tinggi maupun Lembaga Litbang pada anggaran Pemerintah. Oleh karena itu,
adanya keleluasaan dalam pengelolaan penggunaan pendapatan alih teknologi mempunyai
peran penting dalam mendorong kemandirian lembaga penelitian. Pendapatan dari alih
teknologi ini dapat digunakan untuk berbagai kegiatan antara lain:
1) memperbesar pendanaan litbang yang diperlukan untuk menguasai kemajuan iptek dan
mengembangkan invensi serta menggali dayagunanya;
2) memberikan insentif yang diperlukan untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan
invensi di lingkungan litbang;
3) memperkuat kemampuan pengelolaan kekayaan intelektual, termasuk pemeliharaan,
perlindungan, dan alih teknologi;
4) melakukan investasi untuk memperkuat sumber daya iptek yang dimiliki, baik yang
berbentuk keahlian sumber daya manusia dan pengorganisasiannya, aset informasi dan
iptek, serta sarana prasarana iptek;
5) meningkatkan kualitas dan memperluas jangkauan alih teknologi dan jasa iptek;

Lembaga litbang pemerintah umumnya ditujukan untuk melaksanakan penelitian,


pengembangan dan pengkajian dalam rangka mencapai suatu keunggulan iptek dalam rangka
pemecahan masalah-masalah pembangunan di berbagai bidang. Meskipun hampir semua
perencanaan program lembaga litbang pemerintah ditujukan untuk tujuan penerapan iptek,
namun dalam praktik belum banyak hasil-hasil litbang yang langsung dapat diterapkan. Hasil
litbang masih belum dapat dimanfaatkan, baik dalam rangka pemecahan masalah di bidang
teknis, membantu dunia usaha dalam kegiatan proses produksi maupun kegiatan manajemen
lainnya. Hasil kajian yang dihasilkan masih kurang diminati dunia usaha karena adanya
ketidaksesuaian antara hasil litbang dengan kebutuhan yang didasarkan pada tuntutan
konsumen. Hal ini menyebabkan implementasi hasil litbang masih rendah. Oleh karena itu,
upaya peningkatan komersialisasi hasil litbang memerlukan suatu perencanaan program yang
lebih holistik, dengan melibatkan calon pengguna. Penyusunan rencana juga harus
memperhatikan standar-standar teknologi yang berlaku di dunia usaha, pola kerjasama yang
berlaku dalam komersialisasi hasil litbang. Perencanaan harus memperhatikan faktor-faktor
lain. Faktor yang mempunyai peran penting adalah faktor finansial, yang secara kondusif dapat
mendukung upaya komersialisasi hasil litbang secara lebih proporsional dan berpihak kepada
lembaga dan jajaran penelitiannya.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

6) memperluas jaringan kerja dengan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan


pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

45

Bab 3
Evaluasi dan Analisis Kebijakan Penguatan
Inovasi dalam Peraturan Perundang-undangan

Mengacu pada strategi penguatan inovasi dari Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga,
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ministry of Education, Culture, Sport, Science and
Technology, secara resmi disingkat MEXT) Jepang yang telah dikemukakan di bab sebelumnya,
maka secara konseptual dapat diperlihatkan posisi lembaga pendukung atau penunjang.
Lembaga-lembaga ini merupakan lembaga-lembaga yang berwenang untuk membuat kebijakan
tentang perekonomian, infrastruktur sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta pajak dan keuangan. Kebijakan-kebijakan ini berperan menunjang
kemantapan panggung (platform) basis pengetahuan untuk interaksi atau kerjasama antara
pengembang dengan pengguna teknologi. Menurut konsepsi ini, fondasi yang paling mendasar
dalam penguatan inovasi adalah lingkungan, budaya, tradisi, dan karakter bangsa. Selanjutnya
perlu adanya kemantapan panggung untuk para aktor utama inovasi dalam berkiprah akan
tergantung pada dukungan kebijakan dan regulasi yang relevan. Tahap berikutnya adalah
dukungan kegiatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi yang berujung pada
produk/barang dan/atau jasa yang sesuai dengan permintaan pasar. Pada ketiga tahapan posisi
dan peran lembaga intermediasi sangat diperlukan dalam mewujudkan suatu sistem inovasi.
Kinerja dan perkembangan inovasi nasional sangat dipengaruhi oleh peraturan perundangundangan maupun kebijakan di berbagai sektor yang terkait. Olehkarena itu diperlukan
evaluasi dan analisis kebijakan penguatan inovasi dalam peraturan perundang-undangan
terkait. Peraturan ini terutama terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang
ekonomi, perdagangan dan industri, bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang
pendidikan, bidang ketenagakerjaan, bidang pendidikan, serta peraturan perundang-undangan
lainnya berkaitan dengan infrastruktur sosial.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Penguatan inovasi secara garis besar ditandai adanya elemen-elemen/aktor yang melakukan
jejaring untuk saling berinteraksi menghasilkan inovasi. Di Indonesia, secara umum penguatan
inovasi antar elemen-elemen atau aktor penghasil teknologi masih kurang. Kurangnya
komunikasi dan interaksi menyebabkan penerapan inovasi yang dihasilkan oleh aktor/lembaga
penghasil inovasi tersebut belum dapat didayagunakan sepenuhnya. Padahal lembaga
penelitian, perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya sebagai aktor/lembaga yang
tercakup dalam penguatan inovasi akan menjadi kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi
nasional.

46

1. Bidang Perindustrian dan Perdagangan


Stabilitas makro ekonomi sangat penting bagi dunia bisnis, sehingga akan sangat menentukan
tingkat daya saing (competitiveness) suatu negara. Walaupun tentu saja, produktivitas suatu
negara tidak hanya ditentukan oleh stabilitas makro ekonominya. Pemerintah tidak akan dapat
melakukan pelayanan publik dengan baik, jika selalu terbelit hutang dan keharusan
membayarnya dengan suku bunga tinggi atau dalam kondisi cenkeraman persoalan makro
ekonomi yang tidak mampu dituntaskan. Perusahaan tidak dapat berbisnis secara efisien dan
bergairah jika inflasi tidak dapat diprediksi. Dengan demikian perekonomian tidak dapat
tumbuh secara ber-kesinambungan jika kondisi makro ekonomi tidak stabil.

Tumbuh kembang kegiatan bisnis akan membuka peluang untuk peningkatan daya beli
masyarakat dan memperbesar kapasitas pasar domestik (market size). Untuk periode 20082010, berdasarkan survei WEF peringkat ukuran pasar domestik Indonesia juga terus
meningkat, berturut-turut dari peringkat 17 (2008), menjadi 16 (2009) dan 15 (2010). Survei
yang dilakukan oleh UNCTAD (2009) tentang prospek investasi dunia (World Investment
Prospects Survey) menyimpulkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 9 dunia, setelah
Cina, Amerika Serikat, India, Brazil, Rusia, Inggeris, Jerman, dan Australia (Gambar 3). Namun
demikian, peringkat ini perlu dilihat secara cermat, karena daya tarik utama bagi para investor
untuk menanamkam modalnya adalah ukuran pasar domestik dan laju pertumbuhan pasar
domestik dari negara tujuan invenstasi tersebut. Dua faktor ini lebih dominan dalam
pengambilan keputusan untuk berinvestasi dibandingkan dengan program insentif yang
ditawarkan, ketersediaan dan kemurahan upah tenaga kerja, akses untuk pengelolaan
sumberdaya alam, dan efektivitas peran pemerintah.
Indonesia dengan penduduknya yang lebih dari 237 juta jiwa dengan daya beli yang relatif baik
merupakan pasar domestik yang sangat potensial bagi investor asing. Pasar domestik Indonesia
akan menjadi sasaran empuk bagi investor asing jika Indonesia tidak mampu membangun SINas
yang kuat untuk menopang pembangunan ekonomi nasional. Makro ekonomi yang terpelihara
stabilitasnya dan kapasitas pasar domestik yang terus membesar merupakan ekosistem yang
positif untuk tumbuh-kembang SINas. Peningkatan kapasitas pasar bermakna peningkatan
permintaan masyarakat akan barang dan jasa, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Peningkatan permintaan barang dan jasa yang lebih banyak dan/atau lebih bermutu akan
meningkatkan kebutuhan industri akan teknologi yang lebih sesuai. Dinamika ini membuka
peluang dan tantangan bagi lembaga pengembang teknologi untuk melakukan riset yang
relevan dengan kebutuhan industri.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kondisi makro ekonomi Indonesia untuk periode 2008-2010 tergolong stabil. Berdasarkan
survei World Economic Forum (WEF, 2010), skor untuk stabilitas makro ekonomi Indonesia
pada tahun 2010 mencapai 5,2 dan menduduki peringkat 35 dari 139 negara yang disurvei. Jika
persepsi masyarakat dunia terhadap stabilitas makro ekonomi ini dapat terus dipelihara dan
jika mungkin terus ditingkatkan, maka akan semakin menarik bagi kalangan bisnis untuk
berinvestasi dan menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia.

47

Gambar 3. Peringkat daya tarik Indonesia bagi investor asing

Kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia yang baru diluncurkan yang dikemas dalam
Keppres No. 32 Tahu 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah menetapkan enam koridor pembangunan ekonomi
sesuai dengan potensi sumberdaya setempat perlu dibarengi dengan upaya membangun
penguatan inovasi yang berkesesuaian. Apalagi pengembangan sumberdaya manusia dan iptek
telah dipilih sebagai salah satu dari tiga strategi utamanya.
Kinerja dan perkembangan SINas akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan di berbagai
sektor yang terkait, termasuk perdagangan dan industri. Harus ada dorongan agar produk
barang dan jasa yang diperdagangkan, terutama untuk ekspor, diutamakan sudah merupakan
produk-produk jadi yang dibutuhkan oleh konsumen akhir (consumer products). Kebijakan
yang berorientasi untuk mendorong ekspor agar lebih diprioritaskan pada produk jadi,

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Jika peningkatan kebutuhan teknologi yang relevan ini dikomunikasikan oleh industri ke pihak
pengembang teknologi dan pihak pengembang teknologi mampu menyediakan paket teknologi
yang tidak hanya relevan, tetapi juga handal dan sesuai kapasitas adopsi pelaku bisnis, maka
SINas akan lebih dirasakan geliatnya. Pada kurun waktu yang sama (2008-2010), survei WEF
juga memperlihatkan terjadinya peningkatan peringkat Indonesia dari 47 menjadi 36.

48

merupakan bentuk kebijakan yang secara nyata akan mendorong adopsi teknologi pada
industri-industri di dalam negeri, sekaligus membuka lapangan kerja, dan meningkatkan nilai
tambah produk yang diekspor. Indonesia saat ini masih dominan mengekspor komoditas atau
bahan mentah (raw materials) atau produk-produk setengah-jadi (intermediate products) yang
secara ekonomi merugikan dan secara ekologi kurang bersahabat, karena cenderung
mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan mempunyai nilai ekonomi yang
rendah. Ungkapan yang dikemukakan Surapranata (2011) patut direnungkan, bahwa
seharusnya Indonesia tidak mengekspor bahan baku dan keringat, tetapi lebih didorong untuk
mengekspor produk yang dihasilkan dengan keringat anak bangsa di dalam negeri. 22

Sumber: The World Bank, diunduh dari tradingeconomics.com (18 Januari 2011)
Gambar 4. Persentase ekspor produk Indonesia dengan kandungan teknologi tinggi, periode 1989-2008

22

Disampaikan oleh Suharna Surapranata, Menteri Negara Riset dan Teknologi, pada Rapim Lengkap
Kementerian Riset dan Teknologi, hari selasa 18 Januari 2011. Bermakna bahwa sebaiknya tidak mengekspor
bahan mentah dan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, tetapi perlu didorong untuk mengekspor barang
jadi yang diproduksi di dalam negeri dengan memanfaatkan tenaga kerja dan teknologi nasional.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Upaya meningkatkan nilai tambah komoditas atau produk ekspor sudah dilakukan, tetapi
dirasakan masih belum optimal, misalnya produk sawit yang diekspor masih sangat dominan
berbentuk minyak sawit kasar (crude palm oil, disingkat CPO). Ekspor dalam bentuk produk
dengan muatan teknologi tinggi sudah ada namun masih relatif rendah porsinya (Gambar 4).
Sejak akhir tahun 1980-an sudah mulai ada produk dengan muatan teknologi tinggi, tetapi
masih sangat rendah, yakni hanya sekitar 1 persen; kemudian secara berangsur naik dan
mencapai puncaknya pada awal tahun 2000-an yang mencapai kisaran antara 14-16 persen;
tetapi pada akhir tahun 2000-an kembali menurun menjadi sekitar 10 persen.

49

Saat ini Indonesia masih dihadapkan pada dua kendala yang menjadi tantangan utama, yakni:
[1] keterbatasan kapasitas investasi nasional di sektor industri hilir untuk mengolah bahan
mentah atau bahan setengah jadi menjadi produk jadi; sedangkan investor asing lebih banyak
tertarik pada bidang usaha yang terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam, baik di sektor
pertanian (terutama perkebunan) maupun di sektor pertambangan; dan [2] belum siapnya
teknologi nasional untuk menyokong tumbuh kembang industri hilir tersebut, yakni kapasitas
untuk mengembangkan teknologi yang relevan, handal, dan secara ekonomi kompetitif
dibanding produk teknologi serupa yang tersedia di pasar dunia. Indonesia tak akan mampu
membangun kemandirian perekonomiannya jika tidak mampu mengatasi dua tantangan utama
ini.
Indonesia memang juga telah mengekspor produk teknologi tinggi. Produk dengan muatan
teknologi tinggi mencakup produk-produk yang membutuhkan intensitas R&D tinggi, seperti
produk kedirgantaraan (aerospace), komputer, farmasi (pharmaceuticals), instrumen riset
(scientific instruments), dan electrical machinery. Namun demikian, nilai ekspor produk-produk
bermuatan teknologi tinggi tersebut sejak tahun 2000 tidak mengalami kemajuan yang berarti
dan relatif stagnan, yakni hanya berfluktuasi sekitar 4,4 sampai 6,5 milyar dolar Amerika (Tabel
2). Kontribusi produk teknologi tinggi ini masih sangat rendah dibandingkan dengan nilai total
ekspor Indonesia pada periode tersebut.

1.1.1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal


Menurut UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, penanaman modal harus menjadi
bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi
nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Tujuan penyelenggaraan
penanaman modal, antara lain untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi
nasional.
Sebagai upaya mendorong kemampuan teknologi nasional, Pasal 10 Ayat (4) menyebutkan
bahwa perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan
menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu terkait dengan
riset, kegiatan penanaman modal di Indonesia dapat memperoleh fasilitas. Pasal 18 Ayat (3)
menyebutkan, bahwa untuk mendapatkan fasilitas sekurang-kurangnya kegiatan penanaman
modal memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
a. menyerap banyak tenaga kerja;
b. termasuk skala prioritas tinggi;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

1.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Perdagangan dan Industri.

50

c. termasuk pembangunan infrastruktur;


d. melakukan alih teknologi;
e. melakukan industri pionir;
f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah
g. perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;
h. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
i.

melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;

j.

bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau

k. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di
dalam negeri.
Menurut ketentuan di atas, inovasi termasuk kriteria yang dapat diajukan untuk memperoleh
fasilitas penanaman modal. Selanjutnya dalam pasal ini disebutkan mengenai kemungkinan
pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu,
terutama bagi penanaman modal baru bagi industry pionir. Industri pionir adalah industri yang
memiliki keterkaitan luas, mempunyai nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Peraturan perundang-undangan ini antara lain menyebutkan, Pemerintah dan Pemerintah


Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang (a) produksi dan pengolahan, (b)
pemasaran, (c) sumber daya manusia; dan (d) desain dan teknologi. Selanjutnya terkait dengan
pengembangan dalam bidang desain dan teknologi, alih teknologi maupun inovasi merupakan
salah satu strategi yang perlu dikembangkan. Selain itu UMKM dapat melakukan:
a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu;
b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;
c. meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk
mengembangkan desain dan teknologi baru;
d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mengembangkan
teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; dan
e. mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas
kekayaan intelektual.
Guna mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri,
pemerintah, pemerintah
daerah, dunia usaha, dan masyarakat dapat memfasilitasi,
mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan yang saling membutuhkan, mempercayai,
memperkuat, dan menguntungkan. Kemitraan antar UMKM dengan Usaha Besar mencakup
proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

1.1.2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

51

daya manusia, dan teknologi. Menurut UU No. 20 Tahun 2008, UMKM yang melakukan
kemitraan dimungkinkan untuk mendapatkan insentif. Menurut Pasal 25, Menteri dan Menteri
Teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan
UMKM melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga
kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan.
Sementara dukungan kelembagaan ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi
inkubator, lembaga layanan pengembangan usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan
lembaga profesi sejenis lainnya sebagai lembaga pendukung pengembangan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah. Yang dimaksud dengan inkubator adalah lembaga yang menyediakan
layanan penumbuhan wirausaha baru dan perkuatan akses sumber daya kemajuan usaha
kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai mitra usahanya. Inkubator yang
dikembangkan meliputi: inkubator teknologi, bisnis, dan inkubator lainnya sesuai dengan
potensi dan sumber daya ekonomi lokal. Adapun yang dimaksud dengan lembaga layanan
pengembangan usaha (bussines development services-providers) adalah lembaga yang
memberikan jasa konsultasi dan pendampingan untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum
RI yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas
tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan
geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor,
dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. KEK
terdiri atas satu atau beberapa zona, antara lain zona pengolahan ekspor, logistik, industri,
pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk
ekspor dan untuk dalam negeri. Upaya-upaya penguatan inovasi dapat masuk KEK, sebagai
upaya pengembangan teknologi tertentu untuk meningkatkan daya saing produk barang dan
jasa.
Pengusaha mendapat fasilitas dan kemudahan dalam KEK. Pasal 30 menyebutkan bahwa (1)
setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas Pajak Penghasilan
(PPh), dan Ayat (2) menyebutkan, selain fasilitas PPh dapat diberikan tambahan fasilitas PPh
sesuai dengan karakteristik zona. Selain itu, Pasal 32 ayat (1), menyebutkan bahwa impor
barang ke KEK dapat diberikan fasilitas berupa, antara lain:
a. penangguhan bea masuk;
b. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan
penolong produksi;
c. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak; dan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

1.1.3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus

52

d. tidak dipungut PPh impor.


1.1.4. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional
Terkait dengan penguatan inovasi, Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang
Kebijakan Industri Nasional antara lain menyebutkan, Pemerintah dapat memberikan fasilitas,
antara lain kepada kepada: industri yang melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi;
dan industri yang melakukan alih teknologi. Fasilitas tersebut berupa insentif fiskal, insentif
non-fiskal, dan kemudahan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Permohonan pemberian fasilitas diajukan kepada Tim Nasional Peningkatan Ekspor
dan Peningkatan Investasi. Meskipun insentif fiskal diberikan oleh Kementerian Keuangan,
namun demikian bentuk insentif non fiskal maupun kemudahan lainnya merupakan peluang
untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang diperlukan.
Sebagai upaya mendorong penguatan inovasi nasional, Perpres No. 28 Tahun 2008
memungkinkan pengembangan kebijakan dalam upaya peningkatan penggunaan produksi
dalam negeri dalam rangka penghematan; pengembangan sumberdaya manusia sektor industri
secara intensif melalui akselerasi transformasi teknologi; produk melalui teknologi tepat guna,
disamping manajemen dan kewiraswastaan. Selain itu, Perpres No. 28 Tahun 2008 juga
menekankan perlunya pengembangan teknologi industri melalui:

b. peningkatan jumlah penemuan baru hasil litbang nasional yang dapat dimanfaatkan oleh
sistem produksi;
c. peningkatan kapasitas difusi teknologi pada sistem produksi;
d. peningkatan kapasitas kelembagaan teknologi dalam mendukung sistem produksi;
e. peningkatan intermediasi dan pola insentif yang mendorong kemitraan dan kegiatan
litbang di dunia usaha;
f. mendorong pengembangan rancang bangun dan perekayasaan industri dan
pembentukan lembaga R&D dalam rangka inovasi teknologi dan pengembangan bahan
baku alternatif;
g. meningkatkan infrastruktur untuk mendukung pengembangan iptek untuk menciptakan
dan menyerap teknologi dan invoasi yang berorientasi pasar.

2. Bidang Keuangan dan Perpajakan


2.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Keuangan dan Perpajakan.
2.1.1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Dalam UU No. 36 Tahun 2008 disebutkan tidak semua penghasilan menjadi obyek pengenaan
pajak. Ada pula penghasilan wajib pajak yang dapat dijadikan faktor pengurang pajak

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

a. peningkatan kapasitas (pendalaman) teknologi pada sistem produksi;

53

penghasilan bruto, antara lain yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan.
Ketentuan UU No. 36 Tahun 2008 menyebutkan, yang menjadi faktor pengurang (tax
deduction) penghasilan bruto, yaitu biaya penelitian perusahaan dan/atau sumbangan dalam
rangka penelitian dan pengembangan di Indonesia. Selanjutnya dalam peraturan
pelaksanaannya, bukan menjadi obyek pajak adalah sisa lebih yang diterima atau diperoleh
lembaga atau badan nirlaba di bidang pendidikan formal dan/atau penelitian dan
pengembangan yang ditanamkan kembali dalam jangka waktu 4 tahun.
Adanya ketentuan pengecualian sebagai obyek pajak atau pengurangan penghasilan bruto
merupakan fasilitas atau insentif di bidang perpajakan yang diberikan untuk mendorong
kemampuan riset, inovasi dan investasi riset dan pengembangan badan usaha/industri di
Indonesia.
2.1.2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan yaitu barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan penelitian/riset
atau percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu penemuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi dari
kementerian terkait.
2.1.3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk
Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah
Tertentu
Sejalan dengan upaya penguatan inovasi maupun investasi di bidang riset swasta di Indonesia,
menurut PP No. 1 Tahun 2007, pemerintah dapat memberikan fasilitas insentif pajak. Wajib
pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu dapat diberikan insentif dan fasilitas pajak penghasilan. Pasal 2 menyebutkan
bahwa wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi dapat
diberikan fasilitas pajak penghasilan berupa:
(a) pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman
modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5 % (lima persen) per
tahun,
(b) penyusutan dan amortisasi yang dipercepat,
(c) pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar
Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Menurut UU No. 17 Tahun 2006 ini dimungkinkan pemberian insentif dan fasilitas untuk
mendorong inovasi dan investasi R&D swasta nasional. Insentif ini berupa pembebasan bea
masuk atas impor buku ilmu pengetahuan dan barang atau peralatan untuk keperluan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Pasal 25).

54

(d) kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun.
2.1.4. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas
Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastuktur
Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
PP No. 93 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (yang telah diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008). Melalui peraturan ini,
diharapkan dapat meningkatkan pendanaan riset dari pihak swasta. Sumbangan dari pihak
swasta ini akan mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Bagi wajib
pajak swasta yang menyumbangkan sebagian pendapatannya untuk kegiatan penelitian dan
pengembangan iptek dapat memperoleh fasilitas pajak/keringanan pajak. Pasal 1 menyebutkan
bahwa sumbangan dan/atau biaya terkait penelitian dan pengembangan dapat dikurangkan
sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena
pajak bagi wajib pajak dalam satu tahun.

Peraturan ini memuat ketentuan berkaitan dengan perlakuan perpajakan di Kawasan


Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam
KAPET, diberikan perlakuan di bidang Pajak Penghasilan (fasilitas perpajakan) sebagai berikut:
a. penyusutan dan atau amortisasi yang dipercepat;
b. kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling
lama 10 (sepuluh) tahun;
c. pajak penghasilan menurut Pasal 26 atas dividen sebesar 10%.
Sedangkan yang dimaksudkan KAPET, menurut Keppres No. 150 Tahun 2000 tentang Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang
memenuhi persyaratan: a) memiliki potensi untuk cepat tumbuh; dan/atau; b) mempunyai
sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan/
atau c) memiliki potensi pengembalian investasi yang besar.
Setiap Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) di dalam wilayah KAPET juga dapat diberikan
fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah tidak dipungut atas :
a. impor barang modal atau peralatan lain oleh PDKB yang berhubungan langsung dengan
kegiatan produksi;
b. impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB;
c. pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya, untuk selanjutnya
disebut DPIL, ke PDKB untuk diolah lebih lanjut;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2.1.5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan Di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu

55

d. pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut;
e. pengeluaran barang dan atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau
PDKB lainnya dalam rangka subkontrak;
f. penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha
Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal;
g. peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB
kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB
asal.

3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


3.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
3.1.1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Diundangkannnya UU No.18 Tahun 2002 memberikan manfaat besar bagi pengembangan Iptek
di Indonesia, karena:
1) memberikan landasan hukum;

3) menggalakkan pembentukan jaringan; dan


4) mengikat semua pihak, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk berperan
serta secara aktif.
Dalam rangka memadukan sinergisme kerja berbagai unsur kelembagaan Iptek, UU No. 18
Tahun 2002 menjelaskan mengenai perlunya penguatan jaringan sistem nasional penelitian,
pengembangan, dan penerapan iptek (sisnas litbangrap iptek). Jaringan tersebut berfungsi
untuk membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur unsur kelembagaan
iptek (lembaga litbang, perguruan tinggi, badan usaha dan lembaga penunjang lainnya) untuk
menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar dibandingkan apabila masing-masing unsur
kelembagaan berjalan secara sendiri-sendiri. Untuk mengembangkan jaringan tersebut seluruh
elemen Sisnas Iptek wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan yang saling mengisi,
melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang merupakan
pemborosan. Kunci penting untuk terlaksananya sinergisme kerja antar unsur Sisnas Iptek
adalah terbangunnya suatu sistem perencanaan pembangunan nasional Iptek dalam jangka
pendek, menengah, maupun jangka panjang. Pasal 18 dan 19 UU No. 18 Tahun 2002
menyatakan bahwa Pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka
kebijakan pemerintah di bidang Iptek yang dituangkan sebagai kebijakan strategis
pembangunan nasional Iptek.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2) mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan sumber daya Iptek secara lebih efektif;

56

Salah satu kewajiban Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam UU No. 18 Tahun 2002 adalah
mengkoordinasikan perumusan kebijakan strategis pembangunan nasional Iptek dengan
mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan
Iptek. Dalam skala yang lebih kecil, Pasal 20 UU No. 18 Tahun 2002 menjelaskan mengenai
kewajiban Pemerintah Daerah untuk merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan
pembangunan daerah Iptek yang dituangkan dalam kebijakan strategis pembangunan Iptek
di daerah. Seperti halnya di tingkat nasional, Pemerintah Daerah juga dalam merumuskan
kebijakan strategisnya harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh
unsur kelembagaan Iptek.
Dalam perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan Iptek, Menteri wajib memperhatikan:
1) penguatan ilmu dasar dan kapasitas litbang;
2) penguatan pertumbuhan industri berbasis hasil litbang;
3) penguatan kemampuan audit teknologi yang dikaitkan dengan penguatan Standar
Nasional Indonesia (SNI).

Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan Iptek dibentuk Dewan
Riset Nasional dan Dewan Riset Daerah. Dengan demikian, dapat dikatakan UU No. 18 Tahun
2002 merupakan pedoman dan landasan hukum utama dalam pelaksanaan pembangunan
iptek nasional. Sebagai Undang-Undang yang mengatur sistem iptek nasional, peraturan
perundang-undangan ini sangat menekankan pentingnya pembentukan jaringan yang menjalin
hubungan interaktif semua unsur kelembagaan iptek sehingga kapasitas dan kemampuannya
dapat bersinergi secara optimal.
Dalam upaya penguatan inovasi, beberapa ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2002 dapat
menjadi acuan, antara lain:
a. Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan,
perekayasaan, dan inovasi yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib
dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh perguruan tinggi, lembaga riset, dan badan
usaha yang melaksanakannya (Pasal 13 ayat (4)).
b. Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan
yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk mengembangkan diri (Pasal 16 ayat (3)).
c. Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek kebijakan
penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri
antara lain wajib memperhatikan pentingnya upaya penguatan pertumbuhan industri
berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

4) Mengembangkan instrumen kebijakan yang diperlukan, dengan memperhatikan


kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata kehidupan
manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

57

teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan (Pasal 19 ayat (3) huruf b.).
d. Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara
masyarakat dan pemerintah (Pasal 26).
e. Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan
kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja
produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan (Pasal 28 ayat (1)).
f. Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam lingkungan
sendiri dan dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan kemitraan dengan unsur
kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi lain (Pasal 28 ayat (2)).
3.1.2.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan


Geofisika

3.1.3.

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan

PP ini merupakan peraturan pelaksanaan ketentuan Pasal 69 UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan. Dalam Pasal 2 disebutkan, litbang kesehatan bertujuan untuk memberikan masukan
iptek serta pengetahuan lain yang diperlukan untuk menunjang pembangunan kesehatan
dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Menurut PP No. 39
Tahun 1995 litbang kesehatan dapat diselenggarakan oleh lembaga asing, atau melibatkan
peneliti asing, atau kerja sama dengan lembaga asing yang memenuhi persyaratan. Pengaturan
kegiatan litbang asing dalam PP No. 39 Tahun 1995 mempunyai keterkaitan dengan PP No. 41
Tahun 2006 tentang Perizinan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi
Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing dan Orang Asing,
dimana disebutkan kegiatan litbang asing dilakukan atas dasar izin berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penelitian bagi orang asing.
3.1.4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian
Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi dan
Difusi Teknologi
Peraturan ini merupakan peraturan pelaksanan UU No. 18 Tahun 2002. Peraturan ini memberi
kewenangan kepada Menteri yang membidangi riset dan teknologi untuk memberikan
rekomendasi insentif di bidang perpajakan maupun bantuan teknis (technical assistance)

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

UU No. 31 Tahun 2009 secara tegas menekankan perlunya penguatan inovasi dan alih teknologi
dalam pengembangan industri meteorologi, klimatologi, dan geofisika. Pasal 78 UU No. 31
Tahun 2009 menyebutkan pengembangan industri meteorologi, klimatologi, dan geofisika yang
mencakup inovasi dan alih teknologi harus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
nasional.

58

dalam rangka mendorong kemampuan peningkatan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi
di badan usaha.
Berdasarkan peraturan ini, badan usaha dapat mengajukan permohonan rekomendasi insentif
litbang kepada Menteri. Namun dalam hal ini, kewenangan Menteri hanya sebatas
memberikan rekomendasi scientific opinion kepada instansi yang berwenang dibidang
perpajakan maupun lembaga pemberi bantuan teknis. Keputusan persetujuan dan penolakan
pemberian insentif tetap berada dalam kewenangan masing-masing instansi yang berwenang
dimaksud.

Sementara itu, insentif bantuan teknis (insentif non fiskal) berhubungan dengan penempatan
tenaga ahli peneliti, perekayasan dan dosen atau pemanfaatan laboratorium-laboratorium
milik pemerintah. Pelaksanaan insentif bantuan teknis terkait dengan ketentuan UU
Kepegawaian, PP No. 12 Tahun 2002 jo. PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS
maupun ketentuan-ketentuan yang terkait dengan aturan tentang lembaga Kementerian LPNK
dan LPK.
Dari sisi regulasi, sebenarnya pemerintah sudah berupaya mengakelarasi kegiatan riset dan
inovasi dunia usaha atau untuk mendorong inovasi dan investasi R&D swasta. Sehingga
persoalannya bukan pada kekosongan peraturan, namun bagaimana penyusunan kebijakan
pelaksanaannya dapat bersinergi dengan baik. Upaya ini mutlak dilakukan, mengingat regulasi
masih menyisakan sejumlah pertanyaan selain sifatnya cenderung sektoral sehingga tidak
mudah implementasinya. Pertanyaan menyangkut UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan misalnya, antara lain berkaitan dengan bagaimana kriteria yang menentukan
badan usaha mendapatkan tax deduction, atau bagaimana urgensi dan pengaruh pemberian
fasilitas/insentif terkait dengan usaha peningkatan kemampuan inovasi nasional.
3.1.5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan
Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi
dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Peraturan Pemerintah ini merupakan penjabaran Pasal 16 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2002, yang
menekankan pentingnya alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan-kegiatan
litbang agar memberikan nilai tambah ekonomi dan dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam
memperbaiki kualitas hidup.
Selain itu, beberapa ketentuan dalam PP No. 20 Tahun 2005 menekankan pentingnya sinergi
antara perguruan tinggi dan lembaga riset/riset dengan badan usaha, seperti Pasal 26 huruf a

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Ketentuan dan pelaksanaan insentif atau fasilitas perpajakan yang dimaksud dalam PP No. 35
Tahun 2007 berkaitan erat dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan
kepabeanan (insentif fiskal). UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, PP No. 1/2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-Daerah Tertentu, PP No. 93 Tahun 2010 dan UU No. 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan merupakan beberapa peraturan
perundang-undangan yang menyediakan insentif riset.

59

yang menyatakan bahwa sinergi berprinsip mempertukarkan dan/atau mengintegrasikan


sumber daya tertentu untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu. Sedang Pasal
20, menyatakan bahwa sinergi perguruan tinggi dan lembaga litbang dengan lembaga riset
lainnya dapat dilakukan antara lain dengan mekanisme perjanjian kerjasama maupun
perjanjian lisensi. Upaya ini diharapkan juga mendorong inovasi di sektor usaha.
Sebagai peraturan pelaksanaannya, antara lain Peraturan Menteri Negara Riset Dan Teknologi
No. 04/M/PER/III/2007 tentang Tata Cara Pelaporan Kekayaan Intelektual, Hasil Kegiatan
Penelitian Dan Pengembangan Dan Hasil Pengelolaannya. Di dalam peraturan menteri ini,
perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan harus melaporkan hak kekayaan
intelektual yang telah diperoleh dan/atau yang sedang dalam proses pendaftaran, hasil
kegiatan penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/atau pemerintah daerah, serta
pengelolaannya kepada Menteri. Tujuan pelaporan adalah untuk mendayagunakan hasil
kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai oleh pemerintah dan/atau pemerintah
daerah bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidupnya.
3.1.6.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan


Pengembangan Perikanan

Menurut PP No. 30 Tahun 2008 penyelenggaraan litbang perikanan bertujuan untuk:

b. mengungkapkan dan memahami potensi dan permasalahan sumber daya ikan dan
lingkungannya serta mengembangkan teknologi pengelolaan perikanan dan konservasi
sumber daya ikan; dan
c. menyiapkan dan menyediakan basis ilmiah yang kuat dan teknologi tepat guna sebagai
kunci dalam menyusun kebijakan pengelolaan dan pengembangan usaha perikanan
agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan serta
menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.
Dalam rangka pengembangan kerjasama litbang perikanan, Pasal 15 menyebutkan
penyelenggaraan litbang perikanan dapat bekerja sama dengan pelaksana litbang; pelaku
usaha perikanan; asosiasi perikanan; dan/atau lembaga litbang milik asing. Kerjasama ini
meliputi penyediaan tenaga ahli, asistensi teknis litbang, penyediaan dana dan sarana litbang,
pendidikan dan pelatihan serta kegiatan lain yang dapat mempercepat pembangunan
perikanan.
3.1.7.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penelitian dan Pengembangan,


Serta Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan

Menurut PP No. 12 Tahun 2010 kegiatan litbang kehutanan meliputi kegiatan: (a) penelitian
dasar, (b) penelitian terapan, (c) penelitian kebijakan; dan/atau (d) pengembangan
eksperimental. PP ini juga menyebutkan, kegiatan litbang kehutanan diselenggarakan oleh
Pemerintah, dan dapat bekerja sama dengan lembaga litbang pemerintah provinsi, lembaga
litbang kabupaten/kota, perguruan tinggi, badan usaha, dan masyarakat.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

a. meningkatkan kemandirian dalam penguasaan iptek di bidang perikanan;

60

Penyelenggaraan litbang, serta diklat kehutanan dilaksanakan dengan memperhatikan:


a. ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional, serta kondisi social budaya
masyarakat;
b. potensi dan karakteristik biofisik setempat guna menjamin terjaganya kekayaan plasma
nutfah khas Indonesia dari pencurian atau gangguan lainnya yang mengancam punahnya
plasma nutfah tersebut.
Berkaitan dengan kerjasama penelitian internasional, sebagaimana PP No. 39 Tahun 1995
tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, PP No. 12 Tahun 2010 juga mempunyai
keterkaitan dengan PP No. 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Kegiatan Penelitian dan
Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing,
Badan Usaha Asing dan Orang Asing. Pasal 22 menyebutkan, lembaga litbang asing, peneliti
asing, perguruan tinggi asing, atau badan usaha asing dapat menyelenggarakan litbang
kehutanan setelah mendapatkan izin dari instansi Pemerintah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya di ayat (2)-nya disebutkan lembaga litbang asing, peneliti
asing, perguruan tinggi asing, atau badan usaha asing dalam menyelenggarakan litbang
kehutanan harus bekerja sama dengan Badan Litbang Kehutanan Kementerian.

Kebijakan inovasi nasional di Indonesia perlu dilaksanakan secara terencana, terpadu,


terintegrasi, dan terkoordinasi dalam satu kesatuan Sistem Inovasi Nasional (SINas) guna
meningkatkan produktifitas nasional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam
rangka penguatan SINas ini dibentuk Komite Inovasi Nasional (KIN). Dalam Perpres ini yang
dimaksud dengan SINas adalah suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan
teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara
sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung, dan menyinergikan kegiatan
untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan
menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat nyata temuan
dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat.
KIN mempunyai tugas untuk: (a) membantu Presiden dalam rangka memperkuat sistem inovasi
nasional dan mengembangkan budaya inovasi nasional; (b) memberi masukan dan
pertimbangan mengenai prioritas program dan rencana aksi, termasuk alokasi pembiayaan dan
fasilitas untuk penguatan sistem inovasi nasional yang menghasilkan produk produk inovatif,
dan (c) melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan program
penguatan SINas. Menurut Perpres No. 23 Tahun 2010, penguatan SINas diutamakan
mencakup inovasi-inovasi di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, bioteknologi, industri
manufaktur, industriinfrastruktur, transportasi dan industri pertahanan, teknologi pemrosesan
pertanian dan pemrosesan ikan laut dalam, manajemen bencana alam, serta inovasi lainnya
yang berbasis ilmu pengetahuan (knowledge).

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

3.1.8. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional

61

3.1.9. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Dewan Riset Nasional (DRN)
Peraturan Presiden tentang DRN mengatur tentang pelaksanaan tugas DRN dalam membantu
Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama maupun kerangka kebijakan di bidang
penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
melaksanakan tugasnya itu, DRN memperhatikan pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak
yang berkepentingan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sesuai Perpres No. 16 Tahun 2005, tugas utama DRN adalah :
a. membantu Menteri dalam merumuskan arah dan prioritas utama pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. memberikan berbagai pertimbangan kepada Menristek dalam penyusunan kebijakan
strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.1.10. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan
Pelaksanaan Kebijaksanaan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi

4. Bidang Pendidikan.
Dalam konteks penguatan inovasi, jenjang pendidikan yang paling relevan adalah pada strata 2
dan 3 untuk dukungan kemampuan individual dan kapasitas pengembangan teknologi nasional;
sedangkan pendidikan menengah kejuruan23, program diploma, dan strata 1 lebih dilihat
relevansinya sebagai elemen pendukung penguatan kapasitas adopsi dari sisi pengguna
teknologi, yakni sebagai tenaga kerja terampil untuk aplikasi teknologi di perusahaan industri,
atau usaha mandiri skala kecil dan menengah.
Tahun
1989
1990
1991
1992
1993
23

Nilai Ekspor
(juta USD)
79
112
197
465
850

Tahun
1999
2000
2001
2002
2003

Nilai Ekspor
(juta USD)
2.672
5.698
4.403
5.070
4.580

Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan kejuruan
merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Lebih
spesifik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang pendidikan menengah, menjelaskan
bahwa pendidikan kejuruan mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis
pekerjaan tertentu.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Instruksi Presiden dalam memberi arahan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan strategis
pembangunan nasional iptek (Jakstranas Iptek). Perumusan Jakstranas Iptek dilakukan oleh
Menteri Negara Riset dan Teknologi secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.
Koordinasi dilakukan terutama untuk menentukan dan melaksanakan arah kebijakan, prioritas
utama dan kerangka kebijakan pemerintah dalam pembangunan iptek secara nasional.

62

1994
1995
1996
1997
1998

1.340
1.658
2.250
2.561
2.188

2004
2005
2006
2007
2008

5.808
6.571
5.900
5.225
5.625

Tabel 2. Persentase ekspor Indonesia dengan kandungan teknologi tinggi untuk periode 1989-2008
Sumber : The World Bank, diunduh dari tradingeconomics.com (18 Januari 2011)

Idealnya, kegiatan tugas akhir yang hanya berorientasi akademik hanya diimplementasikan
sampai pada jenjang strata 1 atau program diploma, karena lulusan pada jenjang ini memang
masih lebih diposisikan sebagai langkah penyiapan tenaga berpengetahuan dasar yang cukup
dan/atau mempunyai ketrampilan di bidangnya masing-masing. Lulusan strata 1 kemudian
dapat memilih alur karirnya untuk berkiprah: [1] memperkuat kapasitas adopsi teknologi
lembaga pengguna; atau [2] meningkatkan kemampuannya sebagai pengembang teknologi.
Pendidikan program diploma dan sekolah menengah kejuruan sejak awal dirancang untuk
menyiapkan tenaga terdidik dan terampil yang siap bekerja.
PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada Pasal 3 butir
b menyatakan bahwa: Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin mutu dan daya
saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi masyarakat.
Peraturan ini jelas mengenali peran penting relevansi, disamping mutu pendidikan. Namun
dalam prakteknya, unsur relevansi ini masih belum secara kentara menjadi ruh orientasi
pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya banyak lulusan pendidikan tinggi yang masih
belum mendapatkan pekerjaan tetap24 dan cukup banyak pula yang berkerja di sektor yang
tidak secara langsung terkait dengan latar belakang pendidikan formalnya.
Konsepsi sistem inovasi nasional yang sangat baik sekalipun hanya akan bisa
diimplementasikan dengan baik jika didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas
dengan keahlian/keterampilan yang sesuai kebutuhan. Sumberdaya manusia yang dimaksud
tentunya hanya akan dapat tersedia jika sistem pendidikan nasional juga dirancang selaras
dengan konsepsi sistem inovasi nasional.
24

Sekitar 1 juta orang lulusan perguruan tinggi yang saat ini masih menganggur.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Secara umum program pendidikan Indonesia belum dirancang agar dapat optimal mendukung
tumbuh kembang inovasi. Sebagai contoh, riset tugas akhir program strata 2 dan 3 (thesis dan
disertasi) masih dominan diposisikan hanya sebagai indikator penguasaan bidang ilmu yang
sesuai dengan program studi yang diikuti; sedangkan upaya untuk meningkatkan relevansinya
dengan realita di bidang ilmu yang bersangkutan masih dirasakan minimal. Dengan kata lain,
topik riset masih ditentukan oleh keinginan mahasiswa dan arahan pembimbing/promotornya,
belum didorong oleh kesadaran agar hasil riset tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat
luas, industri, ataupun kebutuhan pemerintah. Beberapa pengecualian tentu ada, tetapi arus
utamanya harus diakui masih murni berorientasi akademik.

63

4.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Pendidikan.


4.1.1.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional

Terkait dengan kegiatan penelitian, UU No. 20 Tahun 2003 yang antara lain menyebutkan: (1)
bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat, dan (2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola
sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan
pengabdian kepada masyarakat.
Kewajiban yang pertama dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pelaksanaan penelitian
terutama dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan dan
proses belajar mengajar. Olehkarena itu perkembangan iptek juga merupakan salah satu
materi kurikulum. Menurut Pasal 36 UU No. 20 Tahun 2003, kurikulum disusun sesuai dengan
jenjang pendidikan dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;

f. tuntutan dunia kerja;


g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
4.1.2.

Peraturan Pemerintah Nomor


Penyelenggaraan Pendidikan

17

Tahun

2010

tentang

Pengelolaan

dan

Pasal 3 butir b menyatakan bahwa: Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin mutu
dan daya saing pendidikan serta relevansinya dengan kebutuhan dan/atau kondisi
masyarakat. Peraturan ini jelas mengenali peran penting relevansi, di samping mutu
pendidikan. Namun dalam prakteknya, unsur relevansi ini masih belum secara kentara menjadi
ruh orientasi pengelolaan pendidikan di Indonesia. Akibatnya banyak lulusan pendidikan tinggi
yang masih belum mendapatkan pekerjaan tetap25 dan cukup banyak pula yang bekerja di
sektor yang tidak secara langsung terkait dengan latar belakang pendidikan formalnya.

25

Sekitar 1 juta orang lulusan perguruan tinggi yang saat ini masih menganggur.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

64

Konsepsi sistem inovasi yang sangat baik sekalipun hanya akan berhasil apabila dapat
diimplementasikan dengan baik jika didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas
dengan keahlian/keterampilan yang sesuai kebutuhan. Sumberdaya manusia yang dimaksud
tentunya hanya akan dapat tersedia jika sistem pendidikan nasional juga dirancang selaras
dengan konsepsi penguatan inovasi nasional.
4.1.3.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen

Menurut PP No. 37 Tahun 2009, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Berdasarkan Pasal 26, dosen memperoleh kesempatan meningkatkan kompetensi, studi serta
kesempatan melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kesempatan untuk
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat mencakup kesempatan untuk
memperoleh dan/atau memanfaatkan sumber daya pendidikan yang dimiliki oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan tinggi atau satuan pendidikan tinggi, dan
masyarakat. Pasal 32, menyebutkan bahwa dosen dapat memperoleh cuti untuk studi dan
penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan/atau
olahraga.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan pengertian tentang tenaga kerja,
yakni mencakup setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (Pasal 1
butir 2). Apabila dikaitkan dengan tujuan pembangunan SINas sendiri, yakni untuk mewujudkan
sistem pengelolaan ilmu pengetahuan dan teknologi agar lebih efektif dan efisien dalam
menghasilkan produk barang dan/atau jasa sesuai kebutuhan pengguna (masyarakat, industri,
atau pemerintah), maka terlihat jelas benang merah keterkaitan antara kebijakan
ketenagakerjaan dengan upaya penguatan inovasi nasional.
Lebih lanjut dinyatakan pada Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003, bahwa pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan: [a] memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara
optimal dan manusiawi; [b] mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; [c]
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan [d]
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Butir b Pasal 4 di atas memberikan
penegasan bahwa salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah untuk penyediaan
tenaga kerja yang sesuai kebutuhan. Nuansa ini sangat sejalan dengan konsepsi penguatan
inovasi nasional, dimana kebutuhan (demand) yang menentukan orientasi pembangunan dan
pengembangannya.
Pembangunan ketenagakerjaan sesuai dengan sifatnya akan lebih berada pada posisi sebagai
pemasok kebutuhan tenaga kerja. Oleh sebab itu, hubungan yang sinergis dan serasi harus

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5. Bidang Ketenagakerjaan.

65

dimulai dengan mewujudkan penguatan inovasi yang lebih mantab, dengan tujuan dan
kebutuhan yang jelas. Inovasi yang dibangun berbasis pada potensi dan kebutuhan nasional
bermakna telah mempertimbangkan kondisi ketenagakerjaan Indonesia, sehingga dengan
sendirinya diawali dengan kesenjangan (gap) yang minimal antara kebutuhan penguatan
inovasi nasional dengan ketersediaan tenaga kerja domestik. Selanjutnya, secara bertahap
dilakukan upaya meningkatkan produktivitas penguatan inovasi yang dalam prosesnya tentu
mengharuskan adanya peningkatan mutu dan relevansi keahlian tenaga kerja.
Skenario untuk membangun keterpaduan antara pembangunan SINas dengan penyiapan
tenaga kerja pendukungnya saat ini belum diformulasikan. Lebih jauh, penyiapan tenaga kerja
juga tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sangat jelas
bahwa upaya mewujudkan SINas yang produktif dan efektif dalam memajukan perekonomian
nasional membutuhkan keterpaduan dengan kebijakan ketenagakerjaan dan sekaligus juga
dengan kebijakan pendidikan nasional (Gambar 5).

Lulusan bermutu dan


relevan kebutuhan
lapangan kerja

Kebijakan ketenagakerjaan Produktivitas Inovasi


Nasional

SDM pengembang,
pengguna & intermediasi

Kontribusi teknologi
terhadap perekonomian
nasional

Kinerja Perekonomian
Nasional

Kesejahteraan rakyat
dan kemandirian bangsa

Gambar 5. Penyerasian Sistem Pendidikan, ketenagakerjaan, SINas, dan perekonomian nasional

Tenaga kerja berperan sekaligus sebagai subjek dan objek pembangunan. Kemajuan suatu
bangsa dan negara sangat tergantung dari peran mana yang lebih besar porsinya yang
diperankan oleh tenaga kerja secara kolektif. Jika lebih besar perannya sebagai subjek
pembangunan yang secara aktif berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing,
maka bangsa dan negara tersebut akan berpeluang lebih besar untuk lebih maju; sebaliknya
jika lebih banyak perannya hanya sebagai objek pembangunan, maka akan sangat berat beban
yang diemban untuk memajukan bangsa dan negara tersebut.
Kinerja sektor pendidikan tentu akan menjadi tumpuan utama dalam memperbesar porsi
tenaga kerja yang menjadi subjek pembangunan. Dengan demikian maka keberhasilan
pembangunan pendidikan harusnya tidak hanya dievaluasi berdasarkan jumlah atau persentase
penduduk yang berpartisipasi pada setiap jenjang pendidikan atau persentase populasi yang
menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu; tetapi perlu juga didasarkan atas persentase
jumlah lulusan yang berperan sebagai subjek pembangunan atau sebagai tenaga kerja
produktif yang berkontribusi terhadap keberhasilan pembangunan nasional di segala sektor.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sistem Pendidikan
Nasional

66

Selanjutnya, dalam kerangka penguatan inovasi, maka keberhasilan pembangunan sektor


ketenagakerjaan perlu dievaluasi berdasarkan peran aktif dan produktifnya sebagai
pengembang teknologi, pengguna teknologi dalam sistem produksi, dan intermediasi; bukan
hanya sebagai konsumen barang dan/atau jasa yang dihasilkan dari hasil aplikasi teknologi
semata.
Posisi tenaga kerja Indonesia saat ini masih belum terlalu membanggakan, karena masih lebih
banyak yang berperan dalam proses produksi barang atau jasa, tetapi untuk kegiatan-kegiatan
ekonomi dengan muatan teknologi yang minimal. Kenyataan ini sebetulnya bukan hanya
menjadi cerminan dari kualitas tenaga kerja yang masih rendah, tetapi juga karena industri
dengan muatan teknologi tinggi masih belum berkembang di Indonesia. Kegiatan ekonomi
masih dominan pada fase eksploitasi sumberdaya alam atau produksi bahan mentah, belum
banyak kontribusi industri hilir terhadap perekonomian nasional.

5.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Ketenagakerjaan.


UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

UU No. 13 Tahun 2003 antara lain mengatur mengenai peranan dan kedudukan tenaga kerja,
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Kualitas tenaga
kerja ini tidak terlepas dari peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Dalam Pasal 3 disebutkan pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas
keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
5.1.2.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 99


Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS

Tenaga ahli terdiri dari peneliti, perekayasa dan dosen pemerintah adalah PNS. Tenaga ahli
sebagai PNS tunduk kepada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 12/
Tahun 2002 jo. PP No. 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS, dan Keputusan Kepala
BKN No. 12 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2002 tentang
Kenaikan Pangkat PNS, yang berkaitan dengan ketentuan PNS dipekerjakan atau
diperbantukankan, dan hak mendapatkan tunjangan.
Pasal 6 hruf c PP No. 99 Tahun 2000 menyebutkan PNS yg dipekerjakan atau diperbantukan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5.1.1.

67

berdasarkan ketentuan Pasal ini adalah PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan secara
penuh pada proyek pemerintah, organisasi profesi, negara sahabat atau badan internasional,
dan badan usaha yang ditentukan.
Namun ketentuan PP No. 99 Tahun 2000 tidak berlaku bagi keperluan technical assistance
peneliti dan perekayasa pemerintah ke badan-badan usaha swasta. Peneliti, perekayasa dan
dosen tidak diperkenankan bekerja dan diperbantukan di badan-badan usaha. Menurut pihak
BKN dan Menpan, ketentuan mengenai badan usaha yang ditentukan ini hanya ditujukan bagi
keperluan perbantuan guru-guru pemerintah yang mengajar ke sekolah-sekolah swasta.
Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2002 jo. Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2000 tentang
Kenaikan Pangkat PNS ini sangat tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong
inovasi dan investasi R&D swasta nasional.
5.1.3.

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen,
Tunjangan Khusus Guru dan Dosen Serta Tunjangan Kehormatan Profesor

Sedangkan tunjangan kehormatan, sebagaimana Pasal 15 dan 16 diberikan kepada dosen yang
memiliki jabatan akademik profesor dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
sebesar 2 (dua) kali gaji PNS yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tunjangan kehormatan bagi profesor bukan PNS diberikan sesuai
dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku bagi profesor
PNS.
5.1.4.

PP No. 31 Tahun 2007 tentang Tunjangan Jabatan Perekayasa dan Teknisi Penelitian
dan Perekayasaan

PNS yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Perekayasa dan
Teknisi Penelitian dan Perekayasaan diberikan tunjangan jabatan fungsional sesuai dengan
beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya.
Menurut Peraturan Bersama Menristek dan Kepala BKN No. 13/M/PB/VIII/2008 dan No. 22
Tahun 2008 diatur hal-hal yang berkaitan dengan usulan penilaian dan penetapan angka kredit,
tim penilai, kenaikan jabatan/pangkat, pengangkatan, pembebasan sementara, pemberhentian
dalam dan dari jabatan, penyesuaian/inpassing dalam jabatan dan angka kredit.
Untuk menjamin adanya persamaan persepsi, pola pikir dan tindakan dalam melaksanakan
pembinaan perekayasa, BPPT ditunjuk sebagai instansi pembina jabatan perekayasa. BPPT
selaku pembina jabatan perekayasa, antara lain melakukan :
a. menetapkan 11 standar kompetensi jabatan fungsional perekayasa;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Berdasarkan Pasal 10 , 11 dan 12 tunjangan khusus diberikan bagi guru dan dosen PNS yang
ditugaskan oleh pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, yang besarnya 1 (satu)
kali gaji pokok pegawai negeri sipil yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan tunjangan khusus bagi guru dan dosen bukan PNS diberikan
sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik bagi guru dan dosen
PNS.

68

b. menetapkan pedoman formasi jabatan fungsional perekayasa;


c. menyusun kurikulum pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional perekayasa;
d. melakukan pengkajian dan pengusulan tunjangan jabatan fungsional perekayasa;
e. mensosialisasikan jabatan fungsional perekayasa serta petunjuk pelaksanaannya;
f. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan fungsional/teknis fungsional perekayasa;
g. mengembangkan sistem informasi jabatan fungsional perekayasa;
h. memfasilitasi pelaksanaan jabatan fungsional perekayasa;
i. memfasilitasi pembentukan organisasi profesi perekayasa;
j. memfasilitasi penyusunan dan penetapan etika profesi dan kode etik perekayasa;
k. melakukan monitoring dan evaluasi Jabatan Fungsional Perekayasaan

Infrastruktur sosial pada prinsipnya mencakup semua fasilitas yang dapat meningkatkan
kapasitas dan produktivitas masyarakat. Oleh sebab itu, sering juga disebut sebagai
infrastruktur komunitas (community infrastructure). Dengan demikian maka infrastruktur sosial
tidak hanya mencakup soft infrastructure (seperti dukungan untuk pengembangan komunitas,
keluarga, dan individu; layanan informasi; pelatihan ketrampilan; perlindungan hukum;
keamanan publik; dan layanan darurat); tetapi juga mencakup hard infrastructure (seperti
fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, fasilitas untuk kegiatan seni dan budaya, fasilitas
olahraga dan rekreasi, perumahan sehat, fasilitas lingkungan, fasilitas ibadah, dan tranportasi
publik).
Akibat buruk dari kurangnya perhatian dalam pembangunan infrastruktur sosial telah semakin
dirasakan oleh negara-negara maju, misalnya berupa gangguan keamanan lingkungan atau
mutu sumberdaya manusia yang rendah yang kemudian menjadi beban pembangunan.
Kesenjangan sosial yang terjadi ternyata sangat mahal biaya remediasinya. Menyadari akan hal
ini maka beberapa negara maju mulai secara sungguh-sungguh berupaya memperbaikinya.
Misalnya Inggris menganggarkan hampir 3 milyar pound untuk pembenahan infrastruktur
sosialnya. Pemerintah Australia juga mengambil inisiatif untuk membenahi infrastruktur sosial
ini (Casey, 2005).
Indonesia sebagai negara berkembang kelihatannya belum menunjukkan perhatian yang baik
terhadap infrastruktur sosial ini pada sebagian besar wilayah perdesaan dan lingkungan kumuh
perkotaan. Akibatnya kesenjangan sosial-ekonomi antara perdesaan dan perkotaan semakin
melebar. Kenyataan ini telah secara nyata menyebabkan laju urbanisasi yang semakin sulit
dibendung. Kesenjangan antara komunitas kaya dan miskin di perkotaan juga terasa semakin
melebar. Kondisi ini menyebabkan antara lain semakin meningkatnya frekuensi kerusuhan di

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

6. Bidang Infrastruktur Sosial.

69

perkotaan. Walaupun banyak yang mengkaitkan fenomena kerusuhan ini sebagai dampak dari
demokratisasi di Indonesia.
Kesenjangan sosial-ekonomi jelas tidak compatible dengan upaya membangun inovasi
nasional yang produktif dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, dalam skenario besar
pengembangan sistem inovasi nasional Indonesia perlu disediakan ruang untuk pembangunan
infrastruktur sosial.
Beberapa peraturan perundang-uindangan terkait dengan pengembangan infrastruktur sosial
sebagaimana di bawah ini.

6.1. Peraturan Perundangan-undangan Bidang Infrastruktur Sosial.


6.1.1.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Kereta Api

Pasal 118
(1) Untuk pengembangan perkeretaapian dilakukan rancang bangun dan rekayasa perkereta
apian.
(2) Rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh:
a. pemerintah;
b. pemerintah daerah:
c. badan usaha;
d. lembaga penelitian; atau
e. perguruan tinggi.

6.1.2.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

Sebagaimana dengan UU No. 23 Tahun 2007, melalui UU No. 5 Tahun 1984 pemerintah juga
berupaya mendorong pengembangan rancang bangun dan perekayasaan industri. Upaya ini
memberikan kesempatan bagi peneliti dan perekayasa di berbagai lembaga penelitian dan
pengembangan maupun perguruan tinggi dalam peningkatan kemampuan industri nasional.
UU No. 5 Tahun 1984 menyebutkan pembedaan teknologi industri dan teknologi tepat guna.
Teknologi industri adalah cara pada proses pengolahan yang diterapkan dalam industri.
Teknologi yang tepat guna adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk
menghasilkan nilai tambah. Sedangkan barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah siap
pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi.
Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1984 menyatakan bahwa pengaturan dan pembinaan bidang usaha
industri dilakukan dengan memperhatikan penyebaran dan pemerataan pembangunan
industri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan
proses industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas
kemampuan dan kekuatan sendiri.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Menurut UU No. 23 Tahun 2007, pemerintah mendorong kemampuan di dalam negeri rancang
bangun dan rekayasa perkeretaapian nasional. Kegiatan ini antara lain mengedepankan
lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang dikenal sebagai penghasil teknologi. Hal tersebut
di ataur dalam Pasal 118 ayat (1) dan (2).

70

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Keterkaitan dengan teknologi, di Pasal 16, Bagian VI UU No. 5 Tahun 1984, ayat (1) disebutkan
Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri
menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan
perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri. Pada ayat (2) Apabila
perangkat teknologi industri yang diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam
negeri, Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri yang
diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam negeri.Dan pada ayat (3) Pemilihan dan
pengalihan teknologi industri dari luar negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi
pengembangan industri di dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

71

Bab 4
Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis

Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan


peraturan perundang-undangan setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yaitu syarat yuridis, sosiologis,
dan filosofis. Syarat yuridis, menurut Hans Kelsen, apabila pembentukannya berdasarkan pada kaidah
atau peraturan yang lebih tinggi (teori Stufenbaunya dari Kelsen). Menurut Kelsen, efektivitas dari
peraturan perundang-undangan harus dibedakan dengan berlakunya suatu peraturan perundangundangan, karena efektivitas hukum merupakan fakta. Sedangkan Zevenbergen menyatakan, hukum
berlaku secara yuridis, apabila kaidah hukum terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan. Logemann
berpendapat, kaidah hukum mengikat, apabila menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi
dan akibatnya. Syarat kedua adalah syarat sosiologis, yang menekankan pada efektivitas hukum yang
akan dibuat. Menurut teori kekuasaan, hukum berlaku secara sosiologis karena adanya pemaksaaan
berlakunya oleh penguasa; terlepas apakah masyarakat menerima atau menolaknya. Hal itu diperkuat
dengan teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya hukum ataupun peraturan perundangundangan didasarkan atas penerimaan atau pengakuan atas peraturan tersebut. Syarat filosofis apabila
peraturan perundang-undangan yang diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau sesuai dengan
nilai positif yang tertinggi, misal cita-cita hukum bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam
pembukaan UUD 1945.

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi ketiga syarat tersebut. Apabila


peraturan perundang-undangan hanya menekankan pada pemenuhan persyaratan yuridisnya
saja, maka ada kemungkinan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan hanya
merupakan kumpulan kaidah yang mati. Demikian halnya apabila peraturan perundangundangan hanya menekankan pada aspek sosiologis-nya saja, lebih menekankan teori
kekuasaan, maka peraturan perundang-undangan yang dibuat cenderung menjadi sekumpulan
aturan-aturan pemaksa. Apabila peraturan tersebut hanya berlaku secara filosofis, maka
peraturan tersebut hanya merupakan cita-cita saja. Dengan demikian apabila pembentukan
peraturan perundang-undangan diartikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat
atau pencapaian tujuan-tujuan tertentu, maka penyusunan suatu peraturan perundangundangan harus memenuhi ketiga syarat tersebut.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pembentukan peraturan perundang-undangan umumnya telah memperhatikan proses


pemberlakuannya. Kajian mengenai persyaratan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang
baik selalu berkembang agar penerapan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tujuannya.
Secara garis besar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan memperhatikan dua hal, yaitu
pertama adanya politik hukum yang jelas, merupakan kebijakan pemerintah mengenai arah mana
hukum tersebut diarahkan. Kedua, adanya kesadaran hukum masyarakat, yaitu konsepsi abstrak di
dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dan ketenteraman atau kondisi yang
sepantasnya diinginkan. Hukum yang baik adalah apabila terdapat keserasian antara politik hukum yang
dibuat oleh pemerintah dengan kesadaran hukum masyarakat.

72

Di samping syaratsyarat tersebut, Logemann berpendapat, lingkup berlakunya suatu


peraturan perundangan-undangan agar ditentukan pula. Lingkup ini dibedakan menjadi empat,
yaitu wilayah, pribadi, waktu, dan masalah tertentu. Lingkup wilayah menyangkut ruang atau
wilayah yang akan dibatasi melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Lingkup
pribadi menunjukan siapa atau apa yang akan diatur peranannya melalui peraturan perundangundangan. Lingkup waktu berhubungan dengan jangka waktu tertentu yang diatur oleh suatu
peraturan perundang-undangan. Terakhir adalah lingkup masalah yang bersangkutan dengan
permasalahan apa saja yang akan menjadi obyek suatu peraturan perundang-undangan.

4.1. Aspek Yuridis

Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama
dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Menurut Amandemen keempat UUD 1945 ini, kemajuan iptek secara tegas ditetapkan, yaitu
agar diarahkan untuk mendorong kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Daring, 2008) diartikan sebagai 1 kemajuan
(kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat ~ nya; 2
hal yg menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. Dapat dikatakan
manusia dan peradaban adalah hal yang tidak dapat dipisahkan karena manusia itu memiliki
cipta, rasa dan karsa. Perkembangan cipta, rasa dan karsa ini menimbulkan perkembangan
pengetahuan. Kemajuan kebudayaan ini sering dikatakan sebagai peradaban. Sebagai contoh :
dahulu manusia menanam karet dan menunggu hasil sesuai kemampuan alam untuk
memproduksi, tetapi saat ini dengan adanya perkembangan pengetahuan, aplikasi pupuk, dan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Amandemen keempat UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR pada tanggal 10 Agustus 2002
merupakan landasan yuridis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada.
Amandemen ini belum menjadi pertimbangan yuridis saat penetapan UU No. 18 Tahun 2002
tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi yang disahkan pada tanggal 29 Juli 2002. Amandemen keempat UUD 1945, secara
jelas telah mengamanahkan pemajuan iptek. Hal itu dapat ditemui di dalam Bab XIII,
Pendidikan dan Kebudayaan. Secara jelas ketentuan ini tercantum dalam Pasal 31, yang
selengkapnya berbunyi:

73

teknik pemeliharaan menjadikan pohon karet menghasilkan lebih banyak. Demikian halnya
dengan penggunaan perangkat otomatis, teknologi informasi dan mikroelektronika, telah
membantu manusia dalam berbagai kegiatannya, maupun pengembangan ilmu pengetahuan.
Menurut UU No. 18 Tahun 2002, ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali,
disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang
dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif
untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.
Sedangkan teknologi dalam UU No. 18 Tahun 2002 diartikan sebagai cara atau metode serta
proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan
peningkatan mutu kehidupan manusia. Menurut Jaques Ellul (1967: 1967 xxv), teknologi adalah
keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap
bidang kegiatan manusia. Pengertian teknologi secara umum menurut Ellul (1967) adalah:

Dapat dikatakan teknologi merupakan aplikasi dari pengetahuan sebagai respons atas tuntutan
manusia akan kehidupan yang lebih baik. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara umum
adalah karya manusia, dan tanpa adanya manusia kedua karya tersebut tidak akan ada.
Menurut UU No. 18 Tahun 2002 berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi berpotensi
memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat, kemajuan bangsa,
keamanan dan ketahanan bagi perlindungan negara, pelestarian fungsi lingkungan hidup,
pelestarian nilai luhur budaya bangsa, serta peningkatan kehidupan kemanusiaan. Secara
umum iptek berkembang melalui kreativitas berbagai penemuan (discovery), maupun
penciptaan (invention), yang selanjutnya melahirkan berbagai bentuk inovasi dan rekayasa.
Sedangkan kegunaan iptek bagi manusia juga ditentukan oleh nilai, moral, norma dan hukum
atau peraturan perundang-undangan yang mendasarinya.
Dengan demikian dapat dikatakan dalam perkembangan peradaban manusia, iptek mempunyai
peran sentral. Adanya kemajuan penguasaan dan pemanfaatan iptek akan berimbas pada
peningkatan daya saing dan akan mendorong kemajuan bangsa. Berbagai inovasi diciptakan
untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia, memberi kemudahan dalam
kehidupan manusia. Dengan kata lain, apabila iptek terus berkembang, kesejahteraan umat
manusia juga meningkat. Berbagai penemuan di bidang kesehatan, misalnya, merupakan hasil
dari penguasaan dan pemanfaatan iptek sehingga berbagai penyakit telah dapat disembuhkan.
Apabila iptek berkembang tetapi kesejahteraan umat manusia tidak berkembang, atau bahkan
menurun, maka dapat dikatakan penguasaan dan pemanfaatan iptek tidak berfungsi dengan
baik.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Proses yang meningkatkan nilai tambah.


Produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja.
Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembangkan dan digunakan.

74

4.2. Aspek Sosiologis


Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, indikator perkembangan iptek antara lain adalah
peningkatan berbagai penemuan (discovery), p e n c i p t a a n ( invention), yang selanjutnya
menumbuhkan berbagai bentuk inovasi dan rekayasa. Meskipun inovasi sering dicampuraduk pengertiannya dengan invensi, namun perbedaan yang menonjol adalah inovasi lebih
melihat dari perspektif kemanfaatan (ekonomi) dari proses dan produk baru yang dihasilkan
tersebut. Bahkan secara tegas World Bank (2010), menekankan inovasi harus didiseminasikan
(oleh penghasil) dan dipakai (oleh pengguna), atau dengan kata lain inovasi harus bermanfaat
(terbukti karena dipakai oleh pengguna). Pengguna dalam konteks ini adalah industri/dunia
usaha, masyarakat awam, atau pemerintah.26

Ketiga persyaratan di atas dirumuskan dan tercakup dalam penyusunan peraturan


perundangan-undangan. Demikian halnya dengan upaya penguatan inovasi nasional melalui
peraturan perundang-undangan. Walaupun dirasakan telah terjadi kemajuan dalam
pemahaman tentang konsepsi dasar sistem inovasi dan telah terjadi perkembangan
metodologis untuk analisis sistem inovasi, namun sampai saat ini masih belum berhasil
dirumuskan kebijakan dan peraturan perundang-undangan sistem inovasi yang pas untuk
kondisi Indonesia. Berbagai jenis instrumen kebijakan yang pas untuk digunakan, serta pada
tingkat kewilayahan mana sistem inovasi tersebut tepat untuk diimplementasikan, mengingat
kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan potensi sumberdaya alam Indonesia yang sangat
majemuk.
Saat ini, telaah tentang sistem inovasi sangat jarang berujung pada preskripsi kebijakan sistem
inovasi yang konkrit, sistematis, dan detil. Umumnya hanya menghasilkan atau
merekomendasikan prinsip dasar dan/atau taksonomi kebijakan sebagai bentuk intervensi yang
dibutuhkan dari pihak pemerintah. Untuk dapat efektif, maka kebijakan harus mengandung
muatan pengaturan dan tidak hanya memberikan pemahaman umum.

26

Bandingkan dengan pengertian inovasi yang digunakan pada UU No. 18/2002 pada Pasal 1 butir 9 yang saat ini
masih berlaku: Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan
mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk
menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi.
Pengertian inovasi versi UU No. 18/2002 ini dirasakan sudah tidak pas lagi dengan konteks saat ini.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Secara sosiologis penekanan ketentuan atau aturan-aturan yang memaksa (coercion) dalam
pengembangan iptek kurang tepat. Penekanan pada kreatifitas, kebebasan berpikir menjadikan
penggunaan pemaksaan tidak relevan. Dalam UU No. 18 Tahun 2002 penggunaan aturan
pemaksa harus disesuaikan dengan asas undang-undang ini yang menekankan pada asas
kebenaran ilmiah, asas kebebasan berpikir, asas kebebasan akademis, serta tanggung jawab
akademis. Sejalan dengan semangat ini, penggunaan sanksi dalam UU No. 18 Tahun 2002,
hanya terlihat pada kegiatan litbangrap iptek yang berisiko tinggi dan berbahaya. Menurut UU
No. 18 Tahun 2002 dimungkinkan penggunaan sanksi pidana berupa denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan/atau penjara paling lama 6 (enam) bulan.

75

Teori sistem inovasi yang berkembang di Indonesia banyak yang diadopsi secara langsung dari
sistem inovasi yang dianut oleh negara-negara maju, yang kondisinya dalam berbagai dimensi
sangat berbeda dengan Indonesia. Teori inovasi yang tidak mengakar pada realita Indonesia
akan sangat berisiko jika dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan sistem inovasi
Indonesia. Kebijakan yang tak kentara warna Indonesianya, walaupun didukung dengan
regulasi yang kuat, tetap saja sering tidak efektif dalam implementasinya.
Karakteristik inovasi yang khas Indonesia perlu diformulasikan dengan tepat, termasuk: [1]
orientasi arah dan prioritas teknologi yang dikembangkan; [2] skenario interaksi yang intensif
dan produktif antara lembaga/aktor inovasi; [3] relevansi dan produktivitas lembaga
pengembang teknologi; [4] kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, dan [5]
kontribusinya terhadap pembangunan nasional.

Inovasi nasional di Indonesia wajib berbasis pada potensi sumberdaya nasional, baik
sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, serta kemampuan pembiayaan dan
infrastruktur pembangunan lainya yang telah dimiliki atau yang secara rasional akan dapat
dikelola. Luasnya wilayah nusantara dan keragaman potensi sumberdaya merupakan alasan
yang rasional untuk membangun sistem inovasi yang lebih operasional pada wilayah cakupan
yang lebih kecil (sekarang digunakan terminologi Sistem Inovasi Daerah, atau disingkat SIDa)
atau sistem inovasi yang secara spesifik fokus pada potensi ekonomi tertentu, baik itu terfokus
pada komoditas tertentu yang bernilai ekonomi tinggi ataupun pada potensi sumberdaya lahan
atau laut dengan karakteristek yang khas.
MP3EI juga menganut pembangunan ekonomi berbasis wilayah yang membagi NKRI menjadi
enam koridor dan sekaligus juga mengangkat komoditas tertentu sebagai fokus pembangunan
pada masing-masing dari enam koridor ekonomi tersebut. Pengembangan sistem inovasi tentu
perlu diserasikan dengan realita strategi pembangunan bidang perekonomian tersebut.
Namun demikian, cakupan wilayah dari suatu sistem inovasi sebaiknya tidak berbasis pada
satuan wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa), tetapi
sebaiknya lebih berbasis pada satuan kawasan pembangunan perekonomian, misalnya pada
hamparan lahan dengan karateristik agroekosistem tertentu yang menopang pembangunan
ekonomi berbasis pertanian, atau wilayah laut dengan karakteristik marine ecology yang khas,
atau dapat juga untuk satuan kawasan dengan karakteristik sosio-ekonomi-kultural
masyarakatnya yang spesifik.
Pengembangan inovasi daerah yang berbasis agroekosistem lahan misalnya, dirancang untuk
mendukung kegiatan ekonomi di lahan sub-optimal basah (lebak dan pasang surut), atau
dirancang untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk kelautan di wilayah
Indonesia bagian timur. Pendekatan ini dapat dilakukan pula untuk komoditas perkebunan
dengan volume dan nilai produksi yang lebih besar sehingga memberikan kontribusi yang
significant bagi perekonomian nasional (misalnya sawit dan karet). Selain itu pendekatan sosial-

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

4.2.1. Reorientasi Arah dan Prioritas Riset

76

ekonomi-budaya dilakukan untuk masyarakat pengrajin dan industri ukiran kayu di Jepara atau
masyarakat dengan budaya yang khas seperti di Bali.

Kecenderungan global saat ini cenderung menggiring pengembangan teknologi lebih ke arah
pemenuhan kebutuhan atau menyediakan solusi bagi permasalahan nyata yang ada di
masyarakat. Istilah yang muncul untuk menggambarkan orientasi riset dan pengembangan
teknologi sesuai kebutuhan pengguna ini cukup beragam, antara lain demand-driven, marketdriven (mulai jarang digunakan karena terkesan terlalu mengarah pada komersialisasi), needdriven, issue-driven (Jepang), mission-driven (Swedia), dan evidence-based (mulai digunakan
oleh komunitas ilmu sosial atau pihak yang melihat teknologi dari perspektif ilmu sosial).
Keragaman istilah atau terminologi yang digunakan ini menunjukkan perlunya reorientasi
dalam pengembangan teknologi untuk menopang sistem inovasi dalam upaya meningkatkan
kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian. Keragaman istilah ini disebabkan
adanya perbedaan aspek atau dimensi yang ingin ditekankan, meskipun esensinya sama yakni
mendorong agar pengembangan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang
dihadapi oleh para pengguna teknologi. Indonesia tentunya harus berada dalam mainstream ini
jika secara sungguh-sungguh ingin mewujudkan sistem inovasi nasional ataupun daerah yang
berkontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi dengan harapan dapat pula
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kemampuan inovasi juga merupakan faktor penguatan daya saing yang sangat penting (Taufik,
2005). Selanjutnya Tatang Taufik menyebutkan, penguatan daya saing ini menjadi semakin
relevan apabila dikaitkan dengan kecenderungan sebagai berikut:
a. Tekanan persaingan global yang semakin meningkat;
b. Produk yang semakin kompleks dan memilki siklus hidup yang semakin pendek karena
cepatnya kemajuan teknologi dan perubahan tuntutan konsumen;
c. Kedua keadaan tersebut juga mengakibatkan persaingan pasar yang semakin cepat dan
kompleks.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dikotomi pilihan pengembangan sistem inovasi pada tingkat nasional dengan tingkat
daerah/lokal seharusnya tidak perlu terjadi. Pengembangan inovasi daerah dapat difokuskan
pada pengembangan sistem inovasi yang lebih teknis dan operasional sesuai kebutuhan
ataupun unggulan yang akan dikembangkan di daerah. Fokus dukungan dapat dilakukan pada
aktivitas ekonomi tertentu yang diunggulkan, untuk dapat dikelola dan dievaluasi kinerjanya
secara lebih baik. Pengembangan inovasi nasional memberikan template sebagai acuan untuk
pengembangan inovasi daerah, sehingga tujuan pembangunan nasional yang sifatnya universal
dapat dikawal, yakni terutama untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana yang diamanahkan
oleh konstitusi. Selain berbasis pada potensi sumberdaya nasional atau lokal, pengembangan
sistem inovasi di Indonesia perlu didukung pengembangan teknologi yang lebih terarah, sesuai
dengan realita kebutuhan atau persoalan yang dihadapi oleh para pengguna teknologi, baik
industri, masyarakat, ataupun pemerintah.

77

Kemampuan inovasi yang rendah akan menempatkan badan usaha ataupun industri bersaing
pada segmen pasar yang umumnya konvensional. Pangsa pasar yang cenderung menurun dan
semakin jenuh akan lebih mengandalkan persaingan harga dengan nilai tambah yang relatif
rendah.
Kecenderungan industri saat ini, pasar dan teknologi berubah sangat cepat, dimana tekanan
atas biaya cenderung meningkat, tuntutan konsumen yang semakin tinggi, dan siklus produk
atau time-to-market yang semakin pendek. Menurut EISDISR (2001), tantangan utama bagi
perusahaan di lingkungan bisnis yang kompleks dan persaingan global yang semakin ketat
adalah mengembangkan dan mempertahankan keunggulan daya saing. Dalam situasi demikian,
Peter Drucker menekankan bahwa setiap organisasi harus mempunyai suatu kompetensi, yaitu
inovasi.

Strategi ini mempunyai rentang cakupan yang lebar, dari upaya sinkronisasi program penyiapan
sumberdaya manusia yang relevan dan kompeten, optimalisasi fungsi kelembagaan pengelola
pendidikan, serta penguatan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam pengembangan
teknologi. Selain untuk meningkatkan kecerdasan akademik, pendidikan juga diarahkan untuk
meningkatkan sensitivitas terhadap permasalahan nyata yang dihadapi bangsa. Pendidikan
perlu diupayakan tidak hanya peningkatan mutunya tetapi juga dibarengi dengan upaya
peningkatan relevansinya terhadap kebutuhan nyata. Lembaga penyelenggara pendidikan
tinggi akan menjadi lembaga penunjang yang menentukan dalam konteks ini.
Tidak semua disiapkan menjadi pengembang teknologi yang handal, dengan derajat penalaran
akademik yang tinggi, dan sensitif terhadap dinamika persoalan dan kebutuhan masyarakat.
Implementasi inovasi nasional juga memerlukan adanya pengguna teknologi yang terampil.
Pengguna teknologi ini antara lain, adalah tenaga teknis yang berperan mengaplikasikan
teknologi dalam proses produksi barang atau jasa. Idealnya, populasi pengguna teknologi yang
terampil jauh lebih banyak dibandingkan dengan populasi pengembang teknologi. Rasio yang
pas antara pengembang-pengguna teknologi tentu tergantung pada jenis teknologi yang
diimplementasikan.
Persentase jumlah peneliti atau perekayasa terhadap total populasi suatu negara sering dipakai
sebagai indikator kemajuan inovasi nasional negara yang bersangkutan. Walaupun angka ini
mungkin mengindikasikan kemampuan negara tersebut untuk mengembangkan teknologi,
tetapi sesungguhnya basis argumennya sangat dangkal, malah dapat menyesatkan.
Hal ini bisa dicermati dari beberapa perspektif: [1] teknologi yang berdampak signifikan dan
mampu mengubah wajah dunia dalam berbagai bidang bukan merupakan hasil kerja kolektif
seluruh populasi peneliti suatu negara, tetapi merupakan hasil kerja kelompok kecil peneliti
pada satu laboratorium atau kolaborasi peneliti antar-laboratorium; [2] jumlah peneliti yang
banyak tidak otomatis berarti akan banyak teknologi bermanfaat yang dihasilkan, karena selain
tergantung pada produktivitas peneliti, juga ditentukan oleh relevansi substansi yang diteliti;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

4.2.2. Interaksi yang Intensif Antar-aktor Inovasi

78

dan [3] sebagian besar peneliti bekerja di perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah yang
mayoritas pada saat ini lebih fokus pada riset akademik yang tak terkait langsung dengan
persoalan nyata, akibatnya hasil riset yang diperoleh masih sulit untuk diadopsi oleh industri.

Kesiapan sumberdaya manusia wajib dibarengi dengan langkah reorientasi pengembangan


teknologi dari supply-push ke demand-driven. Jika selama ini aktor penentu arah inovasi
nasional diperankan secara terlalu dominan oleh para pengembang teknologi, sehingga
pendekatan yang diterapkan adalah supply-push, yakni melakukan pengembangan teknologi
dahulu, baru kemudian ditawarkan kepada industri untuk menggunakannya. Pendekatan ini
ternyata tidak efektif untuk meningkatkan intensitas interaksi antara pengembang dan
pengguna teknologi. Aliran teknologi banyak yang tersumbat. Penyebab utamanya adalah
ketidakpaduan antara teknologi yang dikembangkan atau yang dihasilkan dengan kebutuhan
industri. Kalaupun jenis teknologinya sesuai tetapi seringkali tidak kompetitif secara ekonomi
untuk diaplikasikan. Strategi untuk memperlancar aliran teknologi dalam inovasi nasional dan
untuk meningkatkan intensitas kolaborasi antara pengembang dan pengguna teknologi adalah
melakukan reorientasi, yakni jika sebelumnya pihak pengembang teknologi menjadi penentu
arah dan prioritas pilihan teknologi, maka peran ini di masa yang akan datang perlu
dipercayakan pihak pengguna teknologi. Pendekatan yang dipilih tentunya juga berubah arah,
dari supply-push menjadi demand-driven.
Namun demikian perlu diperhatikan pula, inovasi seringkali bukan hanya menekankan
technology push (driven) atau demand pull (driven) secara hitam-putih yang tegas, tetapi
lebih merupakan proses di antaranya atau kombinasi keduanya (Tatang, 2005). Selanjutnya
Tatang menggaris bawahi, inovasi juga merupakan proses yang kompleks dan dinamis yang
sering menunjukkan paradoks. Meski inovasi didorong oleh kompetisi atau persaingan, inovasi
tidak berkembang tanpa adanya kerjasama (co-operation), bahkan adakalanya antara
perusahaan yang saling bersaing. Inovasi tidak hanya bergantung pada bagaimana perusahaan,
perguruan tinggi dan para pembuat kebijakan bekerja, namun juga bagaimana mereka
bekerjasama (Tatang, 2005).
Pada tahap awal, proses reorientasi dalam pengembangan kerjasama ini tentunya belum akan
berjalan mulus. Hal ini terlihat dari Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan Indonesia tahun

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Argumentasi di atas mencoba mengingatkan bahwa aspek yang paling penting untuk mendapat
perhatian dalam proses penyiapan sumberdaya manusia yang diproyeksikan untuk menjadi
pelaku utama pengembangan teknologi bukan terletak pada aspek kuantitasnya, tetapi lebih
pada aspek kualitasnya. Kualitas dimaksud mencakup basis mutu akademik dan relevansi
keahliannya terhadap kebutuhan nyata. Implikasi operasionalnya adalah Indonesia tidak perlu
terlalu berambisi untuk meningkatkan angka persentase jumlah peneliti per sejuta penduduk
(atau indikator lain yang serupa), tetapi lebih perlu menyiapkan tenaga-tenaga pengembang
teknologi yang punya basis kapasitas akademik yang hebat dan juga sensitif terhadap dinamika
permasalahan dan kebutuhan bangsa. Untuk konteks ini, kuantitas menjadi tidak penting.
Indonesia tidak perlu kelihatan baik secara statistik, yang perlu adalah Indonesia mampu dan
produktif dalam menghasilkan solusi teknologi bagi permasalahan bangsa.

79

2007, pada skala 2.8, sama dengan Vietnam (World Bank, 2010). Akan ada resistensi
(penolakan) dari pihak pengembang teknologi dan adanya keengganan di pihak pengguna
teknologi. Pergeseran mindset selalu membutuhkan waktu relatif panjang, karenanya proses ini
akan berlangsung secara bertahap (gradual). Ekspektasi pada tahap awal adalah mulai
tumbuhnya kesepakatan bahwa pengembangan teknologi perlu berubah arah, menjadi lebih
fokus untuk menjawab permasalahan nyata atau memenuhi kebutuhan industri dan
masyarakat pengguna.
7
6
5
4
3
2
1
Singapura

Malaysia

Philipina

Vietnam

Resistensi internal sangat mungkin untuk muncul di kalangan akademisi dan periset dalam
proses pergeseran prioritas riset dari curiousity-driven research menjadi goal-oriented research,
dari riset yang dilakukan untuk pemuasan rasa keingin tahuan akademik menjadi riset untuk
menjawab permasalah nyata yang dihadapi masyarakat dan negara. Hal ini sesuai pula dengan
kecenderungan yang diungkapkan OECD (1999), bahwa inovasi memerlukan lebih hanya
sekedar litbang. Produk barang dan jasa semakin sarat dengan pengetahuan (knowledge
intensive), tetapi juga tidak selalu sarat dengan litbang (R&D intensive).
Pengalaman Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) melalui program insentifnya menjadi bukti
empiris tentang sulitnya menggeser kegiatan para akademisi dan periset keluar dari zona
nyamannya (comfortable zone). Akademisi dan periset masih nyaman di wilayah riset akademik
(dasar dan terapan), sedangkan kegiatan yang lebih bersifat hilir (difusi teknologi dan
peningkatan kapasitas iptek sistem produksi) untuk mendorong agar hasil risetnya diadopsi
oleh pengguna masih sangat kurang diminati. Hal ini antara lain terlihat, saat Kementerian Riset
dan Teknologi secara terbuka dan kompetitif menawarkan empat program insentif kepada
komunitas akademik di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga riset pemerintah, yakni
program riset dasar, riset terapan, difusi iptek, dan penguatan kapasitas iptek sistem produksi.
Dua program yang pertama merupakan pengembangan iptek, sedangkan dua program terakhir
merupakan upaya mentransfer dan aplikasi teknologi yang dihasilkan oleh pihak pengguna
teknologi. Pada tahun 2008, proposal untuk riset pengembangan iptek mencapai 89,84 persen,
sedangkan proposal untuk difusi dan aplikasi iptek hanya 10,16 persen. Dengan upaya yang

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

80

lebih intensif untuk menumbuhkan minat komunitas akademisi dan peneliti untuk berperan
dalam kegiatan difusi dan aplikasi iptek, pada tahun 2009 proposal untuk kegiatan ini
meningkat menjadi 24,95 persen.

Merupakan langkah yang tepat jika Pemerintah lebih mengarahkan bantuan pembiayaan
risetnya pada kelompok goal-oriented research, terlebih lagi pada saat negara sedang
mengalami krisis ekonomi, dimana setiap rupiah yang dibelanjakan negara harus berpotensi
menggerakkan perekonomian domestik. Sudah saatnya, pembiayaan kegiatan riset diposisikan
tidak hanya untuk mendukung upaya pencerdasan bangsa, tetapi juga sekaligus sebagai
investasi untuk menumbuhkan kemandirian bangsa dalam menyediakan solusi teknologi bagi
masalah-masalah mendasar yang menyangkut hajat hidup asasi masyarakat. Sangat ironis jika
untuk memenuhi kebutuhan solusi teknologi untuk masalah-masalah sederhana (misalnya di
sektor pertanian), Indonesia masih tergantung pada pasokan teknologi asing. Apalagi jika untuk
mengimpor teknologi asing tersebut (yang sebetulnya dalam tataran teknologi tergolong
sederhana), negara harus mengeluarkan devisa yang signifikan karena kuatitas kebutuhannya
yang masif.
Salah satu persoalan yang serius saat ini adalah rendahnya sensitivitas atau kepedulian
pengembang teknologi terhadap kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna
teknologi. Pengembang teknologi, baik di akademisi maupun peneliti, jarang melakukan
observasi secara cermat persoalan ataupun kebutuhan pihak pengguna. Riset yang
direncanakan lebih terkait dengan latar belakang akademik peneliti atau akademisi yang
bersangkutan dan mengarah pada topik yang sedang populer di kalangan akademisi.
Kecenderungan lainnya adalah memilih topik-topik yang terkesan maju secara teknologi tetapi
tidak terkait langsung dengan kebutuhan atau persoalan nyata. Capaian akademik seringkali
lebih menarik dibandingkan dengan kontribusi dalam memenuhi kebutuhan atau menyediakan
solusi untuk persoalan yang dihadapi industri, masyarakat, atau pemerintah.
Meski demikian secara akademik, ternyata akademisi dan peneliti Indonesia masih belum
tergolong produktif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini antara lain
terlihat dari jumlah artikel pada jurnal sains dan teknik tahun 2003, para peneliti Indonesia
menghasilkan 178 tulisan. Angka ini tidak jauh berbeda dengan Filipina, namun jauh di bawah
Malaysia dan Thailand. Kenyataan ini tentu harus dibenahi, sulit bagi pengembang teknologi di

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Memperhatikan upaya yang telah dilakukan, strategi yang perlu dilakukan dalam rangka
memicu dan memacu pergeseran preferensi atau prioritas riset ini antara lain adalah: [1]
meluruskan pemahaman tentang status ilmiah goal-oriented research dan [2] memberikan
insentif yang lebih baik bagi pelaksanaan riset untuk solusi permasalahan nyata ini. Kekeliruan
pemahaman tentang riset pesanan disebabkan bukan oleh makna hakiki dari goal-oriented
research tersebut, tetapi lebih disebabkan karena riset ini telah diseleweng-kan pemaknaannya
oleh kepentingan-kepentingan lain yang bersifat non-scientific. Sejatinya, goal-oriented
research harus dimaknai sebagai riset akademik yang tidak hanya potensial untuk memberikan
kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga sekaligus dapat secara nyata
menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat.

81

Indonesia untuk berada posisi terdepan secara akademik. Berbagai kendala antara lain
kurangnya alokasi anggaran untuk pembiayaan riset dan kurang memadainya peralatan dan
fasilitas riset. Namun sesungguhnya, kendala yang lebih serius terletak pada mindset para
pengembang teknologi tersebut, yang belum termotivasi untuk melaksanakan riset yang
berkualitas dan masih cenderung menganggap riset hanya sebagai ritual akademik.

600
400
200
Negara
Singapura

Malaysia

Filipina

Vietnam

Laos

Perlu diyakini bahwa perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk memberikan
dukungan pembiayaan yang lebih besar akan lebih mungkin terwujud jika pengembang
teknologi juga mampu membuktikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional,
terutama pembangunan perekonomian.
Riset yang dirancang sesuai kebutuhan nyata dapat menjadi riset yang berkualitas ilmiah tinggi
apabila dilaksanakan dengan metodologi yang tepat dan dengan menjunjung tinggi etika
akademik. Hasil riset dengan reputasi dan pilihan topik seperti ini jelas akan berpeluang untuk
dipublikasikan pada jurnal ilmiah, dan dapat menghasilkan paten yang diminati pengguna
(karena relevan dengan kebutuhan sehingga berpeluang untuk diaplikasikan dalam proses
produksi), sehingga terbuka peluang untuk mendapatkan royalti.
Kekeliruan pemahaman yang sering terjadi adalah bahwa teknologi yang dihasilkan dari riset
yang berbasis kebutuhan nyata statusnya akan kurang canggih, sebagaimana juga kekeliruan
dalam memahami definisi teknologi tepat guna (appropriate technology) yang sering dianggap
identik dengan teknologi sederhana. Sesungguhnya rentang spektrum teknologi yang berbasis
kebutuhan atau teknologi tepat guna dapat bervariasi dari teknologi yang sangat sederhana
sampai dengan teknologi super canggih, karena faktanya realita persoalan dan kebutuhan
teknologi juga sangat variatif. Sebagai contoh, pemerintah membutuhkan teknologi canggih
untuk mewujudkan kemandirian dalam sektor pertahanan dan keamanan negara; sebaliknya
petani membutuhkan teknologi yang sesuai dengan kapasitas adopsinya untuk meningkatkan
produktivitas tanaman dan pendapatannya.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

82

Di antara banyak perubahan yang perlu dilakukan dalam rangka penguatan inovasi, salah satu
yang urgensinya paling tinggi adalah meningkatkan sensitivitas dan kepedulian para
pengembang teknologi terhadap kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi industri,
masyarakat, dan pemerintah.

4.2.3. Peningkatan Produktivitas dan Relevansi Teknologi Domestik

Peningkatan kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi akan memberikan umpanbalik (feedback) yang positif, efek bola salju akan terjadi. Dukungan pembiayaan aktivitas riset
akan semakin tumbuh, baik dari pemerintah maupun dari dunia usaha, karena kepercayaan
pihak pengguna teknologi akan semakin meningkat. Pengguna teknologi ikut menikmati
kontribusi teknologi terhadap pemenuhan kebutuhan dan menjadi alternatif solusi persoalan
yang dihadapi para pengguna teknologi tersebut. Kondisi yang diharapkan sebagai modal untuk
memperkuat inovasi nasional adalah pendekatan demand-driven dapat menjadi mainstream
pengembangan teknologi domestik, sehingga persentase teknologi yang relevan kebutuhan
semakin meningkat dan kontribusi teknologi terhadap perekonomian nasional semakin
dirasakan publik. Harapan akhirnya adalah teknologi dapat memberikan kontribusi nyata
terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan memajukan peradaban bangsa
sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.
Upaya peningkatan relevansi teknologi dengan kebutuhan nyata belum sepenuhnya menjamin
bahwa teknologi akan diadopsi pengguna. Satu faktor yang menentukan, yakni kemampuan
atau kapasitas adopsi dari pengguna terhadap teknologi potensial yang dihasilkan. Oleh sebab
itu, untuk memperbesar peluang pemanfaatan teknologi perlu dilakukan perbaikan di kedua
sisi, yakni meningkatkan relevansi teknologi yang dibarengi dengan upaya meningkatkan
kapasitas adopsi pengguna. Kapasitas adopsi pengguna teknologi bersifat multi dimensi,
termasuk dimensi teknis, finansial, sosiokultural, dan kemungkinan juga politik. Peningkatan
kapasitas adopsi untuk dimensi teknis relatif mudah dilakukan, misalnya melalui pelatihan atau
pendidikan formal bagi para aktor pengguna. Kapasitas adopsi dari dimensi ekonomi/finansial
akan lebih sulit ditingkatkan, namun kebijakan pemerintah terkait penyediaan kredit modal
usaha dapat menjadi cara efektif untuk membantu pengguna teknologi dalam meningkatkan
kapasitas adopsinya dari dimensi finansial.
Persoalan rendahnya kapasitas adopsi teknologi, secara umum dapat dijumpai pada
masyarakat pengguna teknologi di Indonesia, termasuk komunitas petani, peternak, nelayan,
pembudidaya ikan, dan pengrajin atau berbagai pelaku usaha skala kecil lainnya. Rendahnya

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sensitivitas dan kepedulian pengembang teknologi yang diikuti dengan perencanaan dan
pelaksanaan riset yang tepat akan membuahkan teknologi yang relevan. Jika semakin banyak
aktor pengembang teknologi yang mengikuti alur ini, maka Indonesia akan memulai era baru
dalam mengembangkan inovasi nasional. Relevansi dan produktivitas riset akan menjadi mesin
produksi teknologi yang secara nyata akan meningkatkan kontribusi terhadap berbagai sektor
pembangunan nasional, termasuk bidang perekonomian.

83

Rangsangan untuk tumbuh-kembang industri produsen barang dan/atau jasa yang berbasis
teknologi nasional dan sesuai dengan kebutuhan pasar domestik perlu lebih diintensifkan.
Ketersediaan teknologi domestik yang secara teknis sesuai dengan kebutuhan dan secara
ekonomi menguntungkan akan dibutuhkan industri produsen barang dan jasa. Namun
demikian, pada fase awal diperlukan dukungan insentif tambahan agar perdagangan
bertransformasi ke arah industri atau produsen barang dan jasa. Oleh karena itu, penguatan
industri dalam negeri merupakan salah satu pilar utama pendukung strategi penguatan inovasi
nasional. Peningkatan investasi dan akses permodalan untuk pengembangan dan/atau
penumbuhan industri baru berbasis teknologi nasional perlu mendapat dukungan dari berbagai
pihak dan difasilitasi perkembangannya.
Aksesibilitas untuk tiga kunci sukses industri produsen perlu dijamin, yakni: [1] akses untuk
mendapatkan bahan baku yang cukup, sesuai dengan spesifikasi teknis, harga yang pantas (dan
relatif stabil), serta cukup tersedia sesuai siklus produksi; [2] akses untuk mendapatkan modal,
sumberdaya manusia, dan teknologi yang sesuai secara teknis serta kompetitif secara ekonomi;
dan [3] akses pasar yang terjamin. Pasar domestik Indonesia yang besar merupakan potensi
untuk menjadi penyerap bagi semua produk barang dan jasa yang dihasilkan industri dalam
negeri.
Percepatan proses adopsi teknologi nasional oleh pengguna di dalam negeri dan upaya
mendorong arus informasi kebutuhan teknologi untuk pihak pengembang memerlukan peran
aktif dari lembaga intermediasi. Pada saat ini, hampir semua lembaga intermediasi terbentuk
atas inisiatif pemerintah dan sebagian juga diawaki oleh aparatur pemerintah. Belum adanya
lembaga intermediasi yang diinisiasi oleh pihak bisnis maupun masyarakat dapat menjadi
indikasi bahwa kegiatan ini masih dianggap belum menarik, atau masih diyakini belum akan
membuahkan hasil. Persepsi ini sesungguhnya dapat dipahami, karena berbagai kondisi yang
terjadi saat ini masih belum favorable untuk berfungsinya kelembagaan intermediasi.
Lembaga intermediasi berperan sebagai penghubung antara lembaga pengembang teknologi
dengan pengguna teknologi. Kelembagaan intermediasi ini belum berfungsi secara efektif, jika
prasyarat dasarnya belum terpenuhi, yakni adanya relevansi teknologi yang dikembangkan
dengan kebutuhan industri yang merefleksikan preferensi dan daya beli konsumen. Kondisi lain

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

adopsi teknologi, selain disebabkan teknologi yang tidak relevan, juga dikarenakan rendahnya
kebutuhan teknologi, tidak hanya persoalan rendahnya kapasitas adopsi. Hal ini juga dapat
dijumpai pada pelaku bisnis Indonesia, dengan aktivitas utama perdagangan, bukan industri
manufaktur. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan adopsi teknologi, diperlukan transformasi
dari pedagang menjadi produsen. Penguatan inovasi tidak dapat berfungsi optimal apabila
kegiatan bisnis yang dominan masih berupa perdagangan. Kondisi ini menjadikan upaya riset
dan pengembangan teknologi yang sudah diarahkan sesuai dengan kebutuhan nasional,
berbasis sumberdaya dalam negeri, dan berorientasi pasar domestik menjadi tidak effektif.
Secara umum, bisnis di Indonesia memerlukan transformasi, dari kecenderungan dominan
perdagangan menjadi dominan industri produsen barang dan jasa. Kelompok industri ini yang
paling berpotensi untuk mengadopsi teknologi domestik yang telah dikembangkan.

84

yang kurang kondusif bagi lembaga intermediasi adalah: [1] sistem perlindungan Hak atas
Kekayaan Intelektual masih belum membudaya di kalangan pengembang teknologi di
Indonesia, sehingga berpotensi menjadi masalah jika dikomersialisasikan; [2] preferensi
komunitas bisnis Indonesia masih cenderung sebagai pedagang daripada sebagai produsen;
kalaupun masuk ke wilayah industri produsen barang/jasa, maka lebih cenderung memilih
memproduksi barang di bawah lisensi asing; dan [3] pelaku industri dalam negeri belum
percaya atas kehandalan teknologi domestik hasil karya anak bangsa, sehingga lebih cenderung
membeli teknologi asing.
Lembaga intermediasi perlu diawaki oleh personel yang memahami tentang teknologi dan
sekaligus punya kemampuan persuatif yang tinggi dan terampil dalam menjual. Upaya ini dapat
dilakukan dengan merekrut peneliti/akademisi, dan dilatih ketrampilan pemasaran-nya; atau
merekrut tenaga pemasaran dan diperkaya wawasan teknologinya. Opsi kedua kelihatannya
lebih baik, karena merubah karakter manusia (terkait marketing skills) lebih membutuhkan
waktu dibandingkan dengan menambah pengetahuan tentang teknologi tertentu.

Selama proses transisi pergeseran orientasi arah dan prioritas riset, peran pemerintahan sangat
dibutuhkan, yakni dalam bentuk: [1] regulasi yang mendukung dan [2] fasilitasi percepatan laju
proses reorientasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya gesekan yang tidak perlu antarpihak terkait.
Peran regulasi pemerintah ditujukan untuk mengawal agar implementasi penguatan inovasi
secara konsisten mengarah pada upaya: [1] menyediakan solusi teknologi bagi permasalahan
nyata yang dihadapi rakyat; [2] menyeimbangkan posisi psikologis dan peran aktif antara pihak
pengembang teknologi dengan pihak pengguna teknologi sehingga interaksi antara keduanya
terjadi dalam kerangka kemitraan yang setara harkatnya, proporsional kontribusinya, dan
saling complementary ruang kiprahnya; dan [3] memberdayakan sumberdaya manusia
Indonesia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar dapat secara langsung berperan
aktif dalam implementasi penguatan inovasi nasional.
Berkaitan dengan upaya membangun inovasi nasional secara utuh, dibutuhkan pula regulasi
dan fasilitasi pemerintah dalam menyiapkan sumberdaya manusia sesuai kebutuhan untuk
pengembangan teknologi dan kebutuhan tenaga terampil untuk aplikasi teknologi, melalui
program pendidikan yang berkesesuaian, terutama pada jenjang pendidikan tinggi dan
menengah kejuruan. Bentuk fasilitasi dari pemerintah yang lain adalah dukungan untuk
kolaborasi riset dengan pembiayaan bersama (sharing funding) oleh pemerintah dan pihak
industri. Porsi pemerintah disalurkan melalui lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi.
Kegiatan riset kolaborasi dalam format ini sudah mulai dilaksanakan, tetapi belum optimal
menunjukkan kemanfaatan hasilnya. Hal ini terutama karena substansi riset masih dominan
ditentukan oleh pihak pengembang teknologi, bukan atas usulan pihak industri. Dalam

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

4.2.4. Ekosistem Inovasi yang Kondusif

85

beberapa kasus, pihak industri hanya diposisikan untuk memenuhi kelengkapan administratif
agar dana pemerintah bisa dialirkan ke lembaga riset atau perguruan tinggi. Bentuk riset
kolaborasi yang lain tidak dalam bentuk pembiayaan bersama, tetapi dalam bentuk riset yang
diawaki oleh personel dari pihak pengembang dan pengguna teknologi serta memanfaatkan
fasilitas dan sarana riset yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Agar diperhatikan apapun bentuk
atau format riset kolaborasi, akan memberikan kemanfaatan pada publik jika substansi masalah
yang diteliti merupakan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan masalah hipotetik
yang diilhami oleh berbagai referensi asing.

Bentuk regulasi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan Standar Nasional
Indonesia (SNI) bagi seluruh produk barang/jasa di Indonesia. SNI telah memenuhi WTO Code
of Good Practices, yakni dirumuskan berdasarkan asas keterbukaan (openess), transparansi
(transparency), konsensus dan tidak memihak (consensus and impartiality), keefektifan dan
relevan (effectiveness dan relevance), koheren (coherence), dan berdimensi pembangunan
(development dimension). Dengan demikian, penerapan SNI diharapkan tidak hanya
bermanfaat bagi kepentingan domestik tetapi juga untuk kepentingan perdagangan global.
Adanya rasa bangga dan percaya diri warga negara sebagai sumberdaya manusia penggerak
pembangunan yang diimbangi dengan terciptanya lingkungan yang kondusif untuk berusaha,
merupakan modal kuat dalam menuju Indonesia yang lebih sejahtera di masa yang akan
datang. Jika lintasan (pathway) ini ditempuh dengan baik, maka tak akan ada lagi keraguan
bahwa teknologi domestik akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam pembangunan
nasional dan standarisasi akan menyempurnakan upaya penguatan inovasi di Indonesia.
Berdasarkan telaah yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa komponen kebijakan yang
dibutuhkan untuk mewujudkan adanya sistem inovasi nasional (SINas) yang mampu
memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional. Strategi ini mencakup:
(1) Sinkronisasi antara teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan dan permasalahan
yang dihadapi industri, masyarakat, dan pemerintah;
(2) Rangsangan untuk tumbuh-kembang industri produsen barang dan/atau jasa yang
berbasis teknologi nasional dan sesuai dengan permintaan pasar domestik;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Regulasi pemerintah dapat pula berupa insentif bagi kedua belah pihak untuk berkolaborasi,
misalnya dukungan pembiayaan dari pihak industri untuk kegiatan riset dapat dianggap sebagai
bagian dari pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (tax deductible). Upaya ke arah ini
sesungguhnya sudah dilakukan pemerintah, yakni dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
No. 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk
Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. Dalam PP No. 35 Tahun
2007 dinyatakan badan usaha yang mengalokasikan pendapatannya untuk peningkatan
kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif, dimana
insentif tersebut dapat berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis
penelitian dan pengembangan.

86

(3) Vitalisasi lembaga intermediasi untuk percepatan proses adopsi teknologi nasional oleh
industri dalam negeri dan sebaliknya juga arus informasi kebutuhan teknologi kepada
pihak pengembang teknologi; dan
(4) Dukungan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum untuk memfasilitasi,
menstimulasi, dan mengakselerasi interaksi antar-aktor utama dalam penguatan inovasi
nasional, serta mendekatkan hubungan dengan kelembagaan pendukung lainnya.
Keempat strategi ini mempunyai keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itu, seluruh strategi
harus dilaksanakan secara interaktif dan sinambung. Keberhasilan membangun inovasi nasional
hanya dapat dicapai jika semua strategi ini dapat dieksekusi dengan baik.

Terlepas dari intensitas dan besaran (magnitude) kontribusinya, iptek akan selalu dibutuhkan
dalam pembangunan semua sektor. Dengan demikian isu utamanya bukan terletak pada ada
atau tidak adanya peranan teknologi dalam pembangunan nasional, tetapi terletak pada
bagaimana cara agar teknologi yang dikembangkan dapat efektif dan efisien dalam mendukung
pembangunan nasional di semua sektor. Oleh sebab itu, yang penting dilakukan adalah
merancang inovasi nasional yang tepat, yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional
dan upaya memberikan solusi atas permasalahan nyata yang dihadapi rakyat. Kemampuan dan
kemandirian pengembangan teknologi nasional yang didasarkan atas kebutuhan dan
permasalahan nyata menjadi modal dasar implementasi penguatan inovasi di Indonesia.
Pengembangan teknologi nasional perlu mengutamakan pemberdayaan dan pendayagunaan
sumberdaya manusia Indonesia sebagai tenaga penggeraknya, memanfaatkan sumberdaya
alam nasional sebagai bahan baku atau tapak operasionalnya (operational site). Pengembangan
teknologi nasional juga perlu mempertimbangkan secara cermat kapasitas adopsi pengguna
teknologi dalam negeri.
Teknologi dengan warna Indonesia yang kental ini diyakini akan lebih berpeluang untuk
mengalir lancar dari pihak atau lembaga pengembang teknologi ke pihak pengguna teknologi.
Keberhasilan penguatan inovasi nasional akan ditakar dari kelancaran aliran teknologi (fluidity
of technology flow), bukan berdasarkan kecanggihan teknologi yang mampu dikembangkan.
Kekeliruan persepsi sangat sering dan umum terjadi dalam konteks penilaian kinerja dan
kontribusi inovasi, yakni menganggap bahwa semakin maju teknologi yang dikuasai maka
semakin baik penguasaan inovasi suatu negara.
Walaupun sudah cukup lama diwacanakan, tetapi membangun masyarakat berbasis
pengetahuan kelihatannya masih akan menempuh perjalanan panjang. Perjalanan panjang
tersebut perlu diawali dengan keberhasilan mengembangkan dan memperkuat inovasi nasional
di Indonesia yang mampu mendorong peradaban dan menyejahterakan rakyat. Inovasi nasional
yang didasarkan atas kebutuhan dan permasalahan nyata perlu didampingkan secara paralel
dengan program pendidikan yang dirancang untuk menghasilkan sumberdaya manusia
berkualitas dan sensitif terhadap permasalahan nyata yang dihadapi bangsa dan kebutuhan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

4.2.5. Kontribusi terhadap Pembangunan Nasional

87

pembangunan nasional. Jika kedua hal ini dilakukan secara serasi dan saling mendukung maka
cita-cita untuk membangun masyarakat berbasis pengetahuan diyakini dapat terwujud. Selain
itu, indikator lainnya dalam pengembangan dan penguatan inovasi nasional adalah terjaminnya
keamanan nasional. Meskipun ukuran kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional bersifat
relatif, tetapi upaya kuantifikasi tingkat kesejahteraan rakyat lebih berkembang dan diterima
secara luas; sebaliknya ukuran baku tentang tingkat keamanan nasional masih belum banyak
dibahas.

Hasil akhir yang diharapkan dari segala bentuk upaya dalam pengembangan dan penguatan
inovasi adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam mengevaluasi suatu sistem yang utuh,
semua indikator-antara hanya dapat dilihat sebagai titik-titik yang tercerai berai dan
diasumsikan terhubung satu sama lain oleh garis-garis imajiner yang diyakini sebagai bagian
dari sistem tersebut. Asumsi-asumsi tersebut umumnya diuji berdasarkan korelasi masingmasing indikator-antara yang dianggap berhubungan. Ilmu statistik merupakan alat yang
handy untuk pekerjaan ini.
Beberapa indikator-antara yang sering digunakan dalam mengevaluasi kehandalan penguatan
inovasi antara lain: jumlah publikasi ilmiah per juta penduduk, jumlah patent yang didaftarkan
atau diperoleh (granted), jumlah kerjasama penelitian antara universitas dan industri, jumlah
publikasi yang ditulis bersama oleh akademisi dan pelaku industri (co-authored publication),
mobilitas sumberdaya manusia antara kelembagaan riset atau universitas dengan industri,
besarnya penerimaan universitas atau lembaga riset yang berasal dari royalti, dan persentase
penerimaan univesitas yang berasal dari sumber non-pemerintah yang terkait dengan aktivitas
dan hasil riset. Indikator-antara tersebut sesungguhnya baru melingkupi sisi pengembang
teknologi, dengan ekstensi pada kapabilitas lembaga pengembang teknologi tersebut untuk
merangkul mitra potensialnya. Nilai-nilai positif atau kecenderungan peningkatan yang
ditunjukkan oleh semua indikator-antara belum dapat secara otomatis diekstrapolasikan untuk
sampai pada kesimpulan bahwa upaya pengembangan dan penguatan inovasi telah berjalan
baik, efektif dan produktif.
Indikator-antara lainnya dilihat dari sisi pengguna teknologi, subyek survei atau risetnya adalah
industri-industri yang bergerak dalam berbagai sektor. Indikator di kelompok ini antara lain:
alokasi dana oleh industri untuk kegiatan riset internal perusahaan atau untuk mendukung

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Keamanan mempunyai dua dimensi yang berbeda, yakni: [1] rasa aman yang lebih bersifat
internal, personal, dan sulit dideteksi; dan [2] kondisi aman yang lebih bersifat eksternal,
kolektif, dan dapat dideteksi berdasarkan persepsi indera penglihatan dan pendengaran (audiovisual perception). Akan lebih realistis jika indikator keberhasilan implementasi inovasi nasional
hanya didasarkan atas keamanan dimensi kedua, yakni kondisi aman. Indikator keberhasilan
dalam menciptakan kondisi aman antara lain: tidak terjadinya gerakan separatisme di wilayah
NKRI; minimalisasi dampak negatif dari gejolak masyarakat, misalnya dalam bentuk
demonstrasi anarkis, yang dapat mengganggu kegiatan produktif; terkendalinya dinamika
politik; terjaminnya keberlangsungan proses demokratisasi; dan terjaminnya kondisi yang
kondusif untuk berinvestasi.

88

kegiatan riset di universitas dan lembaga riset eksternal, identifikasi sumber informasi yang
dianggap penting oleh industri dalam mengembangkan produk komersial, preferensi industri
untuk mengembangkan teknologi sendiri atau membeli teknologi yang sudah mapan
(established). Indikator-antara yang digunakan baik dari sisi pengembang maupun pengguna
teknologi memang telah mengarah pada upaya menakar potensi kedua belah pihak untuk
berkomunikasi dan berkolaborasi. Walaupun tentunya, interpretasi atas indikator-antara ini
harus dilakukan dengan hati-hati.

Banyak indikator keberhasilan yang dapat digunakan dalam mengevaluasi kinerja pada masingmasing komponen atau tahapan penguatan inovasi nasional. Banyak juga kajian mengenai
inovasi yang telah dilakukan menggunakan indikator parsial ini, tetapi hasilnya seringkali tidak
atau kurang memuaskan, karena hanya mampu menjelaskan secara segmented. Pendekatan
parsial biasanya hanya mengarah untuk menghasilkan justifikasi bahwa suatu negara
sebetulnya sudah melakukan upaya (dan telah ada tanda-tanda perbaikan) walaupun hasilnya
belum memuaskan.
Dengan demikian untuk Indonesia, indikator utama keberhasilan pengembangan dan
implementasi inovasi hanya dua, yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan terciptanya
kondisi keamanan nasional. Indikator lainnya yang dapat ditambahkan adalah tingkat
kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan teknologi untuk pembangunan
perekonomian dan pembangunan hankam. Kemampuan dan tumbuhnya budaya masyarakat
untuk mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge-based society) dapat pula
digunakan sebagai indikator tambahan untuk mengevaluasi performa penguatan inovasi di
Indonesia.

4.3. Aspek Filosofis

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Total Factor Productivity (TFP) telah digunakan beberapa ekonom sebagai proxy untuk
menaksir kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dasarnya adalah pertumbuhan
ekonomi terjadi atas kontribusi dari dua faktor utama, yakni modal dan tenaga kerja, sisanya
(residu) merupakan kontribusi faktor bukan modal maupun tenaga kerja yang disimpulkan
sebagai kontribusi dari faktor teknologi. Namun demikian, perlu diingat kembali bahwa ukuran
kinerja inovasi adalah kesejahteraan rakyat, bukan pertumbuhan ekonomi semata, sehingga
perlu dilengkapi pula dengan pola distribusi pendapatan. Sebagai suatu sistem, indikator
keberhasilan pengembangan inovasi nasional menjadi kurang bermakna jika difragmentasi
menjadi indikator-indikator antara atau indikator yang bersifat parsial, walaupun secara teknis
inovasi nasional dapat dibongkar menjadi empat komponen, yakni: pengembangan teknologi,
difusi teknologi dari pengembang ke pengguna, adopsi teknologi untuk proses produksi barang
dan jasa, dan konsumsi atau penggunaan produk akhir oleh konsumen.

89

Secara umum syarat filosofis dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah


apabila peraturan perundang-undangan dapat diterapkan sesuai dengan cita-cita hukum, atau
sesuai dengan nilai-nilai positif yang tertinggi. Nilai-nilai ini menjadi cita-cita hukum dan tujuan
negara bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
4.3.1. Dinamika Lingkungan Global

Untuk menaksir intensitas interaksi tersebut, dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan,
antara lain dengan mengevaluasi: [1] porsi pendapatan universitas atau lembaga riset yang
berasal dari kerjasama dengan industri dalam melakukan riset; [2] jumlah paten dan publikasi
bersama antara akademisi dan pelaku industri; [3] jumlah paten universitas atau lembaga riset
yang dikomersialisasikan oleh industri; dan [4] timbangan industri terhadap universitas dan
lembaga riset sebagai sumber informasi/pengetahuan untuk pengembangan produk inovatif.
Hasil survei yang dilakukan di Belanda selama periode 1989-1992 menunjukkan bahwa
pendapatan universitas yang berasal dari kerjasama riset dengan pihak industri secara
konsisten meningkat, walaupun persentasenya masih relatif rendah, yakni 12.2 persen pada
tahun 1989 meningkat menjadi 17,4 persen pada tahun 1992 (Hertog, 1995). Di Indonesia data
seperti ini tidak mudah untuk didapatkan, karena banyak kegiatan riset yang dilakukan industri
bersama akademisi secara individual, kelompok, atau lembaga intra-universitas yang tidak
dicatat sebagai penerimaan resmi universitas. Di Inggris, publikasi ilmiah yang ditulis bersama
(co-authored) oleh peneliti universitas atau lembaga riset pemerintah dengan personel yang
mewakili institusi bisnis terlihat secara konsisten meningkat antara tahun 1981 sampai 1994
(Hicks and Katz, 1996). Publikasi yang ditulis bersama ini diasumsikan berakar pada hasil
kolaborasi riset antara kedua pihak tersebut. Hasil kajian Rosenberg dan Nelson (1994) terkait
dengan jumlah paten universitas patut untuk disimak, karena ternyata bukan hanya perguruan
tinggi dan lembaga riset di negara yang belum maju teknologinya saja yang malas
mendaftarkan paten, tetapi juga terjadi pada universitas di negara yang maju, seperti Amerika
Serikat. Persentase paten universitas di Amerika Serikat secara relatif juga rendah, yakni hanya

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)


telah lama memposisikan Sistem Inovasi Nasional (SINas) sebagai strategi penting dalam
memajukan perekonomian melalui pemanfaatkan keunggulan teknologi negara masing-masing.
Inisiatif pendirian OECD dilakukan oleh beberapa negara Eropa Barat plus Turki dan Amerika
Serikat. Namun saat ini, keanggotaan OECD telah bertambah dengan beberapa negara Eropa
Timur, Jepang, Korea, Australia, Selandia Baru, dan Meksiko. Pengembangan inovasi nasional
pada negara-negara OECD dan kajian akademik yang dilakukan oleh kelembagaan OECD telah
menjadi referensi penting bagi dunia dalam memperlajari tentang upaya penguatan inovasi
nasional dan kontribusinya bagi pembangunan perekonomian.
Sebagaimana yang
dikemukakan sebelumnya, peranan inovasi nasional dalam pembangunan perekonomian
sangat ditentukan oleh intensitas dan kualitas interaksi dan komunikasi antara lembaga
pengembang dengan pengguna teknologi, terutama antara universitas atau lembaga riset
dengan pelaku industri.

90

Hasil survei yang dilakukan oleh The Maastricht Economic Research Institute on Innovation and
Technology (MERIT) memberikan gambaran tentang bagaimana pihak industri di negara-negara
Eropa menilai peran universitas atau kelembagaan riset pemerintah. Kelembagaan riset
pemerintah (termasuk universitas) dianggap penting oleh mayoritas (>50%) pelaku industri
untuk bidang fasilitas layanan publik (utilities) dan pharmaseutikal, tetapi sebaliknya mayoritas
pelaku industri menganggap peranannya kurang penting untuk bidang-bidang lainnya,
termasuk logam olahan (fabricated metals), plastik, telekomunikasi, perminyakan, permesinan,
bahan kimia, komputer, logam dasar, elektronik, instrumen, otomotif, pangan, dan
kedirgantaraan (aerospace). MERIT telah mengembangkan database kesepakatan kerjasama
dan indikator teknologi (Co-operative Agreements and Technology Indicators, disingkat CATI)
yang mencakup hampir 13.000 kesepakatan kerjasama yang melibatkan lebih dari 6.000
perusahaan (OECD, 1997). Data yang terkumpul selama periode 1980-1994 dalam studi ini
menunjukkan bahwa kerjasama teknis untuk bidang-bidang tertentu (bioteknologi, teknologi
informasi dan komunikasi, dan teknologi material baru) meningkat di Amerika Serikat, tetapi di
Jepang dan Eropa kerjasama serupa tidak menunjukkan perubahan yang berarti (Haagedoorn,
1996). Di Jepang ternyata kerjasama informal antar-kelembagaan bisnis berperan penting
dalam keberhasilan pengembangan teknologi. Kolaborasi antar-lembaga bisnis memberikan
sumbangan terhadap kinerja inovatif perusahaan di Norwegia dan Finlandia, dimana produk
baru yang dihasilkan dari kolaborasi mampu meningkatkan penjualan. Kajian yang sama di
Jerman, juga menunjukkan bahwa kolaborasi antar-perusahaan mampu meningkatkan
penjualan untuk hampir semua produk yang dihasil melalui kolaborasi tersebut. Kerjasama
terbukti mampu meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengadopsi teknologi
yang bermanfaat (OECD, 1997).
Malerba (1996) menganalisis 13 sumber informasi yang dianggap relevan untuk upaya
pengembangan dan penguatan inovasi nasional. Sumber informasi tersebut dikelompokkan
menjadi 4 kelompok, yakni: [1] sumber informasi dari dalam kelembagaan bisnis sendiri; [2]
bersumber dari pasar, termasuk konsumen, pemasok bahan baku atau komponen, dan
konsultan; [3] lembaga riset pemerintah dan universitas; dan [4] sumber informasi umum
seperti konferensi, pertemuan bisnis, pameran, informasi paten. Data yang digunakan oleh
Malerba (1996) berasal dari hasil Community Innovation Survey (CIS) antara 1991 sampai 1993
yang dilaksanakan atas inisiatif bersama Komisi Eropa dan Eurostat terhadap 40.000 industri
manufaktur di Eropah. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumber informasi yang paling penting
ternyata berasal dari pelanggan/konsumen dan sumber internal perusahaan; sedangkan
informasi yang dianggap tidak penting adalah berasal dari lembaga riset pemerintah dan
perguruan tinggi.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

berkisar antara 0,7 persen untuk bidang komunikasi sampai 18,1 persen untuk bidang rekayasa
genetika. Porsi paten yang lebih besar berasal dari industri atau pihak non-universitas lainnya.
Walaupun persentasenya rendah, tapi jumlah aktualnya tentu tetap jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah paten universitas dan lembaga riset di Indonesia.

91

Hasil ini bertentangan dengan anggapan yang umumnya dianut banyak pihak di Indonesia
bahwa perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai motor penggerak utama untuk tumbuh dan
berkembangnya inovasi nasional. Fakta ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi
komunitas akademik dan peneliti Indonesia untuk melakukan reorientasi prioritas risetnya agar
tidak semakin terkucil dari skenario global pengembangan inovasi. Pergeseran yang wajib
dilakukan adalah menambah porsi goal-oriented atau demand-driven research dalam grand
scenario pengembangan riset dan teknologi. Selain itu, komunitas akademik dan peneliti
Indonesia tidak dapat lagi mengabaikan ancaman penjajahan teknologi asing dalam bentuk
banjir produk barang dan jasa impor yang melanda pasar domestik dan invasi Multi National
Company (MNC), baik secara langsung maupun dalam bentuk produknya. Kehadiran MNC
dapat menjadi ancaman bagi upaya pengembangan teknologi nasional jika tidak dibangun
hubungan yang sinergis mutualistik dengan MNC tersebut; sebaliknya bisa menjadi sumber
spillover teknologi.
Tantangan dan ancaman ini perlu dijawab dan/atau ditangkal dengan mewujudkan inovasi yang
sesuai dengan kebutuhan di Indonesia yang handal, berbasis sumberdaya nasional, digerakkan
dengan motor teknologi domestik, dan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Kemandirian teknologi merupakan kunci utama dalam menghadapi tantangan dan ancaman
tersebut.

Dinamika lingkungan strategis pada tingkat dunia akan berpengaruh bagi perkembangan
inovasi nasional di Indonesia. Kondisi lingkungan strategis perlu mendapat perhatian, paling
tidak untuk referensi. Namun demikian, berdasarkan kedekatan posisi geografis dan intensitas
hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik, maka dinamika lingkungan strategis pada tingkat
regional Asia Tenggara (ASEAN) perlu mendapat perhatian yang lebih intensif.
Dalam konteks kemajuan inovasi saat ini, negara-negara ASEAN dapat dibagi dari tiga lapisan:
Singapura berada pada lapisan atas, Malaysia dan Thailand pada lapisan tengah; sedangkan
Indonesia, Vietnam, Filipina, dan negara-negara ASEAN lainnya berada pada lapisan bawah.
Posisi Indonesia tersebut didasarkan atas beberapa indikator hasil analisis yang dilakukan oleh
berbagai lembaga internasional (Tabel 6).
Tabel 6.

Potensi pengembangan inovasi nasional Indonesia berdasarkan beberapa indikator akademik


dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura

Indikator

Indonesia

Malaysia

Thailand

Singapura

Peringkat HDI, 2007/08

107

63

78

Angka Partisipasi Kasar, 2007

17,3

32,5

42,7

54

21

28

Peringkat Daya Saing, 2007

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

4.3.2. Dinamika Lingkungan Regional

92

Indeks Daya Serap Teknologi, 2003

4,5

5,8

5,3

6,0

Indeks Kerjasama Riset, 2003

2,8

4,9

4,2

Paten USPTO, 2001/05

16,6

74,4

41,6

409,4

Publikasi Ilmiah, 2003

178

520

1072

3122

Struktur perekonomian negara-negara ASEAN secara umum relatif sama, kecuali Singapura.
Negara ASEAN umumnya masih mengandalkan sektor pertanian komoditas hasil eksploitasi
kekayaan alamnya. Untuk kondisi saat ini, Singapura yang lebih maju di sektor perdagangan,
industri pengolahan, dan industri jasa keuangan, merupakan mitra komplementer untuk
pembangunan perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan upaya yang lebih serius agar
ketergantungan pada negara tetangga ini dapat dikurangi agar posisi Indonesia lebih
kompetitif. Negara-negara ASEAN lainnya dapat menjadi kompetitor dan sekaligus mitra
strategis yang potensial. Hal ini tergantung kemampuan Indonesia dalam mewujudkan inovasi
nasional. Jika Indonesia mampu mengembangkan industri barang dan jasa berbasis teknologi
nasional yang kompetitif, maka Indonesia dapat menjadi pemasok barang dan jasa, serta
sekaligus memanfaatkan bahan baku yang dihasilkan negara-negara di kawasan ASEAN.
Kemajuan inovasi suatu negara dapat ditaksir berdasarkan beberapa indikator, antara lain
Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang pendidikan
tinggi, Indeks Daya Saing Global, Indeks Daya Serap Teknologi, Indeks Kerjasama Riset, Paten
Terdaftar, dan Jumlah Publikasi Ilmiah (Tabel 6). Disamping itu, kualitas sumberdaya manusia
yang secara umum masih belum kompetitif, aliran teknologi antara pengembang dan pengguna
yang masih tersendat, serta kendala non-teknologi lainnya juga memerlukan perhatian. Secara
menyeluruh gambaran postur perkembangan inovasi di Indonesia masih jauh dari memuaskan.
Untuk kawasan ASEAN pun masih perlu perjuangan keras agar dapat menjadi yang terdepan.

4.3.3. Dinamika Lingkungan Nasional


Saat ini kontribusi teknologi pada tingkat nasional masih belum optimal, mungkin dapat
dikatakan masih berada pada posisi yang sangat minimal. Hal ini disebabkan belum terjadinya
aliran teknologi yang signifikan dari pihak pengembangan teknologi ke pihak pengguna
teknologi. Pengembangan sistem inovasi nasional (SINas) dapat dikatakan belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Berbagai alasan dan argumen yang menyertainya telah
dijabarkan sebelumnya. Aspek yang akan ditelaah lebih mendalam adalah interaksinya dengan
dinamika lingkungan strategis yang sedang berkembang saat ini dan kecenderungan perubahan
lingkungan strategis tersebut di masa yang akan datang. Perubahan lingkungan strategis di

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Sumber: Peringkat Human Development Index (HDI) dari Laporan UNDP (Hasta, 2009); Angka Partisipasi Kasar (APK)
pendidikan dari Depdiknas (Lakitan, 2008d); Peringkat Daya Saing dari Laporan World Economic Forum (Suhardi,
2009); Indeks Daya Serap Teknologi, Indeks Kerjasama Riset (Warsono, 2009), Paten USPTO, dan publikasi ilmiah dari
Laporan World Bank (Suhardi, 2009).

93

masa depan akan direka berdasarkan dua ekstrim skenario, yakni skenario business-as-usual,
melanjutkan kecederungan yang sedang terjadi saat ini dengan tanpa upaya mendorong
perubahan ke arah yang diinginkan, dan skenario dengan upaya percepatan perubahan ke arah
yang lebih kondusif untuk berkembangnya inovasi nasional.

Salah satu modal utama pembangunan Indonesia sampai saat ini berasal dari kekayaan
sumberdaya alam yang bersifat tak-terbarukan (non-renewable resources), yang suatu saat
akan habis. Tanpa melakukan upaya mendorong agar teknologi domestik lebih sesuai untuk
menjawab permasalahan dan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional dan tanpa upaya
mendorong industri untuk lebih memprioritaskan penggunaan teknologi domestik dan
memproduksi barang dan jasa sesuai kebutuhan pasar domestik, maka upaya menumbuhkan
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) tidak akan pernah terwujud.
Pengetahuan hanya bisa ditranslasi menjadi pertumbuhan ekonomi jika terlebih dahulu mampu
menghasilkan teknologi yang dibutuhkan pengguna teknologi untuk menghasilkan barang
dan/atau jasa yang dibutuhkan. Agaknya tidak berlebihan atau terkesan pesimistik jika
disimpulkan bahwa inovasi tidak akan tumbuh berkembang jika tidak terjadi perubahan
lingkungan strategis yang mengarah kepada terwujudnya ekosistem yang lebih kondusif untuk
tumbuh-kembang sistem inovasi nasional (SINas).
Skenario business-as-usual jelas tidak akan mampu mendukung pengembangan inovasi
nasional. Hanya dengan melakukan perubahan secara agresif-dan-terarah (agressive and welldirected) terhadap lingkungan strategis, penguatan inovasi diharapkan akan terjadi dan
kontribusi teknologi terhadap pembangunan perekonomian dapat ditingkatkan. Perubahan
lingkungan strategis ke arah yang lebih kondusif ini perlu dimulai dari setiap komponen bangsa
di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini kemudian dituangkan dalam bentuk
regulasi yang mengikat semua pihak untuk mematuhi dan berperan aktif dalam
implementasinya.
Perubahan lingkungan strategis tersebut, termasuk:
(1) Mengubah orientasi pendidikan nasional yang diterapkan melalui kurikulum pendidikan
untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Bank Indonesia dalam Laporan Perekonomian 2006, menghitung kontribusi iptek terhadap
pertumbuhan ekonomi menggunakan proxy indikator Total Factor Productivity (TFP) dan
mendapatkan bahwa TFP Indonesia hanya sebesar 1,38 persen. Artinya sumber pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama ini masih didominasi faktor di luar teknologi, yakni modal dan
tenaga kerja (Firdausy, 2009a; Kadiman, 2009). Selanjutnya Firdausy (2009b) menyebutkan
bahwa kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi terjadi
pada periode 1991-1995, dengan TFP sebesar 4 persen. Jika kecenderungan yang telah
berlangsung sekitar setengah abad ini tidak diimbangi dengan upaya yang sungguh-sungguh
untuk melakukan reorientasi kebijakan pengembangan teknologi dan industri, maka
pertumbuhan perekonomian Indonesia tidak akan pernah membaik, bahkan mungkin semakin
terpuruk.

94

juga memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap permasalahan dan kebutuhan


pembangunan nasional. Relevansi dan mutu pendidikan harus menjadi tujuan utama
penyelenggaraan pendidikan pada semua strata;
(2) Perlu menggeser paradigma eksploitasi kekayaan sumberdaya alam sebagai cara cepatdan-mudah untuk meningkatkan pendapatan negara (orientasi jangka pendek), menjadi
pengelolaan sumberdaya alam yang lebih efisien dan akrab lingkungan, sehingga dalam
jangka panjang akan memberikan keuntungan ekonomi dan ekologi yang lebih maksimal
(orientasi jangka panjang);
(3) Mengubah citra produk nasional di mata konsumen dalam negeri, dengan cara
meningkatkan kualitas barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri (Made in
Indonesia) yang dibarengi dengan harga yang lebih kompetitif. Keteladanan tokoh
pemerintahan dan masyarakat dalam mendorong kecintaan dan kebanggaan atas produk
nasional merupakan salah satu cara yang diyakini efektif; dan

Pada tahun 2011 ini terjadi perkembangan yang positif, dalam upaya penguasaan dan
pemanfaatan iptek. Dengan diluncurkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pembangunan perekonomian tidak lagi dilakukan
dengan pendekatan yang bersifat Business as Not Usual. Semangat perubahan pendekatan
pembangunan perekonomian tersebut tercermin dari: [1] MP3EI mengedepankan terobosan
kebijakan dan strategi, dimana titik berat pendekatan terletak pada solusi, bukan pada masalah
yang dihadapi; [2] MP3EI menitikberatkan pada percepatan transformasi ekonomi melalui
peningkatan nilai tambah (value added), mendorong investasi, mengintegrasikan sektor dan
regional, serta memfasilitasi percepatan investasi swasta sesuai kebutuhannya; dan [3] MP3EI
mengakomodir masukan dan pendapat dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku
usaha dan pemerintah daerah. Untuk itu, tiga strategi utama dikembangkan dalam pelaksanaan
MP3EI, yaitu: [1] pengembangan potensi ekonomi pada enam koridor pembangunan, dengan
cara mendorong investasi BUMN, swasta nasional, dan Foreign Direct Investment (FDI) pada 22
kegiatan ekonomi utama; [2] memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana
aksi untuk revitalisasi kinerja sektor riil; dan [3] pengembangan center of excellence di setiap
koridor ekonomi, yang didorong melalui pengembangan SDM dan iptek yang sesuai untuk
peningkatan daya saing.
Untuk melaksanakan MP3EI yang didasarkan pada Perpres No. 32 Tahun 2011, dibentuk pula
Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). Dalam struktur
KP3EI ini terdapat tiga Kelompok Kerja, yakni: [1] Pokja Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi, [2]
Pokja Percepatan Pembangunan Infrastruktur, dan [3] Pokja SDM dan Iptek. Keberadaan Pokja
SDM dan Iptek ini membuka peluang bagi Kementerian Riset dan Teknologi, dan unsur
kelembagaan iptek di perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, maupun di
lembaga lainnya di badan usaha, masyarakat, dan lembaga penunjang lainnya untuk secara

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(4) Menerbitkan regulasi yang lebih favorable untuk pengembangan teknologi nasional dan
untuk mendukung peningkatan market share produk nasional di pasar domestik.

95

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

lebih signifikan dapat berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian Indonesia. Secara


teknis operasional, ini berarti upaya penguatan inovasi nasional di Indonesia mendapat pijakan
yang lebih mantap.

96

Bab 5
Jangkauan, Arah Pengaturan, dan
Ruang Lingkup Materi Muatan RUU
Perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002
Sangat mudah untuk menyatakan bahwa pengembangan sistem inovasi nasional (SINas)
merupakan upaya mendorong peningkatan inovasi secara nasional agar secara nyata
memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan perekonomian dan peningkatan
kesejahteraan rakyat. Namun persoalannya adalah bagaimana cara untuk mewujudkannya di
Indonesia. Untuk itu akan diuraikan dalam bab ini mengenai arah dan jangkauan kebijakan
penguatan inovasi nasional, serta ruang lingkup materi muatan rancangan undang-undang
tentang perubahan UU No. 18 Tahun 2002.

Di negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, kebijakan inovasi nasional umumnya telah
dipublikasikan secara luas. Strategi keberhasilan negara-negara tertentu, sering menjadi
reference utama dalam pengembangan kebijakan inovasi. Namun demikian upaya untuk
mengadopsi secara langsung konsepsi inovasi nasional di negara yang secara ekonomi lebih
berhasil untuk diterapkan di negara lainnya seringkali mengalami kegagalan. Demikian halnya,
mengabaikan fakta adanya perbedaan yang tajam antara negara yang dicontoh dengan realita
di Indonesia.
Pejabat negara dan kadang juga akademisi yang (dianggap) pakar di bidang penguatan inovasi
juga ikut melakukan upaya adopsi langsung ini tanpa melakukan analisis yang mendalam
mengapa pengembangan konsepsi inovasi tertentu berhasil memajukan perekonomian di
negara asalnya. Kalaupun dilakukan analisis, maka seringkali pengembangan inovasi dianalisis
secara terisolir, tercerabut dari ekosistem dimana sistem inovasi nasional (SINas) mampu unjuk
kinerja dengan sangat baik.
Pengembangan SINas tidak hanya merupakan sekumpulan aktor. Sekumpulan aktor SINas yang
hebat, baik yang berperan sebagai pengembang maupun pengguna teknologi yang dimiliki
suatu negara, belum menjamin bahwa negara yang bersangkutan akan secara otomatis
memiliki SINas yang produktif dan berkelanjutan. Kehandalan SINas sebagai sebuah sistem
lebih ditentukan oleh intensitas dan efektivitas interaksi antara aktor-aktor utamanya,
dukungan dari berbagai aktor pendukungnya, dan kondusivitas ekosistem tempat tumbuhkembangnya. Secara praktis, kehandalan SINas sesungguhnya ditentukan oleh kelancaran aliran

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5.1. Arah dan Jangkauan Pengaturan Penguatan Inovasi Nasional

97

informasi kebutuhan (demand) dari para aktor pengguna ke pengembang teknologi, yang
diimbangi dengan kelancaran pasokan teknologi yang relevan dari aktor pengembang ke
pengguna teknologi.
Secara komprehensif, SINas merupakan sistem yang kompleks. Walaupun untuk simplifikasi
dalam analisisnya unsur-unsur SINas dapat diurai lepas satu per satu, namun analisis hanya
akan sahih jika masing-masing unsurnya tersebut selalu dilihat dari perpektif keterkaitannya
dengan unsur SINas lainnya. Alur keterkaitan SINas dengan komponen pembentuk
ekosistemnya dapat dilihat pada Gambar 6.

POTENSI SUMBERDAYA
EKONOMI
[Tangible Factors]
Sumberdaya Alam
Sumberdaya Manusia
Infrastruktur

POTENSI SOSIO-KULTURAL

[Intangible Factors]
Ideologi
Politik
Tata Kepemerintahan
Budaya Kerja

PERAN POKOK PEMERINTAH


Memformulasikan kebijakan pendukung
SINas berbasis pada Potensi Sumber
daya Ekonomi dan Potensi SosioKultural dalam rangka penyiapan
Panggung SINas, terutama kebijakan:
Perekonomian makro, keuangan, dan
perpajakan
Perindustrian dan Perdagangan
Riset dan Pengembangan Teknologi
Ketenagakerjaan
Pendidikan Nasional
Infrastruktur Sosial
Tata Kepemerintahan

PENGEMBANG
TEKNOLOGI
Perguruan Tinggi
Lembaga R&D
Pemerintah
Lembaga R&D Swasta

PENGGUNA
PASAR
TEKNOLOGI
Domestik
Industri /
Global
Bisnis
Masyarakat
Pemerintah Barang/Jasa

LEMBAGA
INTERMEDIASI

Permintaan

PANGGUNG SINAS
Fasiltas Komunikasi & Interaksi
Regulasi yang Kondusif
Dukungan & Insentif Finansial

Upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif dalam mendukung pembangunan
perekonomian membutuhkan peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang
kondusif bagi tumbuh kembang SINas tersebut. Tugas utama pemerintah adalah menyiapkan
panggung untuk pengembangan SINas agar para aktor inovasi secara nyaman dapat
memainkan peranannya masing-masing.
Panggung SINas sebagai konsepsi dapat diaktualisasikan dalam bentuk: [1] fasilitas untuk para
aktor berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, [2] regulasi yang memungkinkan para
aktor untuk memformulasikan dan mengimplementasikan upaya bersama dalam meningkatkan
produktivitas, dan [3] dukungan dan/atau insentif finansial yang menjadi perangsang bagi para
aktor untuk bersama-sama membangun dan memperkuat inovasi nasional. Panggung SINas
yang ideal tidak mungkin dapat disiapkan oleh pemerintah tanpa didahului dengan formulasi
kebijakan di berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Kebijakan yang terkait
secara langsung dan diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja SINas adalah kebijakan
ekonomi makro, keuangan, dan perpajakan; kebijakan perindustrian dan perdagangan;
kebijakan riset dan pengembangan teknologi; kebijakan ketenagakerjaan; kebijakan pendidikan
nasional; kebijakan penyediaan infrastruktur sosial; dan kebijakan dalam rangka mewujudkan
tata kepemerintahan yang baik (good governance).
Kebijakan tersebut selain harus selaras dengan upaya mewujudkan SINas, juga harus berbasis
pada potensi sumberdaya ekonomi dan potensi sosial budaya yang dimiliki Indonesia.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 6. Peran Pemerintah dalam menyiapkan panggung Sistem Inovasi Indonesia

98

Kebijakan yang tidak mengakar pada potensi dan kondisi sendiri akan lebih susah untuk secara
efektif diimplementasikan. Dengan demikian tugas pokok pemerintah yang paling krusial
adalah mensinkronisasikan antara potensi ekonomi dan non-ekonomi yang dimiliki Indonesia
dalam rangka menyiapkan panggung SINas yang nyaman bagi para aktor untuk unjuk kinerja
melalui kebijakan dan regulasi yang kondusif.
Kinerja aktor-aktor SINas pada akhirnya akan terindikasi dari kemampuan nasional dalam
memenuhi permintaan pasar (utamanya pasar domestik), baik berupa barang maupun jasa.
Oleh sebab itu, peran pemerintah tidak hanya penting dalam rangka menyiapkan panggung
SINas, tetapi juga penting perannya dalam mengawal agar pengembangan teknologi dan
aplikasinya oleh industri (sebagai pihak penggunanya) lebih berorientasi pada pemenuhan
permintaan pasar domestik.27

Sebagai sebuah sistem, pengembangan inovasi nasional tidak dapat dipandang hanya sebagai
kumpulan dari lembaga, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya aliran informasi dan
produk iptek yang lancar antar-lembaga. Keberadaan aktor atau kelembagaan pengembang
dan pengguna teknologi, serta upaya fasilitasi, intermediasi, dan regulasi pemerintah belum
menjamin bahwa sistem inovasi sudah terbangun atau pasti akan berjalan. Pada saat ini
sesungguhnya para aktor dan lembaga-lembaga tersebut sudah ada, tetapi interaksi dan
komunikasinya belum intensif dan produktif. Ini yang menjadi persoalan pokok saat ini.
Pengembang teknologi (termasuk perguruan tinggi) melakukan kegiatan riset tanpa
mempertimbangkan relevansinya dengan kebutuhan pengguna; sebaliknya pengguna teknologi
belum mau mengadopsi teknologi dalam negeri karena berbagai alasan, antara lain karena
tidak relevan dengan kebutuhan, belum cukup handal secara teknis, tidak sesuai dengan
kapasitas adopsi pengguna, dan/atau belum kompetitif secara ekonomi.
Untuk memperbesar peluang terwujudnya sistem inovasi, maka para pengguna teknologi harus
terbuka untuk berbagi informasi tentang kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang
dihadapi; sebaliknya juga pihak pengembang teknologi harus peka terhadap kebutuhan dan
persoalan nyata yang berkembang dan umumnya bersifat dinamis. Teknologi yang
dikembangkan selain harus relevan dengan kebutuhan pengguna, juga harus sesuai dengan
kapasitas adopsi pengguna potensialnya, baik kapasitas adopsinya secara teknis, ekonomi, dan
sosiokultural (Gambar 7).

27

Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada beberapa kesempatan.
Berbagai negara, juga melihat populasi Indonesia yang besar, lebih dari 237 juta jiwa (BPS, 2010) juga
merupakan pasar yang sangat potensial.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5.1.1. Membangun Inovasi sebagai Sistem

99

Dalam konteks pengembangan SINas, maka mutlak perlu terjadi aliran informasi kebutuhan
iptek dan persoalan nyata yang membutuhkan solusi iptek dari pihak pengguna ke pihak
pengembang iptek. Prasyarat agar aliran ini terjadi adalah [1] keterbukaan atau keinginan dari
pihak pengguna untuk berbagi informasi dan [2] sensitivitas pihak pengembang iptek dalam
menangkap sinyal kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang dihadapi pihak pengguna
iptek. Keyakinan pihak pengguna atas kapasitas lembaga pengembang iptek dalam
menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang sesuai kebutuhan, handal secara teknis, dan
kompetitif secara ekonomi akan menjadi pemicu terjadinya aliran informasi dimaksud. Jika
saat ini aliran tersebut masih tersendat, maka adalah bijak jika kedua belah pihak melakukan
swa-evaluasi (self assessment), mencermati tentang apa yang perlu dibenahi di wilayah peran
masing-masing. Lembaga litbang dan lembaga pengguna teknologi perlu melakukan
pembenahan.
Lembaga litbang sebagai pengembang iptek perlu: [1] mengevaluasi kembali tentang kesesuaian
orientasi pengembangan iptek dengan kebutuhan rakyat dan negara (isu relevansi riset); dan [2]
meningkatkan pemaham tentang kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi rakyat dan negara (isu
sensitivitas pelaku pengembang iptek); sebaliknya lembaga pengguna teknologi perlu meningkatkan
kapasitas adopsinya dan kesediaannya dalam berbagi informasi kebutuhan dan persoalan terkait
dengan teknologi. Perlu selalu diyakini bahwa iptek hanya akan berkontribusi terhadap pembangunan
nasional, apabila iptek digunakan dan nyata bermanfaat, baik manfaat ekonomi maupun non-ekonomi.
Prasyarat agar aliran teknologi ini terjadi adalah: [1] teknologi yang dikembangkan dan ditawarkan oleh
lembaga litbang relevan dengan kebutuhan pengguna; [2] teknologi yang ditawarkan sepadan dengan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 7. Konsepsi Dasar Sistem Inovasi Nasional (Lakitan, 2010)

100

kapasitas adopsi (calon) pengguna potensialnya; dan [3] penggunaan iptek tersebut mempunyai
prospek keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan iptek serupa yang sudah tersedia.
Pada fase awal (seperti kondisi saat ini), menggerakkan aliran dua-arah ini akan membutuhkan daya
yang besar dan upaya yang intensif. Oleh sebab itu, butuh peran dan komitmen yang sungguh-sungguh
dari Pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sebagai fasilitator, intermediator, dan
regulator agar suasana yang kondusif dapat diwujudkan, agar pengguna dan pengembang iptek
terangsang untuk mengintensifkan komunikasi dan interaksinya.

Secara hakiki, sistem inovasi hanya akan terwujud jika terjadi komunikasi dan interaksi antara
aktor atau lembaga pengembang dengan pengguna teknologi, terbukti dengan adanya aliran
informasi kebutuhan teknologi dan informasi tentang persoalan nyata yang dihadapi oleh pihak
pengguna dalam melakukan proses produksi barang dan/atau jasa sesuai dengan permintaan
konsumen, serta sebaliknya juga terjadi adopsi teknologi yang dihasilkan oleh pihak
pengembang oleh pihak pengguna. Kesinambungan aliran dua arah ini yang menjadi indikator
eksistensi sistem inovasi, pada jenjang nasional, daerah, maupun kawasan ekonomi tertentu.

Pada saat ini, ada tiga kapasitas yang sangat mendasar yang perlu dimiliki oleh setiap lembaga
pengembang teknologi, yakni: [1] kapasitas untuk menyerap iptek yang berasal dari luar
(sourcing capacity); [2] kapasitas untuk melakukan riset dan pengembangan iptek (R&D
capacity); dan [3] kapasitas untuk mendiseminasikan pengetahuan dan teknologi yang
dihasilkan (disseminating capacity)(Gambar 8).
Kapasitas outsourcing lembaga pengembang teknologi terindikasi antara lain dari aksesibilitas
ke berbagai sumber informasi iptek, tidak terjadi tumpang tindih riset yang dilakukan dengan
riset yang (telah) dilakukan di tempat lain, dan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam
menghasilkan iptek yang bermanfaat. Kapasitas riset dan pengembangan tercermin dari
kualitas riset dan iptek yang dihasilkan, relevansi teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan
nyata para pengguna, dan produktivitas lembaga dalam menghasilkan teknologi per satuan
sumberdaya dan/atau biaya yang dikelola.
Sedangkan kapasitas diseminasi terlihat dari intensitas dan jangkauan publikasi kegiatan riset
yang dilakukan dan iptek yang dihasilkan baik melalui media cetak maupun elektronik,
kuantitas dan kualitas iptek yang diadopsi oleh pihak pengguna, dan royalti yang diterima oleh
lembaga atas produk teknologinya yang berhasil dikomersialisasikan. Contoh indikator kinerja
lembaga litbang berbasis pada tiga kapasitas pokoknya, disajikan pada Tabel 7.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5.1.2. Revitalisasi Lembaga Pengembang Teknologi

101

Tabel 7. Tiga kapasitas lembaga litbang dan contoh indikator kinerjanya

Kapasitas Pokok
Kapasitas Outsourcing

Kapasitas Litbang

Kapasitas Diseminasi

Contoh Indikator Kinerja


Akses ke sumber informasi iptek
Tidak terjadi tumpang tindih dan replikasi riset
Efisiensi pemanfaatan sumberdaya
Jaringan kemitraan
Kualitas hasil litbang
Relevansi dengan kebutuhan/persoalan nyata
Produktivitas kelembagaan
Situs dan frekuensi pemutakhiran informasi
Publikasi ilmiah
Hasil riset yang dimanfaatkan pengguna
Royalti yang diterima

Pada era inovasi yang terbuka ini, ketiga jenis kapasitas ini secara paralel dikembangkan dalam
sebuah sistem yang terintegrasi. Strategi revitalisasi lembaga pengembang teknologi dikemas
secara komprehensif dan integratif, tidak secara partial maupun tersegmentasi. Ukuran
keberhasilan dan pilihan indikator yang digunakan dalam melakukan evaluasi kinerja lembaga

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 8. Tiga kapasitas yang harus dimilik lembaga litbang (Lakitan, 2011a)

102

pengembang teknologi perlu dikonstruksi secara cermat. Peringatan dari Loikkanen et al.
(2009) perlu mendapat perhatian: Although useful in benchmarking of country performances,
S&T indicators, if poorly constructed, can convey misleading policy messages.

Peringatan dan nasehat seperti ini perlu secara serius diperhatikan oleh para pengelola
lembaga pengembang teknologi di Indonesia, karena kasus abuse indikator STI (dan data
statistik lainnya) bukan merupakan kejadian langka di Indonesia. Cara yang bijak adalah pahami
secara komprehensif dan mendalam tentang lembaga pengembang teknologi Indonesia saat ini
dan ekspektasi peran lembaga ini yang ideal di masa yang akan datang, baru kemudian memilih
indikator yang pas untuk mengevaluasi kemajuan yang dicapai secara berkala dengan interval
waktu yang rasional, sepanjang kurun waktu yang dibutuhkan untuk proses transformasi dari
kondisi saat ini menjadi lembaga ideal yang diharapkan.
Revitalisasi lembaga pengembang teknologi diyakini akan menempuh tiga langkah penting,
yakni: [1] merumuskan kembali tujuan dan menetapkan sasaran yang ingin dicapai; [2]
melakukan reformasi struktural agar organisasi lembaga dapat menjadi kendaraan yang efektif
untuk mencapai tujuan; dan [3] mengubah mindset dan budaya kerja komunitas pengembang
teknologi. Lembaga pengembang teknologi di Indonesia juga perlu melakukan reformasi, agar
transfer/difusi iptek dapat berjalan lebih lancar. Langkah pertama dan kedua relatif tidak sulit
untuk dilakukan, maka langkah ketiga, yakni mengubah mindset dan budaya kerja individu
peneliti dan komunitas pengembang litbang, akan menjadi tantangan dan ujian yang paling
sulit tetapi mutlak harus dilakukan. Keberhasilan pada dua langkah pertama akan sia-sia jika
langkah ketiga ini tidak berhasil dilaksanakan. Boardman (2009) mengirimkan sinyal tentang
tantangan yang sulit ini: [There is] a fundamental management task of aligning individual
behaviors with [research] center goals and objectives. Apalagi individu-individu dalam
komunitas pengembang teknologi selama ini terbiasa dan lebih nyaman berkerja secara
individual dibandingkan sebagai bagian dari kelompok atau komunitas yang lebih besar.
Lembaga pengembang teknologi saat ini merupakan bagian integral dari sistem yang lebih
besar, yakni SINas. Oleh sebab itu, visi dan misi, serta tujuan dan sasarannya perlu disesuaikan.
Rencana strategis dan rencana aksi lembaga perlu ditinjau ulang. Kegiatan riset yang cenderung
untuk prestasi akademik semata, atau yang hanya bersifat sebagai academic exercise, perlu

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Indikator kinerja yang dikembangkan dan telah digunakan oleh lembaga internasional dengan
reputasi baik serta telah diadopsi oleh berbagai negara, dapat dijadikan sebagai referensi.
Namun demikian tetap perlu dicermati, karena tidak secara otomatis menjamin indikator
tersebut merupakan indikator yang paling pas untuk kondisi dan kepentingan Indonesia saat
ini. Dalam penggunaan indikator ini, sangat bijaksana nasehat yang dikemukakan oleh seorang
tokoh inovasi dunia yang berkerja puluhan tahun untuk lembaga internasional ternama dalam
mengembangkan indikator ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (STI) berikut ini: On the
basis of 40 years of indicators work, we argue that frontiers and characteristics of STI indicators
that were important last century may no longer be so relevant today and indeed may even be
positively misleading (Freeman and Soete, 2009).

103

digeser prioritasnya untuk mendahulukan kegiatan riset untuk menghasilkan iptek yang sesuai
dengan kebutuhan nyata. Pembiayaan kegiatan pengembangan teknologi sudah saatnya
diperlakukan sebagai bagian dari investasi. Kegiatan pengembangan teknologi dalam jangka
panjang harus memberikan keuntungan yang sebanding dengan pembiayaannya. Keuntungan
yang dimaksud tidak selalu dalam bentuk keuntungan ekonomi, tetapi dapat dalam bentuk
non-ekonomi, misalnya penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih, turunnya tingkat
kriminalitas atau tumbuhnya rasa aman, meningkatnya rasa bangga sebagai warga negara,
kerukunan umat beragama, dan bentuk keuntungan sosial dan spiritual lainnya. Namun
demikian, sejak awal kegiatan pengembangan teknologi harus mempunyai orientasi yang jelas,
yakni untuk menghasilkan iptek yang bermanfaat bagi umat maupun negara. Perspektif ini yang
menjadi ruh pengembangan teknologi berbasis realita kebutuhan (demand-driven).
Kecenderungan global saat ini sangat kentara mengarah pada pengembangan teknologi
berbasis kebutuhan, walaupun banyak ragam istilah yang digunakan, misalnya market-driven,
goal-oriented research, mission-driven, issue-driven, need-driven, evidence-based, atau
challenge-driven. Ragam istilah pendekatan pengembangan teknologi ini pada esensinya adalah
kurang-lebih sama.

Konsepsi peningkatan kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna berpeluang untuk


diterapkan jika dibangun berdasarkan realita posisi saat ini. Pemahaman yang tepat tentang
akar persoalan yang menyebabkan lembaga pengguna teknologi Indonesia berada pada posisi
saat ini akan sangat membantu. Untuk itu perlu kejelian dalam mengidentifikasi akar persoalan
(fundamental problems), agar tidak terkecoh oleh gejala simptomatis (symptomatical
problems) yang mungkin tertangkap pada kesan pertama. Jika konsepsi hanya menyentuh
persoalan simptomatis, maka konsepsi tersebut tidak akan mampu menjadi solusi mendasar
bagi upaya meningkatkan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi sebagaimana yang
diniatkan. Jika hanya gejala simptomatis yang mampu dikenali, maka konsepsi yang
dikembangkan mungkin kelihatannya bagus tetapi sangat mungkin akan mengecewakan karena
ternyata tidak mampu memberikan solusi sebagaimana yang diharapkan.
Hipotesis untuk kondisi saat ini adalah: [1] kapasitas adopsi lembaga-lembaga pengguna
teknologi di Indonesia saat ini masih sangat rendah, yang disebabkan oleh mutu potensi
internal yang rendah dan motivasi yang kurang; dan [2] peningkatan kapasitas adopsi teknologi
terkendala oleh ekosistem yang kurang kondusif, terutama dari regulasi dan insentif yang
belum optimal. Upaya penguatan kapasitas adopsi lembaga pengguna perlu memperhatikan:
[1] potensi internal (sumberdaya manusia, kemampuan pembiayaan, sarana dan prasarana
pendukung) lembaga-lembaga pengguna teknologi sangat minimal, selain itu juga kebijakan
internal lembaga masih belum memberikan prioritas untuk peningkatan kapasitas adopsi,
akibatnya motivasi untuk melakukan upaya peningkatan tersebut juga tidak tumbuh; dan [2]
unsur-unsur ekosistem eksternal yang kurang kondusif, terutama karena regulasi yang kurang

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5.1.3. Peningkatan Kapasitas Adopsi Lembaga Pengguna Teknologi

104

mendukung atau sebagian sudah mendukung namun implementasinya masih terkendala, selain
juga fasilitasi dan intermediasi yang masih belum optimal, serta program-program insentif yang
ada masih kurang efektif dan/atau kurang menarik bagi lembaga pengguna (Gambar 9).

Gambar 9. Kerangka dasar konsepsi peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi

Berbeda dengan industri yang mengadopsi teknologi untuk diaplikasikan dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang dibutuhkan konsumen, lembaga pemerintah mengadopsi teknologi
untuk digunakan dalam menjalankan tugas negara/pemerintahan. Posisi ini cenderung sebagai
konsumen akhir dari teknologi atau produk teknologi yang diakuisisi, misalnya dalam konteks
teknologi pertahanan dan keamanan. Sebagaimana industri, lembaga pemerintah yang
berperan sebagai lembaga pengguna teknologi juga harus diperkuat kapasitas litbangnya.
Lembaga ini tidak hanya mampu menggunakan produk teknologi yang dibeli atau diakuisisi,
tetapi juga mampu untuk melakukan asimilasi dan reformulasi teknologi agar lebih sesuai
dengan kebutuhan spesifiknya dan/atau untuk meningkatkan kehandalan produk teknologi
tersebut. Minimal mampu melakukan pemeliharaan (maintenance), sehingga mengurangi

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Realita saat ini menumbuhkan keyakinan bahwa untuk mengoptimalkan kemampuan lembaga
pengguna dalam mengadopsi teknologi yang paling krusial adalah melakukan pembenahan
internal lembaga. Pembenahan ini mencakup, terutama penguatan sumberdaya (manusia,
sarana, prasarana, dan dana) untuk mendukung aktivitas litbang pada lembaga pengguna, atau
dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah dengan melakukan penguatan kapasitas litbang
internal lembaga pengguna.

105

ketergantungan kepada pihak produsennya sebagai langkah antisipatif jika ada kendala purnajualnya. Untuk dapat melaksanakan peran ini, maka opsi utamanya adalah meningkatkan
kualitas dan relevansi keahlian sumberdaya manusia yang bekerja pada masing-masing
lembaga pengguna tersebut, diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dan dukungan anggaran yang mencukupi.
Di era informasi terbuka ini, lembaga pengguna juga diharapkan tidak hanya mampu
mengaplikasikan teknologi, tetapi juga mampu secara proaktif mengenali jenis dan
mengidentifikasi sumber teknologi yang maju, handal, dan relevan dengan kebutuhan
lembaganya, serta siap secara seutuhnya untuk mengadopsi teknologi tersebut, baik yang
berasal dari luar maupun dari dalam negeri, termasuk juga melalui spillover investasi asing.

Upaya penguatan kapasitas adopsi masyarakat sebagai pengguna teknologi perlu pendekatan
yang berbeda. Mungkin saja organisasi atau asosiasi masyarakat yang memayungi individuindividu pengguna teknologi, namun lembaga masyarakat tersebut tidak bersifat struktural
sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai entitas yang setara dengan lembaga pengguna
sebagaimana pada industri dan pemerintahan. Dengan kata lain, individu-individu masyarakat
lebih pas jika diperlakukan secara independen, misalnya petani, nelayan, peternak, seniman,
dan lain-lain. Namun perlu pula ditegaskan bahwa industri mikro atau kecil tradisional tetap
harus dikategorikan sebagai satu entitas industri, terlepas dari jumlah karyawannya yang
mungkin sangat sedikit. Kapasitas adopsi individu masyarakat dengan demikian akan
tergantung pada kapasitas intelektual, kemampuan manajerial, motivasi, naluri bisnis, dan
kualitas personal lainnya. Namun demikian, agar upaya meningkatkan kapasitas adopsi individu
masyarakat ini dapat dilakukan secara lebih praktis, rasional, dan efisien; pelaksanaannya dapat
saja dilakukan secara kolektif pada komunitas pengguna dengan kebutuhan jenis teknologi,
bidang usaha, dan skala usaha yang setara.
Memahami karateristik masing-masing pengguna teknologi yang berbeda (antara industri,
lembaga pemerintah, dan individu masyarakat), dibutuhkan pendekatan dan strategi yang
berbeda untuk masing-masing kelompok pengguna tersebut, walaupun tujuannya adalah sama,
yakni untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi. Ada empat faktor eksternal yang secara
langsung mempengaruhi kapasitas adopsi teknologi. Dua faktor bersifat mendorong (pushing
factors) lembaga pengguna untuk meningkatkan kapasitas adopsinya, yakni regulasi dan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dalam rangka memaksimalkan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi, maka perlu
upaya sungguh-sungguh untuk: [1] meningkatkan kualitas dan relevansi keahlian dan/atau
ketrampilan sumberdaya manusia, terutama untuk yang secara langsung melaksanakan
tugasnya terkait adopsi dan pengembangan teknologi; [2] memberikan dukungan fasilitas dan
pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan adopsi dan pengembangan teknologi; [3]
menyepakati dan menjalankan secara konsisten kebijakan internal lembaga pengguna untuk
memprioritaskan adopsi dan pengembangan teknologi; dan [4] melakukan upaya institusional
yang dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi karyawan dalam meningkatkan peran aktifnya
dalam proses adopsi dan pengembangan teknologi, misalnya insentif yang pantas untuk
kontribusi atau prestasi yang dicapai.

106

Gambar 10. Faktor eksternal yang mempengaruhi kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi

Regulasi yang tepat akan mendorong lembaga pengguna untuk meningkatkan kemampuan
internalnya yang berkaitan langsung dengan kapasitas adopsi teknologi, misalnya peningkatan
kualitas sumberdaya manusia; sedangkan adanya kompetitor tentu akan menjadi faktor
pendorong lainnya bagi lembaga pengguna untuk antara lain meningkatkan aktivitas serta
fasilitas riset in-house. Prinsip dasarnya dalam era informasi terbuka ini, semua pihak bisa
mendapatkan informasi tentang ketersediaan teknologi dan berpeluang untuk mengadopsinya,
tetapi hanya lembaga pengguna yang siap yang mampu melakukan proses adopsi tersebut
secara efektif dan efisien, serta mampu mengadaptasi teknologi tersebut agar lebih sesuai
dengan kebutuhannya dan mampu memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari adopsi
teknologi tersebut.
Adanya permintaan pasar yang nyata dan signifikan, serta ketersediaan sumberdaya (bahan
baku, tenaga kerja, kepakaran, fasilitas dan infrastruktur pendukung) akan menumbuhkan
motivasi dan menjadi pemicu untuk meningkatkan kapasitas adopsi teknologi yang dibutuhkan
lembaga pengguna untuk mengelola sumberdaya tersebut. Secara ringkas, potret kapasitas

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

adanya kompetisi antara lembaga pengguna; sedangkan dua faktor lagi bersifat menarik
(pulling factors), yakni adanya permintaan pasar dan ketersediaan sumberdaya yang
dibutuhkan (Gambar 10).

107

adopsi yang ideal untuk lembaga pengguna teknologi adalah jika memiliki kemampuan untuk
mengenali teknologi sesuai dengan kebutuhannya, menyerap dan mengasimilasikan teknologi
tersebut, memformulasikan teknologi yang aplikatif sesuai kemampuan dan kebutuhannya,
serta mengaplikasikannya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang diembannya, atau
sesuai dengan core business-nya.
Ada beberapa catatan penting terkait dengan kapasitas adopsi yang ideal bagi lembaga
pengguna teknologi, yakni:
[1] Kapasitas internal lembaga sangat krusial untuk dibangun, oleh sebab itu perlu melakukan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama tetapi tidak terbatas pada
sumberdaya manusia yang ditugaskan pada atau terkait langsung dengan unit yang
menangani adopsi, adaptasi, dan pengembangan teknologi;
[2] Perlu dukungan yang optimal untuk aktivitas dan penyediaan fasilitas riset in-house, karena
akan secara nyata berdampak positif pada kapasitas adopsi, adaptasi, dan pengembangan
teknologi;

[4] Perlu regulasi dan kebijakan yang kondusif untuk membuka peluang mobilisasi
sumberdaya manusia antar-lembaga inovasi, sehingga dapat memperbesar peluang untuk
terjadinya aliran atau limpasan (spillover) teknologi yang diserap oleh lembaga pengguna;
[5] Keberadaan lembaga pengguna dalam suatu klaster inovasi tidak menjamin akan efektif
dalam mengadopsi teknologi yang tersedia, namun jika kapasitas adopsinya sudah berada
pada jenjang yang ideal maka keberadaannya dalam klaster inovasi akan memperbesar
peluangnya untuk mengadopsi teknologi tersedia yang sesuai dengan kebutuhannya; dan
[6] Kapasitas adopsi lembaga pengguna perlu secara paralel dibangun bersama dengan
kemampuan lembaga pengembang untuk menghasilkan teknologi yang relevan dalam
rangka mewujudkan sistem inovasi, baik pada tingkat nasional maupun pada jenjang yang
lebih terbatas wilayah cakupannya.

5.1.4. Peningkatan Peran Lembaga Intermediasi


Ketidakpaduan antara teknologi yang dihasilkan lembaga pengembang dengan kebutuhan
pengguna dan rendahnya kebutuhan serta kapasitas adopsi teknologi lembaga pengguna
merupakan kenyataan yang menjadi justifikasi: [1] kebutuhan akan lembaga intermediasi,
tetapi juga sekaligus [2] menjadikan lembaga intermediasi yang sudah ada sulit untuk
menjalankan perannya.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

[3] Regulasi dan kompetisi menjadi faktor pendorong (pushing factors) yang efektif;
sedangkan permintaan pasar dan potensi sumberdaya dapat menjadi faktor penarik
(pulling factors) yang atraktif bagi lembaga pengguna untuk meningkatkan kapasitas
adopsinya;

108

Gambar 11. Peran Ganda Lembaga Intermediasi

Peran intermediasi ini dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Pada saat ini, lembaga intermediasi yang ada pada dasarnya diinisiasi oleh
pemerintah tetapi kemudian dikelola oleh lembaga pemerintah itu sendiri atau personel yang
bukan pegawai pemerintah. Minat pihak swasta untuk berperan sebagai intermediator masih
rendah dan belum akan tumbuh jika teknologi yang dihasilkan pengembang belum mempunyai
nilai jual yang baik atau jika relevansi antara teknologi yang dikembangkan masih senjang
dengan kebutuhan pengguna.
Sebagai contoh lembaga mediasi adalah Sentra HKI dan Business Innovation Center (BIC).
Menurut UU No. 18 Tahun 2002, Sentra HKI adalah unit kerja yang berfungsi mengelola dan
mendayagunakan kekayaan intelektual, sekaligus sebagai pusat informasi dan pelayanan HKI.
Dengan adanya Sentra HKI diharapkan perguruan tinggi dan lembaga litbang dapat
mengembangkan unit organisasi dan prosedur untuk mengelola semua kekayaan intelektual
dan informasi iptek yang dimilikinya. Jumlah Sentra HKI saat ini mencapai 79 buah, sejak
digagas Kementerian Riset dan Teknologi pada 1999. Namun sebagian besar menghadapi
permasalahan lemahnya kemampuan di bidang manajemen HKI, termasuk kemampuan
menyelenggarakan kegiatan komersialisasi secara profesional yang didukung aspek legal.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lembaga intermediasi yang ada saat ini masih terlalu fokus pada upaya memasarkan teknologi
yang dihasilkan oleh lembaga pengembang, belum banyak berperan dalam membantu
mengidentifikasi kebutuhan atau persoalan yang dihadapi pengguna dan mengalirkan informasi
tersebut kepada lembaga pengembang teknologi. Oleh sebab itu, peran lembaga intermediasi
perlu didorong agar dapat berperan ganda tersebut, memasarkan teknologi yang dihasilkan
pengembang dan sekaligus menjadi perpanjangan tangan pengembang untuk memahami
kebutuhan dan persoalan teknologi yang dihadapi pengguna (Gambar 11).

109

Padahal Sentra HKI harus mampu menjadi marketer atau sebagai intermediator antara pemilik
dan pengguna HKI.

BIC memberikan beberapa jenis layanan yaitu layanan umum, swasta, akademisi dan
pemerintah yang sesuai dengan fungsi dan tujuan BIC. Layanan umum mencakup kunjungan ke
perusahaan-perusahaan; menganalisa dan mengoptimalkan rangkaian nilai proses kerja,
perusahaan, pemasok, membantu mencarikan mitra kerjasama yang tepat dari kalangan iptek;
mengadakan gathering dan seminar dalam hal menjembatani ABG; memberikan secara terusmenerus informasi tentang perkembangan teknologi baru dan proses produksi;
mengidentifikasikan risiko dan mengenali potensinya; memberikan pendampingan pada
perusahaan-perusahaan yang inovatif; membuat database yang menampung informasi
mengenai proses-proses inovasi; mengatur pertukaran para pakar yang dibutuhkan dengan
keahlian tertentu; dan, mengatur pertemuan para pakar untuk dapat menjalin kerjasama.
Layanan untuk swasta/bisnis yang dilakukan BIC mencakup mempermudah proses pencarian
informasi mengenai inovasi; mempermudah pengembangan bisnis dengan penerapan inovasi;
memperluas hubungan dengan pemerintah dan akademisi; menghubungkan para pelaku bisnis
dalm hal mendapatkan insentif yang diberikan oleh pemerintah; memberikan informasi
mengenai kajian-kajian teknologi yang sedang berlangsung; dan, menyusun agenda dan
pengaturan pertemuan dengan pusat-pusat kajian teknologi. Sedangkan layanan untuk
akademisi/teknisi adalah membantu mengembangkan produk inovasi yang sudah ada untuk di
komersialkan; membantu dalam hal finansial yang akan dibantu oleh pihak swasta/pelaku
bisnis; memberikan jaringan/network pelaku bisnis dalam hal kerjasama terhadap pihak
akademisi; memberikan pengetahuan mengenai pasar dan trend yang ada di pasar; membantu
menghubungkan kepada pihak dunia usaha dalam hal kerjasama; dan membantu melakukan
analisi terhadap pihak dunia usaha yang memiliki interest untuk berinvestasi terhadap riset
yang dilakukan. Layanan untuk pemerintah mencakup upaya mempererat hubungan
pemerintah dengan pihak swasta/bisnis dan akademisi/teknisi; memberikan dukungan
terhadap program-program pemerintah dalam hal inovasi; memajukan pengembangan
teknologi inovasi dalam skala nasional; memfasilitasi pemerintah dengan pihak swasta/bisnis
dan akademisi/teknisi; dan memfasilitasi program incentif yang dibuat oleh pemerintah.
5.1.5. Penyiapan Science and Technology Park
Kedekatan fisik atau lokasi antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi masih
dianggap penting dalam upaya menumbuhkan interaksi yang lebih intensif dan produktif,
walaupun saat ini teknologi informasi dan komunikasi sudah sangat berkembang dan juga

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Business Innovation Center atau yang disingkat BIC didirikan dengan tujuan mengoptimalkan
pemberdayaan Inovasi di Indonesia dengan tujuan meningkatkan pembangunan nasional. Misi
lembaga ini adalah mendorong inovasi business di Indonesia, melalui kegiatan intermediasi
antara inovator pengembangan teknologi dengan dunia bisnis. BIC diharapkan menjadi
lembaga intermediasi proses inovasi bisnis, untuk menciptakan nilai tambah ekonomi dan
bisnis dan daya saing nasional Indonesia.

110

menjadi lebih murah untuk sarana berkomunikasi antara personel maupun lembaga. Oleh
sebab itu, banyak negara membangun Science and Technology Park (STP) sebagai wahana
untuk mendekatkan secara fisik antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi.
Indonesia merencanakan untuk membangun Indonesian STP, yang disingkat sebagai I-STP.
Upaya membangun I-STP ini sudah mulai digarap, yakni dengan merevitalisasi kawasan Pusat
Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) di Serpong.

Pembangunan I-STP (melalui revitalisasi Puspiptek Serpong) merupakan salah satu upaya untuk
menyediakan wahana untuk meningkatan frekuensi dan intensitas interaksi antara
pengembang dan pengguna teknologi. Upaya ini diharapkan akan meningkatkan relevansi
teknologi yang dikembangkan (karena semakin memahami kebutuhan pengguna) dan sekaligus
meningkatkan kapasitas adopsi pengguna (karena peningkatan kapasitas SDM-nya dalam
mengenali dan mengaplikasikan teknologi). Peran lembaga intermediasi diharapkan dapat
mengakselerasi proses adopsi teknologi tersebut. Secara kolektif, upaya-upaya ini diharapkan
dapat mendongkrak status kesiapan teknologi Indonesia.
Aset pengetahuan (stock of knowledge) yang secara kolektif telah terakumulasi pada komunitas
pengembang teknologi di kawasan Puspiptek Serpong perlu dikelola dan dipasarkan. Untuk
tujuan ini, Kementerian Riset dan Teknologi perlu merevitalisasi lembaga-lembaga intermedia
yang sudah terbentuk, yakni Business Technology Center (BTC) dan Business Innovation Center
(BIC). Lembaga intermediasi diharapkan menjadi gerbang untuk partisipasi lembaga pengguna
teknologi, terutama industri-industri berbasis teknologi (Gambar 12).
Dinamika interaksi pengembang-intermediator-pengguna teknologi yang intensif dan produktif
akan dengan sendirinya mengundang partisipasi lembaga-lembaga penunjang lainnya,
termasuk lembaga keuangan dan lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi dan
kejuruan. Wahana I-STP diproyeksikan akan menjadi model SINas dalam rangka membangun
ekonomi Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan atau knowledge based economy (KBE).
Dengan demikian, I-STP menjadi saluran efektif bagi teknologi untuk memberikan kontribusi

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Persoalan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah rendahnya hasil riset dan teknologi
yang dikembangkan di dalam negeri yang diadopsi oleh industri atau pengguna teknologi
lainnya. Kapasitas lembaga pengembang teknologi Indonesia sesungguhnya cukup baik,
terbukti dengan posisi indeks inovasi Indonesia dalam peringkat World Economic Forum (WEF)
tahun 2010 yang berada pada posisi ke 36. Kemampuan inovasi Indonesia ini sudah setara
dengan negara-negara yang perekonomiannya sudah berbasis inovasi. Berdasarkan survei WEF
tersebut, dilaporkan bahwa kapasitas pengembangan teknologi ini ternyata belum diimbangi
dengan kesiapan pengguna teknologi untuk mengadopsinya, terbukti dengan peringkat
kesiapan teknologi (technological readiness) yang masih relatif rendah, yakni pada peringkat ke
91. Ketidak-siapan lembaga pengguna Indonesia untuk mengadopsi teknologi ini tidak
sepenuhnya merupakan resultan dari rendahnya kapasitas adopsi teknologinya, tetapi juga
merupakan akibat dari teknologi yang dikembangkan tidak relevan dengan kebutuhan lembaga
pengguna tersebut.

111

nyata terhadap peningkatan ekonomi nasional, yang jika dibangun bersama rakyat, maka akan
diyakini mampu menyejahterakan rakyat sebagaimana yang amanahkan oleh konstitusi.

Menurut UU No. 18 Tahun 2002, pemerintah maupun swasta dapat mengembangkan sarana
dan prasarana iptek, seperti kawasan iptek. Kawasan ini diharapkan dapat memfasilitasi sinergi,
pertumbuhan, dan interaksi antara perguruan tinggi, lembaga litbang, maupun badan usaha,
serta pusat peragaan iptek untuk dapat menumbuhkan budaya iptek. Untuk kondisi Indonesia,
kawasan Puspiptek Serpong, sebagai kawasan iptek sangat mungkin untuk ditransformasi
secara fisik dan fungsional menjadi STP, dengan memanfaatkan lembaga dan fasilitas
pengembangan teknologi yang sudah ada sebagai modal dasarnya. Transformasi tersebut
dapat dilakukan dengan menghadirkan lembaga intermediasi ke dalam kawasan dan
menghadirkan industri ke dalam dan/atau membangun kawasan Industrial Park (IP) yang
posisinya berdampingan dengan lahan Puspiptek. Gabungan dua kawasan ini akan membentuk
Innovation Park (STP+IP = InnoPark). Menghadirkan lembaga pendidikan tinggi, politeknik, dan
sekolah menengah kejuruan di kawasan InnoPark ini, dilengkapi dengan lembaga dan fasilitas
pendukungnya yang sepadan, akan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan inovasi mandiri
yang dapat menjadi model SINas Indonesia yang membanggakan.

5.1.6. Membangun Pusat Unggulan Inovasi


Pusat Unggulan merupakan padanan kata untuk Center of Excellence yang sudah sangat dikenal
dan digunakan tidak hanya dalam bidang iptek, tetapi juga digunakan di dunia bisnis maupun
bidang-bidang lainnya. Definisi umum tentang Pusat Unggulan adalah: an organization which is

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 12. Metamorfosis Puspiptek Menjadi I-STP

112

recognized as being successful and having an excellent reputation in its field. Dengan demikian,
Pusat Unggulan harus dikenal oleh komunitasnya, dianggap berhasil dan mempunyai reputasi
yang sangat baik di bidangnya. Tersirat dalam definisi ini adalah: [1] keberhasilan dan reputasi
tersebut bersifat relatif (dibandingkan dengan lembaga-lembaga serupa di bidang tertentu),
dan [2] keunggulan tersebut khusus pada bidangnya, dimana [3] bidang keunggulan tersebut
bersifat terbuka untuk kompetensi atau spesifikasi fungsi tertentu. Dalam konteks pilihan ini,
maka sangat tepat jika Pusat Unggulan yang difasilitasi perkembangannya oleh Kementerian
Riset dan Teknologi adalah keunggulan dalam membangun sistem inovasi. Oleh sebab itu, tepat
jika disebut sebagai Pusat Unggulan Inovasi atau Center of Excellence on Innovation. Pusat
unggulan yang akan didorong untuk tumbuh dan berkembang adalah lembaga atau konsorsium
yang konsisten dengan amanah konstitusi, kebijakan nasional, kebijakan sektoral, dan program
Kementerian Riset dan Teknologi (Gambar 13).

Gambar 13. Pengembangan Pusat Unggulan Inovasi yang Konsisten dengan Amanah Konstitusi

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Penciri lain yang digunakan untuk mendeskripsikan pusat unggulan adalah: a place where
there are very high standards of work. Maknanya, dalam melaksanakan fungsinya, sebuat
pusat unggulan harus menetapkan standar kinerja yang sangat tinggi. Untuk mencapai standar
ini, sesuai dengan kondisi awal dan sasaran yang ingin dicapai, maka ada dua opsi dalam
membangun pusat unggulan inovasi, yakni dengan format pengembangan lembaga tunggal tapi
dengan memperkaya tugas dan fungsinya, sehingga dapat secara nyata mampu mewujudkan
sistem inovasi, atau dengan membentuk konsorsium yang terdiri dari paling tidak lembaga
pengembang dan pengguna teknologi (Gambar 14).

113

Gambar 14. Pilihan Alternatif Organisasi Pusat Unggulan Inovasi

Interaksi dan komunikasi antara pengembang dan pengguna teknologi menjadi lebih baik
apabila ada wahana untuk berinteraksi, antara lain berupa konsorsium. Pemerintah sesuai
dengan fungsi dan kewenangannya diharapkan berperan aktif dalam membentuk konsorsium
ini, terutama pada fase inisiasinya. Peran pemerintah sebagai fasilitator, intermediator, dan
regulator sewajarnya akan semakin berkurang jika komunikasi dan interaksi antara
pengembang dan pengguna teknologi dalam wadah konsorsium ini telah berlangsung secara
intensif dan produktif.
Secara umum terdapat tiga asas penting dalam membangun konsorsium, yakni: [1] mempunyai
kepentingan atau tujuan bersama (shared goal atau core issue) yang jelas dan disepakati oleh
semua anggota; [2] hubungan yang dibangun harus bersifat mutualistik sebagai modal dasar
untuk memotivasi semua anggota untuk memperjuangkan kepentingan bersama; dan [3]
semua anggota sepakat untuk sharing sumberdaya sepadan dengan fungsi dan kapasitasnya
masing-masing. Setiap konsorsium yang dibentuk mempunyai tujuan bersama yang jelas,
karena ini yang menjadi komitmen awal dan mendasar bagi setiap lembaga untuk memutuskan
apakah akan ikut bergabung dalam konsorsium tersebut atau tidak. Tentu dengan
memperhatikan tugas dan fungsi lembaganya masing-masing, kapasitas lembaga sebagai
bentuk share yang dapat dikontribusikan, dan benefits yang diharapkan dapat diperoleh
dengan bergabung dalam konsorsium tersebut. Tujuan bersama dimaksud perlu disepakati dari
awal pembentukan konsorsium, karena ini merupakan dasar komitmen bersama yang penting

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5.1.7. Mendorong Pembentukan Konsorsium Inovasi

114

untuk kelangsungan eksistensi konsorsium. Kesepakatan ini sangat penting karena tujuan
bersama tersebut mungkin baru akan dicapai dalam jangka menengah atau panjang.
Hubungan antar-anggota konsorsium harus bersifat mutualistik, yakni saling menguntungkan.
Oleh sebab itu, agar sifat mutualistik ini selalu terpelihara, maka konsorsium harus dikelola
secara profesional berlandaskan asas-asas good governance, terutama harus transparan,
akuntabel, efektif, efisien, dan taat hukum. Keterjaminan sifat mutualistik tersebut akan
memotivasi semua anggota untuk memberikan kemampuannya yang terbaik dan ikut berusaha
keras untuk mencapai tujuan bersama.

Secara formal, anggota konsorsium minimal dua lembaga. Dalam konteks sistem inovasi, maka
paling tidak satu lembaga mewakili pengembang teknologi dan lembaga lainnya mewakili
pengguna teknologi. Lebih bagus jika ditambah satu lembaga lagi yang menjadi representasi
unsur pemerintah. Disamping itu, setiap konsorsium harus ada anggota yang disepakati sebagai
koordinator. Ada dua opsi dalam menghimpun anggota konsorsium, yakni: [1] dilakukan secara
terbuka dan dinamis, semua lembaga yang relevan dapat bergabung dalam konsorsium atas
persetujuan inisiator dan semua anggota yang telah bergabung (existing members); atau [2]
dilakukan secara tertutup dan bersifat statis, dimana anggota disepakati dari awal dan tidak
berubah sampai tujuan bersama dicapai.
Konsorsium merupakan sarana bersama dan bukan tujuan akhir bagi para pihak yang terlibat
sebagai anggotanya. Oleh sebab itu, walaupun mungkin butuh waktu yang relatif lama untuk
mencapai tujuan bersama, namun konsorsium pada hakikinya bersifat tidak-permanen.
Konsorsium lebih berorientasi fungsional dan terfokus pada upaya mencapai tujuan bersama
yang disepakati sejak awal pembentukannya. Sinergi fungsional merupakan asas yang menjiwai
tata kerja organisasi konsorsium. Oleh sebab itu, pola hubungan antar-anggota yang bersifat
horizontal akan lebih dominan, dimana, semua anggota diposisikan secara sejajar, sama
kedudukan, hak, serta kewajibannya (Gambar 15).

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Salah satu alasan pembentukan konsorsium adalah agar penggunaan sumberdaya (manusia,
sarana dan prasarana, dan pembiayaan) dapat dilakukan secara lebih efisien dan juga untuk
mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Dalam konteks ini, budaya sharing perlu dibangun,
karena ia menjadi jiwa dari sebuah konsorsium. Setiap konsorsium tentu memiliki beberapa
anggota. Namun jumlah anggota yang pas tentu tergantung dengan tujuan bersama yang ingin
dicapai, serta juga dipengaruhi oleh beban kegiatan dan target waktu untuk pencapaian tujuan
dimaksud. Kapasitas dan jenis kompetensi lembaga yang dibutuhkan, juga perlu masuk dalam
formula untuk penetapan jumlah anggota yang ideal. Sedangkan jumlah anggota yang terlalu
sedikit mengandung risiko akan kekurangan kapasitas dan kompetensi untuk mencapai tujuan;
sebaliknya jumlah anggota yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan ketidak-efisienan
dalam pelaksanaan pekerjaan, atau malah berpotensi kontra-produktif dan dapat saja ada free
rider yang kontribusinya tidak signifikan terhadap kinerja konsorsium.

115

Keberhasilan suatu konsorsium ditentukan beberapa faktor, yaitu: [1] mempunyai


tujuan/sasaran bersama yang jelas dan disepakati semua anggota (clear shared goal) serta
sesuai dengan realita kebutuhan atau persoalan publik (demand-driven); [2] sinergi anggota
mampu membangun kapasitas kolektif yang cukup (adequate collective capacity) untuk
mencapai tujuan/sasaran bersama; [3] mempunyai strategi pelaksanaan yang tepat dan
implementatif (implementable strategy); [4] dikoordinir oleh figur kepemimpinan yang kuat
(strong leadership) , terutama pada fase awal; dan [5] secara konsisten dikelola berdasarkan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance)(Gambar 16).

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 15. Model Konsorsium Inovasi (Lakitan, 2011b)

116

Tujuan dan target/sasaran bersama merupakan perekat utama antar-anggota dari sebuah
konsorsium. Target ini dapat saja terdiri dari beberapa sub-target, tetapi semua sub-target
tersebut harus berada dalam lingkup payung target utamanya atau berada dalam satu klaster.
Konsorsium dengan multi-sasaran, apalagi multi-tujuan, akan mudah terancam bubar. Akan
tetapi anggota suatu konsorsium dapat saja juga menjadi anggota konsorsium lain dengan
tujuan/sasaran yang berbeda. Sebaiknya suatu konsorsium terbangun dari anggota dengan
core business yang berbeda atau mempunyai jenis kompetensi yang berbeda, tetapi bersifat
komplementatif satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membangun sinergi yang secara
kolektif akan menghasilkan konsorsium dengan kapasitas lebih besar dan dengan ragam
kompetensi yang lebih banyak, sehingga mampu menjalankan misinya dengan lebih baik dan
komprehensif.
Sejalan dengan ini, pendekatan konsorsium juga direkomendasikan oleh Malherbe dan
Stanway (2010) sebagai bentuk kolaborasi yang tepat, jika anggotanya mempunyai kompetensi
inti yang beragam. Jika ada dua atau lebih anggota konsorsium dengan jenis kompetensi yang
sama, maka sangat mungkin terjadi sibling rivalry antar-anggota tersebut. Konsorsium, seperti
berbagai bentuk kolaborasi yang lainnya, perlu menyusun strategi operasional yang terencana
dengan baik, sistematis, dengan pentahapan yang logis, serta berbasis pada kapasitas kolektif
yang dimiliki, sehingga dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Konsorsium
memang bertumpu pada inter-dependensi antar-anggota, tetapi secara kolektif sebuah
konsorsium harus punya kemandirian untuk mencapai tujuan bersama. Keberlanjutan integrasi
dan viabilitas dari sebuah konsorsium selain bertumpu pada tujuan bersama yang jelas, pola

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 16. Kunci Sukses Konsorsium (Lakitan, 2011b)

117

hubungan antar-anggota yang bersifat mutualistik, juga sangat membutuhkan figur pemimpin
yang kuat dan secara de facto mampu mengelola konsorsium secara bijak. Pada fase awal
terbentuknya konsorsium, peran figur yang kuat akan sangat krusial dalam rangka membangun
chemistry yang harmonis antar-anggota dengan keragaman latar belakang kompetensi dan
budaya kerja.

Efisiensi pemanfaatan sumberdaya akan lebih maksimal jika konsorsium terdiri dari anggotaanggota dengan kompetensi yang beragam dan bersifat komplementer; sebaliknya akan sedikit
dampaknya jika kompetensi anggota relatif homogen. Apabila kompetensi anggotanya sama,
maka yang terjadi bukan sinergi fungsional yang mutualistik, tetapi hanya akan merupakan
proses scale-up (memperbesar volume output) saja. Selain itu, tidak cukup kuat faktor
pendorong bagi anggota untuk berinteraksi secara lebih intensif, karena tidak ada rasa saling
membutuhkan yang kuat apabila kompetensi anggota konsorsiumnya sama. Kompetensi
lembaga yang beragam sebagai anggota konsorsium juga membuka peluang untuk
membangun kapasitas kolektif yang lebih besar dan komprehensif. Dengan demikian, akan
lebih mampu untuk mengeksekusi aktivitas dengan lingkup yang lebih luas dan/atau tingkat
kompleksitas yang lebih tinggi. Selayaknya, konsorsium memang dirancang untuk menjawab
tantangan yang lebih berat, yang butuh kontribusi dari berbagai kompetensi, dan mungkin
hanya dapat diselesaikan melalui paket solusi multi-dimensi yang komprehensif.
Konsorsium sebagai wadah komunikasi dan interaksi antar-lembaga yang menjadi anggotanya,
pada dasarnya merupakan bentuk miniatur dari sistem inovasi, jika terdapat anggotanya yang
mewakili komunitas pengembang teknologi dan juga ada yang mewakili komunitas pengguna
teknologi. Dalam konteks ini, konsorsium dapat dipandang sebagai mikro-ekosistem yang
kondusif untuk mengalirkan informasi kebutuhan dari pengguna ke pengembang teknologi dan
sebaliknya aliran paket teknologi dari pengembang ke pengguna teknologi. Apabila proses
komunikasi dan interaksi antar aktor inovasi yang bernaung dalam suatu konsorsium berfungsi
sebagai ekosistem kondusif ini dapat dipertahankan selama kurun waktu yang lama, maka
secara langsung juga akan penting kontribusinya dalam mengakselerasi upaya membangun

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Namun demikian, setiap pemimpin memiliki style of leadership masing-masing, yang sangat
mungkin akan berbeda satu sama lain. Dalam jangka panjang, tentu akan perlu dilakukan
pergantian pemimpin, atau lebih tepatnya koordinator konsorsium. Pergantian ini seharusnya
tidak mempengaruhi kinerja konsorsium secara drastis. Sebagai langkah antisipasi maka perlu
disiapkan stabilisator yang ampuh, yakni berupa peraturan internal tentang tata kelola yang
disepakati semua anggota. Tata kelola yang baik tentu harus dibangun berbasis pada prinsipprinsip good governance. Konsorsium dapat memberikan manfaat antara lain: [1]
meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, serta
biaya dalam upaya mencapai tujuan; [2] membuka peluang untuk mendapatkan capaian yang
lebih besar/signifikan, yang tidak mungkin dicapai masing-masing anggota secara individual; [3]
meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi antara aktor inovasi yang menjadi modal
dasar untuk mewujudkan/memperkuat sistem inovasi.

118

budaya inovasi. Budaya inovasi nasional tidak dapat dibangun secara instan, tetapi akan melalui
proses panjang. Proses panjang ini harus diawali dengan membangun budaya inovasi pada
jenjang yang paling mikro, yakni pada lingkup sebuah konsorsium.
5.1.8. Revitalisasi Dewan Riset Nasional

Saat ini DRN memiliki kewenangan yang terbatas dan dukungan sumberdaya yang juga belum
memadai, sehingga peran dan kontribusi DRN secara nyata dalam pembangunan iptek masih
belum optimal. Untuk meningkatkan peran dan kontribusi DRN tersebut, maka perlu dilakukan
revitalisasi lembaga DRN. Secara realistis, revitalisasi DRN perlu dilakukan dalam dua fase,
yakni Fase Pertama dilakukan segera selama periode 2009-2011 untuk diimplementasikan pada
periode tugas selanjutnya (2012-2014). Revitalisasi dilakukan berbasis pada peraturan
perundang-undangan yang saat ini berlaku dengan tanpa memerlukan revisi produk legislasi
yang ada, dan difokuskan pada upaya restrukturisasi dan penyesuaian komposisi keanggotaan.
Fase Kedua diawali dengan penyesuaian produk regulasi untuk landasan bagi pembentukan
DRN dengan tugas pokok dan fungsi yang lebih vital (revitalized DRN), difokuskan pada upaya
membentuk DRN dengan peran yang lebih signifikan dan proyeksi kontribusi yang lebih nyata
terhadap pembangunan iptek, yang memerlukan revisi peraturan perundang-undangan,
termasuk kemungkinan reposisi organisasi DRN untuk langsung bertanggung jawab kepada
Presiden. Pada Fase Pertama, restrukturisasi lebih terarah pada upaya penyesuaian pembagian
Komisi Teknis agar dapat mengakomodir perkembangan dan prioritas bidang teknologi yang
sesuai dengan kebutuhan nasional. Sedangkan penyesuaian komposisi anggota selain untuk
menyeimbangkan antara perwakilan dari komunitas pengembang dengan pengguna teknologi,
juga diarahkan agar aktor-aktor utama dari sektor pembangunan (yang sesuai dengan
pembagian komisi teknis DRN) dapat lebih efektif berperan.
Komisi Teknis DRN mengikuti tujuh bidang fokus prioritas pembangunan iptek sesuai dengan
RPJPN 2005-2025, namun demikian pada masing-masing komisi teknis tersebut perlu didukung
oleh anggota-anggota yang akan mendalami tentang lima unsur strategis untuk penguatan
inovasi nasional. Matrik bidang dan kompetensi anggota DRN yang diusulkan disajikan pada
Tabel 8. Selain itu, masing-masing komisi teknis juga perlu memperhatikan cross-cutting issues,
termasuk upaya meningkatkan kapasitas teknologi untuk pengelolaan sumberdaya
kemaritiman, pengembangan industri, teknologi berwawasan ekologis (green technology), dan
mengurangi kemiskinan (pro-poor technology); serta dengan terus mendukung pengembangan
sains dasar dan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, terutama yang terkait langsung dengan tujuh
bidang fokus pembangunan.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dewan Riset Nasional (DRN) merupakan lembaga non-struktural yang berfungsi memberikan
masukan kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi terutama dalam menetapkan Agenda
Riset Nasional (ARN). ARN diharapkan menjadi petunjuk pelaksanaan arah dan prioritas
kegiatan riset secara nasional. Namun demikian, ARN pada saat ini belum secara penuh diacu
oleh lembaga-lembaga riset, baik perguruan tinggi maupun lembaga litbang kementerian,
maupun lembaga pemerintah non-kementerian yang melaksanakan kegiatan riset.

119

Anggota DRN yang diangkat berjumlah 50 orang, dengan formula sebagai berikut:
Jumlah anggota DRN = 1 Ketua + 7 Komtek [ 5 Isu SINas + 2 Unsur Penguat ]

Formula keanggotaan DRN ini dapat dirinci sebagai berikut:


Satu orang ketua yang lebih fokus sebagai pimpinan puncak yang tidak perlu terlibat
langsung dalam kegiatan teknis pada tingkat komisi, sehingga ketua ini dapat dipilih dari
prominent figure yang dengan ketokohannya dapat meningkatkan kewibawaan
lembaga DRN dan sekaligus dapat memimpin anggota DRN secara efektif agar dapat
berkinerja dengan baik.
Anggota yang mewakili unsur regulator dan pembuat kebijakan publik dapat ditunjuk dari
para Kepala Badan Litbang Kementerian Teknis terkait sesuai dengan bidang fokus
masing-masing, yang sekaligus dapat ditetapkan sebagai Ketua Komisi Teknis.

Anggota yang harus mengawal relevansi teknologi sudah sepatutnya berasal dari
komunitas pengembang teknologi, yakni dari lembaga riset pemerintah, lembaga riset
swasta/industri, dan perguruan tinggi.
Anggota yang diyakini akan memahami kapasitas adopsi pengguna teknologi adalah para
pengguna teknologi itu sendiri, yakni para pelaku produksi barang/jasa baik dari unsur
masyarakat, industri kecil dan menengah, industri besar, industri kreatif, dan pengguna
langsung teknologi hankam (TNI dan Polri), serta pengguna teknologi untuk tujuan nonkomersial lainnya.
Tabel 8. Pembagian komisi teknis DRN dan kompetensi anggotanya terkait upaya penguatan SINas.

KOMISI TEKNIS

PENGUATAN SINAS

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Anggota yang mewakili pihak yang memahami kebutuhan riset dan teknologi sesuai
skenario penguatan inovasi nasional yang berorientasi demand-driven, sepatutnya dipilih
dari unsur komunitas masyarakat, asosiasi industri, dan lembaga pemerintah pengguna
teknologi. Misalnya dari wakil asosiasi petani untuk komisi teknis pangan, asosiasi industri
untuk komisi teknis transportasi, dan kementerian hankam untuk komisi teknis
pertahanan dan keamanan.

120

Regulasi dan Kebijakan


Publik

Intermediasi & Penunjang


Sistem Inovasi

Kapasitas Adopsi Pengguna


Teknologi

Relevansi Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi

Kebutuhan Riset dan


Teknologi
Teknologi Pangan
Teknologi Energi
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Teknologi Transportasi
Teknologi Pertahanan dan Keamanan
Teknologi Kesehatan

Anggota yang mewakili lembaga intermediasi dan lembaga penunjang lainnya juga
diyakini sangat krusial perannya untuk peningkatan kinerja DRN, sehingga sangat penting
keterwakilannya dalam lembaga DRN, termasuk perwakilan dari kementerian terkait,
yakni kementerian keuangan, pendidikan nasional, perindustrian, perencanaan
pembangunan nasional/Bappenas, dan lembaga intermediasi non-pemerintah.
Dua anggota untuk penguat ditentukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing komisi
teknis, misalnya komisi teknis pangan dapat menambah satu anggota dari pakar
kemaritiman untuk mendukung isu strategis pembangunan ketahanan pangan dan satu
anggota dari pakar ilmu sosial karena berdasarkan realita, banyak teknologi pangan yang
tidak diadopsi petani, peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan karena belum
mengintegrasikan pemahaman dimensi sosial, ekonomi, dan kultural dalam
pengembangan teknologi tersebut; sedangkan
Anggota DRN yang mewakili DRD Provinsi (ex officio) tidak harus dimasukkan secara tetap
dalam komisi teknis, tetapi sangat perlu terlibat secara langsung dalam pembahasan pada
tingkat pleno sebagai penyampai aspirasi daerah yang diwakilinya.
Pada Fase Kedua, revitalisasi diharapkan mampu memposisikan DRN untuk melaksanakan
tugas pokok yang mencakup: [a] membangun basis data iptek yang akurat dan komprehensif,
serta jejaring lembaga iptek yang mantap dalam rangka menjamin pemutakhiran data iptek
yang berkesinambungan; [b] membangun kemampuan/kapasitas dalam mengidentifikasi
kebutuhan dan persoalan teknologi di dalam negeri dan sekaligus juga menyediakan sistem

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Teknologi Material Maju

121

informasi perkembangan dan ketersediaan teknologi nasional; [c] membangun kapasitas dan
kewenangan untuk menetapkan prioritas riset nasional sesuai dengan kebutuhan (demanddriven) dan berbasis potensi sumberdaya nasional; dan [d] membantu mengawal investasi
pemerintah untuk pembangunan iptek, agar secara konsisten fokus pada prioritas yang telah
ditetapkan. Untuk dapat melaksanakan tugas-tugas ini, diperlukan penyesuaian kembali
produk-produk regulasi agar ekosistem yang kondisif bisa terbangun dan reposisi organisasi
DRN dalam tata organisasi pemerintah.

5.1.9. Sinkronisasi dan Perbaikan Regulasi

Produk perundang-undangan yang menjadi basis legal untuk pengembangan SINas di Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 (UU No. 18/2002) tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lampiran 1). UU
No. 18/2002 ini disusun dalam nuansa pengembangan iptek yang masih sangat dominan
bersifat supply-push, oleh sebab itu secara umum UU No. 18/2002 ini masih belum sepenuhnya
selaras dengan orientasi pengembangan teknologi yang bersifat demand-driven. Beberapa
pemahaman dasar terkait upaya penguatan inovasi dirasakan masih perlu disinkronisasikan
ulang. Apabila UU No. 18/2002 akan digunakan sebagai landasan legal utama untuk
membangun inovasi nasional, maka diperlukan upaya revisi atau melakukan amandemen
terhadap undang-undang ini agar lebih selaras dengan upaya penguatan inovasi nasional yang
lebih bersifat demand-driven. Selain itu, kecenderungan global saat ini juga secara kentara
telah menggeser orientasi pengembangan teknologi dari yang bersifat supply-push menjadi
demand-driven. Walaupun banyak ragam terminologi yang digunakan, namun esensinya sama,
yakni pengembangan teknologi harus lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau
persoalan nyata yang tengah dihadapi.
Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan UU No. 18/2002, khususnya Pasal 28 ayat (3),
telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 (PP No. 35/2007) tentang
Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan
Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi (Lampiran 2). Substansi pokok dari PP No. 35/2007
ini adalah memberikan kesempatan bagi badan usaha untuk mengalokasikan dana dalam
rangka mendukung kegiatan inovasi nasional. Sebagai kompensasinya, badan usaha tersebut

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Semua aksi yang akan dilakukan dalam rangka mewujudkan penguatan inovasi nasional
memerlukan dukungan regulasi dan/atau kebijakan yang tepat dan menyeluruh. Oleh sebab
itu, sangat diperlukan upaya untuk menerbitkan regulasi baru atau sinkronisasi produk
perundang-undangan yang telah ada dengan langkah aksi penguatan inovasi nasional yang
akan ditempuh. Secara operasional, sangat mungkin upaya untuk melengkapi undang-undang
terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih sesuai. Peraturan
perundang-undangan yang dilengkapi dengan pedoman teknis pelaksanaannya, agar semua
regulasi yang diharapkan dapat diimplementasikan secara utuh, atau dapat juga dilakukan
amandemen/revisi terhadap produk hukum yang ada agar lebih sesuai dan/atau lengkap.

122

Walaupun PP No. 35/2007 ini sangat favorable bagi upaya pengembangan dan penguatan
inovasi nasional, namun pelaksanaan peraturan ini sampai sekarang belum optimal. Hal ini
disebabkan adanya ganjalan untuk implementasinya, yakni belum adanya ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan yang mengakomodisasi pemberian
insentif sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 35/2007 tersebut. Pasal 6
ayat (3) PP No. 35/2007 menyatakan bahwa besar dan jenis insentif perpajakan dan
kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan sepanjang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Agar insentif
bagi pelaku bisnis/industri untuk lebih terlibat dalam pembiayaan kegiatan riset dapat
terlaksana, perlu dilakukan sinkronisasi dari sisi legal formal pendukungnya, terutama antara
PP No. 35/2007 dengan peraturan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Kekhawatiran yang
berlebihan tentang kemungkinan penurunan penerimaan pendapatan pemerintah dari pajak
dan kepabeanan akibat pemberlakuan kebijakan ini perlu dihilangkan, mengingat jika
penguatan inovasi nasional dapat berlangsung secara produktif, dampaknya kegiatan produksi
barang dan jasa juga akan meningkat dan penerimaan pajak juga akan ikut meningkat.
Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) telah
mengagendakan untuk meninjau ulang peraturan perundang-undangan yang menjadi
bottleneck pembangunan perekonomian Indonesia, termasuk diantaranya implementasi PP No.
35/2007 ini. Arah yang akan ditempuh agar PP No. 35/2007 ini dapat diimplementasikan adalah
dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur pedoman teknis untuk
pemberian insentif tersebut.
Secara garis besar PP No. 35 Tahun 2007 sejalan dengan Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Upaya
percepatan dan perluasan pembangunan dilakukan melalui penguatan sistem inovasi nasional
di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang
berkelanjutan, menuju innovation-driven economy. Oleh karena itu, keberhasilan implementasi
MP3EI antara lain ditentukan adanya penguatan inovasi di sektor usaha.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

mendapatkan insentif untuk mendukung kegiatan bisnisnya. Secara jelas pada Pasal 6 ayat (1)
PP No. 35/2007, dinyatakan bahwa badan usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan
untuk peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan
insentif. Selanjutnya pada ayat (2), dinyatakan bahwa insentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan, dan/atau bantuan teknis penelitian dan
pengembangan. Bantuan teknis ini, sesuai Pasal 7 ayat (1) dapat berupa penempatan tenaga
ahli dan/atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga penelitian dan pengembangan
pemerintah. Sebagai pelaksanaan dari pasal ini, Kementerian Riset dan Teknologi telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012 tentang
Bantuan Teknis Penelitian dan Pengembangan. Dengan dikeluarkannya peraturan ini,
diharapkan akan mendorong kolaborasi riset, sekaligus peningkatan kemampuan
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi.

123

Namun demikian dalam pelaksanaannya, diperlukan dukungan Peraturan Menteri Keuangan


yang mengatur kriteria teknis dan tata kelola dalam pemberian insentif riset di badan usaha.
Selain itu untuk memperkuat insentif non fiskal, diperlukan dukungan terutama dari lembaga
litbang yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian
untuk implementasi insentif bantuan teknis litbang. Saat ini telah dikeluarkan Peraturan
Menteri Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012 tentang Bantuan Teknis Penelitian dan
Pengembangan sebagai pelaksanaan Pasal 7 ayat (3) PP No. 35 Tahun 2007.

PP No. 93/2010 ini mengatur bahwa sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan
sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena
pajak bagi wajib pajak, termasuk sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan,
yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah
Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan (Pasal 1
butir b). Besarnya nilai sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1
(satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak
sebelumnya (Pasal 3). Sumbangan dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang (Pasal
5 ayat 1). Secara teknis dan psikologis, PP No. 93/2010 lebih berpeluang untuk
diimplementasikan dibandingkan dengan PP No. 35/2007, karena PP No. 93/2010 merupakan
turunan langsung dari UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; berbeda dengan PP No. 35/2007 yang
merupakan turunan UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Dukungan regulasi ini diharapkan akan mengintensifkan interaksi dan komunikasi antara
lembaga pengguna, terutama industri, dengan lembaga pengembang teknologi yang
mendukung kebutuhan teknologi untuk industri. Interaksi yang lebih intensif diyakini akan
berpengaruh langsung dan positif terhadap proses adopsi teknologi, baik karena teknologi yang
dihasilkan oleh pengembang menjadi lebih relevan (karena pengembang menjadi lebih

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Upaya pemberian insentif kepada pihak pengguna teknologi (terutama industri) sekarang
mempunyai landasan hukum lain yang baru, yakni Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010
tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan
Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya
Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (selanjutnya
disingkat PP No. 93/2010; Lampiran 3). Adanya PP No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan
Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur
Sosial Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, sebagaimana kebijakan pemberian
fasilitas insentif kepada badan usaha tentunya dapat lebih mendorong kegiatan litbang di
badan usaha. Meskipun sumbangan ini ditujukan untuk kegiatan litbang, namun setidaknya
akan mencakup juga upaya untuk peningkatan kapasitas perekayasaan, inovasi dan difusi
teknologi.

124

memahami kebutuhan), juga karena peningkatan kapasitas adopsi dari pihak pengguna (karena
meningkatkan pemahaman pengguna atas teknologi yang ditawarkan).
Insentif non-finansial untuk mendorong kegiatan riset dalam negeri juga telah dilakukan, antara
lain melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2006 tentang kebijakan
penetapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan nilai Bobot Manfaat Perusahaan
(BMP). Selain itu, dengan Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 1 Tahun 2012
tentang Bantuan Teknis Penelitian dan Pengembangan, badan usaha dimungkinkan
mendapatkan akses kapasitas litbang melalui penempatan tenaga ahli atau pemanfaatan
fasilitas laboratorium di lembaga litbang pemerintah.

Bentuk kebijakan pemerintah yang lain adalah untuk mendukung kolaborasi riset dengan
pembiayaan bersama (sharing funding) oleh pemerintah dan pihak industri. Porsi pemerintah
disalurkan melalui lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi. Kegiatan riset kolaborasi
dalam format ini sudah mulai dilaksanakan, tetapi belum optimal menunjukkan kemanfaatan
hasilnya. Hal ini terutama karena substansi riset masih dominan ditentukan oleh pihak
pengembang teknologi, bukan atas usulan pihak pengguna. Dalam beberapa kasus, industri
hanya pada posisi memenuhi kelengkapan administratif agar dana pemerintah bisa dialirkan ke
lembaga riset atau perguruan tinggi. Bentuk riset kolaborasi yang lain tidak harus dalam bentuk
pembiayaan bersama, tetapi dalam bentuk riset yang diawaki oleh personel dari pihak
pengembang dan pengguna teknologi serta memanfaatkan fasilitas dan sarana riset yang
dimiliki oleh kedua belah pihak. Akan tetapi yang selalu perlu diperhatikan adalah apapun
bentuk atau format riset kolaborasi tersebut, ia akan memberikan kemanfaatan pada publik
jika substansi masalah yang diteliti memang merupakan masalah aktual yang dihadapi
masyarakat, bukan masalah hipotetik yang diilhami oleh berbagai referensi asing.
Memahami bahwa keberhasilan perkuatan inovasi tidak hanya tergantung pada kinerja masingmasing aktor inovasi (lembaga pengembang dan pengguna teknologi, serta lembaga
intermediasi), tetapi juga sangat tergantung pada berbagai pihak yang ikut mewujudkan
ekosistem inovasi yang lebih kondusif, maka pengembangan legislasi sebagai bagian penting
dari ekosistem SINas perlu mendapat perhatian serius. Perlu dilakukan telaah secara cermat
terhadap semua produk hukum yang terkait dengan upaya penguatan inovasi, baik langsung
maupun tidak langsung. Identifikasi untuk hal-hal yang perlu disinkronisasi, direvisi, atau
bahkan perlu dicabut, serta untuk hal-hal yang masih perlu pengaturan secara legal formal.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Regulasi dan kebijakan pemerintah diperlukan untuk mengawal implementasi penguatan


inovasi dapat berjalan konsisten mengarah pada upaya: [1] menyediakan solusi teknologi bagi
permasalahan nyata yang dihadapi rakyat; [2] menyeimbangkan posisi psikologis dan peran
aktif antara pihak pengembang teknologi dengan pihak pengguna teknologi sehingga interaksi
antara keduanya terjadi dalam kerangka kemitraan yang setara harkatnya, proporsional
kontribusinya, dan saling complementary ruang kiprahnya; dan [3] memberdayakan
sumberdaya manusia Indonesia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing agar dapat secara
langsung berperan aktif dalam pengembangan dan implementasi SINas.

125

5.1.10. Berbasis Sumberdaya dan Memenuhi Kebutuhan Nasional

Indonesia sering dikategorikan sebagai negara yang sangat kaya akan sumberdaya alamnya.
Provokasi ini menyebabkan Indonesia terlalu mengandalkan kekayaan sumberdaya alam
tersebut sebagai modal utama pembangunan nasional, seolah sumberdaya alam tersebut akan
selalu tersedia selamanya. Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak terkelola secara bijak
dibarengi dengan pembangunan yang tidak terprogram dengan baik, telah membawa
Indonesia pada kondisi saat ini: tetap menjadi negara berkembang dengan penguasaan dan
penerapan teknologi yang terbatas. Indonesia terkena fenomena resource curse29 dimana
kemajuan pembangunannya tak sebanding dengan nilai eksploitasi sumberdaya alamnya.
Pengelolaan sumberdaya alam yang bijak bukan hanya terbatas pada penggunaan dana hasil
eksploitasi yang diarahkan untuk peningkatan kualitas layanan publik dan investasi untuk
infrastruktur sosial, tetapi juga perlu diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi
yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan produktivitas industri barang dan/atau jasa,
sehingga memberikan nilai tambah bagi setiap produk nasional. Produk ekspor Indonesia tidak
boleh selamanya dibiarkan hanya dalam bentuk komoditas bahan baku industri atau hanya
sampai produk setengah-jadi (intermediate products). Produk ekspor Indonesia harus secara
maksimal diupayakan sudah dalam bentuk akhir yang dibutuhkan konsumen (consumer goods).
Indonesia adalah negara maritim, tak ada yang bisa memungkiri kenyataan ini. Telah sering
didengungkan bahwa Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas. Berdasarkan Deklarasi
Juanda 1957, wilayah laut NKRI adalah sekitar 3 juta kilometer persegi. Setelah diterimanya
28

29

Sebagai bandingan, negara maju seperti Jepang juga membangun SINas-nya di atas landasan environment,
culture, tradition, and national character bangsanya sendiri.
Hasil kajian Komarulzaman dan Alisjahbana (2008) untuk kasus Indonesia menunjukkan bahwa There appears
to be resource curse when we estimate the resource rent in its three components. Forest, oil and gas sector rent
have positive effect on regional economic growth. But the resource curse may occur if these resources revenues
are not invested properly in public sector, either for the provision of public services or in public investment.
Meanwhile, mining sector has persistently negative effect on regional economic growth. The existence of this
curse will be lessened if the mining sector rent revenues are reinvested in public sector investment.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Untuk mewujudkan SINas Indonesia yang workable, harus secara seksama mempertimbangkan potensi sumberdaya nasional, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
ketersediaan infrastruktur ekonomi dan sosial, kemampuan permodalan domestik (plus modal
asing secara selektif), dan kapasitas pengembangan teknologi saat ini. Selain itu juga perlu
diselaraskan dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku, kebijakan publik, budaya
kerja, keragaman sosio kultural dan tradisi, serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya.28
Pilihan landasan sumberdaya dan budaya sendiri dalam membangun inovasi nasional akan
membuka peluang yang lebih luas bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berpartisipasi aktif.
Perlu dipahami bahwa upaya memajukan bangsa tidak dapat dilakukan dengan memilih jalan
pintas, dengan mengabaikan pentingnya fondasi yang kokoh agar pengembangan dan
keberlanjutan inovasi lebih terjamin. Pembangunan nasional tidak hanya dilakukan untuk
rakyat tetapi juga harus dilakukan bersama rakyat.

126

Kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah laut Indonesia juga belum diinventarisasi
secara baik. Banyak potensi sumberdaya kelautan yang kita miliki, tetapi sesungguhnya belum
mampu kita pahami nilai kemanfaatan ekonomi dan ekologinya. Lebih parah lagi, justru
sebagian mungkin belum kita ketahui eksistensi keberadaannya di wilayah laut Nusantara.
Ketidakmampuan tersebut terkait langsung dengan tingkat penguasaan teknologi kelautan
yang belum berkembang di Indonesia. Ironis memang, sebuah negara maritim seperti
Indonesia tidak memprioritaskan pengembangan teknologi kelautan. Ketertinggalan dalam
penguasaan teknologi kelautan tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Indonesia perlu segera
meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi kelautan yang menjadi modal nasional untuk
mampu mengelola sumberdaya dan wilayah laut Nusantara. Pengelolaan kelautan yang
dimaksud adalah memanfaatkan kekayaan sumberdaya yang dimiliki untuk menyejahterakan
rakyat yang diimbangi dengan upaya menjaga keberlanjutannya dengan mematuhi kaidahkaidah ekologis. Teknologi yang dikembangkan perlu menjaga keseimbangan antara
kepentingan ekonomi dengan kearifan ekologi. Ragam teknologi berasas keseimbangan
ekonomi-ekologi yang perlu dikuasai mencakup: pertama, teknologi penangkapan ikan,
budidaya ikan dan biota laut, serta teknologi pengolahannya; kedua, (bio)teknologi untuk
memanfaatkan biodiversitas sebagai sumber bahan baku industri dan sumber tetua untuk
program pemuliaan tanaman dan ikan atau biota laut lainnya; ketiga, teknologi eksplorasi dan
eksploitasi migas, bahan tambang lainnya dan sumberdaya energi terbarukan; dan keempat,
teknologi konservasi sumberdaya kelautan, yang dapat juga dilebarkan cakupannya pada
potensi pengelolaannya untuk pariwisata bahari.
Keunikan geografis dan kekayaan biodiversitas ekosistem laut Indonesia merupakan modal
untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) dalam menjalin kolaborasi dengan
berbagai pihak asing. Modal alamiah ini perlu dilengkapi dengan modal kecerdasan intelektual,
yakni penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi kelautan oleh pakar dalam negeri sangat
krusial. Tanpa penguasaan teknologi ini, maka kita tidak akan pernah mengetahui secara tepat
dan komprehensif tentang apa dan berapa banyak sumberdaya yang dimilikinya di wilayah
laut. Ketidakpahaman ini jelas akan menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah dalam
setiap dispute internasional di wilayah laut. Argumen yang baik tidak akan mampu dibangun
di atas fondasi iptek yang rapuh. Diplomasi untuk memperjuangkan harkat martabat bangsa
juga tak akan dapat dimenangkan jika tanpa amunisi pemahaman tentang potensi sumberdaya

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, wilayah laut NKRI bertambah luasnya dua kali lipat,
menjadi sekitar 6 juta kilometer persegi. Hal yang perlu digarisbawahi, berdasarkan UNCLOS
1982, Indonesia mendapatkan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) sejauh 200 mil dari garis pangkal lurus Nusantara atau sampai ke batas continental
margin jika masih ada kelanjutan alamiah pulau-pulau Indonesia di dasar samudera. Masalah
pokoknya, apakah setelah berhasil mengklaim teritori wilayah laut ini kita telah melakukan
langkah-langkah konkret untuk mengelolanya, sebagaimana amanah konstitusi -UUD 1945
pasal 33 ayat (3)- bahwa kekayaan sumberdaya alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.

127

seluruh wilayah Indonesia dan potensi manusianya. Indonesia sebagai negara maritim segera
mulai secara sungguh-sungguh berupaya untuk meningkatkan penguasaan tekno-ekologinomi
laut.

Penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa (BPS, 2010) merupakan kekuatan besar untuk
membangun bangsa ini, jika semua (atau paling tidak mayoritas) secara aktif ikut berpartisipasi.
Sebaliknya dapat menjadi beban yang maha berat jika harus dipikul oleh sebagian kecil dari
populasi tersebut, misalnya hanya dibebankan pada sekelompok elit (politik, ekonomi,
dan/atau sosial) tertentu saja. Kebijakan pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment31
sudah sangat tepat, selama awalan pro tersebut tidak sekedar bermakna keberpihakan dalam
konteks pembangunan untuk rakyat, tetapi lebih dimaknai sebagai keberpihakan yang memberi
peluang bagi seluruh rakyat untuk ikut berperan aktif membangun bangsa dan negara ini.
Pendidikan menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan
relevansi kompetensi sumberdaya manusia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu
meningkatkan intensitas upayanya dalam meningkatkan relevansi pendidikan agar
permasalahan pengangguran terdidik yang mulai meningkat signifikan selama dasawarsa 2000an ini tidak menjadi lebih buruk. Beberapa penyesuaian perlu segera dilakukan, terutama pada
jenjang pendidikan tinggi. Penyesuaian yang dirasakan perlu dilakukan adalah: [1] proporsi
antara pendidikan akademik dengan pendidikan profesional, [2] muatan kurikulum dan
program studi yang ditawarkan, dan [3] tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
Sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja saat ini dan perediksi kebutuhan di masa yang akan
datang, maka proporsi kapasitas tampung jenjang pendidikan tinggi perlu digeser dari dominan
jenis pendidikan akademik (lebih mengutamakan pengkayaan pengetahuan) yang terjadi saat
ini menjadi dominan pendidikan profesional (lebih mengutamakan ketrampilan teknis untuk
menghadapi permasalahan nyata). Perlu digarisbawahi bahwa untuk penguasaan ketrampilan
teknis tetap saja selalu membutuhkan pengetahuan dasar yang relevan.
30

31

Jika mengacu pada Barcelona Target, maka idealnya tiga persen dari Produk Domestik Bruto dialokasikan
untuk pengembangan teknologi.
Four Track Strategy yang sering disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, antara lain pada
pidato berjudul Pertumbuhan Harus Berkeadilan pada Pembukaan Perdagangan Perdana Bursa Efek
Indonesia, Jakarta, 3 Januari 2011.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Tentu saja potensi sumberdaya alam Indonesia tidak hanya di laut. Potensi sumberdaya lahan
untuk mendukung produksi pertanian dan beragam bahan tambang (termasuk minyak dan gas
walaupun mulai menipis) yang terkandung di dalamnya juga cukup penting untuk dikelola
sebagai modal pembangunan perekonomian nasional. Teknologi dibutuhkan untuk mengolah
sumberdaya alam menjadi produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, memacu
pertumbuhan ekonomi, dan secara nyata memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat, diiringi
dengan kebijakan ekonomi yang tepat. Namun demikian, teknologi yang dimaksud adalah
teknologi yang relevan dan sesuai dengan kapasitas adopsi pengguna potensialnya. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan pencermatan dua arah, yakni menyediakan dukungan pembiayaan yang
memadai untuk pengembangan teknologi nasional30 dan juga mengawal pengembangan
teknologi agar fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan nyata.

128

Tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang terlalu berkiblat pada produktivitas
selayaknya ditinjau kembali, karena sering mengakibatkan kelembagaan pendidikan
pengorbankan kualitas untuk mengejar kuantitas. Akibatnya kelembagaan pendidikan lebih
berfungsi sebagai mesin produksi untuk menghasilkan penyandang gelar semata dan tidak
menjadi pengemban amanah konstitusi untuk mencerdaskan bangsa. Pendidikan adalah untuk
mencerdaskan bangsa. Pencerdasan hanya dapat dicapai dengan pendidikan yang bermutu.
Kontribusi nyata tenaga terdidik terhadap pembangunan nasional hanya mungkin terjadi jika
keahlian dan ketrampilan yang diasah adalah relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Pendidikan formal rakyat Indonesia saat ini mayoritas masih relatif rendah. Selanjutnya,
mayoritas rakyat bekerja disektor produksi pangan (tanaman, ternak, dan ikan). Dengan
demikian, jika diniatkan pengembangan inovasi adalah untuk melibatkan mayoritas rakyat
Indonesia sebagai pelaku pembangunan, maka teknologi yang sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan produktivitas pangan sudah sepatutnya diprioritaskan. Pangan yang dimaksud
adalah pangan dalam arti luas, mencakup pangan asal tanaman, ternak, ikan, dan hasil hutan.
Dengan demikian, jelas bahwa nelayan juga perlu mendapat perhatian.
Teknologi yang dibutuhkan mungkin saja hanya merupakan teknologi sederhana. Akan tetapi,
adalah jauh lebih baik menyediakan teknologi sederhana yang sesuai, yang dapat
dikembangkan dan digunakan oleh masyarakat dan/atau IKM dalam proses produksi pangan
untuk pemenuhan konsumsi 237 juta penduduk Indonesia. Jika surplus tidak akan menjadi
persoalan karena dengan mudah bisa diekspor karena permintaan pasar global semakin tinggi
dengan pertambahan penduduk dunia. Pengembangan teknologi sederhana tetapi bermanfaat
akan jauh lebih baik dari pada mengembangkan teknologi super-canggih yang hanya berakhir di
ruang pajang. Pembiayaan untuk pengembangan teknologi harus diposisikan sebagai investasi
bukan sebagai belanja rutin. Inovasi adalah tentang mengkonversi ide menjadi uang. Oleh

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Penyesuaian muatan kurikulum dan program studi tidak perlu diartikan sebagai perubahan
mendasar dari kurikulum dan program studi yang ada. Penyesuaian tersebut lebih ditekankan
pada upaya meningkatkan relevansi substansi materinya sehingga lebih padu dengan
permasalah aktual. Program-program studi yang sudah kurang diminati perlu dievaluasi faktor
penyebabnya. Faktor penyebabnya bisa dipilah menjadi: [1] penyelenggara pendidikan yang
menawarkan program studi tersebut lebih besar kapasitasnya dibandingkan dengan kebutuhan
dunia kerja; [2] keahlian yang dihasilkan dari program studi tersebut sudah tidak relevan lagi
dengan kebutuhan dunia kerja, atau [3] masih ada kebutuhan aktual dari dunia kerja tetapi
imbalan (finansial) yang didapatkan dari jenis pekerjaan ini tidak kompetitif dibandingkan
dengan jenis pekerjaan lain. Faktor penyebab [1] terkait dengan kemudahan sarana dan
prasarana penyelenggaraan pendidikan (juga berarti biaya operasional penyelenggaraan
pendidikannya lebih mudah) sehingga banyak instutusi pendidikan (terutama swasta) yang ikut
menyelenggarakannya. Faktor penyebab [2] terkait dengan bidang keilmuan yang relatif statis
perkembangannya dan kebutuhan keahliannya juga terbatas, sehingga pasar dunia kerjanya
cepat menjadi jenuh. Faktor penyebab [3] karena bidang pekerjaan tersebut tidak menjanjikan
secara ekonomi, misalnya pekerjaan di sektor pertanian.

129

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Perindustrian perlu meningkatkan


intensitas komunikasi dan interaksinya dengan pihak industri. Ide hibridisasi kegiatan
pendidikan dengan aktivitas bisnis/industri memang bukan merupakan sesuatu yang baru.
Kegiatan pemagangan (internship) telah dilakukan sejak lama di Indonesia. Hanya saja kualitas
dan intensitasnya terus perlu ditingkatkan. Idealnya kegiatan ini dilandasi oleh asas saling
membutuhkan dan saling menguntungkan atau bersifat mutualistik. Ukuran keberhasilan
program pemagangan tergantung pada kualitas pembelajaran yang berlangsung selama
peserta didik ditempatkan di lingkungan dunia kerja. Padu silang pendidikan-bisnis ini perlu
dilakukan secara dua arah. Selain pemagangan peserta didik di lingkungan kerja, juga perlu
dibarengi dengan mengundang pelaku bisnis dan industri untuk menularkan pengetahuan
dan/atau ketrampilan di lingkungan akademis. Saat ini, pelaku bisnis/industri umumnya hanya
diundang sesekali ke lingkungan akademis dalam rangka kegiatan spesifik tertentu. Akan lebih
intensif, jika pelaku bisnis/industri tersebut menjadi mitra penuh dari tenaga pengajar di
perguruan tinggi, terutama untuk mata kuliah tertentu yang kental kaitannya dengan
kebutuhan implementasinya di dunia kerja.
Upaya mewujudkan inovasi nasional yang lebih produktif dan efektif dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional, perlu mempertimbangkan potensi sosial masyarakat, selain
potensi sumberdaya alam dan manusia sebagaimana telah diuraikan di atas. Potensi sosial
budaya dapat dikategorikan sebagai potensi non-ekonomi ini umumnya bersifat intangible.
Sulit diukur secara kuantitatif dan divisualisasikan, tetapi jelas dampaknya dapat dirasakan.
Penyesuaian terhadap tradisi, budaya, norma, etika, dan nilai-nilai karakter bangsa lainnya
merupakan faktor yang akan ikut mempengaruhi tingkat keberhasilan inovasi nasional,
walaupun unsur-unsur ini bersifat tak-berwujud dan sulit diukur secara objektif. Hal itu berbeda
dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang jelas wujudnya dan dapat
dikuantifikasi besaran potensinya.
Kearifan tradisional (tradisional wisdom) dapat menjadi inspirasi dalam pengembangan sistem
inovasi. Karena sifatnya sering sangat spesifik dan lokal, maka mungkin tidak dapat menjadi
acuan dalam pengembangan SINas, tetapi sangat potensial diacu untuk membangun Sistem
Inovasi Daerah (SIDa). Kearifan tradisional merupakan akumulasi pengetahuan selama periode
yang panjang. Walaupun kadang sulit dijelaskan secara ilmiah, namun probabilitas
kebenarannya relatif tinggi dan sudah teruji. Namun demikian dengan kecermatan akademis,
banyak pula kearifan lokal yang dapat dijelaskan secara ilmiah dengan sistematis dan logis,
sehingga dapat dilakukan pengembangan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya. Di

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

sebab itu, relevansi menjadi isu pokok. Teknologi yang sesuai dengan potensi sumberdaya alam
lokal/nasional akan lebih terjamin keberlanjutannya dan sekaligus dapat mewujudkan
kemandirian bangsa. Teknologi yang sesuai dengan kapasitas adopsi mayoritas penduduk akan
membuka peluang untuk berdampak lebih massal, memperbesar porsi sumberdaya manusia
yang menjadi penggerak pembangunan dan sekaligus mengurangi porsi yang hanya menjadi
beban pembanguan, serta memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan sekaligus
pemerataan kesejahteraan.

130

era modern ini, kualitas sosial budaya yang selaras dengan prinsip-prinsip good governance
dalam penyelenggaraan atau pengelolaan lembaga pemerintah, bisnis, maupun masyarakat
merupakan modal keberhasilan pengembangan suatu SINas. Beberapa contoh di atas cukup
untuk justifikasi tentang pentingnya dimensi sosial dalam mewujudkan inovasi nasional yang
lebih komprehensif. Oleh sebab itu, perlu juga secara sungguh-sungguh diintegrasikan ke
dalam suatu formula kebijakan sebagai upaya membangun SINas.

5.2. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU


No. 18 Tahun 2002

UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan untuk memperkuat daya dukung iptek untuk
mempercepat pencapaian tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian
dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional. Tujuan
diundangkannya UU No. 18 Tahun 2002 ini sesuai dengan pemandangan umum fraksi-fraksi
DPR terhadap urgensi sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek menjadi
undang-undang. Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi DPR dalam Rapat Paripurna DPR-RI, tanggal
11 September 2001 terhadap RUU Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan
Iptek adalah:
1. Menjadi landasan hukum yang kokoh dalam memberikan peluang dan kesempatan yang
lebih luas pada masyarakat, lembaga usaha, lembaga riset dan teknologi, lembaga
pendidikan dan pemerintah untuk mengembangkan iptek secara optimal.
2. Menunjukan adanya komitmen yang lebih tegas dari pemerintah untuk menetapkan
kebijakan yang lebih komprehensif dalam membangun dan mengembangkan iptek.
3. Menunjukan perlunya keterkaitan antara pengembangan iptek dengan upaya
meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia secara langsung dalam rangka
memperoleh kehidupan yang lebih makmur dan sejahtera.
4. Keharusan untuk mengembangkan iptek yang lebih dapat dipertanggungjawabkan
secara profesional dan melibatkan publik (adanya audit iptek).
5. Negara Indonesia perlu segera memiliki suatu peraturan perundang-undangan yang
komprehensif di bidang iptek; maka penting dibuat Undang-Undang tentang iptek guna

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

5.2.1. Urgensi Penguatan Inovasi

131

memberi landasan hukum bagi unsur-unsur pembentuk kemampuan Iptek serta sebagai
koridor dan frame pengembangan Iptek di Tanah air kita.

Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah juga menekankan perlunya penguatan inovasi dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Bab IV Buku II RPJM 2010-2014,
menyebutkan untuk mencapainya diperlukan adanya insitusi yg kuat dari sisi legalitas dan
otoritas; adanya tagline negara sebagai dasar penguatan SINas; serta perlunya konsensus
nasional tentang SINas. Selain itu untuk mendukung penguatan inovasi nasional diperlukan
efektifitas dan efisiensi regulasi dan sistem insentif yang mendukung inovasi nasional, serta
adanya sistem aliran pengetahuan dan mobilitas human capital antara perguruan tinggi dan
lembaga riset dengan perguruan tinggi. Untuk itu, RPJM 2010-2014 menekankan adanya skema
pembiayaan venture capital dan iklim investasi yang memperkuat inovasi nasional.
Sebagai upaya mencapai tujuan sebagaimana disebutkan dalam Bab IV Buku II RPJM 20102014, Jakstranas Iptek 2010 2014 menekankan perlunya penguatan kelembagaan dari sisi
penghasil iptek dan pengguna iptek; interaksi antara penghasil dan pengguna iptek; dan
meningkatkan kontribusi iptek dalam aktivitas perekonomian dengan meningkatkan Total
Factor Productivity (TFP). Selain itu lembaga litbang dan perguruan tinggi perlu meningkatkan
produktivitas penelitian dan pengembangan melalui pengembangan dan pemanfaatan
kelembagaan iptek, sumberdaya, dan jaringan iptek secara lebih effektif. Sedangkan di sisi
industri, peningkatan pemanfaatan teknologi dalam negeri masih diperlukan, selain
mengurangi ketergantungan teknologi asing. Upaya-upaya tersebut perlu diiringi dengan
peningkatan kuantitas, kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan peneliti, perekayasa, teknisi
maupun SDM yang terlibat di dalam kegiatan litbang. Termasuk perlunya mengembangkan
budaya kreatif inovatif di masyarakat.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Menurut UU No. 18 Tahun 2002 pembangunan sistem inovasi nasional dilakukan melalui
penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). UU No. 18
Tahun 2002 diharapkan menjadi wadah untuk menampung dan menjadi alat pemecah
kesulitan segala hal yang terkait dengan inovasi, yaitu penelitian, pengembangan dan
penerapan iptek. Hal ini tidak mudah karena Indonesia menghadapi berbagai kendala dan
penghambat dari sisi kelembagaan, program, sumber daya, dan sebagainya. Di Indonesia,
kenyataannya upaya penguatan inovasi nasional yang dicirikan dengan interaksi elemenelemen atau aktor penghasil teknologi masih kurang baik. Kurangnya komunikasi dan interaksi
antar elemen penghasil dan pengguna teknologi memberikan dampak terhadap penerapan
berbagai hasil penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh aktor/lembaga penghasil
penghasil teknologi. Hal ini menjadikan hasil penelitian dan pengembangan belum
didayagunakan sepenuhnya menjadi berbagai inovasi. Padahal dalam pengembangan ekonomi
yang berbasis pengetahuan, komunikasi dan interaksi yang intens antara lembaga penelitian,
perguruan tinggi, industri dan pihak terkait lainnya sebagai aktor/lembaga idealnya menjadi
kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pengembangan iptek
seharusnya tidak terpisahkan dalam input dan output ekonomi nasional.

132

Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya pada Acara Silaturrahim dengan
AIPI dan Masyarakat Ilmiah, di Serpong pada tanggal 20 Januari 2010 juga menekankan
perlunya upaya-upaya untuk penguatan inovasi nasional. Upaya ini mencakup pengaturan
kelembagaan secara lebih sistemik, dengan memperhatikan capaian jangka panjang untuk
mendorong, mendukung menyebarkan dan menerapkan inovasi-inovasi di berbagai sektor
dalam skala nasional. Presiden menekankan agar penguatan inovasi nasional disesuaikan
dengan corak yang khas dari berbagai daerah di Indonesia, dan sesuai kebutuhan dan kondisi.
Untuk itu, penguatan SINas agar didasarkan pada kemitraan pemerintah, komunitas ilmuwan
dan swasta, dan meningkatkan kolaborasi dengan dunia internasional.
Peraturan perundang-undangan yang ada bahkan secara jelas menyebutkan pengertian dari
SINas. Menurut Perpres No. 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional, SINas adalah:

Sejalan dengan pengertian SINas dalam Perpres No. 32 Tahun 2010, Kementerian Riset dan
Teknologi mengeluarkan Keputusan Menristek No. 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan
Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
terhadap Pembangunan Nasional. Menurut Keputusan Menristek No. 246/M/Kp/IX/2011,
pengertian dasar berkaitan dengan SINas mencakup:
a. kegiatan yang dicakup adalah pengembangan, difusi, dan pemanfaatan teknologi;
b. pelakunya terdiri dari beberapa kelembagaan baik pemerintah maupun swasta yang
berinteraksi satu sama lain secara sinergis;
c. produk yang dihasilkan adalah teknologi baru yang mempunyai nilai ekonomi; dan
d. ruang lingkup dalam melaksanakan kegiatan inovasi ini adalah negara.

5.2.2. Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 18 Tahun 2002


Muatan rancangan undang-undang perubahan UU No. 18 Tahun 2002, setidaknya memuat
materi kebijakan penguatan inovasi yang telah dirumuskan dalam Perpres No. 32 Tahun 2011
dan Kepmenristek No. 246 /M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional
untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan
Nasional. Perpres No. 32 Tahun 2011, menyebut strategi penguatan inovasi nasional dengan
usulan inisiatif inovasi 1-747. Hal yang perlu dicatat dalam usulan ini adalah penguatan inovasi
dapat dilakukan melalui tujuh langkah perbaikan ekosistemnya (Gambar 17). Tujuh langkah
perbaikan ekosistem inovasi ini mencakup:
1) Sistem insentif dan regulasi yang mendukung inovasi dan budaya penggunaan produk
dalam negeri.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

suatu jaringan rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta
dalam suatu pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong,
mendukung, dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasiinovasi di berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar
manfaat nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat.

133

2) Peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia.


3) Pembangunan pusat-pusat inovasi untuk mendukung IKM.
4) Pembangunan klaster inovasi daerah.
5) Sistem remunerasi peneliti.
6) Revitalisasi infrastruktur R&D.
7) Sistem dan manajemen pendanaan riset yang mendukung inovasi.

Kepmenristek No. 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk
Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional
menyebutkan bahwa dalam upaya mewujudkan SINas yang efektif dan produktif memerlukan
peranan pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembang
SINas. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan panggung untuk pengembangan SINas agar
para aktor inovasi secara nyaman dapat memainkan peranannya masing-masing. Panggung
yang ideal tidak mungkin dapat disiapkan oleh pemerintah tanpa didahului dengan formulasi
kebijakan di berbagai sektor pendukung inovasi nasional yang tepat. Tugas pemerintah yang
paling krusial di sini adalah mensinkronisasikan antara potensi ekonomi dan non-ekonomi yang
dimiliki Indonesia dalam rangka menyiapkan panggung inovasi nasional yang nyaman bagi
para aktor untuk unjuk kinerja melalui kebijakan dan regulasi yang kondusif. Kinerja aktor-aktor

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Gambar 17. Usulan Inisiatif Inovasi 1-747 (Perpres No. 32/2011 ttg MP3EI)

134

pelaku inovasi pada akhirnya akan terindikasi dari kemampuan nasional dalam memenuhi
permintaan pasar (utamanya pasar domestik), baik berupa barang maupun jasa. Peran
pemerintah tidak hanya penting dalam rangka menyiapkan panggung inovasi, tetapi juga
penting perannya dalam mengawal agar pengembangan teknologi dan aplikasinya oleh industri
(sebagai pihak penggunanya) lebih berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar
domestik.32 Oleh karena itu upaya strategi pengembangan dan penguatan inovasi agar
ditekankan pada:
1) Pengembangan teknologi yang difokuskan untuk pemenuhan realita kebutuhan atau
menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna teknologi.
2) Revitalisasi kapasitas lembaga pengembang teknologi .
3) Peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi .
4) Optimalisasi peran lembaga intermediasi, tidak hanya memasarkan teknologi tetapi juga
membantu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah yang dihadapi pengguna
teknologi.
5) Regulasi dan kebijakan yang kondusif, terutama di sektor ristek, keuangan, pendidikan,
ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan agar para aktor inovasi dapat
berinteraksi secara intensif dan produktif.

7) Pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) untuk


mendukung implementasi strategi pokok ketiga MP3EI.
8) Pembentukan konsorsium inovasi .
9) Revitalisasi peran Dewan Riset Nasional (DRN).
10) Sinkronisasi dan optimalisasi UU No 18 Tahun 2002 serta peraturan pelaksanaannya.
Implementasi PP No. 35 Tahun 2007 secara efektif dan utuh.
11) Pengembangan SINas harus berbasis sumberdaya nasional dan unt pemenuhan
kebutuhan domestik.
Kedua peraturan tersebut dapat dikatakan merupakan dasar kebijakan bagi upaya-upaya
penguatan inovasi nasional. Kebijakan strategi penguatan inovasi melalui usulan inisiatif inovasi
1-747 maupun penentuan arah penguatan SINas untuk peningkatan kontribusi Iptek terhadap
pembangunan nasional seharusnya telah dapat menjadi acuan untuk mendorong inovasi
nasional. Namun demikian, sebagaimana telah diuraikan dalam kebijakan arah penguatan
SINas, perlu dilakukan perubahan terhadap UU No. 18 Tahun 2002. Nuansa pengembangan
iptek yang masih bersifat supply-push, agar diubah agar selaras dengan orientasi
32

Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, pada beberapa kesempatan.
Berbagai negara, juga melihat populasi Indonesia yang besar, lebih dari 237 juta jiwa (BPS, 2010) juga
merupakan pasar yang sangat potensial.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

6) Pembangunan Science and Technology Park (STP) untuk mendorong interaksi dan
komunikasi antara lembaga pengembang-intermediasi-pengguna teknologi.

135

pengembangan teknologi yang bersifat demand-driven. Kecenderungan global saat ini juga
lebih diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan atau persoalan nyata yang relevan dihadapi
masyarakat.
Selain dua kebijakan tersebut di atas, kebijakan-kebijakan lain yang terkait adalah dokumen
RPJM 2010-2014, dan Kebijakan Strategis Nasional Iptek 2010-2014, serta arahan Presiden RI.
Dokumen tersebut menekankan beberapa hal terkait dengan upaya penguatan inovasi nasional
(Tabel 9.).

Tabel 9. Kebijakan Penguatan Inovasi


Fokus

Materi Pengaturan

Buku II RPJM 20102014, Bab IV

Penguatan insitusi
Jakstranas sebagai konsensus nasional dalam upaya penguatan SINas.
Identifikasi dan penetapan sistem insentif yang mendukung SINas.
Penguatan aliran pengetahuan dan mobilitas human capital.
Pembiayaan venture capital dan iklim investasi yang memperkuat SINas.

Jakstranas Iptek 2010


2014

Penguatan interaksi penghasil dan pengguna iptek


Peningkatan pemanfaatan teknologi dalam sektor industri
Mengurangi ketergantungan teknologi asing
Mendorong produktivitas litbang
Meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan SDM
Mengembangkan budaya kreatif inovatif di masyarakat

Sambutan Presiden SBY,


dlm Acara Silaturrahim
dengan AIPI dan Masy
Ilmiah, Serpong, 20
Januari 2010.

Mendorong inovasi-inovasi di berbagai sektor dalam skala nasional.

Komite Inovasi Nasional


(KIN)

Pengembangan pusat inovasi untuk mendorong industri kecil dan menengah

Pengembangan SINas sesuai kebutuhan dan kondisi.


Pengembangan kemitraan dan kolaborasi dengan dunia internasional.

Pengembangan klaster inovasi daerah


Revitalisasi infrastruktur R&D
Sistem dan manajemen pendanaan riset
Sistem remunerasi peneliti
Peningkatan kualitas dan fleksibilitas perpindahan sumberdaya manusia
Sistem insentif dan regulasi yang mendukung.

Kebijakan inisiatif inovasi 1-747, maupun penentuan arah penguatan SINas merupakan upaya
untuk mendorong kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi yang lebih
bersifat demand-driven. Dua kebijakan tersebut, secara garis besar menekankan pada empat
hal, yaitu:

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Mendorong investasi industri untuk litbang Iptek masih sangat terbatas

136

5. penguatan jaringan rantai (interaksi sinergis) institusi publik, lembaga ristek, universitas,
dan swasta;
6. peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi - pengembangan, difusi, dan
pemanfaatan teknologi;
7. peningkatan penerapan dan diseminasi hasil penelitian, pengembangan, dan penerapan
iptek (temuan/teknologi baru dan produk inovatif yang mempunyai nilai ekonomi) agar
dapat dirasakan masyarakat; dan
8. penguatan inovasi nasional agar diprioritaskan untuk dilakukan di wilayah NKRI.
Keempat hal tersebut di atas telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2002. Pengaturan tersebut
mencakup antara lain perlunya adanya keterkaitan unsur iptek dalam pola hubungan tertentu,
penguatan jalinan kemitraan unsur kelembagaan iptek, penguatan daya dukung iptek,
pendayagunaan manfaat keluaran perguruan tinggi dan lembaga litbang, dan penguatan audit
teknologi (Tabel 9.). Perubahan ketentuan UU No. 18 Tahun 2002 di atas, tentunya agar
diarahkan untuk mengakomodir upaya penguatan inovasi. Perubahan ini juga diarahkan untuk
memperkuat usulan inisiatif inovasi 1-747, serta penentuan arah penguatan SINas (Tabel 10.).

Fokus

UU No. 18 Tahun 2002

Penguatan jaringan rantai


(interaksi sinergis) institusi
publik, lembaga ristek,
universitas, dan swasta.

Pasal 5 ayat (1) keterkaitan unsur iptek dalam pola hubungan


tertentu
Pasal 10 ayat (2) peran lembaga penunjang dalam mendorong sinergi
dan pertumbuhan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha
Pasal 13 jaringan informasi iptek
Pasal 15 ayat (1) jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur
kelembagaan iptek
Pasal 17 ayat (1) kerjasama internasional
Pasal 28 ayat (2) jalinan kemitraan unsur kelembagaan iptek

Peningkatan hasil, pendayagunaan, rekayasa inovasi pengembangan, difusi, dan


pemanfaatan teknologi.

Pasal 4 penguatan daya dukung iptek


Pasal 6 ayat (2) fungsi kelembagaan dalam penguasaan, pemanfaatan
dan pemajuan iptek
Pasal 9 ayat (1) fungsi badan usaha dalam perekayasaan, inovasi, dan
difusi teknologi
Pasal 16 ayat (1) alih teknologi kekayaan intelektual dan hasil litbang
Pasal 27 ayat (3) dukungan dana bagi penguasaan, pemanfaatan, dan
pemajuan iptek

Peningkatan penerapan dan


diseminasi hasil litbangrap
(temuan/teknologi baru dan
produk inovatif yg mempunyai

Pasal 8 ayat (2) - invensi di bidang iptek


Pasal 9 ayat (2) pendayagunaan manfaat keluaran perguruan tinggi
dan lembaga litbang
Pasal 13 ayat (4) pengelolaan, pemanfaatan kekayaan intelektual dan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Tabel 9. Fokus Perubahan dalam UU No. 18 Tahun 2002.

137

Fokus
nilai ekonomi) agar dapat
dirasakan masyarakat.
Ruang lingkup kegiatan inovasi
adalah NKRI.

UU No. 18 Tahun 2002


hasil litbang

Pasal 19 ayat (3) penguatan tarikan pasar bagi hasil litbang, dan audit
teknologi dan SNI

Pasal

Usulan Perubahan

Pasal 3

Ditambahkan 2 ayat unt mengakomodir amandemen keempat UUD


1945

Pasal 6

Ditambahkan satu pasal setelah Pasal 6, untuk pemenfaatan hasil


litbang, perekayasaan, dan inovasi dalam negeri

Pasal 9

Ditambahkan satu pasal setelah Pasal 9, pemerintah/pemerintah


daerah dimungkinkan memberikan stimulan dan fasilitas untuk
peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi.
Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 12

Ditambahkan 2 ayat, mengenai perlunya menentukan standar,


persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik.
Ketentuan ini diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 13

Ditambahkan ayat baru.


Penambahan ayat unt penyebaran informasi hasil litbang dan
kekayaan intelektual, serta peningkatan pengelolaan kekayaan
intelektual dan hasil litbang.

Pasal 15

Penambahan pada ketentuan yang ada dg penekanan pada kemitraan.

Pasal 17

Setelah Pasal 17 ditambahkan mengenai pengaturan MTA

Pasal 18

Setelah Pasal 18 ditambahkan penekanan pada Jakstranas Iptek


sebagai acuan pengembangan iptek.

Pasal 19

Setelah Pasal 19 ditambahkan satu pasal, yang menekankan


penyusunan Jakstranas Iptek ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Tabel 10. Usulan Perubahan dalam UU No. 18 Tahun 2002.

138

Bab 6
Rangkuman dan Rekomendasi

Kepentingan nasional dan kecenderungan global membutuhkan perubahan yang mendasar


tentang arah pembangunan iptek. Arah pembangunan iptek perlu diupayakan menuju
peningkatan kontribusi teknologi terhadap pembangunan berbagai sektor, terutama sektorsektor perekonomian. Dengan demikian, aktivitas riset di masa yang akan datang perlu lebih
diarahkan untuk memenuhi realita kebutuhan dan/atau menyediakan solusi bagi persoalan
nyata yang dihadapi para pengguna teknologi, baik industri, masyarakat, ataupun pemerintah.
Dari sisi lain, konstitusi Indonesia juga secara jelas dan tegas mengamanahkan bahwa
pembangunan iptek ditujukan untuk meningkatkan peradaban dan kesejahteraan umat
manusia. Dalam konteks ini, tentu dimaksudkan bahwa pengembangan teknologi harus
diarahkan untuk menyejahterakan rakyat dan peningkatan peradaban bangsa Indonesia.
Kecenderungan global saat ini dan kepentingan nasional dalam rangka menunaikan amanah
konstitusi sebetulnya berjalan paralel dan menuju satu muara, yakni mewujudkan inovasi
nasional yang lebih efektif dan produktif. Eksistensi inovasi tidak secara langsung dapat dijamin
oleh keberadaan lembaga pengembang teknologi yang maju dan lembaga pengguna teknologi
dengan kapasitas produksi yang besar, karena yang akan menentukan adalah kualitas interaksi
dan komunikasi antar-aktor inovasi tersebut yang dibuktikan dengan terjadinya: [1] aliran
informasi kebutuhan dan/atau persoalan teknologis yang dihadapi oleh para pengguna yang
sampai ke pengembang teknologi; dan [2] aliran teknologi yang relevan dan sesuai kapasitas
adopsi pengguna, yang dihasilkan oleh pengembang dan diimplementasikan oleh pengguna
dalam proses produksi barang/jasa sesuai kebutuhan konsumen atau permintaan pasar,
terutama pasar domestik.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

6.1. Rangkuman

139

Pengembang dan pengguna teknologi sebagai aktor utama dalam penguatan inovasi nasional
sering masih membutuhkan dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang
memotivasi dan berkesesuaian, serta juga peran intermediasi dan fasilitasi agar interaksi dan
komunikasi antar-aktor inovasi tersebut dapat lebih diintensifkan. Untuk peran intermediasi
dapat juga dimainkan oleh lembaga non-pemerintah. Interaksi dan komunikasi antara lembaga
pengembang dan pengguna teknologi membutuhkan panggung yang yang mantab dan
nyaman. Mantab dalam makna mendapat dukungan dari berbagai regulasi dan kebijakan dari
sektor-sektor yang terkait langsung dan berpengaruh nyata terhadap proses mewujudkan dan
perkuatan inovasi nasional, termasuk regulasi dan kebijakan riset dan teknologi, keuangan,
pendidikan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan. Nyaman dalam pengertian
kebijakan-kebijakan sektoral tersebut bermuara pada kondisi ekosistem yang kondusif untuk
tumbuh-kembang inovasi.
Fasilitasi pemerintah untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembangintermediasi-pengguna teknologi dapat juga dilakukan dengan memberikan kesempatan
kepada aktor-aktor inovasi tersebut untuk berinteraksi dalam satu kawasan. Ide ini
diimplementasikan dengan membangun Science and Technology Park (STP). Untuk kondisi
Indonesia, kawasan Puspiptek Serpong sangat mungkin untuk ditransformasi secara fisik dan
fungsional menjadi STP, dengan memanfaatkan lembaga dan fasilitas pengembangan teknologi
yang sudah ada sebagai modal dasarnya. Transformasi tersebut dapat dilakukan dengan
menghadirkan lembaga intermediasi ke dalam kawasan dan menghadirkan industri ke dalam
dan/atau membangun kawasan Industrial Park (IP) yang posisinya berdampingan dengan lahan
Puspiptek. Gabungan antara STP dan IP ini akan dapat menjadi model SINas Indonesia yang
handal, disarankan dinamakan sebagai Indonesian InnoPark.
Sejalan dengan pengembangan MP3EI, diperlukan upaya pengembangan pusat unggulan
inovasi (center of excellence on innovation) pada seluruh koridor pembangunan perekonomian
nasional, yang masing-masing fokus pada isu-isu ekonomi strategis sesuai dengan potensi

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dalam rangka mendayagunakan secara optimal kapasitas lembaga pengembang teknologi yang
sudah baik, maka perlu dilakukan refocusing agar kapasitas tersebut dapat diarahkan sesuai
dengan prioritas untuk menghasilkan teknologi yang sesuai kebutuhan pengguna. Revitalisasi
lembaga pengembang teknologi ini diarahkan agar lembaga ini tidak hanya handal dalam
mendukung aktivitas riset dan pengembangan (R&D capacity) semata, tetapi juga dapat
ditingkatkan kapasitasnya untuk mengakses infromasi, mitra kerja potensial, dan sumber
pembiayaan eksternal (sourcing capacity) serta kapasitasnya dalam mendifusikan hasil riset
dan teknologi kepada pengguna potensialnya (disseminating capacity). Revitalisasi lembaga
pengembang teknologi perlu diimbangi dengan upaya peningkatan kapasitas adopsi teknologi
pada lembaga pengguna. Upaya ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan
kompetensi sumberdaya manusia pada lembaga pengguna (industri dan pemerintah) atau
pengguna individual dalam masyarakat. Pembentukan unit kerja dalam struktur organisasi
lembaga pengguna dan/atau peningkatan aktivitas in-house research pada lembaga pengguna
terbukti dapat mendorong peningkatan kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi.

140

ekonomi masing-masing wilayah koridor. Memahami bahwa satu koridor ekonomi masih dapat
dijumpai keragaman potensi ekonominya, maka sangat mungkin pada masing-masing koridor
dikembangkan beberapa pusat unggulan sesuai dengan realita kebutuhannya.
Alternatif lain yang dapat didorong adalah membangun konsorsium inovasi berdasarkan isu
spesifik yang menjadi sasaran bersama (common goal) dari anggota konsorsium. Dalam
konteks penguatan inovasi nasional, anggota konsorsium merupakan representasi dari
pengembang teknologi, pengguna teknologi, lembaga intermediasi, dan dapat juga jika
dianggap strategis melibatkan lembaga penunjang tertentu, yang terkait langsung dengan
upaya mencapai sasaran bersama yang telah disepakati.

Regulasi dan kebijakan yang ada saat ini dirasakan masih perlu disinkronisasikan, diperbaiki,
atau bahkan dilengkapi sehingga bisa diimplementasikan secara efektif dan utuh, termasuk
pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2002 dan PP No. 35 Tahun 2007. Kemungkinan penerbitan
Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional juga merupakan salah satu alternatif yang perlu
diekplorasi lebih lanjut.
Semua langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rangka mewujudkan atau perkuatan inovasi
nasional yang telah diuraikan di atas tetap secara konsisten berbasis pada potensi sumberdaya
nasional, termasuk sumberdaya alam, manusia, dan konsisi sosio-kultural serta nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia. Selanjutnya langkah ini juga harus fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan
nasional, termasuk permintaan pasar domestik, dan untuk menyediakan solusi teknologi bagi
persoalan yang dihadapi masyarakat, industri, dan pemerintah sebagai pengguna teknologi.
Orientasi pengembangan inovasi nasional yang berbasis sumberdaya nasional dan lebih
diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik ini diharapkan akan mampu meningkatkan
kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.

6.2. Rekomendasi
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan secara komprehensif ini, maka beberapa butir
rekomendasi yang dapat disampaikan adalah:
(1) Pengembangan teknologi Indonesia perlu difokuskan untuk memenuhi realita
kebutuhan dan/atau menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh pengguna

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai lembaga non-struktural yang terkait langsung dengan
upaya membangun inovasi nasional perlu lebih dioptimalkan perannya, terutama dalam
mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan iptek, merekomendasikan arah dan prioritas riset
nasional, serta koordinasi antara lembaga pengembang teknologi. Untuk revitalisasi peran DRN
ini, maka keanggotaan DRN perlu disesuaikan agar secara seimbang mewakili komunitas
pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan untuk
reposisi DRN juga perlu mendapat pertimbangan agar peran koordinasi lebih efektif dapat
dilaksanakan.

141

teknologi, termasuk masyarakat, industri, dan lembaga pemerintah sesuai dengan


konsepsi penguatan SINas;
(2) Kapasitas lembaga pengembang teknologi perlu direvitalisasi agar mempunyai tiga
kapasitas yang dibutuhkan dalam menopang penguatan inovasi nasional, yakni
kapasitas riset dan pengembangan, kapasitas sourcing, dan kapasitas difusinya;
(3) Kapasitas adopsi lembaga pengguna teknologi perlu ditingkatkan agar proses difusi
teknologi dalam rangka mewujudkan inovasi nasional dapat lebih berpeluang untuk
terlaksana, sehingga teknologi dapat secara nyata berkontribusi terhadap
pembangunan nasional;

(5) Pemerintah menyiapkan panggung bagi para aktor inovasi agar dapat berinteraksi
secara intensif dan produktif, melalui pemberlakukan regulasi dan kebijakan yang
kondusif, terutama di sektor riset dan teknologi, keuangan, pendidikan,
ketenagakerjaan, perindustrian, dan perdagangan;
(6) Pembangunan Science and Technology Park (STP) perlu disegerakan agar tersedia
wahana untuk mendorong interaksi dan komunikasi antara lembaga pengembangintermediasi-pengguna teknologi, dimana kawasan Puspiptek Serpong dapat
diprioritaskan untuk ditransformasi secara fisik dan fungsional menjadi STP;
(7) Pengembangan pusat unggulan inovasi (center of excellence on innovation) perlu segera
diinisiasi dalam rangka memberikan dukungan terhadap implementasi strategi pokok
ketiga MP3EI, yakni meningkatkan kontribusi teknologi terhadap percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia;
(8) Pembentukan konsorsium inovasi berdasarkan isu spesifik yang menjadi sasaran
bersama (common goal) dan memiliki nilai strategis nasional perlu didorong karena
akan menjadi vehicle yang efektif sebagai model implementasi SINas;
(9) Peran Dewan Riset Nasional (DRN) perlu direvitalisasi, antara lain melalui perbaikan
komposisi keanggotaannya agar secara lebih seimbang mewakili komunitas
pengembang dan pengguna teknologi, serta dari unsur pemerintah. Kemungkinan
reposisi DRN juga perlu dipertimbangkan agar peran koordinasi DRN menjadi lebih
efektif;
(10) UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta turunannya PP No. 35 Tahun 2007

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(4) Peran lembaga intermediasi perlu lebih dioptimalkan sehingga interaksi dan komunikasi
antara lembaga pengembang dan pengguna teknologi dapat lebih intensif dan
produktif, dengan demikian maka upaya penguatan inovasi dapat mengalami akselerasi.
Peran lembaga intermediasi perlu diperluas sehingga tidak hanya memasarkan
teknologi tetapi juga membantu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalah yang
dihadapi para pengguna teknologi. Partisipasi pihak non-pemerintah perlu dirangsang
untuk berperan dalam intermediasi ini;

142

tentang Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan


Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi perlu disinkronisasikan,
diperbaiki, atau bahkan dilengkapi dengan produk turunannya sehingga bisa
diimplementasikan secara efektif dan utuh;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(11) Orientasi pengembangan inovasi nasional harus berbasis sumberdaya nasional dan lebih
diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan domestik sehingga diharapkan akan mampu
meningkatkan kemandirian, harkat, dan martabat bangsa Indonesia.

143

Referensi
Abramovitz, M. 1994. Catch-up and convergence in the postwar growth boom and after. In:
W.J. Baumol, R.R. Nelson, and E.N. Wolf (eds), Convergence of Productivity: Crossnational studies and historical evidence. Oxford University Press, Oxford (UK).
Asheim, B.T. and L. Coenen. 2005. Knowledge bases and regional innovation systems:
comparing Nordic clusters. Research Policy 34(8):1173-1190
Bathelt, H. 2003. Geographies of Production: growth regimes in spatial perspective
innovation, institutions, and social systems. Progress in Human geography 27(6):763778
Boardman, P.C. 2009. Government centrality to universityindustry interactions: University research
centers and the industry involvement of academic researchers. Research Policy 38:15051516

BPS. 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta


Casey, S. 2005. Establishing Standards for Social Infrastructure. University Of Queensland,
Ipswich.
Fagerberg, J. and M. Srholec. 2008. National Innovation Systems, Capabilities and Economic
Development. Research Policy 37:1417-1435

Firdausy, C.M. 2009b. Iptek sebagai Keharusan untuk Pertumbuhan Ekonomi. Dalam: Sains
dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Freeman, C. 1987. Technology and Economic Performance: lessons from Japan. Pinter,
London.
Freeman, C. And L. Soete. 2009. Developing science, technology and innovation indicators:
What we can learn from the past. Research Policy 38:583589
Gerschenkron, A. 1962. Economic Backwardness in Historical Perspective. The Belknap Press,
Cambridge (USA).
Haagedoorn, J. 1996. Trends and Patterns in Strategic Technology Partnering since the Early
Seventies. Review of Industrial Organization 11:601-616
Haryoto, E. 2008. Regulasi/Deregulasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita.
Foresight, Jakarta.
Hasta, L. 2009. Membangun Iptek yang Memihak Rakyat. Dalam: Sains dan Teknologi:
berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Hertog, P. 1995. Assessing the Distributional Power of National Innovation System: pilot study
of the Netherland. Center for Technology and Policy Studies, Apeldoorn, Netherland.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Firdausy, C.M. 2009a. Jadikan Iptek sebagai HAM. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide
untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

144

Hicks, D. And S. Katz. 1996. Systemic Bibliometric Indicators for the Knowledge-based
Economy. Paper presented at the OECD Workshop on New Indicators for the
Knowledge-based Economy, Paris, 19-21 June.
Hidayat, D. 2010. Revitalisasi (Reformasi) Lembaga Litbang untuk Mendukung Sistem Inovasi
Nasional. Seminar Nasional Revitalisasi Lembaga Litbang, Universitas Sahid Jakarta, 23
November 2010.
Ibrahim, H.D. 2008. Perencanaan Lintas-Sektor. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan
realita. Foresight, Jakarta.
Kadiman, K. 2008. Simfoni Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.
Kadiman, K. 2009. Membangun Relasi Akademisi-Bisnis-Pemerintah. Dalam: Sains dan
Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Komarulzaman, A. and Armida S. Alisjahbana. 2006. Testing the Natural Resource Curse
Hypothesis in Indonesia: Evidence at the Regional Level. Working Paper in Economics
and Development Studies No. 200602. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Lakitan, B. 2010. Revitalisasi Kelembagaan Riset dan Pengembangan untuk Mendukung Sistem
Inovasi Nasional. Keynote speech pada Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang.
Universitas Sahid, Jakarta, 23 November 2010.

Lakitan, B. 2011b. Membangun Agroindustri dan Mewujudkan Sistem Inovasi: agar teknologi
berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. Keynote speech pada Seminar dan Lokakarya
Nasional Pengembangan Agroindustri Kalimantan Selatan: prospek, peluang, dan
potensi, serta kendala. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 23 Juni 2011.
Laranja, M., E. Uyarra, and K. Flanagan. 2008. Policies for science, technology and innovation:
Translating rationales into regional policies in a multi-level setting. Research Policy
37:823-835
Leydesdorff, L. dan M. Meyer. 2006. Triple Helix indicators of knowledge-based innovation
systems: Introduction to the special issue. Research Policy 35:14411449
Lipsey, R.G. and K.I. Carlaw. 2004. Total Factor Productivity and the Measurement of
Technological Change. Canadian Journal of Economics 37(4):1118-1150
Liu, X. and S. White. 2001. Comparing innovation system: a framework and applications to
Chinas transitional context. Research Policy 30(7):1091-1114
Loikkanen, T., T. Ahlqvist and, P. Pellinen. 2009. The role of the technology barometer in
assessing the performance of the national innovation system. Technological Forecasting
& Social Change 76:11771186
Lundvall, B.A. 1992. National System Innovation: towards a theory of innovation and
interactive learning. Pinter, London.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Lakitan, B. 2011a. Indikator Kinerja Lembaga Litbang di Era Informasi Terbuka. Makalah
pengarahan pada Temu Peneliti Badan Litbang dan Diklat VIII Kementerian Agama,
Makassar, 12-15 April 2011.

145

Malerba, F. 1996. Industry Studies of Innovation Using CIS Data: computer and office
machinery. Paper presented at the Eurostat Conference on Innovation Measurement
and Policies.
Malherbe G. and G. Stanway. 2010. Corporate Innovation at Work: Defining the innovation
consortium, Virtual Consulting International Ltd., New York.
Metcalfe, S. 1995. The Economic Foundations of Technology Policy: equilibrium and
evolutionary perspective. In: P. Stoneman (ed), Handbook of the Economic of
Innovation and Technological Change. Blackwell Publishers, Oxford.
MEXT. 2002. Annual Report on the Promotion of Science and Technology. Ministry of
Education, Culture, Sport, Science and Technology, Tokyo.
Mingers, J. And L. White. 2010. A review of the recent contribution of systems thinking to
operational research and management science. European Journal of Operational
Research 207:11471161
Mulatsih, Sri,. dan Prakoso Bhairawa Putera. 2009. Analisis Undang-undang No. 18 Tahun 2002
tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi dalam Bingkai Ekonomi Berlandaskan Iptek (Knowledge Based Economy).
LIPI Press: Jakarta
Nelson, R. 1993. National Innovation System: a comparative analysis. Oxford University Press,
Oxford.

OECD. 1997. National Innovation Systems. Organisation for Economic Cooperation and
Development, Paris, France.
OECD. 2002. Frascati Manual: The Proposed Standard Practice for Surveys of Research and
Experimental Development. Sixth edition. Organisation for Economic Co-Operation and
Development, Paris
OECD. 2005. Oslo Manual: guidelines for collecting and interpreting innovation data. Third
edition. Organisation for Economic Co-Operation and Development, Paris
OECD. 2008a. Strategic Priorities for Science, Technology, and Innovation Policy. Organisation
for Economic Cooperation and Development, Paris, France.
OECD.

2008b. Innovation Strategies: scoping document.


Cooperation and Development, Paris, France.

Organisation for Economic

Oey-Gardiner, M. 2008. Teknologi dan Tanggung Jawab Sosial. Dalam: Kadiman, Simfoni
Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.
Panigoro, H. 2008. Konsistensi Regulasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita.
Foresight, Jakarta.
Patel, P. and K. Pavitt. 1994. The Nature and Economic Importance of National Innovation
Systems. Science Technology and Innovation Review No.14. OECD, Paris.
Prihandana, R. 2008. Industri, bukan Pabrik. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita.
Foresight, Jakarta.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

OECD. 1996. The Knowledge-Based Economy. Organisation for Economic Cooperation and
Development, Paris, France.

146

Rosenberg, N. and R.R. Nelson. 1994. American Universities and Technical Advance in
Industry. Research Policy 23(3):323-348
Santoso, B. 2008. Embargo sebagai Pemicu. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan realita.
Foresight, Jakarta.
Schumpeter, J. 1934. The Theory of Economic Development. Harvard University Press,
Cambridge.
Setiawan, B. 2008. Peran Badan Intermediasi. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan
realita. Foresight, Jakarta.
Setiawan, S. 2008. Kesinambungan Milestone. Dalam: Kadiman, Simfoni Inovasi: cita dan
realita. Foresight, Jakarta.
Sharif. 2010. Governance of Innovation Systems in the Current Global Setting. Bahan Ceramah di LIPI,
Jakarta

Suhardi, I. 2009. Inovasi untuk Pemberdayaan Industri. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai
ide untuk menjawab tantangan dan kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Thee Kian Wie. 2008. Nalar Ekonomi versus Nalar Teknologi. Dalam: Kadiman, Simfoni
Inovasi: cita dan realita. Foresight, Jakarta.
UNCTAD. 2009. World Investment Prospects Survey 2008-2011. United Nations Conference
on Trade and Development, New York

Warsono, S.Y. 2009. Peran Intermediasi dalam Membangun Kolaborasi Lembaga Litbang dan
Industri. Dalam: Sains dan Teknologi: berbagai ide untuk menjawab tantangan dan
kebutuhan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
WEF. 2010. The Global Competitiveness Report 2010-2011. World Economic Forum, Geneva
World Bank. 2010. Innovation Policy: a guide for developing countries. The World Bank,
Washington DC

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Wang, T.Y. dan S.C. Chien. 2007. The influences of technology development on economic
performanceThe example of ASEAN countries. Technovation 27:471488

147

Lampiran
Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan Nasional
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahun dan Teknologi.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pengalokasian Sebagian
Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan
Difusi Teknologi.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Pembinaan
Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto.
4. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2010 tentang Komite Inovasi Nasional (KIN).
5. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

7. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 193/M/Kp/IV/2010 tentang Kebijakan


Strategis Pembangunan Nasional Iptek 2010- 2014.
8. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah
Penguatan Sistem Inovasi Nasional Untuk Meningkatkan Kontribusi Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Terhadap Pembangunan Nasional
9. Sambutan Presiden Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono, dalam Acara Silaturrahim dengan
AIPI dan Masyarakat Ilmiah, Serpong, 20 Januari 2010.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

6. Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana


Strategis (Renstra) Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014

148

Lampiran 1.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2002
TENTANG
SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN
TEKNOLOGI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk
kepentingan umat manusia yang dalam pengelolaan dan pendayagunaannya
diperlukan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara bertanggung jawab;

c. bahwa untuk menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan


ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan sistem nasional penelitian,
pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandung
dan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara
unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh di lingkungan Negara Republik
Indonesia;
d. bahwa penumbuhkembangan sistem nasional penelitian, pengembangan, dan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah tugas dan tanggung jawab
negara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada butir a, b, c, dan d
perlu dibentuk Undang-Undang tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Mengingat

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (4), Undang- Undang Dasar 1945
sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945;
Dengan persetujuan :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

b. bahwa penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi


dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari pencapaian tujuan negara sesuai dengan amanat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yakni
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menyerasikan
tata kehidupan manusia beserta kelestarian fungsi lingkungan hidupnya berdasarkan
Pancasila;

149

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara
sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi ilmiah, baik
yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif untuk menerangkan pembuktian gejala alam
dan/atau gejala kemasyarakatan tertentu.
2. Teknologi adalah cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan
pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan
kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.
3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis adalah berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang memiliki keterkaitan yang luas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
secara menyeluruh, atau berpotensi memberikan dukungan yang besar bagi kesejahteraan
masyarakat, kemajuan bangsa, keamanan dan ketahanan bagi perlindungan negara, pelestarian
fungsi lingkungan hidup, pelestarian nilai luhur budaya bangsa, serta peningkatan kehidupan
kemanusiaan.

5. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan
kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi,
manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi
baru.
6. Invensi adalah suatu ciptaan atau perancangan baru yang belum ada sebelumnya yang memperkaya
khazanah serta dapat dipergunakan untuk menyempurnakan atau memperbarui ilmu pengetahuan
dan teknologi yang telah ada.
7. Penerapan adalah pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan, dan/atau ilmu pengetahuan dan
teknologi yang telah ada ke dalam kegiatan perekayasaan, inovasi, serta difusi teknologi.
8. Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk desain dan
rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan
mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial
budaya, dan estetika.
9. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan
mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru
untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses
produksi.
10. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh
penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya.
11. Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri
maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

4. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis
untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan
pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

150

12. Lembaga penelitian dan pengembangan yang selanjutnya disebut lembaga litbang adalah lembaga
yang melaksanakan kegiatan penelitian dan/atau pengembangan.
13. Badan usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
14. Organisasi profesi adalah wadah masyarakat ilmiah dalam suatu cabang atau lintas disiplin ilmu
pengetahuan dan teknologi, atau suatu bidang kegiatan profesi, yang dijamin oleh negara untuk
mengembangkan profesionalisme dan etika profesi dalam masyarakat, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
15. Hak kekayaan intelektual yang selanjutnya disebut HKI adalah hak memperoleh perlindungan
secara hukum atas kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
16. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
17. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai
badan eksekutif daerah.
18. Menteri adalah menteri yang membidangi penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Pasal 2

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
dikembangkan berdasarkan asas iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, asas tanggung jawab
negara, asas kesisteman dan percepatan, asas kebenaran ilmiah, asas kebebasan berpikir, asas
kebebasan akademis, serta asas tanggung jawab akademis.
Pasal 4
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan
memperkuat daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi bagi keperluan mempercepat pencapaian
tujuan negara, serta meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan
negara dalam pergaulan internasional.
BAB III
FUNGSI, KELEMBAGAAN, SUMBER DAYA, DAN JARINGAN
Bagian Pertama
Fungsi
Pasal 5
(1) Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan,
pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh
untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pengertian peristilahan dalam Pasal 1 yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berpikir, kebebasan akademis, dan tanggung jawab
akademis.

151

(2) Unsur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur kelembagaan, unsur sumber daya,
dan unsur jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagian Kedua
Kelembagaan
Pasal 6
(1) Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur perguruan tinggi, lembaga litbang,
badan usaha, dan lembaga penunjang.
(2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi :
a. mengorganisasikan pembentukan sumber
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi;

daya manusia,

penelitian, pengembangan,

b. membentuk iklim dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi penyelenggaraan


penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 7
(1) Perguruan tinggi sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi membentuk sumber
daya manusia ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi bertanggung
jawab meningkatkan kemampuan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta
pengabdian pada masyarakat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(1) Lembaga litbang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi menumbuhkan
kemampuan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga litbang bertanggung
jawab mencari berbagai invensi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menggali potensi
pendayagunaannya.
(3) Lembaga litbang dapat berupa organisasi yang berdiri sendiri, atau bagian dari organisasi
pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, badan usaha, lembaga penunjang, dan organisasi
masyarakat.
Pasal 9
(1) Badan usaha sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi menumbuhkan
kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang
memiliki nilai ekonomis.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), badan usaha bertanggung jawab
mengusahakan pendayagunaan manfaat keluaran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan
lembaga litbang.
Pasal 10
(1) Lembaga penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berfungsi memberikan dukungan
dan membentuk iklim yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 8

152

(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lembaga penunjang bertanggung
jawab mengatasi permasalahan atau kesenjangan yang menghambat sinergi dan pertumbuhan
perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha.
Bagian Ketiga
Sumber Daya
Pasal 11
(1) Sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas keahlian, kepakaran, kompetensi manusia
dan pengorganisasiannya, kekayaan intelektual dan informasi, serta sarana dan prasarana ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(2) Setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab meningkatkan secara
terus menerus daya guna dan nilai guna sumber daya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12
(1) Dalam meningkatkan keahlian, kepakaran, serta kompetensi manusia dan pengorganisasiannya,
setiap unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab mengembangkan
struktur dan strata keahlian, jenjang karier sumber daya manusia, serta menerapkan sistem
penghargaan dan sanksi yang adil di lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib
menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi.

(1) Pemerintah mendorong kerja sama antara semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam pengembangan jaringan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan penyebaran informasi hasil-hasil kegiatan
penelitian dan pengembangan serta kekayaan yang dimiliki selama tidak mengurangi kepentingan
perlindungan kekayaan intelektual.
(3) Dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib
mengusahakan pembentukan sentra HKI sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
(4) Setiap kekayaan intelektual dan hasil kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, dan inovasi
yang dibiayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib dikelola dan dimanfaatkan dengan baik
oleh perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha yang melaksanakannya.
Pasal 14
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan,
serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi sinergi dan
pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di
kalangan masyarakat.
Bagian Keempat
Jaringan
Pasal 15
(1) Jaringan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi berfungsi membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur
kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 13

153

besar dari keseluruhan yang dapat dihasilkan oleh masing-masing unsur kelembagaan secara sendirisendiri.
(2) Untuk mengembangkan jaringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perguruan tinggi, lembaga
litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang, wajib mengusahakan kemitraan dalam hubungan
yang saling mengisi, melengkapi, memperkuat, dan menghindarkan terjadinya tumpang tindih yang
merupakan pemborosan.
Pasal 16
(1) Perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan intelektual serta
hasil kegiatan penelitian dan pengembangan, yang dibiayai sepenuhnya atau sebagian oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan usaha, pemerintah, atau masyarakat, sejauh
tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila sebagian biaya kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibiayai oleh pihak lain, selain pemerintah dan/atau pemerintah daerah, pengalihan teknologi
dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang telah diatur sebelumnya dengan pihak lain tersebut.
(3) Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang
diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk mengembangkan diri.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.

(1) Kerja sama internasional dapat diusahakan oleh semua unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk meningkatkan alih teknologi dari negara-negara lain serta meningkatkan partisipasi
dalam kehidupan masyarakat ilmiah internasional.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan atas dasar persamaan
kedudukan yang saling menguntungkan dengan tidak merugikan kepentingan nasional, serta tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah bertanggung jawab memberikan dukungan bagi perguruan tinggi dan lembaga litbang
dalam rangka kerja sama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Perguruan tinggi asing, lembaga litbang asing, badan usaha asing, dan orang asing yang tidak
berdomisili di Indonesia yang akan melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia
harus mendapatkan izin tertulis dari instansi pemerintah yang berwenang.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
FUNGSI DAN PERAN PEMERINTAH
Bagian Pertama
Fungsi Pemerintah
Pasal 18
(1) Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta
menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia.
(2) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah wajib
merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan
dan teknologi.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 17

154

Pasal 19
(1) Menteri wajib mengoordinasikan perumusan kebijakan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (2) dengan mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur
kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Untuk mendukung Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan
pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pemerintah membentuk Dewan Riset Nasional yang beranggotakan masyarakat dari unsur
kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek kebijakan penelitian,
pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri wajib memperhatikan
pentingnya upaya :
a. penguatan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis, dan
peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan yang merupakan tulang punggung
perkembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan penguasaan
ilmu-ilmu sosial dan budaya yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan
penelitian dan pengembangan;
c. penguatan kemampuan audit teknologi impor yang dikaitkan dengan penguatan Standar
Nasional Indonesia untuk melindungi konsumen dan memfasilitasi pertumbuhan industri dalam
negeri.

(1) Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas,
serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber
daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi.
(2) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah daerah wajib
merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya.
(3) Dalam merumuskan kebijakan strategis yang dimaksud dalam ayat (2), pemerintah daerah harus
mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(4) Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan,
dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah daerah membentuk Dewan Riset
Daerah yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi di
daerahnya.

Bagian Kedua
Peran Pemerintah
Pasal 21
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 20

155

(2) Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebagai bentuk kemudahan
dan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
(3) Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk dukungan
sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan pembentukan lembaga.
(4) Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang dan lembaga penunjang, baik
yang berdiri sendiri sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen maupun sebagai unit kerja
departemen atau pemerintah daerah tertentu.
(5) Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diselenggarakan secara adil,
demokratis, transparan, dan akuntabel.
Pasal 22
(1) Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara serta keseimbangan tata
kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah mengatur
perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berisiko tinggi dan berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan
ketentuan yang berlaku secara internasional.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 23

(2) Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai budaya asli
masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia.
(3) Pemerintah menjamin perlindungan bagi masyarakat sebagai konsumen, terhadap penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 24
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk berperan serta dalam melaksanakan kegiatan
penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Setiap warga negara yang melakukan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan
dan teknologi mempunyai hak memperoleh penghargaan yang layak dari pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan kinerja yang dihasilkan.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk menggunakan dan mengendalikan kekayaan intelektual yang
dimiliki sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh informasi secara mudah dengan biaya
murah tentang HKI yang sedang didaftarkan dan telah dipublikasikan secara resmi oleh pihak yang
berwenang atau yang telah memperoleh perlindungan hukum di Indonesia.
Pasal 25

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(1) Pemerintah menjamin perlindungan bagi HKI yang dimiliki oleh perseorangan atau lembaga sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

156

(1) Masyarakat wajib memberikan dukungan serta turut membentuk iklim yang dapat mendorong
perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.
(2) Masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi bertanggung jawab untuk berperan serta
mengembangkan profesionalisme dan etika profesi melalui organisasi profesi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap organisasi profesi wajib membentuk dewan kehormatan kode etik sesuai dengan ketentuan
Pasal 12 ayat (2).
BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 26
Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Pasal 27
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang
cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

(3) Perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, lembaga penunjang, organisasi masyarakat dan
inventor mandiri berhak atas dukungan dana dari anggaran pemerintah dan pemerintah daerah
untuk meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
(1) Badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan daya saing
barang dan jasa yang dihasilkan.
(2) Anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan dalam lingkungan sendiri dan
dapat pula digunakan untuk membentuk jalinan kemitraan dengan unsur kelembagaan ilmu
pengetahuan dan teknologi lain.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.

BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 29
Pelanggaran ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dijatuhi sanksi
administratif mulai dari teguran, peringatan, pemberhentian sementara kegiatan, sampai dengan
pembatalan atau pencabutan izin oleh instansi pemberi izin.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(2) Anggaran yang dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membiayai pelaksanaan fungsi dan peran
pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat
(1), dan Pasal 21 ayat (1).

157

Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 30
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tanpa terlebih
dahulu mendapatkan izin diancam pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan/atau penjara paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) yang
mengakibatkan bahaya bagi keselamatan manusia, kesehatan masyarakat, kelestarian fungsi
lingkungan hidup, kerukunan bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara, dijatuhi
sanksi pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan lain yang
berhubungan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak sesuai dengan undangundang ini dinyatakan tidak berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 84

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

158

Lampiran 2.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2007
TENTANG
PENGALOKASIAN SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA
UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN,
INOVASI, DAN DIFUSI TEKNOLOGI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :

Mengingat

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18


Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha Untuk Peningkatan Kemampuan
Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi;

: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4219);

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGALOKASIAN SEBAGIAN PENDAPATAN


BADAN USAHA UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN
DIFUSI TEKNOLOGI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan :


1. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis
untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan
pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan
kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi,
manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi
baru.
3. Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk disain dan
rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan
mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial
budaya, dan estetika.
4. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan
mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

MEMUTUSKAN

159

untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses
produksi.
5. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh
penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya.
6. Badan Usaha adalah badan atau lembaga berbadan hukum yang melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
7. Insentif adalah pemberian kemudahan/keringanan yang diberikan kepada Badan Usaha dalam
rangka upaya peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi.
8. Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh dari penjualan barang dan jasa yang berhubungan
dengan kegiatan utama badan usaha.
9. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penelitian,
pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB II
ALOKASI SEBAGIAN PENDAPATAN BADAN USAHA
Pasal 2
(1) Badan Usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan/atau daya
saing barang dan/atau jasa yang dihasilkan.

Pasal 3
Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengalokasikan sebagian pendapatan sesuai
dengan kemampuannya.
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEREKAYASAAN, INOVASI, DAN DIFUSI
TEKNOLOGI
Pasal 4
Peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dilakukan melalui kegiatan:
a. penelitian, pengembangan dan/atau penerapan teknologi; dan/atau
b. pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian
dan pengembangan.
Pasal 5
(1) Dalam melakukan kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi,
Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat melakukan kemitraan dengan
perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, dan badan usaha lain.
(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk lisensi, kerjasama, dan pelayanan
jasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB IV

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha swasta berbentuk
perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Koperasi.

160

INSENTIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) Badan Usaha yang mengalokasikan sebagian pendapatan untuk peningkatan kemampuan
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dapat diberikan insentif.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk insentif perpajakan, kepabeanan,
dan/atau bantuan teknis penelitian dan pengembangan.
(3) Besar dan jenis insentif perpajakan dan kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan sepanjang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan
dan kepabeanan.
Pasal 7
(1) Bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat
berupa penempatan tenaga ahli dan/atau pemanfaatan fasilitas laboratorium di lembaga
penelitian dan pengembangan pemerintah.
(2) Bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan
untuk kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. kegiatan yang dilakukan di luar negeri;

c. pengumpulan data;
d. survei efisiensi atau studi manajemen;
e. riset pasar dan/atau promosi penjualan; dan
f. pembelian dan/atau pembayaran royalti teknologi dari entitas lain di luar negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan teknis penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Tata Cara Permohonan, Penghentian, dan Perpanjangan Insentif
Pasal 8
(1) Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengajukan permohonan untuk
mendapatkan rekomendasi insentif secara tertulis kepada Menteri.
(2) Pengajuan permohonan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan proposal kegiatan dan bentuk insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan rekomendasi insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 9
(1) Menteri membentuk Tim Pengkajian dan Penilaian, guna melakukan pengkajian dan penilaian
terhadap permohonan insentif.
(2) Hasil pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri
dalam bentuk saran dan pertimbangan.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

b. kegiatan pengawasan dan/atau pengujian rutin terhadap kualitas produk, bahan, peralatan,
produk dan/atau proses;

161

(3) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria
sebagai berikut:
a. kegiatan peningkatan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4;
b. potensi peningkatan kinerja produksi dan/atau daya saing barang dan/atau jasa;
c. pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan di dalam negeri; dan
d. penggunaan sumber daya dalam negeri.
(4) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menjaga
kerahasiaan informasi yang diperoleh.
(5) Pengkajian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan insentif diterima secara lengkap.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan dan tata kerja Tim Pengkajian dan Penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
(1) Menteri dapat memberikan atau tidak memberikan rekomendasi insentif dengan memperhatikan
saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian.
(2) Menteri menyampaikan pemberitahuan persetujuan atau penolakan pemberian rekomendasi
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
penerimaan saran dan pertimbangan Tim Pengkajian dan Penilaian.

(1) Dalam hal Menteri memberikan rekomendasi insentif, rekomendasi disampaikan kepada Badan
Usaha dengan tembusan kepada instansi pemerintah yang berwenang dalam pemberian insentif.
(2) Badan Usaha mengajukan permohonan insentif kepada instansi pemerintah yang berwenang
disertai dengan rekomendasi insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara pengajuan permohonan insentif perpajakan dan kepabeanan dilakukan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan.
Pasal 12
Dalam hal Menteri tidak memberikan rekomendasi insentif, pemberitahuan disampaikan kepada Badan
Usaha disertai dengan alasannya.
Pasal 13
(1) Dalam hal pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) berupa bantuan teknis
penelitian dan pengembangan, instansi pemerintah yang berwenang dapat menghentikan atau
memperpanjang pemberian insentif.
(2) Penetapan penghentian atau perpanjangan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang setelah meminta saran dan pertimbangan
Menteri.
(3) Menteri menyampaikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
instansi pemerintah yang berwenang dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Tim
Pengkajian dan Penilaian.
(4) Penghentian atau perpanjangan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan keputusan pimpinan instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 11

162

Bagian Ketiga
Pelaporan
Pasal 14
(1) Pada setiap akhir tahun dan akhir kegiatan, Badan Usaha yang mendapat insentif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib menyerahkan laporan kegiatan peningkatan kemampuan,
perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat pencapaian kegiatan yang
telah dilakukan dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3).
(3) Menteri dapat melakukan verifikasi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) guna
memberikan saran dan pertimbangan penghentian atau perpanjangan insentif kepada instansi
pemerintah yang berwenang.
(4) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menjaga kerahasiaan informasi
yang diperoleh.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 78

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

163

Lampiran 3.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 93 TAHUN 2010
TENTANG
SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA,
DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA


NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN
FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1
Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto
dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas:
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk
korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana
atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari
instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Mengingat

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf
l, dan huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan
Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga,
dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto;

164

b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan
melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang
disampaikan melalui lembaga pendidikan;
d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina,
mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga
prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Pasal 2
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto dengan syarat:
a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan
diberikan;
c. didukung oleh bukti yang sah; dan

Pasal 3
Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak
melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Pasal 4
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat
diberikan dalambentuk uang dan/atau barang.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan
hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
Pasal 6
(1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan
berdasarkan:
a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan;
b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
c. harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali
badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Pajak Penghasilan.

165

(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana
dan/atau prasarana.
Pasal 7
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan
peruntukannya oleh pemberi sumbangan.
Pasal 8
(1) Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran
sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.
(2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada
Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau
biaya.
(3) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak
melaporkan sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai lampiran
laporan keuangan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya
sumbangan.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 160

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 10

166

Lampiran 4.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2010
TENTANG
KOMITE INOVASI NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa kebijakan inovasi nasional di Indonesia perlu dilaksanakan secara terencana,
terpadu, terintegrasi, dan terkoordinasi dalam satu kesatuan sistem inovasi nasional
guna meningkatkan produktifitas nasional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi
bangsa;
b. bahwa dalam rangka implementasi pelaksanaan sitem inovasi nasional secara efektif
dan efisien, perlu dilakukan melalui institusi yang efektif dan berhasil-guna baik dari
sisi legalitas dan otoritas;
c. bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b
serta dalam rangka pelaksanaan dan pengendalian sistem inovasi nasional, perlu
membentuk Komite Inovasi Nasional dengan Peraturan Presiden;
: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sitem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4219);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG KOMITE INOVASI NASIONAL

Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan Sistem Inovasi Nasional adalah suatu jaringan
rantai antara institusi publik, lembaga riset dan teknologi, universitas serta sektor swasta dalam suatu
pengaturan kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka panjang dapat mendorong, mendukung,
dan menyinergikan kegiatan untuk menghasilkan, mendayagunakan, merekayasa inovasi-inovasi di
berbagai sektor, dan menerapkan serta mendiseminasikan hasilnya dalam skala nasional agar manfaat
nyata temuan dan produk inovatif dapat dirasakan masyarakat.
Pasal 2
Dalam rangka penguatan sistem Inovasi Nasional, dibentuk Komite Inovasi Nasional yang selanjutnya
disebut KIN.
Pasal 3
(1) KIN bertugas untuk:
a. membantu Presiden dalam rangka memperkuat sistem inovasi nasional dan mengembangkan
budaya inovasi nasional;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Mengingat

167

b. memberi masukan dan pertimbangan mengenai prioritas program dan rencana aksi, termasuk
alokasi pembiayaan dan fasilitas untuk penguatan sistem inovasi nasional yang menghsilkan
produkproduk inovatif;
c. melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan program
pengutan sistem inovasi nasional.
(2) Penguatan sistem inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan meliputi
inovasi-inovasi di bidang ketahanan pangan, ketahanan energi, bioteknologi, industri manufaktur,
Industri infrastruktur, transportasi dan industri pertahanan, teknologi pemrosesan pertanian dan
pemrosesan ikan laut dalam, manajemen bencana alam, serta inovasi lainnya yang berbasis ilmu
pengetahuan (knowledge).
(3) Dalam rangka melaksanakan tugasnya, KIN melakukan konsultasi, koordinasi, dan kerja sama
dengan lembaga pemerintahan dan non pemerintahan, wakil-wakil kelompok masyarakat, serta
komunitas ilmiah dan universitas, periset, pakar teknologi dan inovator dalam rangka keterpaduan
penguatan sistem inovasi nasional.
Pasal 4
Keanggotaan KIN terdiri dari:
Ketua

: Prof. Dr. Ir., Zuhal, M.Sc.E,E;

Wakil Ketua

: Rektor Institut Pertanian Bogor

Sekretaris

: Prof. Drs. Freddy Permana Zen, M.S., M.Sc. D.Sc

Anggota

: 1. Prof. Dr. Sangkot Marzuki, D. Sc;

3. Dr. Ninok Leksono, MA;


4. Prof. Drs. Umar A. Jenie, M.Sc., Apt. Ph.D;
5. Dr. Ir. Marzan A. Iskandar, M.Sc;
6. Dr. Ir. Idwan Suhardi
7. Dr. Lukman Hakim, M.Sc., Ph.D;
8. Prof. Bustanul Arifin, MS., Ph.D;
9. Ir. Amir Sambodo, MBA;
10. Rachmat Gobel;
11. Dr. Ing. Ilham A. Habibie;
12. Prof. Dr. IR. Tien Muchtadi, M.S.;
13. Dr. Ir. Anton Apriantono, M.S.;
14. Prof. Dr. Arief Rahman, M.Pd;
15. Ir. Jusman Syafii Djamal;
16. Dr. Bambang Kesowo, S.H.,LL.M;
17. Betti Setiastuti Alisjahbana;
18. Tri Mumpuni Wiyanto;
19. Rektor Universitas Indonesia;
20. Rektor Institut Teknologi Bandung;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2. Prof. Dr. Sahari Besari;

168

21. Rektor Universitas Gajah Mada;


22. Rektor Institut Teknologi Surabaya;
23. Rektor Universitas Hasanudin;
24. Rektor Universitas Syiah Kuala;
25. Rektor Universitas Cenderawasih;
26. Rektor Universitas Pattimura;
27. Rektor Universitas Udayana.

Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, KIN memeperhatikan arahan dari pengarah.
(2) Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
Ketua

: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

Anggota

: 1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;


2. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;
3. Menteri Sekretaris Negara;
4. Menteri Keuangan;
5. Menteri Riset dan Teknologi;

Pasal 6
KIN melaksanakan tugasnya sejak ditetapkan Peraturan Presiden ini sampai berakhirnya masa bakti
Kabinet Indonesia Bersatu II.
Pasal 7
(1) KIN melaksanakan tugasnya sejak berkoordinasi dengan Menteri Riset dan Teknologi.
(2) KIN melakukan rapat koordinasi secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)
bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) KIN dapat mengundang pimpinan instansi terkait dan pihak lain yang dipandang perlu pada rapat
koordinasi KIN.
Pasal 8
Hasil rapat koordinasi KIN oleh masing-masing anggota KIN dilaksanakan sesuai dengan tugas dan
fungsinya masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Mekanisme dan tata kerja Komite Inovasi Nasional diatur lebih lanjut oleh Ketua Komite Inovasi
Nasional.
Pasal 10
Ketua KIN melaporkan kepada presiden setiap perkembangan dan permasalahan yang ada dalam
penyelenggaraan sistem inovasi nasional agar segera dapat diambil keputusan untuk penyelesaian
masalahnya.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

6. Sekretaris Kabinet

169

Pasal 11
KIN dalam pelaksanaan tugasnya dibantu sebuah Sekretariat yang secara fungsional dilakukan oleh
salah satu unit kerja di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi.
Pasal 12
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi KIN dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara c.q. anggaran Kementerian Riset dan Teknologi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Mei 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Politik, Keamanan,
Pertanahan, Ratifikasi, dan Permasalahan Hukum
Bistok Simbolon.

170

Lampiran 5.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2011
TENTANG
MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN
PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 201 1-2025
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005 2025 dan untuk melengkapi dokumen perencanaan guna meningkatkan daya
saing perekonomian nasional yang lebih solid, diperlukan adanya suatu masterplan
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia yang memiliki arah yang
jelas, strategi yang tepat, fokus dan terukur;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu
menetapkan Peraturan Pr es iden tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005 2025;

Menetapkan :

PERATURAN PRESIDEN TENTANG MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN


PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 201 1-2025.

Pasal 1
(1) Menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 -2025,
yang selanjutnya disebut MP3EI.
(2) MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi
Indonesia untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2011 sampai dengan tahun
2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 2025 dan
melengkapi dokumen perencanaan.
(3) MP3EI terdiri atas 4 (empat) bagian, meliputi:
a. Pendahuluan;
b. Prasyarat dan Strategi MP3EI;
c. Koridor Ekonomi Indonesia; dan
d. Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi MP3EI.
(4) MP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

MEMUTUSKAN :

171

Pasal 2
MP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, berfungsi sebagai:
a. acuan bagi menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian untuk menetapkan
kebijakan sektoral dalam rangka pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi
Indonesia di bidang tugas masing-masing, yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis
masing-masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sebagai bagian dari dokumen
perencanaan pembangunan; dan
b. acuan untuk penyusunan kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia
pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait.
Pasal 3
MP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dapat menjadi acuan bagi badan usaha dalam
menanamkan modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Koordinasi pelaksanaan MP3EI dilakukan oleh Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025, yang selanjutnya disebut KP3EI.
(2) KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:
a. melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan MP3EI;
b. melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan MP3EI; dan
c. menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam rangka penyelesaian permasalahan dan
hambatan pelaksanaan MP3EI.

(1) KP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri dari:


Ketua

: Presiden Republik Indonesia;

Wakil Ketua

: Wakil Presiden Republik Indonesia;

Ketua Harian

: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;

Wakil Ketua Harian I : Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/


Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
Wakil Ketua Harian II : Ketua Komite Ekonomi Nasional;
Anggota

: 1. Menteri Dalam Negeri;


2. Menteri Keuangan;
3. Menteri Perindustrian;
4. Menteri Perdagangan;
5. Menteri Sekretaris Negara;
6. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
7. Menteri Pertahanan;
8. Menteri Pertanian;
9. Menteri Pekerjaan Umum;
10. Menteri Perhubungan;

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 5

172

11. Menteri Kehutanan;


12. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;
13. Menteri Kelautan dan Perikanan;
14. Menteri Komunikasi dan Informatika;
15. Menteri Riset dan Teknologi;
16. Menteri Lingkungan Hidup;
17. Menteri Badan Usaha Milik Negara;
18. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
19. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
20. Menteri Pendidikan Nasional;
21. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal;
22. Sekretaris Kabinet;
23. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
24. Kepala Badan Pertanahan Nasional;
25. Ketua Komite Inovasi Nasional;
26. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
(2) Pelaksanaan tugas KP3EI sehari-hari dipimpin oleh Ketua Harian.

Untuk membantu pelaksanaan tugas KP3EI, dibentuk Tim Kerja.


Pasal 7
Mekanisme dan tata kerja KP3EI, susunan organisasi, keanggotaan serta tata kerja Tim Kerja, ditetapkan
oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Harian KP3EI.
Pasal 8
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, KP3EI didukung oleh Sekretariat KP3EI, yang secara
administrasi berkedudukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
(2) Sekretariat KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipimpin oleh Sekretaris KP3EI.
(3) Susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat KP3EI ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian selaku Ketua Harian KP3EI.
Pasal 9
Sekretaris KP3EI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), diangkat dan diberhent ikan oleh
Menter i Koordinator Bidang Perekonomian.
Pasal 10
(1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Sekretariat KP3EI, Sekretaris KP3EI mengangkat
tenaga profesional pada Sekretariat KP3EI.
(2) Tenaga profesional pada Sekretar iat KP3EI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berasal
dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan non-PNS.
Pasal 11
(1) PNS yang ditempatkan pada Sekretariat KP3EI berstatus dipekerjakan.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Pasal 6

173

(2) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih
tinggi tanpa terikat jenjang pangkat, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dari jabatan organik di instansi induk yang
bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berhenti atau telah berakhir masa baktinya,
kembali kepada instansi induknya apabila belum mencapai usia pensiun.
(5) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai PNS apabila telah
mencapai batas usia pensiun dan diberi hak-hak kepegawaian, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 12
Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Sekretaris KP3EI dan tenaga profesional pada Sekretariat KP3EI,
ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian setelah mendapat pertimbangan dar i
menteri yang menangani urusan pemerintah di bidang keuangan dan menteri yang menangani urusan
pemerintah di bidang aparatur negara.
Pasal 13
Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas KP3EI, dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 14

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Mei 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Peraturan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

174

Lampiran 6.
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 243b /M/Kp/IX/2011
TENTANG
PERUBAHAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI
TAHUN 2010-2014
MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka revitalisasi serta penajaman program dan kegiatan Kementerian
Riset dan Teknologi yang mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), perlu
dilakukan perubahan Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 20102014;

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4219);

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana


Kerja Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4402);
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011-2025;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Bersatu II;
7. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP);
8. Peraturan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor
03/M/PER/VI/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Riset dan
Teknologi;
9. Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor
03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun
2010-2014;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI TAHUN 20102014.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

175

PERTAMA

: Menetapkan Perubahan Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi Tahun


2010-2014, yang selanjutnya disebut Renstra Kementerian Riset dan Teknologi Tahun
2010-2014 sebagaimana terdapat dalam Lampiran Keputusan ini dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KEDUA

: Renstra Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2010-2014 merupakan panduan dalam
melaksanakan penyusunan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan
Kementerian Riset dan Teknologi.

KETIGA

: Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi
Nomor 03/M/Kp/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Riset dan Teknologi
Tahun 2010-2014, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KEEMPAT

: Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 September 2011

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI


REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
SUHARNA SURAPRANATA

176

Lampiran 8.

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 246 /M/Kp/IX/2011
TENTANG
ARAH PENGUATAN SISTEM INOVASI NASIONAL UNTUK MENINGKATKAN KONTRIBUSI
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa strategi pembangunan iptek dilaksanakan melalui dua prioritas
pembangunan, yaitu penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), peningkatan
penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek;
b. bahwa penguatan SINas diarahkan untuk penciptaan ruang bagi interaksi dan
kolaborasi pelaku inovasi, percepatan koordinasi dan intermediasi antara penyedia
dan pengguna teknologi, serta mendorong pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan


huruf c, maka perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi
tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional;
Mengingat

: 1. Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4219);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan
Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI TENTANG ARAH PENGUATAN
SISTEM INOVASI NASIONAL UNTUK MENINGKATKAN KONTRIBUSI ILMU
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI TERHADAP PEMBANGUNAN NASIONAL.
PERTAMA

: Menetapkan Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional untuk Meningkatkan Kontribusi


Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terhadap Pembangunan Nasional, yang selanjutnya

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

c. bahwa arah penguatan SINas diperlukan sebagai pedoman untuk refocusing dan
sinergi dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan riset dan
teknologi secara efektif dan efisien, dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek
terhadap pembangunan nasional;

177

disebut Arah Penguatan SINas sebagaimana terdapat dalam Lampiran Keputusan ini
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.
KEDUA

: Arah Penguatan SINas sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA adalah dokumen
kebijakan untuk refocusing dan sinergi dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek
terhadap pembangunan nasional.

KETIGA

: Arah Penguatan SINas sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA merupakan acuan
dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan riset dan teknologi secara
lebih efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan kontribusi iptek terhadap
pembangunan nasional.

KEEMPAT

: Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 2011
MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
SUHARNA SURAPRANATA

178

Lampiran 9.
SAMBUTAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA SILATURRAHIM
DENGAN AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (AIPI)
DAN MASYARAKAT ILMIAH
Serpong, 20 Januari 2010

Bismillah Hirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Wr Wb
Salam sejahtera untuk kita semua,
Yang saya hormati, Presiden Republik Indonesia ketiga, Bapak Prof. Dr. Baharudin Jusuf Habibie,
Yang saya hormati Menteri Riset dan Teknologi dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II,
Yang Mulia Ambassador Cameron Hume,
Yang saya hormati Gubernur Banten,
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Para Ilmuwan yang tergabung dalam AIPI, LIPI,
dan asosiasi-asosiasi ilmu pengetahuan di Indonesia,

Marilah kita bersama-sama, memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah
SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita tetap diberi kekuatan, dan insya Allah kesehatan,
sehingga kita dapat bertatap muka dalam kesempatan yang membahagiakan ini.
Melalui kesempatan ini pula, saya ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada para ilmuwan
terkemuka Indonesia yang tergabung dalam Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), atas
pemikiran, kajian, dan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kemajuan yang
kita capai hingga hari ini, tentu tidak terlepas dari kontribusi saudara semua.
Saya juga menyampaikan penghargaan yang tinggi atas pernyataan Presiden Barack Obama, yang baru
saja dibacakan oleh Duta Besar Cameron Hume. Pandangan yang konstruktif dan ajakan positif Presiden
Obama untuk meningkatkan kerjasama bilateral di bidang Iptek, pendidikan, energi dan perubahan iklim
patut kita sambut dengan baik. Namun kita semua juga merasa prihatin bahwa US Science and
Technology Special Envoy, Mr. Bruce Alberts, yang semula akan hadir di sini mengalami musibah
kecelakaan. Mari kita doakan, agar Mr. Bruce Alberts dapat lekas pulih kembali seperti sediakala.
Saudara-saudara,
Kita sungguh berharap, pertemuan ini dapat merintis jalan ke arah peningkatan kerja sama antara
Indonesia-Amerika Serikat, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Indonesia dan Amerika Serikat
kini sedang aktif menggarap suatu Kemitraan Strategis baru: yaitu suatu kemitraan komprehensif, yang
mencakup kerja sama dalam berbagai sektor penting bagi kedua negara. Dalam kaitan ini, kerja sama di
bidang pendidikan dan teknologi menjadi bagian penting dari kemitraan strategis kedua negara. Insya
Allah, Kemitraan Komprehensif ini dapat diresmikan dalam kunjungan Presiden Barack Obama ke
Indonesia yang direncanakan tahun ini.
Saya juga menyambut baik pernyataan Presiden Obama di Kairo bulan Juni tahun lalu, bahwa Amerika
Serikat kini berkomitmen untuk membangun kemitraan barua new beginningdengan dunia Islam,
yang di antaranya mencakup kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

179

Hal ini penting karena beberapa hal :


PERTAMA, memang, kalau kita ingin membangun suatu peradaban dunia (global civilization), kita perlu
terus membangun jembatan antar-peradaban, terutama di antara dunia Barat dan dunia Islam. Semua
pihak harus berperan aktif menyebarkan soft power, yang akan memperkokoh landasan bagi
perdamaian dunia.
KEDUA, Islam tidak pernah bertolak belakang atau memusuhi ilmu pengetahuanbahkan Islam selalu
selaras dengan ilmu pengetahuan. Bahkan, puncak kejayaan Islam sebagai peradaban dunia yang paling
maju di Abad ke-13 justru terjadi, karena umat Islam membuka diri dan mengejar ilmu pengetahuan di
manapun. Dengan pusat peradaban di Baghdad, umat Islam mencatat berbagai kemajuan dan
penemuan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sampai sekarang kita
rasakan manfaatnya: kompas, anestesi, aljabar, optik, astrologi, irigasi, navigasi, kimia, teknik sipil,
rumah sakit pertama, dan kapal-kapal perdagangan. Pesan dan pelajaran sejarah ini masih tetap
relevanbahkan semakin relevansekarang: siapa yang mau maju, harus menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi.

Sewaktu saya berpidato di Harvard University akhir tahun lalu, dan juga dalam artikel The Economists
yang saya tulis, saya menekankan bahwa Abad ke-21 tidak harus mengikuti skenario clash of
civilizations. Abad ke-21 justru dapat kita wujudkan menjadi suatu confluence of civilizations, di mana
seluruh peradaban duniaapakah Barat, Islam, Timurdapat hidup berdampingan secara damai, dan
dapat saling memperkaya dan melengkapi.
Kita yakini bahwa hal ini bukan sebuah utopia, tetapi suatu visi yang realistisan achieveable vision.
Hadirin yang saya hormati,
Mari kita memulai dengan suatu preposisi: Abad ke-21 akan menjadi abad paling inovatif dalam sejarah
umat manusia. Disadari atau tidak, kita sedang berada dalam arus perubahan sejarah yang sangat
dahsyat. Ada yang menyatakan bahwa arus perubahan dalam 10 tahun mendatang, akan lebih deras
daripada perubahan dalam 100 tahun terakhir.
Kita lihat saja komputer, internet dan telepon selular. Di awal tahun 1990an, email, komputer dan
handphone hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kini, 20 tahun kemudian, di seluruh dunia, 1,4 milyar
orang telah mempunyai e-mail, ada 1 miliar komputer, dan 3,3 miliar pengguna handphonesekitar
separuh dari jumlah penduduk dunia. Proses ini akan terus berkembang. Kita meyakini bahwa di paruh
kedua Abad-21, sebagian besar umat manusia akan terjamah oleh komputer, internet dan handphone.
Peradaban manusia juga sering berubah karena ide-ide dan penemuan-penemuan baru. Penemuan
bubuk mesiu menimbulkan transformasi militer dengan segala implikasi politiknya. Penemuan mesin
uap memulai revolusi industri dan mengubah sejarah Eropa. Penemuan vaksin di abad ke-18 mengubah
ilmu kodokteran dan menyelamatkan jutaan umat manusia. Penemuan reaksi fisi nuklir menghasilkan
bom
atom
dan
senjata
nuklir
yang
dapat
memusnahkan
umat
manusia.
Berbeda dari abad-abad sebelumnya, perubahan yang kita alami di Abad ke-21 akan bergerak sangat
pesat. Misalnya: dalam kurun waktu hanya sekitar 100 tahun, manusia dapat bergerak dari kecepatan
kuda, ke kecepatan mobil, ke kecepatan jet, ke kecepatan suara, dan bahkan sudah mendarat di bulan.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Dan KETIGA, tidak akan pernah ada the second Islamic renaissance di Abad ke-21, tanpa penguasaan
umat Islam di bidang iptek. Meskipun terdapat kemajuan di beberapa komunitas Islam, sebagian besar
umat Islam saat ini masih tertinggal dalam pencapaian Millenium Development Goals, dan Human
Development Index, masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, serta masih termarginalisasi
dalam era globalisasi. Masih banyak umat Islam yang terlalu bernostalgia terhadap kejayaan di masa
lalu, tanpa memahami bahwa peluang untuk maju dan berkarya di depan mata justru jauh lebih besar.

180

Sejumlah negarabaik besar maupun kecilyang dulu dikenal sebagai negara miskin kini telah melejit
menjadi ekonomi yang unggul. Indonesia sendiri, yang dulu pernah menjadi salah satu bangsa paling
miskin di Asia, kini telah menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G-20.
Kita juga melihat perubahan pesat ini di bidang lingkungan, khususnya perubahan iklim. Semenjak
revolusi industri di Eropa 200 tahun lalu, karena ulah manusia, terutama di negara-negara industri maju,
suhu dunia telah naik sekitar 0,6 derajat celcius. Konsentrasi karbondioksida meningkat 36%, dan
lapisan ozon semakin menipis. Kalau kita tidak cepat meng-atasinya, suhu dunia bisa naik 4 derajat
Celsius dan membawa malapetaka bagi umat manusia dan bagi planet bumirumah kita satu-satunya.
Dalam menghadapi arus sejarah yang dahsyat ini, saya yakin sekali bahwa dalam Abad ke-21 yang akan
menjadi the most powerful driver of change adalah teknologi. Apakah itu bangsa, perusahaan,
komunitas, atau individu, the biggest driver for change adalah teknologi.
Dewasa ini, kita semua telah melihat dan merasakan: porsi teknologi dalam PDB kita semakin besar.
Porsi Teknologi dan know-how semakin menonjol, apakah itu untuk pertanian, industri, perdagangan,
keuangan, pendidikan, kesehatan, pertahanan, jasa, dan lain-lain. Makin nyata, pertumbuhan ekonomi
dan daya saing sebuah bangsa sangat disumbang oleh penguasaan teknologi. Inilah yang sering disebut
sebagai intangible intellectual resources, atau knowledge capital.

Saudara-saudara,
Karena itulah, kunci dari keunggulan Indonesia di Abad ke-21 adalah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah satu penyebab bangsa kita terbelakang selama ratusan tahun adalah, karena nenek moyang kita
tidak mendapatkan akses terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari belahan dunia lain.
Sebelum kebangkitan nasional tahun 1908, pada saat Eropa mendominasi dunia, Jepang mengalami
Restorasi Meiji, Amerika Latin menikmati masa kemakmuran, Amerika Utara tumbuh pesat, dan
Kerajaan Islam Otoman berjaya, bangsa Indonesia masih terisolasi dalam penindasan kolonialisme, dan
rakyat kita tenggelam dalam kebodohan dan kemiskinan.
Abad ke-20 adalah abad kebangkitan nasional, abad kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Kunci sukses
kita untuk mencapai itu tiada lain adalah persatuan. Kita mutlak membutuhkan persatuan untuk
melawan penjajah, untuk mempertahankan kemerdekaan, untuk menangkal separatisme, untuk
menjaga keutuhan wilayah, untuk membangun perekonomian, untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat, dan untuk mengembangkan jati diri bangsa. Itulah perjuangan kita di Abad ke-20.
Di Abad ke-21, situasinya telah berbeda: Hakikatnya, Indonesia tidak punya musuh, dan tidak ada
negara lain yang memusuhi Indonesia. Politik bebas aktif Indonesia kini diabdikan untuk mewujudkan a
million friends, zero enemy. Abad ke-21 adalah abad keunggulan, dan kunci sukses untuk mencapai itu
adalah inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, untuk mengentaskan
kemiskinan, untuk memacu pertumbuhan dan produktivitas, dan untuk menjadi bangsa yang terhormat,
maju dan kompetitif.

Saudara-saudara,
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa adalah hasil dari suatu kerja besar yang
terencana dan berkesinam-bungan. Sesungguhnya pula merupakan bagian integral yang dinamis dari
sebuah peradaban (civilization). Teknologi tidak bisa dimimpikan dan didatangkan begitu sajabukan

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Kecenderungan ini akan terus menguat, karena proses pengembangan teknologi tidak akan pernah
berhenti. Dalam abad yang sangat progresif ini, kita tidak bisa lagi hanya mengutuk masa lalu atau
menyalahkan orang lain. Kalau kita gagal, itu adalah kesalahan kita sendiri, karena kita tidak mampu
membaca tanda-tanda zaman. Kalau kita kelak tampil unggul di depan yang lain, itu terjadi karena kerja
keras dan kemampuan kita dalam beradaptasi.

181

seperti membeli barang di supermarket. Mungkin satu dua teknologi bisa dibeli seperti itunamun
tidak untuk mencapai technological society, dan juga knowledge society.
Untuk menjadi bangsa yang menguasai iptek, kita harus bisa menempatkan inovasi sebagai urat nadi
kehidupan bangsa Indonesia. Kita harus bisa menjadi Innovation Nation bangsa inovasi! Rumah bagi
manusia-manusia yang kreatif dan inovatif.
Untuk mencapai kondisi seperti itu ada sejumlah hal penting yang harus kita bangun dan lakukan.
Pertama, adalah mengubah mindset. Ingatlah, innovation is a state of mind. Inovasi itu adalah suatu
semangat, suatu energi, dan suatu etos. Semua fenomena sejarahapakah itu peradaban Islam,
Renaissance di Eropa, Restorasi Meiji di Jepang, tampilnya Amerika sebagai superpower, the rise of
Cina dan Indiasemuanya dimulai dengan suatu semangat, dan terbangunnya mindset baru, yang
kemudian menghasilkan berbagai inovasi baru, dan yang akhirnya mengakibatkan transformasi besarbesaran.
Karena itulah, kita di Indonesia harus bisa mengembangkan budaya unggula culture of excellence
baik di birokrasi, di universitas, maupun di sektor swasta. Sistem dan lingkungan nasional kita harus bisa
melahirkan inovator-inovator yang kreatif. Ini semua akan terwujud jika masyarakat kita, kita semua,
benar-benar menghargai kerja keras kaum peneliti, ilmuwan, dan inventor. Mereka harus bisa menjadi
ikon masyarakat, dan bukan menjadi catatan pinggir, apalagi hidup tanpa penghormatan, tanpa
apresiasi, dan tidak sejahtera. Ilmuwan, peneliti dan inovator harus berada di garis terdepan perubahan
nasib bangsa, dan menjadi pendekar keunggulan.

Karena itulah, kita bercita-cita agar Indonesia menjadi bagian integral dari komunitas ilmuwan dunia.
Kita berharap sebanyak mungkin ilmuwan Indonesia mengadakan riset, baik di Indonesia maupun di
luar negeri. Saya ingin ilmuwan Indonesia bahu membahu dengan ilmuwan internasional, dalam
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kita harus aktif bukan saja menyerap ilmu dari
dunia, namun juga menyumbang ilmu untuk dunia. Itulah mindset yang akan mengantarkan kita
menjadi Innovation Nation.
Saudara-saudara faktor kedua adalah, selain didukung mindset yang tepat, inovasi juga memerlukan
Investasi dan Insentif. Inovasi tidak datang dari langit, namun memerlukan inkubator-inkubatordi
lingkungan pemerintah, universitas, perusahaan, dan lain-lain. Mau tidak mau, harus ada sumberdaya
dan dana yang cukup, serta program yang berkesinambungan.
Pada awal saya mengemban amanah rakyat, saya menyadari bahwa alokasi dana untuk penelitian dan
pengembangan (R&D-research and development) di Indonesia pada tahun 2005 masih rendah yaitu
sekitar Rp 1 trilyun. Karena itulah, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan porsi itu menjadi
lebih memadai, dan syukur alhamdullilah pada tahun 2010 dapat kita tingkatkan menjadi Rp 1,9 triliun.
Tentu saja jumlah inipun masih harus terus kita tingkatkan. Namun, perlu diingat, sumberdaya dan dana
penelitian dan pengembangan tidak hanya berasal dari APBN, tetapi juga mesti dianggarkan oleh dunia
usaha yang juga memerlukan inovasi di perusahaannya masing-masing. Pendanaan dari kerjasama
internasional juga merupakan alternatif yang makin terbuka.
Sementara itu saya berpandangan, bahwa cara penting untuk membangun inovasi adalah melalui
pengembangan enterpreneurship. Kita semua tahu bahwa enterpreneurship identik dengan inovasi,
risk-taking, peluang, dan dinamisme. Di Amerika, Cina, India, Jepang, Korea, dan Singapura, kita melihat
bahwa inovasi tumbuh pesat sejalan dengan merebaknya enterpreneurship.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Inovasi juga menuntut sikap open-mind dan risk-taking, bukan sikap yang kaku dan dogmatis. Komunitas
iptek Indonesia harus berwawasan jauh lebih terbuka dan lebih progresif dari masanya, dan dari
masyarakat, untuk mengembangkan ilmu dan teknologi. Dalam era globalisasi dewasa ini, Nasionalisme
kita dicerminkan bukan dalam tindakan melawan atau menutup diri dari dunia, namun dalam
kemampuan untuk menyerap ilmu dan teknologi dari manapun untuk kepentingan rakyat Indonesia.

182

Yang juga penting diingat: kita tidak harus selalu menjadi inventor teknologi baru. Namun kita harus
cerdik mencari, menyerap dan mengembangkan teknologi baru untuk pembangunan Indonesia. Bahkan,
sering terjadi, pihak yang lebih cerdik mendayagunakan teknologi bisa lebih maju dari pihak yang
menemukan teknologi itu sendiri.
Faktor ketiga adalah, kebijakan pemerintah dan kolaborasi. Kalau kita lihat dari bukti-bukti empiris,
hampir semua inovasi teknologi merupakan hasil dari suatu kolaborasi, apakah itu kolaborasi antarpemerintah, antar-universitas, antar-perusahaan, antar-ilmuwan, atau kombinasi dari semuanya.
Karena itulah, networking antara inkubator menjadi sangat penting. Saya mendorong ilmuwan
Indonesia untuk menjalin networking dan kolaborasi yang seluas-luasnya dengan lembaga penelitian,
lembaga kajian dan universitas manapun di dunia, karena ini adalah kunci sukses bagi masa depan kita.
Salah satu ciri Era Globalisasi dewasa ini adalah keniscayaan untuk sebuah knowledge-sharing antar
bangsa.

Hadirin sekalian yang saya hormati,


Dunia kini boleh dikatakan sedang panen teknologi. Namun perlu diingat, teknologi yang kita cari dan
pilih haruslah tetap relevan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang dan
ke depan. Tantangan itu antara lain adalah : pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan dan energi,
pemeliharaan lingkungan hidup, peningkatan industri, ketangguhan pertahanan dan keamanan negara,
serta penguasaan teknologi yang menjemput masa depan.

Pertama, teknologi untuk mengentaskan kemiskinanpro-poor technology. Teknologi sering disalahpersepsikan seolah hanya untuk kepentingan industri besar yang canggih saja. Padahal untuk negeri kita
juga diperlukan teknologi yang dapat memberdayakan rakyat miskin. Misalnya: telekomunikasi murah
untuk desa terpencil, bibit unggul, teknologi air bersih, hidroenergi dan Rumah Sederhana Tahan
Gempa.
Kedua, teknologi hijau green technology. Kita sudah menetapkan target penurunan emisi 26% untuk
tahun 2020 dari business as usual, dan target ini bisa ditingkatkan menjadi 41% apabila ada bantuan
internasional yang memadai. Untuk itu, kita harus menerapkan pembangunan yang hemat energi (low
carbon footprint), meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan seperti geothermal, angin, dan
surya, serta meningkatkan teknologi pengawasan hutan, misalnya melalui satelit, untuk mendeteksi
hotspot kebakaran hutan. Saya juga bangga bahwa seorang inovator energi kita, Saudari Tri Mumpuni,
telah merintis pembangunan energi mikro-hidro di desa-desa, dan telah mendapatkan pengakuan
internasional. Inovasi segar seperti ini harus terus dikembangkan dan disebarkan.
Ketiga, teknologi pangan, yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat kita (food security). Kita
memerlukan teknologi pertanian baru untuk mencari bibit unggul, meningkatkan hasil panen, dan
melipat-gandakan produktifitas pangan guna mencapai kondisi swasembada, bahkan ketahanan pangan
yang berkelanjutan. Saya ingin, pada saatnya nanti Indonesia menjadi major food producer di dunia
internasional.
Keempat, teknologi industri. Produk-produk industri Indonesia harus bisa menunjang pencapaian 2
aspek penting, yaitu padat teknologi dan padat karya. Kita harus bisa membuat industri kita lebih
efisien, lebih produktif dan lebih mempunyai nilai tambah. Kita juga harus mulai mencapai high-end
products, menciptakan branding yang dikenal dunia internasional, dan bahkan bisa bersaing dalam
aspek desain yang selama ini cenderung didominasi industri negara-negara maju. Hal ini penting karena
pada saat ini dan ke depan, industri akan tetap menjadi tulang panggung ekonomi Indonesia.
Kelima, teknologi kesehatan. Kita harus mencari teknologi terkini untuk memerangi penyakit-penyakit
menular : apakah itu H5N1, H1N1 dan virus-virus berbahaya lainnya, yang pasti akan terus bermutasi

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Karena itulah, ke depan, bangsa Indonesia harus makin menguasai teknologi, yang dapat menjawab
tantangan-tantangan pokok itu.

183

mengancam keluarga kita dan bahkan umat manusia. Virus berbahaya, sama seperti bencana alam,
akan menjadi salah satu ancaman paling riil bagi bangsa kita di abad ke-21. Seperti yang kita alami
dalam kasus epidemi H1N1 (Swine Flu), Indonesia tidak bisa menangani ancaman ini sendiri, apalagi
kalau menyangkut virus yang datang dari luar yang kita tidak mempunyai vaksinnya. Karena itulah, kita
harus bekerja-sama dua arah : kita berbagi ilmu dan penemuan dengan dunia kesehatan internasional,
sebagaimana kita terus mengharapkan dunia luar berbagi dengan kita.
Keenam, teknologi maritim. Sebagai negara Nusantara, kita harus membangun teknologi kelautan,
misalnya untuk konversi air minum atau teknologi perkapalan. Kita juga harus mendapatkan teknologi
canggih untuk bisa mengeksplorasi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, baik perikanan,
hydrocarbon dan mineral. Saat ini, misalnya, kita belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk
melakukan offshore drilling apalagi deep sea drilling. Indonesia secara fisik adalah negara Kepulauan
terbesar di dunia, tapi kita belum menjadi negara maritim yang kuat.

Dan, kedelapan adalah, teknologi masa depan: yaitu nano technology, bio-engineering, genomics,
robotics, dan lain-lain. Teknologi-teknologi revolusioner ini tentu tidak sepatutnya hanya didominasi dan
dimonopoli negara-negara maju saja. Banyak emerging economies --seperti Cina, India, dan Brazil - yang
kini mulai merintis teknologi-teknologi baru ini. Indonesia tidak boleh tertinggal. Saya senang sekali
bahwa Universitas Pelita Harapan (UPH) sudah mulai membangun pusat riset untuk nano-technology.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Untuk mengembangkan semua ini, dibutuhkan suatu Sistim Inovasi Nasional, yaitu suatu pengaturan
kelembagaan yang secara sistemik dan berjangka-panjang dapat mendorong, mendukung,
menyebarkan dan menerapkan inovasi-inovasi di berbagai sektor, dan dalam skala nasional.
Konsep seperti ini relatif baru, meskipun sudah mulai diterapkan di beberapa negara yang mengalami
transformasi. Setiap negara mempunyai Sistim Inovasi Nasional dengan corak yang berbeda dan khas,
yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing.
Saya berpendapat, di Indonesia, kita juga harus mengembangkan Sistem Inovasi Nasional, yang
didasarkan pada suatu kemitraan antara pemerintah, komunitas ilmuwan dan swasta, dan dengan
berkolaborasi dengan dunia internasional. Oleh karena itu, berkaitan dengan pandangan ini, dalam
waktu dekat saya akan membentuk Komite Inovasi Nasional, yang langsung bertanggung jawab kepada
Presiden, untuk ikut memastikan bahwa Sistem Inovasi Nasional dapat berkembang dan berjalan
dengan baik. Semua ini penting kalau kita sungguh ingin Indonesia menjadi knowledge society.
Kita dikaruniai wilayah yang sangat luas, yang terbentang dari Sabang ke Marauke, dari Miangas ke
Pulau Rote. Kita mempunyai sumber daya alam yang berlimpah. Kita memiliki sumberdaya manusia
yang tangguh, yang terus dapat ditingkatkan keunggulan dan daya saingnya. Dan kita mempunyai
hubungan yang baik dengan semua pihakbaik dunia Barat, dunia Islam, negara-negara berkembang,
emerging economies, dan lain-lainyang semuanya dapat menjadi mitra pembangunan Indonesia.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Ketujuh, teknologi pertahanan. Disini, TNI harus terus meningkatkan postur dan kapabilitasnya,
termasuk penguasaan revolution in military affairs (RMA). Kita harus bisa meningkatkan kualitas dan
tingkat teknologi industri pertahanan kita termasuk melalui joint production dengan industri militer
negara-negara lain, serta bentuk kerjasama yang lain. TNI harus meningkatkan kapasitas untuk
melakukan military operations other than war (MOOTW), serta kemampuan peace-keeping operation di
wilayah-wilayah konflik di dunia. TNI juga harus mempunyai kemampuan untuk melakukan surveillance
dan menjaga pulau-pulau terpencil, wilayah perbatasan dan lautan Nusantara yang terbentang luas.
Sementara itu, Polri dan aparat intelijen juga harus terus meningkatkan kemampuan operasionalnya
untuk melawan kejahatan trans-nasional, termasuk kelompok teroris yang juga memanfaatkan
teknologi yang canggih.

184

Karenanya, dengan semua ini, ke depan, Indonesia mempunyai peluang emas untuk memajukan
kehidupan bangsa kita. Strategi yang kita tempuh untuk menjadi negara maju, developed country,
adalah dengan memadukan pendekatan sumberdaya alam, iptek dan budaya, atau knowledge-based,
resource-based and culture-based development.
Kalau visi ini kelak tercapai, bangsa kita akan mengalami transformasi yang fundamental, menjadi
bangsa yang maju dan jaya di Abad ke-21. Mari kita songsong era itu dengan kepercayaan sebagai
sebuah bangsa yang penuh inovasi. Insya Allah, dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, serta dengan
persatuan, kebersamaan dan kerja keras kita, masa gemilang itu akan datang.

Terima kasih.

Naskah Akademik Perubahan UU No. 18 Tahun 2002

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

185

Anda mungkin juga menyukai