Anda di halaman 1dari 5

1.

Dalam konteks analisis kasus-kasus korupsi di atas, kita dapat menjelaskan makna
ontologis, epistemologis, dan aksiologis serta menerapkannya pada kasus-kasus tersebut:
Ontologis:
 Ontologis berkaitan dengan pemahaman tentang hakikat substansi atau entitas
yang ada di dunia. Dalam konteks kasus korupsi, aspek ontologis berkaitan
dengan pemahaman tentang apa yang sebenarnya ada atau terlibat dalam kasus
tersebut.
 Dalam kedua kasus korupsi, entitas ontologis utama adalah pelaku korupsi,
proyek-proyek pembangunan yang terlibat, uang negara, dan masyarakat sebagai
pihak yang dirugikan. Pelaku korupsi adalah entitas yang melakukan tindakan
korupsi, proyek pembangunan adalah entitas fisik yang dibiayai oleh uang negara,
uang negara adalah entitas yang menjadi sumber korupsi, dan masyarakat adalah
entitas yang menderita dampak dari tindakan korupsi.
Epistemologis:
 Epistemologis berkaitan dengan pemahaman tentang pengetahuan, bagaimana kita
memperolehnya, dan bagaimana kita memahami kenyataan. Dalam konteks kasus
korupsi, aspek epistemologis terkait dengan pemahaman dan pengungkapan
tindakan korupsi serta bagaimana pengetahuan tentangnya diperoleh.
 Dalam kedua kasus korupsi, aspek epistemologis melibatkan proses penyelidikan,
pengungkapan, dan pemahaman tindakan korupsi. Bagaimana otoritas hukum dan
investigasi memperoleh bukti, mengekspos tindakan korupsi, dan menyampaikan
pengetahuan ini kepada publik adalah bagian dari aspek epistemologis.
Aksiologis:
 Aksiologis berkaitan dengan nilai-nilai moral dan etika yang memandu tindakan
manusia. Dalam konteks kasus korupsi, aspek aksiologis berfokus pada penilaian
atas perilaku korupsi dan prinsip-prinsip moral yang terlibat.
 Dalam kedua kasus korupsi, aspek aksiologis melibatkan penilaian terhadap
tindakan korupsi yang dianggap melanggar prinsip-prinsip moral dan etika, seperti
keadilan, kejujuran, integritas, dan kewajiban moral. Penilaian ini juga
berhubungan dengan bagaimana masyarakat dan lembaga hukum menilai dan
menghukum pelaku korupsi.
2. Penyelesaian permasalahan hukum berdasarkan perbandingan kasus di atas dengan
mengacu pada ius constitutum (hukum yang ada) dan ius constituendum (hukum yang
harus ada) dapat memberikan pandangan yang lebih komprehensif dalam rangka
mengatasi kasus-kasus korupsi. Di bawah ini adalah analisis hukum untuk masing-masing
kasus dengan fokus pada kedua konsep tersebut:

Kasus 1: Korupsi Asisten Daerah Cilegon Tubagus Dikrie dalam Pembangunan Pasar
Grogol
Ius Constitutum (Hukum yang Ada):
 Dalam hukum yang ada, tindakan korupsi telah diatur dan dilarang oleh undang-
undang. Tindakan korupsi seperti yang dilakukan oleh Tubagus Dikrie dan
rekannya telah melanggar hukum yang ada, seperti UU Tipikor.
 Langkah hukum pertama adalah mengenakan sanksi hukum yang sesuai sesuai
dengan peraturan yang ada, seperti penuntutan, pengadilan, dan pemidanaan bagi
para pelaku korupsi.
Ius Constituendum (Hukum yang Harus Ada):
 Untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan, perlu ada perubahan
hukum (ius constituendum). Ini bisa berarti perbaikan dalam regulasi dan
mekanisme pengawasan yang ada.
 Penegakan hukum yang lebih kuat, sistem pengadilan yang transparan dan efisien,
serta perlindungan whistleblower (pengungkap informasi) adalah beberapa elemen
yang perlu dipertimbangkan.
 Pendidikan tentang etika dan integritas juga perlu ditingkatkan untuk mengubah
budaya korupsi yang mungkin ada di dalam institusi pemerintah.
Kasus 2: Korupsi Eks Direktur Pos Indonesia Siti Choiriana
Ius Constitutum (Hukum yang Ada):
 Siti Choiriana telah melanggar hukum yang ada terkait dengan tindakan korupsi
dan penyalahgunaan kepercayaan.
 Seperti pada kasus sebelumnya, langkah hukum pertama adalah menerapkan
sanksi yang sesuai sesuai dengan hukum yang ada, termasuk penuntutan,
pengadilan, dan pemidanaan.
Ius Constituendum (Hukum yang Harus Ada):
 Untuk mencegah tindakan korupsi serupa di masa depan, diperlukan perubahan
hukum (ius constituendum) dan praktik-praktik yang lebih baik dalam manajemen
perusahaan atau institusi.
 Perbaikan dalam sistem pengawasan dan pencegahan korupsi di perusahaan atau
institusi, serta pelatihan etika dan integritas untuk karyawan dan manajemen,
adalah langkah yang penting.
 Pengawasan yang lebih ketat dan independen, serta pelaporan internal yang aman
dan terjamin, dapat membantu mencegah korupsi.

Melalui perbandingan kasus-kasus tersebut, kita dapat melihat bahwa ius constitutum
(hukum yang ada) telah digunakan untuk menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi.
Namun, ius constituendum (hukum yang harus ada) menjadi penting dalam mencegah
terulangnya tindakan korupsi di masa depan. Ini termasuk perubahan dalam regulasi,
sistem pengawasan yang lebih kuat, pendidikan etika, dan pembentukan budaya yang
menjunjung tinggi integritas. Tindakan preventif ini penting untuk memastikan bahwa
kasus korupsi tidak lagi terjadi di masa mendatang dan untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga-lembaga yang terlibat.
3. Pelaksanaan prinsip berpikir filosofis dalam konteks kasus korupsi dapat membantu kita
memahami secara mendalam aspek-aspek hukum dan etika yang terlibat dalam kasus-
kasus tersebut. Dalam perbandingan kasus di atas, akam dijelaskan bagaimana prinsip
berpikir filosofis diterapkan dan apa implikasinya dalam analisis hukum:

Prinsip Berpikir Filosofis:


Prinsip berpikir filosofis melibatkan penggunaan pemikiran kritis dan analitis untuk
memahami isu-isu etika, moral, dan hukum dalam konteks kasus. Ini melibatkan
pemahaman nilai-nilai filosofis yang mendasari tindakan manusia dan struktur hukum.

Kasus 1: Korupsi Asisten Daerah Cilegon Tubagus Dikrie dalam Pembangunan Pasar
Grogol
Penerapan Prinsip Berpikir Filosofis:
 Dalam kasus ini, prinsip keadilan menjadi penting. Keadilan adalah nilai filosofis
yang menuntut perlakuan yang sama dan adil bagi semua orang. Pelaku korupsi
menggunakan jabatan mereka untuk memperkaya diri, yang jelas melanggar
prinsip keadilan.
 Dalam analisis hukum, pelanggaran korupsi tersebut dapat dihubungkan dengan
pelanggaran hukum yang ada, seperti UU Tipikor, yang melarang penyalahgunaan
kekuasaan dan korupsi.
Kasus 2: Korupsi Eks Direktur Pos Indonesia Siti Choiriana
Penerapan Prinsip Berpikir Filosofis:
 Dalam kasus ini, prinsip etika dan moral menjadi relevan. Etika berkaitan dengan
prinsip-prinsip moral dan perilaku yang benar atau salah. Tindakan korupsi oleh
Siti Choiriana dianggap sebagai tindakan yang buruk secara moral dan tidak etis.
 Dalam analisis hukum, pelanggaran etika dan moral dapat ditarik hubungannya
dengan pelanggaran hukum yang ada, seperti pelanggaran undang-undang tentang
korupsi dan penyalahgunaan kepercayaan.

Penerapan prinsip berpikir filosofis dalam kedua kasus korupsi membantu


mengidentifikasi pelanggaran etika, moral, dan hukum. Dalam keduanya, pelanggaran
hukum yang ada telah diidentifikasi dan diterapkan dalam penegakan hukum terhadap
pelaku korupsi. Namun, perlu juga penerapan prinsip berpikir filosofis dalam
pengembangan hukum yang harus ada (ius constituendum) untuk mencegah korupsi di
masa depan. Ini melibatkan perbaikan dalam sistem pengawasan, peningkatan pendidikan
etika, dan penegakan keadilan yang lebih kuat.
4. Penyelesaian kasus di atas tidak tergantung secara eksklusif pada filsafat Timur atau
Barat, tetapi lebih pada penerapan prinsip-prinsip universal yang berkaitan dengan etika,
moral, dan hukum. Namun, kita dapat merenungkan peran beberapa elemen dari kedua
tradisi filsafat ini dalam konteks kasus-kasus korupsi tersebut:
Filsafat Barat:
 Keadilan: Prinsip keadilan dalam tradisi filsafat Barat, yang dipengaruhi oleh
pemikiran seperti John Stuart Mill dan Immanuel Kant, menekankan perlakuan
yang adil bagi semua individu. Dalam kedua kasus, pemikiran ini dapat menjadi
dasar untuk menuntut penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku
korupsi.
 Hukum dan Etika: Tradisi hukum Barat yang berpusat pada prinsip-prinsip etika,
seperti integritas dan kejujuran, memandang tindakan korupsi sebagai pelanggaran
serius terhadap etika dan hukum. Oleh karena itu, penyelesaian hukum dalam
kedua kasus mencerminkan pengaruh filsafat hukum Barat yang menekankan
prinsip-prinsip moral dan etika.
Filsafat Timur:
 Etika dan Kultivasi Pribadi: Tradisi filsafat Timur, seperti Taoisme dan
Konfusianisme, mengajarkan pentingnya etika, moralitas, dan kultivasi pribadi.
Dalam konteks kasus korupsi, nilai-nilai etika yang dianut dalam filsafat Timur
dapat mendorong pemahaman tentang pentingnya integritas dan kultivasi karakter.
 Pancasila dan Sejagat: Di Indonesia, ada nilai-nilai tradisional dan filosofis,
seperti Pancasila, yang menekankan keadilan sosial, kebijakan yang baik, dan
integritas dalam kepemimpinan. Ini mencerminkan pengaruh tradisi filsafat Timur
dalam pemahaman dan penyelesaian masalah korupsi.

Pada dasarnya, penyelesaian kasus korupsi di kedua kasus tersebut cenderung mengacu
pada nilai-nilai etika dan hukum yang bersifat universal, yang ditemukan baik dalam
filsafat Barat maupun Timur. Keadilan, integritas, kejujuran, dan pencegahan korupsi
adalah nilai-nilai universal yang diterapkan dalam kedua tradisi filsafat ini. Oleh karena
itu, penyelesaian kasus korupsi cenderung mengarah pada prinsip-prinsip universal yang
melintasi batasan antara filsafat Timur dan Barat.

Anda mungkin juga menyukai