Anda di halaman 1dari 37

TUGAS MATA KULIAH

PERPAJAKAN
MAKALAH REVITALISASI PROSES BISNIS PEMERIKSAAN PAJAK
Dosen Pengampu: Bangun Putra Prasetya, S.E., M.Sc.

Disusun oleh:

Shelvania Nirmalasari 201113718

MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA

2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Pertama – tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, ridho dan hidayah-Nya sehingga kami dari kelompok 11 dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Revitalisasi Proses Bisnis Pemeriksaan Pajak” ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan atau pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari dosen pada mata kuliah Perpajakan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
pengetahuan dan wawasan bagi kita semua. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari teman – teman atau para pembaca akan kami
nantikan dan tentunya sangat membantu kami untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik
lagi kedepannya. Semoga makalah dengan judul “Revitalisasi Proses Bisnis Pemeriksaan Pajak”
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 12 Desember 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 4
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................................................. 6
C. TUJUAN ........................................................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 7
11.1 Pemeriksaan Pajak Bersifat Risk Based Audit ................................................................................. 7
11.2 Pemeriksaan Pajak yang Efektif ....................................................................................................... 7
11.3 Penentuan Wajib Pajak yang Diperiksa ........................................................................................... 9
11.3.1 Penyusunan Peta Kepatuhan dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi .................. 9
11.3.1.1 Prosedur Penyusunan Peta Kepatuhan dan DSP3 ................................................................. 11
11.3.1.2 Variabel Penentuan Wajib Pajak menjadi DSP3 .................................................................. 12
11.3.2 Komite Perencanaan Pemeriksaan........................................................................................... 18
11.3.3 Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil ............................................................... 22
11.3.4 Kebijakan Penerbitan Penugasan Pemeriksaan ..................................................................... 27
11.3.5 Pengendalian Mutu Pelaksanaan Pemeriksaan ...................................................................... 29
11.3.6 Alokasi dan Pengelolaan SDM Pemeriksaan Pajak ................................................................ 29
11.3.7 Percepatan Restitusi PPN.......................................................................................................... 33
11.3.8 Penggunaan Sarana dan Prasarana Pemeriksaan .................................................................. 35
BAB III PENUTUP ................................................................................................................................... 36
KESIMPULAN .................................................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 37

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
sebagaimana telah diubah dengan PMK-184/PMK.03/2015 mengatur mengenai
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pajak, baik pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan maupun pemeriksaan untuk tujuan lain. Di samping itu,
terdapat Peraturan Menteri Keuangan lain yang mengatur pemeriksaan secara khusus, di
antaranya pengaturan mengenai pemeriksaan Pajak Bumi dan Bangunan melalui Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan
Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan dan pengaturan mengenai pemenuhan kewajiban
pemeteraian kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014
tentang Tata Cara Pemeteraian Kemudian. Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan
tersebut dituangkan melalui penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-25/PJ/2015 tentang Kebijakan Pemeriksaan dan Penelitian PBB.

Seiring dengan kebutuhan untuk melakukan penyempurnaan dalam kegiatan pemeriksaan


dan sejalan dengan reformasi birokrasi yang sedang dilaksanakan Direktorat Jenderal Pajak
(DJP), diperlukan pengaturan ulang mengenai penentuan Wajib Pajak yang akan dilakukan
pemeriksaan. Pengaturan ulang ini antara lain melalui penyusunan peta kepatuhan dan
Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi pada masing-masing Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) serta pembentukan Komite Perencanaan Pemeriksaan yang bertugas untuk
melakukan pembahasan dan penentuan Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan
melalui kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Komite Perencanaan Pemeriksaan terdiri
dari Komite Perencanaan Pemeriksaan tingkat Pusat dan tingkat Kantor Wilayah DJP.
Penyusunan peta kepatuhan, Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi, dan
pembentukan Komite Perencanaan Pemeriksaan ini memerlukan pengaturan lebih lanjut
melalui perubahan kebijakan pemeriksaan yang ada saat ini.

4
Selain itu, terdapat pengaturan baru mengenai pemeriksaan bersama atas pelaksanaan
kontrak kerja sama berbentuk kontrak bagi hasil dengan pengembalian biaya operasi di
bidang usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 34/PMK.03/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Bersama
atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Berbentuk Kontrak Bagi Hasil Dengan
Pengembalian Biaya Operasi di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Peraturan
Menteri Keuangan tersebut membutuhkan kebijakan operasional dalam pelaksanaannya
pada Unit Pelaksana Pemeriksaan.

Dengan demikian, diperlukan penyempurnaan kebijakan pemeriksaan pajak yang telah


diatur dalam SE-06/PJ/2016, sekaligus menggabungkan kebijakan pemeriksaan PBB yang
semula diatur dalam SE-25/PJ/2015 ke dalam satu kebijakan pemeriksaan sehingga
kebijakan pemeriksaan akan mengatur untuk semua jenis pajak, termasuk di dalamnya
pengaturan mengenai kebijakan pemeriksaan PBB, Bea Meterai dan kebijakan
pemeriksaan bersama.

Kebijakan pemeriksaan ini bertujuan untuk memberikan keseragaman langkah dari


masing-masing Unit Pelaksana Pemeriksaan dalam melaksanakan kegiatan pemeriksaan.
Dengan adanya pengaturan kebijakan pemeriksaan tersebut, diharapkan pemeriksaan pada
masing-masing Unit Pelaksana Pemeriksaan dapat berjalan dengan efektif sehingga dapat
menghasilkan volume pemeriksaan yang tinggi dan berkualitas, memberikan kontribusi
penerimaan pajak yang optimal, meminimalkan upaya hukum atas ketetapan pajak hasil
pemeriksaan, dan meningkatkan kepatuhan berkelanjutan Wajib Pajak. Berkenaan dengan
hal tersebut, perlu disusun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Kebijakan
Pemeriksaan.

5
B. RUMUSAN MASALAH
11.1 Apa itu pemeriksaan pajak bersifat risk based audit.

11.2 Apa itu pemeriksaan pajak yang efektif.

11.3 Bagaimana penentuan wajib pajak yang diperiksa.

C. TUJUAN
11.1 Untuk mengetahui pemeriksaan pajak yang bersifat risk based audit.

11.2 Untuk mengetahui pemeriksaan pajak yang efektif.

11.3 Untuk mengetahui penentuan wajib pajak yang diperiksa.

6
BAB II
PEMBAHASAN

11.1 Pemeriksaan Pajak Bersifat Risk Based Audit


Reformasi Kebijakan Pemeriksaan Pajak melalui SE-15/PJ/2018, menyempurnakan pelaksanaan
kegiatan pemeriksaan untuk mencapai optimalisasi penerimaan pajak dari hasil pemeriksaan.
Penyempurnaan ditujukan kepada proses bisnis pemeriksaan yang lebih fokus kepada perencanaan
pemeriksaan oleh DJP, sebagai dasar tahap pelaksanaan pemeriksaan lebih lanjut.

Tahap Perencanaan Pemeriksaan disempurnakan melalui indikator Risk Based Audit dan Tahap
Pelaksanaan Pemeriksaan yang lebih obyektif, transparan, dan tepat sasaran. Alasan dilakukannya
pemeriksaan pajak karena adanya hasil dari analisis risiko. Risiko yang dimaksud adalah Risiko
Ketidakpatuhan Wajib Pajak dikarenakan sistem perpajakan di Indonesia menganut Self Assesment
System. Dimana menurut Undang - Undang alasan dilakukannya pemeriksaan umumnya adalah
apabila Wajib Pajak mengajukan restitusi (lebih bayar).

Reformasi pada Proses Bisnis Pemeriksaan pajak Tahun 2018 ini merupakan penyempurnaan
proses bisnis pemeriksaan pajak berupa penyempurnaan pada rangkaian prosedur kegiatan
pemeriksaan pajak. Rangkaian prosedur ini meliputi 3 (tiga) komponen utama yang saling
menunjang:

1) Proses pemilihan WP yang akan diperiksa, yang dilakukan secara obyektif, transparan dan
dapat diandalkan.
2) Optimalisasi kinerja Sumber Daya Manusia bidang Pemeriksa Pajak sebagai pelaksana
kegiatan pemeriksaan.
3) Perbaikan terus menerus atas peraturan perpajakan di bidang pemeriksaan.

11.2 Pemeriksaan Pajak yang Efektif


Kriteria Pemeriksan Pajak yang efektif antara lain:

1) Pemeriksaan Pajak diselesaikan tepat waktu dan pencairan atas hasil pemeriksaan mencapai
target. Indikator utama dalam hal ini mencakup:
a. Minimalnya tunggakan pemeriksaan pajak yang masih harus.

7
b. Pemeriksaan selesai sesuai jangka waktu dengan menghasilkan Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) atau LHP Sumir.
c. Optimalnya Pencairan Ketetapan Pajak atas hasil pemeriksaan.
2) Upaya hukum Wajib Pajak atas hasil pemeriksaan minimal.
Wajib Pajak yang bersedia menerima Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan kemudian
membayar atau memenuhi ketentuan di dalamnya, dapat mengurangi upaya hukum terhadap
hasil pemeriksaan. Apabila Wajib Pajak melakukan upaya hukum (keberatan/banding),
maka dengan pemeriksaan yang berkualitas, proses hukum menjadi lebih mudah.

3) Restitusi Pajak terkendali dengan baik, melalui:


a. Optimalisasi Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib
Pajak yang memenuhi kriteria.
b. Pemeriksaan post-audit bagi Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian dapat
dilakukan.
c. Pemeriksaan Restitusi Pajak selain yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak.
4) Menciptakan Kepatuhan Perpajakan yang berkelanjutan.
Kepatuhan berkelanjutan dapat terlihat dari dinamisasi pelaporan SPT untuk tahun-tahun
setelah dilakukan pemeriksaan.

Revitalisasi Proses Bisnis Pemeriksaan, dilakukan melalui:

a. Penyusunan Peta Kepatuhan dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi


(DSP3), Pembentukan Komite Perencanaan Pemeriksaan,
b. Pembagian kebijakan penerbitan penugasan pemeriksaan,
c. Pengendalian mutu pelaksanaan pemeriksaan,
d. Alokasi dan pengelolaan SDM pemeriksaan,
e. Percepatan restitusi PPN dan
f. Penggunaan sarana dan prasarana pemeriksaan.

8
11.3 Penentuan Wajib Pajak yang Diperiksa
Dua kata kunci pada Tahap Perencanaan dalam Kebijakan Pemeriksaan yakni pemilihan Wajib
Pajak yang akan diperiksa dan memperkuat pengendalian mutu pelaksanaan pemeriksaan.
Pemilihan Wajib Pajak yang diperiksa didasarkan kepada prinsip keadilan, bukan diskriminasi
perpajakan. Aspek fairness harus diimplementasikan pada Reformasi Kebijakan Pemeriksaan ini,
dimana proses pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan pajak bagi Wajib Pajak yang
memiliki resiko rendah (low risks) untuk tingkat kepatuhan tinggi tidak sedetail pemeriksaan yang
dilakukan bagi Wajib Pajak yang memiliki resiko tinggi (high risks) untuk Ketidakpatuhan
Perpajakannya.

Wajib Pajak yang diperiksa adalah Wajib Pajak yang memiliki risiko tinggi ketidakpatuhan dan
Wajib Pajak yang memiliki tingkat potensi penerimaan pajak atas pemeriksaan yang dilaksanakan.
Sehingga setiap Pemeriksaan Pajak yang dilaksanakan betul-betul menyasar pada Wajib Pajak
yang tidak patuh. Artinya Dirjen Pajak secara tidak langsung menjamin tidak akan menyentuh
Wajib Pajak yang selama ini sudah patuh atas kewajiban membayar pajak pada negara.

11.3.1 Penyusunan Peta Kepatuhan dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi
Penyusunan Peta Kepatuhan dan DSP3 dilakukan berdasarkan analisis terhadap seluruh data dan
informasi dari SIDJP maupun data lapangan, yang terus dilakukan update sepanjang tahun.
Sehingga penggalian potensi dalam tahun berjalan pada setiap KPP hanya dapat dilakukan
terhadap Wajib Pajak yang telah terdapat dalam DSP3, kecuali KPP memperoleh keterangan lain
dapat ditindaklanjuti.

Prosedur penyusunan Peta Kepatuhan dan DSP3 sebagai berikut:

1) Peta Kepatuhan disusun setiap awal tahun oleh Kepala KPP bersama dengan Kasi
Pemeriksaan, Kasi Waskon II, III, dan IV, Kasi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Kasi PDI
serta Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak, berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha/
sektor/ subsektor/ industri, letak geografis, PDRB, dan fakta lapangan.
2) Penentuan KLU/sektor/subsektor/industri atau pelaku usaha yang tingkat kepatuhan
perpajakannya diindikasikan masih rendah dilakukan oleh Kepala KPP bersama dengan
Kasi Pemeriksaan, Kasi Waskon II, III, dan IV, Kasi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Kasi
PDI serta Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak.

9
3) Indikator tingkat kepatuhan tersebut ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap
signifikansi kontribusi KLU/ sektor/ subsektor/ industri di wilayah kerja KPP terhadap
PDRB dan terhadap penerimaan perpajakan KPP atau fakta lapangan.
4) Berdasarkan KLU/ sektor/ subsektor/ industri yang memiliki tingkat kepatuhan rendah atau
fakta lapangan, Kepala KPP menentukan populasi Wajib Pajak yang akan menjadi DSP3
berdasarkan variabel yang telah ditetapkan.
5) Peta kepatuhan dan DSP3 harus dilampiri dengan Berita Acara dan ditandatangani oleh
penyusun.
6) Berdasarkan DSP3 tersebut, Kepala KPP melakukan:
a. Menentukan Wajib Pajak dengan mempertimbangkan:
 Target penerimaan dari pemeriksaan dan penagihan,
 Riwayat pemeriksaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
 Tunggakan pemeriksaan di KPP,
 Beban kerja Pemeriksa Pajak, dan
 Efek jera untuk Wajib Pajak yang akan diperiksa;
b. Wajib Pajak yang masuk dalam DSPP adalah
 Wajib Pajak yang diusulkan pemeriksaan rutin:
1. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak,
2. Wajib Pajak menyampaikan SPT rugi,
3. Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku, metode
pembukuan, penilaian kembali aktiva tetap,
 Wajib Pajak yang diusulkan pemeriksaan khusus berdasarkan analisis
risiko, dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak (all taxes),
c. DSPP merupakan dasar bagi Kepala KPP untuk mengusulkan pemeriksaan kepada
KaKanwil DJP, yang selanjutnya akan dilakukan pembahasan oleh Komite
Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat dan Tingkat Kanwil DJP, dengan
dilampiri Berita Acara Pembuatan Peta Kepatuhan dan DSP3,

10
d. Penyampaian DSPP dalam tiga tahap:
 Tahap I: pengiriman DSPP paling lambat akhir Februari,
 Tahap II: pengiriman DSPP paling lambat akhir Mei,
 Tahap III: pengiriman DSPP paling lambat akhir Agustus,
e. Terhadap Wajib Pajak yang tidak masuk dalam DSPP akan menjadi sasaran
prioritas pengawasan oleh KPP atau menjadi usulan pemeriksaan khusus dengan
ruang lingkup pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak,
f. Kepala KPP memonitor DSP3 termasuk realisasi pengawasan dan realisasi
pemeriksaan atas DSPP, serta melakukan evaluasi pada akhir tahun untuk
menetapkan sasaran prioritas penggalian potensi pada tahun berikutnya.

Kriteria Wajib Pajak yang dikelompokkan oleh Pemeriksa Pajak untuk masuk ke dalam populasi
Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3) adalah indikasi ketidakpatuhan pajak yang
tinggi (tax gap), adanya indikasi modus ketidakpatuhan Wajib Pajak, serta identifikasi nilai potensi
pajak. Ketidakpatuhan dalam konteks ini adalah kesenjangan antara profil perpajakan berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dengan profil ekonomi yang sebenarnya.

11.3.1.1 Prosedur Penyusunan Peta Kepatuhan dan DSP3


Penyusunan peta kepatuhan Wajib Pajak dan DSP3 pada masing-masing KPP diperlukan dalam
rangka meningkatkan kualitas penggalian potensi sehubungan dengan optimalisasi penerimaan
pajak dari kegiatan pengawasan serta pencairan surat ketetapan pajak (pemeriksaan dan
penagihan) dalam tahun berjalan.

Peta kepatuhan dan DSP3 disusun agar setiap KPP dapat menentukan secara spesifik daftar Wajib
Pajak yang akan dilakukan penggalian potensi. Penyusunan peta kepatuhan dan DSP3 dilakukan
berdasarkan analisis terhadap seluruh data dan informasi yang dimiliki oleh KPP dengan
mengkombinasikan baik data yang berasal dari sistem informasi yang dimiliki DJP maupun data
berdasarkan fakta lapangan.

Agar DSP3 berisi daftar Wajib Pajak yang memiliki potensi tinggi dan sesuai dengan peta
kepatuhan maka DSP3 tersebut dapat di-update oleh KPP sepanjang tahun berjalan. Oleh karena
itu, penggalian potensi dalam tahun berjalan pada setiap KPP hanya dapat dilakukan terhadap
Wajib Pajak yang telah terdapat dalam DSP3, kecuali KPP memperoleh keterangan lain berupa
data konkret yang dapat ditindaklanjuti secara tersendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

11
Adapun prosedur penyusunan Peta Kepatuhan dan DSP3 adalah sebagai berikut:

1) Setiap awal tahun, Kepala KPP bersama-sama dengan Kepala Seksi Pemeriksaan, Kepala
Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III, dan IV, Kepala Seksi Ekstensifikasi dan
Penyuluhan, Kepala Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI) serta Supervisor
Fungsional Pemeriksa Pajak menyusun peta kepatuhan atas Wajib Pajak yang terdaftar
pada KPP tersebut berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha
(KLU)/sektor/subsektor/industri, letak geografis, Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), dan/atau fakta lapangan.
2) Kepala KPP bersama-sama dengan Kepala Seksi Pemeriksaan, Kepala Seksi Pengawasan
dan Konsultasi II, III, dan IV, Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Kepala Seksi
PDI serta Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak menentukan
KLU/sektor/subsektor/industri atau pelaku usaha yang tingkat kepatuhan perpajakannya
diindikasikan masih rendah. Indikator tingkat kepatuhan tersebut ditentukan berdasarkan
hasil analisis terhadap signifikansi kontribusi KLU/sektor/subsektor/industri di wilayah
kerja KPP terhadap PDRB-nya dan signifikasi kontribusi terhadap penerimaan perpajakan
KPP atau fakta lapangan.
3) Berdasarkan KLU/sektor/subsektor/industri yang memiliki tingkat kepatuhan rendah atau
fakta lapangan, Kepala KPP menentukan populasi Wajib Pajak yang akan menjadi DSP3
berdasarkan variabel yang telah ditetapkan.

11.3.1.2 Variabel Penentuan Wajib Pajak menjadi DSP3


1) Indikasi Ketidakpatuhan Tinggi (adanya tax gap)
Indikasi ketidakpatuhan memperhatikan indikasi ketidakpatuhan material, yaitu adanya
kesenjangan (gap) antara profil perpajakan (profil berdasarkan SPT) dengan profil
ekonomi yang sebenarnya. Profil ekonomi yang sebenarnya diketahui dari berbagai sumber
baik dari data internal, eksternal, maupun pengamatan di lapangan. Indikasi
ketidakpatuhan Wajib Pajak dibedakan antara Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan
oleh 35 UP2 Penentu Penerimaan dengan Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Pratama.

12
a. Indikator Ketidakpatuhan Wajib Pajak pada 35 UP2 Penentu Penerimaan antara
lain:
1. Analisis Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR), Gross Profit
Margin (GPM), dan/atau Net Profit Margin (NPM) dibandingkan
dengan benchmarking industri sejenis, seperti berdasarkan laporan
industri (industri report) atau hasil benchmarking sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai benchmarking. Risiko
ketidakpatuhan tinggi apabila selisih antara analisis tersebut dengan
rata – rata industri lebih besar dari 10%;
2. Memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa, terutama dengan pihak afiliasi yang berkedudukan di
negara yang memiliki tarif pajak efektif yang lebih rendah dari tarif
pajak efektif di Indonesia;
3. Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri (intra-group transaction)
dengan nilai transaksi lebih dari 50% dari total nilai transaksi;
4. Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri dengan anggota grup usaha
yang memiliki kompensasi kerugian;
5. Wajib Pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang
lingkup seluruh jenis pajak (all taxes) dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
6. Wajib Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli dengan
NPWP 000 lebih dari 25% dari total Faktur Pajak yang diterbitkan
dalam satu Masa Pajak; dan/atau
7. Terdapat hasil analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan
(IDLP) dan/atau Center for Tax Analysis (CTA)
b. Indikator Ketidakpatuhan Wajib Pajak pada KPP Pratama
Indikator ketidakpatuhan Wajib Pajak pada KPP Pratama perlu dibedakan antara
indikator ketidakpatuhan Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi.
 Indikator Ketidakpatuhan Wajib Pajak Badan antara lain:
1. Ketidakpatuhan pembayaran dan penyampaian SPT;
2. Wajib pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang
lingkup seluruh jenis pajak (all taxes) selama 3 tahun terakhir;

13
3. Analisis CTTOR, GPM, NPM dibandingkan dengan hasil
benchmarking industri sejenis di Kanwil terkait sesuai dengan
ketentuan yang mengatur mengenai benchmarking. Risiko
ketidakpatuhan tinggi apabila selisih antara analisis tersebut dengan
rata – rata industri lebih besar dari 20%;
4. Ketidaksesuaian antara profil SPT dengan profil ekonomi (usaha
dan kekayaan) sesungguhnya berdasarkan fakta lapangan;
5. Memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa, terutama dengan pihak afiliasi yang berkedudukan di
negara yang memiliki tarif pajak efektif yang lebih rendah dari tarif
pajak efektif di Indonesia;
6. Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri (intra-group transaction)
dengan nilai transaksi lebih dari 50% dari total transaksi;
7. Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri dengan anggota grup usaha
yang memiliki kompensasi kerugian;
8. Wajib pajak yang menerbitkan faktur pajak kepada pembeli dengan
NPWP 000 lebih dari 25% dari total faktur pajak yang diterbitkan
dalam satu masa pajak; dan/atau
9. Terdapat hasil analisis IDLP dan/atau CTA.
 Indikator Ketidakpatuhan WP Pribadi antara lain:
1. Ketidakpatuhan pembayaran dan penyampaian SPT;
2. Wajib pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang
lingkup seluruh jenis pajak (all taxes) selama 3 tahun terakhir;
3. Ketidaksesuaian antara profil SPT dengan:
 Skala usaha wajib pajak;
 Harta wajib pajak (investasi, kepemilikan saham, dll);
 Gaya hidup wajib pajak;
 Profil pinjaman wajib pajak.
4. Terdapat hasil analisis IDLP dan CTA.

14
2) Indikasi Modus Ketidakpatuhan Wajib Pajak
Kepala KPP melakukan identifikasi atas Wajib Pajak yang terindikasi memiliki modus-
modus tertentu atas ketidakpatuhannya. Identifikasi modus ketidakpatuhan dimaksudkan
untuk membantu Pemeriksa Pajak dalam menentukan ruang lingkup (scope) dan
kedalaman pemeriksaan, sehingga memudahkan dalam membuat dan menetapkan Audit
Plan, Audit Program, dan dokumen-dokumen yang akan dipinjam dan diperiksa. Modus
ketidakpatuhan Wajib Pajak antara lain:
a. Wajib pajak tidak melaporkan omset yang sebenarnya dengan cara:
1. Melaporkan penghasilan sebagai utang;
2. Menurunkan harga jual dari yang sebenarnya;
3. Tidak melaporkan kuantitas penjualan yang sebenarnya;
4. Penjualan off-balance sheet;
5. Tidak melaporkan pembelian sehingga Harga Pokok Penjualan (HPP) dan
omset lebih rendah dari yang seharusnya.
b. Wajib pajak membebankan biaya yang tidak seharusnya dengan cara:
1. Membuat bukti potong dengan NPWP 000 (tidak berdasarkan transaksi
yang sebenarnya);
2. Pembebanan jasa antar perusahaan afiliasi;
3. Pencadangan yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
4. Pembebanan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan sehubungan dengan biaya-biaya yang berhubungan dalam
rangka Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) penghasilan;
5. Wajib Pajak mengkreditkan Pajak Masukan atau membebankan biaya yang
tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya.
c. Modus ketidakpatuhan PPN
1. Melaporkan penjualan lokal sebagai ekspor;
2. Penggunaan data Faktur Pajak dengan pembeli tidak ber-NPWP;
3. Turut serta atau melakukan kegiatan dengan pihak lain yang diduga telah
melakukan transaksi yang tidak sebenarnya dan tidak sesuai dengan
mekanisme pengkreditan Pajak Masukan.

15
d. Wajib pajak yang melakukan perencanaan pajak agresif (aggressive tax planning),
antara lain:
1. Memiliki rasio pinjaman terhadap modal (Debt to Equity Ratio/DER) di
atas 4 : 1;
2. Memiliki Controlled Foreign Company (CFC)
3. Terdapat indikasi risiko transfer picing, diantaranya:
 Wajib Pajak mempunyai transaksi dengan lawan transaksi yang
menerapkan tarif efektif pajak lebih rendah;
 Terdapat indikasi terjadinya skema transaksi yang melibatkan
entitas/pihak yang tidak memiliki substansi usaha dan/atau tidak
menambahkan nilai ekonomis apapun (reinvoicing);
 Wajib Pajak mempunyai nilai transaksi afiliasi yang signifikan
terhadap total peredaran usahanya;
 Terdapat transaksi intra-group seperti pemberian jasa, pembayaran
royalti, Cost Distribution Arrangement, dan lain-lain;
 Terdapat transaksi restrukturisasi usaha seperti merger, akuisisi,
dsb;
 Performa keuangan Wajib Pajak berbeda dengan performa
keuangan industri;
 Wajib Pajak mengalami kerugian selama 3 (tiga) Tahun Pajak dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun.
e. Penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda (treaty abuse)
Contoh Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B):
1. Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan
menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-
mata untuk memperoleh manfaat P3B;
2. Transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form)
berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian
rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau
3. Penerima manfaat P3B bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas
manfaat ekonomis dari suatu transaksi (beneficial owner).

16
f. Wajib pajak tidak melaporkan nilai pengalihan harta yang sebenarnya dalam rangka
likuidasi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan
usaha, atau
g. Wajib pajak tidak melaporkan nilai perolehan atau nilai penjualan yang sebenarnya
dalam hal terjadi tukar menukar harta.
3) Identifikasi Nilai Potensi Pajak
Kepala KPP harus melakukan identifikasi di awal mengenai nilai potensi pajak atas Wajib
Pajak yang akan diusulkan untuk menjadi DSP3. Wajib Pajak yang menjadi prioritas
adalah yang memiliki potensi pajak besar. Nilai potensi tersebut harus dihitung dalam
rupiah sesuai dengan indikator ketidakpatuhan Wajib Pajak dengan cara mengalikan tarif
pajak dengan potensi tax gap.
Nilai potensi dapat pula diisi dengan nilai pengembalian pendahuluan yang telah diberikan
kepada Wajib Pajak dalam hal pemeriksaan dilakukan kepada Wajib Pajak yang
telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang - Undang KUP dan Pasal 9 ayat (4)
huruf c Undang-Undang PPN, nilai kompensasi kerugian untuk Wajib Pajak yang
menyampaikan SPT Rugi, selisih hasil penilaian kembali aktiva tetap untuk Wajib Pajak
yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap, atau nilai potensi lainnya sesuai hasil
analisis yang telah dilakukan terhadap Wajib Pajak tersebut. Nilai potensi dapat
senantiasa diperbarui seiring dengan perkembangan pemeriksaan.
4) Identifikasi Kemampuan Wajib Pajak untuk Membayar Ketetapan Pajak (collectability)
Mengingat tujuan penggalian potensi adalah untuk mengamankan target penerimaan pajak,
maka pada saat menentukan sasaran Wajib Pajak yang akan dilakukan penggalian potensi
harus diperhatikan juga risiko ketertagihan. Kepala KPP harus melakukan identifikasi
kemampuan Wajib Pajak untuk membayar ketetapan pajak (collectability) dalam rangka
optimalisasi pencairan dari hasil pemeriksaan. Identifikasi yang dapat dilakukan
diantaranya adalah:
a. Identifikasi keberlangsungan usaha dan harta yang dimiliki wajib pajak
berdasarkan SPT.
b. Eksistensi usaha wajib pajak (berdasarkan fakta lapangan), dan/atau
c. Penangung pajak diketahui keberadaannya.

17
5) Pertimbangan Direktur Jenderal Pajak
Berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kewenangannya, Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak yang akan menjadi DSP3.

11.3.2 Komite Perencanaan Pemeriksaan


Pengendalian mutu atas pelaksanaan pemeriksaan pajak ini dilakukan melalui pembentukan
komite yang secara langsung melakukan pengawasan pada kegiatan pemeriksaan. Sehingga target
pemeriksaan lebih selektif dengan cara menyeleksi Wajib Pajak yang tidak patuh sebagai Wajib
Pajak yang diprioritaskan untuk diperiksa. Komite Pemeriksaan ini terdiri dari internal otoritas
pajak, baik dari elemen yang berasal dari Kantor Pusat DJP, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan
Kantor Wilayah (Kanwil) Pajak. Komite ini bertugas menguji usulan pemeriksaan Wajib Pajak.

Tugas Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat adalah:

1) Menentukan sektor, subsektor, atau industri yang menjadi sasaran prioritas pemeriksaan
khusus berdasarkan analisis risiko,
2) Melakukan benchmarking atas sektor, subsektor, industri yang menjadi sasaran prioritas
pemeriksaan,
3) Melakukan pembahasan DSPP dan penetapan Wajib Pajak yang akan dilakukan
pemeriksaan rutin dan/atau pemeriksaan khusus berdasarkan DSPP, dengan ruang lingkup
pemeriksaan seluruh jenis pajak, dengan mempertimbangkan periode penerbitan instruksi
pemeriksaan khusus yang diatur sebagai berikut:
 Tahap I: Penerbitan instruksi paling lambat awal Mei.
 Tahap II: Penerbitan instruksi paling lambat awal Agustus.
 Tahap III: Penerbitan instruksi paling lambat awal November.
4) Melakukan monitoring dan evaluasi atas penentuan Wajib Pajak yang telah dilakukan
pemeriksaan berdasarkan DSPP dengan ruang lingkup seluruh jenis pajak.

Wewenang Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat

1) Menambahkan data atau mengubah nilai potensi pajak Wajib Pajak yang akan diterbitkan
instruksi pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko dengan ruang lingkup
pemeriksaan seluruh jenis pajak oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.

18
2) Menerima atau menolak usulan pemeriksaan rutin dan/atau pemeriksaan khusus
berdasarkan DSPP.
3) Menentukan UP2 yang akan melakukan pemeriksaan berdasarkan DSPP dengan ruang
lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak;

Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat beranggotakan:

1) Pejabat struktural pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.


2) Pejabat struktural pada Direktorat Intelijen Perpajakan.
3) Pejabat struktural pada Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan.
4) Pejabat struktural pada Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan.
5) Pejabat struktural pada Direktorat Penegakan Hukum.
6) Pejabat struktural pada Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
Tanggung jawab Anggota Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat:

1) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan


a. Menyusun DSPP berdasarkan analisis risiko mandiri Direktorat Pemeriksaan dan
Penagihan, CRM, analisis IDLP, CTA, analisis joint-audit dengan pihak lain,
analisis atas Wajib Pajak minyak dan gas bumi yang akan dilakukan pemeriksaan
bersama, dll;
b. Menerima DSPP usulan dari Kanwil DJP berdasarkan hasil pembahasan Komite
Perencanaan Tingkat Kanwil DJP;
c. Melakukan inventarisasi dan kompilasi atas DSPP yang dibuat oleh Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan dan DSPP usulan dari Kanwil DJP;
d. Melakukan validasi atas DSPP hasil kompilasi melalui koordinasi dengan Komite
Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP. Kriteria validasi antara lain:
 Kesesuaian dengan kriteria indikasi ketidakpatuhan dan modus.
 Ketidakpatuhan, potensi pajak, dan tingkat ketertagihan. Validasi riwayat
pemeriksaan.
 Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan.
 Pengampunan Pajak;

19
e. Menyiapkan bahan dan mengajukan DSPP kepada masingmasing anggota Komite
Perencanaan untuk dibahas internal sebelum pembahasan bersama oleh seluruh
anggota Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat;
f. Menerbitkan instruksi pemeriksaan rutin dan/atau pemeriksaan khusus berdasarkan
DSPP dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak atas Wajib Pajak yang
telah ditentukan oleh Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat paling
lambat awal Mei, awal Agustus, dan awal November; dan
g. Membuat surat pemberitahuan penolakan usulan pemeriksaan kepada unit pengusul
paling lambat awal Mei, awal Agustus, dan awal November, apabila usulan ditolak
oleh Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat.
2) Direktorat Intelijen Perpajakan
a. Melengkapi data Wajib Pajak dalam DSPP yang diterima dari Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan sesuai dengan tugas pokok dan tanggung jawab pada
Direktorat Intelijen Perpajakan, seperti data Laporan Informasi dan Analisis (LIA),
IDLP, profiling Wajib Pajak dari kegiatan intelijen.
b. Melakukan pembahasan internal DSPP yang diterima dari Direktorat Pemeriksaan
dan Penagihan.
c. Mengusulkan penambahan atau pengurangan Wajib Pajak berdasarkan hasil
pembahasan internal.
d. Melakukan pembahasan bersama.
3) Direktorat Penegakan Hukum
a. Melengkapi data Wajib Pajak dalam DSPP dari Direktorat Pemeriksaan dan
Penagihan atas Wajib Pajak yang sedang atau akan dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan atau penyidikan, data Wajib Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak
Berdasarkan Transaksi yang Sebenarnya (TBTS), maupun data lainnya;
b. Melakukan pembahasan internal atas daftar Wajib Pajak dalam DSPP yang
diterima dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
c. Mengusulkan penambahan atau pengurangan Wajib Pajak berdasarkan hasil
pembahasan internal;
d. Melakukan pembahasan bersama sebagai bagian dari anggota Komite Perencanaan
Pemeriksaan Tingkat Pusat.

20
4) Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan
a. Melengkapi data Wajib Pajak dalam DSPP yang diterima dari Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan, seperti data hasil analisis CTA, data pengawasan
Wajib Pajak, data potensi Wajib Pajak, data profil Wajib Pajak berdasarkan CRM.
b. Melakukan pembahasan internal atas daftar Wajib Pajak dalam DSPP yang
diterima dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
c. Mengusulkan penambahan atau pengurangan Wajib Pajak berdasarkan hasil
pembahasan internal;
d. Melakukan pembahasan bersama sebagai bagian dari anggota Komite Perencanaan
Pemeriksaan Tingkat Pusat.
5) Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian
a. Melengkapi data Wajib Pajak dalam DSPP yang diterima dari Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan, seperti data hasil penilaian, data lapangan, data
ekstensifikasi lainnya yang bersumber dari Lab ADESIP, maupun data lainnya;
b. Melakukan pembahasan internal atas daftar Wajib Pajak dalam DSPP yang
diterima dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
c. Mengusulkan penambahan ataupengurangan Wajib Pajak berdasarkan hasil
pembahasan internal;
d. Melakukan pembahasan bersama sebagai bagian dari anggota Komite Perencanaan
Pemeriksaan Tingkat Pusat.
6) Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan
a. Melengkapi data Wajib Pajak dalam DSPP yang diterima dari Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan, seperti data internal Wajib Pajak maupun data
eksternal hasil pertukaran data dengan instansi lainnya;
b. Melakukan pembahasan internal atas daftar Wajib Pajak dalam DSPP yang
diterima dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
c. Mengusulkan penambahan ataupengurangan Wajib Pajak berdasarkan hasil
pembahasan internal;
d. Melakukan pembahasan bersama sebagai bagian dari anggota Komite Perencanaan
Pemeriksaan Tingkat Pusat.

21
Prosedur kerja Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat:

1) Menerima DSPP dari Kepala Kanwil DJP yang telah dilakukan validasi oleh Komite
Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP secara periodik sesuai dengan tahapan,
2) Menerima daftar Wajib Pajak yang bersumber dari analisis risiko mandiri Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan, CRM, analisis IDLP, CTA, analisis joint-audit dengan pihak
lain, analisis atas Wajib Pajak minyak dan gas bumi yang akan dilakukan pemeriksaan
bersama,
3) Melakukan validasi atas DSPP dan daftar Wajib Pajak,
4) Menyampaikan daftar Wajib Pajak yang telah dilakukan validasi kepada setiap anggota
Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat;
5) Masing-masing anggota Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat membahas daftar
Wajib Pajak secara internal,
6) Melakukan pembahasan bersama Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat untuk
menentukan daftar Wajib Pajak yang disetujui untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan
DSPP dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak dan/atau daftar Wajib Pajak
yang ditolak usulan pemeriksaan berdasarkan DSPP,
7) Membuat dan menandatangani Berita Acara Pembahasan;
8) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan menerbitkan instruksi pemeriksaan berdasarkan
DSPP dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak paling lambat pada awal Mei,
awal Agustus dan awal November;
9) Atas daftar Wajib Pajak yang ditolak usulan pemeriksaan berdasarkan DSPP dengan ruang
lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan membuat
surat pemberitahuan penolakan usulan pemeriksaan kepada unit pengusul paling lambat
pada awal Mei, awal Agustus dan awal November.
11.3.3 Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil
Tugas Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP adalah:

1) Menerima usulan pemeriksaan rutin dan/atau pemeriksaan khusus berdasarkan DSPP


dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak dari Kepala KPP;
2) Menerima usulan pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko mandiri dengan ruang
lingkup pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak dari Kepala KPP;

22
3) Menerima daftar Wajib Pajak yang akan diusulkan pemeriksaan khusus berdasarkan
analisis risiko mandiri atau analisis IDLP dengan ruang lingkup pemeriksaan satu,
beberapa, atau seluruh jenis pajak yang berasal dari data yang dimiliki oleh Bidang PPIP,
Bidang DP3, atau Bidang PEP;
4) Melakukan validasi atas usulan sebagaimana dimaksud pada huruf a), huruf b), dan huruf
c) dengan kriteria validasi sebagai berikut:
a. Indikasi ketidakpatuhan, modus ketidakpatuhan, potensi pajak, dan tingkat
ketertagihan;
b. Validasi riwayat pemeriksaan;
c. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan;
d. Pengampunan Pajak;
5) Melakukan benchmarking atas industri pada sektor-sektor unggulan yang terdapat di
Kanwil DJP tersebut sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai benchmarking-,
Melakukan pembahasan dan penetapan Wajib Pajak yang akan menjadi DSPP Kanwil
berdasarkan DSPP dari Kepala KPP atau berdasarkan analisis risiko mandiri/analisis IDLP
oleh Kanwil DJP baik atas Wajib Pajak yang diusulkan pemeriksaan rutin dan/atau
pemeriksaan khusus dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak;
6) Mengirimkan DSPP yang telah dilakukan validasi dan pembahasan kepada Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan untuk diusulkan pemeriksaan rutin dan/atau pemeriksaan
khusus dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak;
7) Melakukan koordinasi dengan Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat dalam
penentuan Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan rutin dan/atau pemeriksaan
khusus berdasarkan DSPP dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak;
8) Melakukan pembahasan dan penetapan atas Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan
khusus satu atau beberapa jenis pajak serta menentukan UP2nya berdasarkan usulan dari
KPP atau berdasarkan analisis risiko mandiri atau analisis IDLP oleh Kanwil DJP;
9) Melakukan monitoring dan evaluasi atas DSPP pemeriksaan rutin dan/atau pemeriksaan
khusus berdasarkan DSPP dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak, dan
pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko dengan ruang lingkup pemeriksaan satu
atau beberapa jenis pajak dari KPP yang terdapat dalam lingkungan Kantor Wilayah
tersebut.

23
Wewenang Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP:

1) Menambahkan data atau mengubah nilai potensi pajak Wajib Pajak yang akan dilakukan
pengusulan DSPP kepada Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat dan/atau yang
akan dilakukan penerbitan instruksi/persetujuan pemeriksaan khusus berdasarkan analisis
risiko dengan ruang lingkup pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak;
2) Menerima atau menolak usulan DSPP dari KPP;
3) Menerima atau menolak Wajib Pajak yang akan diusulkan pemeriksaan khusus
berdasarkan analisis risiko dengan ruang lingkup satu atau beberapa jenis pajak; dan
4) Menentukan UP2 yang akan melakukan pemeriksaan atas Wajib Pajak yang akan
dilakukan pengusulan DSPP.

Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP beranggotakan:

1) Pejabat struktural pada Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen dan Penyidikan (PPIP);
2) Pejabat struktural pada Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan; dan
3) Pejabat struktural pada Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi, danPenilaian.

Tanggung jawab Anggota Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP sebagai berikut:

1) Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen dan Penyidikan (PPIP) sebagai anggota komite:
a. Menyusun daftar Wajib Pajak yang akan diusulkan pemeriksaan berdasarkan DSPP
dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak;
b. Menyusun daftar Wajib Pajak yang akan diusulkan pemeriksaan khusus berdasarkan
analisis risiko mandiri dengan ruang lingkup pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak
yang berasal dari KPP yang terdapat dalam lingkungan Kanwil DJP tersebut (bottom-
up)
c. Menyusun daftar Wajib Pajak yang akan diusulkan pemeriksaan khusus berdasarkan
analisis risiko mandiri/analisis IDLP dengan ruang lingkup pemeriksaan satu, beberapa,
atau seluruh jenis pajak yang berasal dari data yang dimiliki oleh Bidang PPIP, Bidang
DP3, atau Bidang PEP;

24
d. Melakukan validasi awal atas usulan sebagaimana, dengan kriteria validasi antara lain:
 Kesesuaian dengan kriteria indikasi ketidakpatuhan, modus ketidakpatuhan,
potensi pajak, dan tingkat ketertagihan,
 Validasi riwayat pemeriksaan,
 Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan,
 Pengampunan Pajak,
e. Mengajukan usulan yang telah dilakukan validasi kepada masing-masing anggota
Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP untuk dilakukan pembahasan
internal,
f. Mengirimkan DSPP pemeriksaan yang telah disetujui oleh Komite Perencanaan
Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP kepada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
g. Menerbitkan instruksi/persetujuan pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko
usulan dari Kepala KPP atau analisis risiko mandiri/analisis IDLP oleh Kanwil DJP
dengan ruang lingkup pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak,
h. Membuat surat pemberitahuan penolakan usulan pemeriksaan kepada Kepala KPP
dalam hal usulan pemeriksaan ditolak oleh Komite Perencanaan
Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP.

2) Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan


a. Melengkapi data Wajib Pajak dalam DSPP yang diterima dari Bidang PPIP, seperti data
pengawasan Wajib Pajak, data potensi Wajib Pajak, maupun data lainnya;
b. Melakukan pembahasan internal atas daftar Wajib Pajak yang diusulkan, yang diterima
dari Bidang PPIP;
c. Mengusulkan penambahan atau pengurangan Wajib Pajak berdasarkan hasil pembahasan
internal;
d. Melakukan pembahasan bersama sebagai bagian dari anggota Komite Perencanaan
Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP.
3) Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi, dan Penilaian
a. Melengkapi data Wajib Pajak dalam DSPP yang diterima dari Bidang PPIP, seperti data
hasil penilaian, data lapangan, maupun data ekstensifikasi lainnya,
b. Melakukan pembahasan internal atasdaftar Wajib Pajak yang diusulkan untuk dilakukan
pemeriksaan yang diterima dari Bidang PPIP,

25
c. Mengusulkan penambahan atau pengurangan Wajib Pajak berdasarkan hasil pembahasan
internal,
d. Melakukan pembahasan bersama sebagai bagian dari anggota Komite Perencanaan
Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP.
Prosedur kerja Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil:

1) Penyusunan DSPP dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak,


a. Menerima DSPP dari Kepala KPP,
b. Menerima daftar Wajib Pajak yang berasal dari data yang dimiliki oleh Bidang PPIP
berupa analisis risiko mandiri, hasil analisis IDLP,
c. Melakukan validasi atas DSPP dan daftar Wajib Pajak,
d. Menyampaikan daftar Wajib Pajak yang telah dilakukan validasi kepada setiap anggota
Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP,
e. Masing-masing anggota Komite membahas daftar Wajib Pajak secara internal, untuk
menentukan daftar Wajib Pajak yang disetujui untuk diusulkan pemeriksaan kepada
Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat dan/atau daftar Wajib Pajak yang ditolak
usulan pemeriksaan,
f. Membuat dan menandatangani Berita Acara Pembahasan,
g. Atas daftar Wajib Pajak yang disetujui usulan pemeriksaan, Kepala Kanwil DJP
mengirimkan usulan DSPP tersebut kepada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan paling
lambat pada akhir Maret, akhir Juni, dan akhir September,
h. Atas daftar Wajib Pajak yang ditolak usulan pemeriksaan, Kepala Kanwil DJP membuat
surat pemberitahuan penolakan usulan pemeriksaan kepada Kepala KPP untuk
ditindaklanjuti.

2) Pemeriksaan Khusus Berdasarkan Analisis Risiko dengan Ruang Lingkup Pemeriksaan Satu
atau Beberapa Jenis Pajak:
a. Menerima usulan pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko dengan ruang lingkup
pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak dari KPP yang terdapat dalam lingkungan
Kanwil DJP,

26
b. Menerima usulan pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko dengan ruang lingkup
pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak yang berasal dari data yang dimiliki oleh
Bidang PPIP berupa analisis risiko secara mandiri, hasil analisis IDLP maupun data
lainnya,
c. Melakukan validasi atas usulan pemeriksaan khusus dan daftar Wajib Pajak,
d. Menyampaikan Wajib Pajak yang telah dilakukan validasi kepada setiap anggota Komite,
kemudian membahas Wajib Pajak secara internal;
e. Melakukan pembahasan Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP untuk
menentukan Wajib Pajak yang disetujui untuk diterbitkan instruksi pemeriksaan khusus
dan daftar Wajib Pajak yang ditolak usulannya,
f. Membuat dan menandatangani Berita Acara Pembahasan,
g. Atas Wajib Pajak yang disetujui usulan pemeriksaan, Kepala Kanwil DJP menerbitkan
instruksi pemeriksaan kepada Kepala KPP,
h. Atas Wajib Pajak yang ditolak usulan pemeriksaan, Kepala Kanwil DJP membuat surat
pemberitahuan penolakan usulan pemeriksaan kepada Kepala KPP untuk ditindaklanjuti.

Pada setiap akhir masa kerja, Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP membuat
laporan hasil kerja kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan paling lambat akhir Januari setelah
berakhir masa kerja.

11.3.4 Kebijakan Penerbitan Penugasan Pemeriksaan


Direktur Pemeriksaan dan Penagihan bertanggung jawab atas penerbitan instruksi pemeriksaan
sebagai berikut:

1) Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko dengan ruang lingkup pemeriksaan satu,
beberapa, atau seluruh jenis pajak,
2) Pemeriksaan rutin atas:
a. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak,
b. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi,
c. Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku, perubahan metode pembukuan
dan/atau penilaian kembali aktiva tetap dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh
jenis pajak,

27
3) Pemeriksaan tujuan lain.
a. Kepala Kanwil DJP bertanggung jawab atas penerbitan instruksi pemeriksaan
sebagai berikut:
 Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko dengan ruang lingkup
pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak.
 Pemeriksaan tujuan lain.
b. Kepala KPP bertanggung jawab atas penerbitan penugasan pemeriksaan sebagai
berikut:
 Penugasan pemeriksaan rutin berdasarkan:
1. Daftar Nominatif dengan kriteria SPT yang menyatakan lebih
bayar.
2. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran,
likuidasi atau pembubaran usaha, atau
3. Wajib Pajak Orang Pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya,
4. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP PBB, dengan ruang
lingkup pemeriksaan satu atau seluruh jenis pajak;
 Persetujuan pemeriksaan khusus berdasarkan keterangan lain berupa data
konkret;
 Penugasan pemeriksaan tujuan lain yang bersifat administratif:
1. Dalam rangka penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara
jabatan,
2. Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP baik
melalui permohonan maupun secara jabatan,
3. Pemeriksaan Fisik Barang Dalam Rangka Pencocokan Data
dan/atau Alat Keterangan atas Barang dari Tempat Lain Dalam
Daerah Pabean (TLDDP) ke Kawasan Bebas;

28
11.3.5 Pengendalian Mutu Pelaksanaan Pemeriksaan
Untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan, diperlukan upaya pengendalian baik dalam bentuk
Bimbingan Teknis, Pendampingan, Pembahasan Konsep Temuan, Review, Peer Review, maupun
Quality Assurance. Ketentuan lebih lanjut sehubungan dengan pengendalian kualitas pemeriksaan
mengacu kepada kebijakan yang mengatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan.

11.3.6 Alokasi dan Pengelolaan SDM Pemeriksaan Pajak


Elemen yang terpenting dari suatu sistem organisasi adalah sumber daya manusia yang
berkompeten dan berintegritas. Diperbaikinya sistem dan manajemen SDM didukung oleh sistem
SDM yang berbasis kompetensi dan kinerja akan dapat menghasilkan SDM yang lebih baik,
khususnya dalam hal produktivitas dan profesionalisme. SDM di bidang pemeriksaan dibagi
menjadi SDM Manajerial Pemeriksaan dan SDM Pelaksana Kegiatan Pemeriksaan.

A. SDM Manajerial Pemeriksaan pada KPP

SDM Manajerial pemeriksaan terdiri dari Kepala Seksi Pemeriksaan dan Supervisor Fungsional
Pemeriksa Pajak. Tugas SDM Manajerial Pemeriksaan antara lain:
1) Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepala Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan.

a. Bersama dengan Kepala KPP, Kasi Waskon II, III, dan IV, Kasi Ekstensifikasi dan
Penyuluhan, Kasi PDI, dan Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak menyusun Peta
Kepatuhan, DSP3, dan DSPP;
b. Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan administrasi pemeriksaan, antara lain:
 Kegiatan penyusunan rencana pemeriksaan;
 Pengawasan pelaksanaan kepatuhan terhadap aturan pemeriksaan, Standard
Operating Procedures (SOP), dan ketepatan penyelesaian pemeriksaan;
 Penerbitan dan penyaluran SP2;
 Administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya termasuk perekaman ke SIDJP;
 Pelaksanaan pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak yang ditunjuk Kepala
Kantor;
c. Bersama dengan Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak memastikan kegiatan
pemeriksaan berjalan dengan efektif.

29
2) Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak

a. Bersama Kepala KPP, Kepala KPP, Kasi Waskon II, III, dan IV, Kasi Ekstensifikasi
dan Penyuluhan, Kasi PDI, dan Kasi Pemeriksaan menyusun Peta Kepatuhan, DSP3,
dan DSPP,
b. Membuat Audit Plan dan Audit Program,
c. Melakukan supervisi dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemeriksaan,
d. Memastikan pemeriksaan berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan standar
pemeriksaan,
e. Bersama-sama dengan tim Pemeriksa Pajak melakukan pembahasan temuan dengan
Wajib Pajak,
f. Bertanggung jawab atas pencairan Ketetapan Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan
pada tahun berjalan,
g. Bersama-sama dengan Kepala Seksi Pemeriksaan memastikan kegiatan pemeriksaan
berjalan dengan efektif.

B. SDM Pelaksana Kegiatan Pemeriksaan

SDM pelaksana kegiatan pemeriksaan pada UP2 terdiri dari:

1) Pemeriksa Pajak, yang terdiri dari:


a. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak;
b. Petugas Pemeriksa Pajak (P3);
c. Tenaga Ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak.
2) Tenaga Ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan pemeriksaan yang ditunjuk oleh Dirjen
Pajak.
C. Ketentuan Pemeriksa Pajak
Ketentuan mengenai Pemeriksa Pajak adalah sebagai berikut:

1) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak


Tugas sesuai dengan Peraturan Men PAN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Jabatan Fungsional
Pemeriksa Pajak.

30
2) Petugas Pemeriksa Pajak
a. Kasi Pemeriksaan dan Pelaksana Pemeriksaan, Kasi Waskon II, III, IV dan AR, Kasi
Ekstensifikasi dan
Penyuluhan di KPP sebagai Petugas Pemeriksa Pajak,

b. Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak di Kanwil DJP sesuai dengan pertimbangan


Kepala Kanwil DJP,
c. Penunjukan Petugas Pemeriksa Pajak dengan menggunakan SK Kepala KPP atau Ka
Kanwil DJP,
d. Petugas Pemeriksa Pajak yang ditunjuk diberikan pelatihan teknis (In House Training,
dan workshop) sehingga memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak,
e. Seluruh dokumentasi pemeriksaan dilakukan di Seksi Pemeriksaan atau Seksi
Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan.
3) Tenaga Ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak
Dirjen Pajak dapat menunjuk Tenaga Ahli eksternal sebagai bagian dari tim Pemeriksa Pajak:

a. Auditor BPKP untuk Tim Optimalisasi Penerimaan Negara,


b. Auditor DJBC untuk Joint Audit antara DJP dan DJBC,
c. Auditor Inspektorat Jenderal Kemenkeu untuk pemeriksaan tertentu, atau
d. Pejabat Fungsional Pemeriksa Barang DJBC untuk pemeriksaan fisik dalam rangka
endorsement pada Kawasan Bebas (Free Trade Zone).
Penunjukan Tenaga Ahli menggunakan SK DJP.
Ketentuan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak:
1) Pemeriksa Pajak wajib memiliki tanda pengenal Pemeriksa Pajak,

2) Pemeriksa Pajak melaksanakan tugasnya tergabung dalam tim Pemeriksa Pajak yang terdiri
dari:

a. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak, atau


b. Petugas Pemeriksa Pajak.
3) Tim Pemeriksa Pajak terdiri dari 1 Supervisor, 1 Ketua Tim, dan paling sedikit 1 Anggota
Tim. Dalam rangka optimalisasi pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak paling sedikit 2 orang (1
orang Supervisor dan 1 Ketua Tim merangkap sebagai Anggota Tim).

31
4) Pemeriksa Pajak bertanggung jawab atas:
a. Pelaksanaan pemeriksaan,
b. Seluruh dokumentasi pemeriksaan,
c. SP2 telah selesai dilaksanakan
d. Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atau LHP Sumir disusun.
e. Pengiriman Kertas Kerja Pemeriksaan, LHP, dan nota penghitungan Ketetapan Pajak
kepada pejabat yang bertanggung jawab untuk melaksanakan administrasi pemeriksaan.
5) Pengukuran kinerja individual Pemeriksa Pajak dilakukan sesuai dengan kontribusi dari
masing-masing Pemeriksa Pajak dalam tim.
6) Kepala UP2 melakukan:
a. alokasi Pemeriksa Pajak sesuai dengan beban kerja
b. pengawasan secara periodik terhadap progress pemeriksaan,
c. pengelolaan hubungan kerja antara Pemeriksa Pajak yang berasal dari Pejabat
Fungsional Pemeriksa Pajak dan Petugas Pemeriksa,
7) Kepala KPP menyusun:
a. Laporan analisis kebutuhan Pemeriksa Pajak, untuk disampaikan kepada KaKanwil
DJP dengan tembusan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan setiap 6 (enam)
bulan sekali,
b. Laporan evaluasi kinerja Pemeriksa Pajak setiap 6 (enam) bulan dan
menyampaikannya kepada Direktur P2 dengan tembusan kepada Ka Kanwil DJP
untuk pertimbangan pembinaan kepada Pemeriksa Pajak.
Ketentuan mengenai Tenaga Ahli:

1) Kebutuhan Tenaga Ahli dalam pemeriksaan dicantumkan dalam Audit Plan,


2) Surat Tugas Membantu Pelaksanaan Pemeriksaan:
a. Tenaga Ahli bukan pegawai DJP, diterbitkan oleh DJP,
b. Tenaga Ahli pegawai DJP, diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk Dirjen Pajak:
 Kepala UP2, apabila Tenaga Ahli pegawai UP2,
 KaKanwil DJP, apabila Tenaga Ahli pegawai di luar KPP satu wilayah Kanwil DJP,
atau
 Sekretaris DJP, apabila Tenaga Ahli adalah pegawai,

32
3) Permintaan Tenaga Ahli ditujukan kepada Ka Kanwil DJP atau Direktur Pemeriksaan dan
Penagihan,
4) Tenaga Ahli membuat laporan Tenaga Ahli kepada tim Pemeriksa Pajak tembusan pejabat
yang menerbitkan Surat Tugas sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan tugas,
5) Masa tugas Tenaga Ahli berlaku sampai dengan berakhirnya pemeriksaan,
6) Tenaga Ahli bertanggung jawab secara profesional atas hasil pelaksanaan tugasnya, dan dapat
dimintai penjelasan terkait pelaksanaan tugasnya,
7) Keterlibatan Fungsional Penilai Pajak dalam pemeriksaan:
a. Untuk sektor-sektor tertentu, Kepala UP2 melibatkanFungsional Penilai Pajak
sebagai Tenaga Ahli,
b. Kepala UP2 dapat melibatkan Fungsional Penilai Pajak dalam pemeriksaan sebagai
Tenaga Ahli, apaila Wajib Pajak melakukan:
 Transaksi dengan pihak yang terindikasi memiliki hubungan istimewa;
 Transaksi tukar-menukar harta;
 Tidak melaporkan nilai pengalihan harta dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan
usaha,
c. Apabila tidak terdapat atau kekurangan Fungsional Penilai Pajak pada UP2, Kepala
UP2 dapat mengajukan permintaan kepada Ka Kanwil DJP atau Direktur
Ekstensifikasi dan Penilaian melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan secara
berjenjang.
11.3.7 Percepatan Restitusi PPN
Optimalisasi pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak diperlukan dalam rangka
pelaksanaan percepatan restitusi PPN. Hal ini sebagai upaya meningkatkan kepercayaan Wajib
Pajak dan memberikan kemudahan dalam berusaha (ease of doing business - EoDB), serta alokasi
sumber daya Pemeriksa Pajak yang lebih terarah.

Kepala KPP melakukan hal-hal sebagai berikut:

1) Menghimbau Wajib Pajak memanfaatkan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan


Pembayaran Pajak, sehingga dapat meminimalisir permohonan restitusi,

33
2) Melakukan pengawasan dengan cara:
a. Menginventarisir Wajib Pajak yang berhak mengajukan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sesuai dengan surat keputusan yang
telah diterbitkan oleh Kepala KPP,
b. Memastikan restitusi PPN yang diajukan Wajib Pajak yang telah mendapatkan
surat keputusan tersebut, dilakukan melalui Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak,
c. Menghimbau Wajib Pajak yang mengajukan restitusi PPN agar mengajukan
Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak,
d. Menghimbau Wajib Pajak yang tidak mengajukan Permohonan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak namun memenuhi kriteria, untuk
melakukan Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
sehingga proses pengembalian restitusinya dapat diselesaikan dengan lebih cepat.
3) Memastikan permohonan restitusi Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak memenuhi kriteria
pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sehingga harus diproses dengan
pemeriksaan, agar dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak,
4) Mengalokasikan SDM Pemeriksa Pajak untuk menangani restitusi PPN yang diajukan pada
tahun berjalan,
5) Terhadap Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak dapat dilakukan pemeriksaan rutin (post-audit) untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan:
a. Dilakukan secara periodik dua tahun sekali,
b. Mempertimbangkan signifikansi nilai pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak yang telah diberikan kepada Wajib Pajak/PKP,
c. Mempertimbangkan tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak.

34
11.3.8 Penggunaan Sarana dan Prasarana Pemeriksaan
Pemeriksa pajak menyiapkan sarana dan prasarana sebelum pemeriksaan dimulai. Penyiapan
sarana dan prasarana sebelum pemeriksaan dimulai meliputi hal – hal sebagai berikut:

1) Melakukan inventarisir dan memastikan berkas wajib pajak yang akan dilakukan
pemeriksaan telah lengkap. Dalam hal berkas wajib pajak belum lengkap, pemeriksaan
pajak dapat melakukan peminjaman berkas kepada unit kerja terkait di lingkungan DJP.
2) Kelengkapan berkas wajib pajak sebagaimana angka 1 harus menyesuaikan pada rencana
pemeriksaan (audit plan) dan memperhatikan teknik pemeriksaan minimal yang akan
dilakukan sebagaimana diatur dalam surat edaran Direktur Jendral Pajak nomor SE-
04/PJ/2012 tentang Pedoman Penyusunan Program Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan.
3) Mempersiapkan sarana pemeriksaan antara lain kartu tanda pengenal pemeriksa pajak,
formulir – formulir yang diperlukan dalam proses pemeriksaan lapangan termasuk fakta
integritas, tanda segel.
4) Menyiapkan sarana dan prasarana pendukung pemeriksaan (audit tools) dalam hal
diperlukan seperti:
a. Permintaan tenaga ahli yang dibutuhkan, seperti tenaga ahli bahasa, penilai, ahli It,
ahli transfer pricing.
b. Aplikasi pendukung pemeriksaan dan/atau peralatan yang dibutuhkan.
c. Data pembanding transaksi.

35
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Reformasi Kebijakan Pemeriksaan Pajak melalui SE-15/PJ/2018, menyempurnakan
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan untuk mencapai optimalisasi penerimaan pajak dari
hasil pemeriksaan. Penyempurnaan ditujukan kepada proses bisnis pemeriksaan yang lebih
fokus kepada perencanaan pemeriksaan oleh DJP, sebagai dasar tahap pelaksanaan
pemeriksaan lebih lanjut. Tahap Perencanaan Pemeriksaan disempurnakan melalui
indikator Risk Based Audit dan Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan yang lebih obyektif,
transparan, dan tepat sasaran.

Kriteria pemeriksaan pajak yang efektif:

1) Pemeriksaan pajak diselesaikan tepat waktu dan pencairan atas hasil pemeriksaan
mencapai target.
2) Upaya hukum wajib pajak atas hasil pemeriksaan minimal.
3) Restitusi pajak terkendali dengan baik.
4) Menciptakan kepatuhan perpajakan yang berkelanjutan.

Wajib Pajak yang diperiksa adalah Wajib Pajak yang memiliki risiko tinggi ketidakpatuhan
dan Wajib Pajak yang memiliki tingkat potensi penerimaan pajak atas pemeriksaan yang
dilaksanakan. Sehingga setiap Pemeriksaan Pajak yang dilaksanakan betul-betul menyasar
pada Wajib Pajak yang tidak patuh. Artinya Ditjen Pajak secara tidak langsung menjamin
tidak akan menyentuh Wajib Pajak yang selama ini sudah patuh atas kewajiban membayar
pajak pada Negara.

36
DAFTAR PUSTAKA
https://perpajakan.ddtc.co.id/peraturan-pajak/read/surat-edaran-direktur-jenderal-pajak-se-
10pj2017

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/16531

37

Anda mungkin juga menyukai