Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERPAJAKAN

“REKONSILIASI FISKAL”

Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Perpajakan

Dosen Pengampu :
Dr. Ruhul Fitrios, S.E., M.Si., Ak., CA.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 7

Bangkit Aknico Priyangga 2210247995


Aisyah Nabillah 2210247846
Rizuan 2210247841
Sarah Dinda Permata Sari 2210247996

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahuwata’ala yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penulis ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah Perpajakan dengan pembahasan mengenai “Rekonsiliasi Fiskal” dengan tepat waktu.
Di dalam penyusunan makalah ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen
pengampu Bapak Dr. Ruhul Fitrios, S.E., M.Si., Ak., CA. yang telah memberikan arahan. Tidak lupa
juga penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendukung dalam penyelesaian
makalah. Semoga dengan dukungannya dapat menambah kemampuan dan semangat untuk
belajar meraih kesuksesan di masa yang mendatang dengan ilmu yang telah dipelajari.
Penulis berharap makalah ini dapat mendatangkan inspirasi dan pengetahuan bagi kita,
juga memberi manfaat bagi penulis ataupun yang membaca.

Pekanbaru, 16 Maret 2023

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 3
2.1 Rekonsiliasi Laba Komersial dengan Laba Fiskal ...................................................... 3
2.1.1 Rekonsiliasi Fiskal ............................................................................................... 3
2.1.2 Definisi Laba Komersial dan Laba Fiskal ........................................................... 3
2.1.3 Penyebab Perbedaan Laporan Keuangan Komersial dan Fiskal ......................... 3
2.2 Perbedaan Permanen dan Temporer ............................................................................ 6
2.2.1 Perbedaan Permanen............................................................................................ 6
2.2.2 Perbedaan Temporer ............................................................................................ 7
2.2.3 Perhitungan Perbedaan Permanen dan Perbedaan Kontemporer ........................ 7
2.3 Pajak Terutang............................................................................................................. 8
2.3.1 Definisi Pajak Terutang ....................................................................................... 8
2.3.2 Dasar Hukum Pajak Terutang.............................................................................. 8
2.3.3 Jenis – Jenis Pajak Terutang. ............................................................................... 8
2.3.4 Perhitungan Pajak Terutang............................................................................... 10
2.3.5 Contoh Perhitungan Pajak Terutang. ................................................................. 11
2.3.6 Pembayaran Pajak Terutang .............................................................................. 12
2.4 Kredit Pajak ............................................................................................................... 14
2.5 Pajak Akhir Tahun .................................................................................................... 16
2.5.1 PPh Pasal 28 ....................................................................................................... 16
2.5.2 PPh Pasal 29 ....................................................................................................... 16
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 19
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 19
3.2 Saran .......................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak karena terdapat perbedaan perhitungan,
khususnya laba menurut akuntansi dengan laba menurut perpajakan. Laporan keuangan
komersial atau bisnis ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari
sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak
yang akan dilaporkan.

Untuk kepentingan komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan, sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun
berdasarkan Peraturan Perpajakan. Perbedaan pada kedua dasar penyusunan laporan keuangan
tersebut mengakibatkan perbedaan perhitungan laba (rugi) dalam sebuah entitas.

Jika satu entitas (WP) harus menyusun dua laporan keuangan yang berbeda, maka selain
terjadi pemborosan waktu, tenaga, dan uang juga akan terjadi tidak tercapainya tujuan
menghindari manipulasi pajak. Oleh karena itu, perusahaan tidak boleh melakukan pembukuan
ganda. Pembukuan tetap satu yang nantinya akan menghasilkan laporan rugi laba komersial.
Kemudian laporan rugi laba komersial disesuaikan dengan ketentuan Pajak Penghasilan.
Proses penyesuaian inilah yang dinamakan Rekonsiliasi Fiskal. Dengan kata lain, Rekonsiliasi
Fiskal adalah proses membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap laporan keuangan komersial
dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan perpajakan sehingga diperoleh yang namanya Laba
Fiskal. Laba Fiskal ini, dalam perpajakan sering disebut Penghasilan Neto. Dalam makalah
ini, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai rekonsiliasi fiskal.

1
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana Rekonsiliasi Laba Komersial dengan Laba Fiskal?
2. Apa Perbedaan Permanen dan Temporer?
3. Bagaimana Pajak Terutang?
4. Apa itu Kredit Pajak?
5. Bagaimana Pajak Akhir Tahun?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:


1. Untuk mengetahui dan memahami Rekonsiliasi Laba Komersial dengan Laba Fiskal.
2. Untuk mengetahui dan memahami Perbedaan Permanen dan Temporer.
3. Untuk mengetahui dan memahami Pajak Terutang.
4. Untuk mengetahui dan memahami Kredit Pajak.
4. Untuk mengetahui dan memahami Pajak Akhir Tahun.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Rekonsiliasi Laba Komersial dengan Laba Fiskal
2.1.1 Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal adalah salah satu cara untuk mencocokkan beberapa perbedaan
yang terdapat pada laporan keuangan komersial yang telah disusun sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) dan dengan laporan keuangan yang telah disusun sesuai
dengan penyusunan sistem fiskal.

2.1.2 Definisi Laba Komersial dan Laba Fiskal


Laba komersial yang terdapat di dalam akuntansi pajak merupakan laba atau rugi bersih
yang terjadi pada sebuah perusahaan selama satu periode. Dimana laba ini belum dikurangi
atas suatu beban pajak yang diterima atau beban pajak penghasilan yang
terutang.sedangkan istilah laba fiskal (taxable profit). Ini merupakan suatu laba atau rugi
dalam suatu perusahaan yang terjadi selama satu periode perpajakan yang biasanya
meliputi satu tahun pajak. Yang mana bisa dihitung berdasarkan dengan aturan
perpajakan dan laba fiskal (taxable profit) itu sendiri. Dimana laba fiskal menjadi acuan
dasar dalam melakukan perhitungan pajak penghasilan (PPh) yang dimiliki oleh suatu
perusahaan.

2.1.3 Penyebab Perbedaan Laporan Keuangan Komersial dan Fiskal

1. Perbedaan Prinsip Akuntansi


a. Prinsip konservatisme, penliaian persedian akhir berdasarkan metode terendah
antara harga pokok dan nilai realisasi bersih dan penilaian piutang dengan nilai
taksiran realisasi bersih, diakui dalam akuntansi komersial, tetapi tidak diakui dalam
fiskal.
b. Prinsip harga perolehan (cost). Dalam akuntansi komersial, penentuan harga
perolehan untuk barang yang di produksi sendiri boleh memasukan unsur biaya
tenaga kerja berupa natura. Dalam fiskal, pengeluaran dalam bentuk natura tidak
diakui sebagai pengurangan biaya.
c. Prinsip pemadanan (matching) biaya manfaat. Akuntansi komersial mengakui biaya
penyusutan pada saat asset tersebut menghasilkan. Dalam fiskal, penyusutan dapat
dimulai sebelu menghasilakan seperti alat- alat pertanian.
2. Perbedaan Metode dan Prosedur Akuntansi

3
a. Metode peniliaan persediaan. Akuntansi komersial membolehkan memilih beberapa
metode perhitungan /penentuan harga perolehan persediaan, seperti rata-rata
(average), masuk pertama keluar pertama (FIFO), masuk terakhir keluar pertama
(LIFO), pendekatan laba bruto pendekatan harga jual eceran dan lain-lain. Dalam
fiskal hanya membolehkan memilih dua metode yaitu rata- rata (average) atau masuk
pertama keluar pertama (FIFO).
b. Metode penyusutan dan amortisasi, akuntansi komersial membolehkan memilih
metode penyusutan, seperti metode garis lurus( straighat line method), metode
jumlah angka tahun (sum of the years digits method), metode saldo menurun
(declining balanced method), atau saldo menurun ganda (double declining balanced
method), metode jam jasa, metode jumlah unit produksi, metode berdasarkan jenis
dan kelompok, metode anuitas, metode persediaan, dan lain-lain untuk semua jenis
harta berwujud atau asset tetap. Dalam fiskal, pemilihan metode penyusutan lebih
terbatas, antara lain metode garis lurus (straight line method) dan saldo menurun
(declining balanced method) untuk kelompok harta berwujud jenis non-bangunan,
sedangkan harta bewujud bangunan dibatasi pada metode garis lurus saja.
Disamping metodenya, termasuk yang membedakan besarnya penyusutan untuk
akuntasi komersial dan fiskal adalah dalam akuntansi komersial manajemen dapat
menaksir umur ekonomis atau manfaat suatu asset, sedangkan dalam fiskal umur
ekonomis atau masa manfaat diatur atau ditetapkan keputusan mentri keuangan.
Demikian pula akuntansi komersial membolehkan mengakui nilai residu dalam
menghitung penyusutan, sedangkan dalam fiskal tidak boleh memperhitungkan nilai
residu dalam menghitung penyusutan.
c. Metode pengahapusan piutang. Dalam akuntansi komersial penghapusan piutang
ditentukan berdasarkan metode cadangan. Sedangkan, dalam fiskal, penghapusan
piutang dilakukan pada saat piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat-
syarat tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan. Pembentukan cadangan
dalam fiskal hanya diperbolehkan untuk industri tertentu, seperti usaha bank, sewa
guna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi, dan usaha pertambangan dengan jumlah
yang dibatasi dengan peraturan perpajakan.

3. Perbedaan Perlakuan, Pengakuan, dan Penghasilan Biaya


a. Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial, tetapi bukan merupakan
objek pajak penghasilan. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus

4
dikeluarkan dari total penghasilan kena pajak (PKP) atau dikurangkan dari laba
menurut akuntansi komersial. Berikut ini beberapa contohnya.

a) Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura.
b) Penghasilan dividen yang diterima oleh perseroan terbatas, koperasi,
BUMN/BUMD sebagai wajib pajak dalam negeri dengan syarat tertentu.
c) Hibah, bantuan, dan sumbangan.
d) Iuran dan penghasilan tertentu yang diterima dana pension.
e) Penghasilan lain yang termasuk dalam kelompok bukan objek pajak (pasal 4
ayat (3) UU PPh).

b. Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial, tetapi pengenaan pajaknya


bersifat final. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari
total PKP atau dikurangkan dari laba menurut akuntansi komersial. Contohnya:

a) Penghasilan dari Bunga deposito dan tabungan lainya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi ke angota
koperasi orang pribadi
b) Penghasillan berupa hadiah undian
c) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya, transaksi derivatif yang
diperdangangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
pernyertaan modal pada perusahaan pasanganya yang diterima oleh perusahan
modal ventura
d) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah dan/atau bangunan
e) Pengalihan tertentu lainya (pengalihan dari hasil pengungkapan ketidakbenaran,
penghentian penyidikan tindak pidana, dan lain-lain).
f) Deviden yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi.

c. Penyebab Perbedaan Lain yang berasal dari Penghasilan

a) Kerugian suatu usaha diluar negeri. Dalam akuntansi komersial kerugian


tersebut mengurangi laba bersih, sedangkan dalam fiskal kerugian tersebut
boleh dikurangkan dari total penghasilan (laba) kena pajak.
b) Kerugian usaha dalam negeri tahun-tahun sebelumnya. Dalam akuntansi
komersial kerugian tersebut tidak berpengaruh dalam perhitungan laba bersih

5
tahun sekarang, sedangkan dalam fiskal kerugian tahun sebelumnya dapat
dikurangkan dari penghasilan (laba) kena pajak tahun sekarang selama belum
lewat waktu 5 tahun.
c) Imbalan dengan jumlah yang melebihi kewajaran. Imbalan yang diterima atas
perkerjaan yang dilakukan oleh pemengang saham atau pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan jumlah yang melebihi kewajaran.
d. Pengeluaran Tertentu yang Diakui dalam Akuntansi Komersial.
Yaitu sebagai biaya atau pengeluaran penghasilan bruto, tetapi dalam fiskal
pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam
rekonsiliasi fisakal, pengeluaran atau biaya tersebut harus ditambahkan pada
penghasilan neto menurut akuntansi. Dalam SPT tahunan PPh merupakan koreksi fiskal
positif. Contoh (secara rinci diatur dalam pasal 9 ayat (1) UU PPh):
a) Imbalan atau penggantian yang diberikan dalam bentuk natura.
b) Cadangan atau pemupukan yang dibentuk oleh perusahan, selain usaha bank,
sewa guna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi, dan pertambangan.
c) Pajak penghasilan
d) Sanksi administrasi berupa denda, bunga, kenaikan, dan sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan perundang-undangan perpajakan.
e) Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota
f) Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang
menjadi tanggunganya, dan lain- lain.

2.2 Perbedaan Permanen dan Temporer

2.2.1 Perbedaan Permanen


Perbedaan permanen terjadi karena transaksi transaksi pendapatan dan biaya diakui
menurut akuntansi komersial dan tidak diakui menurut fiskal. Perbedaan permanen
mengakibatkan laba (rugi) bersih menurut akuntansi berbeda (secara tetap) dengan
penghasilan ( laba) kena pajak menurut fiskal. Contoh perbedan permanen:

a) Penghasilan yang pajaknya bersifat final, seperti bunga bank, dividen, sewa tanah dan
bangunan, dan penghasilan lain sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU PPh.

6
b) Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, seperti dividen yang diterima oleh
peseroan terbatas, koperasi, BUMN/BUMD, bunga yang diterima oleh perusahan reksa
dana, dan pengahasilan lainya sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat(3) UU PPh
c) Biaya/atau pengeluaran yang tidak diperbolehkan sebagai penguran penghasilan bruto,
seperti pembayaran imbalan dalam bentuk natura, sumbangan, biaya/pengeluaran untuk
kepentinggan peribadi pemilik, cadangan atau pemupukan dana cadangan, pajang
pengahasilan, dan biaya atau pengurangan lain yang tidak diperbolehkan
(nondeductibel expense)

2.2.2 Perbedaan Temporer


Perbedaan temporer terjadi karena perbedaan waktu pengakuan pendapat dan biaya
dalam menghitung laba. Suatu biaya atau penghasilan telah diakui menurut akuntansi
komersial dan belum diakui menurut fiskal. Berbedaan ini bersifat sementara karena akan
tertutup pada priode sesudahnya. Contoh perbedaan ini antara lain: pengakuan piutang ak
tertagih, penyusutan harta berwujud, amortisasi harta tak berwujud atau hak, penilaian
persediaan, dan lain-lain.

2.2.3 Perhitungan Perbedaan Permanen dan Perbedaan Kontemporer


Untuk memperjelas pembahasan ini diambil satu contoh, yaitu penyusutan harta
berwujud yang mengakibatkan perbedaan bersifat sementara (waktu). Suatu harta
berwujud mempunyai harga perolehan Rp500.000.000. Menurut ketentuan fiscal harta
berwujud tersebut termasuk Non-bangunan Kelompok I (masa manfaat 4 tahun),
sedangkan menurut akuntansi komersial ditaksir mempunyai umur ekonomis 5 tahun.
Menurut akuntansi komersial, besarnya penyusutan setiap tahun adalah Rp 100.000.000
(=Rp 500.000.000/5), sedangkan menurut fiscal sebesar Rp 125.000.000 (= Rp
500.000.000/4). Perbedaan penyusutan ini mengakibatkan laba tahun pertama sampai
dengan keempat menurut akuntansi komersial lebih tinggi sebesar Rp 25.000.000
dibandingkan laba tahun pertama sampai dengan keempat menurut fiscal. Jumlah
perbedaan selama empat tahun tersebut sebesar Rp 100.000.000 (=4 tahun x Rp
25.000.000) Pada akhir tahun kelima tidak dijumpai biaya penyusutan dalam laporan laba
rugi fiscal, sedangkan dalam laporan laba rugi komersial masih terdapat biaya penyusutan
sebesar Rp100.000.000. Dengan asumsi tidak ada perbedaan biaya dan penghasilan lain
menurut akuntansi dan fiscal, setelah akhir tahun kelima jumlah biaya penyusutan
menurut akuntansi (5 x Rp 100.000.000) sama dengan menurut fiskal (4 x Rp
125.000.000).

7
2.3 Pajak Terutang

2.3.1 Definisi Pajak Terutang


Pajak Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu waktu dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak sesuai ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu)
Tahun Pajak. Masa Pajak adalah sama dengan satu bulan kalender, Tahun Pajak adalah sama
dengan satu tahun kalender atau tahun takwin, Tahun Pajak bisa menggunakan jangka waktu
Januari hingga Desember. Namun bisa dikecualikan jika mengajukan izin untuk
menggunakan jangka waktu lain.

2.3.2 Dasar Hukum Pajak Terutang


Ada tiga Undang-Undang Perpajakan yang menjadi dasar hukum Pajak Terutang,
diantaranya:

a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP);
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

2.3.3 Jenis – Jenis Pajak Terutang.


a. Pajak Terutang PPh Pasal 21

Penghasilan pasal 21 terutang adalah pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat
terutangnya pajak penghasilan yang bersangkutan dan PPh 21 terutang bagi pemotong untuk
setiap masa pajak.

b. Pajak Terutang PPh Pasal 22

PPh 22 Terutang adalah terutangnya pajak penghasilan oleh wajib pajak badan usaha
tertentu, baik pemerintah maupun swasta atas perdagangan ekspor, impor dan reimport.

c. Pajak Terutang PPh Pasal 23

Pajak Terutang PPh 23 adalah terutangnya pajak penghasilan atas dividen pada saat
pembayaran dan saat disediakan untuk dibayarkan, saat bunga dan sewa jatuh tempo, saat
royalti dan imbalan jasa teknil atau jasa manajemen maupun jasa lainnya ditentukan dalam
kontrak/perjanjian/faktur.

8
d. Pajak Terutang PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi

PPh 25 Badan adalah pembayaran pajak penghasilan pajak orang pribadi yang dilakukan
secara diangsur. Sedangkan PPh 29 Badan adalah pajak yang harus dilunasi WP Badan
sebagai akibat PPh Terutang dalam SPT Tahunan PPh lebih besar daripada kredit pajak yang
telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain yang telah disetor. Terutangnya PPh Pasal
25/29 Badan ini terjadi pada saat adanya kekurangan pajak orang pribadi yang terutang pada
akhir tahun pajak.

e. Pajak Terutang PPh Pasal 25/29 Badan

PPh 25 Badan adalah pembayaran pajak penghasilan badan yang dilakukan secara
diangsur. Sedangkan PPh 29 Badan adalah pajak yang harus dilunasi WP Badan sebagai
akibat PPh Terutang dalam SPT Tahunan PPh lebih besar daripada kredit pajak yang telah
dipotong atau dipungut oleh pihak lain yang telah disetor. Jadi, terutangnya PPh Pasal 25/29
Badan ini terjadi pada saat adanya kekurangan pajak badan yang terutang pada akhir tahun
pajak.

f. Pajak Terutang PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 Terutang adalah terutangnya pajak penghasilan pada bulan dilakukannya
pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu untuk pemotongan pajak penghasilan wajib pajak luar negeri WNA/Warga
Negara Asing).

g. Pajak Terutang PPh Pasal 15

PPh Pasal 15 Terutang adalah terutangnya pajak penghasilan dari pengangkutan


orang/barang, termasuk penyewaan kapal yang dilakukan dari pelabuhan di Indonesia ke
pelabuhan lainnya di dalam negeri maupun luar negeri, dari pelabuhan luar negeri ke
pelabuhan Indonesia dan luar negeri ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.

h. Pajak Terutang PPh Pasal 4 ayat 2

Terutangnya PPh Pasal 4 ayat 2 ini ketika dilakukannya sewa atas tanah dan/atau
bangunan, di mana WP yang menyewakan wajib memotong PPh terutang pada saat
pembayaran atau terutangnya sewa tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi.
Sedangkan untuk penghasilan dari usaha jasa konstruksi, pengguna jasa wajib memotong
PPh terutang pada saat pembayaran.

9
i. Pajak Terutang PPN

PPN Terutang merupakan terutangnya PPN pada saat penyerahan Barang Kena Pajak
(BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), impor BKP, ekspor JKP, ekspor BKP berwujud dan
tidak berwujud, pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP di luar daerah pabean.
Terutangnya PPN adalah pada saat pembayaran transaksi yang dikenakan PPN tersebut.

j. Pajak Terutang PPnBM

Pajak Terutang PPnBM adalah terutangnya PPnBM pada saat penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), impor BKP, ekspor JKP, ekspor BKP
berwujud dan tidak berwujud, pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP di luar daerah
pabean. Terutangnya PPnBM ini adalah pada saat pembayaran transaksi yang dikenakan
PPnBM tersebut. Saat Terutang Sederhananya, Pajak Terutang ini timbul ketika adanya
suatu transaksi perpajakan yang dilakukan, apakah itu
pemungutan/pemotongan/pembayaran Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Ketentuan Perhitungan Pajak Terutang Dasar
penghitungan pajak terutang antara pajak penghasilan dengan pajak pertambahan nilai dan
pajak penjualan atas barang mewah berbeda.

2.3.4 Perhitungan Pajak Terutang.


a. Perhitungan PPh Terutang

Untuk menghitung tarif pajak penghasilan terutang dari jumlah penghasilan yang
didapatkan, diatur dalam Pasal 17 UU PPh. Bagi wajib pajak orang pribadi yang sudah
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah :

• 5% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan hingga Rp. 50 juta per tahun;
• 15% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan di atas Rp. 50 juta hingga Rp250
juta per tahun 25%;
• 30% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan di atas Rp500 juta per tahun
Sedangkan orang pribadi yang tidak memiliki NPWP, harus membayar tarif 20% lebih
tinggi dari yang dibayarkan bagi pemilik NPWP.

Untuk mengetahui jumlah PPh Terutang Badan, penghitungannya didasarkan pada besar
omzet yang diperoleh per tahunnya. WP Badan UMKM yang memiliki pendapatan bruto
hingga Rp4,8 miliar per tahun ini dikenakan tarif PPh final yaitu PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar
0,5% dikalikan dengan seluruh pendapatan bruto hasil usaha. Sedangkan badan usaha yang

10
memiliki pendapatan bruto lebih dari Rp50 miliar per tahun, dikenakan tarif pajak tunggal
25% dikalikan dengan laba bersih sebelum pajak.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 sebagai pelaksana Pasal 5 ayat
(3) UU No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan PP Pengganti UU (Perpu) No. 1/2020, tarif
PPh Badan untuk perusahaan badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas Perusahaan
Terbuka/Tbk), tarif pajak penghasilannya turun menjadi 22% di 2020-2021 dan 20% pada
2022 serta ada tambahan penurunan 3% menjadi 17% pada 2022 dengan syarat dan
ketentuan yang berlaku.

b. Perhitungan PPN dan PPnBM Terutang

Penghitungan PPN dan PPnBM terutang akan didapatkan melalui pengalian dengan
Dasar Pengenaan Pajak. DPP adalah harga jual, nilai ekspor/impor, penggantian, atau nilai
yang dipakai sebagai dasar penghitungan besarnya pajak yang terutang. Untuk mengetahui
berapa jumlah DPP, maka nilai atau harga jual tersebut dikalikan dengan 100/110. Tarif
PPN sendiri adalah 10% dan 0% khusus untuk ekspor BKP Berwujud/Tidak Berwujud dan
JKP, serta 5% dan paling tinggi 15% yang harus ditentukan lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah. Sedangkan tarif PPnBM ditetapkan secara progresif tergantung jenis barang
yang diimpor, mulai dari 10%, 20%, 30%, 40%, 60% dan tertinggi sebesar 125%.

2.3.5 Contoh Perhitungan Pajak Terutang.


Berikut contoh penghitungan pajak penghasilan terutang orang pribadi, PPh terutang
badan, dan PPN/PPnBM terutang.

a. Contoh Penghitungan PPh Pribadi Terutang

Pak Kelik seorang karyawan perusahaan PT AAA dan masih lajang serta memiliki
NPWP. Penghasilannya sebesar Rp100.000.000 juta setahun. Berikut tahapan
penghitungannya untuk mengetahui jumlah PPh terutangnya.

Penghasilan Bruto = Rp100.000.000

PTKP (K/0) = Rp54.000.000

Penghasilan Kena Pajak = Rp46.000.000

PPh Terutang:

= Tarif PPh x Penghasilan Kena Pajak

11
= 5% x Rp46.000.000

= Rp2.300.000

b. Contoh Penghitungan PPh Badan Terutang

PT AAA merupakan WP Badan yang memiliki omzet atau peredaran bruto pada 2020
sebesar Rp80.000.000.000 dan tidak ada koreksi fiskal. Karena PT AAA bukan merupakan
perusahaan terbuka (Tbk), maka ia tidak memanfaatkan penurunan tarif PPh Badan sebesar
22% tahun ini, Maka PPh Terutang PT AAA adalah sebagai berikut:

= Tarif PPh Badan x Jumlah omzet

= 25% x Rp80.000.000.000

= Rp20.000.000.000

c. Contoh Penghitungan PPN dan PPnBM Terutang

ABCD mengimpor kendaraan bermotor roda dengan harga Rp450.000.000 pada


September 2020. Kapasitas mesin sebesar 1800cc. Kendaraan bermotor ini tergolong dalam
barang mewah. Maka, perhitungan PPN dan PPnBM terutang ABCD adalah:

Nilai PPN kendaraan:

= Tarif PPN x Harga kendaraan

= 10% x Rp450.000.000

= Rp45.000.000

Nilai PPnBM kendaraan:

= Tarif PPnBM x Harga kendaraan

= 40% x Rp450.000.000

= Rp180.000.000

2.3.6 Pembayaran Pajak Terutang

Pembayaran PPh atau penyetoran PPN bisa dilakukan secara daring maupun manual.
Pembayaran/penyetoran pajak secara manual dengan datang langsung ke lewat loket/teller
kantor pos atau ATM/teller bank persepsi yang ditunjuk Menteri Keuangan. Sedangkan
secara pembayaran pajak secara daring adalah melalui online banking. Namun perlu

12
dipastikan juga bahwa bank tersebut merupakan bank persepsi. Pembayaran pajak secara
online ini harus melalui fitur e-Billing dengan cara membuat Kode Billing terlebih dahulu.

a. Penyampaian SPT Tahunan Pribadi

1) Batas waktu penyampaian SPT-nya adalah paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun
Pajak, Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib
Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan adalah WP OP yang
dalam satu tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh harus
dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan.

b. Penyampaian SPT Tahunan PPh Badan

1) Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan adalah paling lama 4 bulan
setelah akhir Tahun Pajak. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender
kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan apabila dalam
satu tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi
PTKP.
2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh harus
dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan.

c. Penyampaian SPT Masa

1) Batas waktu penyampaian SPT Masa adalah paling lama 20 hari setelah akhir
Tahun Pajak
2) Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu
saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 hari setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak
3) Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporan pajak untuk
SPT Masa, yaitu, Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan dengan
hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran pajak
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Jika tanggal batas akhir pelaporan
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, pelaporan

13
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional termasuk hari yang
diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum yang ditetapkan oleh
pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.

2.4 Kredit Pajak


Berdasarkan pasal 28 UU PPh, setelah diketahui jumlah pajak yang terutang, wajib pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap dapat mengurangi pajak terutang tersebut dengan kredit
pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan. Kredit pajak tersebut berupa:

a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh;

b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha
di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh;

c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU PPh;

d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UU PPh;

e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 UU PPh;

f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) UU
PPh.

Namun sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang‐undangan di bidang
perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang.

Contoh:

Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,00

Kredit pajak:

Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,00

Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00

14
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,00

Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00

Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00 (+)

Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000,00 (‐)

Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,00

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah
kredit pajak di atas maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak
dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi‐sanksinya.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17B ayat (1) Undang‐undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk
berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau
perhitungan kelebihan pajak.

Hal‐hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau


perhitungan kelebihan pajak adalah:

a. kebenaran materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang terutang.

b. keabsahan bukti‐bukti pungutan dan bukti‐bukti potongan pajak serta bukti pembayaran
pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat
lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan,
buku‐buku dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan
besarnya pajak penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang
telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus
dikembalikan.

Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali
kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak. (Pasal
28A UU PPh).

15
2.5 Pajak Akhir Tahun

2.5.1 PPh Pasal 28

PPH Pasal 28 adalah pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil
dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah
dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan
dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 B
ayat (1) Undang-undang tentang 22 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur
Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan
sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak

2.5.2 PPh Pasal 29


Definisi dasar PPh pasal 29 adalah Pajak Penghasilan kurang bayar yang terdapat dalam
SPT Tahunan PPh yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan
dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh Pasal 25 dengan dasar
hukum UU No. 36 Tahun 2008. UU Nomor 7 Tahun 2021 tercantum pada pasal 29 yaitu
apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang
terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan.

Subjek PPh 29 adalah Wajib Pajak Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Sementara itu, objek
pajak PPh 29 adalah penghasilan yang kurang bayar pajak dari SPT Tahunan WP Pribadi
dan Badan bersangkutan.
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun Pajak ternyata lebih besar daripada
kredit pajak sebagaimana dimaksud di atas, kekurangan pembayaran pajak yang terutang
harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan
paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun
buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat
tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan
setelah tahun Pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun
kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib
dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31
Oktober bagi Wajib Pajak badan. (Pasal 29 UU PPh).

16
Adapun Tarif PPh Pasal 29, yaitu:

1. Wajib Pajak Badan:


• Angsuran PPh 25 = PPh terutang tahun lalu x 12
• PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang terutang – angsuran PPh 25
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
• PPh 25 yang sudah dilunasi = 0.75 x jumlah penghasilan
• PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang masih terutang – PPh 25 yang sudah
dilunasi
Berikut contoh penghitungan PPh Pasal 29
a. Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 29 WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Contoh :
Pak John LBF seorang pengusaha biro jasa di Jakarta dengan omzet sebesar
Rp.2.000.000.000 setahun pada 2021. Jumlah PPh terutang Pak John LBF ini diketahui
setelah dilakukan pernghitungan kembali ternyata mencapai Rp. 12.500.000. Maka, PPh
Kurang Bayar Pasal 29 dan PPh Pasal 25 yang telah dilunasi adalah?
Diketahui:
Jumlah omzet Rp.
2.000.000.000
PPh Pasal 25 telah dilunasi 0.75% x Rp. 2.000.000.000 Rp.
15.000.000
Terutang pajak setahun Rp.
12.500.000
PPh Pasal 29 yang harus Rp. 15.000.000 - Rp. Rp.
dilunasi 12.500.000 3.500.000

b. Perhitungan PPh 29 WP Badan


Contoh:
PT. John Tax telah menghitung PPh Terutang dengan Tahun Pajak 2021 sebesar
Rp.600.000.000 dalam setahun. Tapi pada tahun 2022 PT. Jaya Abadi memiliki laba yang
lebih besar dan setelah dilakukan penghitungan kembali pajak terutang 2022 sebesar
Rp.700.000.000. Maka, perhitungan angsuran PPh Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29
adalah?
Diketahui:

17
Angsuran PPh 25 tahun Rp. 600.000.000 / 12 bulan Rp.
2021 50.000.000
PPh Terutang 2022 Rp.
700.000.000
PPh Pasal 29 yang harus Rp. 700.000.000 – Rp. Rp.
dilunasi 600.000.000 100.000.000

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Rekonsiliasi Fiskal adalah suatu proses penyesuaian-penyesuaian laporan laba/rugi fiskal


berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan di Indonesia sehingga diperoleh
laba/rugi fiskal sebagai dasar untuk perhitungan pajak penghasilan untuk satu tahun tertentu.
Dasar untuk membuat laporan rekonsiliasi fiskal adalah laporan laba/rugi karena pajak
penghasilan adalah penghasilan, sedangkan penghasilan biasanya dicatat di dalam laporan
laba/rugi. Hasil dari Laporan ini adalah laba/rugi yang menjadi dasar dalam perhitungan
besarnya pajak yang harus dibayar oleh perusahaan.
Koreksi/Penyesuaian Fiskal dilakukan jika terjadi kesalahan atau ketidakcocokan antara
peraturan/ketentuan atau dengan lainnya. Di dalam akuntansi terdapat beberapa metode atau
asumsi yang dipakai dalam penyusunan laporan keuangan. Asumsi atau metode ini yang
kemungkinan terjadi perbedaan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
Hasil dari proses koreksi/penyesuaian terhadap penghasilan atau biaya di dalam laporan
laba/rugi fiskal berdasarkan ketentuan perundang-undangan adalah laba/rugi fiskal. Laba/rugi
fiskal ini yang menjadi dasar di dalam perhitungan besar/kecilnya pajak terutang bagi
perusahaan.

3.2 Saran
Sebuah perusahaan diharapkan dapat mengimplementasikan keseluruhan dari peraturan
perpajakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam menyusun laporan
keuangannya untuk tujuan perpajakan sehingga perusahaan dapat membayar kewajibannya
sebagai wajib pajak kepada pemerintah.

19
DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Indonesia. (2008). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat AtasUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Anda mungkin juga menyukai