Anda di halaman 1dari 9

A.

Demokrasi Indonesia

dan Nafas Untung-Rugi bagi Peradaban Indonesia


Apa yang mau dikritisi juga terlihat jelas sekali, berkaitan dengan beberapa pasal yang
disebut seperti pasal 218 sampai 220 tentang menjaga kehormatan pemerintah, lalu tentang
tudingan kepada orang lain melalui tulisan dan terkait pemberitaan hoaks.
Mengapa ada perubahan hingga ada pasal-pasal baru terkait penghinaan terhadap Presiden,
pasal tentang Makar, penghinaan terhadap lembaga negara, pidana demo tanpa
pemberitahuan, berita bohong, hukuman terhadap para koruptor, kumpul kebo, sebar ajaran
komunis, pidana santet, vandalisme, pidana hukuman mati, dan living law (CNN Indonesia,
7/12/2022).
Tulisan ini hanya menyoroti pasal tentang penghinaan terhadap Presiden, vandalisme, makar
dan hoaks. Beberapa pertimbangan yang menjadi latar belakang, mengapa muncul pasal-
pasal itu, antara lain.
1. Pengambil kebijakan tentang perubahan KUHP itu bukan suka-suka, atau tentu saja
tidak bertujuan untuk membatasi daya kreatif para kreator konten, jurnalis tanpa
alasan dan pertimbangan yang berangkat dari fakta media sosial Indonesia.
2. Jurnalis Indonesia dan para kreator konten justru ditantang untuk lebih dewasa dan
hati-hati. Ya, jurnalis dan para kreator konten harus juga bisa membedakan antara
kritik yang membangun dan maki-makian - menjelekan nama baik pemerintah.
3. Tujuan dari perubahan dan pengesahan itu pasti supaya penulis, kreator dan para
jurnalis bisa memperhatikan kualitas konten. Siapapun sebenarnya bebas menulis dan
berpendapat cuma ada adab dan etika sesuai dengan akar budaya bangsa kita.
Tentu saja alasan-alasan di atas sangat ideal. Tidak bermaksudmenyepelekan kece
masan para penulis, jurnalis dan para kreator konten.
Ada beberapa alasan yang mempertanyakan dan bahkanmenolak perubahan dan pe
ngesahan KUHP khususnya pasal-pasal yang diangkat dalam tulisan ini.
1. Bisa saja karena alasan takut terjebak pasal hukum, makakritik dan gagasan kritis
menjadi kerdil bagi anak bangsaini.
2. Matinya nalar bebas yang bisa secara tajam menyorotifungsi dan peran pemerintah
dan hal-hal lainnya, karenajangan sampai terjebak pasal baru KUHP.
3. Gairah para kreator konten bisa saja menjadi lesu.
Bagaimana dengan kehadiran oposisi pemerintah bersamabuzzernya?
Perubahan KUHP ini berdampak sekali pada bahasa para oposisipemerintah. Sela
ma ini, oposisi sama dengan bisa maki-makipresiden, ya gimana?
Negara mana yang Presidennya dimaki-maki?
Inti dari peran oposisi itu bukan hinaan dan cercaan yang menjatuhkan, tetapi sorot
an kritis yang punya fungsi menjaga, mengarahkan kinerja pemerintah.
Dalam arus konsep seperti itu, kehadiran KUHP
yang baruadalah sebuah afirmasi dari cara membangun peradaban bangsaini.
Bangsa ini tidak boleh dikenal sebagai bangsa besar denganjumlah konten kreator
yang banyak tetapi tanpa tata krama, etikadan adab. Apa artinya kebebasan, kalau
kebebasan itu hanyadipakai untuk merendahkan martabat orang lain?
Bangsa ini menjadi bangsa yang besar karena semua rakyatnyamampu menghorma
ti sesamanya yang berbeda dan tidakmenghina apa yang berbeda.
Memang kecemasan sebagian orang adalah kemungkinanadanya orang-orang
yang kreatif terjebak ke dalam pasal-pasalitu. Tapi, jika kita dengan jujur tidak ber
maksud menyerangdengan kata-kata
yang keji, maka tidak mungkin begitugambang orang diseret dengan pasal pelangg
aran ini dan itu
Cuma kalau terdengar berlebihan seperti kata-kata ini,
“anjingkau, dll” Rasanya sangat tidak pantas untuk dikatakan kepadaPresiden.
Dan tentu saja tidak mungkin kalau seorang jurnalis menulisbahwa “kerja presiden
tidak becus, hanya suka pergi, dll, laludihukum, saya rasa itu tidak masuk akal dan
tidak mungkinterjadi.
Dalam pemahaman seperti inilah, beberapa pasal baru itumemang bisa diberlakuka
n di Indonesia. Ada beberapapertimbangannya:
1. Pembiaran terhadap hal yang tidak terhormat, akan samadengan mewariskan sejara
h bahwa orang bisa mencacimaki presiden, misalnya.
2. Tanpa ada larangan yang diatur Undang-undang,
orang pikir bahwa berbohong itu baik, apalagi kalau didukungoleh banyak teman y
ang punya pengaruhnya.
3. Tanpa pasal larangan untuk Makar, maka negeri ini akanrusak, karena siapa saja bi
sa menggerakan massa untukmenghakimi yang lainnya, termasuk untuk melawanp
emerintah dan menghakimi kaum minoritas.
4. Tanpa pasal-pasal hukum yang melarang vandalisme, makafasilitas negara bisa dir
usakan oleh siapa saja tanpa adarasa bersalah.
Semua pasal hukum itu tidak dengan serta merta tanpa adakenyataan yang pernah t
erjadi di negeri ini. Oleh karena itu, rakyat Indonesia seluruhnya perlu punya sudut
pandang baru:
1. Demokrasi itu tidak berarti boleh caci maki sesuka hati.
2. Mayoritas itu tidak berarti otomatis bisa menghakimi yang kecil
3. Kecewa dan marah itu tidak berarti harus dengan ekspresivandalis sebagai solusi.

https://www.kompasiana.com/inosensius280778/638fe8cd4addee55f87d0362/
pengesahan-rkuhp-dan-nafas-perubahan-jurnalisme-indonesia?
page=1&page_images=1

Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia 2022


Kompas.com, 22 September 2022, 01:00 WIB

Komentar
Lihat Foto
(KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)
Tersangka Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi saat menjalani rekonstruksi kasus pembunuhan Brigadir J di rumah dinas
Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Tim Khusus (Timsus) Polri menggelar rekonstruksi kasus
pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

KOMPAS.com - Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada manusia, bersifat universal dan langgeng.
Hak asasi manusia harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah dan aparatur negara.
Negara pun melalui UUD 1945 dan sejumlah perangkat hukum telah menjamin perlindungan
HAM. Sayangnya, pelanggaran HAM di Indonesia masih saja terus terjadi.
Berikut beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 2022.
Kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat
Pada Januari 2022, penjara atau kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Sumatera
Utara, Terbit Rencana Peranginangin, terungkap.
Kerangkeng tersebut ditemukan saat Sang Bupati terjaring operasi tangkap tangan (OTT)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Atas temuan ini, polisi pun mendatangi lokasi dan mendapatkan informasi bahwa kerangkeng
manusia itu merupakan tempat rehabilitasi narkotika. Akan tetapi, belum ada izin sebagai
tempat rehabilitasi narkoba di rumah tersebut.
Komnas HAM yang juga melakukan penyelidikan menemukan minimal 26 bentuk
penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap para penghuni
kerangkeng.
Beberapa di antara penghuni dipukuli, ditendang, disuruh bergelantungan di kerangkeng
seperti monyet, dicambuk anggota tubuhnya dengan selang, dan lainnya.
Hasil investigasi Komnas HAM menunjukkan pula keterlibatan oknum TNI-Polri dalam
tindak penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat para penghuni
kerangkeng.
Selama didirikan sejak 2012, ada enam orang yang meninggal di dalam kerangkeng tersebut.
Kasus dugaan tindak pidana kekerasan di dalam kerangkeng manusia ini masih berjalan di
pengadilan hingga sekarang.
Terdapat delapan tersangka yang diadili. Satu di antaranya merupakan anak kandung dari
Bupati Terbit berinisial DP.
Empat tersangka, yaitu DP, HS, HG, dan IS didakwa dengan pasal penganiayaan yang
menyebabkan kematian terhadap korban. Sementara SP, JS,RG, dan TS didakwa dengan
tindak pindana perdagangan orang.

Kekerasan aparat di Wadas


Tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga terjadi di desa
Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, pada 8 Februari 2022.
Kericuhan berujung kekerasan oleh polisi ini terjadi dalam proses pengukuran lahan warga
untuk penambangan batu andesit di desa tersebut. Batu andesit diperlukan untuk proyek
pembangunan Bendungan Bener di wilayah tersebut.
Sebagian warga setuju membebaskan lahan mereka. Namun, sebagian lainnya menolak
karena khawatir penambangan batu andesit berakibat pada rusaknya sumber mata air Wadas.
Dalam kericuhan ini, Komnas HAM menemukan bahwa sejumlah warga ditendang dan dan
dipukul. Tak hanya itu, puluhan warga juga ditangkap dan ditahan polisi.
Akibat kejadian tersebut, warga pun mengalami trauma. Pasca kejadian, beberapa orang
bahkan tidak berani pulang ke rumah dan bersembunyi di hutan karena ketakutan.

Penyiksaan oleh Polri-TNI


Kontras atau Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menemukan masih
banyak kasus penyiksaan dilakukan oleh aparat keamanan.
Berdasarkan data Kontras, selama periode Juni 2021–Mei 2022, setidaknya terdapat 50 kasus
penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia telah terjadi di Indonesia.
Tidak menutup kemungkinan, jumlah kasus riil di lapangan lebih besar dari temuan Kontras.
Berdasarkan 50 kasus penyiksaan yang tercatat oleh Kontras tersebut, kepolisian masih
menjadi aktor utama dalam kasus-kasus penyiksaan, yakni sebanyak 31 kasus, dilanjutkan
dengan TNI dengan 13 kasus dan sipir sebanyak 6 kasus.
Adapun sejumlah kasus penyiksaan tersebut telah menimbulkan sebanyak 144 korban dengan
rincian 126 korban luka-luka dan 18 tewas.
Salah satu yang menarik perhatian publik adalah kasus dugaan penyiksaan yang
menyebabkan matinya Freddy Nicolaus Siagian. Ia merupakan tahanan Satresnarkoba Polres
Metro Jakarta Selatan yang tewas pada 13 Januari 2022.
Komnas HAM menemukan indikasi kuat pelanggaran HAM berupa hak untuk hidup,
terbebas dari penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, penghukuman yang kejam dan
merendahkan martabat, hak untuk memperoleh keadilan, serta hak atas kesehatan.
Freddy diduga mengalami serangkaian tindak kekerasan yang begitu keji yang menyebabkan
sejumlah luka yang membekas pada tubuhnya.
Selain itu, Komnas HAM juga menyebutkan telah terjadi tindak pemerasan yang dilakukan
oknum polisi.

Kasus multilasi empat warga sipil di Mimika


Temuan potongan jenazah dari empat orang korban di Mimika, Papua, menghebohkan
masyarakat pada akhir Agustus 2022.
Dari penyelidikan, pelaku mutilasi merupakan enam prajurit TNI dan empat warga sipil. Para
pelaku diduga memiliki bisnis bersama sebagai pengepul solar.
Komnas HAM menyatakan tindakan para pelaku telah melukai nurani dan merendahkan
martabat manusia.
Berdasarkan temuan awal, Komnas HAM menyatakan pembuhan tersebut sebagai
pembunuhan berencana. Selain itu, Komnas HAM juga menemukan adanya senjata rakitan
yang dimiliki oleh salah satu pelaku dari unsur TNI.
Atas temuan ini, Komnas HAM meminta Panglima TNI Jenderal Andhika Perkasa untuk
memecat enam prajurit TNI yang terlibat.
Dua dari enam tersangka merupakan seorang perwira infanteri berinisial Mayor Inf HF dan
Kapten Inf DK. Sementara sisanya berinisial Praka PR, Pratu RAS, Pratu RPC dan Pratu R.
Sedangkan, empat tersangka dari kalangan sipil yakni APL alias J, DU, R, dan RMH.

Penembakan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo


Penembakan Brigadir J atau Nofriansyah Yoshua Hutabarat pada 8 Juli 2022 menjadi kasus
yang menarik perhatian publik akhir-akhir ini.
Hal ini dikarenakan penembakan tersebut dilakukan oleh atasannya, Irjen Ferdy Sambo, di
rumah dinas Ferdy di Kompleks Rumah Dinas Polri, Jalan Duren Tiga Utara, Jakarta Selatan.
Kasus ini semakin menarik perhatian karena adanya rekayasa skenario yang dibuat oleh
Ferdy Sambo.
Berdasarkan penyelidikan, Komnas HAM menyatakan Sambo telah melakukan pelanggaran
HAM berupa penghilangan hak untuk hidup dan hak memperoleh keadilan.
Selain itu, Sambo dan pelaku lain juga telah melakukan obstruction of justice atau upaya
menghalangi penegakan hukum. Tindakan ini berimplikasi pada pemenuhan akses keadilan
dan kesamaan di hadapan hukum.
Akibat kasus ini, Sambo telah resmi dipecat dari Polri, 19 September 2022.

Link : https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/09/22/01000001/kasus-pelanggaran-
ham-di-indonesia-2022

RKUHP Resmi Disahkan, Istana: Langkah Nyata


Reformasi Hukum Pidana Indonesia
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani/Net

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)


menjadi Undang-undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR RI ke-11 Masa
Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, Selasa kemarin (6/12) disambut baik
pihak Kantor Staf Presiden (KSP).

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan,


pengesahan RKUHP tersebut merupakan langkah konkret pemerintah dan DPR
dalam memperbaiki sistem hukum pidana di Indonesia.

“Pengesahan RUU KUHP menjadi UU adalah langkah nyata reformasi


hukum pidana Indonesia,” kata Jaleswari dalam keterangannya, Rabu (7/12).

Menurut Jaleswari, RKUHP yang disahkan akan menyempurnakan tata regulasi


hukum pidana Indonesia yang dicapai melalui konsolidasi ketentuan pidana dalam
berbagai undang-undang sektoral.

“Dan mencegah disparitas pidana antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya,”
jelasnya.

KUHP baru yang menggusur KUHP warisan kolonial Belanda (Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie) tersebut akan mengalami masa transisi 3
tahun dan berlaku efektif pada 2025.
Adapun RUU KUHP yang disahkan menjelang akhir tahun 2022 ini sudah
diinisiasi sejak 1958 dan sudah dibahas di DPR sejak 1963 (59 tahun lalu).
Produk hukum yang telah berlaku sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda pada
1918, atau 104 tahun yang lalu ini, lanjut Jaleswari, menjadi perlu untuk
diperbarui untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan
nasional akan hukum yang berkeadilan korektif, berkeadilan restoratif, dan
berkeadilan rehabilitatif.

Kantor Staf Presiden (KSP), masih kata Jaleswari, turut terlibat dalam upaya
kolektif pemerintah untuk mendorong pengesahan RUU KUHP dan
mengawal aspek pemberlakuannya.

“Utamanya, dalam tiga tahun ini, tim tenaga ahli dan pemerintah telah melakukan
sosialisasi kepada masyarakat dan pelatihan bagi aparat penegak hukum untuk
memberikan pemahaman terkait makna, esensi, dan filosofi dari RKUHP,”
pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Eddy Hiariej
juga menyampaikan bahwa pengesahan RKUHP menjadi tonggak sejarah baru
Indonesia. Karena untuk pertama kalinya Indonesia memiliki kodifikasi hukum
pidana murni buatan bangsa Indonesia.

“Ini hari bersejarah bagi Indonesia karena kita memiliki KUHP baru buatan
bangsa sendiri yang tentunya memiliki paradigma Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Eddy.

EDITOR: AGUS DWI

Link : https://politik.rmol.id/read/2022/12/07/556299/rkuhp-resmi-disahkan-
istana-langkah-nyata-reformasi-hukum-pidana-indonesia

NOVIOLAVITA PERMANA JATI (29)


XI IPA 6

Anda mungkin juga menyukai