Anda di halaman 1dari 35

KARYA ILMIAH

PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN


MUTU PENDIDIKAN KABUPATEN KEPULAUAN ARU
( Peran Kepala Sekolah dalam Peningkatkan Mutu Pendidikan
SMA Negeri 1 Pulau – pulau Aru)

Oleh :
Carmelia Surya Latuhihin

SMA NEGERI 1 PULAU-PULAU ARU


KATA PENGANTAR
Segala puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan karena atas
bimbingan dan petunjuk serta kemudahan yang diberikan oleh-Nya, saya
dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini dengan tema “Peran
Kepala Sekolah Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Kabupaten
kepulauan Aru ” dengan baik dan lancar tanpa ada hambatan yang berarti.
Penyususunan Karya Ilmiah ini untuk memenuhi salah satu syarat
Perlombaan Karya Tulis Ilmiah yang di selenggarakan melalui hasil
kerjasama antara kejaksanaan negeri kepulauan Aru bersama Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Pendidikan Menengah dan
Pendidikan Khusus Kabupaten kepulauan Aru .
Karya Ilmiah pendidikan tentang Peran Kepala Sekolah Dalam
Peningkatan Mutu Pendidikan di Kabupaten kepulauan Aru ini berisi
mengenai gambaran secara umum perihal kepemimpinan kepala sekolah,
apa saja peran kepala sekolah secara umum, dan bagaimana strategi
kepala sekolah selaku pimpinan sebuah institusi pendidikan dalam
meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten kepulauan Aru.
Selain itu, dalam Karya Ilmiah ini pun membahas mengenai hal-hal
apa saja yang menjadi masalah kekinian dalam menghadapi tantangan
global dunia pendidikan terutama mengenai gaya yang tepat seorang
kepala sekolah guna menghadapi hal tersebut, sehingga sekolah yang
dipimpinnya dapat tertus maju dan berkembang khususnya SMA Negeri 1
Pulau – pulau Aru.
Akhir kata, semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Pendidikan Menengah dan
Pendidikan Khusus Kabupaten kepulauan Aru dan Para Kepala Sekolah
dalam menambah literasi untuk meningkatkan mutu pendidikan di
kabupaten kepulauan Aru Kedepannya. Saya sangat mengharapkan
saran, kritik, dan masukan dari semua pihak demi kesempurnaan Karya
Ilmiah ini.
Dobo, 07 Agustus 2023
Penyusun,
Carmelia Surya Latuhihin

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Rumusan Masalah
2
1.3 Tujuan Penulisan
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Bagaimana Gambaran Kepemimpinan Kepala Sekolah
4
2.2 Tipe-Tipe Kepemimpinan
4
2.3 Kepemimpinan Kepala Sekolah
5
2.4 Mutu Pendidikan
5
BAB III PEMBAHASAN
8
3.1 Kepemimpinan Kepala Sekolah
8
3.2 Peranan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan

3
………………………………………………………………………………………
10
3.3 Masalah kekinian yang dihadapi dalam tantangan global
dunia
Pendidikan
14
3.4 Strategi kepala sekolah dalam meningkatkan mutu
pendidikan
di Indonesia sekaligus menjawab tantangan global dunia
pendidikan
19
BAB IV PENUTUP
25
4.1 Kesimpulan
25
4.2 Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
27

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia.


Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi
manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah
sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan
yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan
mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan
global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang
mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan
zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan
harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-
hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya
secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Seiring perkembangan zaman yang sangat cepat dan modern membuat
dunia pendidikan semakin penuh dengan dinamika. Di Indonesia sendiri
dinamika itu tampak dari tidak henti-hentinya sejumlah masalah yang melingkupi
dunia pendidikan.
Merosotnya mutu pendidikan di Indonesia secara umum dan mutu
pendidikan tinggi secara sfesifik dilihat dari persfektif makro dapat disebabkan
oleh buruknya sistem pendidikan nasional dan rendahnya sumber daya manusia
(Hadis dan Nurhayati, 2010:2). Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu
usaha pengembangan sumber daya manusia (SDM), walaupun usaha
pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya
pendidikan formal ( sekolah ). Tetapi sampai detik ini, pendidikan masih
dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang
dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang.
Kemajuan pendidikan dapat dilihat dari kemampuan dan kemauan dari
masyarakat untuk menangkap proses informatisasi dan kemajuan teknologi.
Karena Proses informatisasi yang cepat karena kemajuan teknologi semakin
membuat horizon kehidupan didunia semakin meluas dan sekaligus semakin
mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah
global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian
dibelahan bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi , maupun sosial.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal
yang sangat penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya
Manusia. Dimana dewasa ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai

5
dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan pada keunggulan Sumber Daya
Manusia (SDM). Dimana mutu Sumber Daya Manusia (SDM) berkorelasi positif
dengan mutu pendidikan, mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi
yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam
pendidikan, komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.
Mutu pendidikan tercapai apabila masukan, proses, keluaran, guru, sarana
dan prasarana serta biaya apabila seluruh komponen tersebut memenuhi syarat
tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut yang lebih banyak berperan
adalah kepala sekolah yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-
tantangan dengan cepat dan tanggung jawab. Warga pendidikan yang meliputi
siswa, guru, staf TU, dll pada masa mendatang akan semakin kompleks,
sehingga menuntut kepala sekolah untuk senantiasa melakukan berbagai
peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
Pendidikan yang bermutu sangat membutuhkan tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan yang professional. Tenaga pendidik mempunyai peran yang sangat
strategis dalam pembentukan pengetahuan, ketrampilan, dan karakter peserta
didik. Oleh karena itu tenaga pendidik yang professional akan melaksanakan
tugasnya secara professional sehingga menghasilkan tamatan yang lebih
bermutu. Menjadi tenaga pendidik yang profesional tidak akan terwujud begitu
saja tanpa adanya upaya untuk meningkatkannya, adapun salah satu cara untuk
mewujudkannya adalah dengan pengembangan profesionalisme ini
membutuhkan dukungan dari pihak yang mempunyai peran penting dalam hal ini
adalah kepala sekolah, dimana kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan
yang sangat penting karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan
pelaksanaan program pendidikan di sekolah.
Ketercapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan
kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu
pemimpin pendidikan. Karena kepala sekolah merupakan seorang pejabat yang
profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber
organisasi dan bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk
mencapai tujuan pendidikan. Dengan keprofesionalan kepala sekolah ini
pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan mudah dilakukan karena
sesuai dengan fungsinya, kepala sekolah memahami kebutuhan sekolah yang ia
pimpin sehingga kompetensi guru tidak hanya mandeg pada kompetensi yang ia
miliki sebelumnya, melainkan bertambah dan berkembang dengan baik sehingga
profesionalisme guru akan terwujud. Karena tenaga kependidikan profesional
tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode yang tepat, akan
tetapi mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan
wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan.
Profesionalisme tenaga pendidik dan tenaga kependidikan juga secara
konsinten menjadi salah satu faktor terpenting dari mutu pendidikan. Tenaga
pendidik yang profesional mampu membelajarkan murid secara efektif sesuai
dengan kendala sumber daya dan lingkungan. Namun, untuk menghasilkan guru
yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah. Guru harus harus lebih
dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Agar

6
proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki
kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu
pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan
pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih
bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah
dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya,
penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya,
maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan
output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata
strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function
(Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan
(sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua,
pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh
jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di
tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di
tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa
komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat
terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Sehingga dalam hal ini kepala sekolah harus memiliki strategi dalam
menghadapi berbagai persoalan dunia pendidikan, baik interen maupun
eksteren. Sebab pendidikan masa kini harus ditanggulangi oleh cara kekinian
juga sebab pendidikan masa kini senantiasa mengikuti perkembangan zaman
secara global. Termasuk didalamnya peningkatan mutu oendidikan yang harus
dikembangkan secara terus menerus, sebab sekolah yang bermutu senantiasa
akan menghasilkan output yang bagus atau unggul. Dimana masyarakat saat ini
hanya melihat keunggulan sebuah sekolah dilihat dari segi output siswanya dan
juga segi bangunan sekolahnya. Oleh karena itu seorang kepala sekolah
haruslah lihai dalam mengelola sekolahnya, sebab mengelola sumber daya
manusia di Indonesia bukanlah perkara mudah, harus siap dengan segala
konsekuensinya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Gambaran Kepemimpinan Kepala Sekolah


2. Bagaimana Peranan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan
3. Apasaja masalah kekinian yang dihadapi dalam tantangan global dunia
pendidikan
4. Bagaimana strategi kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan
di Indonesia sekaligus menjawab tantangan global dunia pendidikan.

1.3. Tujuan Penulisan

7
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan Karya Ilmiah ini
adalah:
1. Untuk memunihi kriteria dalam mengikuti lomba penulisan karya ilmiah
2. Untuk mengetahui gambaran kepemimpinan kepala sekolah secara
umum.
3. Untuk memahami peranan kepala sekolah dalam meningkatkan mutu
pendidikan.
4. Untuk mengetahui permasalahan apasaja yang dihadapi dalam tantangan
global dunia pendidikan.
5. Untuk mengetahui bagaimana strategi kepala sekolah dalam
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sekaligus menjawab
tantangan golobal dunia pendidikan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bagaimana Gambaran Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepemimpinan merupakan salah satu bagian dari manajemen (Nasution,


2005: 200). Lebih lanjut, Siagian (2002: 62), mengemukakan bahwa
kepemimpinan memainkan peranan yang dominan, krusial, dan kritikal dalam
keseluruhan upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja, baik pada tingkat
individual, pada tingkat kelompok, dan pada tingkat organisasi.
Secara bahasa, makna kepemimpinan itu adalah kekuatan atau kualitas
seseorang pemimpin dalam mengarahkan apa yang dipimpinnya untuk mencapai
tujuan. Seperti halnya manajemen, kepemimpinan atau leadership telah
didefinisikan oleh banyak para ahli diantaranya adalah Stoner mengemukakan
bahwa kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses
mengarahkan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok

8
anggota yang salain berhubungan dengan tugasnya. (T. Hani Handoko,
1999:294). Menurut Handoko (1999:295), ada beberapa pendekatan
kepemimpinan yang diklasifikasikan sebagai pendekatan-pendekatan kesifatan,
perilaku, dan situasional, yaitu:
a. Pendekatan pertama memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi
sifat-sifat yang tampak. Pendekatan kedua bermaksud mengidentifikasikan
perilaku-perilaku (behaviours) pribadi yang berhubungan dengan
kepemimpinan yang efektif.
b. Pendekatan kedua pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang
individu yang memiliki sifat-sifat tertentu atau memperagakan perilaku-
perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasii kelompok
apapun dimana ia berada.
c. Pendekatan ketiga yaitu pandangan situasional tentang kepemimpinan.
Pandangan ini menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektifitas
kepempimpinan bervariasi dengan situasi yakni tugas-tugas yang dilakukan,
keterampilan dan pengharapan bawahan, lingkungan organisasi,
pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan dan sebagainya. Pandangan
ini telah menimbulkan pendekatan contingency pada kepemimpinan yang
bermaksud untuk menetapkan faktor-faktor situasional yang menentukan
seberapa besar efektifitas situasi gaya kepemimpinan tertentu.

2.2. Tipe – Tipe Kepemimpinan

Menurut Kurt Lewin yang dikutif oleh Maman Ukas mengemukakan tipe-
tipe kepemimpinan menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Otokratis, pemimpin yang demikian bekerja kerang, sungguh-sungguh, teliti
dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan yang berlaku dengan ketat dan
instruksi-instruksinya harus ditaati.
2) Demokratis, pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian
dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha
bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya. Agar setiap anggota
turut serta dalam setiap kegiatan-kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan,
pengawasan dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang
berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.
3) Laissezfaire, pemimpin yang bertipe demikian, segera setelah tujuan
diterangkan pada bawahannya, untuk menyerahkan sepenuhnya pada para
bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya. Ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya
dengan tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil
inisiatif, semua pekerjaan itu tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para
bawahannya, sehingga dengan demikian dianggap cukup dapat memberikan
kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan.

2.3. Kepemimpinan Kepala Sekolah

9
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat besar. Kepala Sekolah
merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan menuju sekolah dan
pendidikan secara luas. Sebagai pengelola institusi satuan pendidikan, kepala
sekolah dituntut untuk selalu meningkatkan efektifitas kinerjanya. Untuk
mencapai mutu sekolah yang efektif, kepala sekolah dan seluruh stakeholders
harus bahu membahu kerjasama dengan penuh kekompakan dalam segala hal.
Selain itu berlandaskan teori Maslow, kepala sekolah juga disentil dengan
persepsi bahwa guru dan siswa berkemungkinan memiliki tingkat kebutuhan
yang berbeda-beda. Pastinya mereka akan mengejar kebutuhan yang lebih
tinggi yakni interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang.
Oleh karena itu, mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras.
Kiat kepala sekolah adalah memikirkan fleksibilitas peran dan kesempatan,
bukannya otoriter dan “semau gue”. Demi kelancaran semua kegiatan itu kepala
sekolah harus mengubah gaya pertemuan yang sifatnya pemberitahuan kepada
pertemuan yang sesungguhnya yakni mendengarkan apa kata mereka dan
bagaimana seharusnya mereka menindaklanjutinya (Xaviery, 2004. ”Benarkah
Wajah Sekolah Ada pada Kepala Sekolah”. www.diknas.go.id ).

2.4. Mutu Pendidikan

Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat)


keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa;
baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan
pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil
pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu terlibat berbagai input,
seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi
sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana
prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.
Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai
input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses)
belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas
maupun di luar kelas baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam
lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana
yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks “hasil pendidikan”
mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu
tertentu (apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan
10 tahun).
Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat
berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ujian
Nasional atau Ujian Sekolah Berstandar Nasional). Dapat pula prestasi di bidang
lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, ekstrakurikuler, seni atau
keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa.
Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang
(intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan,
dan lain sebagaigainya.

10
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan.
Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian
hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target
yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input
dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai.
Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality
improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah
pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh
sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau “kognitif”
dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya:
NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada
tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain
(kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri
dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun
berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu
yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Dalam manajemen peningkatan mutu sekolah diharapkan sekolah dapat
bekerja dalam koridor – koridor tertentu antara lain sebagai berikut:
a) Sumber daya
Sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya
sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan
operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i)
memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai
dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu,
(ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses
pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
b) Pertanggung-jawaban (accountability)
Sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun
pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap
standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat.
Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa
dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah
ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin
untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu
setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan
mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan
melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan
program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
c) Kurikulum
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional,
sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari
standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan
bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah
harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan
semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa
tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu

11
pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan
memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam
kegiatan ini yaitu:
 Pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa
 Bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk
menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara
efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
 Pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan
sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui
proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup
berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi
lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada
orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang
bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah
sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
d) Personil sekolah
Sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti
penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah
(kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu
pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan
kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam
pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan
secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah
berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam
konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu
dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada
sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam
merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer
untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim
guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat. Konsekwensi logis dari
itu, sekolah harus diperkenankan untuk: mengembangkan perencanaan
pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh
pemerintah, Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah
dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk
peningkatan mutu, dan Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya
kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan
pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders). Selain itu dalam
rekruitment guru, kepala sekolah harus melakukan penilaian dari berbagai
aspek baik secara pedagogik, sosial, kepribadian, dan profesional.

12
BAB III
PEMBAHASAN

2.1. Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepala sekolah adalah guru yang dibeikan tugas tambahan untuk


memimpin suatu sekolah yang diselenggarakan poses belajar mengajar atau
tempat terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang
menerima pelajaran. Selain itu kepala sekolah juga merupakan salah satu
komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas
pendidikan. Untuk itu kepala sekolah harus mengetahui tugas-tugas yang harus
ia laksanakan. Adapun tugas-tugas dari kepala sekolah seperti yang
dikemukakan Wahjosumidjo (2002:97) adalah:
1) Kepala sekolah bekerja dengan dan melalui orang lain.
2) Kepala sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan
sekolah.
3) Kepala sekolah bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan.
Kepala sekolah harus bertindak dan bertanggungjawab atas segala tindakan
yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan oleh para guru,
siswa, staf, dan orang tua siswa tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab
kepala sekolah. Dengan waktu dan sumber yang terbatas seorang kepala
sekolah harus mampu menghadapi berbagai persoalan. Dengan segala
keterbatasan, seorang kepala sekolah harus dapat mengatur pemberian
tugas secara cepat serta dapat memprioritaskan bila terjadi konflik antara
kepentingan bawahan dengan kepentingan sekolah.
4) Kepala sekolah harus berfikir secara analitik dan konsepsional.
Dalam hal ini seorang kepala sekolah harus dapat memecahkan persoalan
melalui satu analisis, kemudian menyelesaikan persoalan dengan satu solusi
yang bijak dan terbaik. Serta harus dapat melihat setiap tugas sebagai satu
keseluruhan yang saling berkaitan.
5) Kepala sekolah adalah seorang mediator atau juru penengah.
Dalam lingkungan sekolah sebagai suatu organisasi di dalamnya terdiri dari
manusia yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda yang bisa
menimbulkan konflik untuk itu kepala sekolah harus jadi penengah dalam
konflik tersebut.
6) Kepala sekolah adalah seorang politisi.

13
Kepala sekolah harus dapat membangun hubungan kerja sama melalui
pendekatan persuasi dan kesepakatan (compromise). Peran politis kepala
sekolah dapat berkembang secara efektif, apabila:
 Dapat dikembangkan prinsip jaringan saling pengertian terhadap
kewajiban masing-masing.
 Terbentuknya aliasi atau koalisi, seperti organisasi profesi, OSIS, Komite,
dan sebagainya.
 Terciptanya kerjasama (cooperation) dengan berbagai pihak, sehingga
aneka macam aktivitas dapat dilaksanakan.
7) Kepala sekolah adalah seorang diplomat.
Dalam berbagai macam pertemuan kepala sekolah adalah wakil resmi
sekolah yang dipimpinnya.
8) Kepala sekolah mengambil keputusan-keputusan sulit.
Tidak ada satu organisasi pun yang berjalan mulus tanpa problem. Demikian
pula sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari persoalan dn kesulitan-
kesulitan. Dan apabila terjadi kesulitan-kesulitan kepala sekolah diharapkan
berperan sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang sulit
tersebut.
Dalam menjalankan kepemimpinannya, selain harus tahu dan paham
tugasnya sebagai pemimpin, yang tak kalah penting dari itu semua seyogyanya
kepala sekolah memahami dan mengatahui perannya. Adapun peran-peran
kepala sekolah yang menjalankan peranannya sebagai manajer seperti yang
diungkapkan oleh Wahjosumidjo (2002:90) adalah: (a)Peranan hubungan antar
perseorangan; (b) Peranan informasional; (c) Sebagai pengambil keputusan.
Dari tiga peranan kepala sekolah sebagai manajer tersebut, dapat penulis
uraikan sebagai berikut:
1) Peranan hubungan antar perseorangan
 Figurehead, hal ini berarti lambang. Dengan pengertian sebagai kepala
sekolah sebagai lambang sekolah.
 Kepemimpinan (Leadership). Kepala sekolah adalah pemimpin untuk
menggerakkan seluruh sumber daya yang ada di sekolah sehingga dapat
melahirkan etos kerja dan produktivitas yang tinggi untuk mencapai
tujuan.
 Penghubung (liasion). Kepala sekolah menjadi penghubung antara
kepentingan kepala sekolah dengan kepentingan lingkungan di luar
sekolah. Sedangkan secara internal kepala sekolah menjadi perantara
antara guru, staf dan siswa.
2) Peranan informasional
3) Peranan pengambil keputusan
 Sebagai monitor. Kepala sekolah selalu mengadakan pengamatan
terhadap lingkungan karena kemungkinan adanya informasi-informasi
yang berpengaruh terhadap sekolah.
 Sebagai disseminator. Kepala sekolah bertanggungjawab untuk
menyebarluaskan dan memabagi-bagi informasi kepada para guru, staf,
dan orang tua murid.

14
 Spokesman. Kepala sekolah menyabarkan informasi kepada lingkungan
di luar yang dianggap perlu.
 Enterpreneur. Kepala sekolah selalu berusaha memperbaiki penampilan
sekolah melalui berbagai macam pemikiran program-program yang baru
serta malakukan survey untuk mempelajari berbagai persoalan yang
timbul di lingkungan sekolah.
 Orang yang memperhatikan ganguan (Disturbance handler). Kepala
sekolah harus mampu mengantisipasi gangguan yang timbul dengan
memperhatikan situasi dan ketepatan keputusan yang diambil.
 Orang yang menyediakan segala sumber (A Resource Allocater). Kepala
sekolah bertanggungjawab untuk menentukan dan meneliti siapa yang
akan memperoleh atau menerima sumber-sumber yang disediakan dan
dibagikan.
 A negotiator roles. Kepala sekolah harus mampu untuk mengadakan
pembicaraan dan musyawarah dengan pihak luar dalam memenuhi
kebutuhan sekolah

2.2. Peranan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

Secara garis besar, ruang lingkup tugas kepala sekolah dapat


diklasifikasikan ke dalam dua aspek pokok, yaitu pekerjaan di bidang
administrasi sekolah dan pekerjaan yang berkenaan dengan pembinaan
profesional kependidikan. Untuk melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik –
baiknya, ada tiga jenis keterampilan pokok yang harus dimiliki oleh kepala
sekolah sebagai pemimpin pendidikan yaitu ketrampilan teknis ( technical skill ),
ketrampilan berkomunikasi ( human relations skill ) dan keterampilan konseptual
( conceptual skill ).
Menurut persepsi banyak guru, keberhasilan kepemimpinan kepala
sekolah terutama dilandasi oleh kemampuannya dalam memimpin. Kunci bagi
kelancaran kerja kepala sekolah terletak pada stabilitas dan emosi dan rasa
percaya diri. Hal ini merupakan landasan psikologis untuk memperlakukan
stafnya secara adil, memberikan keteladanan dalam bersikap, bertingkah laku
dan melaksanakan tugas. Dalam konteks ini, kepala sekolah dituntut untuk
menampilkan kemampuannya membina kerja sama dengan seluruh personel
dalam iklim kerja terbuka yang bersifat kemitraan, serta meningkatkan partisipasi
aktif dari orang tua murid. Dengan demikian, kepala sekolah bisa mendapatkan
dukungan penuh setiap program kerjanya.
Keterlibatan kepala sekolah dalam proses pembelajaran siswa lebih
banyak dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui pembinaan terhadap para
guru dan upaya penyediaan sarana belajar yang diperlukan. Kepala sekolah
sebagai komunikator bertugas menjadi perantara untuk meneruskan instruksi
kepada guru, serta menyalurkan aspirasi personel sekolah kepada instansi
kepada para guru, serta menyalurkan aspirasi personel sekolah kepada instansi
vertikal maupun masyarakat. Pola komunikasi dari sekolah pada umumnya
bersifat kekeluargaan dengan memanfaatkan waktu senggang mereka. Alur

15
penyampaian informasi berlangsung dua arah, yaitu komunikasi top-down,
cenderung bersifat instruktif, sedangkan komunikasi bottom-up cenderung berisi
pernyataan atau permintaan akan rincian tugas secara teknis operasional.
Media komunikasi yang digunakan oleh kepala sekolah ialah: rapat dinas,
surat edaran, buku informasi keliling, papan data, pengumuman lisan serta
pesan berantai yang disampaikan secara lisan. Dalam bidang pendidikan, yang
dimaksud dengan mutu memiliki pengertian sesuai dengan makna yang
terkandung dalam siklus pembelajaran. Secara ringkas dapat disebutkan
beberapa kata kunci pengertian mutu, yaitu: sesuai standar (fitness to standard),
sesuai penggunaan pasar/pelanggan (fitness to use), sesuai perkembangan
kebutuhan (fitness to latent requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness
to global environmental requirements). Adapun yang dimaksud mutu sesuai
dengan standar, yaitu jika salah satu aspek dalam pengelolaan pendidikan itu
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Garvin seperti dikutip Gaspersz mendefinisikan delapan dimensi yang
dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik suatu mutu, yaitu: (1) kinerja
(performance), (2) feature, (3) kehandalan (reliability), (4) konfirmasi
(conformance), (5) durability, (6) kompetensi pelayanan (servitability), (7) estetika
(aestetics), dan (8) kualitas yang dipersepsikan pelanggan yang bersifat subjektif.
Dalam pandangan masyarakat umum sering dijumpai bahwa mutu
sekolah atau keunggulan sekolah dapat dilihat dari ukuran fisik sekolah, seperti
gedung dan jumlah ekstra kurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat yang
berpendapat bahwa kualitas sekolah dapat dilihat dari jumlah lulusan sekolah
tersebut yang diterima di jenjang pendidikan selanjutnya. Untuk dapat memahami
kualitas pendidikan formal di sekolah, perlu kiranya melihat pendidikan formal di
sekolah sebagai suatu sistem. Selanjutnya mutu sistem tergantung pada mutu
komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung hingga
membuahkan hasil.
Dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu, Kepala sekolah
harus senantiasa memahami sekolah sebagai suatu sistem organic. Untuk itu
kepala sekolah harus lebih berperan sebagai pemimpin dibandingkan sebagai
manager. Sebagai leader maka kepala sekolah harus :
1) Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksa.
2) Lebih bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan
bersandar pada kekuasaan atau SK.
3) Senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi,
bukannya menciptakan rasa takut.
4) Senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada
menunjukkan bahwa ia tahu sesuatu.
5) Senantiasa mengembangkan suasana antusias bukannya mengembangkan
suasana yang menjemukan.
6) Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalahkan
kesalahan pada seseorang, bekerja dengan penuh ketangguhan bukannya
ogah-ogahan karena serba kekurangan (Boediono,1998).
Menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997 dalam slamet, PH, 2000),
kepala sekolah merupakan salah satu sumber daya sekolah yang disebut

16
sumber daya manusia jenis manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan fungsi
mengkoordinasikan dan menyerasikan sumberdaya manusia jenis pelaksana
(SDM-P) melalui sejumlah input manajemen agar SDM-P menggunakan jasanya
untuk bercampur tangan dengan sumberdaya selebihnya (SD-slbh), sehingga
proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan
output yang diharapkan. Secara umum, karakteristik kepala sekolah tangguh
dapat dituliskan sebagai berikut (Slamet, PH,2000) : Kepala sekolah:
a) Memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus
dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh
(strategi).
b) Memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh
sumberdaya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas).
c) Memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat,
cekat, dan akurat).
d) Memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai
tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal
penting bagi tujuan sekolahnya.
e) Memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari
orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran
terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan
nilai-nilai.
f) Memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu
ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi,
arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan
bertindak.
Adapun peran kepala sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1) Kepala sekolah menggunakan “pendekatan sistem” sebagai dasar cara
berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh
karena itu, kepala sekolah harus berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu
berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara runtut (tidak meloncat-loncat),
berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-lintas disiplin (tidak
parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu akan
berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya), berpikir “sebab-akibat”
(ingat ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan), berpikir interdipendensi dan
integrasi, berpikir eklektif (kuantitatif +kualitatif), dan berpikir sinkretisme.
2) Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yang
ditunjukkan oleh kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus
dikerjakan, yang disertai fungsi, kewenangan, tanggungjawab, kewajiban,
dan hak), rencana (diskripsi produk yang akan dihasilkan), program (alokasi
sumberdaya untuk merealisasikan rencana), ketentuan-ketentuan/limitasi
(peraturan perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda kerja,
prosedur kerja, dan sebagainya), pengendalian (tindakan turun tangan), dan
memberikan kesan yang baik kepada anak buahnya.

17
3) Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya
sebagai manajer (mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk
mencapai tujuan), pemimpin (memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya
manusia), pendidik (mengajak nikmat untuk berubah), wirausahawan
(membuat sesuatu bisa terjadi), penyelia (mengarahkan, membimbing dan
memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kehidupan kerja
nikmat), pengurus/administrator (mengadminitrasi), pembaharu (memberi
nilai tambah), regulator (membuat aturan-aturan sekolah), dan pembangkit
motivasi (menyemangatkan).
Menurut Enterprising Nation (1995), manajer tangguh memiliki delapan
kompetensi, yaitu: (a) people skills, (b) strategic thinker, (c) visionary, (d) flexible
and adaptable to change, (e) self-management, (f) team player, (g) ability to
solve complex problem and make decisions, and (h) ethical/high personal
standards.
Sedang American Management Association (1998) menuliskan 18
kompetensi yang harus dimiliki manajer tangguh, yaitu: (a) efficiency orientation,
(b) proactivity, (c) concern with impact, (d) diagnostic use of concepts, (e) use of
unilateral power, (f) developing others, (g) spontaneity, (h) accurate self-
assessment, (i) self-control, (j) stamina and adaptability, (k) perceptual objectivity,
(l) positive regard, (m) managing group process, (n) use of sosialized power, (o)
self-confidence, (p) conceptualization, (q) logical thought, and (r) use of oral
presentation.
Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-
dimensi tugas (apa), proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan
personal, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Dimensi tugas terdiri dari: pengembangan kurikulum, manajemen personalia,
manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas (sarana dan prasarana),
pengelolaan keuangan, hubungan sekolah masyarakat, dan sebagainya.
b) Dimensi proses, meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan,
pengelolaan program, pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan
pengevaluasian, dan pengelolaan proses belajar mengajar.
c) Dimensi lingkungan meliputi pengelolaan waktu, tempat, sumberdaya, dan
kelompok kepentingan.
d) Dimensi keterampilan personal meliputi organisasi diri, hubungan antar
manusia, pembawaan diri, pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya
menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985).
Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja sekolah
(kesenjangan antara kinerja yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan).
Berangkat dari sini, kemudian dirumuskan sasaran yang akan dicapai oleh
sekolah, dilanjutkan dengan memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk
mencapai sasaran, lalu melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes,
Opportunity, Threat) untuk menemukan faktor-faktor yang tidak siap
(mengandung persoalan), dan mengupayakan langkah-langkah pemecahan
persoalan. Sepanjang masih ada persoalan, maka sasaran tidak akan pernah
tercapai.

18
Kepala sekolah mengupayakan teamwork yang kompak/kohesif dan
cerdas, serta membuat saling terkait dan terikat antar fungsi dan antar warganya,
menumbuhkan solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan bukan kompetisi sehingga
terbentuk iklim kolektifitas yang dapat menjamin kepastian hasil/output sekolah.
Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kreativitas
dan memberikan peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi-
eksperimentasi untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru, meskipun
hasilnya tidak selalu benar (salah). Dengan kata lain, kepala sekolah mendorong
warganya untuk mengambil dan mengelola resiko serta melindunginya sekiranya
hasilnya salah.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan
melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari
pergeseran kebijakan manajemen, yaitu pergeseran dari Manajemen Berbasis
Pusat menuju Manajemen Berbasis Sekolah (dalam kerangka otonomi daerah).
Kepala sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar
mengajar sebagai kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain
sebagai penunjang/pendukung proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan
proses belajar mengajar dianggap memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan
kegiatan-kegiatan lainnya dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih rendah.
Kepala sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya
(Slamet PH, 2000), terutama sumberdaya manusianya melalui pemberian
kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya.

2.3. Masalah kekinian yang dihadapi dalam tantangan global dunia


pendidikan

Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan


terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir
semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa
depan sangat bergantung pada kontribusinya pendidikan. Shane (1984: 39),
misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi
pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam
penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain
menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi
dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui
oleh masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul
amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh
kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa

19
depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini
berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak
mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbuatan yang
dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain, manusia dituntut untuk
mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-
prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak
menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka
dikemudian hari (Joesoef, 2001: 198-199).
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan
seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun
dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-
harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef,
2001: 198). Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan
harus solid. Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari
berbagai permasalahan. Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau
tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk
dalam institusi pendidikan. Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha
menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu
secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk
kemudian dicari solusinya.
Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi
dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal.

1. Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini


Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya
sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-
dimensi eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan
meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi
global. Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di
Indonesia dewasa ini, Karya Ilmiah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan,
yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.
Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia
merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap
sektor kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah
perubahan sosial adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu

20
hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenanya perlu
dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus
dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi
(amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.
a. Permasalahan Globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam
kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti
terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih,
2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti
terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh,
globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang
pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak. Sejumlah SMK dan
SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu
(Quality Management System) yang berlaku secara internasional dalam
pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan
banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO. Oleh karena itu,
dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan aktual pendidikan.
Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output
pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi
pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan
komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive
advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya
alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122). Dalam konteks
pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan
menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan
dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan
bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-
anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai
tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri
secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah
mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah
pada tingkat sekolah menengah.
Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya
tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah

21
adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada
batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar
internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional
tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini
kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk
memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini
pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi
pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan
pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika
masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi
dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.
b. Permasalahan perubahan sosial
Ada sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang
abadi, semuanya berubah, satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu
sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak bisa
dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada pula
yang berjalan cepat. Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana
dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi sosial, yang maksudnya
tidak lain adalah mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan sebagai agen
perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan
ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan
sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju
perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi
budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan
sosial secara akurat (Karim, 1991: 28). Dalam kaitan dengan paradoks dalam
hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan sosial seperti
dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30)
yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi
industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka.
Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika
perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan.

22
Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda
penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.

2. Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini


Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di
Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225)
misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-
permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru,
dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada
jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan
sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional,
dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud,
Karya Ilmiah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di
pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan,
profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
a. Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan
uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar
pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara
pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari
pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau
ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-
Ghazali (Otman, 1981: 182). Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan
yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja
karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga
karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan
sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok
manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai
urusan pribadi. Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok
manusia yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme
dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk
dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad
Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang
integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan Karya
Ilmiah ini.

23
b. Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses
pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah
menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses
pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya
guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan. Menurut Suyanto
(2006: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi
seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar
baca tulis alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi
tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan:
“guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki
profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu dan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2006: 28) menjelaskan bahwa guru yang profesional
harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud
adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus
berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan
sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e)
adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik),
(g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki
organisasi profesi.
Berdasaarkan ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan
di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui
sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak
bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-
lighter. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih guru
honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki
pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia
pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru
yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus
menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
c. Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2006: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai
pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu
memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma
pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma

24
pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai
berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi,
interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis faktual
atau pengetahuan. Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran
tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di
pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut:
berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk
kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran
informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan
yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut
oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah”
(problem posing).
Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini
terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke
arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih
banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru
(Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya
professionalisme guru.

2.4. Strategi kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan di


Indonesia sekaligus menjawab tantangan global dunia pendidikan

1. Strategi kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan

Manajemen pendidikan di sekolah merupakan proses aplikasi fungsi


manajemen dalam melaksanakan proses pengajarna dan pembelajaran utnuk
mencapai tujuan pendidikan di sekolah, peranan kepala sekolah sebagai
manajer dalam menjalankan manajeme pendidikan sangat menetukan
pencapaian tujuan dengan dukungan sumber daya personel, materi, finansial,
dan lingkungan masyarakat. Sehingga pendidikan merupakan sisitem terbuka
bukan hanya sekedar sekolah formal, tetapi juga merupakan sekolah non formal
dimana aktivitas di luar sekolah yang diorganisasikan oleh berbagai macam
lembaga umum dan swasta.
Sekolah sebagai sosial berfungsi dalam mengintegralkan semua subsistem
yaitu tujuan dan nilai organisasi, teknik, psikosiosial, struktural, dan manajerial.

25
Sekolah dalam menyusun tujuannya maupun penggunaan pengetahuan untuk
menjalankan tugas sekolah, yaitu pengajaran dan pembelajaran sesuai dengan
tuntutan keperluan masyarakat. Kepala sekolah sebagai pimpinanberperan
sebagai pemimpin, pendidik, pengawas, dan pendorong bagi guru-guru dalam
proses kepemimpinanya.
Hal mendasar yang harus diperhatikan untuk peningkatan mutu pendidikan
adalah pengembangan manajemen yang kuat, tim manajemen dalam rencana
spesifikasi, penyampaian hasil mutu organisasi, visi dan misi yang jelas, strategi
dan tujuan yang jelas, pembiayaan sekolah, pemanfaatan lulusan dan
operasional rencana, terutama pengembangan kurikulum secara berkelanjutan.
Menurut Joseph C.Field dalam Syarafuddin (2002), ada sepuluh langkah
yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya:
a) Mempelajari dan memahami manajemen mutu secara menyeluruh.
b) Memahami dan mengadopsi jiwa dan filosofi untuk perbaikan terus menerus.
c) Menilai jaminan mutu saat ini dan program pengendalian mutu.
d) Membangun system mutu terpadu (kebijakan mutu, rencana strategis mutu,
implementasi rencana, rencana pelatihan, organisasi dan struktur, prosedur
bagi tindakan perbaikan, pendefinisian terhadap nilai tambah tindakan).
e) Mempersiapkan orang-orang untuk perubahan, menilai budaya mutu sebagai
tujuan untuk mempersiapkan perbaikan, melatih orang-orang untuk bekerja
pada suatu kelompok kerja.
f) Mempelajari teknik untuk menyerang atau mengatasi akar persoalan
(penyebab) dan mengaplikasikan tindakan koreksi dengan menggunakan
teknik dan alamat manajemen.
g) Memilih dan menetapkan pilot project untuk diaplikasikan.
h) Tetapkan prosedur tindakan perbaikan dan sadari akan keberhasilannya.
i) Menciptakan komitmen dan strategi yang benar oleh pemimpin yang akan
menggunakannya.
j) Memelihara jiwa mutu terpadu dalam penyelidikan dan aplikasi pengetahuan
yang amat luas.
Selain itu untuk mengejar mutu ada tujuh elemen dari manajemen terpadu yaitu:
a) Strategi yang terpokus pada pelanggan. Berarti kepuasaan pelanggan
internal dan eksternal dan respons terhadap tujuan dari dalam, sasaran dan
perbaikan dalam peran, tanggung-jawab dan perilaku harus menjadi focus
pekerjaan.

26
b) Kepercayaan terhadap orang-orang, baik internal maupun eksternal
merupakan sumber daya yang sangat penting. Pemberdayaan oran-orang
pada manajemen pribadi merupakan hal yang vital.
c) Aktivitasnya yang menunjukan perbaikan terus-menerus merupakan norma
yang diharapkan, sehingga status quo merupakan hal yang tabu dalam
semua bidang.
d) Pengembangan dan pelaksanaan suatu sistem berdasarkan proyek dan
proses pengawasan dengan menggunakan alat dan teknik mutu.
e) Jaminan mutu yang terus berjalan berdasarkan penilaian kinerja.
f) Bersikap positif terhadap koreksi kegagalan, mencakup koreksi yang lebih
disukai melalui tindakan preventif yang mendukung, menyesuaikan
perubahan dalam organisasi melalui kelompok penyelesaian masalah, dan
pengambilan keputusan.
g) Pemikiran yang berbeda terhadap segala sesuatu dalam pencarian atau
pengejaran kepuasan pelanggan.
Berdasarkan elemen-elemen pokok tersebut, terdapat tujuh prinsip
manajemen mutu dalam pendidikan:
a) Komitmen manajemen terpadu
Mutu terpadu pendidikan adalah suatu perubahan budaya organisasi
sebagai cara baru bagi kehidupan setiap orang. Hali ini menuntut dewan sekolah
dan administrator untuk menggunakan dan mengaplikasikan elemen-elemen dan
prinsip manajemen mutu terpadu pendidikan yang pertama.
b) Selalu mengutamakan pelanggan
Pelanggan internal (pelajar, guru dan personel pendukung) harus berusaha
mencapai kebutuhan pelanggan eksternal (pegawai-pegawai, institusi pelatihan,
dan kontrak sosial).
c) Komitmen terhadap tim kerjasama
d) Komitmen terhadap manajemen pribadi dan kepemimpinan.
e) Komitmen terhadap perbaikan terus-menerus
f) Komitmen terhadap kepercayaan kemampuan pribadi dan tim.
g) Komitmen untuk meraih mutu.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh kepala sekolah untuk memajukan
sekolahnya? James Harvey dalam tulisannya berjudul “The School Principal as
Leader: Guiding Schools to Better Teaching and Learning” mengatakan, seorang
kepala sekolah harus melakukan lima hal kunci, yakni:
1) Merumuskan visi untuk kemajuan dan keberhasilan academik siswa

27
2) Menciptakan suasana sekolah yang sangat layak untuk pendidikan dan
pembelajaran
3) Menanamkan sikap kepemimpinan terhadap seluruh staf akademik dan non
akademik
4) Meningkatkan pembelajaran
5) Mengelola seluruh staf akademik dan non-akademik untuk mengelola proses
layanan akademik dan non-akademik dalam rangka mempercepat kemajuan
Kepala sekolah harus merumuskan visi kepemimpinannya yang jelas dan
terukur, dan dapat difahami oleh semua staf akademik dan non akademik
sehingga mereka memahami apa yang harus dikerjakan sesuai visi kepala
sekolahnya. Kemudian menciptakan suasana yang dapat mendukung
pelaksanaan proses pembelajaran, memimpin seluruh stafnya, serta
mengelola seluruh orang dan proses untuk mempercepat kemajuan sekolah.
Kepala sekolah sebagai seorang manajer, sangat kompleks, tidak sekedar
mengelola kurikulum dan buku ajar, tapi juga SDM guru, staf tata usaha dan juga
mengelola serta mengembangkan aset dan mengelola keuangan institusi.
Dengan demikian, dia harus memiliki tiga kecerdasan, yakni kecerdasan
profesional, kecerdasan personal dan kecerdasan manajerial. Kecerdasan
profesional adalah penguasaan terhadap berbagai pengetahuan dalam bidang
tugasnya, yakni pendidikan. Seorang kepala sekolah harus menguasai teknik
penyusunan kurikulum, perencanaan pembelajaran, strategi pembelajaran,
evaluasi, pengelolaan kelas, dan berbagai pengetahuan tentang pendidikan dan
pembelajaran. Tidak mungkin jabatan kepala sekolah dipegang oleh seseorang
yang tidak menguasai pendidikan, atau sama sekali tidak pernah mengalami
profesi keguruan, karena dia harus mengelola seluruh sumber daya untuk proses
pendidikan dan pembelajaran.
Seorang kepala sekolah harus memiliki kecerdasan manajerial, yakni
memiliki ide-ide besar untuk kemajuan sekolahnya, mampu mengorganisir
seluruh stafnya untuk melaksanakan program yang sudah ditetapkan sebagai
rencana kerja tahunan, mampu memberi motivasi kepada seluruh staf akademik
dan staf non akademik, dan selalu menghargai seluruh stafnya itu. Seorang
kepala sekolah, harus mampu berkomunikasi dengan baik untuk membuat
seluruh stafnya faham akan sesuatu yang harus mereka kerjakan, dan mampu
mendorong mereka untuk bekerja memajukan institusi sekolahnya. Dan bahkan
seorang kepala sekolah harus mampu mengevaluasi secara obyektif pekerjaan
yang diselesaikan oleh seluruh tim kerjanya, dan menjadikan sebagai inspirasi
untuk perbaikan di waktu yang akan datang.

2. Strategi kepala sekolah dalam menjawab tantangan global dunia


pendidikan

Perkembangan teknologi telah mengakibatkan perubahan yang besar dalam


kehidupan masyarakat. Perubahn itu hampir mencakup semua aspek kehidupan
seperti sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan pendidikan. Untuk menjawab
tantangan globalisasi ini, semua Negara dituntut untuk memiliki SDM yang
berkualitas. Isu globalisasi yang gencar dengan tuntutan implementasi ide-ide

28
demokratisasi, penggunaan IPTEK yang canggih, pemeliharaan lingkungan
hidup dan penegakan hak asasi manusia (HAM), hanya mungkin terjawab oleh
SDM yang bermutu dan memiliki integritas dan professional. Dengan kata lain,
perbaikan mutu menjadi paradigma baru pendidikan kedepan.
Tantangan global dunia pendidikan saat ini sangatlah penting, yang mana
dalam Karya Ilmiah ini tantangan tersebut meliputi tantangan internal dan
eksternal.
Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan dua perspektif.
1) Kurikuler
Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan
suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga
terdidik kelas menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan
individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan
masyarakat dunia, dengan ciri-ciri:
 mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik
berat memahami adanya saling ketergantungan,
 mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan
sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat, dan,
 mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan
keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan
masyarakat dunia yang lebih baik.
Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan
pembahasan materi yang mencakup:
 adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia,
 adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu,
 perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat
 oleh karena itu perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang
lain,
 adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia ini memiliki berbagai
keterbatasan antara lain dalam ujud ketersediaan barang-barang
kebutuhan yang jarang, dan,
 untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil
menimbulkan konflik-konflik.
Berdasarkan perspektif kurikuler ini, pengembangan pendidikan
berwawasan global memiliki implikasi ke arah perombakan kurikulum
pendidikan. Mata pelajaran yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik
melainkan lebih banyak yang bersifat integratif dalam arti lebih ditekankan
pada kajian yang bersifat multidisipliner, interdisipliner dan transdisipliner.

2) Reformasi

29
Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global
merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan
peserta didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna
memasuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif dan dengan derajat saling
ketergantungan antar bangsa yang amat tinggi. Pendidikan harus mengaitkan
proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu
berubah di masyarakat global. Oleh karena itu kepala sekolah harus memiliki
orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji dalam kaitannya
dengan masyarakat dunia.
Selain itu, kepala sekolah juga harus berani dalam menerapkan kebijakan-
kebijakan yang sejalan dengan arus global, seperti: merekrut guru yang sesuai
kompetensinya, berani melakukan kreasi dan inovasi dalam berbagai hal baik
pembelajaran maupun menajerial sekolah lainnya. Terlebih penting lagi dalam
era global saat ini semua informasi dapat di akses hanya dengan menggunakan
gajet, sehingga hampir disemua elemen baik siswa, guru, masyarakat, hingga
orang tua senantiasa mencari sumber informasi menggunakan teknologi.
Sehingga kepala sekolah wajib menjadikan perkembangan teknologi sebagai
“kawan” dalam mengelola pendidikan, untuk dapat sejalan dengan arus
tantangan zaman.
Kunci utama peningkatan mutu tersebut adalah guru. Pendidikan yang baik
harus ditopang oleh guru yang memiliki kapabilitas, loyalitas dan integritas, serta
akuntabilitas pelaksanaan tugas. Untuk keempat tagihan utama tersebut, guru
harus bersikap profesional. Kepala sekolah harus memiliki komitmen kuat untuk
mengembangkan, meningkatkan dan memelihara profesionalisme para guru di
sekolah/madrasah nya. Untuk itu, menurut Paul V. Bredeson dari University of
Wisconsin-madison, USA, dan Olof Johansson dari University of Umeå,
Sweden, seorang kepala sekolah harus melakukan delapan (8) langkah sebagai
berikut:
1) Selalu melakukan analisis terhadap basil belajar siswa, khususnya analisis
terhadap hasil ujian siswa, dengan mengkaji perbedaan antara hasil belajar
dengan tujuan danstandar kompetensi siswa.
2) Melibatkan guru dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa, dan
meningkatkan pengalaman belajar mereka untuk mencapai spa yang mereka
butuhkan.
3) Melakukan analisis apakah program sekolah sesuai dengan kegiatan harian
guru.
4) Melakukan analisis apakah program-program yang sudah diorganisisr mash
efisien untuk mengatasi masalah.
5) Melakukan analisis apakah kegiatan yang sedang berjalan dan program
belajarberikutnya mendukung terhadap kebutuhan studi lanjut.

30
6) Melakukan evaluasi bersama dengan menggunakan data dari beragam
sumber belajar siswa dan bahan ajar yang diajarkan guru.
7) Memberi kesempatan bagi guru untuk akses pada teori-teori yang mendasari
pengetahuan, ketrampilan yang mereka pelajari.
8) Melakukan analisis apakah program pembelajaran siswa sesuai dengan
tujuan melakukan perubahan yang komprehensif pada siswa, dan apakah
program perubahan tersebut fokus pada kemajuan belajar siswa.
Dalam konteks peningkatan dan pengembangan profesionalisme guru ini,
kepala sekolah harus memiliki data sebagai pijakan untuk melakukan perubahan
menuju tercapainya tujuan dan terpenuhinya kebutuhan para siswa. Kemudian
mendampingi para guru untuk melakukan perbaikan-perbaikan proses
pembelajaran agar tetap konsisten menuju tercapainya tujuan yang disepakati
bersama, dan sesuai pula dengan kebutuhan para siswa sebagai warga belajar.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

31
Bahwa Kepemimpinan kepala sekolah yang konsisten akan aturan yang
berlaku besar sekali pengaruhnya terhadap peningkatan mutu di sekolah dengan
catatan adanya interaksi antara kepala sekolah dan guru serta para orangtua
saling menunjang dan mengisi masing-masing konsisten dan tanggung jawab
atas hak dan kewajibannya sehingga tercipta situasi dan kondisi yang diinginkan.
Untuk meningkatkan kualitas sekolah/madrasah, kepala sekolah sebagai
manajer yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya satuan pendidikan
yang menjadi wilayah otoritasnya, yang paling pertama harus dilakukannya
adalah merumuskan visi kepemimpinannya, mempersiapkan sekolah yang layak
untuk penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, bersikap sebagai seorang
leader di hadapan seluruh staf akademik dan non-akademik, dan
mengoptimalkan layanan seluruh stafnya untuk mempercepat kemajuan. Dan
bersamaan dengan itu, kepala sekolah juga harus terus melakukan analisis terus
menerus terhadap kesesuaian hasil belajar siswa dengan visi dan tujuan
sekolah, kebutuhan siswa, kebutuhan studi lanjut, serta mengarahkan guru untuk
menyesuaikan program pembelajaran dan proses pembelajaran dengan
pencapaian visi tersebut, serta dengan berbagai variabel kebutuhan siswa untuk
studi lanjut dan bahkan untuk mampu menyesuaikan diri dengan kehdupan
sosial kemasyarakatan serta berbagai perubahan yang terjadai sangat cepat
dalam kehidupan sosial.

4.2. Saran
Dalam Karya Ilmiah ini saya selaku penyusun memiliki sedikit saran
terhadap beberapa civitas akademisi diantaranya:
a. Kepala sekolah
Kepala sekolah disarankan untuk senantiasa memiliki sikap profesional,
tegas, inovatif, tidak koruptif dan bertanggung jawab terhadap tugas,
tindakan, serta langkah-langkah yang diambilnya selama bertugas guna
menjadikan sekolah yang dipimpinnya mampu bersaing dalam meningkatkan
mutu baik secara nasional maupun global.
b. Guru
Guru yang baik adalah guru yang senantiasa di gugu dan di tiru oleh
siswanya. Selain itu guru pun harus senantiasa menjalankan tugas-tugasnya
secara profesional dan menghindari sikap materialis.
c. Siswa
Siswa merupakan objek dari pendidikan, sehingga siswa diharapkan mampu
bersaing dalam akdemik dan non akademik, kurangi penggunaa gajet, dan
hindari penyalahgunaan hal-hal negatif. Siswa adalah generasi muda yang
akan menjadi penerus bangsa ini.
d. Masyarakat
Masyarakat merupakan elemen penting dalam kontrol setiap kebijakan
kepala sekolah dan kontrol terhadap pengajaran seorang guru, oleh karena
itu diharapkan dapat terus terjalin komunikasi yang harmonis. Namun
masyarakat juga harus cerdas dalam melihat proses pendidikan, harus dapat
membedakan tindakan tegas sekolah dan tindakan kriminal sekolah.
e. Pemerintah

32
Pemerintah merupakan stakeholder utama dalam pedidikan, sebab segala
aturan dan kebijakan mengenai pendidikan itu dibuat oleh pemerintah.
Payung hukum yang dibuat pemerintah harus dapat dilihat dari segi deduktif
dan induktif sehinga akan tercipta keseimbangan dalam mencapai tujuan
pendidikan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000. Panduan Manajemen Sekolah, Depdiknas, Dikmenum


Anonim, 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan/Kultur Sekolah,
Depdiknas,
hand out pelatihan calon kepala sekolah, Direktorat Sekolah lanjutan
Pertama, 2000.
Gaspersz, Vincent. 2000. Penerapan Total Management In Education (TQME)
Pada
Perguruan Tinggi di Indonesia, Jurnal Pendidikan (online), Jilid 6, No. 3
(http://www.ut.ac.id diakses 20 Januari 2001).
Hanafiah, M. Jusuf, dkk, 1994. Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Badan
Kerjasama
Perguruan Tinggi Negeri Nasution, MN, 2000. Manajemen Mutu Terpadu,
Ghalia
Indonesia, Jakarta
Moh. Iwan Apriyadi. 2007. Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan. Artikel
dipublikasikan diinternet.
Slamet, PH. 2000. Karakteristik Kepala Sekolah Yang Tangguh, Jurnal
Pendidikan, Jilid 3,
No. 5 (online) (http://www.ut.ac.id diakses 20 Januari 2001).
Sudarsono. 2007. Manajemen Kepala Sekolah Dalam Pelayanan Publik. Karya
Ilmiah
dipublikasikan diinternet.
Usman, Husaini, Peran Baru Administrasi Pendidikan dari Sistem Sentralistik
Menuju Sistem
Desentralistik, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Februari 2001, Jilid 8,
Nomor 1.
Tim Kajian Staff Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan. Kajian Kompetensi Guru
Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Bredeson, Paul V.,dan Olof Johansson,The School Principal’s Role in Teacher
Professional
Development, Journal of in Service Education, USA, 2013.
Colby, Jeanette,and Miske Witt, Defining Quality in Education, Working paper of
Education
Section, program division, UNICEF, New York 2000.
Harvey, James,The School Principal as Leader: Guiding Schools to Better
Teaching and
Learning, the Wallace Foundation, 2013.
Little, Priscilla M.,The Quality ofSchool-Age Child Care in After-School Settings,
Journal

34
Child Care and Early Education, Research Connection, Columbia
University, 2007,
Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2015, revisi atas Peraturan Pemerintah No.
19 tahun
2005.
Rosyada, Dede,Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model pelibatan
Masyarakat
dalam Pendidikan, Prenada Media, jakarta, 2013,
Rosyada, Dede,Creative Thinking, Kolom Rector UIN Syarif Hidayatullah, jakarta,
Edisi 3
Mei 2015.

35

Anda mungkin juga menyukai