Sub bab ini akan menjelaskan teori lembaga negara independen serta
kedudukan lembaga negara independen di Indonesia.
25
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., h.278.
26
Gunawan A.Tauda, Op.Cit., h.171.
27
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., h.277.
28
Syukron Jazuly, “Independent Agencies Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Supremasi
Hukum, Vol.4, No.1, 2015, h.220.
9
lain. Menurutnya, dewasa ini hubungan antar cabang kekuasaan dapat saling
mengendalikan satu sama lain. Dengan demikian, Yves dan Andrew
menyatakan suatu gagasan untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan yang
diciptakan oleh Montesquie dengan membentuk suatu kekuasaan baru, yakni
kekuasaan keempat (the fourth branch of the goverment) :
“Regulatory and monitoring bodies are a new type of autonomous
administration which has been most widely developed in the United States
(where it is sometimes referred to as the "headless fourth branch" of the
goverment). It take the form of what are generally known as independent
regulatory commission29”.
29
Ahmad Basarah, Op.Cit., h.4.
30
Syukron Jazuly, Op.Cit., h.229.
31
Zainal Arifin M, Op.Cit., h.33.
32
Moh Rizaldi, “Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara Independen?”, Jurnal
Penelitian Universitas Kuningan, Vol. 12, No. 1, 2021, h.21.
10
statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some
important agencies are independent”33.
Secara harfiah definisi independen menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) adalah yang berdiri sendiri, merdeka, yang berjiwa bebas dan yang
tidak terikat dengan pihak lain34. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris
(Dictionary), Independent is not influenced, controlled by others matters or
opinion; not subject to another’s authority or jurisdiction; not influenced by the
tought or action of others; not relying on another or other for aid and support35.
Pengertian dasar dari istilah independen adalah adanya kebebasan,
kemandirian, kemerdekaan, otonom (otonomi), dan tidak dalam ruang lingkup
personal ataupun institusional36. Sedangkan pengertian lembaga negara
independen menurut Jimly Asshidiqie adalah organ negara (state organs) yang
diharapkan independen dari cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun
yudikatif, namun dalam menjalankan fungsinya tetap ada campur tangan dari
kekuasaan tersebut37. Lembaga negara itu ada yang disebut dengan dewan,
badan, lembaga, ataupun komisi-komisi negara. Di literatur lain, dapat disebut
dengan“independent bodies”, independent agencies”, “auxiliary agencie”,
atau “self regulatory bodies”38. Sedangkan peristilahan lembaga negara
independen secara umum belum bisa terjelaskan karena ketiadaan pola yang
seragam. Kebanyakan masih dalam bentuk pendekatan baik secara konstitusi
maupun berbagai jenis aturan lainya yang memperlihatkan perbedaan
penggunaan istilah misalnya penyebutan lembaga non-struktural.
Secara teoritis, lembaga negara independen bermula dari kehendak negara
untuk menciptakan lembaga negara baru dimana pengisian anggotanya berasal
dari unsur non-negara yang diberikan otoritas negara, dan dibiayai oleh negara
tanpa harus menjadi pegawai negara. Selain itu gagasan terciptanya lembaga ini
33
Muhammad Habibi, “Independensi Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Pasca
Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi”, Cepalo, Vol.4, No.1, 2020, h.38.
34
KBBI, https://kbbi.web.id/independen, diakses pada 11 Juni 2022 pukul 13.15.
35
Dictionary,https://www.dictionary.com/browse/independent#:~:text=not%20influenced%20or%
20controlled%20by,%3B%20free%3A%20an%20independent%20businessman, diakses pada
tanggal 11 Juni 2022 pukul 13:20.
36
Ahmad Basarah, Op.Cit., h.6
37
Isharyanto, Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Hukum USM Surakarta, Surakarta, 2015,
h.207.
38
Ibid, h.200.
11
berawal dari keinginan negara yang ingin melibatkan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam melakukan pengawasan agar tercipta akuntabilitas vertikal
maupun horizontal. Dengan demikian tuntutan masyarakat atas terciptanya
prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaran pemerintah dapat terlaksana
secara akuntabel, independen, dan dapat dipercaya39. Prinsip independensi
melekat pada lembaga negara independen karena sebagai langkah
demokratisasi terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan tugas
pemerintahan dalam konteks negara. William F.Fox, Jr mengemukakan bahwa
komisi negara bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas dalam
undang-undang komisi yang bersangkutan, yang dibuat oleh congress. Hal ini
dimaksudkan agar supaya presiden tidak bisa memutuskan (discretionary
decision) pemberhentian pimpinan komisi tersebut. Untuk mencapai ke-
independensia-an sebuah lembaga negara harus tidak ada tekanan dan terlepas
dari pengaruh kepentingan politik dan tidak ada tugas tambahan dari lembaga
manapun diluar tugas utama sebagai lembaga negara independen karena komisi
atau lembaga dapat terpengaruh oleh salah satu cabang kekuasaan atau
pemerintahan, termasuk presiden, yang mungkin mencoba untuk
mempengaruhi keputusan lembaga negara independen, baik melalui
penyampaian pandangan publik atau melalui beberapa usulan secara pribadi40.
Kontak politik oleh cabang eksekutif dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap
independensi lembaga41. William Gould mantan ketua dari National Labor
Relations Board (NLRB) dalam juga mengungkapkan bahwa, "I am sure you
agree that it is vital that independent administrative agencies remain free of
interference from both the legislative and executive branches of government”42.
Secara filosofis, lembaga independen dibatasi oleh tujuan-tujuan yang dapat
ditetapkan secara mandiri atau ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi
(lembaga yang berwenang). Meskipun sumber kekuasaan ditentutan oleh
otoritas yang lebih tinggi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak dapat
39
Bunyamin .A & Uu Nurul .H, “Politik Hukum Pelembagaan Komisi-Komisi Negara Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Hukum dan Peradilan, Vol.2, No.1, 2013, h.94.
40
Marshall J.Breger dan Gary J.Edles, “Established by Practice: The Theory and Operation of
Independent Federal Agencies”, Administrative Law Review, 2000, h.1192.
41
Ibid, h.1193.
42
Ibid, h.1136.
12
mencampuri lembaga independen43. Salah satu pembeda apakah lembaga
tersebut digolongkan dalam komisi yang bersifat campuran atau bersifat
independen adalah dilihat dari segi bagaimana mekanisme pengangkatan dan
pemberhentian anggota komisi tersebut. Hal ini perlu diperhatikan karena
Presiden mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan
komisioner atau anggotanya sewaktu-waktu serta berhak atas pertanggung
jawaban setiap tugas yang telah dilaksanakan terhadap lembaga negara
penunjang yang menjalankan fungsi campuran. Sedangkan pemberhentian
anggota dari komisi negara yang bersifat independen menurut Asimov hanya
dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang
yang menjadi sumber pembentukannya. William F.Fox, Jr, memandang bahwa
suatu komisi negara bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas dalam
undang-undang sumber pembentukannya serta adanya pembatasan terhadap
Presiden agar tidak secara bebas memutuskan pemberhentian anggota komisi
tersebut44. Sehingga sifat independen suatu lembaga negara dapat dilacak dari
beberapa ciri dan pola yang ada. Zainal Arifin Mochtar menyatakan ciri-ciri
dasar lembaga negara independen, yaitu45:
a. Lembaga yang lahir dan ditempatkan tidak menjadi bagian dari cabang
kekuasaan yang ada, meskipun pada saat yang sama ia menjadi lembaga
independen yang mengerjakan tugas dimana dulunya dipegang oleh
pemerintah.
b. Proses pemilihannya melalui seleksi dan bukan oleh political appointee
atau dalam kaidah khusus tidak melalui monopoli satu cabang
kekuasaan tertentu. Dapat pula diserahkan sepenuhnya kepada
segmentasi tertentu di publik untuk memilih perwakilannya, pada
intinya tidak melibatkan kekuatan politik.
c. Proses pemilihan dan pemberhentinnya hanya bisa dilakukan berdasar
pada mekanisme yang ditentukan oleh aturannya.
43
Hendra Nurtjahjo, “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary Agencies)
di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No.3, 2005, h.280.
44
Bunyamin .A & Uu Nurul .H, Op.Cit, h.96.
45
Zainal Arifin Mochtar, Op.Cit., h.64.
13
d. Proses pemilihan dan pelaporan akan kinerjanya didekatkan dengan
rakyat, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan rakyat di
parlemen.
e. Kepemimpinan bersifat kolektif kolegial dalam pengambilan setiap
keputusan kelembagaan yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya.
f. Memiliki kewenangan yang lebih devolutif yakni bersifat self regulated
dalam artian bisa mengeluarkan aturan sendiri yang juga berlaku secara
umum.
g. Memiliki basis legitimasi di aturan baik konstitusi dan /atau undang-
undang.
Dalam ketatanegaraan di Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia
menampilkan wajah-wajah baru setelah selesainya empat kali perubahan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD 1945), dimana secara
berkala dilakukan oleh MPR selama empat tahun yakni sejak 1999 hingga
200246. Banyaknya lembaga yang lahir ini muncul untuk menjalankan fungsi-
fungsi negara (pemerintahan) dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan tujuan
negara yang tercantum dalam konstitusi47. Salah satu fenomena pada era
transisi demokrasi adalah lahirnya lembaga-lembaga negara independen
ataupun komisi-komisi negara yang pembentukannya berasal dari berbagai
dasar hukum. Legitimasi dari pembentukan lembaga negara independen
mendapatkan ruang yang cukup baik pasca perubahan UUD 1945. Hasil dari
amandemen ini memberikan ruang yang luas untuk perkembangan lembaga
negara independen yang dibentuk oleh DPR dan Presiden melalui undang-
undang. Pembentukan lembaga-lembaga ini menjadi bagian dari politik hukum
negara untuk menguatkan serta melengkapi daya kerja pemerintahan. Contoh
dari lembaga negara yang diindependenkan berasal dari lembaga kepemiluan,
lembaga antikorupsi, lembaga pengawasan yudikatif, maupun lembaga
penangan maladministrasi seperti ombudsman48. Menurut tatanan praktik
ketatanegaraan Republik Indonesia, keseluruhan lembaga-lembaga negara
46
Laurensius Arliman, “Kedudukan Lembaga Negara Independen Di Indonesia Untuk Mencapai
Tujuan Negara Hukum”, Jurnal Kertha Semaya, Vol.8, No.7, 2020, h.1031.
47
Hendra Nurtjahjo, “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary Agencies)
di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No.3, 2005, h.275.
48
Ibid, h.35.
14
yang dikategorikan sebagai komisi negara independen adalah yang memenuhi
prasyarat tertentu, yakni berkarakteristik49:
a. Dasar hukum pembentukannya menyatakan akan tegasnya independensi
komisi negara yang dibentuk dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya;
b. Independen, dari kehendak, pengaruh serta kontrol dari cabang
kekuasaan eksekutif;
c. Presiden tidak memiliki wewenang untuk mengangkat atau
memberhentikan anggota komisi, namun diatur menggunakan
mekanisme tertentu yang diatur secara khusus;
d. Pemimpin komisi bersifat kolektif kolegial serta keputusan diambil
secara suara mayoritas;
e. Kepemimpinan komisi tidak mayoritas dan tidak dikuasi dari partai
politik tertentu;
f. Masa jabatan pemimpin bersifat definit, habis secara bersamaan, serta
dapat diangkat kembali ke periode selanjutnya;
g. Keanggotaan lembaga ditunjukkan untuk menjaga keseimbangan
perwakilan yang bersifat nonpartisan.
Pada dasarnya yang menjadi point penting apakah suatu lembaga negara
dapat dinyatakan sebagai lembaga negara independen adalah harus mencakup
tiga point yaitu : 1). Dasar hukum pembentukannya menyatakan secara tegas
akan independensi tugas dan fungsinya; 2). Memliki sifat independen (bebas
dari pengaruh, kehendak, dan kontrol dari cabang kekuasaan eksekutif); dan 3).
Pengangkatan dan pemberhentian sudah diatur dalam sumber peraturan yang
terkait, sehingga Presiden tidak mempunyai kewenangan untuk mengangkat
atau memberhentikan anggota komisi50. Dalam tingkat independensi
kepegawaian dapat dilihat dari dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal dapat mencakup independensi perihal pemilihan dan
pengangkatan ketua atau pengurus, penentuan anggaran, pemberhentian ketua,
pertanggungjawaban atas tugas dan wewenangnya, kepegawaian (manajemen
49
Syukron Jazuly, Op.Cit., h.225.
50
Syukron Jazuly, Op.Cit., h.225-226.
15
SDM), pengambilan keputusan dan kebijakan lembaga dalam mengatur
aturannya sendiri (self regulatory)51. Sehingga terealisasinya kehendak bebas
(free will) dalam membuat keputusan atau kebijakan dengan tanpa ada pengaruh
dari siapapun. Sedangkan independensi dalam faktor eksternal dapat mencakup
dasar hukum pembentukannya dan mekanisme hubungan kerja dengan lembaga
lain52.
Di Indonesia sedikitnya mempunyai 14 komisi negara independen yang
bukan perpanjangan dari salah satu organ kekuasaan tertentu hingga tahun
2009, sebagai berikut:
Tabel 1.1 Contoh Lembaga Negara Independen
Komisi Negara Independen Dasar Hukum Pembentukan
Komisi Penyiaran Indonesia Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
*namun kedudukannya berubah
menjadi eksekutif pada Undang-
Undang No.19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No.30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Komisi Yudisial Undang-Undang No.22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial
Komisi Pemilihan Umum Undang-Undang No.22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum
Komisi Ombudsman Nasional Undang-Undang No.37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman
Komisi Nasional Hak Asasi Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Manusia Asasi Manusia
Komisi Pengawas Persaingan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang
Usaha Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
Badan Pengawas Pemilu Undang-Undang No.22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum
51
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., h.280.
52
Ibid, h.283.
16
Komisi Perlindungan Anak Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Komisi Kebenaran dan Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang
Rekonsiliasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Dewan Pers Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers
Komisi Informasi Publik Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik
Dewan Pendidikan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Lembaga Perlindungan Saksi & Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang
Korban Perlindungan Saksi dan Korban
53
Kelik Iswandi dan Nanik Praseyoningsih, ”Kedudukan State Auxilary Organ dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia”, Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan, Vol.1, No.2, 2020, h.146.
54
Zainal A.Mochtar, Op.Cit., h.28-29.
17
Sri Soemantri menggolongkan lembaga negara dalam sistem
ketatanegaraan yaitu dalam arti sempit dan arti luas. Sistem ketatanegaraan
dalam arti sempit melingkupi lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan, sistem ketatanegaraan dalam arti luas
melingkupi seluruh lembaga negara baik lembaga negara yang terdapat didalam
maupun diluar Undang-Undang Dasar 194555. Jimly Asshiddiqie
menggolongkan lembaga negara dalam dua kriteria yaitu: 1) kriteria secara
hierarki (kewenangan lembaga negara ditentukan dari sumber normatif); dan 2)
kriteria secara fungsi (lembaga negara bersifat utama atau penunjang). Lembaga
negara yang digolongkan dalam kriteria secara hierarki dikelompokkan menjadi
tiga tingkat yakni56:
1. Organ tingkat pertama (lembaga tinggi negara) yaitu lembaga yang
kewenangannya langsung dari UUD 1945 yang terdiri dari Presiden dan
Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK.
2. Organ tingkat kedua (lembaga negara) yaitu lembaga yang
kewenangannya dapat berasal dari UUD 1945 atau berasal dari Undang-
Undang yang terdiri dari KY, TNI, Kepolisian Negara, KPU dan BI.
3. Organ tingkat ketiga yaitu lembaga negara yang kewenangannya berasal
dari peraturan di bawah Undang-Undang yang terdiri dari KHN dan
Ombudsman.
Sedangkan lembaga negara yang digolongkan dalam kriteria secara
fungsinya dapat dibagi menjadi dua yaitu lembaga negara yang bersifat utama
(Main State’s Organ) dan lembaga negara yang bersifat penunjang (Auxiliary
State’s Organ). Main State’s Organ merupakan lembaga negara utama dimana
lembaga ini mencerminkan cabang-cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Contoh lembaga negara utama adalah MPR, Presiden, Wakil
Presiden, DPR, MA, MK, DPD dan BPK. Sedangkan Auxiliary State’s Organ
merupakan cabang yang mempunyai fungsi membantu atau sebagai penunjang
dimana pembentukannya dapat berdasarkan perintah UUD 1945, Undang-
Undang (UU), ataupun berasal dari Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan
55
Kelik Iswandi dan Nanik Praseyoningsih, Op.Cit, h.146.
56
Ahmad Basarah, Op.Cit, h.4.
18
Presiden (Perpres)57. Contoh lembaga negara penunjang yang sumber
kewenangannya dari UUD 1945 adalah KY, TNI, dan Polri, sedangkan lembaga
yang sumber kewenangannya diluar UUD 1945 adalah KPI, PPATK, KPK dan
lain-lain. Keberadaan dari Auxiliary State’s Organ (lembaga negara penunjang)
merupakan akibat adanya gelombang baru demokrasi di sejumlah negara,
sehingga munculnya transisi demokrasi dari otoriarian ke demokratis. Hal ini
memicu lahirnya organ-organ kekuasaan baru, baik hanya sebatas sampiran
negara (state auxiliary agencies) ataupun bersifat independen (independent
regulatory agencies)58. Kedudukan independensi pada lembaga negara
penunjang bervariasi, begitu juga terhadap pola hubungan kedudukan antar
lembaga tersebut. Semuanya bergantung pada sumber dan proses pembentukan,
independensi kelembagaan, serta tugas dan fungsinya. Sehingga lembaga ini
ada yang menjadi perpanjangan fungsi Main State’s Organ, tetapi ada pula yang
diluar ranah kekuasaan eksekutif, legislatif ataupun yudikatif.
Lahirnya lembaga negara penunjang merupakan kebutuhan negara untuk
memaksimalkan pelayanan publik kepada masyarakat karena adanya
keterbatasan lembaga negara utama serta adanya tujuan negara yang belum bisa
tercapai59. Menurut Muchlis Hamdi, pembentukan Auxiliary State’s Organ
merupakan perwujudan efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi
tanggung jawabnya60. Pada dasarnya, pembentukan lembaga negara
penunjuang didorong oleh kenyataan bahwa sistem birokrasi pemerintah tidak
mampu memenuhi tuntutan akan kebutuhan dan pelayanan umum. Sehingga
adanya dorongan agar membentuk suatu kekuasaan baru agar meningkatkan
peyananan umum dengan stadar mutu yang efektif dan efisien61. Secara teoritik
dan praktik lembaga negara penunjang mempunyai dua klasifikasi independensi
kelembagaan, yaitu lembaga negara yang merupakan perpanjangan tangan dari
state organ (bersifat quasi) dan lembaga negara yang statusnya mandiri
(bersifat independen)62. Menurut Jimly Asshiddiqie, di antara lembaga-lembaga
57
Bunyamin .A & Uu Nurul .H, Op.Cit, h.86.
58
Ibid, h.93.
59
Muhammad Habibi, h.39.
60
Ahmad Basarah, Op.Cit, h.6.
61
Bunyamin .A & Uu Nurul .H, Op.Cit, h.98.
62
Zainal Arifin Mochtar, Op.Cit, h.40.
19
tersebut ada yang bersifat self regulatory agencies, Independent supervisory
bodies, atau lembaga yang mempunyai fungsi campuran (mix function).
Lembaga ini dapat bekerja bersama dengan fungsi administratif, regulatif
maupun penghukuman ataupun bersifat quasi non-governmental
organization63.
Pada lembaga negara penunjang yang bersifat campuran pertama kali
diperkenalkan oleh Sir Douglas Hague yang berasal dari Inggris dengan istilah
quasi-autonomous non-governmental organization (QUANGO). QUANGO
diartikan untuk menggambarkan lembaga yang terbentuk dari kehendak
pemerintah yang menyerahkan kewenangannya dengan menetapkan atau
membentuk suatu badan (the agencies produced by the growing trend of
government power to appointed or self-appointed bodies)64. Menurut Alder,
lembaga ini juga dapat disebut dengan Non-departement bodies, public
agencies, commissions, board dan authorities. Maka dari itu, lembaga-lembaga
tersebut mempunyai fungsi sebagai a quasi governmental world of appointed
bodies dan bersifat non departmental agencies, single purpose authorities, dan
mixed public-private institutions65. Lembaga tersebut memiliki sifat quasi atau
semi pemerintah serta diberi fungsi tunggal ataupun campuran. Sebagian besar
wewenang dan tugasnya terlepas dari campur tangan eksekutif, legislatif
ataupun yudikatif, namun dapat pula menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif
seperti di Inggris. Alder mengemukakan bahwa, “some ad hoc bodies are part
of the Crown and therefore have the various Crown immunities and also fall
within the Official Secrets Acts. This depends firstly upon the terms of any
relevant statute and failing that upon the extent to which the Crown can legally
control the day-to-day activities of the body”. Lembaga negara penunjang yang
menjalankan fungsi campuran maka dimungkinkan lembaga tersebut
mempunyai fungsi diluar dari ruang lingkup wewenangnya. Kombinasi fungsi
campuran pada lembaga-lembaga ini tidak dapat disamaratakan satu dengan
yang lain. Setiap lembaga memiliki urgensi dan pertimbangan hukum yang
63
Syukron Jazuly, Op.Cit., h.222.
64
Bunyamin .A & Uu Nurul .H, Op.Cit, h.94.
65
Ahmad Basarah, Op.Cit., h.4.
20
berbeda, dapat ditinjau dari pertimbangan yuridis, filosofis ataupun
sosiologis66.
66
Bunyamin .A & Uu Nurul .H, Op.Cit., h.96.
67
Zainal Arifin Mochtar, “Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi Pasca Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019”, Jurnal Konstitusi, Vol. 18, No. 2, 2021, h.326-327.
68
Rizki Febari, Politik Pemberantasan Korupsi: Strategi ICAC Hongkong dan KPK Indonesia,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015, h.1-2.
69
Ibid, h.328.
21
yang ikut meratifikasi UNCAC dan memasukkannya dalam peraturan domestik
dalam menyelenggaran wewenangnya. Penegasan independensi suatu badan anti
korupsi yang tercantum pada UNCAC dinyatakan dalam Pasal 6 dan 36.
Pasal 6 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption, 2003 berbunyi:
“Negara Pihak wajib memberikan kepada badan atau badan-badan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini kemandirian yang diperlukan,
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, guna memungkinkan
badan atau badanbadan tersebut melaksanakan fungsi-fungsinya secara
efektif dan bebas dari pengaruh yang tidak semestinya. Sumber-sumber
material dan staf khusus yang diperlukan, juga pelatihan yang mungkin
dibutuhkan staf tersebut untuk melaksanakan fungsi-fungsinya wajib
disediakan”.
70
Konsideran Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
22
pemberantasan dan pencegahan korupsi salah satunya adalah dibentuknya KPK71.
Tindak lanjut dari Tap MPR tersebut dibentuklah Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah
menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi yang
salah satu isinya adalah mengamanatkan perlunya dibentuk KPK. Tidak lama
kemudian diterbitkanlah Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menjadi awal mula pembentukan KPK atas implikasi
amanat undang-undang sebelumnya.
Prinsip independensi KPK secara tegas mengiringi dasar pembentukan KPK
sendiri, hal ini tercantum dalam konsideran Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada bagian penjelasan umum bahwa72:
71
Pasal 2 angka (6) Ketetapan MPR No.VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
72
Penjelasan Umum Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
23
“Komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun”.
Dengan demikian politik hukum pembentukan KPK tidak terlepas dari konsep
pembentukan lembaga negera independen. Persoalan independensi KPK menjadi
sesuatu yang sangat mutlak. Karena salah satu latar belakang pembentukan KPK
adalah adanya keharusan independensi kelembagaan, melalui unsur-unsur
kelembagaannya yang dibuat menjadi independen. Konsekuensinya adalah
berubahnya fungsi kekuasaan yang melekat pada lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif menjadi badan yang terpisah dan mandiri. Independen bukan berarti
lembaga bebas dari kontrol apapun. Dalam lembaga negara yang independen,
mekanisme kontrol internal ditingkatkan untuk meminimalkan kebutuhan akan
kontrol eksternal. Hal ini disebabkan karena pengawasan eksternal yang tidak
memadai dapat menyebabkan intervensi yang mengurangi independensi lembaga-
lembaga negara ini74, lebih kepada kemampuan untuk menjalankan tugas tanpa
intervensi politik75. Bukan hanya dalam Putusan MK No. 012-016-019/PUU-
IV/2006 yang menyatakan independensi KPK namun beberapa putusan MK telah
menegaskan ulang kedudukan KPK sebagai lembaga negara independen, seperti
73
Pendapat Mahkamah, Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006, h.269.
74
Ibid, h.326.
75
Zainal Arifin Mochtar, Op.Cit., h.326.
24
pada Putusan MK No. 019/PUU-V/2007, Putusan MK No. 37-39/PUU-VIII/2010,
dan Putusan MK No. 5/PUU-XI/201176.
Pada putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006, MK berpendapat bahwa
KPK mempunyai kedudukan sebagai cabang kekuasaan yudisial karena MK
mendasarkan pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, ”badan-badan lain
yang berkaitan dengan fungsi kehakiman diatur dalam undang-undang”. Dalam
pasal ini, KPK ditempatkan sebagai golongan dari badan-badan lain yang
menjalankan fungsi kehakiman yang diatur dalam undang-undang77. MK
menafsirkan demikian karena berkaca dari politik hukum pembentukan KPK yang
awalnya dikarenakan ketidakmampuan lembaga pemerintah (kepolisian dan
kejaksaan) dalam memberantas korupsi. Sehingga KPK diberikan wewenang
superbody berkaitan fungsi peradilan yaitu menjalankan fungsi penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan dimana wewenang ini ditafsirkan sebagai dari
kekuasaan yusidisial. Tetapi pada Putusan MK No.36/PUU-XV/2017, MK
mengubah pendapatnya dengan menyatakan bahwa kedudukan KPK menjadi
bagian dari cabang kekuasaan eksekutif yang kemudian sejalan dengan Pasal 4 ayat
(1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”78.
Sebelumnya KPK ditafsirkan sebagai golongan “badan-badan lain” dalam Pasal
24 ayat (3) UUD 1945 yang mana dikonstruksikan sebagai badan yudisial. Namun
jika dilihat dari Naskah Komprehensif, ruang lingkup dari “badan-badan lain”
adalah pekerjaan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman namun bukan pelaku
dalam kekuasaan yudisial seperti Jaksa Agung, Kepolisian, Pengacara dan
sebagainya79. Sehingga MK melakukan overulling dengan menyatakan bahwa KPK
bukan lagi bagian dari badan yusidisial namun berubah menjadi cabang kekuasaan
eksekutif yang tercantum pada80 :
“Dengan demikian, dasar pembentukan KPK ialah karena belum
optimalnya lembaga negara in casu Kepolisian dan Kejaksaan yang
76
Umbu R, Ninon M & Indirani W, “Overruling Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terkait
Isu Korupsi”, Jurnal Konstitusi, Vol.18, No.2, 2021, h.376.
77
Umbu R, Ninon M & Indirani W, Laporan Penelitian : Legitimasi Praktik Overruling di
Mahkamah Konstitusi, Fakultas Hukum UKSW, 2018, h.111.
78
Umbu R, Ninon M & Indirani W, Op.Cit., h.373.
79
Ibid, h.383.
80
Ibid, h.377.
25
mengalami public distrust dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum, dibentuklah KPK. Dalam konstruksi demikian, secara
tugas dan fungsi, Kepolisian , Kejaksaan, dan KPK merupakan lembaga
yang berada di ranah eksekutif”81.
“Secara tekstual, jelas bahwa KPK adalah organ atau lembaga yang
termasuk eksekutif dan pelaksana undang-undang di bidang penegakan
hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi”83.
81
Putusan No. 36/PUU-XV/2017, h. 108-109.
82
Ibid, h. 109.
83
Ibid, h. 111.
84
Pasal 11 Undang-Undang No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
26
b. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu
milyar); dan
c. Korupsi yang dilakukan menyita perhatian publik.
KPK bukan di ranah yudikatif karena tidak melakukan kewenangan untuk
mengadili dan memutus perkara, KPK bukan pula badan legislatif karena bukan
organ pembentuk undang-undang85. Dapat dilihat bahwa MK telah melakukan
overulling dengan mendefinisikan bahwa MK mengubah pendiriannya dengan
tujuan untuk mengkoreksi interprestasi sebelumnya agar mengupayakan kebenaran
konstitusi86. MK telah mengubah kedudukan KPK yang sebelumnya merupakan
lembaga yudikatif menjadi cabang kekuasaan eksekutif dalam rangka merapikan
kelembagaan konstitusi yaitu cabang dari kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif, salah satu upayanya adalah melakukan overulling terhadap kedudukan
KPK. Dalam hal ini penulis setuju apabila MK melakukan overulling terhadap
kedudukan KPK yang sebelumnya termasuk dalam kekuasaan yudisial namun
berubah menjadi cabang kekuasaan eksekutif seperti yang tercantum dalam Putusan
MK No. 36/PUU-XV/2017. Tujuan overulling sendiri adalah untuk mengkoreksi
kesalahan interpretasi yudisial yang dilakukan oleh pengadilan sebelumnya sebagai
upaya mempertahankan kebenaran Konstitusi87. Jadi dapat dilihat bahwa fungsi dan
wewenang KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah
sejalan dengan fungsi dan wewenang dari Kepolisian dan Kejaksaan yang
hakikatnya termasuk ke dalam lembaga eksekutif karena basicnya adalah “to
execute the laws”. Seperti yang dijelaskan oleh Saikrishna Prakash tentang teori
kekuasaan eksekutif yang menjelaskan bahwa: “The power to execute the laws is
the quintessential executive power. In fact, ‘executive’ comes from the verb ‘to
execute,’ which means to perform, to put into action”88.
Jika dilihat dari fungsi dan wewenang KPK maka hal tersebut dikualifikasikan
sebagai fungsi dan kewenangan yang berhakikat eksekutif sehingga berada di
bawah ranah Presiden sebagai Chief Executive sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD NRI
85
Ibid, h.108-109.
86
Umbu R, Ninon M & Indirani W, Op.Cit., h.369.
87
Ibid, h.369.
88
Titon Slamet K, “Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Tata Konstitusional Abnormal dan
Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, Jurnal Konstitusi,
Vol.17, No.1, 2020, h.142.
27
194589. Dengan demikian KPK bukan lagi tergolong dari “badan-badan lain” pada
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang dikonstruksikan sebagai badan yudisial.
Kedudukan MK sebagai the interpreter of constitution berimplikasi kepada
legislator untuk menerapkan interpretasinya melalui produk hukum dalam hal ini
adalah DPR menerbitkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa KPK termasuk dalam eksekutif
dan tercantum pada pasal 3 undang-undang tersebut yang berbunyi:
Perubahan akibat putusan dari MK dapat dilihat dari adanya penambahan frasa
di awal kalimat yaitu “KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan
eksekutif...”. Penulis berpendapat bahwa meskipun KPK tergolong dari cabang
kekuasaan eksekutif tetapi dalam menjalankan kelembagaannya, KPK tetap
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif90. Dapat disimpulkan
bahwa penulis setuju apabila KPK dimasukkan dalam kekuasaan eksekutif akibat
overulling yang dilakukan MK karena hal tersebut tidak mengubah prinsip
independensi KPK. Dengan melihat juga pada asas-asas utama KPK yang
tercantum pada Pasal 5 pada undang-undang ini yaitu kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proposionalitas, dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Independensi KPK bukan hanya sebatas dimaknai
secara independensi secara institusional, tetapi juga secara fungsional.
Independensi institusional (kelembagaan) memiliki arti yaitu lembaga yang mandiri
serta bebas dari intervensi oleh pihak diluar sistemnya. Sedangkan independensi
fungsional merupakan kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya91.
Sehingga dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPK tetap berpedoman kepada
tujuan awal dibentuknya sebagai lembaga anti korupsi yang independen karena
adanya kegagalan Kejaksaan dan Kepolisian dalam menjalankan tugasnya untuk
89
Ibid, h.138.
90
Moh Rizaldi, Op.Cit., h.27.
91
Kartika S. Wahyuningrum, Hari S. Disemadi dan Nyoman S. Putra Jaya, “Independensi Komisi
Pemberantasan Korupsi: Benarkah Ada?”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.4, No.2, 2020, h.241.
28
memberantas korupsi di Indonesia. Prinsip independensi yang ingin dicapai dapat
diartikan bahwa lembaga tersebut berada di bawah lingkungan eksekutif
(pemerintah), tapi tidak dibawah kekuasaan presiden. Dengan demikian perlunya
mengatur independensi lebih lanjut soal pola rekrutmen yang objektif dan
akuntabel92. Pada intinya adalah prinsip independensi KPK melekat pada lembaga,
tugas serta wewenangnya, meskipun secara struktural yaitu masing-masing
anggotanya dan pimpinannya terdapat perubahan secara status kedudukannya.
Perubahan dari KPK hanya sifat kelembagaannya yaitu KPK termasuk cabang
kekuasaan eksekutif namun tetap independen dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Prinsip independensi KPK harus ditegakkan karena di saat KPK
tidak diberikan kemerdekaan yang luas, maka kehadiran KPK hanya akan menjadi
perpanjangan tangan lembaga penegak hukum yang pernah ada, dan tidak akan
mampu menghadirkan hal baru apapun93.
92
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., h.283.
93
Indonesia Corruption Watch, Op.Cit., h.74.
29