Anda di halaman 1dari 3

TUGAS MANDIRI

FEMINISME DAN SASTRA: REPRSENTASI PEREMPUAN DALAM SASTRA


Mata Kuliah Teori Sastra
Pengajar: Prof. Mina Elfira, S.S., M.A., Ph.D.
Oleh: Muhammad al-Anhar al-Islami - 2306190832

Sesi Webinar Kritik Sastra Feminis: Teori, Metode dan Aplikasinya

Mengapa para feminis dalam perjuangannya untuk kesetaraan gender merasa perlu untuk terlibat
dalam kajian sastra? Jelaskan

Berdasarkan dari Slide di menit ke 31 pada video webinar tersebut yang menyinggung
tentang signifikansi feminisme untuk memperjuangkan kesetaraan hak dan menghapuskan segala
bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Kemudian kenapa harus terlibat dalam kajian sastra,
karena merujuk pada Second Wave Feminism, para feminis ini perlu melihat titik rentan atau
komoditas yang paling sering digunakan oleh pelanggeng dominasi untuk mengoperasikan
hierarkinya yaitu salah satunya melalui karya sastra. Ideologi patriarki yang dilanggengkan
melalui karya sastra perlu diintervensi melalui gerakan kritik sastra, agar perempuan tidak hanya
menjadi sebagai penikmat dari ideologi yang dibentuk oleh dominasi wacana warga kelas dua
yakni sebagai mahluk yang bergantung pada mahluk kelas pertama yaitu laki-laki.

Apa yang dimaksud dengan kritik sastra feminis? Jelaskan

Kajian sastra, yang meliputi analisis teks sastra, konteks produksi karya sastra dan juga
resepsi karya sastra itu, dengan menerapkan pemikiran-pemikiran feminis. Jadi segala bentuk
penilaian terhadap suatu karya sastra dan konteks-konteks struktural lain yang terlibat dalam karya
sastra dalam gerakan kritik sastra feminis ini mempertimbangkan perspektif gender dan
feminisme. Asosiasi pemikiran dan ideologi tersebut dituangkan untuk menentukan value dari
sebuah karya sastra serta secara meluas mengindikasikan matangnya aspek interdisiplin dalam
kritik sastra.
Merupakan salah satu lawan dari kanon sastra tradisional yang didominasi oleh laki-laki,
kritik sastra feminis sebagai upaya menyeimbangkan dominasi tersebut. Menawarkan evaluasi
mengenai teks sastra yang dapat diterima dengan mempertimbangkan keadilan gender. Kritik
Sastra Feminis juga digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang
androsentris dan patriarki yang menguasai penulisan dan pembacaan sastra; menempatkan sudut
pandang perempuan sebagai hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan nilai atau
value dari suatu karya sastra.
Menawarkan sebuah re-evaluasi standar-standar yang dipakai dalam mengkanonikasikan
penulis dan teks sastra, dengan mempertimbangkan barisan teks-teks yang selama ini tersembunyi,
terutama teks sastra yang ditulis oleh kaum perempuan, serta menawarkan beragam cara untuk
mengevaluasi karya sastra salah satunya dengan mengkaitkan sastra dengan gender; dalam hal ini
untuk melibatkan sinergitas sudut pandang dan ideologi yang mempertimbangkan keadilan bagi
hak perempuan dalam mengoperasikan perkembangan ilmu pengetahuan.
Terjunnya kaum feminis dalam pengkajian sastra ditandai dengan hadirnya buku
fenomenal karya Kate Millet yang berjudul Sexual Politics, yang memberikan sebuah kritik yang
kuat terhadap budaya patriarki; melalui keterlibatan tersebut, keseimbangan ideologi yang
dikehendaki oleh feminis juga memliki tempat dalam memberikan kritik terhadap perkembangan
pengetahuan tentang ideologi. Jadi dapat disimpulkan bahwa sastra feminis adalah karya sastra
yang ditulis dari perspektif kesadaran feminis yang secara sadar pula menandai suatu ideologi yang
bertentangan dengan jenis ideologi patriakal.

Perempuan dalam ‘Aminah’ karya Shirley Saad

Penggambaran perempuan dalam ‘Aminah’

Aminah dalam cerita karya Shirley Saad tersebut digambarkan sebagai tokoh perempuan
yang berperan sebagai ibu dari empat anak perempuan, istri dari Hamid yang digambarkan sebagai
tokoh mapan yang menginginkan hadirnya sosok anak laki-laki dalam rumah tangganya.
Penggambaran karakter direpsentasikan melalui ambisi dari keluarga Hamid yang memberikan
tekanan kepada Aminah untuk melahirkan paling tidak satu bayi laki-laki dalam sebagai penerus
keturunan mereka. Demikian pula tokoh perempuan lain digambarkan sebagai “mesin” reproduksi
keturunan yang memiliki kewajiban untuk memberikan pewaris berupa anak laki-laki dalam
keluarganya. Hingga representasi karakter tersebut menunjukkan peran mereka yang direpresi
untuk menghasilkan suatu kepentingan bagi laki-laki, konstruksi bahwa laki-laki adalah bentuk
keabsahan pewaris dalam keturunan hingga membawa mereka pada persaingan, kompetisi status
bagi mereka yang berhasil melahirkan anak laki-laki, semakin banyak anak laki-laki dilahirkan,
semakin dipandang pula sebagai sebuah keberuntungan dan hak istimewa. Walaupun pada
akhirnya justru yang memiliki otoritas untuk mengistimewakan keperempuanan adalah tokoh
suami di dalam cerita, namun kompetisi justru beroperasi di antara tokoh-tokoh perempuan.

Isu Feminisme dalam ‘Aminah’

Paling tidak menurut penulis terdapat dua aspek yang menggambarkan posisi perempuan
dalam karya tersebut (yang kemudian dapat dinilai sebagai indikator dalam menentukan ke-
feminis-an karya sastra tersebut) di antaranya: peran perempuan sebagai reproduction machine
melalui penggalan:
“What a catastrophe. What would happen to her now? She had brought four girls into the
world, four girls in six years of marriage…”
Menganggap bahwa melahirkan anak perempuan merupakan sebuah musibah, kontruksi mengenai
wacana laki-laki sebagai penentu kewarisan sebuah keturunan yang secara radikal menempatkan
posisi Aminah sebagai ibu dan istri yang melahirkan anak perempuan kedalam sebuah tekanan dan
tuntutan.
Kemudian aspek kedua dilihat dari disposisi laki-laki sebagai pewaris mutlak dalam suatu
keberlangsungan keturunan hingga merupakan sebuah kewajiban bagi perempuan untuk turut
bertanggung jawab dalam keberlangsungan disposisi tersebut. Mengingat sebuah kutipan dari
Simon de Beauvoir dalam Second Sex, “no one is more arrogant toward women more aggressive
or scornful, than the man who is anxious about his virility”. Bahwa dominasi laki-laki
digambarkan sebagai kejantanan, dan dalam cerita tersebut hak istimewa laki-laki yang
digambarkan sebagai sebuah komoditas yang tidak dapat diintervensi yang bahkan menurut cerita
jika Aminah tidak dapat memberikan anak laki-laki dalam keluarga maka hak waris dialihkan
kepada keponakan laki-laki yang dimiliki oleh suaminya. Konstruksi hak istimewa tersebut bagi
kritik feminis merupakan sebuah pelanggaran hak dan otoritas perempuan dalam struktur
kehidupan. Tokoh laki-laki yang dihadirkan dalam cerita sebagai objek yang harus dihormati
secara mutlak, penentu nilai bagi keperempuanan, dan membawa para perempuan turut bersaing
satu sama lain untuk memperebutkan nilai tersebut.

Anda mungkin juga menyukai