Anda di halaman 1dari 10

Machine Translated by Google

Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, Agustus 2022, 8 (12), 230-239


DOI: https://doi.org/10.5281/zenodo.6944543
p-ISSN: 2622-8327 e-ISSN: 2089-5364
Diakreditasi oleh Direktorat Jenderal Penguatan Penelitian dan Pengembangan
Tersedia online di https://jurnal.peneliti.net/index.php/JIWP

Teori Perkembangan Jean Piaget dan Implikasinya Dalam Perkembangan


Anak Sekolah Dasar

Nafiah Nur Shofia Rohmah1 , Murfiah Dewi Wilandari2 , Darsinah3

¹Universitas Mahasiswa Muhammadiyah Surakarta


2,3Dosis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Abstrak
Diterima: 18 Juli 2022 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana teori
Diperbaiki: 20 Juli 2022 perkembangan Jean Piaget dan pengaruhnya terhadap perkembangan
Diterima: 24 Juli 2022 siswa sekolah dasar. Metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi
literatur digunakan sebagai metodologi penelitian. Sumbernya adalah
buku, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya yang relevan dengan topik yang diteliti
informasi untuk studi literatur. Temuan menunjukkan bahwa perkembangan
kognitif anak usia sekolah dasar bervariasi tergantung usianya. Menurut
teori kognitif Piaget, perkembangan kognitif anak pada masa sekolah
dasar berada pada fase operasional konkrit (usia 7 hingga 11 tahun), yaitu
tahapan dimana anak dapat berpikir secara logis, rasional, ilmiah, dan
obyektif tentang sesuatu yang konkrit atau nyata. Oleh karena itu, guru
harus menyajikan materi pembelajaran yang bersifat empiris (nyata),
bukan abstrak atau fiktif, dalam kegiatan belajar mengajar. Proses
pembelajaran harus berpijak pada kenyataan, misalnya dengan
memberikan contoh nyata dari materi yang dipelajari (pemodelan) dan
melakukan praktik langsung (eksperimen).

Kata Kunci: Teori Perkembangan, Jean Piaget, Anak Sekolah Dasar.

(*) Penulis yang sesuai: nafiah078@gmail.com

Cara Mengutip: Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. (2022). Teori Perkembangan Jean
Piaget dan Implikasinya Dalam Perkembangan Anak Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan,
8(12), 230-239. https://doi.org/10.5281/zenodo.6944543.

PERKENALAN
Untuk mewujudkan diri sesuai dengan tahapan dan tugas perkembangan yang
optimal sehingga mencapai tingkat kematangan tertentu, maka segala proses kehidupan dan
segala jenis interaksi individu dengan lingkungannya, baik formal maupun informal,
dimasukkan dalam pendidikan (Abin, 2004). . Dengan demikian, jika dilihat dalam konteks
yang lebih luas, pendidikan membantu siswa mencapai potensi individunya. Menurut sudut
pandang yang terbatas dan praktis, pendidikan dapat dipahami sebagai suatu proses transfer
pengetahuan yang dikenal dengan proses belajar mengajar, proses belajar mengajar, interaksi
belajar mengajar, atau dalam bentuk formal yang dikenal dengan pengajaran (Abin, 2004).
Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu upaya pembinaan yang disengaja yang dilakukan
terhadap peserta didik oleh pendidik (termasuk orang tua) dengan tujuan untuk memaksimalkan
potensi peserta didik guna mewujudkan kepribadian ideal (insan kamil) (Marimba, 1980).
Memahami teori pembangunan sangat penting bagi mereka yang bekerja
di bidang pendidikan. Memahami perkembangan sangatlah penting, terutama jika
menyangkut anak usia dini. Penting sekali bagi anak untuk memahami dan
mengetahui pengetahuan ini. Karena akan menjadi pedoman dalam menganalisis
kepribadian dan kebutuhan anak, meskipun anak masih dalam tahap awal perkembangan.
Anak usia sekolah dasar perlu menguasai aspek-aspek perkembangan tertentu,

229
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

terutama yang berkaitan dengan pengetahuan atau kognisi. Potensi kognitif atau intelektual, atau
kemampuan menalar dan memecahkan masalah, merupakan salah satu aspek perkembangan
dalam kaitannya dengan kemampuan intelektual yang dimiliki setiap individu (Latifa, 2017).
Karena setiap tahapan perkembangan akan mempunyai karakter yang berbeda-beda, maka
setiap orang mempunyai perkembangan kognitif yang perlu dipahami. Dengan demikian,
muncullah teori perkembangan kognitif yang mencakup tahapan perkembangan kognitif manusia
dari masa kanak-kanak hingga dewasa.
Perkembangan kognitif anak mempunyai dampak yang signifikan, dan kiprah para
psikolog dalam mempelajari fenomena perkembangan ini tidak lepas dari kontribusinya.
Psikolognya adalah Jean Piaget, dan Jean Piaget berhasil mengintegrasikan psikologi, logika,
dan biologi dalam penelitiannya untuk menjelaskan bagaimana semua anak bisa belajar. Piaget
menyatakan bahwa aktivitas eksplorasi, konstruksi, dan manipulasi yang kompleks memudahkan
perolehan pengetahuan. Selain itu, Piaget memaparkan bagaimana anak berkembang (Hanafi &
Sumitro, 2019).
Menurut teori perkembangan anak Jean Piaget, anak tahap operasional konkrit (7-12
tahun) mempunyai cara pandang yang berbeda dengan orang tua.
Akibatnya, perkembangan kognitif anak kecil tidak mungkin dibandingkan dengan remaja dan
orang dewasa. Secara umum anak usia sekolah dasar masih mempunyai keterbatasan
kemampuan kognitif dalam bidang konkrit dan nyata. Misalnya, anak usia 6 atau 7 tahun sudah
bisa memahami bahwa gelas bisa pecah jika menyentuh lantai. Ketika anak usia sekolah dasar
ditanya mengapa bumi berputar mengelilingi matahari, misalnya, kemampuan berpikir abstrak
mereka terbatas.
Kemampuan kognitif anak belum berkembang sampai pada pemikiran yang kompleks, sehingga
ia akan kesulitan dan mungkin menjadi bingung ketika diminta memberikan jawaban ilmiah atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bila dipaksakan, mereka juga akan merasa stres.
Pemahaman mengenai perkembangan kognitif anak usia sekolah dasar sangat penting
dalam proses penyelenggaraan pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madarasah Ibtidaiyah (MI)
sehingga dapat dijadikan acuan dalam rangka mendidik dan mengajar. Jika anak dapat memahami
materi ajar yang disampaikan, maka kegiatan belajar mengajar (KBM) akan maksimal. Hal ini
dapat terjadi apabila tingkat kesulitan materi sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif anak.
Bahkan menurut penelitian terdapat kesenjangan antara isi buku siswa (K13) dengan tingkat
kemampuan berpikir anak SD/MI, sehingga sering dijumpai guru membuat bahan ajar sendiri
dengan memodifikasi cara mengajar siswanya. bahan. kemampuan kognitif . Tujuan pembelajaran
tidak akan tercapai secara maksimal jika jumlah materi yang disajikan dalam KBM terlalu banyak.
Akibatnya kegiatan belajar mengajar menjadi tidak efektif, anak tidak memperoleh ilmu yang
diinginkan, dan stres sering dialami.

Pedoman pemilihan strategi, model, metode, dan teknik evaluasi pembelajaran adalah
dengan memahami perkembangan kognitif anak selain materi ajar. Apabila guru menyajikan
materi dengan cara yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa, maka siswa akan
mudah memahaminya. Misalnya karena daya berpikir anak usia sekolah dasar (7-11 tahun)
rendah, maka guru harus menggunakan metode eksperimen (praktik) atau memberikan contoh
langsung berkaitan dengan objek yang dipelajari (pemodelan) ketika mengajarkan IPA. Nyata
tidak ada dalam alam imajinasi atau

- 230 -
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

abstraksi ketika berpikir konkrit. Oleh karena itu, sangat penting bagi keberhasilan suatu proses
belajar mengajar, khususnya pengembangan kompetensi kognitif anak, untuk memiliki
pemahaman menyeluruh tentang bagaimana pikiran anak berkembang secara kognitif seiring
bertambahnya usia.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana teori perkembangan Jean Piaget dan implikasinya terhadap perkembangan anak
sekolah dasar.

METODE
Konsep perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget dibahas dalam
penelitian ini beserta implikasinya terhadap perkembangan siswa sekolah dasar, dengan
menggunakan metodologi deskriptif kualitatif. Saat menggunakan strategi penelitian ini, Anda
dapat melakukan penelitian kepustakaan. Karena peneliti menggunakan sumber perpustakaan
tidak hanya untuk menyusun desain penelitian, memperdalam kajian teori, atau mempertajam
metodologi, tetapi juga untuk memperoleh data atau jawaban penelitian, maka penelitian ini
memanfaatkan sumber perpustakaan (Zed, 2008). Buku, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya
yang berkaitan dengan subjek penelitian ini digunakan sebagai sumber informasi dalam studi
literatur ini.

HASIL & PEMBAHASAN


Konsep Dasar Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Salah satu teori yang dapat menjelaskan bagaimana anak mampu beradaptasi dan
menafsirkan dirinya terhadap objek-objek yang terjadi di lingkungan terdekatnya adalah teori
perkembangan kognitif Jean Piaget. Anak-anak mulai belajar banyak dari sifat dan tujuan benda-
benda yang bersentuhan dengannya, termasuk mainan, makanan, barang-barang rumah
tangga, dan benda-benda sosial lainnya seperti diri mereka sendiri, keluarga, teman, dan
masyarakat. Anak juga diharapkan mampu memisahkan dan membandingkan objek-objek
yang dikelompokkannya, serta mencermati peristiwa atau peristiwa untuk mengembangkan
konsep kognitif yang sehat.
Jean Piaget mengemukakan bahwa proses dan mekanisme perkembangan kognitif pada
manusia dimulai pada masa bayi, masa kanak-kanak, remaja, hingga menjadi orang dewasa
mandiri yang mempunyai penalaran tinggi guna mengembangkan pemikiran anak tentang
perkembangan kognitif. Ia berpendapat, perkembangan genetik setiap orang tidak bersifat pasif
karena dapat berlangsung secara aktif melalui adaptasi dan interaksi dengan lingkungan. Untuk
mengetahui lebih lanjut tentang teori perkembangan kognitif Jean Piaget yang berfokus pada
skema, adaptasi, asimilasi, akomodasi, keseimbangan, dan organisasi (Dariyo, 2007)

A. Skema
Skema adalah informasi yang berkaitan erat tentang berbagai objek kehidupan yang
disusun secara logis dalam pikiran anak. Menurut teori Jean Piaget, skema ini mulai
terbentuk ketika anak masih bayi dan baru dapat menggunakan kemampuan sensorik-
motoriknya untuk melihat, menggenggam, dan menyusu suatu benda. Pengalaman-
pengalaman tersebut akan didokumentasikan dan disimpan dalam ingatan anak. Dengan
kata lain, kemampuan dan daya ingat anak akan semakin meningkat seiring dengan
semakin giatnya anak melakukan aktivitas. Hasilnya, otak akan terus mengembangkan konsep.
B. Adaptasi

- 231 -
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

Proses adaptasi melibatkan penciptaan pengalaman unik sebagai hasil interaksi sosial dengan
lingkungan seseorang. Dalam situasi ini, otak mampu dengan cepat menyesuaikan diri dengan setiap
pengalaman baru. Pertemuan-pertemuan baru ini juga dapat dimasukkan ke dalam pola-pola yang
sudah ada sebelumnya. sehingga terlihat dampak positif dan negatif dari proses adaptasi setiap
orang dalam kegiatan yang dilakukan. Akibatnya, kapasitas adaptif anak dapat berdampak pada
perkembangan kognitif dan kecerdasannya. C. Asimilasi

Asimilasi adalah integrasi informasi baru ke dalam skema yang sudah ada.
Skema kognitif, sikap, dan perilaku yang membantu orang beradaptasi dengan lingkungannya adalah
agen perubahan di sini. D. Akomodasi

Untuk mengakomodasi pengalaman baru, akomodasi telah diperbarui. Ketika skema lama
seseorang tidak dapat menjelaskan pengalaman baru, itu karena pengalaman baru tersebut tidak
cocok dengan skema lama; Oleh karena itu, perlu dibentuk skema baru dengan variasi.

e. Keseimbangan

Keseimbangan yang disebutkan dalam teori Jean Piaget adalah keseimbangan antara tuntutan
eksternal dan keinginan internal. Fungsi akomodasi dan asimilasi dapat membantu anak dalam
adaptasinya untuk menyeimbangkan tuntutan internal dengan tuntutan eksternal ketika ia mengalami
ketidaknyamanan kognitif. F. Organisasi

Ide-ide atau gagasan-gagasan yang dikelompokkan agar memungkinkan berpikir logis inilah
yang disebut teori ini terorganisir. Hal ini memerlukan akomodasi dan asimilasi ke dalam suatu sistem
yang kohesif agar dapat tercapai. Misalnya saja melihat kemampuan anak dalam bermain bola.
Sekitar usia 6-7 tahun, anak mulai menunjukkan ketertarikan terhadap benda dan mengumpulkan
beberapa ide konsep sambil bermain. Misalnya, seorang anak dapat berlari, melempar, menendang,
dan mengoper bola kepada orang lain sambil aktif menggerakkan kaki dan tangannya.
Menurut Jean Piaget, kemampuan siswa dalam bermain sepak bola disebut organisasi (Hanafi &
Sumitro, 2019).
Tahapan Perkembangan Kognitif
Empat tahap perkembangan kognitif anak diidentifikasi oleh Jean Piaget. Ia berpendapat bahwa
kapasitas berpikir atau ketabahan mental anak bervariasi tergantung pada tahap perkembangannya.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak sehat dipengaruhi oleh potensi diri dan pengalaman yang
dimilikinya di lingkungannya. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator untuk memastikan
anak tumbuh sesuai tahap perkembangannya dengan memasukkan pengalaman yang memaksimalkan
potensi yang dimilikinya.

Skema Perkembangan Kognitif Empat Tingkat Piaget (Suparno, 2011)


Panggung Usia Utama Karakteristik dari

Perkembangan
sensorimotor 0-2 tahun • Berdasarkan tindakan

• Selangkah demi selangkah

Pra operasi 2-7 tahun • Penggunaan simbol/bahasa isyarat


Konkret 8-11 tahun • Gunakan aturan yang jelas/logis
Operasi • Dapat dibalik dan tidak dapat diubah

- 232 -
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

Resmi 11 tahun dan • Hipotesis


Operasi lebih • Abstrak
• Deduktif dan Induktif
• Logis dan Probabilitas
Santrock (2011) menyatakan hal serupa, membagi perkembangan kognitif anak menjadi
empat tahapan besar yang sesuai dan berkembang seiring bertambahnya usia, antara lain:

1. Tahap sensorik (sensorik motorik)


Tahap perkembangan kognitif ini terjadi antara usia 0 dan 2 tahun. Proses
“desentralisasi” merupakan konsep kunci dalam tahap perkembangan kognitif ini. Dengan
kata lain, bayi pada usia ini belum mampu memisahkan diri dari lingkungannya. Dia
menjadikan dirinya sendiri sebagai "pusat" -nya. Ia tidak benar-benar menjadi egois
hingga tahap berikutnya (Setiono, 2009). Transisi bayi pada tahap sensorik ini dari
tindakan refleks bawaan mereka saat lahir hingga munculnya pemikiran simbolik. Bayi
menggabungkan pengalaman sensorik dengan tindakan fisik untuk menciptakan
pemahaman tentang dunia (Desmita, 2010).
Pemikiran anak mulai memadukan penglihatan, pendengaran, pergeseran,
sentuhan, dan rasa pada titik ini. Oleh karena itu, anak dapat mengalami segala sesuatu
melalui indranya. Menurut Piaget, masa ini sangat penting untuk memupuk perkembangan
pemikiran, yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kecerdasan. Anak berpikir secara
praktis dan sejalan dengan tindakannya. Oleh karena itu, membiarkan anak belajar
melalui lingkungannya sangat bermanfaat (Syarifin, 2017). Menurut teori ini, jika seorang
anak sudah mulai memberikan respon secara verbal kepada orang dewasa, hal tersebut
lebih merupakan suatu kebiasaan dan belum berkembang ke tahap berpikir.
2. Tahap praoperasional (praoperasional)
Usia 2 hingga 7 tahun adalah saat tahap perkembangan kognitif ini berlangsung.
Anak-anak mulai menggunakan kata-kata dan gambar untuk menggambarkan dunia
pada usia ini. Frasa dan gambar ini menunjukkan perluasan pemikiran simbolik di luar
hubungan antara informasi sensorik dan gerak. Pemikiran anak pada usia ini tidak logis,
tidak konsisten, dan tidak sistematis. Itu dibedakan berdasarkan
sifat-sifat berikut:
a) Penalaran transduktif, yaitu cara berpikir induktif atau deduktif tetapi tidak logis

b) Hubungan sebab-akibat yang tidak tepat, dimana anak secara tidak logis
mengenali hubungan sebab-akibat
c) Animisme, yang berpendapat bahwa segala sesuatu berperilaku seperti dirinya sendiri.
d) Artificialisme, atau gagasan bahwa segala sesuatu di lingkungan mempunyai jiwa
mirip dengan manusia.
e) Terikat persepsi, artinya anak membuat penilaian terhadap sesuatu
berdasarkan apa yang diamati atau didengarnya.
f) Eksperimen mental di mana anak mencoba memecahkan suatu masalah sendiri
memiliki.

g) Centration, dimana anak mengabaikan kualitas-kualitas lain dan berkonsentrasi pada


apa yang menurutnya paling menarik.
h) Egosentrisme, yaitu seorang anak memandang dunia dan sekitarnya sesuai
dengan kesukaannya (Ibda, 2015).

- 233 -
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

3. Tahap operasi konkrit (concreteoperational)


Usia 7 hingga 11 tahun adalah saat tahap operasi konkrit berlangsung. Anda akan dapat
mengkategorikan objek ke dalam berbagai bentuk pada saat ini dan berpikir logis tentang
peristiwa konkret. Meskipun klasifikasi dapat dilakukan, namun klasifikasi tersebut belum
berhasil memecahkan masalah yang kompleks. Objek konkrit yang nyata merupakan subyek
operasi konkrit, yaitu operasi mental yang dapat dibalik.
Daripada berkonsentrasi hanya pada satu aspek suatu objek, anak-anak dapat
mengoordinasikan berbagai karakteristik dengan bantuan operasi konkrit.
Anak-anak secara mental dapat melakukan tugas-tugas yang sebelumnya hanya mungkin
mereka selesaikan secara fisik, dan mereka juga dapat membalikkan operasi konkrit ini, pada
tingkat operasi konkrit. Mengklasifikasikan atau membagi sesuatu ke dalam berbagai sub-sub
dan memahami hubungannya sangat penting bagi kemampuan tahap operasional konkrit
(Mu'min, 2013).
Pada usia tujuh tahun, tahap ini dimulai dengan tahap desentralisasi progresif.
Kebanyakan anak mampu mengingat ukuran, panjang, atau jumlah cairan.
Gagasan bahwa suatu besaran akan tetap sama meskipun tampilan luarnya berubah adalah
sebuah kenangan yang tersimpan di sini. Fokus anak praoperasional akan tertuju pada
kelereng yang tersebar dan kelereng tersebut akan tampak berlipat ganda jika Anda
menunjukkan empat kelereng dalam sebuah kotak dan kemudian menyebarkannya ke lantai.
Sebaliknya anak yang sudah mencapai tahap operasional konkrit akan langsung menyadari
bahwa kelereng masih ada 4 buah. Anak-anak juga akan memperhatikan bahwa jika Anda
menuangkan susu dari gelas berlemak ke gelas tanpa lemak, volumenya akan tetap sama
kecuali Anda sengaja menuangkan susu dalam jumlah yang berbeda.
Seorang anak akan mulai mengingat zat sekitar usia 7 atau 8 tahun. Ia akan dapat
mengetahui bahwa sebongkah tanah liat masih sama jika Anda meratakannya atau
membaginya menjadi sepuluh bagian yang lebih kecil. Ia menyadari bahwa tanah liat itu tetap
sama meskipun diubah kembali menjadi bola seperti aslinya. Proses sebaliknya inilah yang disebut.
Kapasitas terakhir untuk pemeliharaan memori, yaitu memori spasial, mulai berkembang
sekitar usia 9 atau 10 tahun. Jika Anda meletakkan empat benda persegi berukuran 1 x 1 cm
di atas selembar kertas berukuran 10 cm, seorang anak dengan ingatan yang baik akan
menyadari bahwa ruang yang ditempati oleh keempat benda kecil di atas kertas itu sama di
mana pun Anda meletakkannya. . Anak juga mempelajari keterampilan menyortir
(klasifikasi) dan menyortir pada tahap ini (seriasi). Dalam hal ini, meminta anak memahami
hubungan antar kelas merupakan gambaran eksperimen Piaget. Seriasi adalah operasi konkrit
yang melibatkan rangkaian rangsangan sepanjang dimensi kuantitatif dan merupakan salah
satu tugas tersebut. Seorang guru dapat secara acak meletakkan 8 batang kayu di atas meja,
masing-masing memiliki panjang yang berbeda, untuk melihat apakah siswa dapat memilahnya.
Siswa kemudian diinstruksikan untuk mengelompokkan tongkat berdasarkan panjangnya oleh
guru. Setiap batang harus lebih panjang dari batang sebelumnya, atau batang berikutnya
harus lebih pendek dari batang sebelumnya, sesuai dengan pemikiran operasional konkrit.
Transtivitas, atau kemampuan untuk menggabungkan hubungan secara logis untuk memahami
kesimpulan tertentu, adalah aspek lain dari penalaran tentang hubungan antar kelas.

4. Tahap operasional formal (formal operasional)


Tahap operasional formal berada pada rentang usia 11 tahun-dewasa. Fase ini disebut
juga masa remaja. Remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan lebih idealis.
Tahap operasional formal, usia sebelas sampai lima belas tahun. Pada

- 234 -
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

tahap ini individu sudah mulai memikirkan pengalaman-pengalaman konkrit, dan


memikirkannya dengan cara yang lebih abstrak, idealis, dan logis. Kualitas abstrak pemikiran
operasional formal terlihat jelas dalam pemecahan masalah verbal. Pemikir operasional
konkrit perlu mencermati unsur konkrit A, B, dan C untuk menarik kesimpulan logis bahwa
jika A=B dan B=C, maka A=C.
Namun para pemikir operasional formal mampu mengatasi permasalahan tersebut
walaupun hanya disampaikan secara lisan. Pemikir operasional formal mempunyai kapasitas
untuk mengidealkan dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan selain keterampilan
abstraksi. Anak-anak pada usia ini mulai membuat asumsi tentang kualitas ideal yang
mereka inginkan untuk diri mereka sendiri dan orang lain. Anak dapat membuat hipotesis
deduktif tentang cara memecahkan masalah dan sampai pada kesimpulan secara sistematis,
sesuai konsep operasional formal.
Teori Perkembangan Jean Piaget dan Implikasinya pada Perkembangan Anak Sekolah
Dasar
Anak pertama kali masuk sekolah dasar pada usia 7 hingga 11 tahun. Menurut teori kognitif
Piaget, pemikiran anak usia sekolah dasar disebut dengan pemikiran operasional konkrit
(Desmita, 2015). Anak yang mampu menggunakan pikirannya untuk bernalar secara logis
mengenai sesuatu yang kongkrit atau nyata dikatakan berada dalam kondisi Piaget yang disebut
“makna operasional konkrit”. Selama berpikir dapat diterapkan pada contoh-contoh konkrit atau
spesifik, maka berpikir logis kini menggantikan pemikiran intuitif (naluri) (Santrock, 2007).
Kelemahan tahap ini adalah anak akan mengalami kesulitan bahkan mungkin tidak mampu
menyelesaikan permasalahan abstrak dengan benar jika disajikan secara verbal tanpa adanya
objek nyata.
Penalaran anak masih terbatas; Meskipun mereka dapat memahami hubungan sebab akibat
dan bernalar secara logis, mereka tidak dapat bernalar secara hipotetis atau abstrak (Upton,
2012). Hanya ketika objek masalahnya bersifat empiris (nyata) atau dapat dirasakan oleh panca
indera, dan bukan sekedar fiktif, barulah anak dapat menyelesaikannya. Misalnya, seorang siswa
kelas satu diberitahu bahwa ada tiga gelas berwarna merah, hitam, dan putih ketika diberi
pernyataan. Lalu ditanya warna kaca apa yang akan tampak lebih bercahaya.
Karena keterbatasan kognitif, anak-anak akan kesulitan merespons dalam situasi ini, dan karena
jawaban mereka tidak didasarkan pada logika ilmiah dan objektif, mungkin tidak semuanya benar.
Ketika anak melihat kacamata tiga warna, pertanyaannya akan terjawab dengan benar.

Keterampilan kognitif anak berkembang pesat pada tahap ini. Pada lingkungan yang khas,
kemampuan anak usia sekolah dasar berkembang seiring berjalannya waktu.
Saat anak pertama kali masuk sekolah, daya pikirnya perlahan berkembang sehingga mengarah
pada pemikiran konkrit dan egosentris. Dulu, kemampuan berpikir anak masih bersifat imajinatif,
subjektif, dan egosentris. Anak mulai menggunakan pikirannya untuk berpikir logis dan obyektif
ketika melihat sesuatu di hadapannya, dan ia mampu menyelesaikan suatu masalah dengan
logis.
Anak-anak memiliki pemahaman yang lebih baik tentang konsep spasial, hubungan sebab
akibat, pengelompokan, penalaran induktif dan deduktif, konservasi, dan konsep numerik/
matematis pada tahap operasional konkrit dibandingkan anak praoperasional (2-7 tahun) (Papalia
& Feldman, 2009). Mengenai pemahaman ide-ide tersebut, kemampuan anak dalam memahami
bagaimana sesuatu berubah dari apa yang dilihatnya disebut dengan kapasitas kognitifnya.
Misalnya, jika seorang anak mengamati

- 235 -
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

bahwa sebotol air menjadi lebih berat ketika diisi, mereka mungkin menyimpulkan bahwa air adalah
penyebab penambahan berat badan dan mulai percaya bahwa semua air memiliki berat yang sama.
Kedua, gagasan pengelompokan, khususnya kemampuan anak dalam mengelompokkan benda-
benda yang sejenis, berbeda jenis, warna, dan ukurannya. Serialisasi, inferensi transitif, dan inklusi kelas
merupakan salah satu keterampilan kognitif yang relatif kompleks pada anak usia sekolah dasar pada
tahap operasional konkrit pengelompokan, yang secara bertahap meningkat antara anak usia dini dan
menengah (Papalia & Feldman, 2009). Kemampuan menyusun suatu rangsangan atau suatu benda
berdasarkan dimensi kuantitatif, seperti panjang, warna, berat, dan sebagainya, dikenal dengan istilah
harmoni (Santrock, 2009). Misalnya dengan meletakkan 10 jenis pensil secara acak di atas meja, anak
dapat mengurutkan panjang pensil, dimulai dari yang terpendek.

Untuk memahami suatu kesimpulan tertentu, seseorang harus mampu menggabungkan hubungan-
hubungan tersebut secara logis, yang disebut dengan inferensi transitif. Misalnya, seorang anak mungkin
diperlihatkan tiga bola merah, kuning, dan hijau. Hijau sedikit lebih kecil dari kuning, kuning sedikit lebih
kecil dari merah, dan merah sedikit lebih besar. Ia akan dapat menentukan bola merah mana yang memiliki
ukuran terbesar tanpa melakukan perbandingan.
Kapasitas untuk memahami hubungan antara keseluruhan dan bagian-bagiannya merupakan aspek
lain dari inklusi kelas. Seorang anak mungkin menerima sebuket bunga dengan lima tangkai melati, tiga
mawar putih, dan banyak kelopak di setiap tangkai. Anak akan menjawab kelopaknya lebih banyak jika
ditanya bunga melati lebih banyak atau tidak karena tiap bunga mempunyai kelopak yang banyak. Anak
akan menjawab kelopaknya lebih banyak jika ditanya bunga melati lebih banyak atau tidak karena tiap
bunga mempunyai kelopak yang banyak. Anak-anak hanya melihat perbandingan bunga melati dengan
mawar putih, sehingga mereka cenderung menjawab pertanyaan jumlah bunga melati lebih akurat
dibandingkan anak-anak pada tahap praoperasional.

Penalaran deduktif dan induktif berada pada urutan ketiga. Penalaran deduktif adalah kebalikan dari
penalaran induktif karena penalaran ini melibatkan melihat fakta secara luas sebelum menarik kesimpulan
tertentu. Mengamati anggota kelas tertentu yang terdiri dari orang, hewan, benda, atau peristiwa, anak
pada tahap operasional konkrit hanya menggunakan penalaran induktif, menurut Piaget, sebelum menarik
kesimpulan umum tentang kelas secara keseluruhan. Ketika memecahkan suatu masalah, seorang anak
yang berpikir dalam kerangka operasi konkrit segera memasukinya. Mereka akan berpikir terlebih dahulu
secara teoritis, kemudian mengidentifikasi atau mengklasifikasikan, kemudian mencari solusi, dan akhirnya
mengambil tindakan untuk memecahkan masalah tersebut, berbeda dengan anak yang berpikir secara
formal (11 tahun ke atas) (Monks, Knoers & Adinuto, 2014). Ketika anak-anak mendengar, misalnya,
jambu biji merah memiliki rasa yang manis, mereka mungkin salah menyimpulkan bahwa semua jambu
biji merah memiliki rasa yang sama.
Keempat, asas kekekalan yang menyatakan bahwa walaupun bentuk suatu benda mati berubah,
namun sifat fisiknya tidak akan berubah (Wade, Tavris & Garry, 2016). Dalam suatu percobaan, seorang
anak disuguhi dua bongkahan tanah liat yang ukurannya sama namun berbeda bentuk, yang satu panjang
dan yang lainnya bulat serta mampu memahami keabadian. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang berada
pada tahap operasional konkrit sudah mampu melakukan hal tersebut. Anak tersebut kemudian ditanya
tentang perbandingan antara panjang dan kebulatan bongkahan tanah tersebut. Sebagian besar anak
usia 7 atau 8 tahun yang menjawab pertanyaan mengatakan bahwa luas lahan tidak berubah. Memahami
konsep kekekalan berarti mengetahui bahwa meskipun bentuk suatu benda berubah, ukurannya (termasuk
panjang, berat, volume, dan massa) tetap konstan.

- 236 -
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

Kemampuan anak dalam mengolah bilangan melalui operasi seperti penjumlahan,


pengurangan, perkalian, dan pembagian merupakan konsep kelima yang berkaitan dengan
bilangan dan matematika. Banyak anak yang dapat menghitung di kepalanya saat mereka
berusia 6 atau 7 tahun (Papalia & Feldman, 2009). Perbedaan kemampuan pada disiplin ilmu
lain yang biasanya disajikan sebagai objek adalah kemampuan mengelola angka tersebut.
Kemampuan matematika anak-anak bervariasi tergantung pada usia atau tingkat kelasnya;
Semakin tinggi tingkat kelas, semakin baik kemampuan matematikanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, anak-anak belum tentu berkembang pada tingkat yang sama
antara usia 7 dan 11 tahun. Penjelasan Piaget hanya berfungsi untuk menggeneralisasi fakta bahwa
anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan ini ketika mereka mencapai usia operasional konkrit.
Anak-anak berbeda dalam kapasitasnya dalam bernalar, berpikir logis, mengingat, menghafal,
memahami dan menganalisis informasi pada setiap tingkat usia. Tingkat kesulitan bahan ajar,
strategi, model, dan teknik pembelajaran di SD/MI didasarkan pada kemampuan anak dalam
berpikir tentang berbagai hal dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda.
Perkembangan kognitif anak akan mengalami kemajuan dari waktu ke waktu. Misalnya
materi yang akan dipelajari akan semakin sulit atau semakin kompleks jika skornya semakin
tinggi. Karena dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain volume otak, pola makan,
pendidikan, pengalaman, dan lingkungan, maka peningkatan daya kognitif dapat terjadi.
Namun pengalaman dan faktor lingkungan mempunyai pengaruh paling besar terhadap suatu
proses perkembangan kognitif. Menurut Piaget, orang yang aktif selalu melakukan
penyesuaian (adaptasi) sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan (Sumanto, 2014).
Pengetahuan dan wawasan anak bertambah akibat mengikuti berbagai kegiatan atau proses
pendidikan, berikut penjelasan logisnya. Ketika anak-anak menghadapi konsep-konsep yang
lebih kompleks, mereka siap mempertimbangkannya untuk mempelajari informasi baru dan
menghadapi masalah yang muncul.

PENGAKUAN
Salah satu unsur penting yang harus dipahami dalam proses pendidikan khususnya
dalam kegiatan belajar mengajar adalah perkembangan kognitif anak di sekolah dasar (KBM).
Setiap tingkatan usia anak usia sekolah dasar mempunyai kemampuan kognitif yang berbeda-
beda. Menurut teori kognitif Piaget, perkembangan kognitif anak pada masa sekolah dasar
berada pada fase operasional konkrit (usia 7 hingga 11 tahun), yaitu tahap dimana anak
dapat berpikir secara logis, rasional, ilmiah, dan obyektif tentang sesuatu yang konkrit atau
nyata. Guru harus menyajikan materi pembelajaran yang empiris (nyata), bukan hipotesis,
pada tahap belajar mengajar ini. Proses belajar mengajar harus ditempatkan dalam konteks
dunia nyata, misalnya dengan memberikan contoh konkrit tentang materi pelajaran yang
dipelajari (pemodelan) dan melakukan praktik langsung (eksperimen).

REFERENSI
Abin, SM 2004. Psikologi Pendidikan: Modul Perangkat Sistem Pengajaran.
Bandung: Rosda
Dariyo, A. (2007). Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama.
Bandung: Refika Aditama.
Desmita. (2010) Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosda
Penciptaan.

- 237 -
Machine Translated by Google

Shofia Rohmah, N., Wilandari, M., & Darsinah, D. / Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8(12), 230-239

Desmita. (2015). Psikologi Perkembangan, Cet. tanggal 9. Bandung: PT Pemuda


Rosdakarya.
Hanafi, I., & Sumitro, EA (2019). Perkembangan Kognitif Menurut Jean Piaget dan
Implikasinya dalam Pembelajaran. Pegunungan Alpen: Jurnal Pendidikan Dasar, 3
(2).
Hapsari, Rr. ST (2011). Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar IPA Jurnal Pendidikan Penabur No. 16 Tahun 10:34-45

Ibda, F. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget, Jurnal


INTELEKTUALITAS. 3(1), 33-34.
Kusdwiratri Setiono. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung: Widya
Padjajaran
Latifa, U. (2017). Aspek Perkembangan Anak Sekolah Dasar: Permasalahan dan
Perkembangannya. Jurnal Studi Multidisiplin, 1 (2), 185–
196.
Marimba, IKLAN (1980). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: PT. Al Maarif.
Biksu, FJ, Knoers, APM & Adinuto, SR (2014). Psikologi Perkembangan.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Pers
Mu'min, SA (2013). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Al-Jurnal
Ta'dib. 6(1). 94-95.
Papalia, Tua & Feldman. (2009). Pembangunan Manusia trans. Brian Marswendy.
Jakarta: Salemba Humanika
Santrock, JW (2007). Perkembangan Anak, trans. Mila Rachmawati dan Anna
Kuswanti. Jakarta: Penerbit Erlangga
Santrock, WJ (2011). Perkembangan anak. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Sumanto. (2014). Psikologi Perkembangan : Fungsi dan Teori. Yogyakarta:
PT. Buku Menyenangkan

Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, (Yogyakarta: Kanisius


Publishers, 2001)
Syarifin, A. (2017). Percepatan Perkembangan Kognitif Anak: Analisis
Kemungkinan dan Permasalahan, Jurnal al-Bahtsu. 2(1)
Upton, P. (2012). Psikologi Perkembangan, trans. Noermalasari Fajar Widuri.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Wade, C., Tavris, C & Garry, M. (2016). Psikologi, trans. Padang Mursalin, Dinasti & Novi
Vidya Santika. Jakarta: Penerbit Erlangga
Zed, Mestika. (2008). Metode Penelitian Perpustakaan. Jakarta: Obor Indonesia
Dasar

- 238 -

Anda mungkin juga menyukai