Anda di halaman 1dari 4

70 Tahun Prof.

Soetandyo Wignjosoebroto

Hukum
Paradigma, Metode dan Masalah

Soetandyo Wignjosoebroto

ELSAM dan HUMA


Cetakan Pertama, November 2002
Hak penerbitan ada pada ELSAM dan HUMA
PENGANTAR: CATATAN
PEMBUKA DARI PENYUNTING
Sebuah Awalan

PENGGALAN kisah yang disadur oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto dari novel
terkenal Les Miserables yang ditulis pengarang terkenal di masanya, Victor Hugo, yang
disajikan di bawah ini, barangkali bisa menjadi semacam pengantar untuk memahami untaian
pemikiran Prof. Soetandyo yang terhimpun di dalam buku ini. Marilah kita ikuti sejenak
kisahnya:
Alkisah ada seorang ayah, seorang pengangguran korban PHK yang malang dan
melarat, yang -karena mendengar tangis anak bayinya semalam suntuk- tidak bisa
menahan diri lagi untuk tidak pergi keluar dengan niat untuk mencuri roti. Anak bayi
itu sungguh lapar karena air susu ibunya sudah tidak bisa keluar lagi. Betapa tidak? Si
ibu itu sendiri sudah tiga hari ini tidak makan. Tidak ada kecuali rotipun -remah-
remahnya saja juga tidakyang tersisa di rumah.
Ayah yang nekat itu menuju ke sebuah toko roti di pojok jalan. Terlihat beberapa
bongkah roti teronggok di belakang kaca estalase. Dipecahnya kaca itu, dan diambil
sebongkah roti, dan segera saja ia larikan pulang. Untuk isteri! Ya, demi anak!
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bunyi kaca estalase yang pecah
mengundang dengan segera datang seorang polisi ke tempat kejadian. Segera saja polisi
itu mengejar si ayah yang tengah melarikan roti itu. Roti memang sempat diterima si
ibu. Akan tetapi belum sempat si ibu itu memasukkan roti ke mulutnya yang telah
terlanjur menganga, keburu datanglah polisi itu. Polisi merenggut dan merebut roti itu
dari tangan si ibu.
Sekalipun si ibu dan si ayah itu mengiba-iba, dan jerit tangis si anak tidak ada kunjung
redanya, polisi itu tetap saja dengan tegar “mengamankan” roti itu sebagai barang bukti
telah terjadinya pencurian, dengan si ayah itu sebagai terdakwanya. Bukankah hukum
itu harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh? Lagi pula, bukankah pernah ada
perintah Allah 'janganlah kamu mencuri'?
Arkian, polisi meneruskan tugas kewajibannya untuk memproses perkara pencurian itu,
dan menyeret sang ayah ke meja hijau. Hakim pun secara konsekuen menjatuhkan
pidana sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Pidana yang berlaku, yang
berbunyi “barang siapa mengambil barang milik orang lain, akan dipidana penjara
dengan kerja paksa karena suatu perbuatan pencurian, setinggi-tingginya enam tahun.
Apabila barang yang diambil itu merupakan barang produksi atau barang dagangan,
maka pidana penjara itu akan diperberat dengan tambahan sepertiganya”. Maka si ayah
pun terpisah dengan paksa dari anak-istrinya, karena harus menjalani hukum selama
delapan tahun lamanya.
Dibaca sekilas memang tidak ada yang istimewa dari penggalan kisah di atas: bukankah
sudah seharusnya seorang pencuri ditangkap dan diajukan ke meja hijau? Lalu mengapa
begitu istimewa bagi Prof. Soetandyo? Hal inilah yang ingin diungkapkannya melalui tulisan-
tulisannya yang sudah mulai dikenal oleh komunitas akademis di Indonesia pada tahun 1970-
an, yaitu memperkenalkan pendekatan ilmu-ilmu sosial (sosiologi) dalam mempelajari dan
memahami hukum. Kisah tentang pencuri dalam novel Les Miserables di atas, apabila dilihat
dari kacamata Jurisprudence (ilmu hukum) semata, terutama mazhab yang lebih
menitikberatkan pada seni menemukan dan menerapkan aturan-aturan dalam suatu kasus (in
concreto) -yang dikenal dengan mazhab positivisme, si ayah jelas bersalah telah melakukan
pencurian walaupun dilakukannya secara terpaksa demi menyelamatkan hidup anak-istrinya.
Tetapi bila dilihat dari kacamata sosiologi hukum, maka kisah tersebut bisa bermakna lain.
Sosiologi hukum tidak berurusan dengan law as what ought to be, tetapi berurusan dengan
pertanyaan law as what it is (functioning) in society.
Sensitivitas Prof. Soetandyo (Begawan Sosiologi Hukum) terhadap keadilan kaum
marginal itu pula yang ingin ia kembangkan kepada calon-calon akademisi atau peneliti.
Makanya ia menganjurkan kepada mereka untuk lebih menitikberatkan pada penelitian-
penelitian nondoktrinal-kualitatif, ketimbang penelitian-penelitian doktrinal. Tujuannya
adalah agar kaum akademisi dapat merespon terpenuhinya rasa keadilan massa awam.
Dikatakannya: “dalam alam kehidupan yang kian demokratik dan people centered dewasa ini,
yang amat mengharapkan terwujudnya signifikansi sosial setiap produk perundang-undangan,
kiranya kajian-kajian yang kualitatif tentang berbagai permasalahan dan kebijakan sosial di
dalam kehidupan manusia --agar dapat lebih merespon setiap kebutuhan hukum dan
terpenuhinya rasa keadilan massa awam-- pantaslah kalau lebih banyak dianjurkan dan lebih
banyak dicoba. Penelitian-penelitian nondoktrinal-kualitatif dengan ancangan
paradigmatiknya yang mikro dan bertendensi pro populus itu dapat kiranya banyak
memberikan sumbangan yang berarti.”
Tugas analisis
Sepenggal kisah dari novel Les Miserables yang dikutip dalam buku H u k u m :
Paradigma, Metode dan Masalah (2002) karya Prof. Soetandyo (Begawan Sosiologi
Hukum) tersebut menjadi menarik untuk dianalisis dalam optik penegakan hukum di
Indonesia. Menurut saudara selaku justiciabelen, bagaimana pandangan saudara jika kisah
tersebut riil terjadi di Indonesia & anda bertindak sebagai aparat penegak hukum?.

Anda mungkin juga menyukai