Anda di halaman 1dari 7

MENGUPAS IDEOLOGI MASYARAKAT DALAM BUDAYA METROPOLITAN

Nur Azman

PENDAHULUAN

Dunia sastra tidak pernah terlepas dari teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Ketiga
hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Khususnya kritik sastra. Ketika seorang kritikus
ingin mengkritik sebuah karya sastra, kritikus harus mampu memahami teori sastra, sejarah
sastra dan kritik sastra itu sendiri. Karena kritik sastra merupakan sebuah peristiwa menilai
sebuah karya sastra. Baik dan buruknya sebuah karya sastra akan dinilai oleh seorang kritikus.
Di dalam mengkritik sebuah karya sastra harus memegang prinsip filosofi yang
mendasari kritik sastra. Ada dua yang mendasari prinsip filosofi kritik sastra yaitu yang pertama,
setiap karya sastra yang lahir, belum tentu sempurna, sehingga butuh pencermatan dan yang
kedua, karya sastra ada yang sengaja diciptakan dengan tendensi dan simbol-simbol khusus,
sehingga butuh kritik yang mampu memahaminya (Endraswara, 2013). Jika kedua prinsip
dipegang teguh walaupun terjadi pergantian peridoe tidak akan bermasalah. Bahkan sebuah
karya yang dikritik oleh banyak orang pun, asalkan menggunakan prinsip yang andal, tentu
hasilnya tidak akan berbeda.
Cerpen Ken Herlangga yang akan dibahas dalam esai ini adalah cerpen yang telah
diceritakan secara singkat oleh penulis dalam paparan sebelumnya. Seorang pendosa memiliki
anak yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai “Bibit Dosa”, begitulah Ken menuliskan judul
untuk cerpennya tersebut. Aku, sebagai tokoh utama dalam cerpen ini, merupakan seorang anak
perempuan yang tinggal bersama ayahnya. Aku, seorang anak yang tidak tahu apa dosanya,
sehingga alam menghukumnya dengan menyebutnya sebagai bibit dosa.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang secara
keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi.
Data-data yang telah diperoleh, diklasifikasikan, dan dianalisis, kemudian diperoleh suatu
gambaran umum tentang data–data yang diteliti. Metode yang digunakan adalah metode analisis
tekstual karena objek penelitian berupa dokumen naskah. Peneliti akan memperoleh catatan-
catatan berdasarkan pada pernyataan yang terdapat dalam cerpen tersebut. Dalam penelitian ini
dokumen yang dimaksud adalah cerita pendek “Bibit dosa”. Data penelitian ini berupa kutipan
kalimat maupun paragraf dalam cerpen. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan
content analysis. Data ini kemudian dianalisis, dan dinterpretasikan.

PEMBAHASAN

Cerpen yang berjudul “Bibit Dosa” ini memaparkan permasalahan yang sering kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih, ideologi yang terkandung di dalam cerpen sangat
erat kaitannya dengan ideologi yang berlaku dalam kondisi masyarakat, baik pribadi penulis
cerpen maupun pribadi penulis esai. Pokok permasalahan yang di angkat, sudah tidak menjadi
hal asing sehingga isi, pesan dan alur cerita dapat mudah dipahami. Bahasa yang digunakan tidak
terlalu rumit, menggunakan bahasa yang santai, juga beberapa penggunaan bahasa yang sedikit
mudh untuk di analisis.

Cerita dalam cerpen ini menggunakan bahasa dan alur yang mudah dipahami. Sebagian
besar permasalahan yang di angkat, berangkat dari bagaiman seseorang hidup di dalam
masyarakat yang memiliki ideologi atau budaya dan peraturannya yang begitu ketat. Sehingga,
berangkat dari analisis bahasa yang digunakan, cerpen ini dapat dikaji menggunakan kajian
stilistika dengan pendekatan kontekstual. Melalui pendekatan ini, dapat dikaji pula bagaimana
realita permasalahan yang di angkat dalam cerpen, dengan realita kehidupan masyarakat yang
ada.

Pada dasarnya, cerpen yang berjudul Bibit Dosa ini menggunakan kajian kontekstual.
Salah satu kajian kontekstual adalah kajian terhadapt konteks ideologi. Ideologi dalam konteks
stilistika dapat diartikan sebagai gagasan dan pandangan hidup pengarang yang berkaitan dengan
latar belakang kehidupannya dan situasi yang melahirkan karya sastra. Jadi, bagaimana idelogi
yang berkembang dalam kondisi masyarakat pengarang menjadi dasar dalam penulisan karya
sastra.
Dimana, dalam cerpen ini pusatnya menceritakan hukum alam yang berlaku di dalam
masyarakat. Penulis sendiri menyadari, bahwa ia sebagai anggota masyarakat akan selalu
menemukan kejadian-kejadian yang mengarah pada hukum alam yang diberikan atau didapatkan
oleh seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Penulis menceritakan tokoh “aku” dalam
cerpen, merupakan seorang anak perempuan yang mendapatkan hukum alam berupa cacian dan
makian dari masyarakat sekitar akibat dari perbuatan kedua orang tuanya. Hal ini seperti dalam
kutipan berikut.
"Bapakmu iblis," tuduh mereka.

Karena iblis senang membujuk untuk berbuat dosa, dan karena iblis sumber dosa,
mereka pun menganggapku bibit dosa. Aku dilahirkan dari hubungan cinta antara
dua dosa. Sejak itu aku tidak punya teman. (paragraf 4)

Dari kutipan tersebut, dapat dijelaskan bahwa semasa tokoh aku sekolah, ia banya dicaci
oleh temannya. Bahkan ia tidak memiliki teman lantaran teman-temannya menganggap bahwa
dirinya merupakan anak haram. Kutipan ini juga menjelaskan bahwa tokoh aku dilahirkan dari
hubungan cinta antara dua dosa, yang dapat dimaknai bahwa kedua orang tuanya melakukan
hubungan badan sebelum keduanya menikah.

Dalam kutipan lain juga lebih dijelaskan bagaimana kedua orang tua tokoh aku di masa lampau.

…. Aku sedih dan tidak tahu apa Bapak benaran iblis, ataukah Ibu memang
pendosa. Waktu mengajarkanku. Aku tahu semua rahasia itu. Mengurai teka-teki
hidupku itu sulit, tapi toh pada akhirnya aku selalu tahu…. (paragraf 2)

Dalam kutipan tersebut juga dituliskan oleh penulis berupa frasa “Bapak benaran iblis” dan “Ibu
memang pendosa”. Jika digabungkan dengan uraian sebelumnya, bahwa tokoh aku terlahir dari
hubungan cinta antara dua dosa, maka dapat dijelaskan bahwa ayahnya merupakan seorang bos
dari para pekerja seksual, dan ibunya adalah seorang wanita pekerja seksual yang melakukan
hubungan badan dengan bosnya, sehingga hamil dan terlahirlah tokoh aku sebagai buah dari
hubungan cinta antara dua pendosa.

Cerita yang ada di dalam cerpen ini, juga terdapat dalam realita masyarakat sosial yang
sesungguhnya. Dimana, masyarakat sering memberlakukan hukuman sosial terhadap seseorang
atas apa yang telah ia perbuat. Bahkan, tidak cukup pada seseorang itu sendiri, orang
terdekatnyapun akan merasakan hukuman sosial yang diberikan oleh masyarakat sekitar. Sesuai
dengan permasalahan yang terdapat dalam cerpen, realita sosial yang terjadi yaitu anak dari hasil
hubungan diluar nikah akan mendapatkan dampak dari perbuatan kedua orang tuanya. Dampat
yang diperoleh anak adalah anak akan selalu di anggap sebagai anak haram, jika tidak demikian
anak akan dikucilkan oleh teman-temannya sendiri dan teman-temannya melakukan hal yang
demikian lantaran orang tua teman-temannya kadang melarang anaknya bermain dengan
seseorang yang dianggap anak haram tersebut. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang
tokoh aku peroleh merupakan akibat dari perbuatan ayahnya yang seorang iblis dan ibunya yang
seorang pendosa, yang dalam realitanya banyak sekali fenomena yang demikian.
Selain konteks ideologi yang sudah dibahas pada permasalahan sebelumnya, terdapat
kajian kotekstual lain yang dapat dianalisis dari cerpen ini, yakni kajian berupa kontek sosial.
Konteks sosial dalam stilistika berangkat dari pandangan bahwa teks adalah konstruk sosial, teks
merupakan bagian dari tradisi sosial, ekonomi, politik dan kultural. Dalam konteks sosial ini,
bagaimana pengarang mengangkat cerita yang dapat diambil dari kondisi sosial yang ada sekitar
tempat tinggalnya.

Konteks sosial yang dibahas dalam cerpen ini yakni bagaimana orang tua membesarkan
anak yang latar belakang orang tuanya sendiri adalah seorang pelacur ataupun bos dari para
pekerja seks komersil (PSK). Dalam realita kehidupan, tidak sedikit ditemui lingkungan sosial
tumbuh kembang anak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Salah satu contoh
dalam realitanya adalah, ketika anak dibesarkan di lingkungan yang sebagian besar
masyarakatnya merupakan suku jawa, maka ia akan tumbuh dan berkembang dengan keluguan,
kealusan dan keluwesan dalam tingkah laku dan pola pikirnya. Selain itu, jika anak tumbuh dan
berkembang di lingkungan masyarakat Madura, maka cara bicara yang sedikit kasar dan nada
yang meninggi akan menjadi kebiasaan dalam dirinya. Begitu pula dalam cerpen ini, kondisi
sosial dalam keluarganya sendiri merupakan keluarga yang hidup dan bermata pencaharian di
lingkungan prostitusi. Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa tokoh “Aku: yang merupakan
gadis yang sedang tumbuh dewasa, akan menjadi seseorang yang tidak jauh berbeda dri kedua
orang tuanya.

Dalam cerpen ini diceritakan bagaimana tokoh aku akan diajak oleh ayahnya untuk
bekerja di kantornya setelah ia tumbuh dewasa. Seperti dalam kutipan berikut.

"Besok-besok, kalau sudah besar, Bapak ajak kamu ke kantor. Nanti di sana kerja
enak, dapat uang banyak, dapat pacar ganteng," katanya. ….

"Banyak-banyaklah olahraga, minum susu, makan yang kenyang, dan tidur yang
cukup. Perawan cantik tidak akan berguna kalau tidak ada yang menonjol di badan!"
katanya. (paragraf 9)

Dari kutipan tersebut dapat dimaknai bahwa, ayahnya mendidiknya untuk dijadikan sebagai
pekerja seksual komersil. Dimana, sejak dari sekolah ia sudah dijanjikan untuk bekerja di
kantornya. Makna diksi kantor sendiri disini adalah tempat kerjanya. Bagaimana seorang ayah
menggunakan kata-kata yang terlalu hati-hati agar anaknya tidak tahu jika suatu saat ia akan
dijadikan sebagai anak buahnya , sebagai seorang PSK yang juga harus memanggilnya bos.
Selain itu, penggunaan kalimat “perawan cantik tidak akan berguna kalau tidak ada
tonjolan di badan” menjelaskan bahwa ia harus memiliki lekukan tubuh agar laku di kalangan
laki-laki hidung belang. Ini juga membuktikan bahwa memang tokoh aku dibesarkan dengan
tujuan sebagai pekerja seksual. Hal yang semacam ini memang lumrah terjadi dalam masyarakat
sosial. Sebagian besar orang tua akan mendidiknya sebagai seorang pelacur, jika latar belakang
orang tuanya sendiri sebagi seorang pelacur, ataupun yang terlibat di dalamnya. Meskipun dalam
beberapa kemungkinan, beberapa anak lebih memilih untuk tidak mengikuti jejak orang tuanya.
Sehingga, hal semacam ini menjadi budaya yang biasa terlebih bagi masyarakat metropolitan.
Unsur lain yang mendukung data ini adalah dari individu penulis cerpen ini, dimana penulis lahir
dan dibesarkan di kota Sidoarjo, yang tidak jauh dari kota Surabaya. Kota metropolitan yang
memiliki agen seks komersil terbesar di Indonesia.

Selain itu, terdapat kutipan yang menjadi penguatan bagaimana sebuah tradisi dapat
menjadi budaya. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

Bapak pantas mati sebab Ibu mati. Kalau Bapak mati, tidak ada lagi iblis dalam
hidupku. Setidaknya tinggal satu—begitu kata para tetanggaku—yaitu aku. Ya, akulah
yang iblis sejati, hasil pertumbuhan sempurna dari bibit dosa masa lalu, lebih buruk
dari sekadar iblis. (paragraf 11)

Dalam kalimat “setidaknya tinggal satu-…-yaitu aku”. Dimana pemilihan diksi ini menjelaskan,
bahwa ketika bapaknya mati, iblis yang berada di lingkungan tempat tinggalnya masih tersisa
satu, yaitu tokoh aku. Dalam hal ini, tokoh aku dapat menjadi seorang pekerja seksual, seorang
pendosa yang mewarisi kebiasaan pendosa ibunya, dan kebiasaan iblis ayahnya. Seperti dalam
realitanya, tidak sedikit anak yang tinggal dilingkungan yang berlatar belakang pekerja seks
komersil, kedepannya akan menjadi hal yang sama seperti orang tuanya. Ini sudah menjadi
budaya di lingkungan yang memang banyak anggota masyarakatnya bekerja sebagai bagian dari
agen seks komersil.

Kajian kontekstual tidak hanya berhenti untuk menjelaskan bagaimana karya sastra
diciptakan dengan latar belakang budaya dan ideologi. Pemilihan diksi yang digunakan oleh
penulis karya strata juga dapat melukiskan bagaimana realita yang terjadi dalam kacamata karya
yang dibuat. Pemilihan diksi akan mnecerminkan bagaimana status sosial tokoh-tokoh yang
terdapat di dalam cerpen.

Cerpen ini menceritakan tokoh aku yang dibesarkan oleh ayahnya. Ia tidak tahu dimana
ibunya berada. Ia juga tidak tahu pasti bagaimana pekerjaan ayahnya. Ia hanya tahu bahwa
teman-temannya tidak mau berteman dengannya lantara ia adalah anak yang berasalh dari cinta
dua pendosa. Namun, dalam percakapan cerpen Bibit Dosa ini, dapat dianalisis beberapa
kemungkinan bagaimana strata sosial tokoh aku. Dilihat dari kutipan berikut.

"Kata siapa pendosa? Kamu milik Bapak yang cantik dan lucu. Kalau sudah besar,
banyak bujangan tergila-gila sama kamu!" kata Bapak. (paragraf 8)

Dari kutipan tersebut, memang bapak seperti sangat menyayangi anaknya kayaknya
bapak lain kepada anaknya pada umunya. Namun, pada akhir kalimat penulis menggunakan
frasa “banyak bujangan yang tergila-gila sama kamu” menunjukkan bahwa perkataan bapak
tidak seperti orang berpendidikan ketiak mendidik dan menasehati anaknya. Penggunaan diksi
tergila-gila hanya memberikan pengajaran bahwa ia hidup hanya untuk membuat bujangan yang
melihatnya tertarik kepadanya. Hal ini ditujukan agar suatu saat ketika tokoh aku menjadi
seorang PSK, ia bukan menjadi seorang PSK yang tidak laku, melainkan pekerja PSK yang
banyak pelanggannya.

Penggunaan diksi dalam percakapan bapak itu menunjukkan bahwa bapak hanyalah
seorang laki-laki yang memiliki tingkar perekonomian di bawah rata-rata. Ia seperti orang yang
tidak berpendidikan, dan hanya akan mendidik anaknya untuk menjadi seorang yang dia mau.

Dalam kutipan lain juga dapat dianalisis bagaimana kedudukan strata bapak dari tokoh aku.

"Bisa saja. Nanti Bapak buktikan. Sekarang turuti mamamu. Walaupun gepeng, kamu
cantik, Nak."

"Aku gak mau!"

"Kalau gak mau, biar Bapak buktikan. Kamu juga bisa menjadi malaikat seperti
mamamu, tidak harus membuat badanmu sedikit lebih gemuk!" (paragraf 10)

Dalam kutipan tersebut, sudah jelas bahwa bapak dari tokoh aku hanya memiliki nafsu untuk
menjadikan anaknya sebagai pekerja seksual seperti ibunya dulu. Meskipun tokoh aku memiliki
badan gepeng, tapi bapaknya tetap mengatakan bahwa ia mampu bekerja di kantor ayahnya.
Bahkan, bapaknya sendiri melakukan pelecehan seksual kepadanya lantaran ia tidak sabar
menunggu anaknya dewasa. Hal yang semacam ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
tidak memiliki nurani, yang dipikirannya hanya terdapat nafsu belaka. Sehingga, ia mempu
melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan dalam keadaan sadar. Dari kutipan ini dapat
dijelaskan bahwa memang bapak dari tokoh aku hanya orang yang memiliki Pendidikan rendah.
Terlebih hal ini diperjelas bahwa tokoh aku hanya sekolah sampai pada tingkat SMP.
Selain itu, strata sosial tokoh aku juga dapat dilihat dari penyebutan orang tua laki-laki
dengan sebutan Bapak. Pemilihan diksi bapak dapat menunjukkan bahwa tokoh aku bukanlah
dari masyarakat yang berada dalam kondisi ekonomi di atas rata-rata. Ia hanya seorang
masyarakat biasa dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Meskipun penggunaan kata bapak
dapat dibilang jauh lebih menghormati, namun jika dipadukan dengan keseluruhan isi cerita,
dapat dikatakan bahwa tokoh aku bukanlah orang yang kaya. Ia hanya seorang gadis biasa, yang
tidak memiliki teman, kekurangan kasih saying dari kedua orang tuanya, dan memilik orang tua
yang tidak berpendidikan tinggi.

SIMPULAN

Cerpen ini tidak banyak menggunakan bahasa kiasan ataupun majas-majas yang
membuat sulit pembaca untuk memahami isi cerpen. Bahasa yang digunakan pengarang dalam
menulis cerpen ini banyak menggunakan bahasa sehari-hari dan menjadi ciri khas dari cerpen
ini. Selain itu, hal lain yang sedikit mempersulit pembaca untuk memaknai isi cerpen ini adalah
percakapan yang hanya berisi apa yang diingat tokoh aku pada masa lalu. Jadi, untuk
membedakan percakapan yang terjadi dan percakapan yang ada di pikiran tokoh sedikit lebih
sulit. Namun, dari sinilah pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dapat tersampaikan.
Namun, secara keseluruhan, bahasa, alur dan cerita yang diangkat berkaitan erat dengan konteks
yang terjadi di dalam masyarakat.

Daftar Rujukan

Hanggara, Ken. 2018. Bibit Dosa. http://www.takanta.id/2018/07/cerpen-bibit-dosa-karya-ken-


hanggara.html. Di akses pada 1 april 2019

Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Endraswara, Suwardi. 2013. Prinsip, Falsafah dan Penerapan Teori KRITIK SASTRA.
Yogjakarta: CAPS.

Anda mungkin juga menyukai