Anda di halaman 1dari 4

Nama : Alifa Wilandra Putri

NPM : 6121057
Kelas :B
Prodi : Sarjana Kebidanan Tk.2
Matkul : Asuhan Kebidanan

KLIMAKTERIUM
Klimakterium adalah sebuah fase yang terjadi karena kondisi dan fungsi rahim wanita telah
mengalami penurunan dan bahkan sudah tidak berfungsi kembal. Fase ini biasanya terjadi ketika
seorang wanita telah mengalami menopause atau berhenti dari menstruasinya secara rutin setiap
bulan. Dalam fase ini, rahim wanita sudah tidak mengeluarkan sel telur dari ovarium sehingga mereka
tidak bisa mengalami kehamilan.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa klimakterium adalah masa peralihan antara masa
reproduksi dan masa senium. Jadi, fase alamiah ini yang akan terjadi kepada setiap wanita.
Klimakterium tentunya tidak bisa dihindari dan akan tetap terjadi.
Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa klimakterium sama dengan menopause.
Padahal, 2 istilah tersebut merupakan suatu hal yang berbeda. Menopause merupakan sebuah fase
yang menjadi bagian dari klimakterium. Jadi, ketika wanita mengalami menopause, secara otomatis,
mereka telah mengalami fase dari klimakterium yang mana rahim tidak akan bisa berfungsi kembali.
Fase dari klimakterium terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Pra menopause yang terjadi sebelum menstruasi benar-benar berhenti,
2. Menopause berakhirnya siklus menstruasi secara alami yang biasanya terjadi saat wanita
memasuki usia 45–55 tahun. Seorang wanita bisa dikatakan sudah menopause bila tidak
lagi mengalami menstruasi selama 12 bulan berturut-turut.
3. pascamenopause yang mana wanita akan mengalami beberapa hal setelah menstruasi
berhenti secara permanen. Pada masa tersebut keadaan reproduksi wanita akan sangat
berbeda ketika rahim masih menjalankan fungsinya dengan baik.
GEJALA - GEJALA MEMASUKI FASE KLIMAKTERIUM
1. Menstruasi Tidak Teratur
Saat usia sudah berada di atas 45 tahun, pada umumnya wanita sudah mengalami
masalah tidak teraturnya menstruasi. Hal ini sangat wajar karena pada usia tersebut wanita
sudah memasuki fase premenopause yang mana hal tersebut adalah bagian dari tanda-tanda
terjadinya klimakterium atau berkurangnya fungsi normal rahim.

2. Mengalami Gangguan Tidur


Gangguan tidur dan seluruh tubuh sering terasa panas juga merupakan salah satu
gejala dari klimakterium. Pada saat itu produksi hormon estrogen sudah berkurang dan
ovulasi di dalam rahim juga berkurang.

3. Mengalami Bad Mood


Saat usia menjelang menopause, emosi wanita cenderung tidak stabil. Mereka akan
mudah tersinggung dan marah karena sebab yang sepele. Oleh sebab itu, dalam fase ini
wanita harus mendapatkan perhatian yang lebih khususnya pada kondisi psikologis mereka.

4. Rendah Gairah Seksual


Saat masa klimakterium ini, gairah seksual wanita akan menurun sehingga mereka
akan cenderung malas untuk melakukan hubungan seks dengan pasangan. Ini disebabkan
karena hormon progesteron yang memicu gairah seksual mereka hanya diproduksi sedikit
saja. Jika wanita mengalami penurunan gairah seks ini, sebaiknya pasangan harus
mendukung, menghibur, dan jangan memaksa mereka untuk melakukan hubungan intim
karena dikhawatirkan mereka akan merasa tertekan.

GEJALA KLIMAKTERIUM
1. Perdarahan
Gejala yang paling umum pada wanita perimenopause adalah perubahan dari pola haid. Lebih dari
90% wanita perimenopause akan mengalami perubahan dalam siklus haid. Siklus yang memendek
antara 2-7 hari sangatlah khas (Shifren, 2007). Perdarahan yang tidak teratur dapat terjadi karena tidak
ada kuatnya fase luteal atau sesudah lonjakan estradiol yang tidak diikuti ovulasi dan pembentukan
korpus luteum.
Masa luteal atau sesudah lonjakan estradiol yang diikuti dengan ovulasi dan pembentukan Siklus
haid yang best adalah melalui empat fase, yang pertama yaitu fase menstruasi di reproduksi dengan
ditandai luruhnya sel ovum matang yang tidak dibuahi, yang terjadi secara bersamaan dengan dinding
endomentrium yang robek, yang mana dalam hal ini juga dapat diakibatkan karena berhentinya
sekresi hormon estrogen dan progesteron, sehingga ditandai dengan menurunnya kadar hormon
progesteron dalam tubuh, sehingga dapat memacu kelenjar hipofisi untuk mensekresikan FSH dan
juga merangsang folikel dalam menjadi folikel de Graaf yang masak dan menghasilkan hormon
estrogen yang dapat sekresi FSH, tetapi di sisi lain juga dapat memperbaiki dinding endometrium
yang telah Ketiga, fase ovulasi atau fase luteal yang mana ditandai dengan sekreasi LH yang memacu
matangnya sel ovum pada hari ke-14 sesudah menstruasi pertama. luletum yang menghasilkan
hormon progesteron untuk mempertebal dinding endometrium Keempat, dalam siklus haid yang best
fase pascaovulasi atau disebut juga fase sekresi ditandai dengan corpus luteum yang mengecil dan
hormon estrogen dan progesteron, sehingga yang terjadi kemudian adalah hipofisis aktif Secara tidak
langsung dengan terhentinya sekresi progesteron, hal ini akan menjadi sebab endometrium mengering
dan berpotensi robek, dan pada saat itu mulai terjadi fase pendarahan atau fase haid.
2. Vasomotor
Keluhan vasomotor ditandai dengan adanya gejala gejolak panas yang dapat disertai dengan
banyak berkeringat di malam hari, iritabilita, gangguan kualitas tidur. Gejala vasomotor
mempengaruhi sampai 75% wanita perimenopause. Gejala dapat terjadi untuk 1 sampai 2 tahun
setelah menopause pada sebagian besar wanita, namun dapat terus sampai 10 tahun atau lebih wanita
lainnya.
Hot flashes adalah alasan utama mengapa perempuan mencari perawatan saat menopause dan
permintaan akan pengobatan terapi hormonal. Banyak wanita yang melaporkan kesulitan
berkonsentrasi dan terjadinya ketidakstabilan emosional selama masa transisi menopause. Insiden
penyakit tiroid meningkat seiring dengan pertmbahan usia wanita, sehingga pemeriksaan fungsi tiroid
harus dilakukan jika dijumpai gejala vasomotor yang khas atau resisten terhadap terapi yang diberikan
(Shifren, 2007).
Keluhan vasomotor dimulai sejak masa klimakterium sampai masa pascamenopause. Dengan
menurunnya kadar estrogen, sangat berpengaruh pada sistem parasimpatik, sehingga kekurangan
estrogen itu menjadi sebab bagi munculnya reaksi vasomotorik berupa gejolak panas, banyak
mengeluarkan keringat, merasa pusing atau nyeri pada bagian kepala, jantung berdebar-debar lebih
kencang, dan sering mengalami insomnia.
3. Atrofi urogenital
Produksi estrogen yang sangat rendah pada usia menopause akhir, atau bertahun-tahun setelah
ovarektomi, atrofi permukaan mukosa vagina akan terjadi, yang disertai dengan vaginitis, pruritus,
dispareunia, dan stenosis. Atrofi genitourinari menyebabkan berbagai gejala yang mempengaruhi
kualitas hidup. Uretritis dengan disuria, inkontinensia urgensi, dan frekuensi urinarius adalah hasil
lebih lanjut dari penipisan mukosa, dalam hal ini, dari uretra dan kandung kemih (Baziad, 2002).
Sistem genital, uretra, dan trigonum vesikalis adalah organ yang bersifat estrogen dependen
dan secara gradual mengalami atrofi pascamenopause. Kehilangan maupun penurunan kadar estrogen
secara tidak langsung dapat menyebabkan vagina mengalami kehilangan kolagen, jaringan adipose,
dan kemampuan untuk menahan air, sehingga yang terjadi adalah dinding vagina menyusut, rugae
akan merata dan bisa jadi menghilang. Hal-hal demikian dapat menyebabkan permukaan vagina
menjadi lebih rentan terhadap perdarahan dengan trauma minimal. pH menjadi lebih alkali yang
rentan terhadap infeksi oleh patogen urogenital dan fekal.
4. Efek Psikologis
Kestabilan emosi selama masa perimenopause dapat terganggu oleh pola tidur yang buruk.
Hot flushes tidak memiliki dampak yang merugikan pada kualitas tidur. Terapi estrogen
meningkatkan kualitas tidur, mengurangi waktu onset tidur dan meningkatkan waktu tidur rapid eye
movement ( REM) (Nirmala, 2003).
Gangguan mood sering terjadi pada wanita menopause. Dalam penelitian SWAN Amerika,
prevalensi perubahan mood meningkat dari premenopause ke perimenopause awal, dari sekitar 10 %
menjadi sekitar 16,5 %, Ada tiga kemungkinan: penurunan estrogen saat menopause mempengaruhi
neurotransmitter yang mengatur mood, mood dipengaruhi oleh gejala vasomotor mood dipengaruhi
oleh perubahan hidup yang umumnya lazim disekitar masa menopause (Browell, 2011).
5. Gangguan fungsi seksual
Banyak wanita menopause menderita disfungsi seksual, meskipun frekuensi dan etiologi
pastinya belum diketahui. Disfungsi seksual meliputi ketidakgairahan dalam berhubungan seks.
Etiologi disfungsi seksual disebabkan oleh banyak faktor, antara lain masalah psikologis seperti
depresi atau gangguan kecemasan, konflik hubungan, masalah yang berkaitan dengan penyimpangan
seksual, penggunaan narkoba atau masalah fisik yang membuat aktivitas seksual menjadi tidak
nyaman, seperti endometriosis atau atrophic vaginitis. Disfungsi seksual lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pria, sehingga wanita memiliki potensi kualitas hidup negatif yang jauh lebih
besar.
Latihan khusus sering dilakukan di bawah bimbingan terapi seks, yang membantu banyak
wanita dan pasangan dengan gangguan seksual. Terapi androgen mungkin berperan dalam mengobati
disfungsi seksual pada wanita menopause dengan kadar androgen rendah dan tidak ada penyebab
masalah seksual lain yang dapat diidentifikasi.
6. Gejala somatic
Beberapa gejala somatik yang dapat menimpa perempuan selama masa perimenopause adalah
sakit kepala, pusing, palpitas, serta payudara yang membesar dan cenderung terasa nyeri. Dalam
banyak kasus, gejala-gejala tersebut adalah hal yang nyata dan tidak mengancam kehidupan
perempuan. Secara umum, gejala somatik juga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari perempuan
klimakterik, meskipun hal tersebut tidak begitu membahayakan, hal ini tentu saja akan sangat
memengaruhi kualitas hidup dari perempuan itu sendiri.
7. Osteoporosis
Berdasarkan data Puslitbang Gizi Depkes tahun 2006, 2 dari 5 orang perempuan di Indonesia
memiliki risiko osteoporosis dan pada usia lebih dari 55 tahun akan mengalami peningkatan 2 kali
lebih besar dibandingkan laki-laki.
Osteoporosis ditandai dengan rendahnya massa tulang dan kerusakan mikroarsitektur jaringan
tulang, yang meningkatkan kerapuhan tulang dan risiko patah tulang, bahkan dengan sedikit atau
tanpa trauma. Ketika kadar estrogen menurun, remodeling tulang meningkat. Setiap unit remodeling
dimulai oleh pelepasan osteoklas diikuti oleh pengisian osteoblast. Estrogen memberikan sebuah
penekanan tonik terhadap perbaikan dan memelihara keseimbangan antara aktivitas osteoklastik dan
osteoblastik, dengan tidak adanya estrogen, aktivitas osteoklastik mendominasi, yang berakibat pada
resorbsi tulang (Sperrof, 2005).
Kebanyakan penderita osteoporosis adalah mereka yang kurang melakukanolahraga. Semakin
sering perempuan menopause melakukan aktivitas olahraga, makaakan terhindar dari risiko terjadinya
osteoporosis.

8. Kelainan kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab kematian pada kebanyakan
perempuan, terhitung sekitar 45% dari angka normalitas. Faktor utama dari risiko terjadinya kelainan
kardiovaskular adalah faktor usia, riwayat keluarga, merokok, obesitas, gaya hidup, diabetes,
hipertensi, dan hiperkolestromia. Pada wanita menopause, HDL kolesterol adalah salah satu indikator
ternjadinya penyakit jantung koroner, di mana untuk setiap peningkatan 10 mg/dL risiko akan
menurun hingga 50%. Trigliserida juga merupakan faktor risiko penting untuk penyakit jantung
koroner, di mana terjadi peningkatan penyakit jantung jika kadar trigliserida meningkat dan kadar
HDL rendah. Banyak bukti yang mengatakan bahwa pengaruh kardioprotektif dari terapi estrogen
adalah pada kadar lipid serum (Baziad, 2002).

Sumber :
Mulyani, Sundraningsih., dan Paramita, Dyah Pradnya. 2018. Klimakterium : Masalah &
Penanganannya Dalam Perspektif Kebidanan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Alimul. 2014. Metode Penelitian Kebidanan Dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba
Medika.
Kinanti, S.2009. Rahasia Pintar Wanita. Jogjakarta : Aulia publishing.
Nugroho, T. 2010. Kesehatan Wanita, Gender Dan Permasalahannya. Yogyakarta : Nuha
Medika.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai