Abstrak
Penelitian ini bertujuan menunjukkan pengalaman bersekolah siswa miskin di sekolah alternatif. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode kualitatif berdasar data lapangan. Penelitian dilakukan di sebuah sekolah alternatif
setingkat SMP, yaitu MTs PAKIS, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Partisipan penelitian berjumlah 10 orang,
terdiri atas siswa, orang tua, dan pengelola sekolah. Pengumpulan data dilakukan saat pandemi Covid-19 sedang
mencapai puncaknya. Oleh karena itu, wawancara dilakukan secara daring melalui Google-Meet dan dilanjutkan
secara langsung ke lapangan dengan menerapkan protokol kesehatan. Data dianalisis melalui tahap sajian data
berupa restatement kutipan hasil wawancara, diinterpretasikan, lalu ditarik kesimpulan sementara. Proses ini ber-
sifat ongoing sampai didapatkan kesimpulan akhir. Hasil penelitian menunjukkan, pengabaian hak atas pendidikan
mewujud dalam berbagai problem kompleks yang muncul di masyarakat yang telah dicoba atasi dengan men-
dirikan sekolah berbasis agroforestry tidak berbayar setingkat SMP. Keberadaan sekolah ini memungkinkan anak-
anak miskin dapat mengakses pendidikan tanpa tercerabut dari lingkungannya serta memberi mereka pengalaman
bersekolah. Pengalaman itu menumbuhkan semangat dan motivasi belajar tanpa kehilangan keceriaan dan kegem-
biraan sebagai anak-anak. Hal itu juga menumbuhkan rasa percaya diri, berani bercita-cita dan membayangkan
masa depan yang lebih baik yang merupakan modal awal untuk keluar dari kemiskinan. Temuan penelitian ini
dapat mengisi celah kekosongan dalam kajian sosiologi pendidikan khususnya mengenai praktik pendidikan alter-
natif sebagai bagian dari pendidikan berparadigma kritis, terutama yang bersumber dari gagasan Paulo Freire ten-
tang pendidikan hadap masalah. Model pendidikan ini bersifat emansipatoris yang menjadikan siswa sebagai
subjek belajar, tidak sekadar sebagai objek sebagaimana dalam model pendidikan konvensional yang oleh Freire
disebut sebagai pendidikan “gaya bank”.
Kata Kunci: akses pendidikan; hak pendidikan; pengalaman bersekolah; siswa miskin.
Abstract
This study aimed to show the school experience of poor students in alternative schools. The research method used
is a qualitative method based on field data. The research was conducted at an alternative junior high school,
namely MTs PAKIS, Banyumas Regency, Central Java. There were 10 research participants, consisting of
students, parents, and school administrators. Data collection was carried out when the Covid-19 pandemic was
at its peak. Therefore, interviews were conducted online via Google-Meet and continued directly to the field by
implementing health protocols. The data were analyzed through the data presentation stage in the form of a
restatement of excerpts from interviews, interpreted, then drawn temporary conclusions. This process is ongoing
until a final conclusion is reached.The results of the research show that the neglect of the right to education
manifests itself in various complex problems that arise in the community which have been tried to overcome by
establishing an unpaid agroforestry-based junior high school. The existence of this school allows poor children
to access education without being deprived of their environment and gives them the experience of going to school.
This experience fosters enthusiasm and motivation to learn without losing the joy and excitement of being a child.
It also grows self-confidence, dare to aspire and imagine a better future which is the initial capital to get out of
poverty. The findings of this study can fill in gaps in the study of sociology of educational, mainly regarding
alternative educational practices as part of a critical paradigm education, especially those originating from Paulo
Freire's ideas about problem-facing education. This educational model is emancipatory in nature which makes
students the subject of learning, not just as objects as in the conventional educational model which Freire calls
"bank style" education.
38 | H e r m e n e u t i k a
Anak Miskin Boleh Sekolah
Mintarti1, Tri Rini Widyastuti2, dan Ignatius Suksmadi 3
juta anak tidak punya akses ke pendidikan. pinggirkan. Dalam struktur sosial politik
Disebutkan pula, di banyak negara, kesen- komunitas yang menjadi bagian dari mas-
jangan, segregasi, dan diskriminasi masih yarakat marginal ini selalu dalam posisi ter-
banyak terjadi dan hal itu diperburuk oleh tindas. Paulo Freire (1921-1997), teoritisi
situasi pandemi Covid-19 (dikutip dari dan praktisi pendidikan dari Brazilia me-
https://www.dw.com, 2020, 23 Juni; (Fir- nyatakan bahwa di dunia ini terdapat tidak-
daus, Sulfasyah, and Nur 2019). adilan yang dialami oleh sebagian besar
Secara konseptual kemiskinan didefi- manusia, dan bagian terbesar itu adalah
nisikan secara sangat luas dan multidi- mereka yang lapar dan buta huruf. Mereka
mensi. Mengutip dari berbagai sumber, ditindas oleh minoritas yang menikmati
(Afriyenis, Rahma, and Aldi 2018) menye- jerih payah orang lain secara tidak adil
butkan bahwa kemiskinan dapat dilihat se- (Neuman and Guterman 2020); (Rohinah
cara luas dengan memasukkan aspek moral 2019); (Datunsolang 2017).
dan sosial, namun juga dipandang secara Bagi Freire, pembebasan dari be-
sempit dengan hanya melihatnya dari di- lenggu ketertindasan itu dapat dilakukan me-
mensi ekonomi yang meliputi pendapatan lalui pendidikan. Untuk itulah Freire mena-
serta pemenuhan kebutuhan fisik. Merujuk warkan konsep pendidikan humanistik yang
pada pengertian tersebut, definisi penduduk membebaskan. Dalam pikirannya, pendidik-
miskin yang dikemukakan oleh BPS an semacam itu setidaknya memiliki tiga ka-
(dikutip dari https://www.bps.go.id, 2021, rakteristik yaitu memberdayakan masyara-
15 April) disandarkan pada dimensi eko- kat yang tertindas, menjadi pendamping dan
nomi, yaitu penduduk miskin adalah pendu- pengawal segala dinamika kehidupan, dan
duk yang memiliki rata-rata pengeluaran bersifat emansipatoris (Syaikhudin 2012);
per kapita per bulan di bawah garis kemis- (Sesfao 2020); (Zaenal and Muhammad
kinan. Secara nasional garis kemiskinan Taufik 2018). Melalui kritiknya terhadap
rata-rata adalah sebesar Rp 1.990.170 per model pendidikan tradisional yang disebut-
rumah tangga per bulan. Artinya, apabila nya sebagai pendidikan “gaya bank”, Freire
ada satu rumah tangga yang memiliki pen- menawarkan pendidikan hadap-masalah.
dapatan di bawah itu, maka masuk ke dalam Jika pada pendidikan “gaya bank” peran
kategori miskin (dikutip dari https://www. guru sebagai pemasok pengetahuan sangat
liputan6.com, 2019, 15 Juli). BPS (2020) sentral, dalam model hadap-masalah lebih
menyebutkan bahwa jumlah penduduk mis- diutamakan dialog yang di dalamnya baik
kin pada Maret 2020 ada sebesar 26,42 juta murid maupun guru dapat belajar dan saling
orang (9,78 persen). Data tersebut meng- memberi pengetahuan (Durakoglu, Bicer,
gambarkan masih cukup besarnya kelom- and Zabun 2013). Pendidikan ala Freire ini
pok masyarakat yang sulit menjangkau ke- memberi kebebasan kepada murid untuk
butuhan akan pendidikan. Pengabaian hak belajar dan memperoleh pengetahuan (Putra
pendidikan dalam tulisan ini diletakkan et al. 2020).
dalam konteks ekonomi tersebut, dengan Teori Freire mengenai pendidikan
alasan bahwa melalui dimensi ekonomi ka- hadap-masalah tersebut mendorong mun-
tegorisasi kelompok masyarakat miskin culnya model-model pendidikan alternatif
menjadi lebih terukur dan mudah dilihat. yang diselenggarakan oleh berbagai kelom-
Di berbagai masyarakat, kelompok pok masyarakat. Tidak jarang praktik pen-
miskin selalu menjadi komunitas yang ter- didikan semacam itu juga memperoleh
H e r m e n e u t i k a | 39
Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika Volume 5, Nomor 1, Mei 2019
dukungan dari pemerintah. Dalam praktik- lui Angka Melek Huruf (AMH) pendidikan
nya, berbagai model pendidikan alternatif itu pun berpengaruh positif terhadap mening-
tidak secara spesifik ditujukan kepada ke- katnya Produk Domestik Bruto Regional
lompok marginal saja. Kelompok masyara- (PRDBR) (Arifin 2019). Selain itu, pendi-
kat dari lapisan sosial yang lebih tinggi bah- dikan dapat pula meningkatkan mobilitas
kan elite juga ada yang mengadopsinya. sosial vertikal (Arifin 2017). Kelompok
Beberapa contoh yang dapat disebut misal- kedua yakni studi yang menunjukkan
nya Demonstration Plotting (Demplot) bahwa akses pendidikan dapat dinikmati
usaha ekonomi produktif dan pendidikan ke- oleh semua kelompok masyarakat, terma-
setaraan bagi anak putus sekolah (Sukardi, suk kelompok masyarakat miskin. Ini diper-
Wildan, and Sukri 2020), rumah singgah lihatkan oleh sejumlah hasil kajian seperti
bagi anak jalanan (Sandora 2020). Selain itu, yang dilakukan oleh (Tri Joko Raharjo, Tri
terdapat juga berbagai model pendidikan Suminar 2016); (Mulyono 2017); (Liliek
alternatif yang pembelajarannya berbasis Desmawati, Achmad Rifai RC 2015) serta
pada alam (Hamadani 2019); (Karmila and (Sucipto and Sutarto 2015). Mereka menya-
Suchyadi 2020); (Nurvitasari, Azizah, and takan bahwa akses pendidikan bagi kelom-
Sunarno 2018); (Sadiyah, Shofawi, and pok masyarakat miskin biasanya adalah
Fatmawati 2019). Ada pula sekolah di rumah jenis-jenis pendidikan nonformal yang pada
atau home-schooling (Heryani 2017); umumnya tidak berbiaya alias gratis. Meski
(Carlson 2020); (Neuman and Guterman dengan berbagai konsekuensi seperti men-
2020) (Neuman and Guterman 2020). Ga- jadi objek kekerasan simbolik, siswa miskin
gasan Freire sebagaimana para ahli lain yang juga dapat mengakses pendidikan formal
kritis terhadap pendidikan pun memicu bahkan di sekolah yang dianggap favorit
upaya-upaya memadukan kurikulum yang (Martono 2019). Dari dua kecenderungan
berlaku di sekolah tradisional dengan seko- studi tersebut, tidak banyak kajian yang me-
lah alternatif, serta menerapkan praktik- ngangkat isu tentang upaya-upaya solutif
praktik pendidikan yang memanusiakan atas pengabaian hak atas akses pendidikan
(Hsieh, Tseng, and Chen 2021); (Kristin bagi siswa miskin tersebut. Pengalaman
Reimer 2021). siswa miskin bersekolah melalui upaya-
Studi tentang akses pendidikan telah upaya solutif itu, dengan demikian juga
cukup banyak dilakukan. Jika dipetakan, se- tidak banyak muncul ke permukaan.
tidaknya berbagai studi tersebut memperli- Tulisan ini bertujuan untuk meleng-
hatkan dua kecenderungan. Pertama adalah kapi kekurangan dari studi-studi yang telah
studi yang menekankan bahwa pendidikan ada tersebut, dengan menunjukkan penga-
merupakan hal yang perlu dan penting laman siswa miskin bersekolah di sekolah
untuk diakses sebab banyak manfaat yang alternatif yang merupakan upaya solutif
diperoleh darinya. Pada kelompok ini bagi terabaikannya hak atas pendidikan
misalnya kajian yang dilakukan oleh (Didu bagi mereka. Untuk itu, ada dua pertanyaan
and Fauzi 2016) dan (Karini 2018) yang yang dapat dirumuskan, yaitu: (1) bagai-
menyebutkan bahwa melalui peningkatan mana wujud dari pengabaian hak atas pen-
human capital, pendidikan dapat mengen- didikan bagi siswa miskin? (2) bagaimana
taskan kemiskinan. Pendidikan juga dikata- situasi yang mengabaikan hak atas pen-
kan memiliki hubungan langsung dan posi- didikan bagi siswa miskin tersebut dapat
tif dengan kemiskinan (Seran 2017). Mela- diperbaiki?
40 | H e r m e n e u t i k a
Anak Miskin Boleh Sekolah
Mintarti1, Tri Rini Widyastuti2, dan Ignatius Suksmadi 3
Dasar argumen tulisan ini adalah penelitian, yakni yang menyangkut alasan
bahwa pengabaian hak atas pendidikan bagi memilih MTs PAKIS sebagai tempat ber-
siswa miskin dilakukan secara terstruktur sekolah, kegiatan sehari-hari siswa baik di
melalui kebijakan-kebijakan yang tidak sekolah maupun di rumah, dan harapan ke-
berpihak kepada mereka (Firman 2017). pada sekolah serta cita-cita untuk masa
Meskipun kemudian lahir kebijakan yang depan mereka. Selain itu, data lain yang
membuka akses bagi mereka ke dalam pen- digali adalah berbagai hal tentang madrasah
didikan, posisi siswa miskin selalu menjadi berbasis agroforestry ini. Dengan demi-
objek dan karenanya membuat mereka ber- kian, data itu mencakup motivasi berseko-
ada dalam situasi tersubordinasi. Adanya lah siswa, motivasi orang tua menyekolah-
upaya solutif yang dilakukan oleh beberapa kan anak dan perannya untuk mendukung
pihak yang mempunyai perhatian terhadap sukses anak bersekolah, harapan terhadap
pendidikan masih kurang digaungkan. Aki- hasil bersekolah, dan informasi tentang
batnya, lembaga-lembaga pendidikan alter- kelembagaan sekolah.
natif bagi siswa miskin yang diinisiasi oleh Partisipan dalam penelitian ini adalah
pihak-pihak tersebut hampir selalu teng- para siswa MTs PAKIS yang berjumlah 10
gelam dari pemberitaan media dan kurang anak dan orang tua mereka (ayah, ibu, atau
mendapat apresiasi publik. Dengan demi- walinya). Siswa tersebut saat penelitian ini
kian, pengalaman-pengalaman siswa miskin dilakukan (Mei-Juni 2020) duduk di kelas
yang bersekolah di lembaga-lembaga terse- VIII dan IX, terdiri atas enam laki-laki dan
but pun hampir tidak pernah terdengar, pada- empat perempuan. Saat itu belum mema-
hal banyak hal yang dapat dipelajari dari suki tahun ajaran baru sehingga belum ada
aktivitas di lembaga pendidikan alternatif itu siswa yang duduk di kelas VII. Siswa yang
yang berbeda dari praktik pendidikan di menjadi partisipan telah mengalami proses
sekolah konvensional (Nasucha 2020); pembelajaran di MTs PAKIS sehingga
(Suciati and Syafiq 2021); (Fitri Indriani dapat menceritakan tentang pengalamannya
2018). Tiadanya suara dari siswa miskin ber- bersekolah. Pada saat yang sama, para
dampak pada minimnya kebijakan pendidik- orang tua/wali juga sudah memiliki penga-
an yang dapat mengakomodasi keinginan laman menyekolahkan anaknya di sekolah
dan kebutuhan mereka, serta kurangnya itu, sehingga dapat bercerita mengenai
apresiasi terhadap model-model pembelajar- kesan dan harapan-harapannya terhadap se-
an alternatif yang dapat diterapkan pada ke- kolah tempat anaknya menuntut ilmu. Yang
lompok siswa miskin. tidak kalah penting yaitu pengelola sekali-
gus fasilitator di sekolah tersebut. Tokoh ini
Metode Penelitian merupakan motor untuk tetap bergerak dan
Penelitian tentang akses pendidikan bagi beroperasinya sekolah sehingga dapat
siswa miskin ini merupakan penelitian kua- memberikan informasi tentang sekolah dan
litatif yang didasarkan pada data lapangan. eksistensi kelembagaannya.
Data diambil dari para informan yaitu siswa Pengumpulan data dilakukan dengan
yang bersekolah di MTs PAKIS Kabupaten pedoman wawancara sebagai dasar penyu-
Banyumas dan orang tuanya, ditambah sunan pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan
dengan pengelola sekolah tersebut. Fokus bersifat terbuka, dengan fokus pada empat
data yang diambil adalah data yang meme- hal. Pertama, motivasi bersekolah siswa.
nuhi kriteria yang relevan dengan topik Kedua, motivasi menyekolahkan anak dan
H e r m e n e u t i k a | 41
Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika Volume 5, Nomor 1, Mei 2019
peran orang tua dalam menunjang sukses sekolah sebagai akibat dari tiadanya biaya
pendidikan anak. Ketiga, harapan siswa dan adalah salah satu wujud nyata dari peng-
orang tua terhadap eksistensi sekolah. Ke- abaian hak atas pendidikan itu. Hal itu ter-
empat, seluk beluk MTs PAKIS sebagai se- cermin dari pernyataan para informan, baik
kolah bagi anak-anak tepian hutan. siswa maupun orang tua yang menyebutkan
Penelitian berlangsung saat pandemi tentang alasan mereka bersekolah dan
masih dalam masa puncak penularan. Oleh menyekolahkan anaknya di MTs PAKIS.
karena itu, wawancara dilakukan secara RS siswa kelas VIII dan BTP siswa
daring melalui google-meet dan dilanjutkan kelas IX, menyatakan bahwa alasan mereka
secara langsung ke lokasi penelitian dengan memilih bersekolah di MTs PAKIS ter-
menerapkan protokol kesehatan. Wawan- utama karena sekolah itu tidak memungut
cara dengan Google-Meet dilakukan kepada biaya alias gratis, sehingga tepat bagi me-
pengelola/fasilitator yang melibatkan se- reka yang tidak punya uang untuk mem-
luruh anggota tim peneliti. Pertanyaan ber- biayai sekolahnya. Senada dengan para
sifat terbuka dan pengelola/fasilitator men- siswa tersebut, orang tua juga mengatakan
ceritakan hal-hal yang ditanyakan secara bahwa masalah biaya adalah alasan utama
cukup rinci dan menyeluruh. Wawancara mereka memasukkan anaknya ke sekolah di
langsung di lapangan dilakukan dengan me- tepian hutan itu. Ungkapan Ibu D (40
ngambil tempat di MTs PAKIS. Siswa tahun), Ibu R (33 tahun), dan Bapak N (32
maupun orang tua/wali diundang hadir ke tahun) menunjukkan bahwa faktor sekolah
sekolah. Mereka menceritakan pengalam- yang menggratiskan biaya dan lokasi yang
annya terkait hal-hal yang relevan dengan dekat dengan tempat tinggal, menjadi per-
topik penelitian. Semua partisipan baik timbangan utama keputusan mereka me-
siswa, orang tua/wali, maupun pengelola/ nyekolahkan anaknya di MTs PAKIS.
fasilitator diwawancarai tanpa paksaan dan Suara dari siswa dan orang tua itu
sukarela. sejalan dengan penuturan pengelola sekolah
Data yang terkumpul diklasifikasikan yang menceritakan tentang latar belakang
sesuai dengan tema untuk menjawab masa- didirikannya sekolah setingkat SMP itu.
lah penelitian. Selanjutnya data dianalisis Berikut ini penuturannya:
melalui tahap sajian data berupa restate- “Sekolah ini menyasar atau merekrut anak-
ment yang mengacu pada kutipan-kutipan anak yang selama ini kalau tidak ada
hasil wawancara. Setelah melalui proses layanan (pendidikan) kemungkinan besar
interpretasi, kemudian ditarik kesimpulan tidak bisa sekolah atau tidak bisa
sementara. Proses ini bersifat ongoing sam- melanjutkan di sekolah formal. Meskipun
pai didapatkan kesimpulan akhir sebagai- jalan sudah enak, masih sangat mungkin
mana ditunjukkan oleh (Miles, Mathew B., anak-anak tidak melanjutkan setelah lulus
Michael A. Huberman 2014). SD”. (Is, pengelola sekolah, 33 tahun).
42 | H e r m e n e u t i k a
Anak Miskin Boleh Sekolah
Mintarti1, Tri Rini Widyastuti2, dan Ignatius Suksmadi 3
dapat melanjutkan sekolah. Akibat berikut- Sambirata. PAKIS yang menjadi nama se-
nya menjadi semakin kompleks seperti kolah ini merupakan singkatan dari Piety
diceritakan oleh informan Is berikut ini: (Kesalehan), Achievement (Prestasi), Know-
“Kesadaran tentang pendidikan itu, mereka ledge (Ilmu Pengetahuan), Integrity (Integ-
menjadikan nomer sekian. Belum begitu ritas), dan Sincerity (Ikhlas). Kata-kata yang
merasa penting terkait dengan pendidikan. terangkum dalam singkatan itu adalah nilai-
Di tahun ke tujuh (berdirinya sekolah) ini, nilai yang mendasari dan menjiwai gerak
awalnya sebelas anak. Alhamdulillah ini langkah sekolah ini. Singkatan itu lalu di-
lebih dari separo bertahan dan lulus. Tujuh ikuti dengan slogan atau jargon dalam
anak yang selesai, yang empat itu memilih bahasa lokal (bahasa Jawa Banyumasan)
bekerja. Anak laki-laki. Kalau yang meni- “Lakune Nyong Rika Padha” yang berarti
kah biasanya anak perempuan. Persoalan tindakan, tingkah laku atau langkah kita
pernikahan dini di sini masih kental”. bersama. Fasilitator di sekolah ini mem-
Pernikahan dini khususnya bagi anak- biasakan siswa mengucapkan yel-yel dengan
anak perempuan dan godaan untuk bekerja jargon tersebut. Ucapan “PAKIS, Lakune
bagi anak laki-laki, merupakan sekelumit Nyong Rika Padha” menjadi ucapan yang
permasalahan yang dihadapi oleh sekolah, biasa disuarakan pada saat ada acara atau
yang muncul sebagai akibat dari rendahnya pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk
kesadaran masyarakat akan pentingnya mengingatkan sekaligus menanamkan nilai-
pendidikan. nilai tersebut agar menjadi budaya sekolah.
Madrasah ini memiliki beberapa ke-
Sekilas tentang MTs PAKIS: Sekolah unikan yang membuatnya berbeda dari
bagi Anak Tepian Hutan sekolah pada umumnya. Meski menyan-
Madrasah Tsanawiyah (MTs) PAKIS meru- dang nama MTs, konsep sekolah ini tidak
pakan lembaga pendidikan dasar yang didi- sepenuhnya mengadopsi proses pembela-
rikan pada tahun 2013 di Desa Gununglurah jaran sekolah formal. Kurikulumnya meru-
tepatnya di dusun Pesawahan, Kecamatan juk pada madrasah tsanawiyah yang me-
Cilongok, Kabupaten Banyumas. Sekolah rupakan sekolah lanjutan pertama di bawah
ini didirikan oleh beberapa pihak sebagai pengelolaan Kementerian Agama. Secara
alternatif pendidikan bagi anak-anak tepian formal MTs PAKIS menginduk pada MTs
hutan yang kesulitan mengakses kebutuhan Ma’arif NU 2 yang terletak di Desa Panem-
bersekolah. Mata pencaharian penduduk bangan. Namun demikian, tidak seperti
yang rata-rata hanya sebagai petani hutan MTs induknya, MTs PAKIS menambahkan
membuat mereka tidak mampu membiayai praktik agroforestry (pertanian hutan) seba-
anak-anaknya untuk melanjutkan pendidik- gai pembelajaran life skill bagi para siswa.
an setelah tamat dari Sekolah Dasar (SD). Praktik itu antara lain mereka lakukan
Selain itu, jarak antara rumah penduduk di dengan cara membantu orang tua mengolah
area pegunungan dengan sekolah lanjutan lahan sambil belajar bertani dan mengenal
(SMP/MTs) yang terdekat juga cukup jauh jenis-jenis tanaman yang dapat ditanam di
sehingga membuat anak-anak itu seringkali kebun tepian hutan.
memilih untuk tidak melanjutkan sekolah. Perbedaan lainnya yaitu dalam proses
Mereka yang bersekolah di MTs ini berasal dan metode pembelajaran yang tidak di-
dari dua desa, yaitu Desa Gununglurah lakukan sebagaimana di sekolah formal. Se-
(khususnya dusun Pesawahan) dan Desa kolah ini dapat dikatakan sebagai “sekolah
H e r m e n e u t i k a | 43
Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika Volume 5, Nomor 1, Mei 2019
tanpa guru”. Para siswa di MTs PAKIS lebih dari rumah. Berikut ini pernyataan infor-
banyak belajar secara mandiri dengan bim- man yang selalu berjalan kaki ke sekolah:
bingan fasilitator atau relawan yang jumlah- “Saya berangkat jalan kaki, dari rumah
nya tidak pasti. Saat ini, fasilitator tetap yang jam 06.30, sampai sekolah jam 08.00.
membina sekolah itu adalah lelaki yang Mulai masuk sekolah jam 08.00”. (RS, HS,
biasa dipanggil Kang Is (38 tahun), seorang GD, TS, RW).
sarjana lulusan sebuah perguruan tinggi
Islam. Sementara para relawan biasanya ber- Berjalan kaki ke sekolah dilakukan
asal dari berbagai kampus, komunitas, atau anak-anak itu setelah mereka menyelesai-
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kan rutinitas pagi di rumah masing-masing.
ada di Purwokerto dan sekitarnya. Mereka Berbeda dengan anak-anak dari keluarga
datang pada momen atau kegiatan tertentu mampu yang bersekolah di perkotaan yang
yang diselenggarakan oleh kampus atau segala sesuatunya disiapkan dan difasilitasi
lembaganya. Jangka waktu kegiatan pun orang tua, anak-anak di desa tepian hutan
terbatas, tergantung dari desain atau rencana itu telah biasa mandiri dan membantu pe-
kegiatan yang mereka susun. Hal lain yang kerjaan orang tua. TS, siswa perempuan
membedakan yakni para siswa bersekolah kelas IX berusia 15 tahun menceritakan ke-
tanpa pakaian seragam. Mereka berpakaian giatan rutin pagi harinya sebagai berikut:
bebas namun tetap sopan. Jam pembelajaran “Biasanya saya bangun jam 04.00, pindah
di sekolah ini berlangsung dari pukul 07.30 ke kamar ibu terus tidur lagi. Saat adzan
sampai pukul 13.30. Keunikan lain yang Subuh saya bangun, sholat, lalu momong
membuat sekolah ini berbeda yaitu dalam adik (umur satu tahun) karena ibu masak.
hal pembayaran biaya sekolah. Pada dasar- Setelah itu mandi dan berangkat ke sekolah.
nya, siswa di sekolah ini tidak dipungut Saya lebih sering tidak sarapan. Saya
biaya. Orang tua hanya diminta membayar berangkat sekolah jam 06.30, gasik karena
dengan hasil bumi di awal tahun pelajaran, sampai sekolah saya nyapu sekolah dulu,
Melalui cara ini siswa yang berasal dari ke- lalu baca buku”.
luarga miskin tetap dapat mengakses pen- Demikian pula dengan RW (14 tahun)
didikan formal. yang juga duduk di kelas IX. Remaja putri
yang ibunya meninggal saat ia masih kecil
Pengalaman Bersekolah; Semangat, Ke- itu, menceritakan aktivitas pagi sebelum
gembiraan dan Keberanian Bercita-cita berangkat ke sekolah sambil meneteskan air
Bagi anak-anak miskin, dapat bersekolah mata karena teringat almarhumah ibunya.
merupakan suatu anugerah. Bersekolah Berikut ini penuturannya:
bagi mereka adalah sebuah kesempatan “Biasanya saya bangun jam 05.00. Setelah
bahkan kemewahan yang tidak selalu bisa sholat Subuh, saya memasak: masak air,
mereka nikmati. Oleh karena itu, ketika masak nasi, masak sayur. Masak nasi pakai
datang kesempatan itu mereka menyambut- kayu. Saya bisa masak sayur apa saja:
nya dengan senang dan tidak ingin menyia- oseng-oseng, sayur bening. Setelah mandi
nyiakannya. Hal itulah yang tergambar dari dan sarapan, saya berangkat ke sekolah
realitas pendidikan di MTs PAKIS. Mereka jam 06.30. Jalan kaki, perjalanan kurang
rela berjalan kaki cukup jauh dengan waktu lebih satu jam. Sekolah biasanya mulai jam
tempuh sekitar setengah hingga satu jam 08.00, pas anak-anak sudah kumpul”.
44 | H e r m e n e u t i k a
Anak Miskin Boleh Sekolah
Mintarti1, Tri Rini Widyastuti2, dan Ignatius Suksmadi 3
Tidak jauh berbeda dengan dua infor- tersebut. Baik orang tua maupun siswa
man di atas, S (13 tahun) yang duduk di selalu menyebutnya sebagai tanaman yang
kelas VIII menceritakan kebiasaan pagi ditanam dalam aktivitas pertanian mereka.
harinya sebagai berikut: GD menuturkan seperti berikut:
“Saya biasa bangun jam 05.00, sholat “Saya biasanya membantu ibu menyapu,
Subuh, lalu momong keponakan usia dua memasak. Saya bisa memasak oseng sayur
tahun. Setelah itu mandi, sarapan, dan jam kara. Setelah dari sekolah saya biasanya
07.00 berangkat ke sekolah jalan kaki kira- main. Selain itu, saya juga membantu
kira satu jam”. bapak berkebun, menanam kapulaga”.
H e r m e n e u t i k a | 45
Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika Volume 5, Nomor 1, Mei 2019
46 | H e r m e n e u t i k a
Anak Miskin Boleh Sekolah
Mintarti1, Tri Rini Widyastuti2, dan Ignatius Suksmadi 3
semangat dan motivasi, memunculkan ke- laman bersekolah. Pengalaman itu mem-
gembiraan, serta memiliki kepercayaan diri buat mereka memiliki semangat dan moti-
untuk meraih kehidupan yang lebih baik vasi belajar tanpa kehilangan keceriaan dan
dengan berani bercita-cita. Berani bercita-cita kegembiraan sebagai anak-anak. Pengalam-
dan membayangkan masa depan yang akan an bersekolah itu pula yang telah menum-
mereka jalani merupakan modal untuk keluar buhkan rasa percaya diri, berani bercita-cita
dari kemiskinan yang melingkupi kehidupan dan membayangkan masa depan yang lebih
mereka. baik. Kepercayaan diri dan keberanian ber-
cita-cita inilah yang merupakan modal awal
Epilog untuk keluar dari kemiskinan.
Anak Miskin Boleh Sekolah; Harapan Sekolah alternatif semacam MTs
bagi Orang Tertindas PAKIS muncul sebagai respon dan bentuk
Tulisan ini menunjukkan telah terjadinya keprihatinan atas terabaikannya kelompok
pengabaian hak atas pendidikan yang seha- masyarakat miskin dalam mengakses pen-
rusnya diperoleh setiap warga negara ka- didikan. Respon semacam itu pula yang di-
rena merupakan bagian dari hak asasi ma- lakukan oleh (Freire 2000) di negerinya
nusia sebagaimana dinyatakan oleh (Chris- Brazil dengan menyelenggarakan program
tianto 2020); (Fattah 2017); (Itasari 2019). pemberantasan buta huruf yang transfor-
Pengabaian itu mewujud dalam berbagai matif. Melalui program itu, siswa yang me-
problem kompleks yang muncul mengi- rupakan orang dewasa diajari dan dilatih
ringinya. Kesulitan melanjutkan pendidikan untuk berpikir kritis sehingga dapat mem-
karena faktor biaya, perasaan tidak berdaya berdayakan dirinya. Pemberdayaan diri
yang membuat kurang peduli dan meno- menjadi penting sebab mereka adalah
morduakan pendidikan, hingga ketidakse- orang-orang tertindas yang tumbuh dalam
riusan dalam menjalani pendidikan yang “budaya bisu” (Idris 2009), sebuah perilaku
berakibat putus sekolah atau menikah dini, atau kebiasaan diam, tidak berani berpen-
adalah masalah-masalah kompleks yang dapat atau menyalurkan aspirasi. Secara
muncul karena pengabaian tersebut. Prob- psikologis, perasaan berdaya yakni perasa-
lem kompleks itu antara lain dicoba uraikan an yakin terhadap kemampuan sendiri, akan
oleh mereka yang memiliki perhatian terha- menumbuhkan kepercayaan diri (Fitri,
dap pendidikan, dengan cara mendirikan se- Zola, and Ifdil 2018) (Fitri et al. 2018). Se-
kolah berbasis agroforestry tidak berbayar mentara dari sudut sosiologi pendidikan,
setingkat SMP seperti yang dapat dilihat cara pandang Freire tersebut biasanya dika-
dalam hasil penelitian ini. Keberadaan se- tegorikan ke dalam paradigma kritis yang
kolah ini memungkinkan anak-anak miskin berpandangan bahwa pendidikan harus
di tepian hutan itu dapat mengakses pendi- dapat melakukan refleksi kritis terhadap
dikan tanpa tercerabut dari lingkungannya. ideologi dominan ke arah transformasi
Meskipun dihadapkan pada sejumlah tan- sosial (O’neil 2001) Transformasi sosial
tangan dan kendala, sekolah ini masih tetap yang bertujuan mengeluarkan kelompok
bertahan. Hingga memasuki tahun ketujuh miskin tertindas dari “budaya bisu” itu akan
sejak berdirinya di tahun 2013, selalu ada dapat tercapai melalui sikap percaya diri
siswa yang mendaftar. Tujuh tahun berada dan keberanian bercita-cita sebagaimana
di tengah masyarakat miskin, sekolah itu telah ditunjukkan dalam data hasil peneliti-
telah memberikan kepada para siswa penga- an ini. Dalam konteks Indonesia, secara
H e r m e n e u t i k a | 47
Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika Volume 5, Nomor 1, Mei 2019
48 | H e r m e n e u t i k a
Anak Miskin Boleh Sekolah
Mintarti1, Tri Rini Widyastuti2, dan Ignatius Suksmadi 3
H e r m e n e u t i k a | 49
Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika Volume 5, Nomor 1, Mei 2019
50 | H e r m e n e u t i k a
Anak Miskin Boleh Sekolah
Mintarti1, Tri Rini Widyastuti2, dan Ignatius Suksmadi 3
H e r m e n e u t i k a | 51
Hermeneutika: Jurnal Hermeneutika Volume 5, Nomor 1, Mei 2019
52 | H e r m e n e u t i k a