Anda di halaman 1dari 16

STASE KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN AN.


“D” DENGAN DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) DI RUANG
PARKIT RSPAU dr. S. HARDJOLUKITO YOGYAKARTA

Disusun Oleh:

DIAH ARDIAN RUKMANA

193203039

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN ANAK


PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XIV
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
YOGYAKARTA
2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN AN. “D” DENGAN DENGUE


HEMORRHAGICFEVER (DHF) DI RUANG PARKIT RSPAU dr. S.
HARDJOLUKITO YOGYAKARTA

Telah disetujui pada


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik Mahasiswa

(Kristina Dias Utami, MPH) (Febri Anggun, S.Kep., Ns) (Diah Ardiam Rukmana, S.Kep)
DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)

A. Pengertian DHF
DHF adalah penyakit yang ditandai dengan demam tinggi mendadak dan
tanpa sebab, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari (Kemenkes RI, 2013).
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemoragic Fever (DHF)
merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada
demam berdarah dengue terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh (Sudoyo dkk., 2009).
Dangue Hemoragic Fever (DHF) adalah demam tinggi disertai perdarahan
bawah kulit, selaput hidung dan lambung disebabkan oleh virus yang ditularkan
melalui nyamuk Aedes aegypty, yang dapat mengakibatkan kematian, serta
seringkali mengakibatkan wabah (Sunaryo, 2008)

B. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang temasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Dikenal 4 serotipe virus dengue
yang saling tidak mempunyai imunitas silang. Serotipe virus dengue tersebut
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan
demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak (Depkes RI, 2011;
Sudoyo dkk., 2009)
C. Pathofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah
peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan
penurunan tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari
20%, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemi Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus
dengue berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti
dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon
imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin
dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM,
pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder
kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat Antibodi terhadap virus dengue
dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu
pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar
IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi
IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder
antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnose dini infeksi
primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibody IgM setelah hari
sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan
adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat (Candra, 2010).
D. Pathway
Menurut (WHO & Depkes RI, 2005)

Virus dengue

Viremia

Hipertermia
Hepatomegali Depresi sumsum tulang Permeabilitas kapiler meningkat

Anoreksia, muntah Manifestasi


perdarahan
Risiko perdarahan Efusi pleura, asites,
Ketidakseimbangan
hemokonsentrasi
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh kehilangan

Perubahan perfusi
jaringan perifer
hipovolemia
Risiko kekurangan
volume cairan

Risiko syok
hipovolemia

syok kematian
E. Klasifikasi DHF
Klasifikasi DHF menurut WHO ada 4 derajat, yaitu :
Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas, terdapat manifestasi perdarahan (Uji tourniquet
positif).
Derajat II
Derajat I ditambah gejala perdarahan spontan dikulit dan perdarahan lain.
Derajat III
Kegagalan sirkulasi darah, nadi cepat dan lemah. Tekanan darah menurun ( 20
mmHg, kulit dingin, lembab, gelisah, hipotensi)
Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak dapat diukur.

F. Tanda dan Gejala


Dhf ditandai dengan demam tinggi tanpa sebab yang terus menerus selama
2-7 hari, terjadi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, ekimosis,
epitaksis, melena, dan hematuri), uji tourniquet positif, trombositopeni, terjadi
peningkatan hemaktorit 20% atau lebih, bila status lanjut dapat terjadi
hepatomegaly (Wahyuningsih, 2014).
Gejala klinis DBD diawali dengan demam mendadak, disertai dengan muka
kemerahan (flushed face) dan gejala klinis lain yang tidak khas, menyerupai
gejala demam dengue, seperti anoreksia, muntah, nyeri kepala, dan nyeri pada
otot dan sendi. Pada beberapa pasien mengeluh nyeri tenggorokan dan pada
pemeriksaan ditemukan faring hiperemis. Gejala lain yaitu perasaan tidak enak di
daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkungan iga kanan, kadang-kadang nyeri
perut dapat dirasakan di seluruh perut. Gejala / tanda utama DBD adalah sebagai
berikut (Hadinegoro, 2006).
a. Demam
Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus
menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun tidak mempan dengan antipiretik.
Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40oC dan dapat terjadi kejang
demam. Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat fase
demam mulai cenderung menurun dan pasien tampak seakan sembuh, hati-hati
karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Biasanya pada hari
ketiga dari demam. Hari ke 3,4,5 adalah fase kritis yang harus dicermati pada
hari ke 6 dapat terjadi syok. Kemungkinan terjadi perdarahan dan kadar
trombosit sangat rendah (<20.000/μl).
b. Tanda-tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah vaskulopati,
trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit, serta koagulasi intravaskular
yang menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit
seperti uji Torniquet (uji Rumple Leed/uji bendung) positif, petekie, purpura,
ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Petekie dapat muncul pada hari-hari
pertama demam tetapi dapat pula dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam.
Perdarahan lain yaitu epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
Tanda perdarahan ini tidak semua terjadi pada seorang pasien DBD.
Perdarahan paling ringan adalah uji Torniquet positif berarti fragilitas kapiler
meningkat.
c. Hepatomegali
Hepatomegali pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4
cm di bawah lengkungan iga kanan. Proses pembesaran hati, dari tidak teraba
menjadi teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat
pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan
pada daerah tepi hati, berhubungan dengan adanya perdarahan. Pada sebagian
kecil kasus dapat dijumpai ikterus.
d. Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis
menghilang setelah demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat,
perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral (ujung) ekstremitas
dingin, disertai dengan kongesti kulit. Perubahan ini memperlihatkan gejala
gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat
ringan atau sementara. Pasien biasanya akan sembuh spontan dengan
pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus berat, keadaan umum atau
beberapa saat setelah suhu turun, antara hari sakit ke 3-7, terdapat tanda
kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari
dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi pasien tampak
sangat lemah, dan sangat gelisah. Sesaat sebelum syok seringkali pasien
mengeluh nyeri perut. Syok ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang).
Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat perhatian
serius, oleh karena bila tidak diatasi dengan sebaik-baiknya dan secepatnya
dapat menyebabkan kematian. Pasien dapat dengan cepat masuk ke dalam fase
kritis yaitu syok berat (profound shock), pada saat itu tekanan darah dan nadi
tidak dapat terukur lagi. Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat,
pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah
mendapat penggantian cairan yang memadai. Apabila syok tidak dapat segera
diatasi dengan baik, akan terjadi komplikasi yaitu asidosis metabolik,
perdarahan saluran cerna hebat atau perdarahan lain.
G. Penatalaksanaan Medis
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan uji tourniquet atau rumple leed
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada penderita
DHF. Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untuk
mendeteksi kelainan sistem vaskuler dan trombosit. Dinyatakan positif jika
terdapat lebih dari 10 ptechiae dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian
depan termasuk lipatan siku (Kemenkes RI, 2011).
2. Pemeriksaan Hemoglobin
Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakan terjadi
kebocoran atau perembesan pembuluh darah sehingga cairan plasmanya akan
keluar dan menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi. Kenaikan kadar
hemoglobin >14 gr/100 ml (Gandasoebrata,2008).
3. Pemeriksaan Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi,
yang merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Nilai peningkatan
ini lebih dari 20%.
(Gandasoebrata,2008).
4. Pemeriksaan Trombosit
Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada saat pasien
didiagnosa sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit perlu diakukan
pengulangan sampai terbukti bahwa jumlah trombosit tersebut normal atau
menurun. Penurunan jumlah trombosit < 100.000 /µl atau kurang dari 1-2
trombosit/ lapang pandang dengan rata-rata pemeriksaan 10 lapang pandang
pada pemeriksaan hapusan darah tepi. (Gandasoebrata,2008)
5. Pemeriksaan Lekosit
Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosis ringan sampai
lekopenia ringan. (Gandasoebrata,2008)
6. Pemeriksaan Bleding time (BT)
Pasien DHF pada masa berdarah, masa perdarahan lebih memanjang menutup
kebocoran dinding pembuluh darah tersebut, sehingga jumlah trombosit
dalam darah berkurang. Berkurangnya jumlah trombosit dalam darah akan
menyebabkan terjadinya gangguan hemostatis sehingga waktu perdarahan dan
pembekuan menjadi memanjang. (Gandasoebrata,2008)
7. Pemeriksaan Clothing time (CT )
Pemeriksaan ini juga memanjang dikarenakan terjadinya gangguan
hemostatis.. (Gandasoebrata,2008).
8. Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru (LPB)
Pada pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik atau limfosit plasma
biru ≥ 4 % dengan berbagai macam bentuk : monositoid, plasmositoid dan
blastoid. Terdapat limfosit Monositoid mempunyai hubungan dengan DHF
derajat penyakit II dan IgG positif, dan limfosit non monositoid (plasmositoid
dan blastoid) dengan derajat penyakit I dan IgM positif.
(Gandasoebrata,2008).
9. Pemeriksaan Imunoessei dot-blot
Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue, dan IgM
positif menandakan infeksi primer. Tes ini mempunyai kelemahan karena
sensitifitas pada infeksi sekunder lebih tinggi, tetapi pada infeksi primer lebih
rendah, dan harganya relatif lebih mahal (Gandasoebrata,2008).

H. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Umur, jenis kelamin, tempat tinggal bisa menjadi indicator terjadinya DHF
2. Riwayat kesehatan
Keluhan utama
3. Riwayat kesehatan sekarang
Panas tinggi, nyeri otot, dan pegal, ruam, malaise, muntah, mual, sakit kepala,
sakit pada saat menelan, lemah, nyeri pada efigastrik, penurunan nafsu
makan,perdarahan spontan.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Pernah menderita yang sama atau tidak
5. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dan
adanya penyakit herediter (keturunan).
6. Pemeriksaan fisik
a. System pernapasan
Sesak, epistaksia, napas dangkal, pergerakan dinding dada, perkusi,
auskultasi
b. System cardivaskular
Pada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif,
trombositipeni.
Pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat (tachycardia),
penurunan tekanan darah (hipotensi), cyanosis sekitar mulut, hidung dan
jari-jari.
Pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
c. System neurologi
Nyeri pada bagian kepala, bola mata dan persendian. Pada grade III pasien
gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat terjadi
DSS
d. System perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan
mengungkapkan nyeri saat kencing, kencing berwarna merah
e. System pencernaan
Perdarahan pada gusi, Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri
tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran pada hati
(hepatomegali) disertai dengan nyeri tekan tanpa diserta dengan ikterus,
abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat
menelan, dapat muntah darah (hematemesis), berak darah (melena).
f. System integument
Terjadi peningkatan suhu tubuh (Demam), kulit kering, ruam
makulopapular, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi
bintik merah seluruh tubuh/ perdarahan dibawah kulit (petikie), pada
grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.
I. Diagnosis Keperawatan
1. Hipertermia b.d penyakit
2. Risiko kekurangan volume cairan dengan factor risiko kehilangan cairan aktif
3. Risiko perdarahan dengan factor risiko koagulopati inheren: trombositopenia
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake nutrisi tidak adekuat

J. Rencana intervensi keperawatan

No. Dx NOC NIC


1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama  Fever treatment
3x24 jam, diharapkan suhu tubuh klien kembali 1. Monitor warna kulit dan
normal dengan kriteria hasil : suhu tubuh
 Thermoregulation 2. Kolaborasi pemberian
 Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh dan antipiretik
kulit 3. Berikan teapi tapid sponge
 Tidak terjadi perubahan warna kulit sesuai kebutuhan
 Vital sign dalam rentan normal 4. Kaji tanda-tanda vital
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama  Fluid management
3x24 jam, diharapkan tidak terjadi kekurangan 1. Catat intake dan output
volume cairan dengan kriteria hasil : 2. Monitor perubahan
 Fluid balance hematocrit
 Tekanan darah dalam bacaat normal 3. Monitor vital sign
 Nadi dalam batas normal 4. Berikan terapi intravena,
 Intake dan output seimbang sesua kebutuhan
 Hematokrit dalam batas normal 5. Berikan cairan sesuai

 Turgor kulit elastis kebutuhan

 Membrane mukosa lembab 6. Monitor status hidrasi

3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama  Bleeding precaution


3x24 jam, diharapkan tidak terjadi perdarahan 1. Monitor trombosit, sesuai
dengan kriteria hasil : kebutuha
 Blood coagulation 2. Monitor ketat terkait
 Trombosit dalam batas normal perdarahan
 Hematocrit dalam batas normal 3. Kolaborase pemberian
 Tidak terdapat ekimosis obat, sesuai kebutuhan
 Tidak terjadi epitaksis  Bleeding reduction
 Uji peteqie negaif 4. Catat hematocrit klien
 Tidak terjadi melena dan meaturia
4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Nutrition
selama 3x8 jam diharapkan Management
ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari 1. Kaji adanya alergi
kebutuhan tubuh klien teratasi dengan makanan
kriteria hasil: 2. Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan
 Nutritional Status: Food & Fluid nutrisi yang dibutuhkan
Intake 3. Berikan makanan yang
 Intake nutrisi adekuat terpilih (sudah
 Asupan makanan dan minuman dikonsultasikan dengan
adekuat ahli gizi)
 Adanya energi 4. Berikan informasi
 Status hydrasi normal tentang kebutuhan
nutrisi
5. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan
pasien.
 Nutrition
monitoring
1. Timbang BB pasien
2. Monitor adanya
penurunan berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
dilakukan
4. Monitor interaksi anak
atau orangtua selama
makan
5. Monitor lingkungan
selama makan
6. Monitor kulit kering
dan perubahan
pigmentasi
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor mual dan
muntah
9. Monitor kalori dan
intake nuntrisi
10. Kolaborasikan dengan
dokter pemberian obat
untuk mengurangi mual

DAFTAR PUSTAKA

Candra, A. Demam berdarah dengue: epidemiologi, patogenesis, dan faktor risiko


penularan. Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 –119
Doctherman, J. M. & Buleccheck, G. N. (2016). Nursing Interventions Classification
(NIC) Fifth Edition. Mosby.

Fathi. keman, S. Wahyu, C. U. Peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap


PENULARAN demam berdarah dengue di kota mataram. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, VOL. 2, NO.2 1, JULI 2005 : 1 – 10

Gandasoebrata, R, 2008, Penuntun Laboratorium Klinik, Edisi 5, Jakarta: Dian


Rakyat

Kemenkes, RI. Modul pengendalian demam berdarah dengue. Kementerian


kesehatan republik indonesia direktorat jenderal pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan 2011.

Moorhead, S. Jonson, M. Mass, M. L. Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes


Classification (NOC) Fifth Edition. Mosby.

NANDA.(2015-2017). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi. Edisi 10.


Jakarta: EGC

Nelson. (2007). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi XII. Jakarta: EGC.

Wahyuningsih, F.(2014) Analisis spasial kejadian demam berdarah dengue di wilayah


puskesma pengasinan kota bekasi tahun 2012-2013. Skripsi UIN.

WHO & Depkes RI. 2005. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai