Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN

“DEMAM BERDARAH DENGUE”


Pada An. A Di Ruang Perawatan Anak Asoka
BLUD RSUD Haji Padjonga Daeng Ngalle Kab Takalar

Oleh:
HALIDAH, S.Kep

Ci lahan Ci Institusi

Program Profesi Ners


Stikes Tanawali Persada Takalar
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
“DEMAM BERDARAH DENGUE”
Pada An. A Di Ruang Perawatan Anak Asoka
BLUD RSUD Haji Padjonga Daeng Ngalle Kab Takalar

Oleh:
HALIDAH, S.Kep

Ci lahan Ci Institusi

Program Profesi Ners


Stikes Tanawali Persada Takalar
2017
LAPORAN PENDAHULUAN

DEMAM BERDARAH DENGUE

A. Konsep Dasar Medik


1. Pengertian
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam
tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie
Effendy, 1995).
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut dengan
ciri – cirri demam manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan
renjatan yang dapat menyebabkan kematian. (Arief Manjoer, 2000).
Demam berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk
aedes aegypti. (Suriadi, 2001).
2. Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan
dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika
berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan
pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954. Virus dengue berbentuk
batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan
natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe
yang paling banyak beredar (Hendarwanto, 1996).
3. Patofisiologi
Fenomena patologis yang utama pada penderita DBD adalah meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan
plasma ke ruang ekstra seluler. Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk
ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami
demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau
bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain
yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran
hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya
volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta
efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %)
menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma
sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan
intravena (Hendarwanto, 1996).
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan
dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu
rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi
cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena,
peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi,
sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan
jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung,
sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan
mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk
bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung
lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila
tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DBD
menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan
gangguan koagulasi. Pada otopsi penderita DBD ditemukan tanda-tanda
perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan
dan jaringan adrenal (Hendarwanto, 1996).
4. Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DBD
dengan masa inkubasi anatara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala
klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang,
mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat
menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di
bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin
ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa
pegal. Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal
demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka
dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak
diperhatikan oleh pasien. Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula –
mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta
kemudian timbul bercak-bercak petekie. Pada dasarnya hal ini terlihat pada
lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Pada saat suhu turun
ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang
terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih
lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa
hari dalam masa penyembuhan. Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau
ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang
terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara
hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari,
telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan
tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang
(Harnawati, 2008).
5. Diagnosis
Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai
berikut (Harnawati, 2008):
a. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara
lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
b. Manifestasi perdarahan :
1) Uji tourniquet positif
2) Petekia, purpura, ekimosis
3) Epistaksis, perdarahan gusi
4) Hematemesis, melena.
c. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
d. Dengan atau tanpa renjatan.Renjatan biasanya terjadi pada saat demam
turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat
demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
e. Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi
6. Klasifikasi
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis
dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) :
1. Derajat I
Trombositopenia dan hemokonsentrasi.Demam disertai gejala klinis lain,
tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet
2. Derajat II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari
(tanda-tanda dini renjatan).
4. Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat
diukur.
7. Pemeriksaan Diagnostik Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan
hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit
sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa
konvalesen (Hendarwanto, 1996).
Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya
trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis
membuat diagnosis DHF dengan tepat.Juga dijumpai leukopenia yang akan
terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu
kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat
peningkatan suhu pertama kali (Hendarwanto, 1996).
8. Diagnosa Banding
Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti
(Harnawati, 2008) :
a. Demam chiku nguya.
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di
atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan
otot.
b. Demam typhoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif,
adanya leukopenia, limfositosis relatif.
c. Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut,
demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi
menunjukkan pansitopenia.
d. Purpura trombositopenia idiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat
menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut
(Harnawati, 2008):
1) Tirah baring atau istirahat baring.
2) Diet makan lunak.
3) Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis,
sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan
hal yang paling penting bagi penderita DHF.
4) Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali)
merupakan cairan yang paling sering digunakan.
5) Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan)
jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
6) Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
7) Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
8) Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9) Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
10) Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan
tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11) Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan
segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak
tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran
sebanyak 20 – 30 ml/kg BB. Pemberian cairan intravena baik plasma maupun
elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila
renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar,
tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10
ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan
gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DBD
yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin
tegang dengan penurunan Hb yang mencolok. Pada DBD tanpa renjatan
hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian
sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien
DBD tanpa renjatan apabila :
1) Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga
mengancam terjadinya dehidrasi.
2) Hematokrit yang cenderung
10. Pencegahan
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut (Harnawati,
2008) :
a. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah
dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya
kasus DHF.
b. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada
tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia
sembuh secara spontan.
c. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di
sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
d. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi
penularan tinggi.
Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
a. Menggunakan insektisida
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam
berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan
temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan
malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan
temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang
nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang
digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
b. Tanpa insektisida
Caranya adalah :
1) Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal
1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
2) Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
3) Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan
benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
2. Konsep Dasar Keperawatan

Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan


sebagai cara untuk mengatasi masalah klien.
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu : pengkajian keperawatan,
identifikasi, analisa masalah (diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi
dan evaluasi).
1. Pengkajian Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar
utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang
dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara
pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara,
pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.
a. Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau
keluarga pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut
(Christianti Effendy, 1995) :
1) Lemah.
2) Panas atau demam.
3) Sakit kepala.
4) Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
5) Nyeri ulu hati.
6) Nyeri pada otot dan sendi.
7) Pegal-pegal pada seluruh tubuh.
8) Konstipasi (sembelit).
b. Data obyektif
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas
kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF
antara lain :
1) Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.
2) Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
3) Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis,
ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.
4) Hiperemia pada tenggorokan.
5) Nyeri tekan pada epigastrik.
6) Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.
7) Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi,
ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.
Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai :
a) Ig G dengue positif.
b) Trombositopenia.
c) Hemoglobin meningkat > 20 %.
d) Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).
e) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia,
hiponatremia, hipokloremia.
Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia,
peningkatan limfosit, monosit, dan basofil
1) SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3) Waktu perdarahan memanjang.
4) Asidosis metabolik.
5) Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.
2. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF
menurut (Christiante Effendy, 1995) yaitu :
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit
(viremia).
b. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
d. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas dinding plasma.
e. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh
yang lemah.
f. Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya
volume cairan tubuh.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan
infus).
h. Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan
trombositopenia.
i. Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan
perdarahan yang dialami pasien.
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperwatan pada pasien DBD adalah (Marilynn Doenges,
2000) :
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit
(viremia).
Tujuan :
1) Suhu tubuh normal (36 – 370C).
2) Pasien bebas dari demam.
Intervensi :
1) Kaji saat timbulnya demam.
Rasional : untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
2) Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan
umum pasien.2,5 liter/24 jam.7)
3) Anjurkan pasien untuk banyak minum
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan
tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan
yang banyak.
4) Berikan kompres hangat.
Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan
yang mempercepat penurunan suhu tubuh.
5) Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.
6) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program
dokter.
Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan
suhu tinggi.
b. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
Tujuan :
1) Rasa nyaman pasien terpenuhi.
2) Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami
pasien.
2) Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang
tenang.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
3) Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat
melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.
4) Berikan obat-obat analgetik.
Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri
pasien.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan
makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi :
1) Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami
pasien.
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2) Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi
nafsu makan pasien.
3) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan
meningkatkan asupan makanan .
4) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional : Untuk menghindari mual.
5) Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap
hari.
Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
6) Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual
dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat.
7) Ukur berat badan pasien setiap minggu.
Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien
d. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas dinding plasma.
Tujuan :
Volume cairan terpenuhi.
Intervensi :
1) Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-
tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui
penyimpangan dari keadaan normalnya.
2) Observasi tanda-tanda syock.
Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani
syok.
3) Berikan cairan intravena sesuai program dokter
Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang
mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena
cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.
4) Anjurkan pasien untuk banyak minum.
Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah
volume cairan tubuh.
5) Catat intake dan output.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan.
e. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh
yang lemah.
Tujuan :
1) Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
2) Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
Intervensi :
1) Kaji keluhan pasien.
Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien.
2) Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh
pasien.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam
memenuhi kebutuhannya.
3) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari
sesuai tingkat keterbatasan pasien.
Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada
saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab
dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami
ketergantungan pada perawat.
4) Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh
pasien.
Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri tanpa bantuan orang lain.
f. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya
volume cairan tubuh
Tujuan :
1) Tidak terjadi syok hipovolemik.
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
3) Keadaan umum baik.
4) Monitor keadaan umum pasien
Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan
terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui
tanda syok dan dapat segera ditangani.
5) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.
Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.
6) Monitor tanda perdarahan.
Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga
pasien tidak sampai syok hipovolemik.
7) Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah
yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih
lanjut.
8) Berikan transfusi sesuai program dokter.
Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen
darah yang hilang.
9) Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.
Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera
mungkin.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (infus).
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi pada pasien.
Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus.
Rasional : Tindakan aseptik Intervensi :
1) Monitor keadaan umum pasien
Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan
terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui
tanda syok dan dapat segera ditangani.
2) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.
Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.
3) Monitor tanda perdarahan.
Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga
pasien tidak sampai syok hipovolemik.
4) Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah
yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih
lanjut.
5) Berikan transfusi sesuai program dokter.
Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen
darah yang hilang.
6) Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.
Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera
mungkin.
1) merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi
infeksi.
2) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat
diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital.
3) Observasi daerah pemasangan infus.
Rasional : Mengetahui tanda infeksi pada pemasangan infus.
4) Segera cabut infus bila tampak adanya pembengkakan atau
plebitis.
Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau
penyulit lebih lanjut.
h. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan
trombositopenia.
Tujuan :
1) Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
2) Jumlah trombosit meningkat.
Intervensi :
1) Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran
pembuluh darah.
2) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat.
Rasional : Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan perdarahan.
3) Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan
lebih lanjut.
Rasional : Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini
mungkin.
4) Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.
Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis
yang diberikan.
i. Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan
perdarahan yang dialami pasien.
Tujuan :
Kecemasan berkurang.
Intervensi :
1) Kaji rasa cemas yang dialami pasien.
Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien.
2) Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Pasien bersifat terbuka dengan perawat.
3) Tunjukkan sifat empati
Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa
diperhatikan dengan baik.
4) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
Rasional : Meringankan beban pikiran pasien.
5) Gunakan komunikasi terapeutik
Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada
pasien memberikan hasil yang efektif.
4. Evaluasi Keperawatan.
Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil
yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien (Marilynn
Doenges, 2000).
Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue
sebagai berikut (Marilynn Doenges, 2000):
1. Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
2. Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
3. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan
makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
4. Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada
pasien terpenuhi.
5. Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
6. Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok
hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.
7. Infeksi tidak terjadi.
8. Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
9. Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari
perawat tentang proses penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Christanti Effendy, 1995. Perawatan Pasien DHF pada anak. Penerbit buku
Kedokteran EGC, Jakarta

2. Doenges Marylinn E, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3, penerbit
buku Kedokteran EGC, Jakarta.

3. H.M. Sjaeffollah Noer, dkk., 1996. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi ketiga,
balai penerbit FKUI, Jakarta.

4. Sri Reseki H. Hadinegoro, dkk., 1999. Demam Berdarah Dengue Naskah


Lengkap. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai