Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN DAN RESUME

DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RSU AMELIA PARE

OLEH:
SHAVA NANDA JUSTITIA
202201107

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA KEDIRI
2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan resume ini disusun untuk memenuhi tugas Praktik Klinik
Semester III. Mahasiswa program studi sarjana keperawatan STIKES Karya Husada Kediri.

Nama : SHAVA NANDA JUSTITIA


NIM : 202201107
Judul : Laporan Pendahuluan dan Resume di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU
Amelia Pare

Mahasiswa

Shava Nanda Justitia

CE IGD Dosen Pembimbing

Efa Nur Aini, S.Kep.Ns.,M.Kep


LAPORAN PENDAHULUAN
PADA Nn. D DENGAN DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSU AMELIA PARE

1) Laporan Pendahuluan Kasus Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)


1) Konsep Materi/Konsep Penyakit Dengue Hemorrhagic Fever (DHF):
1. Definisi
DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) adalah suatu penyakit yang biasanya
menyerang pada anak-anak dan juga orang dewasa yang disebabkan oleh virus dengan
gejala berupa demam (panas), perdarahan, nyeri otot dan sendi yang biasanya memburuk
setelah dua hari pertama dan apabila timbul rejatan (flek) angka kematian akan cukup
tinggi.
DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan
virus dengue dan juga termasuk golongan Abovirus (arthropodbone virus) yang
disebarkan oleh nyamuk Aedes Aegepty dan Aedes Albopictus yang disebarkan secara
cepat (Marni, 2016).
2. Etiologi
Virus dengue yang mana biasanya di bawa oleh nyamuk Aedes Aegepty (betina)
dengan gigitan menjadi vektor kebutuh manusia dengan gigitan nyamuk tersebut. Infeksi
yang pertama kali bisa memberi gejala sebagai Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
dengan gejala utama demam, nyeri/sendi (Titik lestari, 2016).
3. Klasifikasi
Pembagian menurut (Titik Lestari, 2016):
1) Derajat I
Suhu tubuh panas yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya uji perdarahan
yaitu uji tourniquet.
2) Derajat II
Seperti juga derajat II biasanya disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau
perdarahan lain.
3) Derajat III
Meliputi gagal atau tidak berfungsinya sirkulasi yakni nadi yang cepat dan melemah,
tekanan nadi yang tiba-tiba menurun atau hipotensi disertai kulit dingin dan lembab
serta gelisah.
4) Derajat IV
Terdapat Dengue Shock Syndrome (DSS), nadi yang tidak dapat teraba dan tekanan
darah yang tidak dapat di ukur.
4. Manifestasi Klinis
Ada beberapa manifestasi klinis dari Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) antara lain :
1) Suhu tubuh di atas nilai normal yaitu >37,6°C. Demam yang sangat tinggi dan
demamnya mendadak yang dapat mencapai 40°C atau lebih.
2) Sakit kepala.
3) Kulit merah
Kulit merah dan terdapat bintik-bintik merah (ptikie).
4) Kejang
Kejang merupakan suatu kondisi di mana otot-otot tubuh berkontraksi secara tidak
terkendali akibat dari adanya peningkatan temperatur yang tinggi.
5) Takikardia
Takikardia merupakan suatu kondisi yang menggambarkan di mana denyut jantung
yangmana jantungnya lebih cepat dari pada denyut jantung normal.
6) Takipnea
Takipnea adalah suatu kondisi yang menggambarkan di mana pernafasan yang cepat
dan dangkal.
7) Kulit terasa hangat
Kulit dapat terasa hangat terjadi disebabkan oleh adanya vasodilatasi pembuluh darah
sehingga kulit menjadi hangat (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
5. Pathofisiologi/WOC (Web Of Causation) yang mengarah pada masalah keperawatan
Nyamuk Aedes yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang
hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
menghisap darah. Setelah masuk kedalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju
organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Ada beberapa peneliti, menunjukkan, sel monosit dan magrofag
mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus
ke 10 dalam sel dengen bantuan organel sel membentuk komponen perantara dan
komponen struktur virus.
Arbovirus yang menyebar melalui gigitan nyamuk kemudian racun masuk melalui
aliran darah, badan, menjadi panas akibat toksin yang di kelola oleh nyamuk, akibat
toksin tersebut hipotalamus tidak bisa mengontrol yang akhirnya menjadi panas tinggi
atau demam. Efek dari demam dengue tersebut yaitu demam akut disertai nyeri kepala,
nyeri belakang mata, perdarahan, leucopenia. Demam akut dengan ciri-ciri demam
manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan (flek) yang dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah, kebocoran plasma, efusi pleura, hematemesis,
melena, kematian (Fitrianda, 2016).
6. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Darah Lengkap
1. Hemoglobin meningkat, apalagi telat terjadi perdarahan yang banyak dan hebat
Hb menurun.
Nilai normal Hb : 10-16 gr/dL
2. Hematokrit dapat meningkatkan mencapai 20% dikarenakan darah mengental
dan terjadi kebocoran plasma.
Nilai normal pada laki: 40-54%
Nilai normal pada perempuan : 35-47%
3. Trombosit biasanya menurun secara tiba-tiba yang nantinya mengakibatkan
trombositopenia kurang dari 100.000/mm3.
Nilai normal : 200.000-400.000/ml
4. Leukosit menjalani penurunan yang dibawah normal.
Nilai normal : 5.000-10.000/mm3
2) Pemeriksaan Analisa Gas Darah, di periksa:
1. Urin dan pH darah yang dapat meningkat
2. Dalam keadaan lanjut terjadi asidosis metabolik mengakibatkan pCO2 menurun
dari normal 35-40 mmHg) dan HCO3 rendah.
3. SGOT/SGPT : dapat bertambah meningkat.
4. Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali (setiap jam atau 4-6
jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan) (Nurarif & Kusuma, 2015).
7. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Integumen
Adanya ptekie pada kulit, menurunnya turgor kulit, dan munculnya keringat dingin
dan lembab. Kuku sianosis atau tidak.
2) Kepala dan Leher
Kepala terasa nyeri, kulit wajah tampak kemerahan karena demam (flusy), mata
anemis, hidung kadang mengalami perdarahan (epsitaksis) pada grade II, III, IV. Pada
mulut terdapat mukosa mulut kering, terjadi perdarahan pada gusi, dan nyeri telan.
Sementara mengalami hiperemia faring pada tenggorokan dan terjadi perdarahan
pada telinga (pada grade II,III,IV)
3) Dada
Simetris dan kadang terasa sesak. Pada foto thorax didapatkan adanya cairan yang
ada pada paru sebelah kanan (efusi pleura), ronchi+, rales+, yang biasanya pada grade
III dan IV.
4) Abdomen
Terdapat nyeri tekan, pembesaran hepar (hepatomegali) dan asites.
5) Ekstremitas
Akral terasa dingin, serta mengalami nyeri otot, tulang dan sendi.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) tanpa syok antara lain :
1) Berikan kompres hangat pada klien. Kompres yang hangat yaitu melapisi permukaan
kulit dengan handuk yang telah dibasahi dengan air hangat dan temperatur maksimal
43°C.
2) Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang tipis dan yang dapat menyerap keringat.
3) Anjurkan klien untuk minum sedikit demi sedikit tapi sering sesuai kebutuhan cairan
sehari-hari.
4) Observasi TTV tiap 4 jam (suhu, nadi, respirasi)
5) Lakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan atau rumah sakit untuk penanganan
lebih lanjut jika demam stabil di atas 37,5°C. (Fitrianda, 2016)
9. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada anak yang mengalami demam berdarah dengue yaitu
perdarahan massif dan dengue shock syndrome (DSS) atau sindrom syok dengue (SSD).
Syok sering terjadi pada anak berusia kurang dari 10 tahun. Syok ditandai dengan nadi
yang lemah dan cepat sampai tidak teraba, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau
sampai nol, tekanan darah menurun dibawah 80 mmHg atau sampai nol, terjadi penurunan
kesadaran, sianosis di sekitar mulut dan kulit ujung jari, hidung, telinga, dan kaki teraba
dingin dan lembab, pucat dan oliguria atau anuria (Pangaribuan 2017).
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA Tn. H DENGAN RETENSI URINE
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSU AMELIA PARE

2) Laporan Pendahuluan Kasus Retensi Urine


1. Definisi
Retensi urine adalah keadaan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat
ketidakmampuan kandung kemih mengosongkannya (Hidayat, 2015). Retensi urine dapat
pula merupakan keadaan seseorang mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak
lengkap (Hidayat, 2015). Retensio urine adalah ketidak mampuan untuk melakukan
urinasi meskipun terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut (Smeltzer &
Suzanne, 2002). Retensi urine adalah pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
(PPNI, 2017). Dari beberapa pengertian di atas peneliti dapat menyimpulkan retensi urine
adalah penumpukan urine dikandung kemih dan ketidakmampuan untuk mengosongkan
kandung kemih secara sempurna.
2. Etiologi
Adapun penyebab dari retensi urine adalah sebagai berikut:
1) Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinallis S2 S4 setinggi
T12 L1. Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun
seluruhnya, misalnya pada operasi miles dan mesenterasi pelvis, kelainan medula
spinalis, misalnya meningokel, tabes dorsalis, atau spasmus sfinkter yang ditandai
dengan rasa sakit yang hebat.
2) Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, anatomi pada pasien
DM atau penyakit neurologis, divertikel yang besar.
3) Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil,
tumor pada leher vesika, atau fimosis.
4) Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran prostat, kelainan patologi uretra
(infeksi, tumor, kalkulus), trauma, disfungsi neurogenik kandung kemih.
5) Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik (atropine), preparat
anti depressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat anti histamin (pseudoefedrin
hidroklorida=sudafed), preparat penyekat adrenergik (Propanolol), preparat anti
hipertensi (hidralasin).
Etiologi dari retensi urin juga dapat di kelompokan berdasarkan bentuk bentuknya:
1) Obstruksi Mekanis, disebabkan oleh struktur uretha, malformasi saluran kemih,
malformasi sum-sum belakang
2) Kongenital disebabkan oleh kalkulus, inflamasi, trauma, tumor, hyperplasia,
kehamilan
3) Yang di dapat disebabkan oleh disfungsi neurologik, refluks ureter oversikalis,
berkurangnya aktifitas peristaltik ureter
4) Obstruksi fungsional dengan penyebab atrofiobat detrusor, cemas (seperti takut nyeri
setelah operasi), obat-obatan (seperti anesthesia, narkotika, sedatif, adananti,
histamin).
3. Klasifikasi
1) Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih secara tiba-tiba yang
disertai rasa sakit saat buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan kronis, tidak ada rasa
sakit karena urin sedikit demi sedikit tertimbun. Kondisi yang terkait adalah tidak
dapat berkemih sama sekali, kandung kemih penuh, terjadi tiba-tiba, disertai rasa
nyeri, dan hal ini termasuk dalam kedaruratan urologi. Jika tidak dapat berkemih
sama sekali segera dipasang kateter.
2) Retensi urin kronik
Retensi urin kronik adalah retensi urin tanpa rasa nyeri yang disebabkan oleh
peningkatan volume residu urin secara bertahap. Hal ini dapat disebabkan karena
pembesaran prostat, pembesaran bertahap kemudian tidak bisa kencing. Bisa kencing
sedikit tapi bukan karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri karena tekanan
lebih tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah masih dapat
berkemih, namun tidak lancar, sulit memulai berkemih (hesitancy), tidak dapat
mengosongkan kandung kemih dengan sempurna (tidak lampias). Retensi urin kronik
tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan permasalahan medis yang
serius di kemudian hari.
Perhatikan bahwa pada retensi urin akut, laki-laki lebih banyak daripada wanita
dengan perbandingan 3/1000: 3/100000. Berdasarkan data juga dapat dilihat bahwa
dengan bertambahnya umur pada laki-laki, kejadian retensi urin juga akan semakin
meningkat.
4. Manifestasi klinis
Pada retensi urin akut di tandai dengan nyeri, sensasi kandung kemih yang penuh
dan distensi kandung kemih yan ringan. Pada retensi kronik ditandai dengan gejala iritasi
kandung kemih (frekuensi, disuria, volume sedikit) atau tanpa nyeri retensi yang nyata.
Retensi urine dapat menimbulkan infeksi yang bisa terjadi akibat distensi kandung kemih
yang berlebihan gangguan suplai darah pada dinding kandung kemih dan proliferasi
bakteri. Gangguan fungsi renal juga dapat terjadi, khususnya bila terdapat obstruksi
saluran kemih.
Manifestasi klinis retensi urine terdiri dari gejala dan tanda mayor dan minor.
Mayor merupakan tanda/gejala yang ditemukan sekitar 80-100% untuk validasi diagnosa.
Minor merupakan tanda/gejala yang tidak harus ditemukan, namun jika ditemukan dapat
mendukung penegakan diagnosa (PPNI, 2017).
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) gejala dan tanda dari retensi urine
adalah:
1) Gejala dan tanda mayor
1. Subjektif
1) Sensasi penuh pada kandung kemih
Normalnya, ginjal menghasilkan urin dengan kecepatan sekitar 60 ml per
jam atau sekitar 1.500 ml per hari. Aliran urin dipengaruhi oleh banyak
faktor, termasuk asupan cairan, kehilangan cairan tubuh melalui rute lain
seperti perspirasi dan pernafasan atau diare, dan status kardiovaskuler dan
renal individu. Pada retensi urin berat, kandung kemih dapat menahan 2.000
sampai 3.000 ml urin (Perry& Potter, 2006 dalam PPNI, 2017).
2. Objektif
1) Dysuria/anuria
Disuria adalah sakit dan susah saat berkemih. Disuria dapat menyertai
striktur (pengecilan diameter) uretra, infeksi kemih, dan cedera pada
kandung kemih dan uretra. Sedangkan anuria adalah tidak ada produksi urin
(Kozier, 2010 dalam PPNI, 2017)
2) Distensi kandung kemih
Apabila pengosongan kandung kemih terganggu, urin akan terakumulasi dan
akan terjadi distensi kandung kemih. Kondisi tersebut akan menyebabkan
retensi urin (Kozier, 2010 dalam PPNI, 2017).
2) Gejala dan tanda minor
1. Subjektif
1) Dribbling
Dribbling (urin yang menetes) adalah kebocoran/ rembesan urin walaupun
ada kontrol terhadap pengeluaran urin (Perry& Potter, 2006 dalam PPNI,
2017).
2. Objektif
1) Inkontinensia berlebih
Inkontenensia urin, atau urinasi involunter adalah sebuah gejala, bukan
sebuah penyakit. Inkontenensia urin berlebih merupakan kehilangan urin
yang tidak terkendali akibat overdistensi kandung kemih (PPNI, 2017).
2) Residu urine 150 ml atau lebih
Residu urin merupakan volume urin yang tersisa setelah berkemih (volume
150 ml atau lebih). Hal ini terjadi karena inflamasi atau iritasi mukosa
kandung kemih akibat infeksi, kandung kemih neurogenik, pembesaran
prostat, trauma, atau inflamasi uretra (Perry& Potter, 2006 dalam PPNI,
2017).
5. Pathofisiologi/ WOC (Web Of Caisation) yang mengarah ke keperawatan
Patofisiologi penyebab retensi urin dapat dibedakan berdasarkan sumber
penyebabnya antara lain:
1) Gangguan supravesikal adalah gangguan inervasi saraf motorik dan sensorik.
Misalnya DM berat sehingga terjadi neuropati yang mengakibatkan otot tidak mau
berkontraksi.
2) Gangguan vesikal adalah kondisi lokal seperti batu di kandung kemih, obat
antimuskarinik/antikolinergik (tekanan kandung kemih yang rendah) menyebabkan
kelemahan pada otot detrusor.
3) Gangguan infravesikal adalah berupa pembesaran prostat (kanker, prostatitis), tumor
pada leher vesika, fimosis, stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma
uretra, batu uretra, sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).
Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit
yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan.
Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, faktor obat dan faktor lainnya seperti ansietas,
kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat miksi di
medula spinalis menyebabkan kerusakan simpatis dan parasimpatis sebagian atau
seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak
adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot
detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostat, tumor atau kekakuan
leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi uretra sehingga urine sisa
meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen. Faktor obat dapat
mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus
sehingga menyebabkan produksi urine menurun. Faktor lain berupa kecemasan, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut,
perianal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik.
Berdasarkan semua faktor di atas menyebabkan urine mengalir lambat kemudian
terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi
distensi kandung kemih dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah
satunya berupa kateterisasi uretra (Mansyoer Arif, dkk. 2001)
6. Pemeriksaan diagnostik
Prosedur pemeriksaan pada sistem perkemihan seperti sitoskopi dapat
menyebabkan edema dan spasme pada sfingter kandung kemih, ini sering mengakibatkan
pasien mengalami retensi urine. (Mubarak, 2008).
Pengkajian sistem tubuh seperti usia, jenis kelamin dibutuhkan dalam pengkajian
riwayat fungsi urologi pada pasien, karena diketahui kondisi kesehatan tertentu seperti
inkontinensia urine lebih banyak terjadi pada wanita, sedangkan retensi urine lebih
banyak terjadi pada laki laki dan akan meningkat seiring bertambahnya usia yang
diakibatkan oleh penyakit penyerta seperti BPH dan kanker testis atau kanker kandung
kemih. (Black & Hawks, 2014).
7. Faktor risiko
Menurut Notoatmodjo, 2018 dijelaskan bahwa bagaimana dan mengapa fenomena
kesehatan terjadi melalui analisis dinamika korelasi antara fenomena, baik antara faktor
risiko dengan faktor efek, antar faktor risiko maupun antar faktor efek. Yang dimaksud
dengan faktor risiko adalah suatu fenomena yang mengakibatkan terjadinya efek,
sebaliknya faktor efek adalah suatu akibat dari adanya suatu risiko. Faktor risiko adalah
faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit
atau status kesehatan tertentu.
Berdasarkan teori dalam Muttaqin (2013) dijelaskan bahwa pasien pascaoperatif
akan mengalami masalah dalam sistem perkemihan akibat dari efek pembedahan dan atau
efek dari anestesi yang digunakan selama operasi. Efek tersebut dapat menyebabkan
gangguan eleminasi urine berupa retensi urine. Selain itu dijelaskan bahwa retensi urine
dapat terjadi pada setiap pasien pascaoperatif khususnya pasien yang menjalani operasi
didaerah perineum atau anal sehingga timbul spasme-refleks-sfingnter. Anestesi umum
akan mengurangi inervasi otot kandung kemih dan dengan demikian dorongan untuk
membuang air kecil tertekan. Keadaan ini juga dapat terjadi pada individu yang berusia
lanjut dan yang harus tirah baring total.
Pola eleminasi urine seseorang dapat dipengaruhi oleh:
1) Pertumbuhan dan perkembangan
Jumlah Urine yang dikeskresikan dapat dipengaruhi oleh usia dan berat badan,
seiring dengan pertambahan usia/penuaan pada lansia mengalami perubahan pada
fungsi ginjal dan kandung kemihnya sehingga mengakibatkan perubahan pada pola
eleminasi urine seperti nokturia, inkontinensia dan residu urine/retensi urine.
Menurut jenis kelamin diketahui bahwa laki laki memiliki resiko lebih tinggi
mengalami retensi urine, karena sruktur uretra yang lebih panjang. Menurut umur
diketahui bahwa yang lebih sering mengalami retensi urine pada usia diatas 50 tahun
(Diyono,2013). Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia,
salah satunya perubahan fisik termasuk pada sistem perkemihan terjadi perubahan
yang signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi,
ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal. (Kholifah, 2016).
2) Asupan cairan dan makanan
Konsumsi makann atau minuman tertentu juga dapat mempengaruhi jumlah
eskresi urine. Nutrisi sangat berperan dalam setiap aspek kehidupan manusia,
termasuk saat mengalami pembedahan. Nutrisi yang kurang dapat menganggu proses
penyembuhan luka. Sebaliknya nutrisi yang berlebihan dapat menjadi resiko terjadi
retensi urine pasca operasi. (Muttaqin, 2013).
3) Kebiasaan/ gaya hidup
Gaya hidup ada kaitannya dengan kebiasaan seseorang ketika berkemih. Misalkan
seseorang yang biasa BAB/BAK di toilet akan kesulitan saat menggunakan pispot
saat sakit.
4) Faktor psikologis
Kondisi stress dan kecemasan peningkatan stimulus berkemih, disamping diare
sebagai upaya kompensasi.
5) Aktivitas tan tonus otot
Eliminasi urine membutuhkan kerja (kontraksi) otot-otot kandung kemih,
abdomen, dan pelvis. Jika terjadi terganggu dapat menurunkan dorongan berkemih.
6) Kondisi patologis
Kondisi sakit seperti demam dapat menyebabkan penurunan produksi urine akibat
banyaknya cairan yang dikeluarkan melalui penguapan. Kondisi inflamasi dan iritasi
organ dapat menyebabkan terjadi retensi urine. Menurut struktur anatomi saluran
perkemihan dikatakan bahwa retensi urine dapat terjadi karena obstruksi mekanis,
disebabkan oleh struktur uretha, malformasi saluran kemih, malformasi sum-sum
belakang dan karena kelainan kongenital disebabkan oleh kalkulus, inflamasi, trauma,
tumor, hiperplasia, kehamilan (Smeltzer&Suzanne, 2002).
7) Medikasi
Pemakaian obatan-obatan antikolinergik dapat menyebabkan retensi urine.
Prosedur pembedahan menyebabkan dapat meningkatkan stress yang memicu
hormone ADH untuk meningkatkan reabsorpsi dan menurunkan haluaran urine.
8) Prosedur pembedahan
Tindakan pembedahan dapat memicu stress yang akan memicu adaptasi umum,
mengeluarkan hormone ADH yang dapat menurunkan halaran urine. Selain hal itu
prosedur tindakan operasi sendiri dapat berpengaruh secara langsung terhadap sistem
perkemihan.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan retensi urine dilakukan setelah diagnosis retensi urin sudah
ditegakkan secara benar, penatalaksanaan ditetapkan berdasarkan masalah yang berkaitan
dengan penyebab retensi urinnya.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan adalah:
1) Kateterisasi
Syarat-syarat:
1. Dilakukan dengan prinsip aseptik digunakan kateter nelaton/sejenis yang tidak
terlalu besar, jenis foley.
2. Diusahakan tidak nyeri agar tidak terjadi spasme dari sfingter.
3. Diusahakan dengan sistem tertutup bila dipasang kateter tetap.
4. Diberikan antibiotika profilaksis sebelum pemasangan kateter 1x saja (biasanya
tidak diperlukan antibiotika sama sekali). Kateter tetap dipertahankan sesingkat
mungkin, sepanjang masih dibutuhkan.
2) Sistostomi suprapubik
1. Sistostomi trocar
Indikasi:
1) Kateterisasi gagal: striktura, batu uretra yang menancap (impacted).
2) Kateterisasi tidak dibenarkan: kerobekan uretra path trauma.
Syarat-syarat:
1) Retensi urin dan buli-buli penuh, kutub atas lebih tinggi pertengahan jarak
antara simfisis-umbilikus
2) Ukuran kateter Foley lebih kecil daripada celah dalam trocar (< - > 20F)
dorongan kelewatan sehingga trokar menembus dinding belakang buli-buli.
2. Sistostomi terbuka
Indikasi:
1) Lihat sistostomi trocar
2) Bila sistostomi trokar gagal
3) Bila akan melakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu di dalam
buli-buli, evaluasi gumpalan darah, memasang "drain" di rongga Retzii, dan
sebagainya.
Perawatan kateter sistostomi jauh lebih sederhana daripada kateter tetap
melalui uretra. Demikianpula penggantian kateter sistostomi setiap dua
minggu, lebih mudah dan tidak menimbulkan nyeri yang berarti. Kadang-
kadang saja urin merembes di sekitar kateter.
3) Pungsi buli-buli
Merupakan tindakan darurat sementara bila keteterisasi tidak berhasil dan
fasilitas/sarana untuk sistostomi baik trokar maupun terbuka tidak tersedia.
Digunakan jarum pungsi dan penderita segera dirujuk ke pusat pelayanan dimana
dapat dilakukan sistostomi. Penderita dan keluarga harus diberi informasi yang jelas
tentang prosedur ini karena tanpa tindakan susulan sistostomi, buli-buli akan terisi
penuh kembali dan sebagian urin merembes melalui lubang bekas pungsi.
9. Komplikasi
1) Urolitiasis atau nefrolitiasis
Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal, sedangkan
urolitiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam system urinarius. Urolitiasis
mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu terbentuk dari traktus
urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat,
dan asam urat meningkat.
2) Pielonefritis
Pielonefritis adalah radang pada ginjal dan saluran kemih bagian atas. Sebagian
besar kasus pielonefritis adalah komplikasi dari infeksi kandung kemih (sistitis).
Bakteri masuk ke dalam tubuh dari kulit di sekitar uretra, kemudian bergerak dari
uretra ke kandung kemih. Kadang kadang, penyebaran bakteri berlanjut dari
kandung kemih dan uretra sampai ke ureter dan salah satu atau kedua ginjal. Infeksi
ginjal yang dihasilkan disebut pielonefritis.
3) Hidronefrosis merupakan penggembungan ginjal yang disebabkan oleh tersumbatnya
aliran air kemih sehingga mengakibatkan tekanan balik terhadap ginjal.
4) Pendarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah, biasanya akibat cedera
(Smeltzer, Suzanne C. 2018).
KONSEP RESUME
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSU AMELIA PARE

3) Konsep resume secara konsep teori


1. Pengkajian Keperawatan
1) Data umum
Meliputi:
1. Nama
2. No. register
3. Umur
4. Jenis kelamin
5. Agama
6. Suku bangsa
7. Bahasa
8. Alamat
9. Pekerjaan
10. Penghasilan
11. Status
12. Pendidikan terakhir
13. Golongan darah
14. Tanggal pengkajian
15. Diagnose medis
2) Data dasar
1. Triage
Triage : Tentukan level Triage untuk setiap pasien yang Anda kaji. Centang pada
kotak yang tersedia sesuai dengan warna level Triage. Penentuan Triage bisa
menggunakan Visual Triage atau Emergency Severity Index (ESI). Pasien
dengan kategori Triage Merah (P1) merupakan pasien yang perlu segera
mendapatkan tindakan Life Saving dan tidak dapat ditunda. Biasanya pasien
dengan gangguan pernapasan berat atau gagal napas. Pasien dengan kategori
Triage Kuning adalah pasien yang membutuhkan tindakan segera, tetapi tidak
mengancam jiwa. Biasanya pasien dengan fraktur, nyeri tetapi masih dalam
kondisi sadar. Pasien dengan kategori Triage Hijau adalah pasien yang tidak
harus segera mendapatkan tindakan, tindakan dapat ditunda, dan tidak
mengancam jiwa. Biasanya pasien luka ringan, mual, dsb.
2. Keluhan utama
Keluhan Utama : Ditulis singkat dan jelas, dua atau tiga kata yang
merupakan keluhan yanng membuat klien meminta bantuan pelayanan kesehatan.
Pada keluhan utama, ditulis keluhan pada saat masuk RS dan pada saat
dilakkukan pengkajian
3. Riwayat penyakit sekarang
Penjelasan dari permulaan klien merasakan keluhan sampai dengan dibawa ke
RS.
4. Upaya yang telah dilakukan
Adalah upaya-upaya yang telah dilakukan klien dan keluarga dalam kaitannya
usaha untuk mengurangi keluhan yg terjadi baik yg rasional maupun irasional.
Semua terapi medis beserta tindakan nya dicatat, termasuk juga tindakan
keperawatan yang telah dilakukan selama klien dalam masa perawatan di RS.
5.Riwayat kesehatan dahulu
Diisi dengan riwayat penyakit yang diderita klien yang berhubungan dengan
penyakit saat ini atau penyakit yang mungkin dapat dipengaruhi atau
mempengaruhi penyakit yang diderita klien saat ini.
6. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga dihubungkan dengan kemungkinan adanya penyakit
keturunan, kecenderungan alergi dalam satu keluarga, penyakit yang menular
akibat kontak langsung maupun tak langsung antar anggota keluarga.
3) Pemeriksaan primer
1. Airway
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1. Adanya snoring (ngorok) atau gurgling (kumur)
2. Stridor atau suara napas tidak normal
3. Agitasi (hipoksia)
4. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
5. Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
1. Muntahan
2. Perdarahan
3. Gigi lepas atau hilang
4. Gigi palsu
5. Trauma wajah
2. Breathing
 Dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan
pada pasien.
 Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang
harus dipertimbangkan adalah:
a. Dekompresi rongga pleura dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax,
b. Closure of open chest injury dan
c. Ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
1. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
2. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumotoraks.
Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
3. Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1. Menentukan ada atau tidaknya
2. Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3. Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4. Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
 Hentikan perdarahan eksternal
 Pasang 2 jalur infus dng jarum bsr (14-16 G)
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi (berikan infus cairan)
4. Disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbal.
5. Exposure dan preven hypothermia
 Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.
 Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi
in-line penting untuk dilakukan.
 Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.
 Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal.
 Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
4) Pemeriksaan sekunder
1. Kepala
a. Rambut : warna, distribusi, kebersihan, kkutu, ketombe.
b. Muka : raut muka, warna, kebersihan, jerawat, luka.
c. Mata : kelopak mata, konjungtiva, pupil, sklera, lapang pandang, bola mata
dan ketajaman penglihatan.
d. Hidung : kebersihan, sekresi, dan pernapasan cuping hidung.
e. Mulut : bibir, mukosa mulut, lidah dan tonsil.
f. Gigi : jumlah, karies, gusi dan kebersihan.
g. Telinga : kebersihan, sekresi dan pemeriksaan pendengaran
2. Leher
a. Pembesaran kelenjar limfe, tyroid
b. Posisi trakhea
c. Distensi vena jugularis
d. Kaku kuduk
3. Thorax (dada)/ paru dan jantung
a. Inspeksi : diameter anteroposterior dalam proporsi terhadap diameter lateral
(bentuk dada), ekspansi dada, gerakan dada (frekunsi, irama, kedalaman),
ictus cordis penggunaan otot bantu pernapasan.
b. Palpasi : massa otot dan tulang thorak meliputi bengkak, nyeri, massa,
pulsasi, krepitasi, ekspansi dinding dada, fremittus raba, impuls apikal,
getaran thrill.
c. Perkusi : perhatikan intensitas, nada, kualitas, bunyi dan vibrasi yang
dihasilkan.
d. Auskultasi : suara nafas, suara nafas tambahan dan suara jantung.
4. Abdomen
a. Inspeksi : warna, striae, jaringan parut, lesi kemerahan, umbulicus, garis
bentuk abdomen.
b. Auskultasi : frekuensi, nada dan intensitas bising usus.
c. Palpasi : rasakan adanya spasme otot, nyeri tekan, dan adnya massa.
d. Perkusi : dengarkan bunyi yanng dihasilkan.
5. Ekstremitas
a. Kekuatan otot
b. Range of motion
c. Perabaan akral
d. Perubahan bentuk tulang
e. CRT ( normal < 3 detik)
f. Edema pitting dengan derajat kedalaman
(+1=2mm, +2= 4mm, +3= 6mm, +4= 8mm)
6. Genetalia dan anus
a. Kebersihan
b. Sesuai prioritas pengkajian
7. Pemeriksaan neurologis
a. Pemeriksaan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)
b. Pemeriksaan kesadaran kualitatif
c. Rangsangan meningeal : kaku kuduk, tanda kernig, tanda Brudzinski, tanda
lasegue
5) Pemeriksaan diagnostic
Ditulis tanggal pemeriksaan , hasil dan satuannya.
1. Pemeriksaan laboratorium
2. Foto rontgent
3. Rekam kardiografi
4. Dll
6) Tindakan di IGD
Semua tindakan yang dilakukan di IGD
7) Terapi
Ditulis nama obat lengkap, dosis, frekuensi pemberian, cara pemberian.
1. Oral
2. Parenteral
3. Lain - lain
2. Diagnosa Keperawatan (SDKI)
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon pasien terhadap
suatu masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung
actual maupun potensial. Diagnose keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon
pasien terhadap individu, keluarga, atau kemunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan (Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
3. Intervensi Keperawatan (SIKI)
Setelah merumuskan diagnose dilanjutkan dengan intervensi dan aktivitas keperawatan
untuk mengurangi atau menghilangkan serta mencegah masalah keperawatan pada pasien.
Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan prioritas diagnose
keperawatan, menentukan sasaran dan tujuan, menetapkan kriteria evaluasi serta
merumuskan intervensi serta aktivitas keparwatan. Intervensi diambil dari standar
intervensi keperawatan Indonesia (SIKI) Tim Pokja SIKI DPP PPNI.
4. Implementasi Keperawatan (SLKI)
Implemetasi keperawatan adalah sebuah fase dimana perawat melaksanakan intrevensi
keperawatan yang sudah direncanakan sebelumnya. Berdasarkan terminology,
implementasi terdiri atas melakukan dan medokumentasikan yang merupakan tindakan
keperawatan khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi. Tahap pelaksanaan
terdiri dari tindakan mandiri dan kolaborasi yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Agar kondisi
pasien cepat membaik diharapkan bekerjasama dengan keluarga pasien dalam melakukan
pelaksanaan agar tercapainya tujuan dari kriteria keberhasilan yang sudah di buat dalam
intervensi keperawatan (Nursalam, 2016).
5. Evaluasi (SOAP)
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang
sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dari tujuan atau kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan. Format yang digunakan untuk evaluasi keperawatan
adalah format SOAP yang terdiri dari:
1) S (Subjektif)
Pernyataan dari pasien atau keluarga pasien setelah dilakukan tindakan
2) O (Objektif)
Data yang diambil dari sebuah pemeriksaan yang dilakukan oleh perawat
3) A (Analisis/ asassment)
Masalah keperawatan
4) Planning
Rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan analisis
DAFTAR PUSTAKA

Araza, Devi Y. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Ny. K dengan Dengue Hemorrhage Fever
(DHF) derajat 1 di Instalasi Gawat Darurat RSU Muhammadiyah. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Emarani Putri., 2021. Asuhan keperawatan dengan masalah keperawatan Inkontinensia Urine, 3:
337-345. https://doi.org/10.15294/ijphn.v1i3.46887

Maharani, Dwi J. & Diah F. 2019. Askep S1 Keperawatan pada pasien dengan masalah
keperawatan retensi urine. Jurnal AcTion: Aceh Nutrition Journal, (4)2: 81-88.
http://dx.doi.org/10.30867/action.v4i2.78

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan,
DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan,
DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan, DPP
PPNI

Anda mungkin juga menyukai