Makalah Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Status Asmatikus Kelompok 3A
Makalah Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Status Asmatikus Kelompok 3A
STATUS ASMATIKUS
KELOMPOK 3
Gian Nugraha
Sutarto
Selvi Oktavia
Asri Kholilah
A. Latar Belakang
Secara umum Status Asmatikus adalah penyakit asma yang berat disebabkan oleh
peningkatan respon dari trachea dan bronkus terhadap bermacam-macam stimuli yang
ditandai dengan penyempitan bronkus atau bronkhiolus dan sekresi yang berlebih-
lebihan dari kelenjar-kelenjar di mukosa bronchus. Hal tersebut dikarenakan adanya
faktor yang mempengaruhi, baik dari faktor ekstrinsik dan instrinsik.
Asma adalah penyakit saluran udara yang ditandai oleh peradangan saluran napas dan
hyperreactivity (Meningkat tanggap terhadap berbagai pemicu). Hyper-reaktivitas
mengarah ke saluran napas karena onset akut kejang otot pada otot polos dari
tracheobronchial obstruksi pohon, sehingga mengarah ke lumen menyempit. Selain
kejang otot, terdapat pembengkakan mukosa, yang menyebabkan edema. Terakhir,
kelenjar lendir peningkatan jumlah, hipertrofi, dan mengeluarkan lendir tebal
Pada asma, kapasitas total paru (TLC), kapasitas residu fungsional (FRC), dan sisa
volume (RV) meningkat, tetapi tanda penyumbatan saluran napas adalah pengurangan
rasio paksa expiratory volume dalam 1 detik (FEV1) dan FEV1 dengan kapasitas vital
paksa (FVC). Meskipun asma dapat disebabkan oleh infeksi (khususnya virus) dan
iritasi dihirup, hal itu sering terjadi hasil reaksi alergi.
Sebuah alergen (antigen) diperkenalkan untuk tubuh, dan kepekaan seperti antibodi
imunoglobulin E (IgE) terbentuk. LgE antibodi mengikat untuk sel mast jaringan dan
basofil di mukosa bronkiolus, jaringan paru-paru, dan nasofaring. Antigen-antibodi
reaksi melepaskan zat mediator primer seperti histamin dan zat bereaksi lambat dari
anaphylaxis (SRS-A) dan lain-lain. Ini menyebabkan mediator kontraksi kelancaran otot
dan edema jaringan. Selain itu, sel goblet mengeluarkan lendir tebal ke saluran udara
yang menyebabkan obstruksi. Asma intrinsik hasil dari semua penyebab lain kecuali
alergi, seperti infeksi (Khususnya virus), menghirup iritasi, dan penyebab lainnya atau
etiologi. The parasimpatis sistem saraf menjadi terangsang, yang meningkatkan nada
bronchomotor, mengakibatkan bronkokonstriksi.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan tentang
kegawatdaruratan anak pada penyakit Asmatikus.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui definisi penyakit asmatikus
A. Pengertian
1. Asma
Asma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan
oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski
: 2007).
Asma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan
bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 2005).
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea
dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smeltzer
Suzanne : 2001).
2. Status Asmatikus
Status Asmatikus adalah suatu serangan asma yang berat dan akut, berlangsung
dalam beberapa jam sampai beberapa hari, yang tidak memberikan perbaikan pada
pengobatan yang lazim. Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis
saluran pernafasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran
udara yang reversible dan gejala pernafasan. (Hudak & Gallo dalam Prasetyo,
2011).
Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa pernapasan wheezing,
ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika bernapas), kemudian bisa
berlanjut menjadi pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena
leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian
berakhir dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi dibronkus maka
suara wheezing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal
pernapasan (Brunner & Suddarth, 2006). Pendapat serupa juga menyatakan bahwa
asma merupakan reaksi hiperresponsif saluran napas yang berbeda-beda derajatnya
dan menimbulkan fluktuasi spontan terhadap obstruksi jalan napas (Lewis et al.,
2006).
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespons
terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam.
Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan nebulizer,
dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan iritan nonspesifik dapat menunjang
episode ini. Epidsode akut mungkin dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap
penisilin.
Status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medic berupa seranganasam berat
kemudian bertambah berat yang refrakter bila serangan 1 – 2 jam pemberian obat
untuk serangan asma akut seperti adrenalin subkutan, aminofilin intravena, atau
antagonis tidak ada perbaikan atau malah memburuk.
B. Etiologi
Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan merupakan respon terhadap
rangsangan yang pada paru-paru normal tidak akan memengaruhi saluran pernafasan.
Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti serbuk sari, debu, bulu
binatang, asap, udara dingin dan olahraga. Pada suatu serangan asma, otot polos dari
bronki mengalami kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami
pembengkakan karena adanya peradangan (inflamasi) dan pelepasan lendir ke dalam
saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut
bronchokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat
tenaga supaya dapat bernafas. (Adi, 2011)
Sel-sel tertentu di dalam saluran udara, terutama mastosit diduga bertanggungjawab
terhadap awal mula terjadinya penyempitan ini. Mastosit disepanjang bronki
melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya:
kontraksi otot polos, peningkatan pembentukan lender, perpindahan sel darah putih
tertentu ke bronkiolus. Mastosit mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap
sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu
halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang. Tetapi asma juga bisa terjadi
pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang sama terjadi jika orang tersebut
melakukan olah raga atau berada dalam cuaca dingin. Stres dan kecemasan juga bisa
memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien. Sel lainnya yakni eosinofil yang
ditemukan di dalam saluran udara penderita asma melepaskan bahan lainnya (juga
leukotrien), yang juga menyebabkan penyempitan saluran udara. Asma juga dapat
disebabkan oleh tingginya rasio plasmabilirubin sebagai akibat dari stres oksidatif yang
dipicu oleh oksidan. (Adi, 2011)
Pada keadaan asma yang parah gejala yang ditimbulkan dapat berupa peningkatan
distress pernapasan (tachycardia, dyspnea, tachypnea, retraksi iga, pucat), pasien susah
berbicara dan terlihat lelah. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang
mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah serangan batuk yang hebat,
sesak napas yang berat dan tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari
sekitar mulut), sulit tidur dengan posisi tidur yang dianggap nyaman adalah dalam
keadaan duduk, dan kesadaran menurun (Depkes RI, 2010).
Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan, seperti terpapar oleh bulu
binatang, uap kimia, perubahan temperatur, debu, obat (aspirin, beta- blocker), olahraga
berat, serbuk, infeksi sistem respirasi, asap rokok dan stres (GINA, 2009). Gejala asma
dapat menjadi lebih buruk dengan terjadinya komplikasi terhadap asma tersebut
sehingga bertambahnya gejala terhadap distress pernapasan yang biasa dikenal dengan
Status Asmatikus (Brunner & Suddarth, 2006).
Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa pernapasan wheezing,
ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika bernapas), kemudian bisa berlanjut
menjadi pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena leher,
hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir
dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di bronkus maka suara wheezing
dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan (Brunner &
Suddarth, 2006).
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita lebih sering
terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak nafas yang singkat
dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu mengalami
batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah menderita suatu
infeksivirus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau
tertawa keras juga bisa menyebabkan timbulnya gejala. Suatu serangan asma dapat
terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan
sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan
nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala
yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama
kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di
dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai
beberapa jam, bahkan selama beberapa hari. (Adi, 2011)
Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk kering di
malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa merupakan satu-satunya gejala.
Selama serangan asma, sesak nafas bisa menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa
cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak
keringat. Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara
karena sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang menurun,
dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar kemudian segera
tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan pertanda bahwa
persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera dilakukan pengobatan.
Meskipun telah mengalami serangan yang berat, biasanya penderita akan sembuh
sempurna, Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) bisa pecah dan
menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan udara
terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang dirasakan oleh
penderita. (Adi, 2011).
D. Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Semakin berat asma semakin tinggi
tingkat pengobatan (Depkes RI, 2010). Pengklasifikasian asma dapat dilakukan dengan
pengkajian terhadap gejala dan kemampuan fungsi paru. Semakin sering gejala yang
dialami, maka semakin parah asma tersebut, Begitu juga dengan kemampuan fungsi
paru yang diukur dengan Peak Flow Meters untuk mengetahui Peak Expiratory Flow
(PEF) dan Spyrometers untuk mengukur Force Expiratory Volume dalam satu detik
(FEV1) disertai dengan Force Vital Capacity (FVC). Semakin rendah kemampuan
fungsi paru, maka semakin parah asma tersebut (GINA, 2009).
Menurut Somantri (2008), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi oleh karena
faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang,
obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Paparan
terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Gejala asma umumnya dimulai
saat kanak-kanak.
2. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi non alergi
yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti
udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernapasan,
emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan
dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronik dan
emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma
gabungan. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (usia > 35 tahun).
3. Asma gabungan
Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering ditemukan.
Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun bentuk idiopatik atau
nonalergik.
Sedangkan klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel D Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya (Depkes RI, 2009)
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen
yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran
nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen
presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut
dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan
dilepaskanya interleukin 2 (IL-2) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan
membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil
yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu
sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu
terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan
diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini
akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang
menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan
menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow
releasing suptance of anaphylaksis (SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of
anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga
reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun
yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas
kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin
menyempitnya saluran nafas, peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan
produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi
ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas
ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada
tahap yangsangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995).
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium.
Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi
karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema
dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus
yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam,
ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing). Klien lebih suka duduk
dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat,
gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai
hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada
batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena
asfiksia. (Tjen Daniel, 1991).
Pernafasan
Retensi CO2
Fatigue/
Kelelahan
Infeksi, allergen,
Irritan
Respon Respon
F. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas.Untuk memperkuat
diagnosis bisa dilakukan pemeriksaan spirometri berulang.Spirometri juga
digunakan untuk menilai beratnya penyumbatan saluran udara dan untuk memantau
pengobatan.(Wilkinson, 2002)
Menentukan faktor pemicu asma seringkali tidak mudah. Tes kulit alergi bisa
membantu menentukan alergen yang memicu timbulnya gejala asma. Jika
diagnosisnya masih meragukan atau jika dirasa sangat penting untuk mengetahui
faktor pemicu terjadinya asma, maka bisa dilakukan bronchial challenge test.
(Wilkinson, 2002).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan :
Kristal —kristal cbarcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinofil.
Terdapatnya Spiral Curschman, yakni spiral yang merupakan silinder sel- sel
cabang-cabang bronkus
Terdapatnya Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
Terdapatnya neutrofil eosinofil
2. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah yang rutin diharapkan eosinofil meninggi, sedangkan
leukosit dapat meninggi atau normal, walaupun terdapat komplikasi asma
Gas analisa darah
Terdapat hasil aliran darah yang variabel, akan tetapi bila terdapat peninggian
PaCO2 maupun penurunan pH menunjukkan prognosis yang buruk
Kadang —kadang pada darah terdapat SGOT dan LDH yang meninggi
Hiponatremi 15.000/mm3 menandakan terdapat infeksi
Pada pemeriksaan faktor alergi terdapat IgE yang meninggi pada waktu
seranggan, dan menurun pada waktu penderita bebas dari serangan.
Pemeriksaan tes kulit untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergennya
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada tipe asma atopik.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pada umumnya, pemeriksaan foto rontgen pada asma normal. Pada serangan asma,
gambaran ini menunjukkan hiperinflasi paru berupa radiolusen yang bertambah, dan
pelebaran rongga interkostal serta diagfragma yang menurun. Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, kelainan yang terjadi adalah:
Bila disertai dengan bronkhitis, bercakan hilus akan bertambah
Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD) menimbulkan gambaran yang
bertambah.
Bila terdapat komplikasi pneumonia maka terdapat gambaran infiltrat pada paru.
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
4. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5. Pemeriksaan faal paru
Bila FEV1 lebih kecil dari 40%, 2/3 penderita menujukkan penurunan tekanan
sistolenya dan bila lebih rendah dari 20%, seluruh pasien menunjukkan
penurunan tekanan sistolik.
Terjadi penambahan volume paru yang meliputi RV hampi terjadi pada seluruh
asma, FRC selalu menurun, sedangan penurunan TRC sering terjadi pada asma
yang berat.
6. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
7. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan
FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak
saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi.
8. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi selama terjadi serangan asma dapat dibagi atas tiga
bagian dan disesuaikan dengan gambaran emfisema paru, yakni :
Perubahan aksis jantung pada umumnya terjadi deviasi aksis ke kanan dan rotasi
searah jarum jam
Terdapatnya tanda-tanda hipertrofi jantung, yakni tedapat RBBB
Tanda-tanda hipoksemia yakni terdapat sinus takikardi, SVES, dan VES atau
terjadinya relatif ST depresi.
H. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan oleh status asmatikus adalah
a. Atelaktasis
b. Hipoksemia
c. Pneumothoraks Ventil
d. Emfisema
e. Gagal jantung
f. Gagal napas
A. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer.
a) Airway (jalan napas).
Kaji adanya penumpukan sputum pada jalan nafas.
Kaji akan kebutuhan oksigen.
b) Breathing.
Kaji frekuensi pernapasan.
Kaji adanya sesak atau tidak.
Kaji bunyi napas (adanya bising, mengi).
Kaji irama pernapasan.
c) Circulation.
Kaji frekunsi nadi.
Kaji tekanan darah (TD).
d) Disability.
Kaji keadaan umum (GCS,kesadaran).
Riwayat penyakit dahulu/sekarang.
Kaji Riwayat pengobatan.
e) Exposure.
Menciptakan lingkungan yang nyaman supaya tidak tambah
memperburuk keadaan.
b. Pengkajian Sekunder.
a) Riwayat Keluarga.
Kaji adanya alergi,gangguan genetic.
Kaji adanya infeksi.
Kaji adanya alergi, iritasi,trauma.
Kaji riwayat nyeri dada.
b) Pemeriksaan fisik
Frekuensi: cepat ( takipnea ), normal atau lambat.
Kedalaman nafas: kedalaman normal, terlalu dangkal ( hipopnea ),
terlalu dalam (hiperpnea), biasanya diperkirakan dari amplitude torakal
dan pegembangan abdomen.
Kemudahan: kurang upaya, sulit (dispnea), ortopnea, dihubungkan
dengan retraksi enterkosta dan atau substrenal (inspirasi “ tenggelam”
dari jaringan lunak dalam hubungannya dengan kartilaginosa dan tulang
toraks), pulsus paradoksus (tekanan darah turun dengan inspirasi dan
menigkat karena ekspirasi), pernafasan cuping hidung dan mengi.
Pernafasan sulit: kontinue, intermiten menjadi makin buruk dan
menetap, awitan tiba- tiba pada saat istirahat atau kerja, dihubungkan
dengan mengi, menggorok, dihubungkan dengan nyeri.
Irama: variasi dalam frekuesi dan kedalaman pernafasan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan
bernapas.
c. perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kekurangan oksigen.
3. Intervensi Keperawatan
a. ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum
Intervensi:
a) Amankan pasien ke tempat yang aman.
R/ lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang lebih banyak
untuk pasien.
b) Kaji tingkat kesadaran pasien.
R/ dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan
untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
c) Segera minta pertolongan.
R/ bantuan segera dari rumah sakit memungkinkan pertolongan yang
lebih intensif.
d) Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut pasien
R/ mengetahui tingkat pernapasan pasien dan mengetahui adanya
penumpukan secret.
e) Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan pasien
setengah telungkup dan membuka mulutnya.
R/ memudahkan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas.
b. Ketidak efektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas.
Intervensi:
a) Kaji usaha dan frekuensi napas pasien.
R/ mengetahui tingkat usaha napas pasien.
b) Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung pasien.
serta pipi ke mulut pasien.
R/ mengetahui masih adanya usaha napas pasien.
c) Pantau ekspansi dada pasien.
R/ mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien.
c. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kekurangan oksigen.
Intervensi:
a) pantau tanda – tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh nadi
jugularis.
R/ mengetahui masih adanya denyut nadi yang teraba.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai
setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Rencana keperawatan yang dibuat
berdasarkan diagnosis yang tepat, diharapkan dapat mencapai tujuan dan hasil yang
diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status kesehatan klien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan suatu proses kontinyu yang terjadi saat melakukan kontak
dengan klien. Setelah melaksanakan intervensi, kumpulkan data subyektif dan
obyektif dari klien, keluarga dan anggota tim kesehatan lain. Selain itu, evaluasi
juga dapat meninjau ulang pengetahuan tentang status terbaru dari kondisi, terapi,
sumber daya pemulihan, dan hasil yang diharapkan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asma adalah penyakit jalan napas yang tak dapat pulih yang terjadi karena spasme
brongkus yang disebabkan oleh berbagai penyebab seperti allergen, infeksi dan
latihan (Hudak & Gallo. 1997. hal, 565).
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap
terapi konvensional ( Brunner & suddart. 2001. hal 614).
Status asmatikus adalah keadaan spsme bronkeolus berkepanjangan yang
mengancam nyawa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan (Corwin.
2001.hal, 432).
Status asmatikus adalah serangan asma akut yang refraktori dan keadaan ini tidak
berespon terhadap terapi dengan beta adrenergic atau tiofilin intravena (Hudak &
Gallo. 1997. hal, 566).
Dalam penanganan keperawatan gawat darurat status asmatikus dapat disesuaikan
dengan etiologi atau faktor pencetusnya.
B. Saran
Diharapkan setelah mempelajari makalah seminar “ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN STATUS ASMATIKUS” pembaca khususnya mahasiswa
keperawatan dapat mengerti dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan
sesuai rencana keperawatan secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara Engram (2007), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid I, Peneribit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Barbara C. Long (2009), Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, The C.V Mosby Company St. Louis, USA
Brunner and Suddarth (2013) Buku Ajar Kperawatan Medikal Bedah. 8 Vol 2. Jakarta:
EGC.
Black, Joyce. M. dan Hawk, Jane. H. 2005. Medical Nursing; Clinica Management for
Positive Out Come. (17 th Ed). St. Louis; Elsvier. Inc.
Hudak & Gallo (2006), Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik Volume I, Penerbit Buku
Kedoketran EGC, Jakarta.
Jan Tambayong (2000), Patofisiologi Unutk Keperawatan, Penerbit Buku Kedoketran EGC,
Jakarta.
Marylin E. Doenges (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3, Penerbit Buku Kedoketran EGC,
Jakarta.
Sylvia A. Price (2006), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 4 Buku 2,
Penerbit Buku Kedoketran EGC, Jakarta.
Guyton & Hall (2005), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, Penerbit Buku Kedoketran
EGC, Jakarta