Anda di halaman 1dari 21

Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56- Artikel

67, April2023 EISSN: 2089-2063 Ilmiah


DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56 ISSN: 2087-
0469

“Dinamika Autopoietic Sistem Illegal Logging di Hutan Papua”

Ayu Magdalena Br Banjarnahor


2301121240
Halashon Siregar
2301121553
Rina purnama
2301120297
Yuni Della pajoresa br tarigan
2301120894
Maysi krisna br lingga
2301121286
Rani
KELOMPOK 5

Abstrak
Penebangan liar di kawasan hutan Papua selama ini menjadi penyebab degradasi atau deforestasi
yang belum terselesaikan dan berkembang menjadi permasalahan yang kompleks. Penelitian ini
bermaksud untuk menguraikan dinamika kompleks pembalakan liar di Papua, Indonesia, dengan
menggunakan teori Sistem Sosial Niklas Luhmann. Temuan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas pembalakan liar dan mendorong
para pemangku kepentingan untuk menyikapinya dengan keputusan dan kebijakan yang lebih tepat
sesuai dengan peran dan kewenangan masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa illegal
logging di Papua merupakan sebuah sistem sosial yang terbentuk dari penyederhanaan makna hutan
yang dilakukan oleh aktor-aktor yang murni berorientasi pada ekonomi.
Menghadapi tekanan dari upaya pemberantasan sistem ini, sistem tersebut berkembang biak secara
otopoetik melalui diferensiasi hingga menembus seluruh sistem sosial lain yang mengarah pada
penanganan illegal logging dan pengelolaan hutan lestari, khususnya sistem penegakan hukum dan
sistem masyarakat hutan adat. Kemampuan autopoietic untuk bereproduksi menjadikan sistem ini
sangat fleksibel dan tidak dapat ditangani oleh sistem yang kaku dan birokratis dalam menangani
pembalakan liar. Disarankan agar sistem penanganan pembalakan liar juga diubah menjadi sistem
autopoietik melalui pengelolaan kolaboratif.
Kata kunci:Papua, degradasi hutan, sistem sosial, autopoietik, pengelolaan hutan
* Penulis korespondensi, email:susanti.withaningsih@unpad.ac.id
Perkenalan bagi seluruh pemangku kepentingan hutan, termasuk
industri,
Penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal komunitas lingkungan hidup, akademisi, organisasi
dinilai menjadi salah satu penyebab kerusakan bantuan internasional, dan negara produsen dan
hutan di dunia, termasuk di Indonesia (Maryudi et konsumen (Rosenbaum, 2004). Dari sisi pendapatan
al., 2014; Kleinschmit et al., 2016; Barri et al., negara, pembalakan liar telah menyebabkan
2019). Dalam satu dekade terakhir, fenomena hilangnya pajak sebesar miliaran dolar bagi
pembalakan liar di Indonesia menunjukkan pemerintah dan pemilik hutan telah kehilangan nilai
pergeseran yang pesat dari wilayah Indonesia tegakan sebesar miliaran dolar. Diperkirakan
bagian barat ke wilayah timur (Barri et al., 2019). kerugian negara ± Rp2,9 triliun akibat praktik
Pada periode 2006-2017, luas deforestasi Papua
mencapai ±478.936 ha atau ±43.540 ha per tahun pembalakan liar di Papua pada tahun 2018/2019
(Ditjen Penegakan Hukum, 2019). Fenomena (Ditjen Penegakan Hukum, 2019).
pergeseran ini sejalan dengan menurunnya potensi Dari sisi tata kelola, praktik pembalakan liar
sumber daya hutan di wilayah barat (Sumatera) dan merupakan penghambat terwujudnya tata kelola
kehutanan yang baik. Praktik illegal logging terjalin
tengah (Kalimantan). Praktik ini telah berdampak dengan jaringan usaha kayu ilegal yang melibatkan
pada sektor kehutanan Indonesia dalam banyak para taipan atau penebang kayu, pengusaha
aspek. Selain degradasi dan deforestasi, dampak angkutan kayu, pedagang kayu, industri pengolahan
buruk lainnya adalah hilangnya hasil hutan yang kayu, aparat birokrasi, serta sebagian masyarakat
dibutuhkan masyarakat lokal, konflik, serta yang rentan dimobilisasi untuk melakukan praktik
hilangnya pendapatan pajak sektor kehutanan illegal logging. (Nurrochmat dkk., 2010). Seringkali,
secara signifikan (Tacconi et al., 2004; Kleinschmit para taipan kayu mengambil keuntungan dari
et al., 2016; Barri dkk., 2019). Dalam pandangan masyarakat lokal, membujuk mereka untuk
yang lebih luas, pembalakan liar telah melakukan kolusi dan
menimbulkan kekhawatiran yang luas
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

korupsi dengan pejabat pemerintah (Hidayat, 2007). tersebut belum mampu menangkap permasalahan
Fenomena praktik illegal logging menjadi di lapangan dengan sensitivitas yang memadai
semakin penting untuk dikaji pasca berlakunya (Yovi & Nurrochmat, 2018). Salah satu teori yang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 relevan untuk memahami secara mendalam
Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi sistem pembalakan liar sebagai sebuah sistem
Papua dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun sosial adalah sistem sosial autopoietic yang
2008 tentang perubahan atas undang-undang dikemukakan oleh Niklas Luhmann (19271998).
tersebut sebelumnya. Undang-undang ini secara Luhmann mengajukan teori ini bukan bertujuan
tegas menyebutkan perlindungan masyarakat untuk melakukan analisis sosiologis atau
hukum adat berupa hak memanfaatkan tanah, hutan, merumuskan teori tentang masyarakat (
air, dan isinya. Namun pada tataran praktis, gesellschaftstheorie) tetapi ingin menguraikan
pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat kerangka konseptual teori sosial. Temuan penting
hukum adat masih berada pada posisi rentan secara teori sistem sosial Luhmann adalah menempatkan
ekonomi dan politik ketika berhadapan dengan
kelompok yang lebih mampu. Alih-alih menjadi autopoietik ke dalam konteks sistem sosial
hambatan, dalam praktiknya terdapat modus (Nadilla, 2019). Bagi Luhmann, sistem sosial
operandi bagi perusahaan penebangan kayu untuk memberikan instrumen konseptual untuk
membayar premi kepada masyarakat hukum adat mengamati berbagai fenomena yang ada dalam
sebagai pemilik kayu untuk melegitimasi kayu realitas sosial, seperti masyarakat, organisasi, dan
illegal logging yang diberi label kayu “hak interaksi yang terjadi di dalamnya (Syawaludin,
masyarakat” (Koalisi Penyelamatan Hutan Papua, 2017).
2015).
Penebangan liar di india tidak terlepas dari Gejala berkembangnya keterlibatan aktor
tingginya permintaan global akan kayu ilegal dari dalam pembalakan liar memunculkan hipotesis
berbagai negara antara lain Tiongkok, India, bahwa kompleksitas pembalakan liar terus
Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Hong meningkat karena pembalakan liar
Kong (EIA, 2021). Sementara itu, Hoare (2015)
melaporkan bahwa secara global, negara tujuan
perdagangan illegal logging antara lain Tiongkok,
Perancis, India, Jepang, Belanda, Korea Selatan,
Thailand, Inggris, Amerika Serikat, dan Vietnam.
Kemampuan menembus pasar global berkat
dukungan dan keterlibatan sindikat multinasional
(Hidayat, 2007). Dengan demikian, praktik illegal
logging di Indonesia tidak hanya menjadi masalah
nasional namun juga menjadi masalah global
(Kleinschmit et al., 2016).
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa
pembalakan liar melibatkan banyak aktor dan
membentuk anggapan bahwa pembalakan liar
merupakan kejahatan luar biasa dan kejahatan
terorganisir trans-nasional (Lampe, 2016). Sejumlah
upaya konkrit telah dilakukan untuk memberantas
praktik tersebut, baik melalui penegakan hukum
maupun upaya lainnya, misalnya dengan
pengendalian perdagangan internasional. Dimulai
dari 'Deklarasi Penegakan Hukum dan Tata Kelola
Kehutanan Bali (FLEG)' pada tahun 2001,
pendekatan sertifikasi wajib telah diterapkan pada
unit pengelolaan melalui standar verifikasi legalitas
kayu (Verifikasi legalitas kayuatau VLK) dan
pengelolaan hutan lestari (pengelolaan hutan
produksi lestariatau PHPL). Namun upaya ini
belum efektif, meskipun ada kemungkinan skema
57
Jurnal sistem
adalah Manajemenautopoietik.
Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023
Maturana dan Varela Proses penelitian – tahapan pengumpulan data,
Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063
(1980) mendefinisikan sistem autopoietik sebagai – dilakukan
pengolahan data, dan analisis data ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56 secara terus menerus dan bersamaan selama proses
suatu sistem yang secara rekursif mereproduksi
unsur-unsur dalam sistem melalui unsur-unsur itu penelitian berlangsung. Data dikumpulkan dari
sendiri, berdasarkan komunikasinya dengan berbagai sumber: 1) pengalaman empiris peneliti
lingkungan. Dalam konteks sistem sosial, Luhmann dalam keterlibatan langsung dalam penegakan
(1995) menyatakan bahwa dinamika sistem ini dapat hukum dan penyidikan kasus illegal logging, 2)
bergerak secara autopoietik yang ditandai dengan sumber dari berbagai pihak terkait pengelolaan dan
pengaturan diri untuk beradaptasi terhadap tata kelola hutan di Papua, dan 3) dokumen atau
perubahan lingkungan (di luar batas sistem). literatur yang relevan. Sebanyak 48 kasus yang
Kajian ini bertujuan mengungkap supra sistem diselidiki dijadikan sampel, dan selama proses
illegal logging di Indonesia, dengan Papua sebagai penyidikan dilakukan wawancara terhadap 48
lokusnya. Dengan pemahaman yang lebih baik orang
mengenai kompleksitas pembalakan liar, para
pemangku kepentingan dapat terdorong untuk
menyikapinya dengan keputusan dan kebijakan
penanganan yang lebih tepat sesuai dengan peran dan
kewenangan masing-masing. Mengingat kompleksitas
sistem tersebut, kami menggunakan pendekatan
sistem sosial otopoietik Luhmann (1995), yang
diharapkan dapat menggambarkan kompleksitas
pembalakan liar di Papua secara lebih sistematis dan
komprehensif.

Metode
Daerah belajarPenelitian ini dilakukan terhadap 48
kasus (2018–2019) pembalakan liar yang melibatkan
29 perusahaan HPH dan 29 masyarakat hukum adat
Papua, yang terjadi di Jayapura, Keerom, Boven
Digul, Merauke, Nabire, Manokwari, Bintuni,
Kaimana, Sorong Selatan, dan Sorong (Gambar 1),
untuk memahami secara mendalam dinamika
autopoietiknya. Semua perkara tersebut adalah
perkara yang penanganan atau penegakan
hukumnya melibatkan peneliti secara langsung dan
telah diputus oleh pengadilan atau mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht). Suatu perkara
inkracht mempunyai informasi yang lengkap dan
terpercaya karena diperoleh melalui proses
penyidikan yang cermat. Dimana dalam proses
penegakan hukum illegal logging ini peneliti terlibat
langsung dan aktif selaku Ketua Satgas Penegakan
Hukum Illegal Logging Papua.
Namun permasalahan illegal logging merupakan
permasalahan sistemik yang tidak dapat dipisahkan
dari hubungannya dengan sistem lain yang hierarkinya
lebih luas/lebih tinggi, yaitu pengelolaan sumber daya
alam di Indonesia maupun internasional. Oleh karena
itu, lokasi pengumpulan informasi dalam penelitian
ini tidak terbatas pada wilayah administratif
kabupaten saja, tetapi juga sistem lain yang terkait
dengan pengelolaan hutan di Papua atau Indonesia.

ProsedurPenelitian ini berlandaskan paradigma


post-positivisme, dilaksanakan melalui metode
penelitian deskriptif kualitatif, yang berupaya
mencari dan mengumpulkan data-data yang tersebar,
kemudian dikonstruksikan dalam tema yang lebih
58
bermakna dan mudah dipahami.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

Gambar 1 Lokasi penelitian.

tersangka dan 551 saksi atau narasumber dari diperoleh sebelumnya atau bahkan untuk
berbagai pihak (Tabel 1), baik dari korporasi, memperkaya informasi dari sumber data pertama.
masyarakat hukum adat maupun dari luar kedua Data yang telah divalidasi ini kemudian dianalisis
sistem tersebut. melalui pengkodean deduktif, pemadatan fakta,
Sumber data selanjutnya diperoleh dari kategorisasi dan membangun narasi berdasarkan
wawancara dan FGD yang melibatkan banyak teori sistem sosial Niklas Luhmann untuk
narasumber dari berbagai pihak terkait pengelolaan
hutan dan tata kelola hutan di Papua. Mereka mendapatkan gambaran menyeluruh tentang
berasal dari birokrat Kementerian Lingkungan dinamika sistem pembalakan liar di Papua.
Hidup dan Kehutanan (termasuk unit pelaksana
teknisnya), birokrat yang membidangi kehutanan di
pemerintah daerah, orang-orang penting dari MendekatiPendekatan yang digunakan dalam
masyarakat hukum adat di Papua, orang-orang penelitian ini adalah pendekatan Luhmann
penting di dunia usaha kehutanan; akademisi; dan
aktivis LSM (jumlah dan asal narasumber disajikan
pada Tabel 1). Baik informan maupun narasumber
dipilih secara purposif berdasarkan prinsip sampling
yang berfokus pada intensitas (Patton, 1990), yaitu
informan yang diyakini memiliki data atau
informasi yang kaya mengenai fenomena
pembalakan liar di Papua.
Sedangkan jumlah informan atau narasumber
ditentukan secara dinamis berdasarkan kebutuhan
akan kedalaman dan kejenuhan informasi yang
diperoleh.
Data yang diperoleh dari berbagai sumber
kemudian divalidasi melalui proses triangulasi.
Merujuk pada Ali (2014), triangulasi dilaksanakan
dengan menggunakan berbagai sumber data yang
berbeda. Maksudnya informasi yang diperoleh dari
satu sumber data dicek silang dengan sumber data
yang lain untuk memperoleh informasi lain yang
mungkin bertentangan dengan informasi yang
59
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

teori sistem sosial autopoietic. Konsep autopoietic


sendiri pertama kali dicetuskan oleh Maturana dan
Varela (1980), yang mendefinisikan sistem
autopoiesis sebagai suatu sistem yang secara rekursif
mereproduksi unsur-unsur dalam sistem melalui
unsur-unsur itu sendiri. Reproduksi unsur-unsur
tersebut merupakan hasil proses interaksi antar unsur-
unsur dalam sistem, dan proses dalam sistem
autopoiesis merupakan proses reproduksi diri.
Luhmann menggunakan istilah “autopoietik”
untuk menunjukkan sistem seperti sistem ekonomi,
politik, hukum, ilmiah, dan birokrasi. Konsep kunci
dari teori sistem Luhmann adalah mengatur diri
sendiri dan menciptakan diri sendiri atau
selfgenerating (Scott, 2012). Bagi Luhmann, proses-
proses dalam sistem sosial bersifat self-reference dan
self-reproductive (Rahardjo, 2006). Referensi
mandiri berarti setiap operasi mengacu pada operasi
sebelumnya. Dalam sistem autopoietik, semua
elemen yang menjadi bagian dari sistem diciptakan
oleh sistem itu sendiri. Dengan demikian, sistem
sosial merupakan jenis sistem tertutup: tidak
mungkin terjadi kontak langsung antara sistem dan
lingkungannya. Sistem selalu menentukan sendiri
bagaimana melakukan kontak dengan lingkungan.
Perbedaan sistem autopoietik dan sistem tertutup
terletak pada sifat rekursifnya, tidak hanya
menghasilkan dan mengganti strukturnya sendiri,
namun segala sesuatu yang dijadikan satu kesatuan
dalam sistem yang dihasilkan juga merupakan satuan
dalam sistem itu sendiri (Syawaludin, 2017). .
Mekanisme teori sistem Luhmann bekerja dengan
dua konsep: interpenetrasi dan penggandengan
struktural, dengan konsep pertama digunakan sebagai
ruang lingkup dalam penelitian ini.
Interpenetrasi merupakan peristiwa saling
penetrasi antar subsistem yang akan selalu mengacu
pada unsur-unsur dalam setiap subsistem sesuai
kodenya masing-masing (Luhmann, 1989; Luhmann,
1995). Konsep interpenetrasi menganggap bahwa
suatu sistem menjadikan kompleksitasnya tersedia
bagi sistem lain.

60
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa upaya Kondisi iklim menyebabkan terjadinya pola adaptasi
penanganan praktik illegal logging tidak bisa lagi yang berbeda-beda antara satu atau beberapa
hanya mengandalkan pendekatan hukum yang kelompok etnis lain berdasarkan perbedaan
bertumpu pada sejumlah sanksi administratif, lingkungan ekologi tempat mereka tinggal (Song &
perdata, dan pidana. Praktik illegal logging Zhang, 2018). Adaptasi menimbulkan perbedaan
merupakan permasalahan yang bersifat sistemik dan dalam perkembangan struktur sosial dan pola
efektifitas penanganannya bergantung pada sinergi kehidupan. Namun di antara keberagaman tersebut
peran dan tindakan para pemangku kepentingan terdapat ciri khas kehidupan tradisional: hubungan
berlapis antara manusia dengan alam-darat yang
(aparat hukum, instansi/lembaga pemerintah dan tampak secara sosial, ekonomi, ekologi, budaya, dan
pemerintah daerah, masyarakat dan organisasinya, mistik-religius. Dari pemahaman masyarakat Papua
serta organisasi internasional) sesuai dengan terhadap hutan, terdapat pandangan bahwa hutan
kebutuhan. dengan kewenangannya masing-masing adalah 'ibu' atau 'identitas'; Oleh karena itu,
(Setianingsih, 2009; Takamuli, 2018). Namun masyarakat hukum adat mempunyai tingkat
pengembangan sistem khusus penanganan illegal ketergantungan yang tinggi terhadap tanah (Zhou &
logging ini memerlukan pemahaman yang Chen, 2006), yang secara kolektif mengacu pada
komprehensif untuk mengungkap kompleksitas dan hak kepemilikan tradisional atas tanah dan hutan.
dinamika sistem illegal logging yang dihadapi. Implikasinya, sistem pengelolaan hutan secara
tradisional tidak pernah lepas dari aturan adat yang
Hasil dan Diskusi berlaku di masyarakat. Selain itu, legitimasi dari
Realitas pengelolaan hutan Papua sebagai negara tidak diperlukan (Biswas & Pal, 2021).
lingkungan hidup dan supra sistem illegal Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa
loggingKarena dianggap sebagai sistem sosial kompleksitas tersebut menunjukkan adanya
yang autopoietic, maka illegal logging di Papua pergeseran yang signifikan dengan munculnya
terbentuk dari reduksi makna terhadap kompleksitas
lingkungannya, sebuah negentropy, dimana selalu sistem pengelolaan hutan negara yang diserahkan
terjadi interaksi antara sistem sosial dan kepada korporasi.
lingkungannya. Oleh karena itu, untuk memperoleh Hampir seluruh kawasan hutan negara untuk
pemahaman menyeluruh mengenai dinamika
autopoietik sistem pembalakan liar ini, diperlukan korporasi di Papua merupakan kawasan hutan adat
pemahaman mengenai lingkungan hidup dan supra sehingga menimbulkan berbagai konflik (Purnomo et
sistemnya. Dalam konteks penelitian ini, lingkungan al., 2013; Kuswandi et al., 2015), sehingga
juga dapat diartikan sebagai supra sistem. Secara menambah kompleksitasnya, termasuk munculnya
umum, “sistem supra” dapat merujuk pada sistem
yang terdiri dari beberapa subsistem dan beroperasi pembalakan liar yang dilakukan baik oleh pihak
pada tingkat abstraksi atau kompleksitas yang lebih korporasi maupun korporasi. korporasi itu sendiri
tinggi. Dalam hal ini, illegal logging adalah salah dan pihak lain.
satu contohnya. Penebangan liar berkembang pesat dan terus
berlanjut bahkan setelah sistem pengelolaan hutan
Lingkungan sistem pembalakan liar atau sistem negara diterapkan (Gambar 2). Studi ini juga
pengelolaan hutan di Papua merupakan sistem mengidentifikasi dua pola pembalakan liar yang
yang sangat kompleks sebagaimana tercermin terjadi di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh
dalam realitas sumber daya hutan dan lembaga pemegang hak pengusahaan hutan ( hak
masyarakatnya. Hutan alam Papua memiliki pengusahaan hutanatau HPH) dan lainnya yang
ekosistem hutan alam tropis terlengkap dan unik, melibatkan masyarakat. Penebangan liar yang
serta memberikan manfaat langsung baik bagi hasil dilakukan oleh HPH pada dasarnya diawali dengan
hutan kayu maupun non kayu, bank genetik, dan penyederhanaan kepemilikan lahan, sistem
penyimpan keanekaragaman hayati. Kompleksitas silvikultur, dan pengaturan hasil. Penyederhanaan
lingkungan ini juga terlihat dari konsep zonasi sistem kepemilikan tanah oleh negara yang tidak
adat yang tergambar dari beragamnya unsur mengakomodasi sistem kepemilikan masyarakat
budaya, seperti bahasa, struktur organisasi sosial, hukum adat telah menimbulkan kontingensi berupa
konflik penggunaan lahan antara masyarakat
sistem kepemimpinan, agama, dan sistem
tersebut dengan HPH (Koalisi Anti Mafia Hutan,
penghidupan yang berbasis pada ekologi lingkungan 2017; Auriga Nusantara dkk., 2018). Sementara
(Parsch et al. , 2022). Geografi dan penyederhanaan sistem silvikultur tidak sejalan
dengan alam
61
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

(A) (B)

Gambar 2 Lokasi pembalakan liar di hutan Papua (a) dan kondisi hutan Papua setelah pembalakan liar (b).

62
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

sistem kelembagaan di luar sistem


dinamika pertumbuhan hutan dan pertumbuhan pemerintahan baik pada tingkat nasional
permintaan (Baharinawati, dkk., 2011). Seluruh maupun internasional yang dibentuk atas
kontinjensi tersebut ditambah dengan sistem kesadaran untuk mendorong terwujudnya
perizinan dan pengawasan yang sarat dengan pengelolaan hutan lestari
pungutan liar mengakibatkan biaya produksi sangat
tinggi dan prospek usaha kurang baik. Proses Dinamika reproduksi sistem pembalakan
komunikasi yang berkembang dari makna tersebut liar di hutan PapuaPengelolaan hutan dan
pada akhirnya mendorong terjadinya proses pembalakan liar di kawasan hutan Papua pada
diferensiasi HPH, salah satunya adalah dasarnya merupakan sebuah sistem sosial.
Merujuk pada Luhmann (1995) sistem sosial ini
terbentuknya sistem pembalakan liar di dalamnya. lahir dari realitas hutan dan pengelolaannya yang
Dalam kasus terakhir, pembalakan liar dilakukan sangat kompleks karena berkaitan dengan hutan
oleh para taipan kayu dengan memanipulasi sebagai sumber daya milik bersama.
masyarakat lokal dan berkolusi dengan pejabat Kompleksitas tersebut mendorong adanya proses
komunikasi yang mendasari penyederhanaannya
pemerintah untuk mengambil keuntungan dari melalui pemilihan makna ke dalam tatanan yang
lemahnya penerapan supremasi hukum (Tim lebih terorganisir, yaitu sistem sosial
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, pengelolaan hutan, termasuk sistem illegal
2011). Dalam perjalanannya, sistem pembalakan logging. Kompleksitas ini bersifat dinamis dan
mendorong evolusi sistem pengelolaannya.
liar berinteraksi dengan sistem sosial lainnya, Pada mulanya sistem pengelolaan hutan di
melalui keterlibatan aktor- aktornya, mereproduksi, Papua adalah pengelolaan hutan secara
dan beradaptasi terhadap gangguan- gangguan tradisional dengan pelaku utama adalah
yang mengancam keberadaannya. Sebagai sistem masyarakat hukum adat yang dibentuk melalui a
sosial, sistem-sistem ini sebenarnya adalah sistem
tertutup yang berinteraksi satu sama lain secara
referensial dan membangun jaringan sistem di
dalam supra sistem. Sistem ini dapat digunakan
untuk reproduksi, baik untuk memberantas
pembalakan liar maupun untuk melestarikannya.
Identifikasi sistem yang ada pada supra sistem ini
adalah sebagai berikut:
1)Sistem kehutanan: suatu sistem yang berkaitan
dengan pengelolaan negara dan pengaturan
pemanfaatan sumber daya. Sistem ini mencakup
sub sistem tata kelola hutan dan pengelolaan
hutan. Subsistem tata kelola kehutanan berkaitan
dengan pengaturan pemanfaatan hutan sebagai
sumber daya publik, sedangkan subsistem
pengelolaan hutan berkaitan dengan teknis
pelaksanaan pengelolaannya.
2) Sistem kehidupan masyarakat hukum adat:
suatu sistem tatanan adat yang berkaitan
dengan aspeksosial ekonomi dan budaya
3) Sistem pemerintahan: suatu sistem yang
berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan baik di pusat maupun daerah,
khususnya yang berkaitan dengan peraturan
pemanfaatan sumber daya alam dan penegakan
hukum.
4)Sistem pemasaran hasil hutan kayu: sistem usaha
hasil hutan kayu juga mencakup sistem
perdagangan, perindustrian, dan peredaran.
5) Sistem kelembagaan non-pemerintah: suatu
61
Jurnal Manajemen Hutan
penyederhanaan makna Tropika,29(1),
hutan sebagai “ibu” dan
56-67, April2023 EIA, 2005; Suarga, 2005; Eddyono, Artikel
2017;Ilmiah
Barri
EISSN: 2089-2063
tempat suci. Makna ini mengacu pada hubungan dkk., 2019 ;Ditjen Penegakan Hukum, ISSN:
2019). Sifat
2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56 reproduksi yang luas inilah yang pada akhirnya
manusia dan alam, serta mencakup nilai atau
keyakinan untuk menjaga hubungan dengan alam mempercepat degradasi hutan dan deforestasi di
serta struktur sosial yang mengatur keharmonisan Papua.
lingkungan (Zhou & Chen, 2006; Lekitoo, 2020). Pada akhirnya, berbagai pihak atau aktor yang
Sistem tradisional ini mulai berubah dengan terlibat secara hukum dalam pengelolaan hutan
munculnya dan berkembangnya sistem pengelolaan
hutan oleh negara berupa konsesi pemanfaatan hutan negara menyikapi kompleksitas baru yang timbul
oleh korporasi, yang sebenarnya terbentuk dari akibat pembalakan liar ini dengan membentuk
penyederhanaan makna hutan oleh negara yang suatu sistem pemberantasannya. Serangkaian
bergerak secara ekonomi atau ekstraktif kayu. . kegiatan telah dilakukan melalui pembentukan
Penyederhanaan maknanya adalah kontingensi yang
juga berarti risiko (Ritzer & Goodman, 2008). Dalam peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 41
hal ini, kontinjensinya adalah pengabaian sistem Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 18 Tahun
pengelolaan hutan tradisional dalam sistem 2013 beserta peraturan turunannya dan
pengelolaan hutan negara menyebabkan pengelolaan penegakannya; namun dampaknya bersifat
sistem ini menjadi tidak pasti, terutama yang sementara dan mempunyai dampak
berkaitan dengan kepemilikan dan fungsi hutan.
Ketidakpastian ini pada akhirnya mengubah kontraproduktif terhadap hukum
komposisi aktor, termasuk masyarakat hukum adat,
dan subjek komunikasi terhadap hutan sebagai
sumber daya ekonomi semata dan meminggirkan
makna-makna yang membentuk pengelolaan hutan
secara tradisional.
Kemungkinan lain yang membawa risiko
terhadap pengelolaan hutan juga muncul dari pelaku
usaha kayu ilegal atau masyarakat lokal yang tidak
terakomodasi oleh sistem pengelolaan hutan.
Komunikasi antar pelaku tersebut memberikan
makna bahwa usaha pengambilan kayu ilegal jauh
lebih menguntungkan karena terbebas dari banyaknya
kewajiban yang menimbulkan biaya tinggi. Sebagian
besar pelaku cenderung tidak lagi mengartikan hutan
sebagai sumber daya bersama, namun hanya sebagai
sumber daya ekonomi. Proses komunikasi yang
berkembang dari makna tersebut pada akhirnya
menyebabkan terbentuknya atau reproduksi sistem
illegal logging di kawasan hutan produksi Papua
(Hidayat, 2007; FWI, 2019).
Sistem pembalakan liar ini pada mulanya
merupakan sistem sosial yang sederhana dengan
kegiatan usaha perkayuan sebagai inti dan pelaku
utamanya adalah para pemodal atau taipan. Secara
umum, setiap pemodal mewakili sistem pembalakan
liar yang tertutup. Namun, aturan menguntungkan-
tidak menguntungkan mendorong para taipan untuk
memperluas bisnis ini dengan mereproduksi sistem
dengan diferensiasi struktural (di mana mereka
membentuk struktur baru yang serupa) dan
diferensiasi fungsional (di mana mereka membentuk
berbagai sub-sistem untuk menjalankan fungsi
tertentu). , dengan tujuan utama memperluas
produksi atau menghindari berbagai ancaman
terutama penegakan hukum.Sub-sistem yang berbeda
ini bekerja dalam berbagai mode, seperti tebangan
cuci mangkok(penebangan ulang pohon sebelum
waktu optimalnya), pemanenan kayu ilegal,
manipulasi data peraturan hasil hutan, dan
62
keterlibatan pejabat dan masyarakat lokal (Telapak &
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

umumnya menyebut tanah'ibuataumama'; 2) nilai


pemanfaatan kayu.
atau kepercayaan yang dibangun untuk menjaga
Di sisi lain, keberadaan sistem ini direspon oleh
hubungan dengan alam; dan 3) struktur sosial
sistem pembalakan liar dengan memperbanyak mengatur keselarasan dengan lingkungan.
sistem secara fungsional melalui proses diferensiasi Keterlibatan Masyarakat Hukum Adat Papua
dengan membentuk subsistem keamanan. Melalui dalam manipulasi kayu yang berasal dari
subsistem ini, sistem illegal logging membangun
masyarakat (Auriga Nusantara et al., 2018)
interpenetrasi sistem sosial yang terkait dengan
menunjukkan adanya adaptasi terhadap
penanganan permasalahan khususnya sistem perubahan sistem sosial dan budaya. Keadaan ini
penegakan hukum untuk mengamankan justru bertentangan dengan kepercayaan
keberadaannya (Gambar 4). Kode biner tradisional yang berpandangan kosmis untuk
menguntungkan dan tidak menguntungkan
menjaga keselarasan dengan alam dalam budaya
digunakan oleh sistem pembalakan liar untuk
dan tradisi (Mansoben, 2003; Deda & Mofu,
melakukan penetrasi terhadap pejabat yang tidak 2014).
jujur dan membujuk mereka agar terlibat dalam Penyederhanaan pengelolaan hutan oleh
menjaga sistem dari penegakan hukum dan masyarakat hukum adat (Hamzah, 2001) juga
memanipulasi legalitas produk mereka. menimbulkan kontingensi baru berupa konflik
Penebangan liar tidak hanya menembus sistem kebijakan antara pemerintah pusat dan
pemberantasan, namun juga menembus masyarakat pemerintah provinsi Papua,
hukum adat dengan menggunakan kode biner
tambahan yaitu “aman” dan “tidak aman”.
Keterlibatan berbagai aparat dan masyarakat hukum
adat akibat masuknya sistem pembalakan liar
mengakibatkan penegakan hukum yang fokus
pada penuntutan pelaku menjadi kurang efektif.
Sistem pembalakan liar masih sama gencarnya
seperti sebelumnya (Telapak & EIA, 2005; Suarga,
2005; Eddyono, 2017; Barri dkk., 2019; Ditjen
Penegakan Hukum, 2019). Situasi ini mendorong
terjadinya proses komunikasi antar negara pelaku
pengelolaan hutan atau pihak-pihak untuk
menggeser makna tata kelolanya.
Perubahan sistem ketatanegaraan pasca
reformasi, lebih khusus lagi pergeseran tata kelola
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi
dengan diberlakukannya undang-undang otonomi
khusus bagi Provinsi Papua (UU Nomor 21 Tahun
2001) menyebabkan berkembangnya antitesis
pengelolaan hutan eksklusif oleh pemerintah.
korporasi. Antitesis ini berarti pengelolaan hutan
menjadi lebih inklusif. Makna baru ini pada
akhirnya menjadi pendorong terbentuknya sistem
pengelolaan hutan negara oleh masyarakat hukum
adat melalui izin pemanfaatan kayu (izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu).
Dari segi sosial budaya, pembalakan liar telah
mengubah sistem sosial budaya masyarakat Papua.
masyarakat hukum adat sebenarnya masih
percaya bahwa hutan menyediakan sumber daya
yang mereka perlukan untuk hidup, dan mereka
melakukan proses sosial budaya di kawasan hutan
(Siburian, 2018). Hal ini dibenarkan oleh Lekitoo
(2020) yang menjelaskan dari sudut pandang
antropologi bahwa dalam kehidupan masyarakat
hukum adat: 1) masyarakat hukum adat di Papua
mengidentifikasi atau mengasosiasikan dirinya
dengan alam; misalnya masyarakat asli Papua pada
63
Jurnal Manajemen
khususnya Hutan
terkait Tropika,29(1), 56-67,
nomenklatur April2023
pengelolaan hutan PHPL) sistem penilaian. Sistem penilaian PHPL
Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063
(Situmorang & Susilawati, 2020). Keadaan ini sesuai yang sebelumnya bertujuan untuk ISSN: mengontrol
2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56 pelaku usaha di sektor kehutanan agar lebih
dengan kajian Hellstrom (2001) tentang budaya konflik
dan strategi manajemen konflik. Lebih lanjut, bertanggung jawab dalam menerapkan pengelolaan
kemungkinan ini telah mendorong terbentuknya saluran hutan lestari (Arshanti et al., 2017; Yovi &
komunikasi antara masyarakat hukum adat dan pelaku Nurrochmat, 2018), kini direproduksi dengan
pembalakan liar. munculnya 1) hutan sistem sertifikasi, 2) sistem
Proses komunikasi ini pada akhirnya mengarah pada pemasaran kayu berbasis sertifikasi, dan 3)
reproduksi sistem pengelolaan hutan berbasis subsistem lain yang terkait dengan PHL. Sementara
masyarakat hukum adat; salah satunya adalah itu, sistem sertifikasi hutan sendiri juga mengalami
munculnya subsistem illegal logging yang salah satu diferensiasi dengan munculnya sistem SVLK; salah
fungsinya adalah melegalkan kegiatan dan produk satu tujuannya adalah mengurangi praktik dan
ilegal. perdagangan illegal logging (Maryudi, 2016).
Sistem penanggulangan illegal logging yang Implementasi SVLK melibatkan banyak pihak yang
masih inti pada penegakan hukum pada dasarnya berstatus mandat undang-undang,
merupakan sistem birokrasi pemerintahan yang
terinspirasi dari model birokrasi Weberian. Namun
salah satu ciri sistem birokrasi ini adalah adanya
struktur wewenang yang bersifat hierarkis dengan
batasan tanggung jawab yang jelas (Udy, 1959;
Wright, 1992; Tjokrowinoto, 1995) menyebabkan
sistem ini menjadi sistem allopoietic yang kaku dan
tidak dapat diadaptasi.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa upaya
penanganan praktik illegal logging tidak bisa lagi
hanya mengandalkan pendekatan hukum yang
bertumpu pada sejumlah sanksi administratif,
perdata, dan pidana. Praktik illegal logging
merupakan permasalahan yang bersifat sistemik dan
efektifitas penanganannya bergantung pada sinergi
peran dan tindakan para pemangku kepentingan
(aparat hukum, instansi/lembaga pemerintah dan
pemerintah daerah, masyarakat dan organisasinya,
serta organisasi internasional) sesuai dengan
kebutuhan. dengan kewenangannya masing-masing
(Setianingsih, 2009; Takamuli, 2018). Studi
membuktikan bahwa dalam menangani pembalakan
liar, birokrasi dan penegakan hukum saja tidak lagi
mampu memenuhi permintaan yang rumit dan tidak
cocok untuk menangani permasalahan yang
seringkali melampaui batas-batas organisasi
(Goldsmith & Eggers, 2004). Penegakan hukum di
Indonesia dipandang tidak memadai untuk
menghentikan pembalakan liar, terutama di wilayah
yang terdesentralisasi di mana pengelolaan sumber
daya alam berada di tangan banyak pemerintah
daerah (Kadir, 2019), dan hal ini bertolak belakang
dengan kasus di Brasil (Tacconi dkk., 2019).
Kurangnya sumber daya pengawasan dan penegakan
hukum merupakan masalah nyata yang diperburuk
dengan masuknya sistem pembalakan liar ini.
Pemerintah dibebani tanggung jawab yang sangat
berat terkait pengelolaan hutan, namun dinilai belum
mampu berbuat banyak, salah satunya disebabkan oleh
pendekatan yang terpusat.
Proses reproduksi sistem illegal logging ini
semakin dipercepat pada masa reformasi dengan
terbentuknya pengelolaan hutan produksi yang
64
berkelanjutan (pengelolaan hutan produksi lestariatau
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

status sukarela dan rezim hak milik hutan sebuah medan kekuatan. Berdasarkan hasil
(Nugroho dkk., 2022). Yang wajib terlibat penafsiran fakta interpenetrasi yang didukung dan
langsung adalah Kementerian Lingkungan Hidup divalidasi melalui focus group Discussion dari
dan Kehutanan, lembaga sertifikasi, unit narasumber dan informan, maka abstraksi ruang
pengelolaan hutan, pengusaha hutan, dan kekuasaan disajikan pada Gambar 4. Gambar
masyarakat sekitar kawasan hutan. tersebut menunjukkan bahwa bidang kekuasaan
Dinamika penanganan illegal logging sistem illegal logging adalah lebih kuat dari
menunjukkan adanya reproduksi sistem dimana penetrasi sistem terkait pengelolaan hutan di
batas-batas sistem berubah dengan adanya Hutan Papua dan hampir seluruh sistem terkait
keterlibatan pihak non-pemerintah baik domestik pengelolaan hutan telah ditembus oleh sistem
maupun internasional. Selain sertifikasi, pergeseran illegal logging ini. Penetrasi bidang kekuasaan juga
penanganan illegal logging juga terlihat dari menunjukkan bahwa tiga kekuatan terkuat adalah
munculnya skema pengelolaan hutan yang lebih sistem pengelolaan hutan oleh Kementerian
inklusif seperti perhutanan sosial. Skema ini Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sistem
dinilai lebih menyentuh sumber penyebab penegakan hukum, dan sistem pengelolaan hutan
penebangan hutan: kemiskinan masyarakat akibat oleh korporasi.
terbatasnya akses terhadap sumber daya hutan. Penetrasi yang dilakukan ketiga sistem tersebut
Sistem pengelolaan illegal logging ini merupakan intervensi birokrasi karena pada
melakukan proses reproduksinya dengan dasarnya ketiga sistem tersebut merupakan
merambah ke berbagai sistem yang berkaitan subsistem dari sistem birokrasi pengelolaan hutan
dengan pengelolaan hutan, termasuk sistem illegal yang juga mencakup sistem birokrasi penanganan
logging melalui proses komunikasi berkode biner illegal logging.
yang mewakili PHL seperti lestari–- tidak lestari, Tingkat penetrasi ini relatif besar; Namun sistem
legal–- tidak legal, adil–- tidak adil , aman–- tidak illegal logging juga cukup merambah ke dalam
aman, berbahaya–- tidak berbahaya, baik–- tidak sistem birokrasi sehingga mengisinya dengan
baik, dan menguntungkan–- tidak menguntungkan. kekacauan birokrasi. Gambaran menarik dari dunia
Namun proses semi-autopoietic sistem kekuasaan juga ditunjukkan dengan adanya
pengelolaan illegal logging harus selalu interpenetrasi antara sistem illegal logging dengan
berhadapan dengan kemampuan autopoietic sistem sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh
illegal logging. Sistem logging dengan kode biner masyarakat hukum adat. Karena keberadaan sistem
profit-unprofitable dan safe-- unsafe tidak hanya masyarakat hukum adat bergantung pada
menembus sistem manajemen tetapi juga sistem di ketersediaan dan kualitas sumber daya hutan yang
dalam supra sistem (tatanan sistem yang lebih dikuasai oleh masyarakat, maka situasi ini
luas) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3. menghadirkan paradoks dalam pengelolaan dan
Resultan fakta interpenetrasi yang diabstraksi pengendalian hutan. Fakta interpenetrasi ini
pada Gambar 3 membentuk pola akumulasi menunjukkan tingginya kompleksitas pembalakan
penetrasi yang berperan sebagai liar di Papua. Menghadapi kompleksitas semacam
ini dan keterbatasan penanganannya

65
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

Gambar 3 Abstraksi interpenetrasi sistem illegal logging dengan sistem lain dalam supra sistem terkait.

66
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

sistem yang ada, kami mengusulkan agar sistem Kesimpulan


penanganan pembalakan liar harus diubah dari Penebangan liar di Papua pada dasarnya adalah
sistem birokrasi yang kaku menjadi sistem sebuah sistem sosial yang mampu mereproduksi
pengelolaan yang bersifat autopoietic. dirinya sendiri melalui proses autopoietik.
Salah satu sistem tata kelola yang memiliki ciri Terbentuknya sistem pembalakan liar di Papua
autopoietik adalah tata kelola berbasis kolaborasi diawali dengan penyederhanaan kompleksitas hutan
(Ansell & Gash, 2008; Bianchi et al., 2021). dan pengelolaannya oleh korporasi yang bergerak
Kolaborasi merupakan pilihan yang rasional di bidang pengelolaan hutan (berpusat pada
(Agranoff & McGuire, 2003), karena merupakan ekstraksi kayu). Karena ketidakmampuan sistem
proses pembentukan atau reproduksi suatu sistem perusahaan untuk mengakomodasi praktik
sosial. Dalam perspektif Luhmann, kolaborasi akan pengelolaan hutan tradisional, penyederhanaan ini
terjadi ketika ada keterhubungan antar sistem yang menimbulkan sejumlah masalah yang tidak terduga.
saling berpenetrasi dan berkomunikasi satu sama Kontinjensi ini mendorong munculnya aktor- aktor
lain. di luar sistem korporasi yang mampu melakukan
Penggandengan yang dimaksud adalah setiap penetrasi ke masyarakat hukum adat dan korporasi.
sistem yang saling melakukan penetrasi akan Keterlibatan aktor luar tersebut memudahkan
membedakan atau memperbanyak subsistem pada kontak antara korporasi dengan pelaku sistem
sistemnya masing-masing, dalam upaya illegal logging sehingga menyebabkan korporasi
mewujudkan tujuan yang dibentuk oleh menjadi pelaku kegiatan illegal logging sehingga
interpenetrasi yang juga merupakan tujuan mengakibatkan degradasi hutan dan lahan secara
kolaborasi. Baik interpenetrasi maupun kopling masif di Papua. Upaya pengendalian yang
dapat tercipta jika kedua sistem saling melibatkan birokrasi dan penegakan hukum, serta
berkomunikasi untuk membangun makna yang sistem sertifikasi (PHPL dan VLK), tidak
sama bagi subjek yang diinterpenetrasi. membuahkan hasil yang diharapkan.
Terdapat beberapa model tata kelola kolaboratif, Melibatkan masyarakat hukum adat dalam sistem
namun tidak semuanya cocok untuk menghadapi pengelolaan hutan adalah pendekatan lain yang
dinamika autopoietik sistem pembalakan liar. Model
dilakukan untuk mengurangi pembalakan liar.
tata kelola kolaboratif yang dinamis dan mampu
direproduksi diperlukan untuk mengantisipasi Namun, perebutan kekuasaan yang terus- menerus
penetrasi sistem pembalakan liar. Salah satu model antara pemerintah pusat dan daerah (Papua)
yang memenuhi tuntutan ini adalah model rezim membuat lembaga ini tidak siap, sehingga
tata kelola kolaboratif (Emerson & Nabatchi, 2015) memungkinkan sistem pembalakan liar menyusup
yang mengelola tindakan kolaboratif sebagai dan menyalahgunakannya.
sebuah siklus yang terus bergerak dan berinteraksi Kemunculan sistem pembalakan liar yang bersifat
secara dinamis. autopoietic ini telah menyebabkan rusaknya hutan
Papua. Mengingat hal ini

67
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

Berdasarkan temuan tersebut, disarankan agar analisis dalam konteks Benggala


sistem pengelolaan hutan lestari juga mengalami Barat.Jurnal Studi Tanah dan Pedesaan,9(1),
modifikasi agar menjadi sistem autopoietik. Lebih 193–209. https://doi.org/
lanjut, untuk mengembangkan konsep pengelolaan 10.1177/2321024920968335
hutan lestari pada semua sistem yang terkait Bianchi, C., Nasi, G., & Rivenbark, WC (2021).
dengan pengelolaan hutan di Papua, perlu Menerapkan tata kelola kolaboratif: Model,
ditekankan bahwa kolaborasi yang didasarkan pada pengalaman, dan tantangan.Tinjauan Manajemen
komunikasi yang efisien. Publik,23(11), 1581–1589. https://doi.org/10.1080/
14719037.2021.1878777
Konflik kepentingan
Para penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan. Deda, AJ, & Mofu, SS (2014). Hukum adat
masyarakat dan hak adat di Provinsi Papua Barat
Ucapan Terima Kasih sebagai penduduk asli Papua ditinjau dari adat
Penulis mengucapkan terima kasih atas dialog istiadat dan budayanya; Sebuah studi etnografi
dan saran yang diberikan oleh Menteri Lingkungan kontemporer. Jurnal Administrasi Publik,11(2), 11–
Hidup dan Kehutanan, Dirjen Penegakan Hukum 22.
Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta
Ditjen Penegakan Hukum. (2019).Laporan
jajarannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), satuan tugas penyelidikan sumber daya alam
Kepolisian Negara Republik Indonesia, TNI-AL, Papua tahun 2019 bersama KPK-KLHK-
Sumber Daya Alam di Papua. Satgas Kejagung-Pemda-Polri. Jakarta: Direktorat
Penyelamatan Direktorat Jenderal Penegakan Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan
Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penulis Hidup dan Kehutanan.
juga mengucapkan terima kasih kepada Lembaga
Swadaya Masyarakat TELAPAK dan AURIGA Eddyono, SW (2017).Dari 'melacak log' ke
yang telah berkontribusi dalam memberikan data 'pelacakan penerapan uang tindak pidana anti
dan informasi sehingga artikel ini dapat pencucian uang konversi hutan dalam kasus
dipublikasikan dan pihak-pihak lain yang tidak Adelin Lis, Marthen
dapat kami sebutkan. Renouw, dan Labora Sitorus. Jakarta: Lembaga
Reformasi Peradilan Pidana.
Referensi
Agranoff, R., & McGuire, M. (2003).Publik yang Emerson, K., & Nabatchi, T. (2015). Mengevaluasi
kolaboratif
manajemen: Strategi untuk pemerintah daerah. produktivitas rezim pemerintahan
Washington, DC: Pers Universitas Georgetown. kolaboratif: Matriks kinerja.Tinjauan Kinerja
Ali, M. (2014).Metodologi penelitian pendidikan & ManajemenPublik,38, 717–747.
dan
aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. [FWI] Pengawas Hutan Indonesia. (2019, 30
Januari).
Ansell, C., & Gash, A. (2008). Tata kelola Deforestasi dari masa ke masa di Papua(Papua,
kolaboratif di teori dan praktek.Jurnal Papua Barat, dan Kepulauan Aru).
Penelitian dan Teori Administrasi Publik,8, https://fwi.or.id/deforestasidari- masa-ke-masa-di-
543–571. https://doi.org/ tanah-papua/
10.1093/jopart/mum032 Tukang Emas, S., & Eggers, WD (2004).Mengatur
oleh
Auriga Nusantara, Jerat Papua, Lembaga Studi & (2011).
Advokasi Masyarakat ELSAM. Kajian efektivitas sistem silvikultur TPTI
terhadap
(2018).Pengakuan Setengah Hati: Kajian Izin kelestarian produksi hutan alam lahan kering
Pengusahaan Hutan Adat di Papua.Jakarta. di IUPHHK PT. Mamberamo Alas Mandiri
https://auriga.or.id/report/download/ en/report/23/ Kabupaten Mamberamo Raya dan PT. Tunas
half_heart_recognition_on_customary_f Kayu Lestari Kabupaten Boven Digoel Provinsi
orest_concession_license_papua_en.pdf Papua. Manokwari: Balai Penelitian
Baharinawati, WH, El-Halim, RM, & Setiadi, A. Kehutanan Manokwari.

68
Barri, MF, Condro, AA, Apriani, I., Cahyono, E.,
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 jaringan. Washington DC: Pers Institusi
Artikel Ilmiah
Prawardani, DD, Hamdani, A., …, &
EISSN: 2089-2063 Brookings. ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
Situmorang, N. (2019).Bioregion Papua: Hutan
dan Manusia. “Hasil studi baseline mengenai Hellstrom, E. (2001). Budaya konflik: Kualitatif
hutan dan manusia di bioregion Papua”. Bogor: analisis komparatif konflik lingkungan hidup
Pengawas Hutan Indonesia. di bidang kehutanan.Monograf Silva Fennica,2,
284.
Biswas, S., & Sobat, S. (2021). Hak suku atas tanah:
Hidayat, H. (2007). Dinamika pembalakan liar dari
Situasional Rezim Soeharto menuju otonomi daerah.Jurnal
Kependudukan Indonesia,2(2), 75–98.
https://doi.org/10.14203/jki.v2i2.149
Hoare, A. (2015).Menanggulangi pembalakan liar
dan sejenisnya perdagangan: Kemajuan apa dan
apa selanjutnya?. Laporan Rumah Chatham |
Ringkasan bisnis plan. https://www.chatham
house.org/sites/default/files/field/field_docume
nt/20150 715IllegalLoggingHoare
Summary.pdf
[EIA] Badan Investigasi Lingkungan. (2021).
Pengabaian pidana: Kegagalan dalam
penegakan hukum melemahkan upaya untuk
menghentikan pembalakan liar di
Indonesia. Badan Investigasi Lingkungan Hidup
dan Kaoem Telapak.
https://eiainternational.org/report/criminal-
neglect-failings-in-

69
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

penegakan hukum-melemahkan upaya- Maryudi, A. (2016). Memilih verifikasi legalitas


penghentian-penebangan liar di indonesia/ kayu sebagai instrumen kebijakan untuk
memerangi pembalakan liar di Indonesia.
Kadir, A. (2017). Melihat Indonesia dari jendela Kebijakan dan Perekonomian Kehutanan,68,
tanah Papua: Keberagaman dalam Rajutan 99–104.
Kebudayaan Melanesia.Jurnal Sosiologi
Walisongo,1(2), 225–246. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2015.10.010
https://doi.org/10.21580/jsw.2017.1.2.2034
Maryudi, A., Suprapto, E., & Iswari, P.
Kleinschmit, D., Mansourian, S., Wildburger, C., & (2014).Menunggu bodoh? Sistem verifikasi
Purret,A. (Edisi). (2016).Penebangan liar dan legalitas kayu(SVLK)untuk memperbaiki sistem
perdagangan kayu terkait – Dimensi, pemicu, kelembagaan dan tata kelola kehutanan
dampak dan respons( Laporan penilaian respons Indonesia(Kasus hutan rakyat dan industri kecil
cepat ilmiah global). IUFRO World Series 35. di Klaten, Jawa Tengah). Dewan Kehutanan
Wina: Persatuan Internasional Organisasi
Penelitian Hutan (IUFRO).
Koalisi Anti Mafia Hutan. (2017, 19
Januari).Siaran pers persekutuan antimafia
hutan: Aparat penegak hukum harus berani jerat
korporasi. https://antikorupsi.org/ id/
article/siaran-pers-koalisi-anti-mafia-hutan-
aparatpenegak-hukum-harus-berani-jerat-
korporasi
Koalisi Penyelamatan Hutan Papua. (2015).
Laporan: Kejahatan kehutanan dan monopoli
bisnis kehutanan di Papua Barat.
Kuswandi, R., Sadono, R., Supriyatno, N., &
Marsono, D. (2015). Model pengelolaan hutan
hasil kayu oleh masyarakat adat: Studi kasus
pemilik hak ulayat di Kabupaten Teluk
Bintuni.Jurnal Kehutanan Papuasia, 1(1), 11–
17.
Lampe, VK (2016).Kejahatan terorganisir:
Menganalisis ilegal kegiatan, struktur kriminal,
dan pemerintahan ekstra-hukum
. California: Publikasi Sage.
https://doi.org/10.4135/ 9781506305110
Luhmann, N. (1989).Komunikasi ekologis. Chicago:
Pers Universitas Chicago.
Luhmann, N. (1995).Sistem sosial(J. Bednarz, Jr. & D.
Baecker, Trans.). California: Pers Universitas
Stanford.
Lekitoo, HY (2020, 13 Mei).Ketahanan pangan
masyarakat (Papua)dengan sumber daya alam
yang berkelanjutan[ Presentasi webinar]. Forum
USAID Lestasi Bersama: Belajar dari
Masyarakat Adat Papua, Tingkatkan Harmoni
dengan Alam.
Mansoben, JR (2003). Konservasi sumber daya
alam Papua ditinjau dari aspek budaya.Jurnal
Antropologi Papua, 2(4), 1–11.

70
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023
Nasional. Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 Scott, J. (2012).Teori sosial: Masalah-masalah pokok
ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
Maturana, H., & Varela, F. (1980).Autopoiesis dan dalam
kognisi: Realisasi yang hidup. Dordrecht: sosiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Perusahaan Penerbitan D. Reidel.
Setianingsih, B. (2009). Kebijakan pemberantasan
Nadilla, S. (2019). Konsolidasi SDM hukum nasional
melalui pendekatan teori sistem hukum Luhmann. illegal logging untuk
Dalam UN Sosiawan, N. Apriansyah, Y. Ernis,
Yulianto, NV Ariani, Firdaus, …, & EN Kristiyanto
(Eds.),Mengajukan pemikiran kritis dan strategi
pembaruan hukum. Seri 2
Nilai penting SDM hukum dalam pembangun hukum
nasional(hal 249–266). Balitbangkumham Pers.
Nugroho, B., Buchori, D., Iriyani, S., & Setiajiati, F.
(2022). Efektivitas penerapan SVLK pada berbagai
tipe alas hak. Ringkasan Kebijakan Pertanian,
Kelautan, dan Biosains Tropika, 4(3).
https://doi.org/10.29244/Agro-Maritim.v4.i3.12
Nurrochmat, D.R, Hasan, MF, Suharjito, D.,
Budiaman, A., Hadianto, A., Ekayani, M., …, &
Ryandi, ED (2010). Ekonomi politik kehutanan:
Mengungkap mitos dan fakta pengelolaan
hutan.Jakarta: Lembaga Pengembangan Ekonomi
dan Keuangan.
Parsch, C., Wagner, B., Pangau-Adam, M., Nitschke, C.,
Kreft, H., & Schrader, J. (2022). Papua di
persimpangan jalan: Permohonan untuk melakukan
perencanaan konservasi sistematis di salah satu
kawasan hutan hujan tropis terbesar yang
tersisa.Batasan Hutan dan Perubahan Global,5,
763131. https://doi.org/ 10.3389/ ffgc.2022.763131
Patton, M. (1990).Evaluasi dan penelitian kualitatif
metode. Beverly Hills, CA: Bijaksana.
Purnomo, H., Hadjib, A., Saleh, MB, Kuncahyo, B.,
Rusolono, T., Prihanto, B., …, & Haeruman, H.
(2013, 2 Agustus 0 ) .P engelolaanhutanberbas
merupakan ekosistem–suatu pengamatan teori, fakta,
dan
implementasi [Presentasi seminar]. Diskusi
Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem sebagai
Pendekatan untuk Pengelolaan Hutan Indonesia
dalam Paradigma Kehutanan Indonesia Baru.
Rahardjo, S. (2006).Hukum di alam semesta
keteraturan: Hukum bacaan mahasiswa program
doktor sains, Universitas Diponegoro. Jakarta:
Penerbit Pers UKI.
Ritzer, G., & Goodman, DJ (2008).sosiologi masa kini
teori. Jakarta: Grup Media Kencana Predana.
Rosenbaum, KL (2004). Perbuatan ilegal di bidang
kehutanan: Definisi proses Memperjelas definisi
pembalakan liar. Prosiding Komite Penasihat FAO
untuk Kertas dan Produk Kayu Sesi keempat puluh
lima(Saya nomor 6). FAO. https://
www.fao.org/3/j3609e/j3609e10.htm#P1654_11 71
4057
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56

perlindungan sumber daya hutan di Indonesia lingkungan dalam tindak pidana kehutanan di
[tesis]. Bogor: Universitas IPB. Polda Papua [disertasi]. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Siburian, R. (2018). Akses dan pengelolaan hutan
sumber daya masyarakat lokal di Kabupaten Telapak & [EIA] Badan Investigasi Lingkungan.
Manokwari. Jurnal Masyarakat dan (2005).Perbatasan terakhir: Penebangan liar di
Kebudayaan,20(3), 297–311. Papua dan pencurian kayu besar-besaran di
https://doi.org/10.14203/jmb.v20i3.727 Tiongkok. https://eia- internasional. org/wp-
Situmorang, NG, & Susilowati, IF (2020). Yuridis content/uploads/The-Last-Frontier.pdf
analisis pengurusan izin usaha pemanfaatan hasil Tim Badan Penelitian dan Pengembangan
hutan kayu oleh masyarakat hukum adat Kehutanan. (2011).Laporan kajian penebangan liar
(IUPHHK- MHA) di Papua.Novum: Jurnal sebagai ancaman terhadap sumber daya hutan
Hukum,7(4), 44–55. dan pelaksanaan kegiatan pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi (REDD) di
Lagu, M., & Zhang, Y. (2018). Penelitian tentang Indonesia.
hubungan tersebut Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
antara faktor geografis, olah raga dan budaya. Kehutanan Kementerian Kehutanan-ITTO.
Kemajuan dalam Pendidikan Jasmani,8(1), 66–70.
https://doi.org/1010.4236/ape.2018.81008 Tjokrowinoto, M. (1995).Politik pembangunan:
Suarga, R. (2005).Pemberantasan pembalakan liar, Sebuah analisis konsep, arah dan strategi.
Yogyakarta : Tiara Wacana.
optimisme di tengah praktik premanisme
global. Banten: Wana Aksara. Udy, SH (1959). Birokrasi dan rasionalitas menurut
Weber teori organisasi: Sebuah studi
Syawaludin, M. (2017).Islam dan kesejahteraan empiris.Tinjauan Sosiologis Amerika,24(6), 791–
masyarakat: Siasat usaha pedagang kaki lima 795. https://doi.org/ 10.2307/2088566
(PKL)
dengan pemanfaatan hubungan komunitas PKL Wright, V. (Ed.). (1992).Perbandingan pemerintahan
muslim Pasar Suak Bato 26 Ilir di dan politik: Sebuah pengantar. London:
Palembang.Palembang: Rafah Press. Macmillan Press Ltd.
Tacconi, L., Obidzinki, K., & Agung, F. (2004).
Sedang belajar pelajaran untuk mempromosikan Yovi, EY, & Nurrocmat, DR (2018). Sebuah
sertifikasi hutan dan mengendalikan pekerjaan ergonomi dalam instrumen wajib
pembalakan liar di Indonesia. Bogor: Pusat pengelolaan hutan lestari negara Indonesia:
Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Sebuah tinjauan. Kebijakan Kehutanan dan
Ekonomi,91,27–35. https://doi.org/
Tacconi, L., Rodrigues, RJ, & Maryudi, A. (2019). 10.1016/j.forpol.2017.11.007
Hukum penegakan hukum dan deforestasi: Zhou, Q., & Chen, L. (2007). Penelitian tentang
Pelajaran untuk Indonesia dari Brazil.Kebijakan hubungan tersebut
Kehutanan dan Ekonomi,108, 101943. antara perkembangan olahraga dan lingkungan
https://doi.org/10.1016/j.forpol.2019.05.029 geografis.Konsultasi Sains dan Teknologi Herald,
15, 160.
Takamuli, Y. (2018). Implementasi penegakan
hukum

72

Anda mungkin juga menyukai