Journal Manajemen Hutan Tropika Kel 5
Journal Manajemen Hutan Tropika Kel 5
Abstrak
Penebangan liar di kawasan hutan Papua selama ini menjadi penyebab degradasi atau deforestasi
yang belum terselesaikan dan berkembang menjadi permasalahan yang kompleks. Penelitian ini
bermaksud untuk menguraikan dinamika kompleks pembalakan liar di Papua, Indonesia, dengan
menggunakan teori Sistem Sosial Niklas Luhmann. Temuan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas pembalakan liar dan mendorong
para pemangku kepentingan untuk menyikapinya dengan keputusan dan kebijakan yang lebih tepat
sesuai dengan peran dan kewenangan masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa illegal
logging di Papua merupakan sebuah sistem sosial yang terbentuk dari penyederhanaan makna hutan
yang dilakukan oleh aktor-aktor yang murni berorientasi pada ekonomi.
Menghadapi tekanan dari upaya pemberantasan sistem ini, sistem tersebut berkembang biak secara
otopoetik melalui diferensiasi hingga menembus seluruh sistem sosial lain yang mengarah pada
penanganan illegal logging dan pengelolaan hutan lestari, khususnya sistem penegakan hukum dan
sistem masyarakat hutan adat. Kemampuan autopoietic untuk bereproduksi menjadikan sistem ini
sangat fleksibel dan tidak dapat ditangani oleh sistem yang kaku dan birokratis dalam menangani
pembalakan liar. Disarankan agar sistem penanganan pembalakan liar juga diubah menjadi sistem
autopoietik melalui pengelolaan kolaboratif.
Kata kunci:Papua, degradasi hutan, sistem sosial, autopoietik, pengelolaan hutan
* Penulis korespondensi, email:susanti.withaningsih@unpad.ac.id
Perkenalan bagi seluruh pemangku kepentingan hutan, termasuk
industri,
Penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal komunitas lingkungan hidup, akademisi, organisasi
dinilai menjadi salah satu penyebab kerusakan bantuan internasional, dan negara produsen dan
hutan di dunia, termasuk di Indonesia (Maryudi et konsumen (Rosenbaum, 2004). Dari sisi pendapatan
al., 2014; Kleinschmit et al., 2016; Barri et al., negara, pembalakan liar telah menyebabkan
2019). Dalam satu dekade terakhir, fenomena hilangnya pajak sebesar miliaran dolar bagi
pembalakan liar di Indonesia menunjukkan pemerintah dan pemilik hutan telah kehilangan nilai
pergeseran yang pesat dari wilayah Indonesia tegakan sebesar miliaran dolar. Diperkirakan
bagian barat ke wilayah timur (Barri et al., 2019). kerugian negara ± Rp2,9 triliun akibat praktik
Pada periode 2006-2017, luas deforestasi Papua
mencapai ±478.936 ha atau ±43.540 ha per tahun pembalakan liar di Papua pada tahun 2018/2019
(Ditjen Penegakan Hukum, 2019). Fenomena (Ditjen Penegakan Hukum, 2019).
pergeseran ini sejalan dengan menurunnya potensi Dari sisi tata kelola, praktik pembalakan liar
sumber daya hutan di wilayah barat (Sumatera) dan merupakan penghambat terwujudnya tata kelola
kehutanan yang baik. Praktik illegal logging terjalin
tengah (Kalimantan). Praktik ini telah berdampak dengan jaringan usaha kayu ilegal yang melibatkan
pada sektor kehutanan Indonesia dalam banyak para taipan atau penebang kayu, pengusaha
aspek. Selain degradasi dan deforestasi, dampak angkutan kayu, pedagang kayu, industri pengolahan
buruk lainnya adalah hilangnya hasil hutan yang kayu, aparat birokrasi, serta sebagian masyarakat
dibutuhkan masyarakat lokal, konflik, serta yang rentan dimobilisasi untuk melakukan praktik
hilangnya pendapatan pajak sektor kehutanan illegal logging. (Nurrochmat dkk., 2010). Seringkali,
secara signifikan (Tacconi et al., 2004; Kleinschmit para taipan kayu mengambil keuntungan dari
et al., 2016; Barri dkk., 2019). Dalam pandangan masyarakat lokal, membujuk mereka untuk
yang lebih luas, pembalakan liar telah melakukan kolusi dan
menimbulkan kekhawatiran yang luas
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
korupsi dengan pejabat pemerintah (Hidayat, 2007). tersebut belum mampu menangkap permasalahan
Fenomena praktik illegal logging menjadi di lapangan dengan sensitivitas yang memadai
semakin penting untuk dikaji pasca berlakunya (Yovi & Nurrochmat, 2018). Salah satu teori yang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 relevan untuk memahami secara mendalam
Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi sistem pembalakan liar sebagai sebuah sistem
Papua dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun sosial adalah sistem sosial autopoietic yang
2008 tentang perubahan atas undang-undang dikemukakan oleh Niklas Luhmann (19271998).
tersebut sebelumnya. Undang-undang ini secara Luhmann mengajukan teori ini bukan bertujuan
tegas menyebutkan perlindungan masyarakat untuk melakukan analisis sosiologis atau
hukum adat berupa hak memanfaatkan tanah, hutan, merumuskan teori tentang masyarakat (
air, dan isinya. Namun pada tataran praktis, gesellschaftstheorie) tetapi ingin menguraikan
pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat kerangka konseptual teori sosial. Temuan penting
hukum adat masih berada pada posisi rentan secara teori sistem sosial Luhmann adalah menempatkan
ekonomi dan politik ketika berhadapan dengan
kelompok yang lebih mampu. Alih-alih menjadi autopoietik ke dalam konteks sistem sosial
hambatan, dalam praktiknya terdapat modus (Nadilla, 2019). Bagi Luhmann, sistem sosial
operandi bagi perusahaan penebangan kayu untuk memberikan instrumen konseptual untuk
membayar premi kepada masyarakat hukum adat mengamati berbagai fenomena yang ada dalam
sebagai pemilik kayu untuk melegitimasi kayu realitas sosial, seperti masyarakat, organisasi, dan
illegal logging yang diberi label kayu “hak interaksi yang terjadi di dalamnya (Syawaludin,
masyarakat” (Koalisi Penyelamatan Hutan Papua, 2017).
2015).
Penebangan liar di india tidak terlepas dari Gejala berkembangnya keterlibatan aktor
tingginya permintaan global akan kayu ilegal dari dalam pembalakan liar memunculkan hipotesis
berbagai negara antara lain Tiongkok, India, bahwa kompleksitas pembalakan liar terus
Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Hong meningkat karena pembalakan liar
Kong (EIA, 2021). Sementara itu, Hoare (2015)
melaporkan bahwa secara global, negara tujuan
perdagangan illegal logging antara lain Tiongkok,
Perancis, India, Jepang, Belanda, Korea Selatan,
Thailand, Inggris, Amerika Serikat, dan Vietnam.
Kemampuan menembus pasar global berkat
dukungan dan keterlibatan sindikat multinasional
(Hidayat, 2007). Dengan demikian, praktik illegal
logging di Indonesia tidak hanya menjadi masalah
nasional namun juga menjadi masalah global
(Kleinschmit et al., 2016).
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa
pembalakan liar melibatkan banyak aktor dan
membentuk anggapan bahwa pembalakan liar
merupakan kejahatan luar biasa dan kejahatan
terorganisir trans-nasional (Lampe, 2016). Sejumlah
upaya konkrit telah dilakukan untuk memberantas
praktik tersebut, baik melalui penegakan hukum
maupun upaya lainnya, misalnya dengan
pengendalian perdagangan internasional. Dimulai
dari 'Deklarasi Penegakan Hukum dan Tata Kelola
Kehutanan Bali (FLEG)' pada tahun 2001,
pendekatan sertifikasi wajib telah diterapkan pada
unit pengelolaan melalui standar verifikasi legalitas
kayu (Verifikasi legalitas kayuatau VLK) dan
pengelolaan hutan lestari (pengelolaan hutan
produksi lestariatau PHPL). Namun upaya ini
belum efektif, meskipun ada kemungkinan skema
57
Jurnal sistem
adalah Manajemenautopoietik.
Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023
Maturana dan Varela Proses penelitian – tahapan pengumpulan data,
Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063
(1980) mendefinisikan sistem autopoietik sebagai – dilakukan
pengolahan data, dan analisis data ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56 secara terus menerus dan bersamaan selama proses
suatu sistem yang secara rekursif mereproduksi
unsur-unsur dalam sistem melalui unsur-unsur itu penelitian berlangsung. Data dikumpulkan dari
sendiri, berdasarkan komunikasinya dengan berbagai sumber: 1) pengalaman empiris peneliti
lingkungan. Dalam konteks sistem sosial, Luhmann dalam keterlibatan langsung dalam penegakan
(1995) menyatakan bahwa dinamika sistem ini dapat hukum dan penyidikan kasus illegal logging, 2)
bergerak secara autopoietik yang ditandai dengan sumber dari berbagai pihak terkait pengelolaan dan
pengaturan diri untuk beradaptasi terhadap tata kelola hutan di Papua, dan 3) dokumen atau
perubahan lingkungan (di luar batas sistem). literatur yang relevan. Sebanyak 48 kasus yang
Kajian ini bertujuan mengungkap supra sistem diselidiki dijadikan sampel, dan selama proses
illegal logging di Indonesia, dengan Papua sebagai penyidikan dilakukan wawancara terhadap 48
lokusnya. Dengan pemahaman yang lebih baik orang
mengenai kompleksitas pembalakan liar, para
pemangku kepentingan dapat terdorong untuk
menyikapinya dengan keputusan dan kebijakan
penanganan yang lebih tepat sesuai dengan peran dan
kewenangan masing-masing. Mengingat kompleksitas
sistem tersebut, kami menggunakan pendekatan
sistem sosial otopoietik Luhmann (1995), yang
diharapkan dapat menggambarkan kompleksitas
pembalakan liar di Papua secara lebih sistematis dan
komprehensif.
Metode
Daerah belajarPenelitian ini dilakukan terhadap 48
kasus (2018–2019) pembalakan liar yang melibatkan
29 perusahaan HPH dan 29 masyarakat hukum adat
Papua, yang terjadi di Jayapura, Keerom, Boven
Digul, Merauke, Nabire, Manokwari, Bintuni,
Kaimana, Sorong Selatan, dan Sorong (Gambar 1),
untuk memahami secara mendalam dinamika
autopoietiknya. Semua perkara tersebut adalah
perkara yang penanganan atau penegakan
hukumnya melibatkan peneliti secara langsung dan
telah diputus oleh pengadilan atau mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht). Suatu perkara
inkracht mempunyai informasi yang lengkap dan
terpercaya karena diperoleh melalui proses
penyidikan yang cermat. Dimana dalam proses
penegakan hukum illegal logging ini peneliti terlibat
langsung dan aktif selaku Ketua Satgas Penegakan
Hukum Illegal Logging Papua.
Namun permasalahan illegal logging merupakan
permasalahan sistemik yang tidak dapat dipisahkan
dari hubungannya dengan sistem lain yang hierarkinya
lebih luas/lebih tinggi, yaitu pengelolaan sumber daya
alam di Indonesia maupun internasional. Oleh karena
itu, lokasi pengumpulan informasi dalam penelitian
ini tidak terbatas pada wilayah administratif
kabupaten saja, tetapi juga sistem lain yang terkait
dengan pengelolaan hutan di Papua atau Indonesia.
tersangka dan 551 saksi atau narasumber dari diperoleh sebelumnya atau bahkan untuk
berbagai pihak (Tabel 1), baik dari korporasi, memperkaya informasi dari sumber data pertama.
masyarakat hukum adat maupun dari luar kedua Data yang telah divalidasi ini kemudian dianalisis
sistem tersebut. melalui pengkodean deduktif, pemadatan fakta,
Sumber data selanjutnya diperoleh dari kategorisasi dan membangun narasi berdasarkan
wawancara dan FGD yang melibatkan banyak teori sistem sosial Niklas Luhmann untuk
narasumber dari berbagai pihak terkait pengelolaan
hutan dan tata kelola hutan di Papua. Mereka mendapatkan gambaran menyeluruh tentang
berasal dari birokrat Kementerian Lingkungan dinamika sistem pembalakan liar di Papua.
Hidup dan Kehutanan (termasuk unit pelaksana
teknisnya), birokrat yang membidangi kehutanan di
pemerintah daerah, orang-orang penting dari MendekatiPendekatan yang digunakan dalam
masyarakat hukum adat di Papua, orang-orang penelitian ini adalah pendekatan Luhmann
penting di dunia usaha kehutanan; akademisi; dan
aktivis LSM (jumlah dan asal narasumber disajikan
pada Tabel 1). Baik informan maupun narasumber
dipilih secara purposif berdasarkan prinsip sampling
yang berfokus pada intensitas (Patton, 1990), yaitu
informan yang diyakini memiliki data atau
informasi yang kaya mengenai fenomena
pembalakan liar di Papua.
Sedangkan jumlah informan atau narasumber
ditentukan secara dinamis berdasarkan kebutuhan
akan kedalaman dan kejenuhan informasi yang
diperoleh.
Data yang diperoleh dari berbagai sumber
kemudian divalidasi melalui proses triangulasi.
Merujuk pada Ali (2014), triangulasi dilaksanakan
dengan menggunakan berbagai sumber data yang
berbeda. Maksudnya informasi yang diperoleh dari
satu sumber data dicek silang dengan sumber data
yang lain untuk memperoleh informasi lain yang
mungkin bertentangan dengan informasi yang
59
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
60
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa upaya Kondisi iklim menyebabkan terjadinya pola adaptasi
penanganan praktik illegal logging tidak bisa lagi yang berbeda-beda antara satu atau beberapa
hanya mengandalkan pendekatan hukum yang kelompok etnis lain berdasarkan perbedaan
bertumpu pada sejumlah sanksi administratif, lingkungan ekologi tempat mereka tinggal (Song &
perdata, dan pidana. Praktik illegal logging Zhang, 2018). Adaptasi menimbulkan perbedaan
merupakan permasalahan yang bersifat sistemik dan dalam perkembangan struktur sosial dan pola
efektifitas penanganannya bergantung pada sinergi kehidupan. Namun di antara keberagaman tersebut
peran dan tindakan para pemangku kepentingan terdapat ciri khas kehidupan tradisional: hubungan
berlapis antara manusia dengan alam-darat yang
(aparat hukum, instansi/lembaga pemerintah dan tampak secara sosial, ekonomi, ekologi, budaya, dan
pemerintah daerah, masyarakat dan organisasinya, mistik-religius. Dari pemahaman masyarakat Papua
serta organisasi internasional) sesuai dengan terhadap hutan, terdapat pandangan bahwa hutan
kebutuhan. dengan kewenangannya masing-masing adalah 'ibu' atau 'identitas'; Oleh karena itu,
(Setianingsih, 2009; Takamuli, 2018). Namun masyarakat hukum adat mempunyai tingkat
pengembangan sistem khusus penanganan illegal ketergantungan yang tinggi terhadap tanah (Zhou &
logging ini memerlukan pemahaman yang Chen, 2006), yang secara kolektif mengacu pada
komprehensif untuk mengungkap kompleksitas dan hak kepemilikan tradisional atas tanah dan hutan.
dinamika sistem illegal logging yang dihadapi. Implikasinya, sistem pengelolaan hutan secara
tradisional tidak pernah lepas dari aturan adat yang
Hasil dan Diskusi berlaku di masyarakat. Selain itu, legitimasi dari
Realitas pengelolaan hutan Papua sebagai negara tidak diperlukan (Biswas & Pal, 2021).
lingkungan hidup dan supra sistem illegal Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa
loggingKarena dianggap sebagai sistem sosial kompleksitas tersebut menunjukkan adanya
yang autopoietic, maka illegal logging di Papua pergeseran yang signifikan dengan munculnya
terbentuk dari reduksi makna terhadap kompleksitas
lingkungannya, sebuah negentropy, dimana selalu sistem pengelolaan hutan negara yang diserahkan
terjadi interaksi antara sistem sosial dan kepada korporasi.
lingkungannya. Oleh karena itu, untuk memperoleh Hampir seluruh kawasan hutan negara untuk
pemahaman menyeluruh mengenai dinamika
autopoietik sistem pembalakan liar ini, diperlukan korporasi di Papua merupakan kawasan hutan adat
pemahaman mengenai lingkungan hidup dan supra sehingga menimbulkan berbagai konflik (Purnomo et
sistemnya. Dalam konteks penelitian ini, lingkungan al., 2013; Kuswandi et al., 2015), sehingga
juga dapat diartikan sebagai supra sistem. Secara menambah kompleksitasnya, termasuk munculnya
umum, “sistem supra” dapat merujuk pada sistem
yang terdiri dari beberapa subsistem dan beroperasi pembalakan liar yang dilakukan baik oleh pihak
pada tingkat abstraksi atau kompleksitas yang lebih korporasi maupun korporasi. korporasi itu sendiri
tinggi. Dalam hal ini, illegal logging adalah salah dan pihak lain.
satu contohnya. Penebangan liar berkembang pesat dan terus
berlanjut bahkan setelah sistem pengelolaan hutan
Lingkungan sistem pembalakan liar atau sistem negara diterapkan (Gambar 2). Studi ini juga
pengelolaan hutan di Papua merupakan sistem mengidentifikasi dua pola pembalakan liar yang
yang sangat kompleks sebagaimana tercermin terjadi di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh
dalam realitas sumber daya hutan dan lembaga pemegang hak pengusahaan hutan ( hak
masyarakatnya. Hutan alam Papua memiliki pengusahaan hutanatau HPH) dan lainnya yang
ekosistem hutan alam tropis terlengkap dan unik, melibatkan masyarakat. Penebangan liar yang
serta memberikan manfaat langsung baik bagi hasil dilakukan oleh HPH pada dasarnya diawali dengan
hutan kayu maupun non kayu, bank genetik, dan penyederhanaan kepemilikan lahan, sistem
penyimpan keanekaragaman hayati. Kompleksitas silvikultur, dan pengaturan hasil. Penyederhanaan
lingkungan ini juga terlihat dari konsep zonasi sistem kepemilikan tanah oleh negara yang tidak
adat yang tergambar dari beragamnya unsur mengakomodasi sistem kepemilikan masyarakat
budaya, seperti bahasa, struktur organisasi sosial, hukum adat telah menimbulkan kontingensi berupa
konflik penggunaan lahan antara masyarakat
sistem kepemimpinan, agama, dan sistem
tersebut dengan HPH (Koalisi Anti Mafia Hutan,
penghidupan yang berbasis pada ekologi lingkungan 2017; Auriga Nusantara dkk., 2018). Sementara
(Parsch et al. , 2022). Geografi dan penyederhanaan sistem silvikultur tidak sejalan
dengan alam
61
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
(A) (B)
Gambar 2 Lokasi pembalakan liar di hutan Papua (a) dan kondisi hutan Papua setelah pembalakan liar (b).
62
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
status sukarela dan rezim hak milik hutan sebuah medan kekuatan. Berdasarkan hasil
(Nugroho dkk., 2022). Yang wajib terlibat penafsiran fakta interpenetrasi yang didukung dan
langsung adalah Kementerian Lingkungan Hidup divalidasi melalui focus group Discussion dari
dan Kehutanan, lembaga sertifikasi, unit narasumber dan informan, maka abstraksi ruang
pengelolaan hutan, pengusaha hutan, dan kekuasaan disajikan pada Gambar 4. Gambar
masyarakat sekitar kawasan hutan. tersebut menunjukkan bahwa bidang kekuasaan
Dinamika penanganan illegal logging sistem illegal logging adalah lebih kuat dari
menunjukkan adanya reproduksi sistem dimana penetrasi sistem terkait pengelolaan hutan di
batas-batas sistem berubah dengan adanya Hutan Papua dan hampir seluruh sistem terkait
keterlibatan pihak non-pemerintah baik domestik pengelolaan hutan telah ditembus oleh sistem
maupun internasional. Selain sertifikasi, pergeseran illegal logging ini. Penetrasi bidang kekuasaan juga
penanganan illegal logging juga terlihat dari menunjukkan bahwa tiga kekuatan terkuat adalah
munculnya skema pengelolaan hutan yang lebih sistem pengelolaan hutan oleh Kementerian
inklusif seperti perhutanan sosial. Skema ini Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sistem
dinilai lebih menyentuh sumber penyebab penegakan hukum, dan sistem pengelolaan hutan
penebangan hutan: kemiskinan masyarakat akibat oleh korporasi.
terbatasnya akses terhadap sumber daya hutan. Penetrasi yang dilakukan ketiga sistem tersebut
Sistem pengelolaan illegal logging ini merupakan intervensi birokrasi karena pada
melakukan proses reproduksinya dengan dasarnya ketiga sistem tersebut merupakan
merambah ke berbagai sistem yang berkaitan subsistem dari sistem birokrasi pengelolaan hutan
dengan pengelolaan hutan, termasuk sistem illegal yang juga mencakup sistem birokrasi penanganan
logging melalui proses komunikasi berkode biner illegal logging.
yang mewakili PHL seperti lestari–- tidak lestari, Tingkat penetrasi ini relatif besar; Namun sistem
legal–- tidak legal, adil–- tidak adil , aman–- tidak illegal logging juga cukup merambah ke dalam
aman, berbahaya–- tidak berbahaya, baik–- tidak sistem birokrasi sehingga mengisinya dengan
baik, dan menguntungkan–- tidak menguntungkan. kekacauan birokrasi. Gambaran menarik dari dunia
Namun proses semi-autopoietic sistem kekuasaan juga ditunjukkan dengan adanya
pengelolaan illegal logging harus selalu interpenetrasi antara sistem illegal logging dengan
berhadapan dengan kemampuan autopoietic sistem sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh
illegal logging. Sistem logging dengan kode biner masyarakat hukum adat. Karena keberadaan sistem
profit-unprofitable dan safe-- unsafe tidak hanya masyarakat hukum adat bergantung pada
menembus sistem manajemen tetapi juga sistem di ketersediaan dan kualitas sumber daya hutan yang
dalam supra sistem (tatanan sistem yang lebih dikuasai oleh masyarakat, maka situasi ini
luas) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3. menghadirkan paradoks dalam pengelolaan dan
Resultan fakta interpenetrasi yang diabstraksi pengendalian hutan. Fakta interpenetrasi ini
pada Gambar 3 membentuk pola akumulasi menunjukkan tingginya kompleksitas pembalakan
penetrasi yang berperan sebagai liar di Papua. Menghadapi kompleksitas semacam
ini dan keterbatasan penanganannya
65
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
Gambar 3 Abstraksi interpenetrasi sistem illegal logging dengan sistem lain dalam supra sistem terkait.
66
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
67
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
68
Barri, MF, Condro, AA, Apriani, I., Cahyono, E.,
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 jaringan. Washington DC: Pers Institusi
Artikel Ilmiah
Prawardani, DD, Hamdani, A., …, &
EISSN: 2089-2063 Brookings. ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
Situmorang, N. (2019).Bioregion Papua: Hutan
dan Manusia. “Hasil studi baseline mengenai Hellstrom, E. (2001). Budaya konflik: Kualitatif
hutan dan manusia di bioregion Papua”. Bogor: analisis komparatif konflik lingkungan hidup
Pengawas Hutan Indonesia. di bidang kehutanan.Monograf Silva Fennica,2,
284.
Biswas, S., & Sobat, S. (2021). Hak suku atas tanah:
Hidayat, H. (2007). Dinamika pembalakan liar dari
Situasional Rezim Soeharto menuju otonomi daerah.Jurnal
Kependudukan Indonesia,2(2), 75–98.
https://doi.org/10.14203/jki.v2i2.149
Hoare, A. (2015).Menanggulangi pembalakan liar
dan sejenisnya perdagangan: Kemajuan apa dan
apa selanjutnya?. Laporan Rumah Chatham |
Ringkasan bisnis plan. https://www.chatham
house.org/sites/default/files/field/field_docume
nt/20150 715IllegalLoggingHoare
Summary.pdf
[EIA] Badan Investigasi Lingkungan. (2021).
Pengabaian pidana: Kegagalan dalam
penegakan hukum melemahkan upaya untuk
menghentikan pembalakan liar di
Indonesia. Badan Investigasi Lingkungan Hidup
dan Kaoem Telapak.
https://eiainternational.org/report/criminal-
neglect-failings-in-
69
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
70
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023
Nasional. Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 Scott, J. (2012).Teori sosial: Masalah-masalah pokok
ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
Maturana, H., & Varela, F. (1980).Autopoiesis dan dalam
kognisi: Realisasi yang hidup. Dordrecht: sosiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Perusahaan Penerbitan D. Reidel.
Setianingsih, B. (2009). Kebijakan pemberantasan
Nadilla, S. (2019). Konsolidasi SDM hukum nasional
melalui pendekatan teori sistem hukum Luhmann. illegal logging untuk
Dalam UN Sosiawan, N. Apriansyah, Y. Ernis,
Yulianto, NV Ariani, Firdaus, …, & EN Kristiyanto
(Eds.),Mengajukan pemikiran kritis dan strategi
pembaruan hukum. Seri 2
Nilai penting SDM hukum dalam pembangun hukum
nasional(hal 249–266). Balitbangkumham Pers.
Nugroho, B., Buchori, D., Iriyani, S., & Setiajiati, F.
(2022). Efektivitas penerapan SVLK pada berbagai
tipe alas hak. Ringkasan Kebijakan Pertanian,
Kelautan, dan Biosains Tropika, 4(3).
https://doi.org/10.29244/Agro-Maritim.v4.i3.12
Nurrochmat, D.R, Hasan, MF, Suharjito, D.,
Budiaman, A., Hadianto, A., Ekayani, M., …, &
Ryandi, ED (2010). Ekonomi politik kehutanan:
Mengungkap mitos dan fakta pengelolaan
hutan.Jakarta: Lembaga Pengembangan Ekonomi
dan Keuangan.
Parsch, C., Wagner, B., Pangau-Adam, M., Nitschke, C.,
Kreft, H., & Schrader, J. (2022). Papua di
persimpangan jalan: Permohonan untuk melakukan
perencanaan konservasi sistematis di salah satu
kawasan hutan hujan tropis terbesar yang
tersisa.Batasan Hutan dan Perubahan Global,5,
763131. https://doi.org/ 10.3389/ ffgc.2022.763131
Patton, M. (1990).Evaluasi dan penelitian kualitatif
metode. Beverly Hills, CA: Bijaksana.
Purnomo, H., Hadjib, A., Saleh, MB, Kuncahyo, B.,
Rusolono, T., Prihanto, B., …, & Haeruman, H.
(2013, 2 Agustus 0 ) .P engelolaanhutanberbas
merupakan ekosistem–suatu pengamatan teori, fakta,
dan
implementasi [Presentasi seminar]. Diskusi
Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem sebagai
Pendekatan untuk Pengelolaan Hutan Indonesia
dalam Paradigma Kehutanan Indonesia Baru.
Rahardjo, S. (2006).Hukum di alam semesta
keteraturan: Hukum bacaan mahasiswa program
doktor sains, Universitas Diponegoro. Jakarta:
Penerbit Pers UKI.
Ritzer, G., & Goodman, DJ (2008).sosiologi masa kini
teori. Jakarta: Grup Media Kencana Predana.
Rosenbaum, KL (2004). Perbuatan ilegal di bidang
kehutanan: Definisi proses Memperjelas definisi
pembalakan liar. Prosiding Komite Penasihat FAO
untuk Kertas dan Produk Kayu Sesi keempat puluh
lima(Saya nomor 6). FAO. https://
www.fao.org/3/j3609e/j3609e10.htm#P1654_11 71
4057
Jurnal Manajemen Hutan Tropika,29(1), 56-67, April2023 Artikel Ilmiah
EISSN: 2089-2063 ISSN: 2087-0469
DOI: 10.7226/jtfm.29.1.56
perlindungan sumber daya hutan di Indonesia lingkungan dalam tindak pidana kehutanan di
[tesis]. Bogor: Universitas IPB. Polda Papua [disertasi]. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Siburian, R. (2018). Akses dan pengelolaan hutan
sumber daya masyarakat lokal di Kabupaten Telapak & [EIA] Badan Investigasi Lingkungan.
Manokwari. Jurnal Masyarakat dan (2005).Perbatasan terakhir: Penebangan liar di
Kebudayaan,20(3), 297–311. Papua dan pencurian kayu besar-besaran di
https://doi.org/10.14203/jmb.v20i3.727 Tiongkok. https://eia- internasional. org/wp-
Situmorang, NG, & Susilowati, IF (2020). Yuridis content/uploads/The-Last-Frontier.pdf
analisis pengurusan izin usaha pemanfaatan hasil Tim Badan Penelitian dan Pengembangan
hutan kayu oleh masyarakat hukum adat Kehutanan. (2011).Laporan kajian penebangan liar
(IUPHHK- MHA) di Papua.Novum: Jurnal sebagai ancaman terhadap sumber daya hutan
Hukum,7(4), 44–55. dan pelaksanaan kegiatan pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi (REDD) di
Lagu, M., & Zhang, Y. (2018). Penelitian tentang Indonesia.
hubungan tersebut Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
antara faktor geografis, olah raga dan budaya. Kehutanan Kementerian Kehutanan-ITTO.
Kemajuan dalam Pendidikan Jasmani,8(1), 66–70.
https://doi.org/1010.4236/ape.2018.81008 Tjokrowinoto, M. (1995).Politik pembangunan:
Suarga, R. (2005).Pemberantasan pembalakan liar, Sebuah analisis konsep, arah dan strategi.
Yogyakarta : Tiara Wacana.
optimisme di tengah praktik premanisme
global. Banten: Wana Aksara. Udy, SH (1959). Birokrasi dan rasionalitas menurut
Weber teori organisasi: Sebuah studi
Syawaludin, M. (2017).Islam dan kesejahteraan empiris.Tinjauan Sosiologis Amerika,24(6), 791–
masyarakat: Siasat usaha pedagang kaki lima 795. https://doi.org/ 10.2307/2088566
(PKL)
dengan pemanfaatan hubungan komunitas PKL Wright, V. (Ed.). (1992).Perbandingan pemerintahan
muslim Pasar Suak Bato 26 Ilir di dan politik: Sebuah pengantar. London:
Palembang.Palembang: Rafah Press. Macmillan Press Ltd.
Tacconi, L., Obidzinki, K., & Agung, F. (2004).
Sedang belajar pelajaran untuk mempromosikan Yovi, EY, & Nurrocmat, DR (2018). Sebuah
sertifikasi hutan dan mengendalikan pekerjaan ergonomi dalam instrumen wajib
pembalakan liar di Indonesia. Bogor: Pusat pengelolaan hutan lestari negara Indonesia:
Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Sebuah tinjauan. Kebijakan Kehutanan dan
Ekonomi,91,27–35. https://doi.org/
Tacconi, L., Rodrigues, RJ, & Maryudi, A. (2019). 10.1016/j.forpol.2017.11.007
Hukum penegakan hukum dan deforestasi: Zhou, Q., & Chen, L. (2007). Penelitian tentang
Pelajaran untuk Indonesia dari Brazil.Kebijakan hubungan tersebut
Kehutanan dan Ekonomi,108, 101943. antara perkembangan olahraga dan lingkungan
https://doi.org/10.1016/j.forpol.2019.05.029 geografis.Konsultasi Sains dan Teknologi Herald,
15, 160.
Takamuli, Y. (2018). Implementasi penegakan
hukum
72