NIM : 2006110003
Semester/Tahun : VII/2023
KEGIATAN KONSULTASI
Kupang,…oktober 2023
Pembimbing I
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat, dan rahmat
serta dorongan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul
“Inovasi Pewarna Biru Alami Tahan Luntur Berbasis Ekstrak Tumbuhan Tarum
Dalam Hasil Jadi Kain Tenun Ikat Biboki”. Penyusunan proposal skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Diplomat Teknik pada Fakultas Sains dan Teknik
Universitas Nusa Cendana.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan proposal skripsi ini, banyak
mendapat banyak bimbingan, arahan, saran, bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Oleh
sebab itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc, selaku rector Universitas Nusa Cendana.
2. Bapak Prof. Philiphi De Rozari, S.Si., M.Si., M.Sc., Ph.D selaku Dekan Fakultas
Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana.
3. Bapak Arience K.A. Manu ST. MT. selaku Ketua Jurusan Teknik Pembuatan Tenun
Ikat.
4. Bapak Dr. Dodi Darmakusuma S.Si.,M.Si selaku pembimbing I.
5. Bapak Ir. Arnoldus Keban M.Si selaku pembimbing II.
6. Seluruh staf dosen serta Pegawai Program Studi Teknik Pembuatan Tenun Ikat
fakultas Sains Dan Teknik Universitas Nusa Cendana.
7. Bapak Johanis Lakapu dan Ibu Susana Neonane, kedua orang tua yang memberikan
dukungan baik moral maupun material kepada penulis, sehingga penelitian dapat
diselesaikan.
8. Teman-teman seperjuangan Teknik Pembuatan Tenun Ikat 2020 yang telah membantu
penulis dalam penyusunan penelitian ini.
9. Semua pihak yang dengan caranya sendiri telah membantu dengan tulus dan motivasi
penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini, sekiranya Tuhan membalas
semua kebaikan.
Penulis menyadari dalam penyusunan Proposal ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
proposal ini dimasa yang akan datang.
Kupang 2023
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................4
2.1 Tenun Ikat......................................................................................................................4
2.1.1 Proses Pembuatan Tenun Ikat dengan Motif Mak’aif..........................................4
2.1.2 Filosofi Makna Motif Mak’aif Tenun Biboki.......................................................5
2.1.3 Fungsi Kain Tenun Ikat........................................................................................6
2.2 Zat Warna Alam.............................................................................................................6
2.3 Tarum.............................................................................................................................8
2.4 Mordanting....................................................................................................................9
2.5 Pengembangan Teknik Pembuatan dan Standarisasi Sediaan Warna Alami Biru Tahan
Luntur...........................................................................................................................10
2.5.1 Pengembangan Teknik Pembuatan Sediaan Pewarna Alami Biru Tahan
Luntur...........................................................................................................................10
2.5.2 Uji Aktivitas Ketahanan Luntur Terhadap Formulasi Pewarna Biru..................10
2.5.3 Standarisasi Sediaan Pewarna Alami Biru Tahan Luntur...................................11
BAB III METODE PENELITIAN......................................................................................13
3.1 Jenis Penelitian.............................................................................................................13
3.2 Lokasi Penelitian..........................................................................................................13
3.3 Jadwal Kegiatan Penelitian..........................................................................................13
3.4 Metode Pengumpulan Data..........................................................................................14
3.4.1 Wawancara.........................................................................................................14
3.4.2 Observasi............................................................................................................14
3.4.3 Dokumentasi......................................................................................................14
3.5 Analisis Data................................................................................................................14
3.6 Diagram Alir................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai banyak kekayaan jenis kain tradisional yang cantik dan unik,
salah satunya yaitu kain tenun ikat. Kain Tenun ikat juga mempunyai pola-pola
tersendiri yang menghasilkan motif-motif khas dan unik, keunikan tersebut yang
membedakan ciri khas motif dari masing-masing daerah. Seiring berkembangnya zaman
dan selera fahion yang berubah, maka perlu dilakukan pengembangan inovasi pada
desain motif sesuai dengan tuntutan zaman tanpa menghilangkan ciri khas dan makna
dari motif yang sudah ada.
Kain tenun ikat yang sudah dikembangkan dan dilestarikan secara turun temurun
oleh setiap masyarakat suku di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan hasil seni
kerajinan tenun secara turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian
seni tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang dapat dikenal atau sebagai ciri khas
dari suku atau pulau dimana orang tersebut berasal. Awal mulanya tenun dibuat hanya
untuk digunakan sehari-hari sebagai kain penutup atau pelindung tubuh, lalu
berkembang sebagai kebutuhan adat, kemudian seiring berjalannya waktu kain tenun
digunakan sebagai bahan untuk membuat busana resmi dan modern serta digunakan
untuk memenuhi permintaan Konsumen seperti aksesoris, tas, sepatu dan lain-lain.
Dalam produksi kain Tenun Ikat ada teknik-teknik dalam pembuatan kain dengan
cara menggabungkan benang secara memanjang dan melintang. Tenun yang bagian
benang vertikalnya disebut benang lungsi, sedangkan tenun yang bagian benang
horizontalnya diikat disebut benang pakan.
Pada umumnya, pewarnaan pada kain-kain tenun di NTT menggunakan proses
pencelupan dan perendaman pada benang tenun. Warna sebagai salah satu bagian
penting dalam sebuah produk sandang serta keinginan konsumen dalam penerimaan
produk sandang. Warna dapat digunakan di segala bidang, salah satunya di dunia tekstil.
Menurut asalnya, zat warna terdiri atas zat warna alami dan zat warna sintetis.
Zat warna alami dapat ditemukan di alam di berbagai sumber, zat warna alami dapat
diperoleh di berbagai organisme, contohnya binatang, tumbuhan, dan mikroorganisme.
Zat warna alam mudah didapatkan karena banyak tersebar luas di alam terutama di
tempat kita tinggal. Salah satu proses untuk mengambil zat warna yaitu melalui fiksasi
dan ekstraksi. Untuk mendapatkan tingkat kepekatan warna yang lebih tinggi,
diperlukan banyak tambahan. Penggunaan pewarna alam sudah mulai berkembang sejak
1
penemuan pewarna sintetis pertama. Sejak saat itu, pewarna alam mulai dilirik sebagai
alternatif yang bagus untuk pewarna sintetis di masa mendatang. Selain sebagai zat
pewarna alami, beberapa pigmen yang diperoleh dari alam juga termasuk dalam zat
warna mordan alam.Sehingga perlu ditambahkan zat pengikat atau fiksator sehingga
hasil pewarnaan yang diperoleh lebih optimum. Hasil pewarnaan yang lebih maksimal
dikarenakan mordan yang diaplikasikan sebagai zat pengikat antara zat pewarna dan
serat kain yang diwarna.
Masyarakat di kecamatan Biboki pada umumnya menggunakan pewarna alami dari
tumbuh-tumbuhan yang tersedia di lingkungan tempat mereka tinggal, karena tidak
banyak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bahan bakunya. Selain itu penggunaan
tumbuhan sebagai bahan baku pewarnaan sangat bagus karena tidak mencemari
lingkungan, bahannya mudah diperoleh di sekitar lingkungan, tidak membutuhkan
banyak biaya, tidak mengandung racun, dan untuk hasil pewarnaannya dapat bertahan
lama terlebih jika saat pewarnaan menggunakan bahan untuk mengikat dan mengunci
warna yaitu kapur sirih atau Ca(OH)2, serta benang atau kain yang diwarnai
menggunakan pewarna alami dari tumbuhan dapat menghasilkan warna yang stabil dan
saat dicuci sangat minim kemungkinan warnanya luntur.
Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Biboki dapat diwariskan ke generasi-
generasi berikutnya, selain itu juga semakin banyak yang menyukai kain tenun yang
diwarnai menggunakan pewarna alami, sehingga sampai saat ini masyarakat berupaya
untuk mempertahankan tumbuhan-tumbuhan yang digunakan agar tidak punah/musnah.
Pemanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai pewarna alami sudah ada dan digunakan sejak
zaman dulu oleh nenek moyang masyarakat tradisional, dibuktikan melalui tenunan
peninggalan yang ditenun oleh nenek moyang sejak zaman kerajaan benang tenun
dicelup dan direndam ke dalam zat pewarna alami.
Ada banyak pewarna alami yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di alam salah
satunya tumbuhan Tarum. Tumbuhan Tarum (Indigofera Tinctoria) merupakan
tumbuhan spesies dari genus indigofera yang menghasilkan warna biru alami. Nama
Tarum sendiri berasal dari bahasa sunda yaitu tanaman ‘’Mangsi-mangsian’’. Pemakaian
zat warna dari tumbuhan tarum dilakukan pada pembuatan batik dan tenun ikat
tradisional. Tumbuhan tarum adalah sejenis pohon dengan bunganya yang berwarna
ungu (violet), dapat menghasilkan warna biru dari hasil ekstrasi daun. Selain warna biru
tumbuhan tarum juga dapat menghasilkan warna hijau jika dikombinasikan dengan
pewarna alami berwarna kuning.
2
Zat warna alami tumbuhan Tarum termasuk zat warna yang proses pembuatannya
haruslah direndam terlebih dahulu menggunakan daunnya(dalam jumlah yang banyak)
selama kurang lebih semalam, kemudian setelah direndam dan sudah membentuk lapisan
warna biru atau hijau pada benang tersebut, barulah direbus dan dijemur hingga kering.
Jika ingin menghasilkan warna indigo maka perendaman serat kain atau benang harus
ditambahkan kapur secukupnya. Zat warna alami tumbuhan Tarum dapat digunakan
untuk mewarnai kain dari serat alam seperti katun dan sutera. Untuk mewarna kain
atau benang dengan zat warna alami dari tumbuhan tarum, terutama untuk kain tenun
diperlukan suhu panas, tetapi untuk mengikat warna pada benang harus direbus
menggunakan larutan zat warna alam tersebut. Zat warna yang dihasilkan tumbuhan
tarum juga sangat ramah lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan kembali hasil jadi tenunan Biboki
dengan menggunakan pewarna asli tumbuhan tarum yang hampir tidak digunakan lagi
oleh para pengrajin tenun ikat, mengingat tumbuhan tarum sebagai tanaman yang dapat
menghasilkan zat warna alami yang sangat aman digunakan di zaman yang modern ini
karena tidak mencemari lingkungan sekitar.
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
4
Menurut Ibu Blandina Meak Usboko (42:Penenun), dalam pembuatan tenun
ikat dengan motif Mak,aif tidak perlu didahului dengan sebuah upacara atau
ritual tetapi para penenun langsung mengerjakan saat bahan utama pembuatan
tenun ikat sudah tersedia. Bahan-bahan utama pembuatan tenun ikat dengan
motif Mak,aif adalah benang katun (Abas) yang bisa didapat di toko terdekat dan
pewarna alami (bak ullu). Menurut pendapat penenun, untuk mendapatkan hasil
yang baik pada pembutan tenun ikat dengan motif mak.aif, maka harus
menggunakan bahan-bahan tradisional yaitu kapas dan pewarna alami (absa dan
bak ullu). Dengan adanya kemajuan teknologi dan sulitnya menemukan kapas
dan pewarna alami, maka para penenun lebih memilih menggunakan bahan-
bahan yang siap pakai seperti benang toko.
Dalam proses pembuatan kain tenun ikat dengan motif Mak’aif ada beberapa
tahap dan setiap tahap saling berhubungan satu sama lain. Menurut Ibu Blandina
Meak Usboko (42: Penenun) menyatakan bahwa dalam membuat sebuah tenun
ikat terdapat beberapa proses yaitu pemintalan benang, pembuatan motif,
pewarnaan benang, proses penenunan
6
Zat warna alam adalah bahan dari alam yang bisa digunakan untuk dijadikan pewarna
pada tekstil maupun kain tenun baik berasal dari hewan, tanaman maupun mineral. Zat
warna dari tumbuhan diukur dan dibagi sesuai dengan warna pigmen yang ada pada
tumbuhan tersebut. Zat warna indigo adalah salah satu zat pewarna alam biru, zat warna
ini memiliki warna yang stabil, tidak mudah larut dalam air, serta memiliki sifat
ketahanan luntur warna saat mencuci. Zat warna daun tarum dapat diambil melalui
proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut. Ekstraksi sendiri merupakan proses
pemisahan komponen dari suatu bahan dengan mengunakan pelarut. Kecamatan Biboki
berada di Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur dan merupakan
salah satu kabupaten yang kaya akan kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal yang masih
sangat dijaga dan dilestarikan sampai dengan saat ini adalah kerajinan tenun ikat (Lake
dkk. 2017). Kain tenun yang dilestarikan dan dikenal sampai sekarang yaitu tenun ikat,
kain tenun yang dhasilkan oleh masyarakat kabupaten sabu mempunyai ciri khas dan
keunikan tersendiri, terutama pada corak warna motif yang berasal dari tumbuhan yang
digunakan dan dimanfaatkan sebagai pewarna alami.
Masyarakat setempat menggunakan pewarna alami dari tumbuhan yang tersedia di
sekitar lingkungan tempat tinggal, sehingga tidak mengeluarkan biaya yang banyak
untuk memperoleh bahan bakunya.
Menurut Nomleni dkk (2019) penggunaan tumbuhan sebagai salah satu pewarna
sangat menguntungkan penggunanya karena sangat ramah lingkungan, mudah diperoleh
di lingkungan sekitar, tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk memperolehnya,
tidak beracun, dan bertahan lama terutama jika pewarnaannya menggunakan bahan
pengikat seperti Ca(OH)2 atau kapur sirih (Pujilestasi 2015). Selain itu menurut Ati
(2006) kain atau benang yang dihasilkan dengan pewarna alami yang berasal dari
tumbuhan kestabilan warnanya telah diuji dengan pencucian menggunakan deterjen
namun warnanya tidak luntur.
Tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pewarna alami oleh masyarakat di
kabupaten sabu sangat beranekaragam dan tersebar di sekitar pekarangan rumah namun
tidak semua masyarakat mengetahui jenis tumbuhan penghasil warna alami. Jenis-jenis
dari tumbuhan yang berbeda, potensi kuantitas bahan baku yang dihasilkan akan
berbeda (Darma & Priyadi 2015). Di samping itu pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat tradisional dapat diturunkan dari satu generasi ke genarasi berikutnya,
ditambah dengan makin diminatinya kain tenun berbahan pewarna alami, masyarakat
berupaya untuk mempertahankan keberadaan tumbuhan yang digunakan. Di antara usaha
7
yang dilakukan adalah penanaman kembali di lokasi penebangan dan lahan-lahan
kosong.
Bahan pewarna alami kain tenun ikat yang digunakan oleh masyarakat pada
umumnya tumbuhan yang menghasilkan warna hitam, kuning, cokelat, biru indigo, dan
merah. Maka dari itu tujuan penelitian peneliti yaitu ingin menginovasikan warna baru
pada kain tenun ikat sabu tanpa merubah dan menghilangkan motif asli yang sudah ada.
Tumbuhan yang akan peneliti gunakan adalah tumbuhan Tarum (Indigofera tinctoria
Linn.), tumbuhan ini menghasilkan warna indigo (biru gelap).
2.3 Tarum
Tanaman tarum (Indigofera tinctoria) merupakan tanaman penghasil warna biru alami.
Tanaman tarum adalah sejenis pohon polong-polongan yang berbunga ungu (violet),
dimanfaatkan untuk menghasilkan warna biru dari hasil ekstraksi daun.
Selain sebagai penghasil warna biru, indigo atau tarum juga digunakan sebagai
penghasil warna hijau dengan mengombinasikan dengan pewarna alam kuning lainnya.
Jaman dahulu tarum merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
masyarakat (Ariyanti, 2017).
Sejak tahun 1915 penggunaan tanaman tarum sebagai penghasil zat warna semakin
merosot dan tidak ada yang berusaha mengolah tarum secara lebih mudah. Bahkan
sampai masa sekarang ini, menggunakan pewarna alami dari tanaman tarum untuk
mewarnai kain Tenun beralih pada pewarna sintetik yang dianggap lebih praktis dalam
penggunaannya.
Tarum juga dapat dimanfaatkan untuk mewarnai tenun ikat sebagai bentuk inovasi
warna indigo terhadap kain tenun ikat. Namun, kebanyakan masyarakat lokal lebih
menyukai pewarna sintetis daripada pewarna alami yang berasal dari tarum yang proses
pengolahannya cukup memakan waktu dan dan menguras tenaga. Diantara pewarna
alami yang telah banyak digunakan dan diakui di seluruh dunia adalah pewarna alami
dari tanaman tarum yang merupakan bahan pewarna alami tertua yang telah dikenal.
Menurut Ensley et al (1983), bahan pewarna yang dihasilkan oleh tarum merupakan
derivat dari glukosida tidak berwarna dalam bentuk enol dari indoxyl, misalnya indican
(indoxyl- - D-glucoside). Tanaman tarum dimanfaatkan secara luas sebagai sumber
pewarna biru Setelah tanaman ini direndam di dalam air, proses hidrolisis oleh enzim
akan mengubah indican menjadi indoxyl (tarum-putih) dan glukosa. Indoxyl dapat
dioksidasi menjadi zat berwarna biru yang disebut indigo (Ariyanti, 2017).
8
Indigo biasanya berasal dari tanaman seperti Indigofera tinctoria, Indigofera
suffruticosa, Polygonum tinctorium, Isatis indigotica (Minami et al.1996,1997). Indigo
merupakan golongan senyawa alkaloid berwarna biru tua, tidak larut dalam air, alkohol
eter, atau tetapi larut dalam kloroform, nitrobenzena, atau asam sulfat pekat. Indigofera
tinctoria mengandung isatan B (indoxyl—ketogluconate), sebagai prekursor mayor
indigo dan indican sebagai prekursor minor indigo (Epstein et al, 1967; Maier et al,
1990). Tanaman tarum mengandung glukosida indican (indoxyl- -D-glucoside) yang
dihidrolisis oleh enzim menjadi indoxyl dan kemudian teroksidasi untuk membentuk
indigo teroksidasi indigo biru (Lestari, 1998). Indigo biru adalah pigmen yang tidak larut
air. Jadi, dalam proses pencelupan, indigo biru yang bersifat basateroksidasi menjadi
leuco indigo yang tidak berwarna dan larut dalam air sebelum pencelupan, setelah itu
leuco dan berubah menjadi indigo biru (Laitonjam, 2011).
Enzim dapat berasal dari tanaman tarum dan ekstraksi tanaman tarum segar yang akan
melepaskan enzim glikolitik dari sel-sel tanaman untuk menghidrolisis indican dan
menghasilkan indoxyl yang kemudian teroksidasi sehingga berubah menjadi indigo biru
(Yenni, 2017). Menurut Mira dkk (2017) enzim pada tanaman tarum kering dan semi-
kering kemungkinan tidak aktif selama proses pengeringan, sehingga hasil dari pewarna
indigo yang berasal dari bahan tanaman tersebut sangat rendah. Karena pada bahan
tanaman yang semi-kering dan kering memberikan hasil zat pewarna yang rendah secara
signifikan.
2.4 Mordanting
Pewarnaan alami adalah pewarnaan pada tekstil yang dilakukan untuk memberikan
warna pada kain atau tekstil secara merata. Proses pewarnaan alami perlu melakukan
mordanting. Mordan yang berfungsi sebagai bahan penguat dan pembangkit warna.
Jenis-jenis mordan yang digunakan untuk pewarnaan alami juga sangat beragam yakni
dengan tawas, kapur, soda abu, baking soda, dan besi (Hasanah, 2020).
Mordan adalah suatu zat yang berfungsi sebagai pembangkit warna dan sebagai
penguat warna agar tahan luntur. Menurut Djufri (2008:22) pencelupan dengan mordan
dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu Mordan pendahulu (pre mordanting), Mordan
simultan (metachrom, monochrome dan Mordan akhir (post mordanting). Mordan kapur
tohor jika besarnya penggunaan konsentrasi zat larutan mordan, akan mempengaruhi
hasil ketajaman warna kain. Mordan tawas mempunyai sifat alkalibasa yang dapat
membuat warna semakin teresap (Angendari:2014). Mordan Nacl yaitu Sodium Chlorida
9
atau Natrium Chlorida (NaCl) yang dikenal sebagai garam adalah zat yang memiliki
tingkat osmotik yang tinggi.
2.5 Pengembangan Teknik Pembuatan dan Standarisasi Sediaan Pewarna Alami Biru
Tahan Luntur
2.5.1. Pengembangan teknik pembuatan sediaan pewarna alami biru tahan
luntur
Dilakukan pengembangan teknik pembuatan sediaan pewarna alami biru tahan
luntur berdasarkan formula tradisional yang dipilih menjadi acuan.
Pengembangan ini dilakukan dengan menerapkan teknik pengeringan cepat
menggunakan panas matahari dan penggunaan bahan alami untuk melakukan
penyesuaian Ph.
Pengamatan warna larutan menggunakan mobile phone colorimetrc method
dengan aplikasi Color Grab yang mengadaptasi prosedur Manu et al. (2021) dan
Ola et al. (2021). Larutan formula ditempatkan pada photobox. Pangambilan
gambar menggunakan pada jarak 10 cm menggunakan smartphone Vivo Y53s
dengan dengan kamera 64 MP (f/1.8, 26mm) PDAF sebagai kamera utama 2 MP
(f/2.4) kamera macro 2 MP (f/2.4) kamera depth. Warna dianalisis dengan
menggunakan aplikasi Color Grab. Pewarna alami yang memberikan warna
merah kuat ditetapkan sebagai Formula Terpilih. Pewarna alami yang memiliki
warna biru yang kuat dan proses pembuatan yang sederhana ditetapkan sebagai
kandidat sediaan pewarnaan alami biru tahan luntur. Selanjutnya terhadap
kandidat pewarna alami biru tahan luntur hasil pengembangan dilakukan uji
ketahanan luntur terhadap pencucian dan penjemuran sesuai prosedur 2.5.2.
berikut.
2.5.2. Uji aktivitas ketahanan luntur terhadap formulasi pewarna alami biru
a. Uji Ketahanan Luntur Pencucian
Benang katun yang telah diberi pewarnaan formulasi dibilas dengan
air biasa. Proses ini merupakan proses penghilangan zat pewarna yang
tidak terserap dan tidak bereaksi dengan serat serta semua benda asing
yang masih terdapat pada benang katun. Pembilasan ini dilakukan hingga
tidak ada lagi zat warna yang larut dalam air bilasan. Setelah dibilas
dilakukan proses pengeringan benang katun di dalam oven pada
temperature 50 °C. Setelah benang kaun kering dilakukan pengamatan
10
warna sesuai dengan prosedur pengamatan dan analisis perubahan warna
di bawah ini. Benang katun kemudian dicuci dengan menggunakan
detergen. Diamati adanya kelunturan secara visual. Kemudian benang
dibilas dan dilakukan proses pengeringan benang katun di dalam oven
pada temperatur 50 °C. Setelah benang katun kering dilakukan
pengamatan warna sesuai dengan prosedur pengamatan dan analisis
perubahan warna di bawah ini.
b. Uji Ketahanan Luntur Penjemuran
Benang katun yang telah diberi pewarnaan formulasi dibilas dengan
air biasa. Proses ini merupakan proses penghilangan zat pewarna yang
tidak terserap dan tidak bereaksi dengan serat serta semua benda asing
yang masih terdapat pada benang katun. Pembilasan ini dilakukan hingga
tidak ada lagi zat warna yang larut dalam air bilasan. Setelah dibilas
dilakukan proses pengeringan benang katun di dalam oven pada
temperatur 50 °C. Setelah benang katun kering dilakukan pengamatan
warna sesuai dengan prosedur pengamatan dan analisis perubahan warna
di bawah ini. Benang katun kemudian dijemur dibawah sinar matahari
selama 120 jam dan dilakukan pengamatan warna sesuai dengan prosedur
pengamatan dan analisis perubahan warna di bawah ini.
c. Pengamatan dan Analisis Perubahan Warna
Pengamatan warna kain menggunakan mobile phone colorimeric
method dengan aplikasi color grab yang mengadaptasi prosedur Afshari
dan Dinari (2020). Sampel kain hasil fiksasi ditempatkan pada photobox.
Pengambilan gambar menggunakan pada jarak 10 cm menggunakan
smartphone Vivo Y53s dengan kamera 64 MP (f/1.8, 26mm) PDAF
sebagai kamera utama 2 MP (f/2.4) kamera macro 2 MP (f/2.4) kamera
depth. Warna dianalisis dengan menggunakan aplikasi Color Grab.
Analisis lebih lanjut terhadap warna sampel kain dilakukan dengan
menggunakan aplikasi Image J.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
6 Seminar Hasil
13
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini akan digunakan beberapa metode,
yaitu sebagai berikut :
3.4.1. Wawancara
Iskandar (2008:217) menyatakan bahwa dalam mengambil data,
peneliti akan mewawancarai informan seperti: para tua-tua adat, tokoh
masyarakat. Di kecamatan Biboki dan Dekranasda Kabupaten Timor
Tengah Utara menggunakan pedoman wawancara yang bersifat terbuka
dalam suasana kekeluargaan dan keakraban dengan cara tanya jawab
mengenai latar belakang motif dan nilai apa saja yang terkandung dalam
Motif serta penggunaan pewarnaan alami yang digunakan oleh masyarakat
Biboki terkhususnya pewarna alami dari daun tarum.
3.4.2. Observasi
3.4.3. Dokumentasi
14
3.5 Analisis Data
Tahapan ini merupakan tahapan terakhir setelah peneliti melakukan kegiatan penelitan
secara langsung di lapangan. Setelah data yang peneliti kumpulkan terkumpul maka
tahap selanjutnya yaitu pengolahan data dan menuangkan ke dalam suatu karya tulis
ilmiah. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif. Moleong (2004:72) menyatakan bahwa kegiatan analisis melalui langkah-
langkah yaitu peneliti ditekanakan untuk menyediakan data yang di peroleh dari lokasi
peneliti dan melakukan kajian analisis data. Selanjutnya peneliti menyajikan data dan
mengadakan reduksi artinya tidak mengurangkan data atau menambahkan data harus
sesuai dengan data yang didapati, display data artinya data-data yang sudah diambil
kemudian ditampilkan semua data sesuai dengan hasil penelitian yang disediakan untuk
mengetahui kebenaran atau keabsahan data tersebut. Hasil analisis akan dideskripsikan
secara naratif dengan memperhatiakan prinsip-prinsip ilmiah yaitu rasional artinya
menurut pikiran dan pertimbangan yang logis, objektif artinya sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya tanpa menggunakan pandangan pribadi atau dengan kata lain
merekayasa data, sistematis artinya peneliti harus menganalisis secara bertahap sesuai
dengan data yang diterima di lapangan, dan komprehensif adalah peneliti mampu
menghimpun semua data secara keseluruhan yang berkaitan dengan masalah peneliti
data. Peneliti saat mendapatkan data tentang motif tenun Mak’aif dari lokasi penelitian
di kecamatan Biboki dengan melakukan kajian analisis data.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data
berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat
wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban subjek. Apabila
jawaban subjek setelah dianalisis dianggap belum lengkap, maka peneliti akan
melanjutkan pemberian pertanyaan-pertanyaan berikutnya sampai tahap tertentu
diperoleh data yang lebih kredibel (Sugiyono:337).
15
3.6 Diagram Alir
Latar Belakang
Kajian Pustaka
• Tenun ikat
• Zat warna alam
• Tarum
• Mordanting
• Teknik pembuatan serta
Standarisasi sediaan pewarna
alami biru tahan luntur
Analisis Data
16
DAFTAR PUSTAKA
Prosea. (2009). Pewarna alami: Ditemukan 62 jenis tumbuhan penghasil pewarna alami.
Diunduh dari http://www.proseanet.org/prohati4/browser.php?pcategory=2&pageset=1
(14 Maret 2013).
Rosyida. 2014. Pembuat warna tekstil dari tumbuhan dan teknik pewarnaan pada bahan
tekstil untuk mendapatkan hasil yang optimal. Laporan penelitian HB tahun kedua.
17
18
19