Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

METABOLISME ZAT GIZI MAKRO

ANALISIS IDENTIFIKASI GLUKOSA PADA URINE

Dosen Pengampu :

Dr. Arisanty Nur Setia Restuti, M. Gizi

Oleh :

Golongan / Kelompok : D / 2

1. Naswa Natania Putri (G42221881)


2. Ayu Rahmania Fatwan (G42221912)
3. Lailatul Ida Safitri (G42221921)
4. Fitroh Hanifiyah (G42221929)
5. Adelia Putri (G42221939)
6. Devi Kusmiati (G42221994)
7. Vella Putri Riyani (G42221996)

PROGRAM STUDI GIZI KLINIK

JURUSAN KESEHATAN

POLITEKNIK NEGERI JEMBER

2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................
A. Latar Belakang..............................................................................................
B. Tujuan Praktikum.........................................................................................
C. Rumusan Masalah.........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
BAB III METODE PRAKTIKUM......................................................................
A. Waktu Dan Tempat.......................................................................................
B. Alat Dan Bahan...........................................................................................
a. Alat.....................................................................................................
b. Bahan..................................................................................................
c. Prosedur Kerja....................................................................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................
A. Hasil..............................................................................................................
B. Pembahasan..................................................................................................
BAB V PENUTUP.................................................................................................
Kesimpulan.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
LAMPIRAN...........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Metabolisme tubuh berperan mengubah zat-zat makanan seperti glukosa, asam amino,
dan asam lemak. Menjadi senyawa yang digunakan untuk proses kehidupan seperti: sumber
energy (ATP). Makanan yang yang banyak mengandung karbohidrat akan merangsang
sekresi insulin dan mencegah sekresi glukagon. Insulin berfungsi mempermudah dan
mempercepat masuknya glukosa setelah masuk di dalam sel, oleh insulin akan disimpan atau
disintesis menjadi glikogen baik di hati, otot, atau jaringan lainnya (Murray, 2014).

Pemeriksaan urine disebut juga pemeriksaan penyaring, dimana pemeriksaan tersebut


tidak hanya dapat memberikan fakta-fakta tentang ginjal dan saluran urine, tetapi juga dapat
mengetahui fungsi berbagai organ dalam tubuh seperti hati, saluran empedu, pankreas,
korteks adrenal, dan lain-lain. Pemeriksaan sedimen urine merupakan salah satu dari
pemeriksaan urine rutin (Gandasoebrata, 2007). Pemeriksaan urine terdiri dari pemeriksaan
mikroskopis yang meliputi pemeriksaan warna, kejernihan,dan kimia urine. Metode yang
dipakai untuk memperoleh hasil pemeriksaan urine bermacam-macam, seperti metode
konvensional (Benedict, fehling) dan carik celup. Faktanya metode konvensional juga masih
sering digunakan, seperti pemeriksaan glukosa urine dengan metode Benedict.
(Samsuria.K.S, dkk.,2012).

Pemeriksaan glukosa urine metode Benedict memanfaatkan sifat glukosa sebagai


pereduksi. Prinsip pemeriksaan Benedict adalah glukosa dalam urin akan mereduksi
cuprisulfat menjadi cuprosulfat yang terlihat dengan perubahan warna dari larutan Benedict.
Hasil positif ditunjukkan dengan adanya kekeruhan dan perubahan warna dari biru menjadi
hijau kekuningan sampai merah bata. Kelemahan metode ini antara lain reagen yang
dibutuhkan lebih banyak, untuk mendapatkan hasil diperlukan waktu yang agak lama, metode
ini juga tidak spesifik untuk mendeteksi glukosa urin saja. Kelebihan metode ini biayanya
murah, membutuhkan urin yang lebih sedikit (Gandasoebrata, 2007).

Diabetes melitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh


hiperglikemia sebagai akibat adanya gangguan dalam sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Insulin merupakan hormon yang diproduksi yang terdapat pada pankreas yang
menjadikan glukosa dari makanan dapat masuk ke dalam sel untuk diubah menjadi energi
yang dibutuhkan oleh tubuh. Orang yang mengalami diabetes tidak dapat mengaborsi glukosa
dengan cukup, sehingga mengakibatkan glukosa menumpuk di darah, kemudian kejadian
tersebut mengakibatkan hiperglikemia.

B. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu menganalisis data pemeriksaan glukosa urine pada orang obesitas
dan normal.
2. Mahasiswa mampu menginterpretasikan data pemeriksaan glukosa urine pada orang
obesitas dan normal.

C. Rumusan Masalah
1. Uji apa yang dilakukan dalam identifikasi glukosa pada urine?
2. Apa hasil yang didapatkan dari uji antara urine normal dengan urine obesitas?
3. Apakah terdapat kandungan glukosa pada urine normal dan urine obesitas?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Glukosa (C6H12O6 ), merupakan gula monosakarida yang merupakan hasil akhir dari
proses metabolisme karbohidrat yang ada didalam tubuh. Glukosa merupakan salah satu
karbohidrat yang digunakan sebagai sumber tenaga. Glukosa merupakan gula sederhana
(yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam) yang berguna untuk
menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel. Dalam bentuk glukosa, maka karbohidrat
diabsorbsi melalui dinding usus dan dikonversi didalam hati (Murray, 2003).
Glukosa digunakan untuk dibakar agar mendapatkan kalori atau energi. Sebagian
glukosa yang ada didalam darah adalah hasil dari penyerapan usus dan sebagian lagi dari
hasil pemecahan simpanan energi dalam jaringan. Glukosa yang ada dalam usus bisa berasal
dari glukosa yang kita makan atau bisa juga hasil pemecahan zat tepung yang kita makan dari
nasi, ubi, jagung, kentang, roti atau dari yang lain. Kadar glukosa yang tinggi sangat
berbahaya bisa menyebabkan berbagai masalah serius seperti tekanan darah tinggi, penyakit
jantung, gangguan ginjal dan kebutaan. Jika tidak diobati dengan benar, kadar glukosa dapat
dapat menyebabkan kematian. Hiperglikemia dapat dikontrol melalui tatalaksana pola makan,
olahraga dan pengobatan (Soegondo,2002).
Urine atau air seni adalah sisa yang disekresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinalisis. Ekskresi urine diperlukan untuk
membuang molekul molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal untuk menjaga
homeostasis cairan tubuh. Dalam mempertahankan homeostasis tubuh, peran urine sangat
penting karena sebagai pembuang cairan oleh tubuh adalah melalui proses sekresi urine
(Wahyundari, 2016). Sehingga komposisi urine dapat mencerminkan kemampuan ginjal
untuk menahan dan menyerap bahan-bahan yang penting untuk metabolisme dasar dan
mempertahankan homeostasis tubuh. Normalnya jumlah bahan yang terdapat dalam urine
selama 24 jam adalah 35 gram bahan organik dan 25 gram bahan anorganik (Ma’arufah,
2004).
Organ yang berperan dalam pembentukan urine yaitu ginjal. Di dalam ginjal, zat sisa
metabolisme akan dipilah-pilah kembali. Hasil pemilihan tersebut berupa zat yang sudah
tidak berguna dan zat yang masih bisa dipergunakan kembali. Zat yang tidak berguna tersebut
akan dikeluarkan dari tubuh, sedangkan zat-zat yang masih dapat dipergunakan lagi akan
dikembalikan ke sirkulasi (Riswanto, dan Rizki, 2015).
Nefron terdiri atas seperangkat glomerulus dan tubulus. Glomerulus mempunyai
fungsi filtrasi, sedangkan tubulus mempunyai fungsi sekresi dan reabsorbsi. Setidaknya salah
satu dari tiga proses berikut akan dialami suatu zat ketika diangkut melalui darah ke sistem
filtrasi kompleks ginjal, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan reabsorbsi tubular
(Riswanto, dan Rizki, 2015).
Komposisi zat di dalam urine bervariasi tergantung jenis makanan serta air yang
diminumnya. Urine normal terdiri dari air, urea, asam urat, amonia, kreatinin, asam laktat,
asam fosfat, asam sulfat, klorida, garam- garam terutama garam dapur dan zat- zat yang
berlebihan dalam darah misalnya vitamin C dan obat-obatan. Semua cairan dan pembentuk
urine tersebut berasal dari darah atau cairan interstisial. Komposisi urine berubah sepanjang
proses reabsorpsi ketika molekul yang penting bagi tubuh, misalnya glukosa diserap kembali
ke dalam tubuh melalui molekul pembawa (Halander, dkk., 2000).
Metode benedict adalah metode yang memanfaatkan sifat glukosa sebagai zat
pereduksi dimana reagen benedict mengandung garam cupri yang jika ditambahkan urine
yang mengandung glukosa dan kemudian dipanaskan maka akan menjadi cupro yang ditandai
dengan adanya perubahan warna an kekeruhan pada reagen benedict. Metode ini adalah
metode yang standar pada pemeriksaan glukosuria. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah
glukosa dalam urin akan mereduksi cuprisulfat menjadi cuprosulfat yang terlihat dengan
terjadinya perubahan warna (Zamanzad B, 2009).
Pada prinsipnya, glukosa dalam urine akan mereduksi cuprisulfat (dalam benedict)
menjadi cuprosulfat yang terlihat dengan perubahan warna dari larutan benedict tersebut. Tes
reduksi ini tidak spesifik karena ada zat lain yang juga mempunyai sifat pereduksi seperti
halnya glukosa sehingga dapat memberikan reaksi positif palsu untuk glukosuria misalnya
fruktosa, sukrosa, galaktosa, pentosa, laktosa, dan beberapa zat bukan gula seperti asam
homogentisat, alkapton, formalin, glukoronat, serta karena pengaruh obat : streptomisin,
salisilat kadar tinggi, vitamin C. Selain itu hasil yang diperoleh masih bersifat semi
kuantitatif untuk menaksir kadar glukosa urin secara kasar (Gandasoebrata, 2007).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Tempat : Laboratorium Analisis Zat Gizi


B. Waktu : Kamis, 26 Oktober 2023
C. Alat dan Bahan :
a. Alat :
1. Tabung reaksi
2. Rak tabung reaksi
3. Pipet tetes
4. Gelas ukur
5. Alat penangas
6. Alat tulis dan kertas
b. Bahan :
1. Sampel urin normal
2. Sampel urin obesitas
3. Larutan benedict
c. Prosedur Kerja :

Siapkan 2 buah tabung reaksi.

Masing-masing tabung reaksi diisi 5 ml larutan benedict.

Tabung reaksi pertama ditambahkan 8 tetes sampel urin normal, dan tabung reaksi kedua
ditambahkan 8 tetes sampel urin obesitas.

Masing-masing tabung dilakukan pemanasan selama 5 menit dengan suhu 80°.

Tabung yang telah dipanaskan kemudian didinginkan.

Amati perubahan warna dan endapan yang terjadi.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

No Sampel Warna Larutan dan Endapan Reaksi


1. Sampel urine obesitas Warna larutan keruh dan hijau (0,5-1%) +
2. Sampel urine normal Warna larutan keruh dan hijau (0,5 – 1 %) +

Obesitas merupakan akumulasi lemak yang berlebihan karena adanya


ketidakseimbangan masukan dan pengeluaran makanan dan dapat menyebabkan berbagai
macam masalah kesehatan. Pada obesitas, resistensi tubuh terhadap insulin akan berkembang.
Berkembangnya resistensi insulin ditandai dengan berkurangnya kemampuan pengambilan
glukosa pada lemak dan otot. Kelainan tersebut merupakan faktor yang mendasari penyakit
diabetes mellitus tipe 2.

Adanya pengaruh IMT terhadap diabetes melitus disebabkan oleh kurangnya aktivitas
fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan faktor risiko
dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam Lemak atau Free Fatty Acid
(FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi transporter glukosa ke
membran plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada jaringan otot dan
adiposa (Teixeria-Lemos, et al., 2011).

Resistensi insulin didefinisikan sebagai kondisi klinis dengan kemunduran potensi


insulin baik endogen maupun eksogen untuk meningkatkan pengambilan glukosa dan
penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh. Diagnosa resistensi insulin dapat ditegakkan dengan
pengukuran langsung maupun tidak langsung. Pada keadaan obesitas juga terjadi proses
inflamasi akibat peningkatan sitokin proinflamasi dan infiltrasi makrofag disertai adanya
induksi respon stres yang dapat menyebabkan resistensi insulin.

Mekanisme yang mendasari lebih tingginya risiko DM tipe II pada individu dengan
obesitas adalah karena pada keadaan obesitas terjadi peningkatan asam lemak, penumpukan
lipid intra sel, dan pembentukan sitokin oleh adiposity yang menyebabkan kerusakan fungsi
insulin. Pada keadaan obesitas juga terjadi proses inflamasi akibat peningkatan sitokin
proinflamasi dan infiltrasi makrofag disertai adanya induksi respon stres yang dapat
menyebabkan resistensi insulin.
Hasil penelitian lain juga membuktikan bahwa ada hubungan yang erat obesitas
abdominal dan faktor risiko penyakit kardiovaskular yaitu diabetes melitus, hipertensi dan
dislipidemia. Massa lemak tidak hanya tempat penyimpanan energi, tetapi juga sebagai
jaringan dinamis dengan berbagai fungsi. Kelebihan massa lemak juga dikaitkan dengan
keadaan resistensi insulin yang berhubungan dengan diabetes mellitus. Risiko diabetes
melitus akan meningkat secara linear sesuai dengan peningkatan IMT. Overweight akan
meningkatkan angka kejadian diabetes melitus 3-4 kali dibandingkan orang dengan IMT
normal (Pratiwi, 2010).

Keadaan obesitas selalu dikaitkan dengan menumpuknya jumlah jaringan lemak atau
adiposa. Terdapat dua tipe jaringan adiposa dalam tubuh, jaringan adiposa putih dan jaringan
adiposa coklat. Jaringan adiposa putih memiliki fungsi autokrin, parakrin, dan endokrin (pada
otak, otot, hati, pembuluh darah, ginjal, tulang, dan lainnya). Sedangkan jaringan adiposa
coklat berfungsi untuk meregulasi thermogenesis pada tubuh sebagai respons terhadap asupan
makanan dan suhu dingin (Salam, 2010; Ashraff et al, 2013). Jaringan adiposa memiliki dua
kemampuan, yaitu kemampuan untuk membesar dan elastis. Kemampuan untuk membesar,
memungkinkan jaringan adiposa untuk menyimpan lipid dengan cara hipertrofi maupun
hiperplasia.

Adiposit yang hipertrofi, akan merangsang adiposit lainnya menjadi adiposity yang
hiperplasia. Jika proses hipertrofi dan hiperplasia sudah melampaui batas, maka lipid akan
memenuhi jaringan non-adiposa (hati, otot, pankreas, ginjal, dan tulang) (Kershaw, 2004).
Adiposit yang hipertrofi mengalami disfungsi dan bersifat sangat lipolitik yang akan
menghasilkan asam lemak bebas (FFA) berlebihan serta menurunkan sekresi adipokin pada
sirkulasi. Sekresi adipokin yang menurun akan meningkatkan leptin dan resistin, namun
menurunkan sekresi adiponektin. Menurut studi penelitian sebelumnya, peranan obesitas
dalam resistensi insulin dijelaskan dalam berbagai teori. Terdapat dua teori yang menjelaskan
hubungan tersebut, yaitu portal theory dan spillover hypothesis (Jo J et al, 2009; Virtue &
Vidal, 2009).

Menurut hipotesis portal theory, akumulasi jaringan lemak pada sentral tubuh yang
menghasilkan asam lemak bebas (FFA) secara berlebihan akan mengakibatkan peningkatan
jumlah perpindahan asam lemak bebas menuju ke hati melalui drainase vena porta. Karena
banyaknya asam lemak bebas pada hati, sitokin inflamasi akan dikeluarkan oleh lemak
viseral melalui vena porta. Hal tersebut yang dapat menyebabkan resistensi insulin pada hati,
sehingga produksi glukosa yang meningkat menjadi tidak terkendali (JoJ, etal,2009; Virtue &
Vidal, 2009).

Keterbatasan kemampuan jaringan adiposa untuk hipertrofi (terutama kompartemen


lemak perifer dan subkutan) menyebabkan asam lemak bebas pada jaringan adiposa dan
non-adiposa akan berlebihan. Seperti yang diungkapkan spillover hypothesis, keterbatasan
jaringan non adipose untuk mengoksidasi serta menyimpan asam lemak bebas menyebabkan
penumpukan akumulasi lemak ektopik dan derivat aktif asam lemak bebas yang berakhir
pada resistensi insulin. Sehingga lipotoksisitas dan apoptosis akan terjadi pada organ yang
berkaitan (Jo J et al, 2009).

Gula dalam makanan meliputi gula pereduksi dan gula non pereduksi. Gula pereduksi
terutama meliputi glukosa, fruktosa, maltosa, dan laktosa. Gula pereduksi mengacu pada
monosakarida atau disakarida dengan gugus aldehid bebas, gugus keton, atau hidroksil
hemiasetal. Efek reduktifnya adalah karena enolisasi (konversi keton menjadi enol) gula.
Gula non-pereduksi umumnya mengacu pada sukrosa. Sukrosa dapat dihidrolisis menjadi
glukosa dan fruktosa dalam jumlah yang sama. Sebagian besar makanan mengandung
campuran gula daripada satu jenis gula (Zhang & Chen, 2020).
Gula pereduksi umumnya digambarkan sebagai gula apa pun yang, dalam larutan
basa, memiliki gugus aldehida atau keton yang memungkinkan gula bertindak sebagai zat
pereduksi. Dalam dekade terakhir, potensi reduksi gula telah ditentukan dengan
menggunakan metode yang diterima secara ilmiah yang berbeda yang didasarkan pada
potensi reduksi gula terhadap ion logam transisi dengan spesifik bilangan oksidasi dalam
larutan basa. Salah satu metode tradisional tersebut adalah metode Fehling, yang
menggunakan ion tembaga (Cu2+) dalam larutan dasar kalium natrium tartrat untuk
penentuan potensial reduksi. Ion tartrat dalam larutan digunakan sebagai zat pengompleks
untuk menjaga ion tembaga dalam larutan dan untuk menghindari pengendapan tembaga
hidroksida.

Biasanya glukosa hampir tidak ada dalam urin. Ambang ginjal untuk glukosa berkisar
antara 160-200 mg/dl (180 mg/dl) tergantung pada individu. Artinya gula darah harus naik ke
ambang ginjal sebelum glukosa akan muncul dalam urin. Ketika glukosa hadir dalam urin itu
disebut glukosuria. Gula lain yang kurang penting yang mungkin muncul dalam urin adalah
laktosa galaktosa pentosa yang dapat memberikan hasil positif palsu untuk glukosa. Jadi tes
khusus harus dilakukan untuk membedakan glukosa dari gula lain yang hadir di dalam urin
(Journal & Pharmaceutical, 2018).

Berbagai gula dapat ditemukan dalam urin dalam keadaan tertentu, baik keadaan
patologis maupun fisiologis. Ini termasuk glukosa, fruktosa, galaktosa, laktosa, maltosa,
pentosa dan sukrosa. Kehadiran jumlah terdeteksi glukosa dalam urin disebut glukosuria;
kondisi ini terjadi setiap kali kadar glukosa dalam darah melebihi kapasitas tubulus ginjal
untuk reabsorpsi. Glukosa dapat muncul dalam urin pada kadar glukosa darah yang berbeda.
Namun, biasanya tidak diindikasikan sebagai hiperglikemia. Aliran darah glomerulus, laju
reabsorpsi tubulus, dan aliran urin juga akan mempengaruhi penampilannya. Akan tetapi, bila
terdapat hiperglikemia, glikosuria biasanya terjadi bila kadar darah lebih besar dari 180-200
mg/dL.

Uji semi kuantitatif untuk gula pereduksi dalam urin dilakukan, berdasarkan reagen
Benedict. Tes ini pertama kali dijelaskan oleh Stanley Benedict pada tahun 1908, dan terdiri
dari tembaga(II) sulfat, yang direduksi dengan adanya beberapa senyawa untuk menghasilkan
endapan tembaga(I) oksida, dan juga mengubah warna larutan. Hasil positif berkisar dari
larutan kuning-hijau sampai merah-coklat dengan adanya endapan hingga merah bata,
tergantung pada konsentrasi zat pereduksi.
Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian mengenai identifikasi glukosa pada
sampel urine. Dilakukan dengan menggunakan 2 sampel urine yaitu urine pada pendonor
sehat dan urine pada pendonor obesitas. Perlakuan dilakukan dengan cara menyiapkan 2
tabung reaksi yang kemudian isikan dengan larutan benedict sebanyak 5 ml. Larutan benedict
merupakan larutan pereaksi yang mengandung kupri sulfat (tembaga II), natrium karbonat
(Na2CO3), dan natrium sitrat (Na3C6H5O7), yang kemudian dicampurkan dengan 8 tetes
masing masing dari pendonor urine.

Setelah ditetesi urine tersebut, diharapkan agar tidak menghomogenkan kedua larutan
tersebut. Hal ini dilakukan untuk memudahkan untuk melihat reaksi selanjutnya karena jika
larutan benedict dan urine homogen perubahan warna pada proses selanjutnya tidak
maksimal (terlihat larutan benedict saja). Urine yang telah ditetesi akan berada di bagian atas
larutan benedict tersebut. Kemudian, ke- 2 tabung reaksi tersebut dipanaskan selama 5 menit
dengan suhu 80˚c, pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat proses reaksi antara sampel
dengan larutan benedict . Apabila sudah mencapai waktu 5 menit, dinginkan setiap tabung
yang berisi sampel pada suhu ruang lalu amati perubahan warnanya.

Hasil ke-2 tabung reaksi kami menunjukan suatu perubahan yaitu pada tabung reaksi
yang berisikan urine pendonor normal mengalami perubahan pada bagian atas (urine) yang
berubah menjadi larutan keruh dan berwarna hijau sedangkan untuk bagian bawah (larutan
benedict) tetap berwarna biru jernih. Pada tabung ke-2 yang berisikan urine pendonor
obesitas juga terjadi perubahan yang sama yaitu larutan (urine) menjadi keruh dan berwarna
hijau dan larutan benedict tetap berwarna biru jernih. Identifikasi ini menunjukan adanya
reaksi (+) dengan warna larutan keruh dan hijau (0,5- 1 %).

Gula yang memberikan tes positif dengan larutan Tollens atau Benedict dikenal
sebagai gula pereduksi, dan semua karbohidrat yang mengandung gugus hemiasetal
memberikan tes positif. Dalam larutan berair, bentuk gula hemiasetal berada dalam
kesetimbangan dengan konsentrasi aldehida nonsiklik atau -hidroksi keton yang relatif kecil,
tetapi tidak signifikan. Dua yang terakhir inilah yang mengalami oksidasi, mengganggu
keseimbangan untuk menghasilkan lebih banyak aldehida atau -hidroksi keton, yang
kemudian mengalami oksidasi sampai satu reaktan habis.

● Karbohidrat yang hanya mengandung gugus asetal tidak memberikan tes positif
dengan larutan Benedict atau Tollens, dan disebut gula non-pereduksi. Asetal tidak
berada dalam kesetimbangan dengan aldehida atau -hidroksi keton dalam media berair
dasar dari reagen uji (Solomons; et al., 2016).

Gula Pereduksi Bukan Gula Pereduksi

Hemiasetal (R’ = H atau


CH2OH) (memberikan positif
pada uji Tollens atau Benedict)
Asetal (R’ = H atau CH2OH)
(tidak memberikan positif pada
uji Tollens atau Benedict

Namun, pendonor urine sehat memiliki kondisi tubuh yang normal (bukan obesitas),
hasil pengujian tersebut menunjukan adanya kandungan glukosa pada ke-2 urine dengan
reaksi positif (+). Adanya kandungan glukosa pada pendonor normal tersebut dapat
disebabkan karena pola makan atau konsumsi sebelum praktikum dilakukan. Tubuh secara
alami akan mengalami metabolisme untuk mencerna apa saja yang dikonsumsi agar dapat
diubah menjadi energi. Karbohidrat sederhana, seperti nasi putih, pasta atau gula sederhana,
rata-membutuhkan 30 hingga 60 menit untuk proses pencernaan di perut. Sementara itu,
makanan berbentuk cairan lebih mudah dicerna oleh tubuh. Air biasa hanya butuh 10 hingga
20 menit. Untuk jus, soda, dan teh, biasanya butuh sekitar 20 hingga 40 menit. Cairan dengan
kandungan yang lebih kompleks, seperti smoothie, protein shake, atau air kaldu biasanya
butuh waktu sekitar 40 hingga 60 menit untuk dicerna. Hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab adanya kandungan glukosa pada urine pendonor sehat. Jadi dapat dikatakan, untuk
urine pendonor sehat mengandung glukosa namun tidak dikategorikan sebagai obesitas,
sesuai indeks massa tubuh (IMT) pendonor yang merupakan kategori normal.

Untuk sampel urine pendonor obesitas sendiri, mendapatkan hasil reaksi (+), yang
menunjukan adanya kandungan glukosa pada urine nya. Tubuh menyimpan glukosa dalam
bentuk glikogen. Jika kandungan glikogen yang tersimpan di hati dan otot melebihi batas,
maka organ hati akan secara alami mengubah kelebihan glukosa(glikogen) menjadi
trigliserida atau yang biasa dikenal sebagai cadangan lemak tubuh. Jika cadangan lemak
didalam tubuh terus bertambah, makan akan menyebabkan seseorang mengalami obesitas.
Obesitas merupakan kelebihan berat badan sebagai akibat penimbunan lemak berlebihan
dikategorikan berdasarkan IMT lebih besar dari 25 kg/m2. Obesitas memiliki efek patologis
terutama hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Hal ini mengakibatkan kegagalan dalam
kontrol glukosa dalam darah sehingga glukosa darah dipertahankan dalam kadar yang tinggi
di atas kisaran normal. Jika glukosa darah meningkat hingga kadar yang relatif tinggi, ginjal
akan melakukan efek-efek regulatorik. Kapasitas tubulus ginjal menyerap glukosa terbatas
sehingga pada kondisi hiperglikemia filtrasi glomerulus dapat mengandung lebih banyak
glukosa daripada yang dapat diabsorpsi sehingga terjadi glukosuria.
BAB V
PENUTUP

Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian mengenai identifikasi glukosa pada
sampel urine. Dilakukan dengan menggunakan 2 sampel urine yaitu urine pada pendonor
sehat dan urine pada pendonor obesitas. Pada pendonor urine sehat memiliki kondisi tubuh
yang normal (bukan obesitas), hasil pengujian tersebut menunjukan adanya kandungan
glukosa pada urine dengan reaksi positif (+). Adanya kandungan glukosa pada pendonor
normal tersebut dapat disebabkan karena pola makan atau konsumsi sebelum praktikum
dilakukan. Untuk sampel urine pendonor obesitas sendiri, mendapatkan hasil reaksi (+), yang
menunjukan adanya kandungan glukosa pada urine nya. Tubuh menyimpan glukosa dalam
bentuk glikogen. Jika kandungan glikogen yang tersimpan di hati dan otot melebihi batas,
maka organ hati akan secara alami mengubah kelebihan glukosa(glikogen) menjadi
trigliserida atau yang biasa dikenal sebagai cadangan lemak tubuh.
Menurut hipotesis portal theory, akumulasi jaringan lemak pada sentral tubuh yang
menghasilkan asam lemak bebas (FFA) secara berlebihan akan mengakibatkan peningkatan
jumlah perpindahan asam lemak bebas menuju ke hati melalui drainase vena porta. Karena
banyaknya asam lemak bebas pada hati, sitokin inflamasi akan dikeluarkan oleh lemak
viseral melalui vena porta. Hal tersebut yang dapat menyebabkan resistensi insulin pada hati,
sehingga produksi glukosa yang meningkat menjadi tidak terkendali (JoJ, etal,2009; Virtue &
Vidal, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Widiarti Leni. 2022. IDENTIFIKASI GLUKOSA DALAM URIN PADA MAHASISWA


STAMBUK 2018. Fakultas Sains Dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Sumatera. Medan

Purba, Gugun Sahat Rouli. 2016. Identifikasi Glukosa dalam Urine Mahasiswa Obesitas
Stambuk. Universitas Sumatera Utara

Samsuria, K S. Dkk. 2012. Akurasi Pemeriksaan Carik Celup Pada Urinalisis

Proteinuria Dan Glukosuria Dibandingkan Dengan Metode Standar.


Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan. Program Studi Pendidikan Dokter

Gandasoebrata, R. , 2007. Penuntutan laboratorium klinik. Edisi 13,Jakarta.

Murray, 2014, Biokimia Harper.Edisi 29. EGC. Jakarta

Berthiana, B., Lestari, M., & Mutriqah, D. A. (2019). Hubungan Kelebihan Berat Badan
terhadap Tingkat Risiko Diabetes Mellitus Tipe II pada Mahasiswa
Kelas Program Khusus Jurusan Keperawatan dan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Palangka Raya: Relationship Between
Overweight and Risk Level of Diabetes Mellitus Type II in Students of
Specific Class Programs for Nursing and Midwifes in Poltekkes
Kemenkes Palangka Raya. Borneo Journal of Medical Laboratory
Technology, 2(1), 101-108.

Febrian Sulfia, Zainal Fikri, Iswari Fauzi Pengaruh Kadar Glukosa Urine Metode Benedict,
Fehling Dan Stick Setelah Ditambahkan Vitamin C Dosis Tinggi/
1000 Mg

Santi Novrilia GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN GLUKOSA URIN MENGGUNAKAN


METODE BENEDICT DAN CARIK CELUP PADA PASIEN
DIABETES MELITUS DI RSUD KOTA KENDARI, Politeknik
kesehatan Kendari
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai