Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA KLINIK

PERCOBAAN 1
PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA

Disusun oleh:
Kelompok C/1
Selyfia Pamungkasih 10060316077
Mita Yuniarti 10060316077
Predi Mubarok 10060316078
Risna Nurliani 10060316079
Nisa Fida Farhani 10060316080

Asisten: Rizska Della Shafira, S. Farm

Tanggal Praktikum: 24 September 2019


Tanggal Pengumpulan: 01 Oktober 2019

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT A


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1441H/2019M
I. TUJUAN PERCOBAAN

1. Mengetahui cara untuk menentukan kadar glukosa darah.

2. Memahami metode penentuan kadar glukosa.

3. Dapat menyimpulkan hasil dari penentuan kadar glukosa serta memahami

peranannya dalam menegakan diagnosis kondisi patologis.

II. TEORI DASAR

2.1. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Salah satu hasil

pencernaan karbohidrat adalah glukosa. Setelah diserap oleh usus halus, glukosa

akan segera masuk ke dalam darah. Dari darah, sebagian besar glukosa akan dibawa

ke hati dan sebagian kecil disimpan dalam otot (Sumardjo, 2009).

Karbohidrat adalah polihidroksi aldehida atau polihidroksi keton yang

mempunyai rumus molekul umum (CH2O)n. Yang pertama lebih dikenal sebagai

golongan aldosa dan yang kedua adalah ketosa. Dari rumus umum dapat diketahui

bahwa karbohidrat adaalah suatu polimer. Senyawa yang menyusunnya dalah

monomer-monomer (Matorharsono, 1998). Menurut Yazid dan Nursanti (2006)

bahwa dari rumus umum karbohidrat, dapat diketahui bahwa senyawa ini adalah

suatu polimer yang tersusun atas monomer-monomer. Berdasarkan monomer yang

menyusunnya, karbohidrat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu monosakarida,

disakarida dan polisakarida.

Karbohidrat yang berasal dari makanan dalam tubuh mengalami perubahan

atau metabolisme. Hasil metabolisme karbohidrat yaitu glukosa yang terdapat


dalam darah, sedangkan glikogen adalah karbohidrat yang disintesis oleh hati dan

digunakan oleh sel-sel pada jaringan otot sebagai sumber energi. Energi yang

terkandung dalam karbohidrat pada dasarnya berasal dari energi matahari yaitu

glukosa yang dibentuk dari karbondioksida dan air dengan bantuan sinar matahari.

Bersama-sama dengan lemak dan protein, karbohidrat memegang peranan dasar

bagi kehidupan di bumi ini. Bukan hanya sebagai sumber energi utama bagi

makhluk hidup, tetapi juga sebagai senyawa yang menyimpan energi kimia. (Zulfa,

dkk. 2014).

Karbohidrat setiap 1 gram mengandung 4,1 gram kalori membentuk senyawa-

senyawa lemak seperti protein, menjaga keseimbangan asam basa dalam tubuh.

Manusia tidak dapat terlepas dari peranan karbohidrat dalam melaksanakan

aktifitasnya. Dalam tubuh manusia karbohidrat disimpan dalam bentuk glikogen

yang terdapat dalam otot sekitar 245-350 gram, dalam hati sekitar 90-108 gram dan

di darah dalam bentuk glukosa sekitar 17 gram. Kebutuhan karbohidrat pada setiap

manusia berbeda-beda. Kebutuhan tubuh kita akan karbohidrat per hari adalah 50

gram (Girindra, 1990).

Karbohidrat paling sederhana yang tidak dapat dihidrolisis menjadi

karbohidrat lain. Bentuk lain dibedakan kembali menurut jumlah atom C yang

dimiliki dan sebagai aldosa dan ketosa. Monosakarida yang terpenting adalah

glukosa, galaktosa dan fruktosa (Yazid & nursanti, 2006). Menurut Poedjiadi dan

Supriyanti (2009), monosakarida adalah karbohidrat yang sederhana, dalam arti

molekulnya hanya terdiri atas beberapa atom karbon saja dan tidak dapat diuraikan
dengan cara hidrolisis menjadi karbohidrat lain. Tiga senyawa gula yang penting

dalam monosakarida adalah glukosa, fruktosa dan galaktosa yaitu:

a. Glukosa: glukosa adalah suatu aldoheksosa dan sering disebut dekstrosa karena

mempunyai sifat dapat memutar cahaya terpolarisasi ke arah kanan. Di alam,

glukosa terdapat dalam buah – buahan dan madu lebah.

b. Fruktosa: fruktosa adalah suatu ketohektosa yang mempunyai sifat memutar

cahaya terpolarisasi ke kiri dan karenanya disebut levulosa. Pada umumnya

monosakarida dan sakarida mempunyai rasa manis. Fruktosa berikatan dengan

glukosa membentuk sukrosa, yaitu gula yang biasa digunakan sehari-hari

sebagai pemanis, berasal dari tebu atau bit.

c. Galaktosa: monosakarida ini jarang terdapat bebas dalam alam. Umunya

berikatan dengan glukosa dalam bentuk laktosa, yaitu gula yang terdapat dalam

susu. Galaktosa mempunyai rasa kurang manis daripada glukosa dan kurang

larut dalam air.

2.2. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik

yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan

kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ,

terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Dipiro, et. al., 2015).

Diabetes Melitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia

karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin
dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel β pankreas mempengaruhi metabolisme

karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa

darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati

sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai

glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan

(American Diabetes Association, 2012).

Tipe penyakit diabetes melitus terdiri dari tipe 1 dan tipe 2 yaitu: (Dipiro, et.

al.,2015).

a. Diabetes melitus tipe 1 (5 - 10% kasus) biasanya terdapat pada masa anak-

anak atau awal memasuki usia dewasa dan menghasilkan kerusakan

yangdimediasi oleh autoimun pada sel β pankreas, menghasilkan defisiensi

insulin. Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan

autoantibodi terhadap antigen sel β (contoh: sel antibodi, antibodi insulin).

b. Diabetes melitus tipe 2 sebanyak 90% kasus diabetes dan biasanya ditandai

dengan kombinasi resistensi insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin

dimanifestasikan oleh peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas,

peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan serapan otot rangka

glukosa. Sel β mengalami disfungsi progresif dan menyebabkan

memburuknya kontrol glukosa darah. DM tipe 2 terjadi ketika gaya hidup

diabetogenic (kalori yang berlebihan, olahraga tidak memadai dan obesitas)

ditumpangkan di atas rentan genotip. Pada DM tipe 2 terjadi ganguan

pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam

batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.


2.3. Glukosa dan Metode Analisis

Glukosa adalah suatu aldoheksosa dan sering disebut dekstrosa, karena

mempunyai sifat dapat memutar cahaya terpolarisasi ke arah kanan. Di alam,

glukosa terdapat dalam buah-buahan dan madu lebah. Darah manusia normal

mengandung glukosa dalam jumlah atau konsentrasi tetap, yaitu antara 70 – 100

mg tiap 100 ml darah. Glukosa darah dapat bertambah setelah kita makan-makanan

sumber karbohidrat, namun kira-kira 2 jam setelah itu, jumlah glukosa darah akan

kembali pada keadaan semula. Pada penderita diabetes melitus, jumlah glukosa

darah lebih besar dari 130 mg per 100 ml darah (Poedjiadi, 2009).

Glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada kadar glukosa dalam

darah yang konsentrasinya diatur ketat oleh tubuh. Glukosa yang dialirkan melalui

darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh. Umumnya tingkat glukosa

dalam darah bertahan pada batas-batas 4-8 mmol/L/hari (70-150 mg/dL), kadar ini

meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah di pagi hari

sebelum orang-orang mengkonsumsi makanan (Mayes, 2001).

Gula darah pada orang sehat dikendalikan oleh insulin. Insulin adalah hormon

yang dibuat oleh pankreas. Insulin membantu glukosa dalam darah masuk ke sel

untuk menghasilkan tenaga. Gula darah yang tinggi dapat berarti bahwa pankreas

tidak memproduksi cukup insulin, atau jumlah insulin cukup namun tidak bereaksi

secara normal. Hal ini disebut dengan resistensi insulin (Girindra, 1990).

Glukosa dalam tubuh dapat berasal dari beberapa sumber. Pertama, glukosa

berasal dari makanan yan berupa gula atau karbohidrat yang kemudian dicerna

menjadi glukosa dan gula sederhana lain. Kedua, glukosa disintesa dari sumber
energi lain terutama oleh hati yang dikenal dengan gluconeogenesis. Ketiga,

glukosa yang tersimpan dalam hati, otot dan jaringan lain dalam bentuk glikogen

(Girindra, 1990).

Proses metabolisme glukosa yang terjadi sesaat setelah kita makan yaitu

konsentrasi glukosa dalam darah akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan sel ß

memproduksi hormon insulin sehingga konsentrasi insulin dalam darah pun akan

meningkat. Selanjutnya, glukosa akan ditransport ke dalam sel. Di dalam sel,

sebagian glukosa dimetabolisme sedangkan sebagian lagi dibawa ke hati untuk

dibentuk menjadi glikogen melalui proses yang bernama glikogenesis. Setelah

proses tersebut, kadar glukosa dalam tubuh akan kembali menurun dan kembali

menjadi normal (Girindra, 1990).

Penurunan kadar gula darah (hipoglikemia) terjadi akibat asupan makanan

yang tidak kuat atau darah terlalu banyak mengandung insulin. Jika terjadi

peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia), berarti insulin yang beredar tidak

mencukupi atau tidak berfungsi dengan baik (resisten) dan kondisi inilah yang

disebut sebagai Diabetes melitus. Kadar gula darah puasa yang mencapai lebih dari

125 mg/dL biasanya menjadi indikasi terjadinya diabetes (Joyce, 2007).

Macam-macam pemeriksaan glukosa darah terdiri dari:

a. Glukosa puasa: pemeriksaan glukosa yang dilakukan setelah pasien

berpuasa selama 8-10 jam (Depkes RI, 1999). Kadar gula darah puasa

normal berada pada kisaran 70-110 mg/dL dan peningkatan kadar glukosa

(Hiperglikemia) yaitu dikatakan diabetes bila mencapai kisaran ≥126 mg/dL

(Hendromartono, 1998).
b. Glukosa 2 jam pp: pemeriksaan glukosa yang dilakukan 2 jam dihitung

setelah pasien menyelesaikan makan (Depkes RI, 1999). Pasien dikatakan

mengalami diabetes bila kadar glukosanya berkisar >200 mg/dL

(Hendromartono, 1998).

c. Glukosa sewaktu: pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu

sepanjang hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan dan

kondisi tubuh pasien tersebut (Depkes RI, 1999). Kadar normal gula darah

sewaktu berkisar <180 mg/dL (Hendromartono, 1998).

Terdapat dua metode utama yang digunakan untuk penentuan glukosa yaitu:

a. Metode kimiawi

Metode kimiawi yang memanfaatkan sifat mereduksi dari glukosa dengan

bahan indikator yang akan berubah warna apabila tereduksi. Akan tetapi metode ini

tidak spesifik karena senyawa-senyawa lain yang ada dalam darah juga dapat

mereduksi (Sacher, 2004). Prinsip pemeriksaan, yaitu proses kondensasi glukosa

dengan akromatik amin dan asam asetat glasial pada suasana panas, sehingga

terbentuk senyawa berwarna hijau kemudian diukur secara fotometri (Depkes RI,

2005).

Beberapa kelemahan atau kekurangan dari metode kimia adalah memerlukan

langkah pemeriksaan yang panjang dengan pemanasan, sehingga memungkinkan

terjadinya kesalahan besar bila dibandingkan dengan metode enzimatik. Selain itu,

reagen-reagen pada metode kimiawi ini bersifat korosif pada alat laboratorium

(Depkes RI, 2005 ).

b. Metode ezimatik
Metode enzimatik yang umumnya menggunakan kerja enzim glukosa

oksidase atau heksokinase yang bereaksi pada glukosa, tetapi tidak pada gula lain

(misal: fruktosa, galaktosa, dan lain-lain) dan pada bahan pereduksi. Contoh metode

yang menggunakan kerja enzim adalah GOD – PAP (Sacher, 2004).

Metode glukosa oksidase merupakan metode yang paling banyak digunakan

di laboratorium yang ada di Indonesia. Sekitar 85% dari peserta Program Nasional

Pemantapan Mutu Eksternal bidang Kimia Klinik (PNPME-K) memeriksa glukosa

serum kontrol dengan metode ini (Depkes RI, 2005).

Prinsip pemeriksaan pada metode ini adalah enzim glukosa oksidase

mengkatalisis reaksi oksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen

peroksida. Hidrogen peroksida yang terbentuk bereaksi dengan phenol dan 4-amino

phenazone dengan bantuan enzim peroksidase menghasilkan quinoneimine yang

berwarna merah muda dan dapat diukur dengan fotometer pada panjang gelombang

546 nm. Intensitas warna yang terbentuk setara dengan kadar glukosa darah yang

terdapat dalam sampel. Digunakannya enzim glukosa oksidase pada reaksi pertama

menyebabkan sifat reaksi pertama spesifik untuk glukosa (Depkes RI, 2005).

Metode heksokinase merupakan metode pengukuran kadar glukosa darah

yang dianjurkan oleh WHO dan IFCC. Baru sekitar 10% laboratorium yang ikut

PNPME-K menggunakan metode ini untuk pemeriksaan glukosa darah. Prinsip

pemeriksaan pada metode ini adalah heksokinase akan mengkatalis reaksi

fosforilasi glukosa dengan ATP membentuk glukosa-6-fosfat dan ADP. Enzim

kedua yaitu glukosa-6-fosfat dehidrogenase akan mengkatalisis oksidasi glukosa-


6-fosfat dengan nicotinamide adenine dinocleotide phosphate (NADP+) (Depkes

RI, 2005).

Pada metode ini digunakan dua macam enzim yang baik karena kedua enzim

ini spesifik. Akan tetapi, metode ini membutuhkan biaya yang relatif mahal

(Depkes RI, 2005).

III. ALAT DAN BAHAN

Alat Bahan

1. Mikropipet 10 µL, 50 µL, 100 µL 1. Darah NaF / Serum

2. Penangas 37oC 2. Enzim (GOD, Peroksidase)

3. Pipet 0,5 mL dan 1,0 mL 3. Pelarut (Aquadest)

4. Spektrofotometer dengan 4. Reagen warna (4-aminoantipirin)

gelombang 492 nm-546 nm 5. Standar

5. Tabung reaksi 6. TCA 8%

IV. PROSEDUR

Dilarutkan enzim dengan pelarutnya hingga tercampur dengan baik (stabil

selama 30 hari pada suhu 2oC – 8oC). Disiapkan 3 tabung reaksi yang terdiri dari

tabung tes, tabung standar dan tabung blangko. Pada tabung tes ditambahkan reagen

1 µL dan serum 10 µL. Pada tabung standar ditambahkan reagen 1 µL dan standar

10 µL. Pada tabung blangko ditambahkan aquadest 10 µL dan reagen 1 µL.

Dikocok hingga rata dan sentrifuga dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.
Pada tabung tes ditambahkan supernatan 100 µL dan reagensia warna 1,0 mL.

Pada tabung standar ditambahkan supernatan 100 µL dan reagensia warna 1,0 mL.

Pada tabung blangko ditambahkan reagensia warna 1,0 mL. Dibiarkan pada suhu

37oC selama 10 menit atau pada suhu kamar selama 20 menit. Dibaca absorbansi

pada larutan tes dan standar terhadap blangko pada panjang gelombang 505 nm

(492 – 546 nm).

V. DATA PENGAMATAN

5.1. Hasil Pengukuran Absorbansi

Standar 0,241

Uji 1 0,105

Uji 2 0,296
Uji 3 0,972

Uji 4 0,340

Uji 5 0,221

5.2. Perhitungan Kadar

 Standar = 100 mg/dL


0,105
 Uji 1 = 0,241 × 100 = 43,568 mg/dL

0,296
 Uji 2 = 0,241 × 100 = 122,821 mg/dL

0,972
 Uji 3 = 0,241 × 100 = 403,319 mg/dL

0,340
 Uji 4 = 0,241 × 100 = 141,078 mg/dL

0,221
 Uji 5 = 0,241 × 100 = 91,701 mg/dL
̅)
5.3. Perhitungan Rata-rata (𝑿
0,105 + 0,296 +0,972 + 0,340 + 0,221
Rata-rata = = 160,497 mg/dL
5

5.4. Perhitungan Simpangan Baku (Standar Deviasi)

(𝑋𝑛−𝑋̅ )2 + (𝑋𝑛−𝑋̅ )2 +⋯
SD = √ 𝑛−1

(43,568−160,497)2 +(122,821−160,497)2 +(403,319−160,497)2 +(141,078−160,497)2 +(91,701−160,497)2


= √
5−1

13672,391 + 1419,480 + 58962,523 + 377,097 + 4732,889


=√ 4

= 140,680 mg/dL

5.5. Perhitungan Simpangan Baku Relatif (Standar Deviasi Relatif)


𝑆𝐷
RSD = × 100%
𝑋̅

140,680
= × 100% = 87,652%
160,497

5.6. Dokumentasi

Gambar 5.1 Dokumentasi Blanko Gambar 5.2 Dokumentasi Standar

5.7. Kesimpulan

 Hasil rata-rata kadar glukosa yaitu 160,497 mg/dL, yang mengartikan

bahwa kadar glukosa sewaktu normal karena nilainya < 180 mg/dL.
 Nilai RSD yang diperoleh yaitu 87,652%, yang mengartikan tidak normal

karena tidak termasuk pada rentang 0-2%.

VI. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan pemeriksaan kadar glukosa. Glukosa

(monosakarida) adalah karbohidrat penting yang digunakan sebagai sumber energi

pada makhluk hidup. Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk menentukan

kadar glukosa dalam sampel serum darah yang digunakan, mengetahui metode yang

dapat digunakan untuk menentukan kadar glukosa darah dan mengetahui fungsi

pemeriksaan kadar glukosa darah tersebut dalam menegakan diagnosis penyakit.

Didalam darah, terdapat zat glukosa untuk digunakan sebagai energi.

Pemeriksaan kadar glukosa pada percobaan ini dilakukan terhadap serum darah,

karena eritrosit memiliki kadar protein yang lebih tinggi daripada serum.

Sedangkan serum memiliki kadar air yang lebih tinggi sehingga berisi lebih banyak

glukosa. Selain itu, serum tidak menggumpal seperti plasma darah yang

mengandung zat fibrinogen sebagai zat pembeku darah (Sacher, 2012).

Pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil darah pasien melalui pembuluh

darah vena, kemudian dipisahkan plasma dengan serumnya menggunakan metode

sentrifugasi, bagian supernatan diambil sehingga dapat diperoleh serum darah.

Standar dan blangko juga disiapkan untuk perbandingan. Ketiga tabung (blangko,

standar dan uji) disiapkan secara kuantitatif menggunakan mikropipet dengan

volume yang telah ditentukan: blangko terdiri dari 10µL aquadest dan 1 mL reagen,
standar terdiri dari 1 mL reagen dan 10µL standar, uji terdiri dari 1 mL reagen dan

10µL serum.

Reagen yang digunakan dalam percobaan ini terdiri atas enzim glukosa

oksidase (GOD), NaCl, aminoantipirin dan 4-klorofenol. GOD merupakan enzim

yang memerlukan waktu tertentu untuk bereaksi optimum, sehingga dibutuhkan

waktu inkubasi untuk menyesuaikan dengan suhu tubuh. Jika waktu inkubasi

kurang dari waktu inkubasi optimum, maka enzim tidak akan bereaksi

sempurna. Sedangkan apabila waktu inkubasi lebih dari waktu inkubasi optimum,

maka senyawa yang terbentuk akan terdegradasi (Koestadi, 1989).

Metode yang digunakan dalam penentuan kadar glukosa kali ini adalah

metode enzimatik yaitu glukosa oksidase-peroksidase aminoantipirin (GOD-PAP).

Prinsipnya, oksidasi glukosa dengan adanya glukosa oksidase membentuk asam

glukanoat dan hidrogen peroksida. Peroksida yang terbentuk bereaksi dengan fenol

dan 4-aminoantipirin dengan katalisator peroksidase menjadi zat warna

quinonemine berwarna merah violet sebagai indikator. Pemeriksaan dengan metode

GOD-PAP memiliki kelebihan, yaitu presisi tinggi, akurasi tinggi, spesifik dan

relatif bebas dari gangguan (Kadar hematokrit, vitamin C, lipid, volume sampel,

dan suhu). Metode enzimatik dipilih karena dapat dilakukan dengan cepat dan

dianggap ketelitiannya lebih tinggi, sehingga akan diperoleh hasil yang lebih akurat

(Subiyono, 2016).

Pengukuran blangko, standar dan uji dilakukan dengan instrumen

spektrofotometer UV-vis pada panjang gelombang 505 nm sehingga akan


didapatkan data berupa absorbansi. Dalam hal ini, harus diperhatikan cara

memegang kuvet, yaitu harus dipegang pada bagian buram, karena jika pada bagian

yang bening, akan mengganggu absorbansi disebabkan adanya protein yang

mungkin tertinggal pada kuvet. Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis mengacu

pada hukum Lambert-Beer, apabila cahaya monokromatik melalui suatu media

(larutan), maka sebagian cahaya tersebut akan diserap, sebagian dipantulkan

sebagian lagi akan dipancarkan (Riyani, 2009).

Spektrofotometer UV-vis terletak pada daerah ultra violet dan sinar tampak

dengan rentang panjang gelombang dari 380-780 nm. Rentang 250-600 nm

merupakan transisi elektron ŋ→π* (Syabatini, 2010). Panjang gelombang yang

digunakan pada percobaan ini 505 nm, berarti pada larutan standar dan sampel

percobaan molekul mengalami transisi elektron ŋ→π* pada saat penyinaran. Gugus

yang mengalami transisi elektron ŋ→π* ialah gugus karboksilat, yang terdapat pada

sampel (serum) yaitu gugus karboksilat berasal dari hasil reaksi dasar oksidasi

glukosa yang menghasilkan senyawa gugus fungsi asam karboksilat. Pengukuran

dilakukan pada panjang gelombang maksimum 546 nm karena pada panjang

gelombang ini, hasilnya akan terdeteksi. Sesuai dengan teori, bahwa hasil yang

terjadi adalah warna merah-violet. Tujuan penetapan panjang gelombang

maksimum yaitu untuk mengetahui panjang gelombang yang merupakan serapan

terbesar, yaitu pada saat senyawa berwarna yang terbentuk telah optimum, sehingga

diperoleh kepekaan yang maksimum. Warna merah violet (pink) dikarenakan

hidrogen peroksida bereaksi dengan fenol dan 4–aminoantipirin dengan katalis


peroksidase maka akan membentuk quinoneimine yang berwarna violet (Sacher,

2012).

Konsentrasi larutan standar yang digunakan adalah 100 mg/dL. Adapun

batasan nilai normal konsentrasi glukosa standar yakni dari skala 60-110 mg/dL.

Absorbansi dapat diukur karena dihasilkan suatu derivat senyawa yang berwarna

merah violet (Suyono, 2009). Hasil absorbansi untuk larutan standar adalah 0,241.

Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi pada 5 sampel uji yang

kandungannya sama dengan metode yang sama. Hasil absorbansi yang diperoleh

berbeda-beda, pada sampel 1 0,105; sampel 2 0,296; sampel 3 0,972; sampel 4

0,340 dan sampel 5 0,221. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya

pemipetan serum dan reagen yang kurang tepat, ketidakbersihan alat sehingga

menyebabkan terjadinya kontaminasi, serta ketidaktelitian dalam menggunakan

kuvet.

Setelah dilakukan pemeriksaan nilai absorbansi terhadap sampel, selanjutnya

dilakukan perhitungan. Hal ini dilakukan agar nilai glukosa sampel dapat diketahui.

Dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu didapatkan rata-rata kadar

glukosa darah yaitu 160,497 mg/dL. Berdasarkan nilai normalnya kurang dari 180

mg/dL, maka dilihat dari data tersebut hasil pemeriksaan tergolong normal. Sampel

memiliki nilai standar deviasi 140,680 dengan nilai RSD yang diperoleh yaitu

87,652%. Hasil tersebut jauh melebihi nilai normal yang mana nilai normalnya

berada pada rentang 0-2%. Maka analisis yang dilakukan oleh praktikan memiliki

ketepatan serta ketelitian yang rendah.


VII. KESIMPULAN

Pada percobaan kali ini dapat disimpulkan dalam menentukan kadar glukosa

dalam sampel metode penentuan kadar glukosa yang di gunakan adalah metode

enzimatik, yang pada pemeriksaan glukosa darah memberikan hasil dengan

spesifitas yang tinggi, karena hanya glukosa yang akan terukur. Reaksi indikasi

pada percobaan ini dilakukan dengan spektrofotometri.

Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu didapatkan rata-rata kadar

glukosa darah yaitu 160,497 mg/dL. Berdasarkan nilai normalnya <180 mg/dL,

maka dilihat dari data tersebut hasil pemeriksaan tergolong normal. Sampel

memiliki nilai standar deviasi 140,680 mg/dL dengan nilai RSD yang diperoleh

yaitu 87,652%, yang mana nilai normalnya berada pada rentang 0-2%.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. (2012). Diagnosis and Classification of Diabetes

Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1 : 64-71.

Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Hal 19

Depkes RI., WHO. (1999.) Penatalaksanan Diaebetes Mellitus Terpadu, Pusat

Diabetes Mellitus dan Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: CV Aksara Buana

Dipiro, Cecily V., Barbara G. Wells, Joseph T DiPiro, and Terry L.

Schwinghammer. (2015). Pharmacotherapy Handbook 9th Ed. United

States: McGraw-Hill Education.


Girindra, A. (1990). Biokimia 1. Jakarta: Gramedia.

Hendromartono, dkk. (1998). Consensus on the Management of Diabetes Mellitus.

In Surabaya Diabetes Update.

Joyce L K. (2006). Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan

implikasi keperawatan. Jakarta: EGC.

Koestadi. (1989). Kimia Klinik Teori dan Praktek Darah. Kediri: AAK Bhakti

Wiyata.

Martoharsono, S. dkk. (1998). Biokimia. Yogyakarta: UGM Press.

Mayes. P. A., Robert K., Murray, daryl. K., Granner, Victor W., Redwell. (2001).

Biokimia Harper. Diterjemahkan oleh dr. Andry Hartono. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

Poedjiadi, A. dan Supriyanti, T. (2009). Dasar – Dasar Biokimia. Edisi Revisi.

Jakarta: UI Press.

Riyani, A. (2009). Laporan Praktikum Kimia Klinik II. Bandung: Analis Kesehatan

Bandung.

Sacher, Ronald A., Richard A and Mcpherson. (2006). Tinjauan Klinis Hasil

Pemeriksaan Laboratorium, edisi 11. Jakarta: EGC.

Sacher, A Ronald. (2012). Tinjauan Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta:

EGC.

Subiyono, dkk. (2016). Gambaran Kadar Glukosa Darah Metode GOD-PAP

(Glucose Oxsidase–Peroxidase Aminoantypirin) Sampel Serum dan Plasma

EDTA (Ethylen Diamin Terta Acetat). Jurnal Teknologi Laboratorium, Maret,

Vol. 5, No. 1.
Sumardjo, Damin. (2009). Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa

Kedokteran dan Program Strata 1 Fakultas Bioeksata. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

Suyono, S. (2009). Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu

Penyakit.

Syabatini, A. (2010). Analisis Campuran Dua Komponen Tanpa Pemisahan

dengan Spektrofotometer. Pontianak: UNLAM Press.

Yazid, E. dan Nursanti, L. (2006). Penuntun Praktikum Biokimia untuk Mahasiswa

Analis. Yogyakarta.

Zulfa T, Rendra dan Sarah. (2014). Karbohidrat. Bogor: IPB.

Anda mungkin juga menyukai