Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus adalah kondisi seumur hidup yang merupakan salah satu
penyebab utama kematian di dunia, dan merupakan masalah kesehatan yang perlu
ditangani dengan seksama 1. Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, indonesia
telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Perubahan gaya hidup dan
urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting masalah ini dan terus
menerus meningkat pada milenium baru ini.2

Menurut WHO (2000) penderita DM mencapai 171,2 juta orang dan


tahun 2030 diperkirakan 366,2 juta orang atau naik sebesar 114% dalam kurun
waktu 30 tahun (Diabetes UK, 2010). Menurut survei WHO, penderita DM di
Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang dan diprediksi akan meningkat
menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Jumlah tersebut menempati urutan ke-4
terbesar di dunia, setelah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat
(17,7 juta)7.. Di amerika serikat, penderita diabetes meningkat dati 6.536.163 jiwa
di tahun 1990 menjadi 20.676.427 di tahun 2010. Di Indonesia, kekerapan
diabetes berkisar antara 1,4 %- 1,6 % kecuali di beberapa tempat yaitu pekajangan
2,3%, dan di manado 6%. Prevalensi DM meningkat setiap tahun, terutama
dikelompok resiko tinggi. DM yang tidak terkendali dapat menyebabkan
komplikasi metabolik ataupun komplikasi vaskular jangka panjang, yaitu
mikroangiopati dan makroangiopati, serta rentan terhadap infeksi luka yang
kemudian dapat berkembang menjadi gangren1.

Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit progresif dengan


karakteristik penurunan fungsi sel beta pankreas. Seiring meningkatnya angka
kejadian DMT 2 , terutama pada orang berusia relatif muda dan kemungkinan usia
hidup masih panjang, maka semakin banyak pasien DMT2 dengan defisiensi
insulin. Pada kasus-kasus tersebut, akan dibutuhkan insulin dalam
penatalaksanaannya, untuk itu pada refarat ini akan dibahas lebih lagi mengenai
insulin.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes


Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya3.

B. Epidemiologi

Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang


akan meningkat jumlahnya dimasa datang. Diabetes sudah merupakan
salah satu ancaman bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.
Perserikatan bangsa-bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun
200 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025,
jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang4.

Saat ini epidemi penyakit tidak menular muncul menjadi penyebab


kematian terbesar di Indonesia, sedangkan epidemi penyakit menular juga
belum tuntas, selain itu semakin banyak pula ditemukan penyakit infeksi
baru dan timbulnya kembali penyakit infeksi yang sudah lama
menghilang. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan
penyebab penting masalah ini, dan terus menerus meningkat pada
milenium baru ini5.

C. Patofisiologi

Pankreas adalah sebuah kelenjar memanjang yang terletak


dibelakang dan dibawah lambung pertama duodenum. Kelenjar campuran
ini mengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin yang
predominan yang terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip

2
anggur yang membentuk kantung yang dikenal sebagai asinus, yang
berhubungan dengan duktus yang akhirnya bermuara di duodenum.
Bagian endokrin yang lebih kecil terdiri daari pulau-pulau jaringan
endokrin terisolasi, pulau-pulau langerhans, yang tersebar diseluruh
pankreas. Hormon-hormon terpenting yang disekresikan oleh sel pulau-
pulau langerhans adalah insulin dan glukagon. Pankreas eksokrin dan
endokrin berasal dari jaringan berbeda selama perkembangan. Meskipun
sama-sama terlibat dalam metabolisme molekul nutrien namun keduanya
memiliki fungsi berbeda dibawah kontrol mekanisme regulatorik yang
berlainan6.

Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pankreas yang terdiri dari


dua komponen:
1) Enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh sel asinus yang
membentuk asinus;
2) larutan cairan basa yang secara aktif disekresikan oleh sel duktus
yang melapisi pankreatikus. Komponen cairan alkalis banyak
mengandung natrium bikarbonat (NaHCO3)6.

Pankreas endokrin berhubungan dengan banyaknya sel beta,


tempat sintesis dan sekresi insulin, dan sel alfa yang menghasilkan
glukoagon. Sel delta yang lebih jarang adalah tempat sintesis somatostatin.
Sel pulau langerhans yang paling jarang sel PP (polipepida pankreas) yang
mungkin berperan dalam mengurangi nafsu makan dan asupan makanan4.

Somastostatin pankreas menghambat saluran cerna dalam berbagai


cara, denga efek keseluruhan adalah menghambat pencernaan nutrien dan
mengurangi penyerapannya. Somatostatin dikeluarkan oleh sel D
pankreassebagai respon langsung terhadap peningkatan glukosa darah dan
sam amino darah selama penyerapan makanan. Dengan menimbulkan efek
inhibisi, somatostatin penkreas bekerja melalui mekanisme umpan balik

3
negatif untuk mengerem kecepatan pencernaan dan penyerapan makanan
sehingga kadar nurtrien dalam plasma tidak berlebihan. Somatostatin
pankreas juga berperan parakrin dalam mengatur sekresi hormon pankreas.
Keberadaan lokal somatostatin mengurangi sekresi insulin, glukagon dan
somatostatin itu sendiri6.

Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat,


lemak, dan protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak,
dan asam amino darah serta mendorong penyimpanan bahan-bahan
tersebut. Sewaktu molekul nutrien ini masuk kedarah selama keadaan
absortif, insulin mendorong penyerapan bahan-bahan ini oleh sel dan
pengubahnya masing-masing menjadi glikogen, trigliserida dan protein.
Insulin melaksanakan banyak fungsinya dengan mempengaruhi tranfor
nutrien darah spesifik masuk kedalam sel atau mengubah aktivitas enzim-
enzim yang berperan dalam jalu-jalur metabolik tertentu6.

Karbohidrat dalam memlihara homeostatis merupakan salah satu


fungsi penting pankreas. Konsentrasi glukosa dalam darah ditentukan oleh
keseimbangan antara proses-proses berikut: penyeraoan glukosa dari
saluran cerna, pemindahan glukosa ke dalam sel, produksi glukosa oleh
hati, dan (secara abnormal) eskresi glukosa urin6.

Insulin memiliki empat efek yang menurunkan kadar glukosa darah


dan mendorong penyimpanan karbohidrat:
1. Insulin mempermudah transfor glukosa kedalam sebagian besar sel.
2. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa
di otot rangka dan hati.
3. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi
glukosa. Denga menghamat penguraian glikogen menjadi glukosa
maka insulin cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan
mengurangi pengeluaran glukosa oleh hati.

4
4. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan
menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi
glukosa dihati. Insulin melakukannya dengan mengurangi jumlah asam
amino di darah yang tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan
dengan menghambat enzim-enzim hati yang diperlukan untuk
mengubah asam amino menjadi glukosa6.

Karena itu, insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan


mendorong penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan
disimpan, dan secara bersamaan menghambat dua mekanisme pembebasan
glukosa oleh hati kedalam darah (glukogenolisis dan glukoneogenesis).
Insulin adalah satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar
glukosa darah. Insulin mendorong penyerapan glukosa oleh sebagian besar
sel melalui rekrutmen pengankut glukosa6.

Lemak sangat dipengaruhi oleh insulin terutama pada penurunan


lemak darah dan mendorong penyimpanan trigliserida:
1. Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah kedalam
jaringan lemak.
2. Insulin meningkatkan transfor glukosa kedalam sel jaringan lemak
melalui rekrutmen GLUT-4. Glukosa berfungsi sebagai prekursor
untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu asam lemak untuk
membentuk trigliserida.
3. Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan
turunan asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida.
4. Insulin menghambat lipolisis, mengurangi pembebasan asam lemak
dari jaringan ke dalam darah6.

Protein juga diperngaruhi oleh insulin dalam penurunan kadar


asam amino darah dan meningkatkan sistesis protein melalui efek:

5
1. Insulin mendorong tranfor aktif asam amino dari darah kedalam otot
dan jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah
dan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein didalam sel.
2. Insulin meningkatkan laju inkosporasi asam amino menjadi protein
oleh perangkat pembentuk protein yang ada di sel.
3. Insulin menghambat penguraian insulin6.

Pasien diabetes melitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologik:


sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan
sasaran. Abnormalitas mana yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif,
tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa
plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi insulin karena kadar
insulin meningkat. Pda fase kedua, resistensi insulin semakin memburuk
sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi
glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga
resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun
menyebabkan hiperglikemia dan menyebabkan diabetes yang nyata.
Kebanyakan yakin bahwa resistensi insulin merupakan hal yang pertama,
hiperinsulinemia yang kedua, jadi sekresi insulin merupakan kompensasi
dari keadaan resisten. Namun, hipersekresi insulin menyebabkan resistensi
insulin: yaitu defek sel pankreas primer menyebabkan hipersekresi insulin
dan sebaliknya hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin6.
Hipotesis yang menjelaskan melibatkan sintesis lemak terstimulasi
insulin dalam hati dengan transpor lemak menyebabkan penyimpanan
lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu
ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang
terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pola
pankreas atau akibat defek genetik yang mendasari. Sebagian besar
NIDDM (noninsulin dependent diabetes mellitus) adalah mereka yang
obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita
NIDDM dapat mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan

6
insulin, membuktikan bahwa obesitas bukan merupakan penyebab
resistensi satu-satunya. Defek sekresi insulin dan resistensi insulin
merupakan ciri khar NIDDM. Individu yang sangat obes dengan resistensi
insulin yang nyata dapat mempunyai toleransi toleransi glukosa normal7.

D. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala klasik DM seperti dibawah ini:
- Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelakan sebabnya
- Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria , serta pruritus vulvae pada
wanita 8.

E. Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi


glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal
bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai untuk
diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya
dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/ tanda DM, sedangkan
skrining bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala 8.
Pada anamnesis penting untuk di tanyakan lama mederita DM, kontrol
gula darah , gejala komplikasi (jantung ginjal, penglihatan) penyakit
penyerta, riwayat pengobatan saat ini, pemakaian sepatu, ada nya callus
ada nya kelainan bentuk kaki, riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki,
nyeri pada tungkai saat istrahat. Pada pemeriksaan fisik, dilakukan
pemeriksaan vaskuler, pemeriksaan neuropati, dan pemeriksaan kulit. Pada
pemeriksaan vaskuler dilakukan palpasi pulsasi arteri, adanya edema,

7
perubahan suhu, dan kelainan lokal diekstremitas. Pemeriksaan kulit
dilakukan dengan mengamati tektur, turgor dan warna, kulit kering,
adanya kallus atau fissura, ulkus , gangren, infeksi, atau dermopati lain9.

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar


berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari
poliuria , polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang
jelas., sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan,
luka yang sulit sembuh gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan
pruritus vulva pada wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM,
pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untukmenegakkan diagnosis, namun, apabila tidak ditemukangejala khas
DM, maka dipelukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui kriteria diagnosis DM yakni:

1. Gejala klasik DM + glukossa plasma sewaktu > 200 mg/dL


Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaatpada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terkahir
2. Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puassa >126 mg/dL
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikit 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200mg/dL
TTGO dilakukan dngan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan
kedalam air10.

Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi


glukosa dapat dilihat pada. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi
kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

8
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL2.

Gambar 2.1 Langkah langkah diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa 2.

F. Penatalaksanaan
Terdapat empat pilar dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus
yakni Edukasi, Terapi gizi Medis, Latihan jasmani dan Intervensi
farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar
glukosa darah belum encapai sasaran , dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada
keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi

9
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, dan adanya ketonuriam insulin dapat segera
diberikan.

1. Edukasi
DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Berbagai
hal tentang edukasi dibahas lebih mendalam di bagian promosi
perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus 2.

2. Terapi Nutrisi medik


Terapi Nutrisi Medis (TNM) Merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabtes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah
keterlibatan secara meenyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
petugas kesehatan yang lan serta pasien dan keluarganya). Setiap
penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umumyaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dngan kebutuhan alori dan zat gizi masing- masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah dan insulin.

10
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130g/hari tidak dianjurkan, dan
sebaiknya makanan mengandung karbohidrat yang utamanya berserat
tinggi. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan
kalori.tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak
jenuh <7% kebutuhan kalori, dan lemak tidak jenuh ganda <10% ,
selebihnya dari lemk tidak jenuh tunggal.anjuran asupan natrium
untuk penyadang DM sam dengan anjuran untuk masyarakat umum
aitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur, untuk yang hipertensi dilakukan pembatasan
natrium sampai 2400 mg, untuk serat, seperti halnya orang sehat,
pasien DM dianjurkan mengkonsumsi cukup serat dari kacang-
kacangan buah, dan sayuran , sekitar 25g./hari.2

Terdapat beberapa cara untuk menghitung jumlah kalori yang


dibutuhkan penyandang diabetes. Diantaranya adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor seperi jenis kelamin, umur, aktivitas , berat badan. Perhitungan
berat bada ideal(BBI) dengan rumus brocca yang dimodifikasi adalah:
- Berat Badan Ideal (BBI) = 90% x (TB dalam cm -100) x 1kg
- Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160 cm dan wanita
dibawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI= (TB dalam cm – 100) x 1kg.

3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,berkebun harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga

11
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat
dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan 2.

4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat
ini ada antara lain:

a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


Pemicu sekresi insulin:
 Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankrea, merupakan pilihan utama untuk pasien berat badan
normal atau kura. Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan
pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi
 Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid, cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin
fase pertama. Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia
postprandial.

12
Peningkat sensitivitas insulin:
 Biguanid
Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah
Metformin. Metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal
reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati. Obat ini
merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia,dan disertai resistensi insulin.

 Tiazolidindion
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal
jantung karena meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis:
 Biguanid (Metformin).
Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga
mengurangi produksi glukosa hati. Metformin dikontraindikasikan
pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/dL,
gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia seperti pada sepsis. Metformin tidak mempunyai efek
sampinng hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. Metformin
mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa
diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa :


 Acarbose
Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonilurea. Acarbose mempunyai efek samping pada

13
saluran cerna yaitu kembung dan flatulens. Penghambat dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan
suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1
merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghamba glukagon.
Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak
aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan
penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon.

b. Obat Suntikan
 Insulin
Penemuan insulin dimulai dari jenis yang belum dapat
dibuat dengan murni, kemudian insulin manusia yang di buat
dengan rekayasa genetika, sampai insulin analog dengan
farmakokinetik menyerupai insulin endogen10.

 Farmakokinetik obat insulin


Kebutuhan insulin basal dan prandial/setelah makan
terdapat perbedaan jenis insulin yang digunakan. Dengan
demikian, pada akhirnya, akan tercapai kendali kadar
glukosa darah sesuai sasaran terapi. Seperti telah diketahui,
untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat digunakan
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) atau
kerja panjang (long-acting insulin); sementara untuk
memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah makan)
digunakan insulin kerja cepat (sering disebut insulin
reguler/short-acting insulin) atau insulin kerja sangat cepat
(rapid- atau ultra-rapid acting insulin). Di pasaran, selain
tersedia insulin dengan komposisi tersendiri, juga ada
sediaan yang sudah dalam bentuk campuran antara insulin

14
kerja cepat atau sangat cepat dengan insulin kerja
menengah (disebut juga premixed insulin) 10.

Gambar 2.2 Farmakokinetik sediaan insulin yang umum digunakan 10.

Gambar 2.3 Profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog.


Terlihat lama kerja relatif berbagai jenis insulin. Lama kerjanya bervariasi
antar dan intra perorangan11.

15
 Terapi insulin untuk pasien diabetes melitus rawat jalan
A. Indikasi terapi insulin untuk pasien diabetes melitus
rawat jalan
Pasien DMT 2 yang memiliki kontrol
glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan
obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk
penambahan insulin sebagai terapi kombinasi
dengan obat oral atau insulin tunggal. Insulin yang
diberikan lebih dini dan lebih agresif menunjukkan
hasil klinis yang lebih baik terutama berkaitan
dengan masalah glukotoksisitas. Hal tersebut
diperlihatkan oleh perbaikan fungsi sel beta
pankreas. Insulin juga memiliki efek lain yang
menguntungkan dalam kaitannya dengan
komplikasi DM. Terapi insulin dapat mencegah
kerusakan endotel, menekan proses inflamasi,
mengurangi kejadian apoptosis, dan memperbaiki
profil lipid. Insulin, terutama insulin analog,
merupakan jenis yang baik karena memiliki profil
sekresi yang sangat mendekati pola sekresi insulin
normal atau fisiologis
Terapi insulin pada pasien DMT2 dapat
dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan
terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk
(A1c>7,5 % atau kadar glukosa darah puasa >250
mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi
pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah
yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat
penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan
penyandang DM lebih dari 10 tahun12.

16
B. Memulai dan alur pemberian insulin
Ada beberapa cara untuk memulai dan
menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien
DMT2. Salah satu cara yang paling mutakhir dan
dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus
PERKENI 2006 dan Konsensus ADA - EASD
tahun 2006 Sebagai pegangan, jika kadar glukosa
darah tidak terkontrol dengan baik (A1C > 6.5%)
dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral,
maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi
kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin13,14.

Pada keadaan tertentu di mana kendali


glikemik buruk dan disertai kondisi katabolisme,
seperti kadar glukosa darah puasa >250 mg/dL ,
kadar glukosa darah acak menetap >300mg/dL,
A1C >10%, atau ditemukan ketonuria, maka terapi
insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan
intervensi pola hidup. Selain itu, terapi insulin juga
dapat langsung diberikan pada pasien DM yang
memiliki gejala nyata (poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan). Kondisi-
kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien
DMT1 atau DMT2 dengan defisiensi insulin yang
berat. Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral
dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat
dihentikan. Seperti telah diketahui, pada pasien DM
terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial
untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam
batas normal baik pada keadaan puasa maupun
setelah makan. Dengan mengetahui mekanisme

17
tersebut, maka telah dipahami bahwa hakikat
pengobatan DM adalah menurunkan kadar glukosa
darah baik puasa maupun setelah makan. Dalam
rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik,
maka diperlukan insulin dengan karakteristik
menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang
sesuai dengan kebutuhan basal dan prandial13,14.

Pemberian insulin basal, selain insulin


prandial, merupakan salah satu strategi pengobatan
untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau
sebelum makan. Oleh karena glukosa darah setelah
makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh
kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan
dengan menurunkan kadar glukosa darah basal,
kadar glukosa darah setelah makan juga ikut
turun13,14.

Gambar 2.6 Memulai terapi insulin injeksi harian multipel


pada pasien DMT 115.

18
Gambar 2.7 IP, insulin prandial (reguler, lispro, aspart,
glulisine); IB, insulin basal (NPH, glargine, detemir)15.

Gambar 2.8 Algoritma pengelolaan DMT2. Diingatkan pentingnya


pola hidup setiap kunjungan15.
* Periksa A1C setiap 3 bulan sampai <7% dan kemudian paling
sedikit setiap 6 bulan.
+ Walaupun tiga jenis obat antidiabetik oral dapat digunakan,
dianjurkan memulai insulin berdasarkan efektivitasnya dan biaya.
# Lihat Gambar 2.4 untuk memulai dan penyesuaian insulin. 15.
Untuk penderita DMT1 tidak dianjurkan
memberikan terapi insulin dengan dua kali suntikan
karena sangat sulit mencapai kendali glukosa darah
yang baik. Pada penderita DMT2 rejimen seperti
pada penderita DMT1 juga dapat digunakan, namun
karena pada penderita DMT2 tidak ditemukan
kekurangan insulin yang mutlak dan untuk
meningkatkan kenyamanan penderita, pemberian
insulin dapat dimodifikasi. Misalnya untuk
penderita DMT 2 masih bisa menggunakan rejimen
dua kali suntikan sehari dengan insulin
campuran/kombinasi yang diberikan sebelum

19
makan pagi dan sebelum makan malam. Atau hanya
diberikan satu kali sehari dengan insulin basal yang
diberikan pada malam hari dengan kombinasi obat
oral. Misalnya, metformin yang diberikan sebagai
tambahan terapi insulin dapat memperbaiki glukosa
darah dan lipid serum lebih baik dibandingkan
hanya meningkatkan dosis insulin. Demikian juga
efek sampingnya seperti hipoglikemia dan
penambahan berat badan menjadi berkurang.

Gambar 2.9 * NPH = neutral protamine Hagedorn; OAD = oral


antiglycemic drug.
† Efikasi dan keamanan rejimen insulin dipilih sesuai dengan uji
klinis (evidence-based recommendation).
‡ NPH dua kali/hari dipilih sebagai terapi pilihan pertama untuk
menghindari mahalnya insulin analog atau insulin campuran
(premixed insulin) karena pada pasien ini sering dibutuhkan
insulin dosis besar.
§ Opini ahli. 15

20
C. Kombinasi terapi insulin dan obat antidiabetik oral
Terapi insulin sering dikombinasikan dengan
obar antidiabetik oral pada pasien DMT2 atau
DMT1 yang memiliki resistensi insulin dengan
kebutuhan insulin > 40 U per harinya. Pada pasien
dengan kegagalan sekunder sulfonilurea dini,
penambahan insulin sebelum tidur cukup untuk
mencapai sasaran glikemi yang diinginkan.
Rejimen kombinasi antara insulin sebelum tidur dan
obat antidiabetik oral siang hari terbukti berhasil
diterapkan pada banyak pasien DMT2.

Penggunaan metformin atau glitazon secara


bersamaan dengan insulin juga memberi manfaat
bagi pasien dengan resistensi insulin. Keuntungan
penggunaan metformin adalah dapat mengurangi
peningkatan berat badan yang sering ditemukan
pada pasien yang mendapatkan terapi insulin.
Kombinasi obat metformin atau glitazon dengan
insulin yang telah diberikan pada seorang pasien
diabetes melitus dapat menyederhanakan jadwal
pemberian insulin. Penambahan obat golongan
inhibitor alfa-glukosidase juga dapat mengurangi
jumlah suntikan insulin per harinya.

D. Cara pemberian Insulin


Cara pemberian insulin yang umum dilakukan
adalah dengan semprit dan jarum, pen insulin, atau
pompa insulin (CSII). Sampai saat ini, penggunaan
CSII di Indonesia masih sangat terbatas.

21
Pemakaian semprit dan jarum cukup
fleksibel serta me-mungkinkan kita untuk mengatur
dosis dan membuat berbagai formula campuran
insulin untuk mengurangi jumlah injeksi per hari.
Keterbatasannya adalah memerlukan penglihatan
yang baik dan ketrampilan yang cukup untuk
menarik dosis insulin yang tepat. Pen insulin kini
lebih popular dibandingkan semprit dan jarum.
Cara penggunaannya lebih mudah dan nyaman,
serta dapat dibawa kemana-mana. Kelemahannya
adalah kita tidak dapat mencampur dua jenis insulin
menjadi berbagai kombinasi, kecuali yang sudah
tersedia dalam sediaan tetap (insulin premixed).

 Terapi insulin untuk pasien diabetes melitus yang


dirawat di rumah sakit
Pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dibagi ke
dalam dua kelompok. Kelompok pertama pasien yang
memerlukan perawatan di ruang intensif, misalnya
pasien ketoasidosis, pascaoperasi, atau pasien penyakit
gawat seperti sepsis. Kelompok kedua adalah pasien
yang tidak memerlukan perawatan di ruang intensif,
misalnya pasien praoperatif atau pasien dengan
penyakit yang tidak gawat. Secara umum, cara
pemberian terapi insulin bagi kedua kelompok di atas
memiliki perbedaan. Pasien yang dirawat di ruang
intensif umumnya memerlukan terapi intensif dengan
cara pemberian insulin infus (drip) intravena atau
secara intramuskular. Cara intramuskular jarang
dilakukan dan hanya dilakukan bila fasilitas insulin
drip intravena tidak tersedia. Pasien yang dirawat di

22
ruang biasa umumnya tidak memerlukan terapi insulin
infus intravena. Terapi untuk pasien ini cukup dengan
pemberian subkutan atau dengan pompa insulin (CSII).
Bahkan pada kasus yang ringan, terapi dengan obat
antidiabetik oral masih dapat diberikan untuk pasien
DM, terutama pasien DMT2.

A. Sasaran kendali glukosa darah


Dulu hal yang terpenting dalam penanganan
pasien DM yang dirawat di rumah sakit adalah
mencegah keadaan hipoglikemia. Oleh sebab itu
muncul ungkapan bahwa sebaiknya pasien-pasien
tersebut “dipertahankan tetap sedikit manis” atau
dalam Bahasa Inggris dikatakan keep the patient a
little sweet. Persepsi tersebut ternyata keliru sebab
diabetes dan hiperglikemia di rumah sakit bukan
merupakan kondisi yang ringan (benign).
Sementara itu, terapi insulin intensif untuk
mempertahankan kadar glukosa darah < 110 mg/dL
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien
di unit perawatan intensif. Sasaran kendali glukosa
darah adalah normoglikemi.

Gambar 2.10 Sasaran kendali glukosa darah, Modified 11,17.

B. Cara pemberian insulin


Agar terapi insulin dapat dilaksanakan
dengan baik pada pasien hiperglikemia yang
dirawat di rumah sakit, harus dipahami tentang pola
sekresi insulin pada orang normal. Hal tersebut
disebabkan pada hakikatnya sasaran terapi insulin

23
adalah membuat insulin eksogen yang diberikan
sedemikian rupa sehingga menyerupai pola sekresi
insulin endogen atau fisiologis. Sekresi insulin
dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat
puasa atau sebelum makan) dan insulin prandial
(setelah makan). Insulin basal adalah jumlah insulin
eksogen per unit waktu yang diperlukan untuk
mencegah hiperglikemia puasa akibat
glukoneogenesis serta mencegah ketogenesis yang
tidak terdeteksi.

Insulin prandial adalah jumlah insulin yang


dibutuhkan untuk mengkonversi bahan makanan ke
dalam bentuk energi cadangan sehingga tidak
terjadi hiperglikemia postprandial. Karena selama
perawatan tidak jarang ditemukan fluktuasi kadar
glukosa darah akibat berbagai sebab, dalam
pemberian terapi insulin bagi pasien yang dirawat
di rumah sakit dikenal istilah “insulin koreksi” atau
insulin suplemen. Insulin koreksi adalah jumlah
insulin yang diperlukan pasien di rumah sakit
akibat kenaikan kebutuhan insulin yang disebabkan
adanya suatu penyakit atau stres.

Secara umum, kebutuhan insulin dapat


diperkirakan sebagai berikut: insulin basal adalah
50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02
U/kgBB; insulin prandial adalah 50% dari
kebutuhan total insulin per hari; dan insulin koreksi
sekitar 10-20% dari kebutuhan total insulin per hari

24
Catatan tambahan: Menghitung karbohidrat
(carbohydrate counting)

Pemahaman pasien tentang cara menghitung


karbohidrat sangat penting, terutama pada pasien
yang mendapat terapi insulin dengan dosis multipel.
Perhitungannya, untuk setiap 15 gram karbohidrat
(60 kal = dibutuhkan 1 unit insulin). Usia dan berat
badan mempengaruhi kebutuhan insulin untuk
karbohidrat yang dikonsumsi.

1. Insulin infus intravena


a. Sasaran kadar glukosa darah
Sasaran kadar glukosa darah dan batas kadar
glukosa darah untuk memulai pemberian terapi
insulin tergantung dari setiap kasus yang
dihadapi. Pada pasien bedah yang kritis (sakit
berat/gawat), sasaran kadar glukosa darah lebih
rendah daripada pasien penyakit kritis nonbedah
atau penyakit bedah tidak kritis.

b. Indikasi insulin infus intravena


Pada prinsipnya, pasien penyakit berat atau
kritis yang dirawat di rumah sakit memerlukan
terapi insulin. Sebagian besar dari mereka
membutuhkan terapi insulin yang diberikan
secara infus intravena, misalnya pada pasien
kritis/akut seperti hiperglikemia gawat darurat,
infark miokard akut, stroke, fraktur, infeksi
sistemik, syok kardiogenik, pasien transplantasi
organ, edema anasarka, kelainan kulit yang luas,

25
persalinan, pasien yang mendapat terapi
glukokortikoid dosis tinggi, dan pasien pada
periode perioperatif. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah adanya strategi untuk
mencapai dosis yang tepat sebelum konversi
dari terapi insulin infus intravena ke terapi
insulin subkutan. Selain itu, hal yang juga perlu
diperhatikan adalah derajat bukti manfaat
penggunaan insulin infus intravena.
Gambar 2.11Kisaran sasaran kadat glukosa darah11,17

Gambar 2.12 Batas kadar glukosa darah puasa untuk


memulai terapi insulin drip intravena11,17

c. Protokol insulin infus intravena


Bagi pasien kritis pascabedah yang dirawat di
ruang intensif, protokol terapi insulin yang
dapat dipakai sebagai acuan adalah protokol
yang dipaparkan oleh Van den Berghe. Protokol
ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan
memberikan infus D5% 100cc/jam. Setelah itu,
bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50
unit insulin reguler (RI) dalam spuit berukuran
50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl
0,9 % hingga mencapai 50 cc (1 cc NaCl = 1
unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam,
petugas tinggal mengatur kecepatan tetesan 1,5

26
cc/jam. Dapat pula diberikan 125 RI dalam 250
ml larutan NaCl 0,9%, yang berarti setiap 2 cc
NaCl = 1 unit RI. Bila tidak tersedia syringe
pump, dapat digunakan botol infus 500 cc
larutan NaCl 0,9%. Masukkan 12 unit RI (dapat
juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya akan
diperhitungkan dalam tetesan) ke dalam botol
infus 500 cc larutan NaCl 0.9%. Bila
dibutuhkan 1 unit insulin/jam, maka dalam botol
infus yang berisi 12 unit RI, diatur kecepatan
tetesan 12 jam/botol, sehingga 12 unit RI akan
habis dalam 12 jam. Bila dibutuhkan 2 unit
perjam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6
jam/botol, karena 12 unit RI akan habis dalam 6
jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai
permintaan. Sebagai patokan tetesan, 1 cc cairan
infus = 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.

d. Peralihan insulin infus intravena ke insulin


subkutan
Setelah kadar glukosa darah stabil dan
pasien mulai mendapatkan makanan, terapi
insulin dapat dialihkan menjadi jalur subkutan
dengan tetap memperhatikan kaidah terapi
insulin basal dan bolus, serta disesuaikan
dengan pola respon insulin fisiologis. Sebelum
terapi insulin infus intravena dihentikan, terapi
insulin subkutan sebaiknya sudah dimulai
supaya diperoleh waktu yang cukup untuk
awitan kerja insulin. Terapi insulin infus
intravena dapat dihentikan 2 jam setelah

27
pemberian insulin subkutan. Kebutuhan insulin
subkutan dihitung berdasarkan total kebutuhan
insulin infus intravena dalam 24 jam. Dosis total
harian insulin subkutan adalah 80% dari dosis
total insulin infus intravena selama 24 jam.
Dosis total harian tersebut dibagi menjadi dosis
insulin basal dan insulin bolus subkutan. Dosis
insulin basal adalah sebesar 50% dari dosis
harian total.

Jenis insulin yang diberikan biasanya long


acting insulin (lebih baik digunakan insulin
yang tidak memiliki puncak kerja/peak, seperti
insulin glargine atau detemir). Dosis insulin
bolus subkutan adalah 50% dari dosis harian
total subkutan. Dalam pemberiannya, dosis
dibagi rata sesuai jumlah kali makan, umumnya
3 kali/hari. Jenis insulin yan diberikan berupa
short atau rapid acting insulin.
Indikasi insulin infus intravena pasien bukan
hamil

28
Gambar 2.13 Catatan: Kategori yang pasling baik/dianjurkan
adalah pada level A 11.
Gambar 2.14 Protokol terapi insulin infus intravena18.

Gambar 2.15 Cara perhitungan dosis insulin subkutan19.

2. Insulin subkutan
Walaupun penggunaan terapi obat
antidiabetik oral masih memungkinkan untuk
diberikan pada pasien diabetes melitus yang dirawat
di rumah sakit, tapi bagi pasien yang akan

29
menjalani pembedahan atau memiliki penyakit
berat sebaiknya digunakan terapi insulin.’ Ada
beberapa bentuk pemberian insulin subkutan pada
pasien yang dirawat di rumah sakit, antara lain
insulin terjadwal (scheduled atau programmed
insulin) dan insulin koreksi. Program pemberian
insulin terjadwal terbagi atas kebutuhan insulin
basal dan insulin prandial. Insulin basal dapat
diberikan dengan menggunakan pompa insulin
(CSII), insulin kerja intermediate (NPH atau
premixed) 2-4 kali sehari, atau insulin analog kerja
panjang. Sementara itu, kebutuhan insulin prandial
dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin
regular atau rapid acting insulin analog). Insulin
tersebut diberikan sebelum makan atau setelah
makan (hanya untuk penggunaan rapid acting
insulin analog) apabila jadwal dan jumlah asupan
makanan tidak pasti.
Gambar 2.16 Protokol terapi insulin subkutan19.

Jika protokol dimulai dengan pemberian NPH (bukan


glargine/detemir), maka dosis yang diberikan 0,25 U/kgBB
NPH saat makan pagi dan sebelum tidur (0,15 U/kgBB bila
kuatir terjadi hipoglikemia ; 0,35 U/kg untuk kondisi dengan
peningkatan kebutuhan insulin basal). Selain itu, tetap
diberikan 0,1 U/kgBB rapid acting insulin setiap makan.

30
 Komplikasi Terapi Insulin
A. Hipoglikemia
Komplikasi terapi insulin yang paling penting
adalah hipoglikemia. Terapi insulin intensif untuk
mencapai sasaran kendali glukosa darah yang normal
atau mendekati normal cenderung meningkatkan risiko
hipoglikemia. Edukasi terhadap pasien dan penggunaan
rejimen terapi insulin yang mendekati fisiologis dapat
mengurangi frekuensi hipoglikemia.

B. Peningkatan berat badan


Pada pasien dengan kendali glukosa yang buruk,
peningkatan berat badan tidak dapat dihindari karena
terapi insulin memulihkan massa otot dan lemak
(pengaruh anabolik insulin). Penyebab peningkatan
berat badan yang lain adalah makan yang berlebihan
serta kebiasaan mengudap untuk menghindari
hipoglikemia. Pasien yang menjalani terapi insulin
umumnya melakukan diet yang lebih longgar
dibandingkan dengan diet ketat saat terapi dengan obat
antidiabetik oral. Hal tersebut juga dapat menyebabkan
peningkatan berat badan.

C. Edema insulin
Edema dapat muncul pada pasien yang memiliki
kendali glukosa darah buruk (termasuk pasien KAD)
akibat retensi garam dan air yang akut. Edema dapat
menghilang secara spontan dalam beberapa hari.
Kadang-kadang dibutuhkan terapi diuretika untuk
menatalaksana hal tersebut.

31
D. Reaksi lokal terhadap suntikan insulin
Lipohipertrofi merupakan pertumbuhan jaringan
lemak yang berlebihan akibat pengaruh lipogenik dan
growth-promoting dari kadar insulin yang tinggi di
tempat penyuntikan. Hal itu dapat muncul pada pasien
yang menjalani beberapa kali penyuntikan dalam sehari
dan tidak melakukan rotasi tempat penyuntikan.
Lipoatrofi adalah hilangnya jaringan lemak pada
tempat penyuntikan. Saat ini, dengan penggunaan
sediaan insulin yang sangat murni, lipoatrofi sudah
sangat jarang terjadi.

E. Alergi
Saat ini, dengan penggunaan sediaan insulin yang
sangat murni, alergi insulin sudah sangat jarang terjadi.

G. Prognosis
Prognosis penyakit diabetes mellitus tipe 2 tergantung pada jenis
keparahan penyakit dan komplikasinya9.

32
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Guru
Alamat :-
Pendidikan : S1
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 09 November 2017
Ruangan : Pav. Flamboyan Kelas IA RSUD Undata Palu

B. Anamnesis
a. Keluhan utama: Rasa panas dan kram pada kedua kaki
b. Riwayat penyakit sekarang: Pasien MRS dengan keluhan rasa panas
disertai kram pada kedua kaki sejak 4 hari SMRS dan memberat 1 hari
SMRS. Keluhan dirasakan terus menerus dan berkurang dengan
kompresi air dingin. Rasa panas dan kram dirasakan seperti ditusuk-
tusuk dan disertai rasa panas terbakar dari ujung jari-jari kaki hingga
dibagian bawah pusat. Pasien menyangkal adanya jatuh sebelumnya
ataupun rasa kelemahan pada kedua tungkai. Pasien mengeluh rasa
lemas 1 hari SMRS sehingga sulit beraktivitas. Pasien mengaku sering
makan karena tidak merasa kenyang walaupun sudah makan, sering
minum dan sering BAK terutama pada malam hari sering terbangun
untuk BAK dengan frekuensi >8 kali/hari. Pasien mengaku mengalami
penurunan BB dari 55 kg sekarang hanya 42 kg. Pasien juga
mengeluhkan rasa gatal dan kemerahan pada sekitar kemaluan
terutama pada ujung kemaluan. Pasien mengaku sering merasa gatal

33
dan kemerahan pada area lipat paha dan bokong tetapi mudah sembuh
dengan obat cina yang di oleskan. Pasien mengeluh sering merasakan
nyeri dada terasa panas terbakar pada dada kiri menjalar ke lengan
tetapi hilang timbul, hilang dengan istirahat dan muncul saat
beraktivitas berat. Pasien menyangkal penglihatan kabur, nyeri
pinggang tidak ada, saat ini pasien rajin kontrol ke RS dan
mengkonsumsi obat anti hiperglikemik yaitu Glukodex. Pasien juga
mengeluh nyeri pada sendi siku 1 hari SMRS. Nyeri hanya dirasakan
pada satu sisi dan saat perawatan hari ke 2 di RS muncul bengkak dan
kemerahan. Nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Sebelumnya pasien
pernah mengeluhkan nyeri pada jari kaki dan pernah membengkak ±2
tahun lalu. Pasien mengaku saat ada rasa nyeri sendi disertai demam
dan belum ada obat yang diminum untuk meredakan nyeri. Pasien
menyangkal nyeri dan kaku pada pagi hari. BAB biasa, BAK lancar,
tidak nyeri, tidak seperti teh maupun berpasir.
c. Riwayat penyakit terdahulu: Pada tahun 2004 pasien pernah
didiagnosis dengan DM tipe II, hiperurisemia dan disiplidemia. Pasien
pernah dirawat di RSUD Undata 5 tahun yang lalu dengan penyakit
diabetes mellitus tipe II. Riwayat penyakit jantung koroner dan
hipertensi disangkal.
d. Riwayat penyakit dalam keluarga: ayah pasien memiliki riwayat
penyakit asam urat sedangkan keluarga yang lain tidak diketahui.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
SP: Sakit Sedang/Compos Mentis/Gizi Kurang
BB: 42 kg
TB: 165 cm
IMT: 15,44 kg/m2

Vital sign

34
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 37,20C

Kepala
Wajah : Simetris bilateral,massa (-) exopthalmus (-), Ptosis
(-), kulit : xantelasma (-), xantomata (-)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal

Mata
Cowong : -/-
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera :Ikterik -/-
Pupil : Isokor diameter ±2,5 cm/±2,5 cm, RCL +/+ RCTL +/+
Mulut : Tidak sianosis, lidah kotor (-), bibir kering warna merah
muda
Leher
Kelenjar GB : Tidak ada pembesaran
Tiroid : Tidak ada pembesaran
JVP : Tidak ada peninggian, 5+2 cm H2O
Massa lain : Tidak ada

Dada
Paru-paru
Inspeksi : Simetris bilateral, retraksi interkosta tidak ada
Palpasi : Ekspansi paru normal, vocal fremitus paru kanan dan kiri
sama
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi :Bunyi vesikular diseluruh lapang paru, Rh -/-, Wh -/-

35
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba SIC V Linea mid claviculasinistra
Perkusi
Batas atas :SIC III linea parasternal sinistra
Batas kanan : SIC V linea midclavicula dextra
Batas kiri : SIC VI linea midclavicula midclavicula
dextra
Auskultasi : BJ I/II murni reguler, murmur sistolik katup aorta (+)

Perut
Inspeksi : tampak datar, tidak ada luka.
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Timpani keempat kuadran (+). Shifting dulness (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-) massa (-) hepatomegali (-) splenomegali (-)

Anggota gerak
Atas : Akral hangat(+/+), edema (-/-)
Pemeriksaan sendi siku:
Look: bengkak kemerahan
Feel: lunak, nodul (-), tofi(-), hangat (+)
Move: Krepitasi (-) gerak bebas.
Bawah : Akral hangat(+/+), edema(-/-)

Pemeriksaan Khusus: Turgor kulit : normal


Pemeriksaan neurologis motorik P: BB/BB, K: 55/55, T: NN/NN, Rf:
++++/++++, Rp: --/--
Sensorik raba halus dan nyeri: ++++/++++

36
D. Resume
Pasien laki-laki usia 51 tahun MRS dengan keluhan parastesia pada
ekstremitas inferior sejak 4 hari SMRS yang menjalar dari L4-T10. Pasien
mengeluh fatigue 1 hari SMRS terdapat gejala polidipsi, poliuri, polifagi
dan penurunan BB. Pasien mengekuh nyeri pada elbow joint seperti
ditusuk jarum dan terjadi swelling serta tampak kemerahan yang terjadi
pada perawatan hari ke II di RS. Pasien mengaku saat ada rasa nyeri
timbul demam. BAB biasa, BAK lancar. Riwayat DM tipe II (+),
hiperurisemia (+) dan disiplidemia (+). Pemeriksaan Fisik: Kesadaran:
Composmentis, Vital sign: Tekanan Darah 110/70 mmHg, Nadi:
82x/menit, Pernapasan 20x/menit, Suhu: 37,20C, Kepala dan leher dalam
batas normal, thoraks auskultasi jantung BJ I/II murni reguler, murmur
sistolik katup aorta (+), abdomen dalam batas normal, anggota gerak atas:
Akral hangat(+/+), edema (-/-), Pemeriksaan sendi siku Look: bengkak
kemerahan, Feel: lunak, nodul (-), tofi(-), hangat (+), Move: Krepitasi (-)
gerak bebas. Anggota gerak bawah: Akral hangat(+/+), edema(-/-).
Pemeriksaan Khusus: Turgor kulit: normal. Pemeriksaan neurologis dalam
batas normal.

E. Diagnosis kerja
Diabetes Melitus tipe II + gout arthritis + polineuropati diabetik

F. Diagnosis banding
Rheumatoid arthritis
pseudoarthritis

G. Anjuran pemeriksaan lanjutan


- Darah lengkap
- HbsAg dan anti HIV

37
- HbA1C
- GDS Ureum dan creatinin
- Urinalisis
- Asam urat darah

H. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
- Diet nutrisi protein dan lemak yang cukup
- Melakukan aktivitas fisik ringan
- Hindari konsumsi daging merah kacang-kacangan, dan sayur hijau yang
banyak
- Istirahat cukup
- Minum air cukup

Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm
- Insulin inj. Novorapid inj. 8-8-8
- Indometasin tab 150mg 2x1
- Gabapentin tab 300mg 2x1
- Neurodex tab 2x1

I. Hasil pemeriksaan penunjang


Lab
Darah rutin
RBC : 4,81 x106/mm3
HGB : 12,9 g/dl
HCT : 39.0 %
PLT : 260 x103/mm3
WBC : 14,2 x103/mm3 H
Monosit : 4,3 H
Neutrofil : 83,8 H

38
GDS 422 mg/dL H
Creatinin 1,35 mg/dL H
Urea 29.4 mg/dL
HbA1C : 14%
Urinalisis
Glukosa +4 H
Asam Urat 7,0 mg/dl

J. Diagnosis akhir
Diabetes Melitus tipe II + gout arthritis + polineuropati diabetik

K. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad funcionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

39
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


maka pasien didiagnosis Diabetes mellitus tipe II. Dari anamnesis ditemukan
keluhan berupa keram-keram pada kedua kaki, terasa lemah pada seluruh tubuh,
poliuria, polidipsi, poliphagi, penurunan berat badan dan keluhan penyerta lain
berupa nyeri pada sendi siku dan bengkak kemerahan disertai demam. Tanda-
tanda vital: tekanan darah 110/80 mmhg, nadi 86 kali/menit, pernapasan 20
kali/menit, suhu 37,2 derajat celcius. Pada pemeriksaan fisik kepala dalam batas
normal, thorax terdapat bising sistolik katup aorta, abdomen dalam batas normal,
anggota gerak atas sendi siku kiri dan kanan look: bengkak, kemerahan; feel:
lunak, nodul tidak ada, teraba hangat; move: krepitasi tidak ada, gerak terbatas.
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin: RBC 4,81 x 106/mm3, HGB 12,9 g/dl,
HCT 39.0 %, PLT 260 x103/mm3, WBC 14,2 x103/mm3 H, Monosit 4,3 H,
Neutrofil 83,8 H; GDS 422 mg/dL H; Creatinin 1,35 mg/dL H, Urea 29.4 mg/dL;
HbA1C 14%; Urinalisis: Glukosa +4 H, Asam Urat 7,0 mg/dl. Dari hasil
pemeriksaan gula darah sewaktu , HbA1C dan Glukosa urin yang mendasari
pasien dirawat.

Pada penderita DM mengeluh poliphagia ini dikarenakan makanan yang


dimakan tidak masuk seluruhnya kedalam sel, karena sejatinya makanan yang kita
makan harus masuk kedalam sel setelah melalui proses yang dari organ-organ
pencernaan yang lain. Jadi, sebanyak apapun makanan yang dimakan pasien akan
tetap merasa lapar. Hal ini terjadi karena efek dari insulin yang terganggu, baik itu
produksinya yng berkurang atau sensitifitas dari sel terhadap insulin itu
berkurang. Glukosa yang tidak masuk kedalam sel akan beredar dipembuluh
darah yang ketika pemeriksaan glukosa didapatkan kadar glukosa darah yang
tinggi diatas >199 ml/dL. Kadar glukosa darah yang tinggi inilah yang merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan luka sulit untuk sembuh. Sehingga, dengan

40
media glukosa itu menyebabkan pertumbuhan bakteri yang subur, maka terjadilah
infeksi pada luka yang sulit sembuh1.

Polidipsi pada pasien DM tipe 2 disebabkan oleh tingginya kadar glukosa


darah, jika kadar glukosa darah tinggi ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan
air kemih dalam jumlah yang berlebihan maka penderita serin berkemih (poliuri)
dalam jumlah yang banyak. Akibat poliuri maka penderita merasa haus yang
berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi), pada pasien ini glukosa darah
sewaktunya 422 mg/dL yang jumlahnya 2 kali lipat dari jumlah normal maka
untuk mengurangi/menurunkan kadar glukosa darah sebagai kompensasi tubuh
maka terjadilah poliuri yang keluar bersama glukosa, sehinga kadar glukosa darah
dapat berkurang3.

Gangguan vaskularisasi dapat juga terjadi pada pasien ini, dimana pada
keadaan ini makanan yang mengandung lemak melalui proses pencernaan di
organ lain, kemudian diserap dan masuk ke pembuluh darah untuk kemudia
diserap di organ-organ tergetnya masing-masing. Namun, akibat kelainan pada
insulin (produksinya berkurang atau sensitifitas selnya yang kurang) lemak yang
seharusnya disimpan diadiposit malah tidak tersimpan secara baik, sehingga
tertumpuk di pembuluh darah maka terjadilah aterosklerosis atau dengan kata lain
vaskularisasi darah yang terganggu menjadi salah satu faktor terjadinya penyakit-
penyakit pada beberapa organ-organ vital seperti jantung1.

Pilar penatalaksanaan DM tipe 2 pada kasus ini adalah edukasi, terapi gizi
medis, latihan jasmani, intervensi farmakologis. Edukasi yang didapat pasien
tentang penyakitnya sudah cukup banyak karena pasien hidup dilingkungan
medis. Mulai dari komplikasi-komplikasi DM, efek samping, prognosis, dan
berbagai informasi penting yang harus didapatkan oleh pasien ini20.

Pola makan pasien yang tidak teratur dengan frekuensi dan jumlah yang
banyak merupakan faktor utama yang menyebabkan pasien menderita DM,
kadang makan 3 sampai 5 kali sehari dengan jumlah yang tidak menentu dan tidak

41
mengikuti prinsip pengaturan makanpada penyandang diabetes. Makanan hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jeins, dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin, hal ini yang
menyebabkan pasien ketika diukur glukosa darah sewaktunya 422 mg/dL. Pada
umunya jumlah asupan makanan yang dianjurkan adalah karbohidrat 45-65%,
lemak 20-25%, protein 10-20% dari jumlah kebutuhan kalori20.

Latihan jasmani pada pasien-pasien diabetes harus rutin dan teratur (3-4
kali dalam seminggu selama kurang dari 30 menit), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan DM tipe 2, pasien yang berprofesi sebagai buruh bangunan
melakukan kegiatan yang berat setiap hari sehingga pasien terpenuhi kegiatan
fisik standar dalam aktivitas penderita diabetes20.

Injeksi insulin harus segera diberikan karena pada paien ini telah
mengalami kenaikan insulin yang signifikan. Insulin yang diberikan terdiri dari 1
jenis insulin prandial (rapid acting) dan dosisnya 3x8 unit/ hari kerja insulin ini
meniru kerja insulin pankreas yang prandial yang efeknya cepat20.

42
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum berbagai keuntungan terapi insulin sudah banyak diketahui.
Pada pasien yang dirawat di rumah sakit, terapi insulin dapat menyelamatkan
jiwa. Namun demikian, bila cara pemberian dan pemantauan kurang memadai,
hal itu dapat mengancam jiwa pasien. Kesalahan terapi insulin cukup sering
ditemukan dan menjadi masalah klinis yang penting. Bahkan terapi insulin
termasuk dalam lima besar “pengobatan berisiko tinggi (high-risk medication)”
bagi pasien di rumah sakit. Sebagian besar kesalahan tersebut terkait dengan
kondisi hiperglikemia dan sebagian lagi akibat hipoglikemia.

Jenis kesalahan tersebut antara lain disebabkan keterbatasan dalam hal


ketrampilan (skill-based), cara atau protokol (rule-based), dan pengetahuan
(knowledge-based) dalam hal penggunaan insulin. Banyak data yang
menunjukkan bahwa hiperglikemia dikaitkan dengan buruknya luaran klinik.
Sebagai contoh, kesalahan dalam terapi insulin sebelum pembedahan pada
pasien DMT1 akan mengakibatkan KAD dan kematian. Hipoglikemia,
walaupun frekuensinya lebih sedikit, namun juga dapat mengakibatkan
kematian. Bahaya yang dapa diakibatkan oleh serangan hipoglikemia meliputi
kecelakaan seperti jatuh, mual, muntah, respon hipertensi yang mengakibatkan
iskemia miokard.

B. Saran
Untuk menghindari bahaya-bahaya di atas, terapi insulin hendaknya
diberikan sesuai dengan protokol yang telah ditetapkan. Selain itu, perlu
dilakukan pemantauan yang memadai. Sebagai contoh, terapi insulin intensif
dengan cara infus intravena hanya dapat diberikan pada pasien khusus serta
dilakukan di ruang intensif.

43

Anda mungkin juga menyukai