Anda di halaman 1dari 32

PRESENTASI KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun oleh :
Eviyanti Ratna Suminar

G1A015057

Dinda Ika Putri

G1A015077

Pembimbing :
dr. Heppy Oktavianto, M.Sc Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Pada tanggal,

Maret 2016

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh :
Eviyanti Ratna Suminar

G1A015057

Dinda Ika Putri

G1A015077

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Heppy Oktavianto, M.Sc Sp.PD


NIP. 197610182014121002

BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Agama
Tgl. Masuk RS

:
:
:
:
:
:
:

Ny. S
59 tahun
Perempuan
Karangkemiri RT 012 RW 06
Ibu Rumah Tangga
Islam
10 Maret 2016

Tgl Periksa

14 Maret 2016

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Keluhan Tambahan: lemas, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih, kaki
kanan pasien membengkak.
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluhkan lemas dan sesak nafas. Pasien
juga mengeluhkan batuk berdahak berwarna putih, dan kaki kanan membengkak.
BAB dan BAK pasien dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Riwayat hipertensi diakui


Riwayat Diabetes Melitus disangkal
Riwayat penyakit ginjal diakui.
Riwayat cuci darah 1 kali bulan januari 2016.
Riwayat stroke disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal.
Riwayat penyakit hati disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat riwayat serupa pada keluarga.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang Ibu Rumah Tangga. Pasien tinggal di area perkampungan yang
tidak terlalu padat. Pasien mengaku dulu senang mengkonsumsi makanan asin.

Asupan nutrisi pasien sehari hari diantaranya nasi, lauk pauk seperti ikan tempe
tahu, sayur dan buah-buahan.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di bangsal Dahlia kamar 4 RSMS pada tanggal 14 Maret 2016.
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah
: 140/80 mmHg
Nadi
: 100 x/menit
Respiration Rate
: 24 x/menit
Suhu
: 37 0C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
Kepala

: mesosefal

Rambut

: warna keabuan, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-

Telinga

: Discharge (-), deformitas (-)

Hidung

: Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung


(-)

Mulut

: Bibir sianosis (+), lidah sianosis (-)

b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-) , pembesaran kelenjar tiroid (-), refluks hepatojugular Palpasi : JVP +2 cm
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Jantung
Inspeksi

: simetris, retraksi (-)


: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
: Sonor pada apek redup pada basal
Batas paru-hepar SIC V LMCD
: Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus -/Ronki basah kasar -/Wheezing -/: Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari lateral LMCS

Pul epigastrium (-), pul parasternal (-).


: Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari lateral LMCS dan

Palpasi

kuat angkat (-)


: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LMCD
Batas bawah kiri
: SIC V 2 jari lateral LMCS
: S1< S2, reguler; Gallop (-), Murmur (+) pansistolik

Perkusi

Auskultasi

punctum di apex menajalar ke axial derajat III


d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi

: datar

Auskultasi : bising usus (+) normal


Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)

Perkusi

: timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)

Hepar
Lien

: 2 jari BACD tepi tajam permukaan rata konsistesi kenyal


: Tidak teraba

e. Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas
Pemeriksaan
Edema
Sianosis
Akral dingin
Reflek fisiologis
Reflek patologis

superior
Dextra Sinistra
+
+
-

Ekstremitas inferior
Dextra
+
+
-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium darah tanggal 10 Maret 2016 Darah lengkap :
Hemoglobin

: 6,2 g/dl

Hematokrit

: 18 %

Ureum

: 217,2 mg/dl

Kreatinin

:5,82 mg/dl

b. Laboratorium darah tanggal 13 Maret 2016 Darah rutin :

Sinistra
+
+
-

Hemoglobin

: 12,5 g/dl

Leukosit

: 11440 /Ul

Hematokrit

: 37 %

Eritrosit

: 4,5 x 10e6/uL

Trombosit

: 204.000 /Ul

Ureum

:235,5 mg/d

kreatinin

:5,85 mg/dl

Anti HCV

: Non Reaktif

HBsAG

: Non Reaktif

c. Laboratorium darah tanggal 14 MAret 2016 Darah rutin :


Hemoglobin

: 11,4 g/dl

Leukosit

: 8430 /Ul

Hematokrit

: 34 %

Eritrosit

: 4,1 x 10e6/uL

Trombosit

: 168000 /Ul

Ureum

:44,1 mg/d

kreatinin

:1,46 mg/dl

E. RESUME
1. Anamnesis
a. Sesak Nafas
b. Lemas
c. Batuk Berdahak
d. Kaki membengkak
e. BAB BAK DBN
2. Pemeriksaan fisik
a. KU/Kes
b. Kepala
c. Mata
d. Leher
e. Paru
f. Jantung
g. Abdomen

: sedang/CM
: Mesosefal
: ca +/+ si -/: JVP +2, refluks hepatojugular : SD ves +/+, RBH -/-, wheezing -/: s1<s2, reguler, murmur + pansistolik, gallop :datar, nyeri tekan (-)

h. Ekstremitas inferior: edema +/+


3. Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin
: 6,2 g/dl
b. Hematokrit
: 18 %
c. Ureum
: 217,2 mg/dl
d. Kreatinin
:5,82 mg/dl

F. DIAGNOSIS KERJA
Chronic Kidney Disease stage V
HIpertensi grade 2
Anemia sedang
G. TERAPI
Farmakologis:
a) Inj. D5% 10 tom
b) Inj Impugen 2 Ampul / 8 jam
c) Asam folat 3 x 2 tab
d) CaCO3 3 x 1 tab
e) Amlodipin 1 x 10 mg
f) Irbesartan 1 x 150 mg
b. Non farmakologis:
a) Diet TKRP
b) Tirah baring
H. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

Ad functionam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat ( biasanya berlangsung dalam kurun waktu beberapa
tahun). Pada kasus tersebut, ginal kehilangan kemampuan untuk mempertahanan
volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal
( Wilson, 2006).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan fungsi ginjal ireversibel
yang memberikan efek pada hampir seluruh sistem organ (McCance dan Sue,
2006). Kidney Disease Quality Outcome Initiative (K/DOQI) mendefinisikan
CKD sebagai kerusakan ginjal atau Glomerular Filtration Rate (GFR)/ Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) < 60 mL/min//1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih
(Levey et., al., 2005). Pasien dengan CKD akan memiliki perjalanan penyakit
yang progresif menuju End Stage Renal Disease (ESRD) (McCance dan Sue,
2006).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir.
CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah
nitrogenlain dalam darah (Sibuea, 2005).
CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih dan
dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama
keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa
gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Sibuea,
Panggabean, dan Gultom, 2005).
Gagal ginjal kronik / Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai
penurunan progresif fungsi ginjal menahun dan perlahan yang bersifat
irreversible.

Dimana

kemampuan

tubuh

gagal

untuk

mempertahankan

metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, yang berakibat terjadinya

uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Suwitra, 2007).
Batasan penyakit ginjal kronik:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan penanda kerusakan
ginjal seperti proteinuria atau kelainan gambaran radiologi.
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
Dapat disimpulkan bahwa CKD adalah penyakit ginjal tahap akhir yang tidak
dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti sediakala yang dapat
disebabakan oleh berbagai hal. Hal ini mengakibatkan kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang
dapat menyebabkan uremia.
b. ETIOLOGI
CKD terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron
ginjal. Sebagian besar penyakit ini merupakan penyakit parenkim ginjal difus
bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus urinarius juga dapat menyebabkan
CKD. CKD merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal progresif dan irreversible
yang berasal dari berbagai penyebab. Angka perkembangan penyakit CKD ini
sangat bervariasi. Perjalanan ESRD hingga tahap terminal dapat bervariasi dari
2-3 bulan hingga 30-40 tahun. Penyebab CKD yang paling sering terjadi
diklasifikasikan dalam table 1.

Tabel 1. Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronis ( Wilson, 2006).


Klasifikasi Penyakit
Penyakit infeksi tubuloinertitial
Penyakit peradangan
Penyakit vascular hipertensif
Gangguan jaringan ikat

Penyakit
Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Glomerulonephritis
Nefrosklerosis benigna
Lupus eritematosus sistemik.
Poliarteritis nodosa
Sclerosis sistemik progresif

Gangguan kongenital dan herediter


Penyakit metabolik

Nefropati toksik
Nefropati obstruktif

Penyakit ginjal polikistik


Asidosis tubulus ginjal
Diabetes mellitus
Gout
Hiperparatiroidisme
Amilodosis
Penyalahgunaan analgesic
Nefropati timah
Traktus urinarius bagian atas : batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah

hipertfofi prostat, striktur uretra, anomaly


kongenital leher vesika urinaria dan
uretra.
Beberapa penyebab terjadinya CKD menurut (Sudoyo, 2006), antara lain adalah :
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
a.Arterisklerosis
b. Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
5. Gangguan tubulus primer
Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
6. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
A. Penyakit polikistik
B. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia renalis)
C. EPIDEMIOLOGI

Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100 juta


kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di Malaysia, dan di
negara berkembang lainnya, insidensi ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering
terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna
hitam daripada kulit putih.
Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia pada
tahun 2000 antara lain Glomerulonefritis(46,39%), Diabetes Mellitus(18,65%),
Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi(8,46%), dan penyebab yang lain
dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al, 2007).
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko potensial CKD dapat dilihat dari faktor klinis dan faktor
sosiodemografi. Faktor klinis berkaitan dengan kondisi kesehatan atau adanya
penyakit yang diderita sebelumnya.Sedangkan faktor sosiodemografi menekankan
kepada kondisi seseorang yang dapat menyebabkan orang tersebut berisiko
terkena CKD.Faktor risiko tersebut dijabarkan pada Tabel 2 (National Kidney
Foundation, 2002).
Tabel 2. Faktor risiko gagal ginjal kronis
Faktor Klinis
Diabetes
Hipertensi
Penyakit autoimun
Infeksi sistemik
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Batu saluran kemih
Obstruksi saluran kemih bawah
Neoplasia
Riwayat CKD pada keluarga
Pernah menderita GGA
Penurunan massa ginjal
Paparan obat

Faktor Sosiodemografi
Usia tua
Kaum minoritas
Paparan zat kimia di lingkungan
Tingkat
pendapatan/pendidikan
rendah

BBLR
E. KLASIFIKASI dan TAHAPAN CKD
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan
nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk
(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).

Tabel 3. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju LFG


Deraja
Penjelasan
LFG
t
(mL/menit/1,73m2)
1

Kerusakan ginjal dengan LFG normal


atau

90

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60-89

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30-59

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15-29

Gagal ginjal

<15 atau dialisis

Tabel 4. Klasifikasi Chronic Kidney Disease (Eknoyan, 2009; Levey et., al.,
2005)

Derajat

Deskripsi

Kerusakan ginjal
dengan GFR Normal
atau meningkat
Kerusakan ginjal
dengan penurunan GFR
ringan
Penurunan GFR sedang

Penurunan GFR berat

Klasifikasi Berdasarkan
Keparahan
GFR
mL/min/1.73
Keadaan Klinis
2
m
Albuminuria,
90
proteinuria,
hematuria
Albuminuria,
60-89
proteinuria,
hematuria
Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
15-29
Insufisiensi ginjal

Gagal ginjal

< 15
Atau dialisis

kronik, pre-ESRD
Gagal ginjal,
uremia, ESRD

F. PATOFISIOLOGI
Proses terjadinya CKD adalah akibat dari penurunan fungsi renal, produk
akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan kedalam urin tertimbun
dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin
banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat.
Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal
sebagai akibat

dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga

menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan


oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi
glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga
kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah
(NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator paling sensitif
dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD
tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan
protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron
terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang
masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah
berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan
lagi (Price et al, 2005).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi dan
reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh
massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika
75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solut bagi

setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan keseimbangan glomerulus


tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al, 2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan

kemih

menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi

cairan

dan

natrium

ini

mengkibatkan

ginjal

tidak

mampu

mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa terhadap


masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita sering menahan
cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi
aksis rennin dan angiotensin. Kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Saat muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang
dapat memepreberat stadium uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal
terjadi

asidosis

metabolik

seiring

dengan

ketidakmampuan

ginjal

mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam


terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan amonia dan
mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al, 2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang
tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin adalah suatu
substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD, produksi erytropoetin
menurun dan anemia berat akan terjadi disertai keletihan, angina dan sesak nafas
(Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan
kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat zat sisa.

Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine


penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).

Gambar 1. Patofisiologi CKD


Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu
(McCance dan Sue, 2006):
1. Penurunan Fungsi Ginjal
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada keadaan
ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah terdapat peningkatan
pada ureum dan kreatinin darah.
2. Insufisiensi Ginjal
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami

penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang ringan
sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan kompensasi
untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin, nokturia,
anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjal saat stres dapat terjadi pada
tahapan ini.
3. Gagal Ginjal
Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis,
ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit
(hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal
terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem
organ lain.
4. ESRD
ESRD (End Stage Renal Disease) merupakan tahapan terakhir dari
gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat.
GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi juga
terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi
G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis CKD terlihat di berbagai organ. Terdiri dari kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan
kardiovaskular (Murray et al., 2007).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien gagal
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang
ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik (Suwitra,
2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding

Capacity(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi


eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al.,
2007; Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi
ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL
(Suwitra, 2007).
b.

Kelainan saluran cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual
dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang
menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat

pengobatan

gagal

ginjal

kronik yang

adekuat,

misalnya

hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan


pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat
penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering
dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost (Kumar et al., 2007).
e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.
Perjalanan klinis CKD, secara umum dapat dibagi menjadi 3 stadium:
a

Stadium pertama
Disebut penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum
dan kadar BUN normal, dan pasien asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal
hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal
tersebut, seperti tes pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan tes
GFR yang teliti. (Ketut, 2007).

Stadium kedua
Perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, bila lebih dari 75%
jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada
tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan
konsentrasi BUN ini berbeda-beda, bergantung pada kadarprotein dalam
makanan. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi
kadar normal (Ketut, 2007).
Azotemia biasanya ringan ( kecuali bila pasien mengalami stress akibat
infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi). Pada stadium insufisiensi ginjal ini
mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria ( akibat gangguan
kemampuan pemekatan). Gejala gejala ini timbul sebagai respon terhadap

stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Pasien biasanya
tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya
akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.
Nokturia (berkemih dimalam hari) didefinisikan sebagai gejala pengeluaran
urin waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau pasien
terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu malam hari.Nokturia
disebabkan oleh hilangnya pola pemekatan urine diurnal normal sampai
tingkat tertentu dimalam hari.Dalam keadaan normal perbandingan jumlah
urine siang hari dan malam hari adalah 3:1 atau 4:1.Sudah tentu, nokturia
kadang kadang dapat terjadi juga sebagai respon kegelisahan atau minum
cairan yang berlebihan, terutama teh, kopi atau bir yang diminum sebelum
tidur. (Ketut, 2007)
c

Stadium ketiga
Disebut stadium akhir atau uremia. ESRD (gagal ginjal stadium akhir)
terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR hanya
10% dari normal. Pada keadaan ini kreatinin dan kadar BUN akan meningkat
dengan sangat mencolok. Pasien mulai mersakan gejala-gejala yang cukup
parah.Pasien menjadi oligourik karena kegagalan glomerulus.Pada stadium
akhir (sindrom uremik) terjadi kompleks gejala yang berkaitan dengan retensi
metabolit nitrogen.Dua kelompok gejala klinis dapat terjadi pada sindrom
uremik. Pertama, gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi , kelainan volum
cairan dan elektrolit, ketidak seimbagan asam basa, retensi metabolit nitrogen
dan metabolit lainnya, serta anemia yang disebabkan oleh defisiensi sekresi
ginjal.

Kedua,

timbul

gejala

yang

merupakan

gabungan

kelainan

kardiovaskular, neuromuskular, saluran cerna dan kelainan lainnya. (Ketut,


2007).
H. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik


mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu hasil pemeriksaan
penunjang.
1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus
urinarius,

batu

traktus

urinarius,

hipertensi,

hiperurikemi,

lupus

Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.


b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, perikarditis,
kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya, seperti anemia, asidosis metabolik, dan sebagainya.
2 Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan
terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam
batas normal. Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi
glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal
terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000mg/hari.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan ureum dan kreatinin serum,
dan penghitungan TKK
c. Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin dan

asam urat.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan leukosuria.
Gambaran radiologis;
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. USG bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang

menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.


4 Biopsi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada penderita
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara
invasif sulit ditegakkan. Biopsi merupakan penentu diagnose pasti CKD.
(Suwitra, 2007).
I. PENATALAKSANAAN
1 Terapi konservatif

Tujuan terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara


progresif,

meringankan

keluhan

akibat

akumulasi

toksin

azotemia,

memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan


cairan dan elektrolit.
a

Peranan diet Diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah atau


mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk


CKD harus adekuat agar dapat mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan


elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyebab dasar
penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease). (Sukandar, 20

Terapi simptomatik
a

Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena


meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan
mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali (sodium
bicarbonat) yang harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau
serum bikarbonat 20 mEq/L.

Anemia Dapat diberikan eritropoetin pada pasien CKD. Dosis inisial 50


u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis
pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan
tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu. Transfusi darah misalnya Paked
Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan
efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,


merupakan keluhan utama yang sering dijumpai pada CKD. Keluhan lain

adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d

Kelainan kulit Tindakan yang diberikan tergantung jenis keluhan di


kulit.

Kelainan neuromuskular. Terapi yang dilakukan adalah hemodialisis


reguler yang adekuat, medikamentosa / operasi subtotal paratiroidektomi.

Hipertensi. Pemberian obat anti hipertensi terutama penghambat Enzym


Konverting Angiotensin (ACE inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti
dapat

memperlambat

proses

pemburukan

antihipertensi

dan

antiproteinuria.
g

Kelainan sistem kardiovaskular. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit


kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian
pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita,

termasuk

pengendalian

DM,

hipertensi,

dislipidemia,

hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan


keseimbanagan elektrolit. (Sukandar, 2006)
3

Diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.Pembatasan asupan protein
mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt,sedangkan di atas nilai tersebut,
pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,60,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi
tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari,
dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan.Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak
disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen

lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Pemberian diet tinggi protein
pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi
nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia. Pembatasan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik.
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.Kebutuhan cairan bila
ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.19.Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit
bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying
renal disease) (Sukandar, 2006).

Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a

Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut,
yaitu : perikarditis, ensefalopati atau neuropati azotemik, bendungan paru
dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg
% dan kreatinin > 10 mg%. Serta indikasi elektif, yaitu LFG : antara 5 dan
8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat. (Rahardjo
et al., 2006)

Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun),

pasien-pasien

kardiovaskular,

yang

telah

menderita

penyakit

pasien-pasien

yang

cenderung

akan

sistem

mengalami

perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,


pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal. (Rahardjo et al., 2006)
Indikasi dilakukannya dilisis antara lain adalah :
1)
2)
3)
4)

Hipervolemia
BUN > 100- 150 cepat dalam waktu pendek
Creatinin > 10
Kalium > 5 ( sulit dkoreksi secara konservatif, tetapi biasanya

dengan injeksi bikarbonat )


5) Prekoma.
c

Transplantasi ginjal
Pertimbangan dilakukannya transplantasi ginjal antara lain:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan.
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi. (Rahardjo et al., 2006)
Diagnosis CRF harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan
patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang
tepat untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan
umum. Tujuan dari terapi CRF adalah (K/DOQI, 2002):

1) Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi,
biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit
dasarnya sudah tidak banyak bermanfaat (Suwitra, 2007).
2) Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik,
bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya
(Suwitra, 2007).
3) Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2007):
i.
Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,350,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila
terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan
substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui
ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion
hydrogen,

fosfat,

sulfat,

dan

ion

nonorganic

lain

juga

diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet


tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik
lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang
disebut uremia, dengan demikian pembatasan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting
lain adalah asupan protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah
dan

tekanan

intraglomerulus

yang

akan

meningkatkan

progresivitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan


protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
ii.

(Suwitra, 2007).
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus. Selain itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat
proteinuria, karena proteinuria merupakan factor risiko terjadinya
pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama
golongan ACE inhibitor melalui berbagai studi terbukti dapat

memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2007).


4) Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
Lebih kurang 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk
dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah
pengendalian
hperfosfatemia,

diabetes,
dan

terapi

hipertensi,
terhadap

dislipidemia,
cairan

dan

anemia,
gangguan

keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan

pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara


keseluruhan (Suwitra, 2007).
5) Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi
yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal
yang terjadi, yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2007):
i.
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ii.

ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat


Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia,

iii.

anemia,

hiperparatiroid,

hipertensi,

dan

hiperhomosisteinemia
Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis

metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia


iv. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6) Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut
dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal
(Suwitra, 2007).
Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin,
Hb, dan Gula darah juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas
penyakit untuk berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002)
J. KOMPLIKASI
Pasien dengan CKD akan mengalami peningkatan kadar urea dan serum
darah karena gagalnya sekresi yang disebabkan oleh penurunan fungsi filtrasi
pada glomerulus. Kalium juga merupakan ion yang disekresikan melalui ginjal.
Pasien CKD akan mengalami keadaan hiperkalemia. Pasien CKD dapat
mengalami veskulopati serta retensi cairan dalam tubuh. Vaskulopati dapat
menyebabkan kerusakan endotel serta respon vasokonstriksi pembuluh darah
yang berujung pada keadaan hipertensi. Retensi cairan yang terjadi dalam jangka
waktu lama akan menyebabkan overload cairan. Hasil limbah nitrogen (ureum
dan kreatinin) dapat memicu reaksi inflamasi pada organ organ di sekitar ginjal.
Reaksi inflamasi pada jantung yang diikuti dengan hipertensi dan overload cairan
akan membebani kerja jantung. Jantung yang tidak dapat mengkompensasi akibat

dari CKD dapat berakhir pada keadaan gagal jantung kongestif (CHF). CHF
yang berkelanjutan dapat mengakibatkan edema pulmo apabila tidak ditangani
(McCance dan Sue, 2006).
Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan adanya
DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit kronis lainnya
pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan karena
keadaan gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang ada dan
sebaliknya (Eknoyan, 2009).
Komplikasi yang sering ditemukan pada penderita penyakit gagal ginjal
kronik antara lain :
1. Anemia
Terjadinya anemia karena gangguan pada produksi hormone eritropoietin
yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi
yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari.Akibat dari gangguan
tersebut, tubuh kekurangan energy karena sel darah merah yang bertugas
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi.Gejala
dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah,
luka lebih lambatsembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan.
2. Osteodistofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan
metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat tinggi,
akan terjadi pengendapan garam dalam kalsium fosfat di berbagai jaringan
lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal
(nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan
irama jantung, dan gangguan penglihatan.
3. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang
memadai ke seluruh tubuh.Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatanmemompa
atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita gagal ginjal
kronis dimulai dari anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih
keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left venticular
hypertrophy/ LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak
mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal).

4. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi
yang

diperlukan

untuk

melakukan

hubungan

seksual

dengan

pasangannya.Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi


hormon testeron) untuk merangsang hasrat seksual(libido), secara emosional
penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang
menguras energi.Namun, penyebab utama gangguan kemampuan pria
penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis
yang berhubungan langsung dengan ginjal.
5. Sindrom Metabolik
Terdapat korelasi erat antara komponen sindrom metabolic dengan CKD dan
albuminuria

dianggap

sebagai

komponen

dari

sindrom

metabolik.Hiperinsulinemia dan resistensi insulin terhadap mortalitas penyakit


kardiovaskular. Penurunan kadar adiponektin plasma dapat meningkatkan
risiko kematian pada penyakit kardiovaskular pasien CKD.
6. Atherosklerosis
Faktor risisko terjadinya atherosclerosis pada CKD adalah diabetes, kadar
kolesterol total yang tinggi, kadar kolesterol HDL yang rendah, merokok, dan
tingginya tekanan darah sistolik.
7. Inflamasi
Peradangan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
atherosklerosis.Peenanda C-reactive protein (CRP) tidak hanya menandakan
adanya

peradangan,

namun

dapat

menggambarkan

perkembangan

atherosklerosis, termasuk inisiasi, pembentukan dan pecahnya plak.

8. Kerusakan dan disfungsi sel endothelial


Vasodilatasi endotel yang abnormal sebagai manifestasi gangguan arteri
brakhialis merupakan prediktor kejadian penyakit kardiovaskular dan
kematian pada pasien dengan CKD serta berhubungan dengan kekakuan arteri
dan LVH. Kematian sel endotel memfasilitas pembuluh darah, proliferasi sel

otot polos dan makrofag, dan aktivasi platelet dan agregrasi (Medscape,
2014).
K. PROGNOSIS
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal
atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani
dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien
dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup
lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah
karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak
(6%), dan keganasan (4%) (Medscape, 2014).

DAFTAR PUSTAKA
Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease.
US Nephrology: 13-7.
Ketut , S. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi. 4
Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;.hlm 570-3.
Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. New
York: National Kidney Foundation.
McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease in
Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.
Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. 2007. Chronic Renal failure in Oxford Handbook
of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University. 294-97.
Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 579-580.
Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. 2005. Ilmu penyakit dalam edisi ke-2.
Jakarta: PT Rineka Cipta. 1: 169-80
Suwitra, K.2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus
SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm 570-3.

Anda mungkin juga menyukai