Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Pembimbing:
dr. Tiara Paramita Poernomo, M. Sc, Sp. PD

Disusun oleh:
Agustus Wiji Gunardi

G4A015061

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
Chronic Kidney Disease
Diajukan untuk memenuhi syarat
mengikuti Kepaniteraan Klinik
di bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto
telah disetujui dan dipresentasikan
pada tanggal:

juli 2016

Disusun oleh:
Agusstus Wiji Gunardi

Purwokerto,

G4A015061

juli 2016

Pembimbing,

dr. Tiara Paramita Poernomo, M. Sc, Sp. PD

BAB I
PENDAHULUAN
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan
ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau
lebih. Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible yang
akan berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya kerusakan ginjal
tersebut dapat dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau
biopsi ginjal. Chronic kidney disease (CKD)merupakan masalah kesehatan yang
mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk
dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. Di Indonesia tercatat jumlah pasien
CKD terus meningkat, pada tahun 2010 hanya 9649 pasien namun pada tahun 2011
tercatat hingga 15353 pasien. Di negara-negara berkembang, CKD lebih kompleks
lagi masalahnya karena berkaitan dengan sosio-ekonomi dan penyakit-penyakit yang
mendasarinya.

Berdasarkan

riset

oleh

Perhimpunan

Nefrologi

Indonesia

(PERNEFRI) tahun 2011, tiga penyakit yang sering menjadi penyebab CKD adalah
penyakit ginjal hipertensi, nefropati diabetikum, dan glomerulopati primer (Sharon,
2006; Nahas, 2003; PERNEFRI,2011).
Chronic kidney disease (CKD) diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat
dari derajat penyakit dan nilai LFG, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit
akan semakin buruk. Tanda dan gejala yang muncul pada CKD sering dideskripsikan
sebagai uremia. Uremia merupakan beberapa gejala yang muncul karena
terganggunya fungsi ginjal disertai akumulasi toksin pada plasma darah (Eknoyan,
2009; Levey et al., 2005).
Perjalanan penyakit CKD tidak hanya terjadi gagal ginjal tetapi juga dapat
terjadi komplikasi lainnya karena menurunnya fungsi ginjal dan penyakit
kardiovaskular. Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan
adanya DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker dan penyakit kronis lainnya
pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan karena keadaan
gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang ada dan sebaliknya.

Bahkan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian paling banyak pada


pasien CKD yaitu sebesar 45% (PERNEFRI, 2011; Eknoyan, 2009).

BAB II
STATUS PENDERITA
A. Identitas Penderita
Nama

: Ny. N

Umur

: 38 Tahun

Jenis kelamin

: perempuan

Alamat

: Sudagaran Rt 2/4 Kedawung-Pejagoan, Kebumen

Agama

: Islam

Status

: Menikah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal masuk RSMS

: 23 Mei 2016

Tanggal periksa

: 2 Juni 2016

No. CM

: 00237227

B. Anamnesis
Keluhan utama

: Bengkak pada tangan dan kaki sejak 9 hari sebelum


masuk RSMS

Keluhan tambahan

:sesak, muntah, badan lemas, nyeri kepala, BAK


sedikit, nyeri pinggang, tidak bisa tidur, makan dan
minum sulit.

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke RSMS pada tanggal 23 Mei 2016 dengan keluhan bengkak
pada kedua tangan dan kaki. Keluhan sudah dirasakan sejak 9 hari sebelum
masuk ke rumah sakit. bengkak dirasakan terus menerus sepanjang hari .Bengkak
dirasakan tidak berkurang dari hari ke hari. Bengkak berkurang jika pasien
istirahat dan bertambah saat aktifitas. Pasien juga mengeluhkan sesak, muntah,
badan lemas, nyeri kepala, BAK sedikit, nyeri pinggang, tidak bisa tidur serta
makan dan minum sulit. Pasien mengatakan muntah, badan lemas, nyeri kepala,
BAK sedikit, dan nyeri pinggang, tidak bisa tidur serta makan dan minum sulit

juga dirasakan sejak 9 hari sebelum masuk Rumah Sakit Margono. Muntah
berisi makanan tanpa darah sekitar 2 kali sehari. Menurut pasien dalam sehari
BAK kira-kira hanya sebanyak setengah botol air mineral sekitar 250 ml. Pasien
sebelumnya pernah rawat inap di Rumah Sakit Muhamadiyah Sruweng 5 bulan
yang lalu dengan keluhan yang sama. Pasien merupahkan penderita hipertensi,
yang mana sudah diketahui sejak 5 tahun yang lalu. Pasien jarang mengonsumsi
obat secara teratur karena pasien tidak merasakan ada keluhan yang mengganggu
aktivitas sehari-hari
Riwayat penyakit dahulu
:
1. Riwayat DM
2. Riwayat penyakit jantung
3. Riwayat alergi
4. Riwayat Pengobatan
Riwayat penyakit keluarga
:
1. Riwayat keluhan yang sama
2. Riwayat hipertensi
3. Riwayat DM
4. Riwayat penyakit jantung
5. Riwayat penyakit ginjal
6. Riwayat alergi
Riwayat sosial ekonomi
:

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: diakui
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

1. Occupational
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga
2. Diet
Pasien memiliki pola makan yang baik tiga kali sehari dengan nasi, sayur serta
lauk pauk, kadang disertai dengan buah.
3. Drug
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
4. Personal Habbit
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan meminum alcohol. Pasien
mengaku sering meminum minuman penambah energi, makan gorengan,
makan yang tinggi garam serta suka masakan bersantan.
5. Home
Pasien tinggal dengan suami dan 2 anak dirumahnya, serta kedua
orangtuanya.

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal dahlia RSMS pada tanggal 2 juni 2016
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran
: Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah
: 150/90 mmHg
Nadi
: 100 x/menit
Respiration Rate
: 26 x/menit
Suhu
: 37.60C
4. Berat badan
: 64 kg
5. Tinggi badan
: 163 cm
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-) perdarahan
subkonjungtiva (-/-), edema palpebral (+/+)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2 cm
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi
: Dinding

dada

tampak

simetris,

tidak

tampak

ketinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan kiri,


Palpasi
Perkusi
Auskultasi

kelainan bentuk dada (-)


: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
: Perkusi redup pada bagian basal
: Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus +/+
Ronki basah kasar -/Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi
Palpasi

: Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS


: Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS

dan kuat angkat (-)


Perkusi
: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II 3 jari LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri
: SIC VI 4 jari lateral LMCS
Auskultasi
: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
: cembung
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: redup, pekak sisi (+), pekak alih (+), nyeri ketok
Palpasi

kostoveterbrae (+) dextra et sinistra


: Nyeri tekan (+) pada regio hipochondriaca dextra et

sinistra, undulasi (+)


Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan

Ekstremitas

Edema
Sianosis
Akral dingin
Reflek fisiologis
Reflek patologis

superior
Dextra Sinistra
+
+
+
+
-

Ekstremitas inferior
Dextra
+
+
-

Sinistra
+
+
-

D. Pemeriksaan Penunjang

Hb
Leukosit
Ht
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hitung jenis

24
7,9 L
19690 H
24 L
3.1 L
621.000
H
78.7 L
25.9 L
32.9
21.6
8.6 L

25

26
11 L
16770 H
33 L
4.3
563.000

27
9.2 L
14110 H
26 L
3.5 L
501.000

29
9.1 L
16860 H
27 L
3.5 L
420000

31
7.6 L
29030 H
24 L
3.0 L
311.000

2
9.8 L
25840 H
30 L
3.7 L
390.000

H
76.7 L
25.9 L
33.7
19.3 H
8.3 L

H
75.4 L
26.3
34.6
19.3 H
8.1 L

77.9 L
26.1
33.8
19.9 H
8.8 L

79.1 L
25.9 L
32.8
21.0 L
9.5

80.0
26.5
33.1
19.6 H
9.3 L

Basophil
Eosinophi
l
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
PT
APTT
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinin
GDS
Na
K
Ca
Cl
HBSAG

0.4
0.1 L

0.5
0.0 L

0.2
0.5 L

0.3
1.1 L

0.2
0.0 L

0.3
0.0 L

4.8
83.2
5.2 L
6.3
11.6 H
44.9 H
18
11
176.3 H
25.34 H
82
126 L
5.5 H

5.2 H
89.8 H
2.2 L
2.2

3.8
81.0 H
7.7 L
6.8

3.0
81.1 H
6.5 L
8.0
10.6
36.8

1.3 L
90.6 H
4.1 L
3.8

1.6 L
92.0 H
2.7 L
3.4

118.1 H
18.55 H
133

74.4 H
10.32 H

78.5 H
12.36 H
117

54.9 H
7.62 H

37.0 H
5.47 H

4.1

95 L
Nonreakti
f

Anti HCV

Nonreakti
f

Tot

6.19 L

protein
Albumin
Globulin

2.65 L
3.54 L

10

Hasil USG di RS Muhamadiyah Sruweng


Kesan :
Hidronefrosis bilateral grade 1
Suspex masa uteri +- 3,3 cm
Efusi pleura dextra et sinistra dan ascites
Lien hepar dalam batas normal

11

Hasil foto thorax di RS Muhamadiyah Sruweng


Kesan :
Cardiomegaly
Tampak corakan milier di kedua lapang paru suspek TB milier
Efusi pleura dextra et sinistra
E. Resume
1. Anamnesis
a. Bengkak pada tangan dan kaki
b. Muntah, lemas, nyeri kepala, BAK sedikit, dan nyeri perut bagian bawah
2. Pemeriksaan fisik
a. Tekanan darah : 150/90
b. Mata: Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) perdarahan
subkonjungtiva (-/-)
12

c. Pemeriksaan paru
SD ves +/+ rbh +/+ rbk -/- wh -/d. Pemeriksaan jantung
S1>S2 reguler, M (-), G (-)
e. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
: Datar
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: redup, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (+) , undulasi (+)
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
3. Pemeriksaan Penunjang
Ureum darah

: 176,3 mg/dL H

(14.98 38.52 mg/dL)

Kreatinin darah

: 25,34 mg/dL H

(0.60 1.00 mg/dl)

: 118,1 mg/dL H
: 18,55 mg/dL H

(14.98 38.52 mg/dL)


(0.60 1.00 mg/dl)

: 74,4 mg/dL H
: 10,32 mg/dL H

(14.98 38.52 mg/dL)


(0.60 1.00 mg/dl)

: 54.9 mg/dL H
: 7.62 mg/dL H

(14.98 38.52 mg/dL)


(0.60 1.00 mg/dl)

Post HD 1
Ureum darah
Kreatinin darah
Post HD 2
Ureum darah
Kreatinin darah
Post HD 3
Ureum darah
Kreatinin darah

F. Diagnosis
- CKD Grade V et causa suspek glomerulonephritis kronis
- CHF (congestive heart failure)
- Massa uteri
- Hipertensi grade I
- Edema paru akut
- Anemia sedang
G. Usulan pemeriksaan penunjang
1. Urinalisis
2. EKG
3. Konsul obgyn
4. Foto polos abdomen
5. Renogram
H. Penatalaksanaan
13

Non farmakologi
1. Bed rest
2.
3.
4.
5.

Diet tinggi kalori rendah protein


Diet rendah garam
Diet rendah kalium
Batasi pemasukan cairan dengan nilai balanse cairan 0.

6. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,


prognosis penyakit.
7. Transfusi PRC
8. Hemodialisa
Farmakologi
1.

IVFD D5% 16 tpm


2.
3.
4.
5.
6.
7.

Inj. Furosemid 3x2 amp


Inj. Ceftriaxon 2x1 amp
Inj.ranitidin 2x1 amp
PO. Bicnat 3x1 tab
Anemolat 3x1 tab
Calos 3x1 tab

Monitoring
1. Keadaan klinis pasien dan tanda vital
2. Keseimbangan cairan
3. Efek samping obat
4. Hb, Kalium, Ureum dan Kreatinin
I. Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam

14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit gagal ginjal kronik
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap
berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik (Dennis, 2005).
Gagal ginjal kronik / chronic kidney disease (CKD) merupakan penurunan
progresif faal ginjal yang menahun dan perlahan. Biasanya berlangsung dalam
beberapa tahun, yang umumnya tidak reversibel dan cukup lanjut dari berbagai
penyebab. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
atau keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia. Jika tidak ada
tanda kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan laju filtrasi glomerulus sama atau
lebih dari 60 ml/menit/1,73m, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik
(Suwitra, 2007).

15

Batasan penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2007) :


A.

Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
a)

Kelainan patologik

b)

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada


pemeriksaan pencitraan radiologi

B.

Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m selama >3 bulan dengan


atau tanpa kerusakan ginjal.

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.


Derajat Penjelasan
LFG
(mL/menit/1,73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal 90
atau
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
15-29
5
Gagal ginjal
<15 atau dialisis
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit dan
nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin buruk
(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
Tabel 2.. Klasifikasi Chronic Kidney Disease
Derajat
1
2
3
4
5

Klasifikasi Berdasarkan Keparahan


GFR
Deskripsi
mL/min/1.73
Keadaan Klinis
2
m
Kerusakan ginjal dengan
Albuminuria,
GFR
Normal
atau 90
proteinuria,
meningkat
hematuria
Kerusakan ginjal dengan
Albuminuria,
penurunan GFR ringan
60-89
proteinuria,
hematuria
Penurunan GFR sedang
Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
Penurunan GFR berat
Insufisiensi ginjal
15-29
kronik, pre-ESRD
Gagal ginjal
< 15
Gagal
ginjal,

16

Atau dialisis
uremia, ESRD
(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005)

Derajat (stage) yaitu berdasarkan LFG dengan rumus Kockroft Gault.

(Pada wanita x 0,85)


B. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia.
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100 juta kasus
perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya.
Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di Malaysia, dan di negara
berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta
penduduk per tahun (Suwitra, 2007).
Penyebab CKD pada pasien hemodialisis tahun 2011 didapatkan sebagai
berikut,

penyakit

ginjal

hipertensi

(34%),

nefropati

diabetika

(27%),

glomerulopati primer/GNC (14%), nefropati obstruksi (8%), pielonefritis


kronik/pnc (6%), nefropati asam urat (2%), nefropati lupus/sle (1%), ginjal
polikistik (1%), lain-lain (6%) dan tidak diketahui (1%). Penyebab terbanyak
adalah penyakit ginjal hipertensi dengan 34 %. Hal ini tidak sesuai dengan data
epidemiologi dunia yang menempatkan nefropati diabetika sebagai penyebab
terbanyak. Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita (PERNEFRI,2011).
C. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
A. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa

17

c. Lupus eritematous
B. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
C. Gangguan pembuluh darah ginjal
a.

Arterisklerosis

b.

Nefrosklerosis
D. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
E. Gangguan tubulus primer
Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
F. Obstruksi traktus urinarius

a.

Batu ginjal

b.

Hipertofi prostat

c.

Konstriksi uretra
G. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia renalis)

D. Faktor Resiko
Faktor risiko potensial penyakit gagal ginjal kronik (GGK) dapat dilihat
dari faktor klinis dan faktor sosiodemografi. Faktor klinis berkaitan dengan
kondisi kesehatan atau adanya penyakit yang diderita sebelumnya sedangkan
faktor sosiodemografi menekankan kepada kondisi seseorang yang dapat
menyebabkan orang tersebut berisiko terkena GGK.
Tabel 3. Faktor risiko gagal ginjal kronis
Faktor Klinis

Faktor Sosiodemografi

Diabetes
Hipertensi

Usia tua
Kaum minoritas

18

Penyakit autoimun
Infeksi sistemik
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Batu saluran kemih
Obstruksi saluran kemih bawah
Neoplasia
Riwayat GGK pada keluarga
Pernah menderita GGA
Penurunan massa ginjal
Paparan obat
(Berat badan lahir rendah) BBLR
E.

Paparan zat kimiawi di


lingkungan
Tingkat
pendapatan/pendidikan yang
rendah

Klasifikasi
CKD diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya, kategori LFG dan
kategori albuminuria. Menetapkan penyebab CKD berdasarkan ada atau tidak
adanya penyakit sistemik dan kelainan yang berlokasi di dalam ginjal
berdasarkan observasi atau dugaan pada temuan patologi-anatomi, CKD
bukanlah diagnosis dalam dirinya sendiri, dan bahwa menelusuri etiologinya
penting bagi prognosis dan pengobatan.
Penyebab CKD dilihat berdasarkan ada atau tidak adanya penyakit
sistemik yang mendasari (underlying systemic diease) dan jika didapatkan atau
diduga adanya lokasi kelainan patologi anatomi. Perbedaan antara penyakit
sistemik yang mempengaruh ginjal dan penyakit ginjal primer adalah
berdasarkan asal-usul dan lokus dari patogenesis penyakit. Pada penyakit ginjal
primer proses muncul dan hanya terbatas pada ginjal sedangkan pada penyakit
sistemik penyakit ginjal terjadi karena adanya sebab dari penyakit lain yang
mendasari.

Tabel 4. Penyebab CKD berdasarkan penyakit sistemik atau kelainan primer pada
ginjal
Contoh penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal
penyakit glomerular

Diabetes , penyakit sistemik


autoimun , infeksi sistemik , obat ,

19

Contoh penyakit ginjal primer


( tidak adanya penyakit
sistemik yang mempengaruhi
ginjal )
Difus , fokal atau bulan sabit
proliferatif GN ; focal dan

neoplasia ( termasuk amiloidosis )


Penyakit
tubulointerstitial
Penyakit vascular

Penyakit kista dan


penyakit bawaan

Infeksi sistemik, autoimun,


sarkoidosis, obat, neoplasia,
keracunan
Artherosklerosis , Hipertensi,
iskhemik, kolesterol emboli,
vaskulitis systemik, trombotik
mikroangiopati, sklerosis sistemik
penyakit ginjal polikistik , Alport
Sindrom , penyakit fabry

segmental glomerulosklerosis ,
nefropati membranosa , penyakit
perubahan minimal
Infeksi saluran kemih, penyakit
batu ginjal, sumbatan pada
ginjal
Dysplasia fibromuskular ,
ANCA (antibody sitoplasma anti
neutrophil) berhubungan dengan
vaskulitis
displasia ginjal , penyakit kistik
medula , podocytopathies

(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).


Tabel . 5 Kategori LFG pada penderita CKD
GFR (ml/min/1.73m2
Keterangan
>90
normal
60-89
Ringan
45-59
Ringan -Sedang
30-44
Sedang - berat
15-29
Berat
<15
Gagal ginjal
(Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
Kategori LFG diambil berdasarakan kriteria normal pada orang dewasa muda

Kategori GFR
G1
G2
G3a
G3b
G4
G5

normal. Pada penurunan fungsi ginjal ringan (G2) tanpa adanya penanda lainnya
yang khas, bukan merupakan CKD.
Pada individu dengan CKD, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju
filtrasi glomerulus (LFG), yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai LFG
yang lebih rendah berdasarkan ada atau tidak adanya penyakit ginjal.
F. Patofisiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah bernagai macam penyakit merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit ginjal difus dan bilateral,
meskipun lesi obstruktif juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Pada
awalnya, beberapa penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus, sementara
jenis yang lain terutama menyerang tubulus ginjal sehingga mengganggu perfusi
darah pada parenkim ginjal. Bila terus berlanjut seluruh nefron akan hancur gan
diganti jaringan parut.
20

Berdasarkan hipotesis nefron yang utuh (Hipotesis Bricker), mengatakan


bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun
sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika
jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan
elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. (Price et al, 2005).
Hipotesis Briker ini berguna untuk menjelaskan adaptasi fungisional pada
penyakit

ginjal

progresif,

yaitu

kemampuan

untuk

mempertahankan

keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun. Ada dua
adaptasi penting yang dilakukan ginjal sebagai respon terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Yang pertama, sisa nefron yang ada
beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk mengimbangi
beban ginjal. Yang kedua, terjadinya peningkatan filtrasi dan reabsorbsi
glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk seluruh massa
nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal, namun jika 75%
massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban absolut bagi setiap
nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan keseimbangan glomerulus
tubulus tidak dapat dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Dengan meningkatnya jumlah beban zat terlarut, maka kemampuan
memekatkan atau mengencerkan kemih akan berkurang secara progresif,
menyebabkan berat jenis (BJ) urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot
(sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan
nokturia. Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa terhadap
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita sering menahan
cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi
aksis renin dan angiotensin yang akan meningkatkan sekresi aldosteron. Muntah
menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat memeperberat stadium
uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring
dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H +) yang
berlebihan. Penurunan eksresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
21

ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et


al, 2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang
tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoetin adalah suatu
substansi normal yang diproduksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum tulang
untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD produksi erytropoetin
menurun (Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan
kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al, 2005).
Pada penderita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine
penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteoporosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).
Perjalanan penyakit CKD secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu (Price et al, 2005; McCance dan Sue, 2006):
1 Penurunan fungsi Ginjal. Selama stadium ini kratinin serum dan BUN
normal. Gangguan funsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban
2

kerja yang berat pada ginjal.


Insufisiensi ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak
dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR
mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi
ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan
melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Pada stadium
ini

gejala seperti nokturia dan poliuria mulai muncul akibat gangguan

pemekatan urin.

22

Gagal ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia,


asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat dan gangguan
elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia). Keadaan gagal
ginjal terjadi saat GFR 10% dan penyakit mulai memberikan efek pada

sistem organ lain.


ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari gangguan
fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang berat. GFR
hampir tidak ada lagi < 15 ml/min/1.73m 2. Kemampuan reabsorbsi dan
ekskresi juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit,
regulasi cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan
kardiovaskuler, hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik,
gangguan tulang dan mineral juga dapat terjadi.

23

Gambar 3.1 patomekanisme CKD


G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa dan kelainan kardiovaskular (Murray et al., 2007).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang

24

ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan


darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik (Suwitra,
2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC),
feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan
adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007; Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi
ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL
(Suwitra, 2007).
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi
oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat

pengobatan

gagal

ginjal

kronik

yang

adekuat,

misalnya

hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan


pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi

25

maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat
penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
c. Kelainan kulit
Penimbunan pigmen urin (terutama urokrom) bersama anemia terutama
pada CKD trutama akan menyebabkan kulit pasien benjadi putih seakan akan
berlilin dan menjadi kekuning-kuningan. Kulit mungkin akan menjadi kering
dan rapuh.penderita uremia sering mengalami pruritus yang merupakan
manifestasi peningkatan fungsi kelenjar paratiroid dan pengendapan kalsium
dalam kulit (Price, 2005).
e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.
H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis CKD dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria
diagnostic di bawah ini:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan structural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
Dengan manifestasi klinis. Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1,73 selama 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
Tanda (marker) kelainan pada ginjal yang didefinisikan adalah spot urine
rasio albumin, kreatinin >30 mg/g, kelainan sedimen (sel epitel tubulus), studi
pencitraan (ginjal polikistik, hidronefrosis, ginjal mengecil).

26

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium darah
Blood ureum nitrogen (BUN), Kreatinin, Elektrolit (Na,K,Ca,Phospat),
Hematologi (Hb,Trombosit,Ht,Leukosit), Protein, Antibody (kehilangan
protein dan immunoglobulin).
Pemeriksaan Urine
Warna urine, PH urine, berat jenis (BJ), Kekeruhan, Volume, Glukosa,
Protein, Sedimen, sel darah merah (SDM), Keton, sel darah putih (SDP),
creatinin clearance test (TKK/CCT).
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia dan
gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
3. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography Retrograde, Renal Aretriografi dan
Venografi, CT Scan, MRI, Renal biopsi, Pemeriksaan Rontgen dada,
pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.
4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal kandung kemih serta
prostat.
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaa CKD meliputi (Suwitra, 2007):
1

Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30%

27

dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak


2

bermanfaat.
Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien CKD. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan

aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006).


Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2006):
a Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan di
atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-0,8 gr/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya
merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan
sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion
hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga diekskresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien
penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi
nitrogen dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian pembatasan protein
akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain
adalah

asupan

protein

berlebih

akan

mengakibatkan

perubahan

hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan


intraglomerulus yang akan meningkatkan progresivitas pemburukan

28

fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan


pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
b

hiperfosfatemia (Suwitra, 2007).


Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil
risiko

kardiovaskular

pemburukan

juga

kerusakan

sangat

nefron

penting
dengan

untuk

memperlambat

mengurangi

hipertensi

intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi


farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, karena proteinuria
merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal. Beberapa
obat antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal
4

(Suwitra, 2007).
Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi
penyakit

kardiovaskular

adalah

pengendalian

diabetes,

hipertensi,

dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan


gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan
pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan
5

(Suwitra, 2007).
Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi,
yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2007):
a Kerusakan ginjal dengan LFG normal
b Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89 ml/menit) :
c

tekanan darah mulai meningkat


Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia,

anemia,

hiperparatiroid,

hiperhomosisteinemia

29

hipertensi,

dan

Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis

metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia


e Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan
gula darah juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk

berkembang lebih cepat.


Perencanaan tata laksana CKD berdasarkan derajatnya dapat dilihat dalam tabel
berikut.

Tabel 4. Rencana Tatalaksana CKD sesuai dengan Derajatnya


Deraja
t

LFG

Tatalaksana

>=90

60-89

30-59

15-29

Terapi penyakit dasar,


kondisi
komorbid,
evaluasi
pemburukan
fungsi
ginjal,
memperkecil
resiko
kardiovaskular
Menghambat
pemburukan fungsi ginjal
Evaluasi
dan
terapi
komplikasi
Persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal

5
K. Komplikasi

<15

1 Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,


katabolisme dan masukan diet berlebih.
2 Perikarditis akibat terjadinya infeksi akibat efusi pleura dan tamponade jantung akibat
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3 Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiotensinaldosteron.
30

4 Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
penekanan sumsum tulang, defisiensi besi dan asam folat
5 Osteodistrofi ginjal akibat akibat ketidakseimbangan kalsium dan fosfat.
L. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal
atau stadium V. Angka progresivitasnya tergantung dari diagnosis yang
mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien
yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani
transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik.
Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Rahardjo, 2006).
IV.PEMBAHASAN
Pasien datang ke RSMS pada tanggal 23 mei 2016 dengan keluhan nyeri perut
bagian bawah. Keluhan sudah dirasakan sejak 9 hari sebelum masuk ke rumah sakit.
Nyeri perut bawah dirasakan terus menerus sepanjang hari . nyeri perut bawah
dirasakan tidak berkurang dari hari ke hari. Nyeri perut berkurang jika pasien istirahat
dan tiduran, dan bertambah saat aktifitas. Pasien juga mengeluhkan sesak, muntah,
badan lemas, nyeri kepala, BAK sedikit, bengkak di kedua kaki,tangan dan wajah,
tidak bisa tidur serta makan dan minum sulit. Pasien mengatakan muntah, badan
lemas, nyeri kepala, BAK sedikit sejak beberapa bulan yang lalu, dan bengkak di
kedua kaki,tangan dan wajah, tidak bisa tidur serta makan dan minum sulit juga
muncul sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit margono. Muntah berisi makanan
tanpa darah sekitar 2 kali sehari. Menurut pasien dalam sehari BAK kira-kira hanya
sebanyak setengah botol air mineral. Pasien sebelumnya rawat inap di Rumah Sakit
Muhamadiyah Sruweng.
Melalui pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah pasien 150/90 mmHg yang
tergolong hipertensi derajat I menurut JNC VII. Pada pemeriksaan mata kanan dan
kiri didapatkan konjungtiva anemis, edema palpebra dextra et sinistra. Pada
pemeriksaan paru didapatkan ronkhi basah halus pada bagian basal paru kanan dan

31

kiri. Pada pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung kiri bawah di SIC VI 4 jari
lateral LMCS, kiri atas di SIC II 3 jari LPSS. Melalui pemeriksaan abdomen
ditemukan nyeri tekan (+) pada regio hipocondriaca dextra et sinistra dan regio
suprapubik, serta dari palpasi hepar didapatkan hepar teraba 2 jari dibawah arcus
costae dextra. Malalui pemeriksaan ekstrimitas didapatkan edema pada ekstrimitas
inferior.
Melalui pemeriksaan darah ditemukan kadar hemoglobin rendah yaitu 7.9 gr/dl
pada tanggal 24 juni yang menandakan adanya anemia ringan pada pasien ini. Hasil
kimia klinik didapatkan peningkatan kadar ureum dan kadar kreatinin yang
menandakan adanya gangguan fungsi filtrasi ginjal. Hasil pemeriksaan rontgen
thoraks menunjukkan kardiomegaly, tampak corakan milier di kedua lapang paru
suspek TB milier, Efusi pleura dextra et sinistra. Hasil pemeriksaan USG abdomen
didapatkan gambaran Hidronefrosis bilateral grade 1, Suspek massa uteri +- 3,3 cm,
Efusi pleura dextra et sinistra dan ascites, Lien hepar dalam batas normal.
Diagnosis CKD dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria diagnostic di
bawah ini:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan structural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).
Dengan manifestasi klinis. Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk dalam
komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1,73 selama 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
Tanda (marker) kelainan pada ginjal yang didefinisikan adalah spot urine
rasio albumin, kreatinin >30 mg/g, kelainan sedimen (sel epitel tubulus), studi
pencitraan (ginjal polikistik, hidronefrosis, ginjal mengecil).
Pada pasien ini diagnosis CKD ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dimana pada anamnesis didapatkan gejala mual,
muntah, oligouria, nyeri perut bagian bawah, nyeri kepala, leher tegang dan tidak bisa
tidur. Sebelumnya pasien mengatakan sering buang air kecil pada malam hari sejak
beberapa bulan yang lalu (nokturia), akan tetapi sekarang pasien mengatakan justru

32

susah buang air kecil baik saat siang atau malam hari yang menandakan adanya
kegagalan glomerulus dalam menjalankan fungsinya.

Pada pemeriksaan fisik

didapatkan tekanan darah 150/90 pada dua kali pemeriksaan dalam waktu yang
berbeda hal ini dapat disebabkan karena adanya kerusakan fungsi ginjal sehingga
terjadi overload cairan dan menyebabkan tekanan darah meningkat,selain itu juga
didapatkan nyeri tekan pada bagian perut dan nyeri ketok costoveterbra. Pada
pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan ureum dan creatinin meningkat yang
menandakan terjadi penurunan fungsi ginjal akibat adanya kerusakan pada ginjal
yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Pada pasien ini nilai LFG <
15 ml/menit/1,73 yang menandakan adanya kerusakan pada glomerulus. Pada
pemeriksaan USG abdomen didapatkan gambaran hidronefrosis bilateral grade 1
yang menandakan adanya kerusakan pada ginjal pasien yang mengakibatkan
penumpukan cairan pada ginjal. Pada pasien ini didapatkan nilai GFR < 15
mL/min/1.73 m2 dimana pasien termasuk penderita gagal ginjal grade V.
GFR :

( 14038 ) x 44
72 x 25,34

= 2,08 mL/min/1.73 m2

GFR post HD 1:

( 14038 ) x 44
= 2,85 mL/min/1.73 m2
72 x 18,55

GFR post HD 2:

( 14038 ) x 44
= 5.13 mL/min/1.73 m2
72 x 10,32

GFR post HD 3:

( 14038 ) x 44
= 6,95 mL/min/1.73 m2
72 x 7,62

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis CKD et causa suspek glomerulonefritis


kronis. Glomerulonefritis kronis (GNC) ditandai dengan kerusakan glomerulus secara
progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Penyakit
cenderung timbul tanpa diketahui asal-usulnya, dan biasanya ditemukan pada stadium
lanjut, ketika timbul gejala insufuensi ginjal. (Price, Sylvia. Wilson, Lorraine. 2002).
Penyakit Glomerulusnefritis Kronis bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi

33

uremia karena kegagalan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan


keseimbangan cairan serta elektrolit (SmeltzerC, Suzanne. 2002).
Manifestasi klinis Glomelurusnefritis kronis menurut (SmeltzerC, Suzanne,
2002)
a

Kardiovaskuler : hipertensi,

pembesaran vena leher, pitting edema, edema

periorbital, eriction rub pericardial


b

Pulmoner : nafas dangkal, Krekels, Kusmaul, sputum kental dan liat.

Gastrointestinal: Konstipasi / diare, Anoreksia, mual dan muntah, Nafas berbau


ammonia,Perdarahan saluran gastrointestinal ,ulserasi dan perdarahan pada mulut

Muskuloskeletal : Kehilangan kekuatan otot, kram otot, fraktur tulang.

Integumen : Kulit kering bersisik,warna kulit abu-abu mengkilat, kuku tipis dan
rapuh, rambut tipis dan kasar, pruritus, ekimosis

Reproduksi : atrofi testis, Amenore

Pemeriksaan Laboratorium / Diagnostik : Urinalisis ( Proteinuria,berat jenis


meningkat,ditemukan adanya sel sel darah merah dan sel darah putih),
Pemeriksaan darah (peningkatan BUN dan kreatinin, penurunan aktivitas
komplemen darah, peningkatan kadar antistreptolisin, leukositosis ringan,
peningkatan laju sedimen darah, protein reaktif C (CRP),

anemia ringan),

Pemeriksaan rongten dada ( Edema paru,cairan pleura,pembesaran jantung


(terlihat pada dekompensasi jantung))
Pada

pasien

ini

terdapat

beberapa

tanda

gejala

yang

mengarah

ke

glomerulonephritis kronis seperti hipertensi, mual, muntah, peningkatan


kreatinin,edema

paru

dan

pembesaran

jantung

sehingga

di

curigai

glomerulonephritis sebagai penyebab terjadinya CKD.


Diagnosis CHF ditegakkan menggunakan kriteria Framingham berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis dapat ditegakkan apabila
terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor yang muncul
bersamaan. Pada pasien ini terdapat 2 kriteria mayor ( kardiomegaly , ronkhi basah +/
+) dan 2 kriteria minor (edema ektrimitas dan efusi pleura). Oleh sebab itu, pasien ini
didiagnosa CHF serta termasuk dalam NYHA kelas 3 yaitu pasien mengalami

34

keterbatasan bermakna, yang mana pada aktivitas ringan pasien sudah mengalami
kelelahan dan sesak nafas dan berkurang saat istirahat.
Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan tanda umum dan khusus, tanda
klinis,dan hasil pemeriksaan laboratorium. Gejala umum meliputi keluhan lemah,
letih, lesu, cepat lelah, mata berkunang kunang dan telinga berdenging. Gejala khusus
meliputi kollonychia (kuku sendok, kuku muah rapuh dan bergaris garis), atrofi papil
lidah, stomatitis angularis (peradangan pada sudut mulut) dan disfagia. Tanda klinis
meliputi konjungtiva anemis dan bibir sianosis serta dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Pada pasien ini didapatkan
keluhan lemah, letih, lesu, dan cepat lelah, dari pemeriksaan klinis didapatkan
konjungtiva anemis dextra et snistra, serta dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
kadar hemoglobin (7.9 gr/dL) yang menurun dan kadar hematokrit (24%) yang
menurun.

Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh

defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun
kronik (Suwitra, 2007). Pada pasien ini terjadi anemia karena adanya defisiensi asam
folat dan adanya hemolisis akibat dari tingginya ureum pada pasien. Gejala yang
muncul diantaranya adanya gejala mual, muntah yang menyebabkan nafsu makan
menurun sehingga asupan asam folat berkurang sehingga menyebabkan terjadi
anemia. Selain itu juga tingginya kadar ureum dalam darah menyebabkan umur
eritrosit menurun sehingga dapat terjadi anemia.
Diagnosis efusi pleura dapat ditegakkan dengan menggunakan anamnesis,
pemeriksaan fisik,dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan pasien
mengeluh sesak napas yang menandakan terdapat efusi yang cukup luas. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan perkusi redup pada bagian basal hal ini menandakan
terdapat cairan. Pada pemeriksaan rongten thorak didapatkan bayangan opaque pada
thorak bagian bawah serta gambaran sudut kostrofrenikus tidak terlihat yang
menandakan terdapat cairan pada pasien tersebut.

35

Pada pasien ini dapat dilakukan usulan penunjang seperti EKG Untuk melihat
kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan
elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa. Selanjutnya juga dapat dilakukan dapat
dilakukan pemeriksaan renogram untuk menganalisa fungsi ginjal pasien. Selain itu
juga dapat dilakukan foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal serta
apakah ada batu atau obstruksi lain.
Pada pasien ini diberikan beberapa terapi diantaranya IVFD D5% 16 tpm
dimana

dekstrosa

merupahkan

cairan

yang

mudah

dimetabolisme,

dapat

meningkatkan kadar glukosa darah dan menambah kalori. Dekstrosa dapat


menurunkan atau mengurangi protein tubuh dan kehilangan nitrogen, meningkatkan
pembentukan glikogen dan mengurangi atau mencegah ketosis jika diberikan dosis
yang cukup. Dekstrosa dimetabolisme menjadi CO2 dan air, maka larutan dekstrosa
dan air dapat mengganti cairan tubuh yang hilang. Injeksi dekstrosa dapat juga
digunakan sebagai diuresis dan volume pemberian tergantung kondisi klinis pasien.
Pada pasien ini juga diberikan injeksi furosemide 3x2amp. Diuretik umumnya
diperlukan pada penderita penyakit gagal ginjal kronis untuk mengendalikan cairan
ekstraselular (ECF),kelebihan volume dan pengendalian tekanan darah. Berdasarkan
hasil ALLHAT, JNC 7 merekomendasikan diuretik sebagai obat yang sering dipakai
pada kasus dengan hipertensi

esensial untuk menurunkan tekanan darah dan

mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler.(KDOQI Guidelines.2003). Loop diuretik


adalah diuretik yang paling banyak digunakan pada gagal ginjal kronik ,terutama
derajat 4-5, furosemid harus dimulai dengan dosis 40 sampai 80 mg sekali sehari
dengan titrasi semakin meningkat perminggu sebesar 25% sampai 50% tergantung
pada respon dan volume ECF. Setelah dosis efektif

dicapai, frekuensi dapat

ditentukan dari kebutuhan klinis tertentu. Jika tidak ada kondisi tertentu yang
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium (sindrom nefrotik, gagal jantung, atau
sirosis), respon diuretik cepat terjadi hanya dengan dosis titrasi yang terukur. Respon
natriuretik maksimal terjadi dengan dosis bolus intravena 160-200 mg furosemid,

36

atau dosis setara dengan bumetanide dan torsemide, dan sedikit dapat dicapai dengan
menggunakan lebih besar doses. Pada pasien dengan kondisi tertentu
menyebabkan reabsorpsi natrium meningkat, respon

yang

loop diuretic dihubungan

dengan tingkat keparahan penyakit yang mendasarinya, dan dosis yang jauh lebih
tinggi dari furosemida mungkin diperlukan untuk mencapai sebuah diuresis.
Pemberian injeksi ceftriakson 2x1 amp bertujuan untuk mendeteksi dan
mencegah terjadinya infeksi pada pasien gagal ginjal kronik. Pemberian injeksi
ranitidine dan bicnat secara oral bertujuan untuk mengurangi gejala gastrointestinal
seperti mual dan muntah pada pasien. Dimana pemberian ranitidine akan menekan
produksi asam lambung sehingga gejala yang timbul akibat produksi asam lambung
yang berlebih akan semakin berkurang. Pemberian anemolat 3x1 bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan asam folat pada pasien, karena pada penyakit gagal ginjal
kronik juga terjadi anemia karena defisiensi asam folat karena adanya gangguan
intake makanan pada pasien. Pemberian calos 3x1 tab bertujuan untuk mencegah dan
mengobati gangguan metabolism atau kekurangan kalsium pada pasien gagal ginjal
kronik.
Pasien dianjurkan untuk bedrest karena aktifitas fisik yang berat dapat
menyebabkan perfusi darah keginjal berkurang sekitar 20% sehingga dapat
memperberat penyakit gagal ginjal. Diet tinggi kalori dan rendah

protein. Diet

rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan
nausea dari uremia. Pasien ini juga dilakukan hemodialisa dengan tujuan untuk
mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air
yang berlebihan. Hemodialisis merupakan pengalihan darah pasien dari tubuhnya
melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi kemudian darah kembali
lagi ke dalam tubuh pasien.Hemodialisis suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau
end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi panjang atau permanen.

37

V. KESIMPULAN
1. pasien ini merupakan penderita CKD derajat 5
2. perjalanan penyakit CKD terdapat beberapa tahapan yaitu penurunan fungsi
ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal, End Stage Renal Disease.
3. Diagnosis CKD ditegakan dengan adanya , Kerusakan ginjal >3 bulan, yaitu
kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus berdasarkan Kelainan patologik dan petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan radiologi serta
Laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m selama >3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
4. Terapi pada CKD sesuai derajatnya meliputi Terapi Spesifik terhadap
Penyakit Dasarnya, Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid,
Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal, Pencegahan dan Terapi terhadap
Penyakit Kardiovaskular, Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi, Terapi
Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi.

38

DAFTAR PUSTAKA
Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease.
US Nephrology: 13-7.
Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick DZ.,
Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and Classification of
Chronic Kidney Disease: A Position Statement from Kidney Disease:
Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney International: 67; 2089-2100.
Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010. Common
Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease: Therapeutic
Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.
McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease in
Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.
Murray L., Ian W., Tom T., Chee K C. 2007. Chronic Renal Failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Edisi ke-7. New York: Oxford University. 29497.

39

Nahas, M.E. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS, Davison AM.
Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University Press.
2003; hal 1648-98.
PERNEFRI. 2011. Fourth Annual Report of IRR 2011. Jakarta: 2011.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses
perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.
Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI: 579-580
Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus
SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3.

40

Anda mungkin juga menyukai