149-Article Text-524-1-10-20190304
149-Article Text-524-1-10-20190304
Abstract
This reformation era, bureucracy in Indonesia are not many change, both in central government or local government.
Burecracy behavior at reformation era is resemble with New Orde era. Although central government are many policy
about burecracy reform, but burecracy behavior are not many change. Bureucracy in Indonesia still is patrimonialism.
For bureucracy reform, both sentral goverment or local goverment, necessary bring into reality good governance.
oleh hubungan pribadi dan politik. organisasi perangkat daerah sesuai dengan
Munculnya birokrasi patrimonial di kebutuhan daerah. Daerah diberikan hak untuk
Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan membentuk perangkat daerah, termasuk di
dari system nilai tradisional yang tumbuh di dalamnya berupa lembaga teknis daerah,
masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan apabila ada kebutuhan daerah untuk itu.
bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Dengan demikian, pembentukan organisasi
Jadi, selain tumbuh birokrasi modern tetapi perangkat daerah merupakan hak daerah.
warisan birokrasi tradisional juga mewarnai Tetapi persoalannya sekarang birokrasi daerah
dalam perkembangan birokrasi di Indonesia. dalam membentuk dinas dan perangakat
Sama seperti halnya abdi dalem dan priyayi daerah cenderung untuk memperbesar struktur
yang juga berlapis-lapis, Pegawai Negeri pun organisasinya. Kasus beberapa daerah
terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan menunjukkan bahwa proliferasi dilakukan
eselon. Semboyan Pegawai Negeri adalah abdi lebih dikarenakan untuk mengakomodasikan
negara mengandung makna berorientasi ke tekanan birokrasi yang berkembang terus
atas, sehingga mirip dengan birokrasi kerajaan, dibandingkan untuk mengakomodasikan
ambtenaar. Birokrasi lebih menekankan pada perkembangan fungsi karena kebutuhan riil
mengabdi ke atas dari pada ke bawah sebagai masyarakat yang harus dilayani. (Afadlal, 2003)
pelayanan kepada masyarakat. Kecenderungan suatu daerah untuk
Kini, apakah model atau cap birokrasi memperbesar struktur organisasi, memang
seperti diungkapkan di atas masih tetap melekat sudah suatu yang inheren dari sifat organisasi
dalam birokrasi di Indonesia? Seharusnya yang namanya birokrasi. Aparat birokrasi akan
secara teoritis sudah berubah yang tidak lagi berusaha menciptakan struktur baru tanpa
seperti itu, tetapi harus menuju pada birokrasi melihat kebutuhan dan kemampuan dana yang
ala Weber di mana birokrasi benar-benar ada. Dalam konteks menciptakan struktur yang
menekankan pada aspek efisiensi, efektivitas, besar ini orang kerap menyebutnya sebagai
profesionalisme, merit system, dan pelayan birokrasi ala Parkinson. Ciri-ciri dari birokrasi
masyarakat. Mengapa? Hal ini karena zaman ala Parkinson adalah (1) setiap pejabat
telah berubah dengan adanya era reformasi negara berkeinginan untuk meningkatkan
dan otonomi daerah, maka seharusnya jumlah bawahannya; dan (2) mereka saling
birokrasi mengalami perubahan paradigma memberi kerja (yang tidak perlu). Akibatnya,
di mana birokrasi harus memposisikan diri birokrat cenderung meningkatkan terus jumlah
sebagai abdi masyarakat, efisien, efektif, dan pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas
profesionalisme. yang harus mereka lakukan. (Hans Dieter dan
Tilman Schiel 1990:228) Hal tersebut tentu
sangat bertolak belakang dengan birokrasi
ala Weber, yang menginginkan suatu birokrasi
yang efisien, efektif, rasional dan profesional.
Birokrasi model ini, kerap disebut sebagai Tipe
POTRET BIROKRASI Ideal (Ideal Type) dari birokrasi.
Struktur birokrasi yang “membengkak” ini,
UU Otonomi Daerah mengemukakan
tampaknya, untuk mengakomodasi limpahan
tentang kewenangan daerah untuk membentuk
pegawai pusat yang semula tersebar di kantor 10 ayat (6), sebanyak-banyak delapan.
wilayah yang ditransfer menjadi pegawai Keluarnya PP yang mengatur tentang
daerah. Tapi dari struktur yang membengkak Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah ini
seperti itu berdampak pada inefisiensi ternyata tidak digubris oleh sejumlah daerah.
Pemerintahan. Hal ini karena sebagian besar Dengan tidak melakukan restrukturisasi
dana APBD digunakan untuk belanja pegawai. pada lembaga-lembaga daerah yang ada.
Kasus Kabupaten Bima dan Pandeglang, Beberapa alasan mengapa organisasi daerah
misalnya memperlihatkan hal tersebut di mana tidak melakukan restrukturisasi. Pertama,
hampir 83% sampai 90% dialokasikan untuk restrukturisasi menyebabkan reposisi terhadap
belanja rutin, sedang sisanya untuk belanja sejumlah jabatan. Untuk melakukan reposisi
pembangunan. (Afadlal, 2003) tersebut akan menghadapi kendala karena
Dampak lain dari struktur yang “gemuk” orang yang direposisi akan di tempatkan
adalah terjadi tumpang tindih dalam fungsi dan pada posisi yang tidak sehat nantinya.
tugas di antara Dinas dan atau Badan/Kantor Satu-satunya jalan adalah pensiun, namun
dengan Biro atau bagian-bagian yang ada di persoalan ini ternyata juga tidak mudah. Kedua,
bawah Sekda. Contoh adanya tumpang-tindih restrukturisasi tidak dilakukan karena struktur
tersebut terlihat dari keberadaan BKD yang organisasi yang disusun benar-benar sesuai
tumpang tindih dengan Bagian Kepegawaian, dengan kebutuhan yang ada.
Badan Informasi dan Komunikasi dengan Dalam hal manajemen Pemerintah
Humas, Dinas Sosial dengan Bagian Daerah cenderung salah kelola (mis-
Kesejahteraan Sosial, dan Bappeda dengan management), karena pusat manajemen
Bagian Keuangan dan Pembangunan (Romli, Pemerintahan ada pada Kepala Daerah
dalam Afadlal Ed, 2003). (Bupati/Wali Kota). Terpusatnya kewenangan
Dengan kondisi struktur organisasi pada Kepala Daerah ini menjadi persoalan
yang besar tersebut, sebenarnya direspon yang delematis. Di satu sisi dalam era otonomi
oleh Pemerintah Pusat sebagai suatu gejala daerah ini, daerah-daerah telah memiliki
yang “tidak baik”. Hal ini karena di samping kewenangan sangat luas dan tidak lagi
dianggap tidak efisien akan berdampak pada diatur oleh Pemerintah Pusat, sehingga
besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk secara berangsur sentralisasi akan berkurang
pembiayaan (high cost), juga untuk beberapa sehingga desentralisasi dapat diwujudkan.
daerah sebagai “kiat” untuk memperoleh Tetapi di sisi lain, dengan adanya kewenangan
DAU (Dana Alokasi Umum) yang besar dari yang besar pada Kepala Daerah sebagai Top
Pemerintah Pusat. Dalam konteks untuk Manejer Pemerintah Daerah akan menciptakan
mencegah kedua hal tersebut, Pemerintah sentralisasi baru di tingkat lokal yang terpuast
Pusat melalui Departemen Dalam Negeri kepada Kepala Daerah.
(Depdagri) menerbitkan PP No. 8 Tahun 2003, Sentralisasi baru yang terpusat pada
yang membatasi jumlah Dinas dan lembaga Bupati dan Walikota, di satu pihak memang
teknis daerah. Dalam Pasal 9 ayat (4) PP akan memperpendek jalur kenaikan pangkat
tersebut disebutkan jumlah Dinas daerah dan promosi bagi pegawai serta pejabat
sebanyak-banyaknya 14 Dinas. Sementara di daerah. Namun demikian di pihak lain,
untuk Lembaga Teknis Daerah, dalam pasal kekuasaan yang terpusat dan begitu besar di
tangan para Kepala Daerah tersebut akan aturan-aturan legal-formal. Oleh karena
berdampak pada munculnya penyimpangan, yang terjadi muncul hubungan yang bersifat
penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi personal, berdasarkan pertemanan, dan like
dalam praktik birokrasi lokal. Akibatnya, and dislike dalam promosi jabatan. Dengan
hubungan-hubungan yang bersifat personal demikian, tampaknya model birokrasi ala
dan nepotis dengan Kepala Daerah, kerap lebih Weberian yang menekankan profesionalisme,
menentukan karier seorang birokrat ketimbang impersonal, dan legal-formal masih belum eksis
prestasinya dan kinerjanya secara obyektif. dalam tubuh birokrasi di Indonesia. Belum
(Haris dalam Afadlal.Ed, 2003:64) berkembangnya birokrasi ala Weber dan masih
Kondisi di daerah tersebut tidak jauh dominannya model birokrasi patrimonial, telah
berbeda juga dengan kondisi birokrasi di menghambat proses demokrasi di Indonesia
Pemerintah Pusat. Birokrasi Pemerintahan pada satu sisi dan peningkatan pelayanan
di pusat tampaknya tidak mengalami publik di sisi lain.
perubahan yang berarti di era reformasi ini Birokrasi kita memang sejak awal jauh
yang relatif hampir masih sama ketika di dari tipe ideal birokrasi modern ala Max Weber,
masa Pemerintahan Orde Baru. Semasa yang lebih sering diberi konotasi negatif seperti
Orde Baru birokrasi telah dijadikan sebagai adanya mekanisme dan prosedur kerja yang
mesin politik yang imbasnya harus membayar berbelit-belit dan penyalahgunaan status.
biaya yang mahal oleh masyarakat. Timbulnya Sebagaimana pengertian Weber, birokrasi
ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, kita lebih mendekati birokrasi patrimonial, dan
dan ketidakpastian siapa yang bertanggung bukan tipe birokrasi yang modern. Dalam
jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya penerapan hirarki birokrasi corak jabatan dan
layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan perilaku lebih didasarkan pada hubungan
birokrasi justru menjadi salah satu causa patron-client (bapak-anak buah).
prima terhadap maraknya korupsi, kolusi disamping itu juga birokrasi saat ini masih
dan nepotisme. Pejabat politik yang mengisi kental diwarnai nilai-nilai feodalistik. Birokrasi
birokrasi Pemerintah sangat dominan. Kondisi ala indonesia yang priyayi dan menerapkan
ini cukup lama terbangun sehingga membentuk strata sosial rakyat tak lebih adalah wong cilik
sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik sebagai obyek dalam sistem pemerintahan
dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan. pola brokrasi disini telah terjadi penjungkir-
(www.transparansi.or.id) balikan tesis Weber tentang rasionalitas
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagai wujud keberadaan birokrasi modern.
birokrasi di Indonesia, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah, masih mewarisi REFORMASI BIROKRASI
model birokrasi patrimonial. Model birokrasi
Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki
seperti ini menunjukkan perilaku dan mentalitas
raport buruk, khususnya semasa Orde Baru
sebagai penguasa yang harus dilayani daripada
yang telah menjadikan birokrasi sebagai mesin
sebagai aparat yang harus melayani publik.
politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus
Pola hubungan yang terjadi lebih bersifat
membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian
personal, di mana faktor kedekatan dan
waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian
loyalitas pribadi lebih dikedepankan daripada
siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa