Anda di halaman 1dari 3

Kedai Kereta Tanpa Suara

Kupercepat laju langkahku/ untuk mengejar kereta/ yang sudah berjalan lima puluh detik
lalu//. Kuraih gagang besi panjang/ dan kuangkat kaki sebelah kananku untuk menginjak lantai
gerbong kereta//. Hampir saja aku terpeleset/ karena pijakan kakiku yang kurang pas/, sebelum
akhirnya tangan kiriku/ membantu tangan kananku untuk memperkuat pegangan pada gagang
besi kereta//.

Kuhela napas lega/ sambil membenahi tali sepatu kananku yang lepas/ akibat terinjak
kaki kiriku saat lari mengejar kereta tadi//. Namun/, tanpa kusadari/ ketika aku sudah selesai
menali sepatuku/, telingaku tak bisa mendengar apa-apa//. Bukan/, bukan tak bisa mendengar/
tapi memang tak ada yang bisa kudengar/ kecuali suara laju kereta yang mengeluarkan kepulan
asap berkali-kali//. Padahal/ banyak orang di gerbong kereta//. Namun/, memang benar telingaku
tak bisa mendengar berisiknya mereka//. Mungkin itu hanya halusinasiku saja//. Tak kuambil
pusing//. Langsung kucari tempat duduk yang nyaman/, kebetulan masih ada beberapa kursi yang
kosong//.

Kupilih duduk sendiri di dekat jendela//. Kupandangi pemandangan/ yang disajikan


Tuhan/ untuk para pelancong di kereta//. Jika banyak orang yang suka dengan pemandangan
alam/, aku lebih suka pemandangan manusia//. Aku suka melihat tingkah laku manusia/ yang
aneh/ dan unik//. Membuatku seperti menonton drama/ tanpa tahu endingnya//.

Sekarang/ kulihat anak-anak berumur tujuh tahunan/ sedang duduk-duduk di bak mobil
yang terbuka/ sambil memakan es krim//. Mereka saling menertawakan satu sama lain/ karena
wajah yang belepotan akibat saling mencolekkan es krim/ ke wajah masing-masing//. Di tempat
lain/, kulihat remaja/ yang masih berseragam sekolah putih abu-abu/ sedang asyik-asyiknya
mengepulkan asap dari mulut dan hidung mereka/ sambil kedua tangannya membanting kertas
bermotif//. Kulihat ada tawa kebebasan/ di wajah mereka/, tapi ada rasa sesak/ menyelimuti dada
dan pikiran mereka//. Entah karena sering mengisap/ atau masalah pribadi/, yang jelas/ mereka
terlihat sangat bahagia/ bisa melarikan diri dari suatu masalah kehidupan//.

Lalu/, di persimpangan jalan lain/ kulihat ada seorang lelaki/ sedang menjemput anaknya
pulang dari sekolah//. Awalnya/ kulihat raut wajah lelaki itu nampak suram//. Ada garis-garis
wajah yang membuatnya terlihat lebih tua dari umurnya//. Ketika anaknya keluar dari gerbang
sekolah/ seketika raut wajahnya berubah//. Tak nampak lagi raut wajah suram/ juga garis-garis
menua//. Yang ada/ hanya senyuman tulus seorang ayah/ kepada anaknya//. Kemudian lelaki itu
menggandeng anaknya untuk masuk ke mobil/. Setelah menutup pintu untuk anaknya/, raut
wajahnya berubah lagi seperti semula//. Aku rasa ia berbakat sekali menjadi seorang aktor//.

Tiba-tiba kereta yang kunaiki berhenti/, ini mengherankan/, karena kereta tidak bisa
berhenti jika tidak di stasiun pemberhentian//. Banyak orang melangkah maju/ untuk melihat apa
yang sedang terjadi//. Namun/, saat itu aku masih belum bisa mendengar ceracau mereka/,
bahkan langkah kakinya//. Aku penarasan dengan apa yang terjadi/, belum sempat kulihat apa
yang ada di depan/. Para penumpang memperlihatkan ekspresi kaget masih tanpa suara//. Hanya
gerakan layaknya pemain pantomim//.

Kulihat di depan kereta ada kakek yang berjalan di atas rel/. Entah apa tujuannya/, tapi
tingkah lakunya membuat orang heran bukan kepalang//. Terlebih dengan kereta yang mendadak
berhenti sendiri//. Kakek itu memakai pakaian compang camping/, dengan membawa sepotong
es krim di tangan kanannya/, sedangkan tangan kirinya membawa putung rokok yang sesekali
diisapnya/, juga kartu remi yang nampak terlihat di saku celananya di bagian kiri//. Ia berjalan
dengan santainya/, melangkah mengikuti arah laju rel kereta api/, membelakangi kereta yang
mendadak berhenti//.

Tak kulihat wajahnya karena ia terus berjalan maju/. Sedangkan orang-orang di dalam
gerbong kereta/ masing-masing sibuk menceracau tanpa suara/, hanya mulut yang komat kamit/
dan gerakan tangan yang seperti mengutuk dan menghina kakek itu//. Aku turun dari gerbong/
dan mencoba mendekati kakek itu//. Ketika aku tepat berdiri di belakangnya/, kupanggil dia/,

kek?! Baru sadar aku juga tak bersuara.

Membuatku semakin bingung/, hingga tak sengaja/ kujatuhkan ponsel genggamku/ tepat
di besi rel kereta//. Tiba-tiba saja kakek itu menoleh ke belakang/ dan melihatku/. Bisa kulihat
raut wajahnya dengan jelas/, juga garis-garis wajahnya yang familiar di kepalaku//.

Nak, ponselmu jatuh. Katanya memberitahuku.

Sebentar/, tadi aku mendengar suaranya/, aku bisa mendengar seseorang berbicara//. Aku
semakin dibuat bingung/, dunia apa ini?//
Nak, ponselmu jatuh. Kudengar perkataan itu lagi/, namun kali ini suara wanita/ dan aku
tidak mengenalnya.//

Ini ponselmu!. Kulihat ada nenek yang mengambilkan ponselku yang jatuh/ kemudian
memberikannya kepadaku/ lantas ia pergi tanpa permisi//.

Kulihat sekitarku/, aku masih dalam posisi yang sama/, duduk di kursi dekat jendela//.
Bukan hanya aku/, tapi juga keretanya//. Ternyata kereta yang kunaiki/ tidak berjalan sejak tadi//.
Baru kutahu/ setelah kubaca tulisan di kaca depan/ kalau kereta ini adalah kereta api yang tak
berfungsi lagi,// yang kemudian dijadikan sebuah kedai kopi untuk para lelaki//. Sedangkan
nenek yang mengambilkan ponselku/ adalah pekerja paruh waktu di kedai ini//. Yang membuat
pikiranku tak pernah berhenti merasa heran/ adalah kedai ini begitu banyak pengunjung yang
lalu lalang/, para pelayan yang sibuk melayani/ dan membersihkan sisa-sisa makanan di meja
tamu/, namun tak kudengar satupun bunyi suara di kedai ini//. Seperti dunia pantomim//. Benar-
benar tanpa suara//.

Orang-orang menyebutnya Kedai Kereta Tanpa Suara./ Seseorang membisikiku/, dan


ternyata nenek itu.//

Oleh Janah, Pegiat FPM IAIN Ponorogo

Akun Instagram @njuan_ah, nomer HP 0822 1796 9894

Anda mungkin juga menyukai