Anda di halaman 1dari 97

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam suatu negara, pembangunan bertujuan mewujudkan hidup yang lebih

baik dari sebelumnya untuk kesejahteraan bersama. Karena itu baik atau tidak nya

suatu pembangunan tidak dilihat dari segi fisiknya namun juga harus diimbangi

segi nonfisik, diantaranya sejauh mana usaha pemerintah dalam meningkatkan

kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial sangat penting untuk dievaluasi karena

hal ini sangat berpengaruh terhadap ekonomi dan stabilitas suatu pemerintah.

Dampak yang ditimbulkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap

kesejahteraan sosial adalah melemahkan ketahanan sosial masyarakat.

Permasalahan kesejahteraan sosial ini memang tidak akan seluruhnya dapat

diatasi namun hal ini harus dapat ditekan serendah mungkin dan pemerintah

menanganinya dengan serius untuk mewujudkan pembangunan yang merata ke

segala lapisan masyarakat. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk

menanggulangi permasalahan kesejahteraan sosial diantaranya melalui perbaikan

sarana sosial.

Seperti program rehabilitasi perawatan kesehatan panti jompo, penyediaan

sarana untuk orang cacat, bimbingan dan latihan keterampilan. Orang dapat

dipulihkan kesahatannya, dibuat mampu untuk mengatasi kekecewaan emosinya,

atau dilatih untuk mampu mengerjakan pekerjaan yang menghasilkan. Banyak

orang miskin dapat memetik manfaat dari program rehabilitasi semacam itu, dan
2

banyak orang yang dapat dihindarkan dari kemiskinan dari program sejenis itu.

Seiring dengan upaya itu, terdapat pula usaha penciptaan lingkungan masyarakat

sebagai tempat yang memudahkan bagi para penyandang cacat tubuh. (horton dan

hunt, 1984: 53).

Dinas Sosial adalah kelembagaan pemerintah yang melaksanakan tugas

umum pemerintah daerah di bidang kesejahteraan sosial sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, tugas dinas di bidang sosial khusunya

rehabilitasi sosial PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial)

Di kota Bandung juga ada dinas sosial dan penanggulangan kemiskinan

yang di bentuk pada tahun 2017. Berdasarkan PERDA (peraturan daerah) Kota

Bandung no. 8 tahun 2016. Selain itu juga dibentuk berdasarkan peraturan

walikota Bandung no. 1383 tahun 2016 tentang kedudukan, susunan, organisasi,

tugas, dan fungsi serta tata kerja dinas sosial dan penanggulangan kemiskinan

kota Bandung.

Dalam susunan struktur organisasi dinas sosial tersebut ada Divisi kerja

UPT Pusat Kesejahteraan Sosial yang dibentuk untuk memudahkan warga miskin

dan rentan miskin di daerah terkait untuk menjangkau layanan perlindungan sosial

dan penanggulangan kemiskinan yang dikelola oleh pemerintah pusat, provinsi,

kabupaten/kota, pemerintah desa/kelurahan dan swasta/CSR. Dimana pemerintah

atau dinas sosial diharapkan menyediakan kontribusi aturan dan anggaran untuk

pelaksanaan puskesos.
3

Dalam UPT PUSKESOS Kota Bandung ini ada pekerja sosial yang

berjumlah 7 (tujuh) orang, mereka bertugas memberikan pelayanan dan

rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk, motivasi dan diagnosa psikososial,

perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan,

bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, serta bimbingan lainnya yang

dimaksud memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang

mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara

wajar bagi PMKS.

Pekerja sosial sendiri adalah seseorang yang melakukan pertolongan

kepada orang yang mengalami disfungsi sosial dengan disertai kemampuan

khusus dibidang ilmu pengetahuan, kemampuan dan nilai agar dapat kembali

berfungsi secara sosial. Beragam praktek telah dilakukan oleh pekerja sosial di

indonesia termasuk yang dilakukan di Dinas Sosial Kota Bandung.

Di Kota Bandung sendiri ada 23 jenis PMKS yang di antaranya

dikelompokan menjadi: (1) kemiskinan, (2) keterlantaran, (3) disabilitas, (4)

ketunaan sosial dan penyimpangan prilaku, (5) korban bencana, (6) keterasingan,

serta (7) korban tindak kekerasan, marjinal, perdagangan orang, eksploitasi dan

diskriminasi.

menurut kepala UPT PUSKESOS Kota Bandung bapak Handian. SS.,

MTHM. yang saya wawancari jenis PMKS tersebut bisa bertambah seiring

dengan berjalannya waktu dan modernitas akan muncul jenis PMKS baru

dilingkungan masyarakat. Kemajuan teknologi juga berpengaruh terhadap


4

terhadap munculnya jenis PMKS baru seperti yang beliau tuturkan misalnya anak

kecil yang lebih suka bermain gadget (hand phone) dan main game play station,

bermain ke warnet ketimbang bersosialisai dengan keluarga atau orang-orang

dilingkungan sekitar. Hal ini akan menimbulkan disfungsi sosial yang

memungkinkan munculnya jenis PMKS baru.

Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan kepada PMKS sewaktu

pkl menjadi asisten pekerja sosial yang secara langsung dan ikut serta dalam

segala hal kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial pada senin, 2 Juli 2018 di

dinas sosial kota Bandung, pada saat itu ada 4 orang PMKS diantaranya anak

jalanan dan pengemis yang saya wawancarai satu persatu alasan mereka turun ke

jalanan karena faktor ekonomi walaupun mereka mengakui mempunyai kerjaan

sebagai serabutan karena hanya tamatan sekolah SD/SMP pendapatan dari

seorang serabutan atau pekerja panggilan tidak menentu dan tidak mencukupi

untuk kebutuhan pokok sehari-hari.

Semua program-program yang dilakukan oleh dinas sosial untuk

mensejahterakan PMKS tidak semuanya bisa diterima dan berhasil diterapkan

oleh PMKS itu sendiri. Dengan alasan faktor ekonomi kebanyakan PMKS yang

telah terkena razia terus di rehabilisasi sosial, diberi motivasi, pelatihan dan

pembinaan kewirausahaan serta kegiatan pembinaan lainnya yang dimaksudkan

untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan mereka. Memberikan

pengalaman baru atau keahlian untuk memulai usaha sendiri agar dapat
5

menjalankan fungsi sosialnya secara wajar tetapi mereka terjun kembali ke

jalanan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukakan pengkajian tentang program kerja dinas sosial, kegiatan yang

dilakukan dinas sosial, dan solusi yang sudah dilakukan oleh dinas sosial untuk

memotivasi dan mensejahterakan PMKS, maka peneliti tertarik untuk

mengadakan penelitian lebih lanjut, dan mengangkatnya dalam judul:

“Kontribusi Pekerja Sosial Dalam Menigkatkan Motivasi Penyandang masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS)” (Penelitian Di Panti Rehabilitasi UPT PUSKESOS

Dinas Sosial Kota Bandung).

1.2. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka diidentifikasi masalahnya

adalah sebagai berikut :

1.2.1. Program kerja yang dilakukan pekerja sosial kurang maksimal untuk

PMKS

1.2.2. PMKS yang keluar masuk rehabilitasi dinas sosial kota Bandung

1.2.3. Sarana dan prasarana yang kurang mendukung kegiatan untuk

mengatasi masalah PMKS di dinas sosial kota Bandung.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan Identifikasi Masalah tersebut, maka rumusan masalahnya

dapat diketahui adalah sebagai berikut:


6

1.3.1. Apa program panti rehabilitasi PMKS dalam mangatasi masalah

PMKS di kota Bandung?

1.3.2. Apa program para pekerja sosial yang dilakuakan di panti rehabilitasi

PMKS Dinas Soial Kota bandung untuk Para PMKS?

1.3.3. Apa saja faktor pendorong dan penghambat dalam proses rehabilitasi

PMKS oleh pekerja sosial di dinas sosial kota Bandung?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisannya adalah

sebagai berikut:

1.4.1. untuk mengetahui program yang dilakukan pekerja sosial dalam

mengatasi PMKS di dinas sosial kota Bandung.

1.4.2. untuk menegetahui kegiatan yang dilakuakan selama di rehabilitasi

dalam membina dan memotivasi PMKS di dinas sosial kota Bandung.

1.4.3. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat dalam proses

rehabilitasi PMKS di dinas sosial kota Bandung.

1.5. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan penulis diharapkan mempunyai 2 (dua)

kegunaan utama, yaitu (1) Kegunaan Praktis dan (2) Kegunaan Akademis.

1.5.1. Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi atau

dapat dikembangkan lebih lanjut khusunya bagi permasalah yang ada saat ini di
7

daerah kota Bandung bidang kesejahteraan sosial. Sebagai masukan juga untuk

membangun dan meningkatkan efektifitas program yang ada di lembaga dinas

sosial dan penanggulangan kemiskinan divisi kerja UPT Pusat Kesejahteraan

Sosial Kota Bandung, termasuk para pekerja yang ada di dalamnya serta

pemerintah secara umum.

1.5.2. Kegunaan Akademis

a) Bagi Penulis

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai peran

pekerja sosial dalam meningkatkan motivasi penyandang masalah

kesejahteraan sosial (PMKS).

b) Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini mudah-mudahan dapat menjadi tambahan

informasi dan menambah ilmu pengetahuan mengenai peran pekerja sosial

dalam meningkatkan motivasi penyandang masalah kesejahteraan sosial

(PMKS).

c) Bagi Pengembang Ilmu

Sebagai informasi khususnya mengenai peran pekerja sosial dalam

meningkatkan motivasi penyandang masalah kesejahteraan sosial

(PMKS). Serta penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu

pengetahuan tentang peran pekerja sosial sehingga dapat lebih

meningkatkan efektifitas kerja di lungkungan dinas sosial.


8

1.6. Kerangka Pemikiran

Lembaga sosial adalah sistem hubungan sosial atau tata kelakuan yang

memiliki nilai-nilai, norma, serta prosedur tertentu guna untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat khususnya di bidang sosial. Salah satunya

bidang sosial yang di bangun adalah Pusat Kesejahteraan Sosial yang ada dalam

divisi kerja Dinas Sosial Dan Penanggulangan Kemiskinan. Lembaga ini

bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dan untuk menuju masyarakat yang

bebas dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Pada pembahasan mengenai Dinas Sosial dan penanggulangan kemiskinan

ini, maka penulis memfokuskan pada Pekerja Sosial (PekSos) yang ada pada

satuan kerja Divisi UPT Pusat Kesejahteraan Sosial Kota Bandung yang

tempatnya berlokasi di JL, Babakan Derwati Rancasari Kota Bandung. Pekerja

Sosial ini berperan sebagai pemberdaya PMKS yang mempunyai tugas untuk

Perlindungan dan Pemberdayaan Sosial lingkup pemberdayaan PMKS.

Program-program yang dibuat Pekerja Sosial dirancang semaksimal

mungkin supaya dapat mensejahterakan para PMKS dan merekapun bisa

merasakan peran dari Pekerja Sosial terhadap kehidupan Sosial Mereka supaya

bisa hidup normal seperti masyarakat pada umumnya. Dan lebih termotivasi bagi

para PMKS supaya ingin belajar dan keahlian untuk mendapatkan kerja yang

layak juga agar mereka bisa diterima dimasyarakat dan bisa berinteraksi dengan

baik dilingkungan setempat.


9

Peran sosial merupakan pola prilaku yang diharapkan (expected behaviour)

yang berkaitan dengan status atau kedudukan sosial seseorang dalam suatu

kelompok atau situasi sosial. Konsep ini dapat dijelaskan lagi dengan melihat

masyarakat sebagai sistem interaksi sosial yang berdasarkan kepada saling

harapan pelaku-pelakunya. aneka peran perlu dibedakan dari susunan peran (role

set), suatu Peran sosial tidak terjadi secara sendirian. Suatu peran biasanya

berkaitan dengan peran-peran lain yang saling melengkapi. Kelompok peran yang

saling melengkapi ini dikenal sebagai susunan peran. Sebagai contoh, susunan

peran seorang dokter terdiri dari pasien, perawat, bidan, pekerja sosial, dan

sebagainya (Rahman, 2011:93-94).

Tata hubungan antara peran pekerja sosial dalam memotivasi Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) terletak pada pola sikap dan interaksi pada

keduanya yang berwujud peraturan serta kebijakan baik dari pihak lembaga yaitu

Pekerja Sosial maupun dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sendiri. Hal itu

dikenal dengan Structural Fungsional Talcot Person sebagai fungsi Latency

(Pemeliharaan).

Fungsi pemeliharaan itu, berfungsi memelihara pola tata hubungan peran

diantara lembaga (Pekerja Sosial) kepada PMKS dalam melindungi atau merawat

PMKS tersebut dalam bentuk program-program yang dapat menjadikan para

PMKS tersebut sejahtera dan bisa hidup serta berbaur sebagaimana masyarakat

pada umumnya. Program-program dan aturan yang ada di Dinas Sosial Dan

Penanggulangan Kemiskinan Divisi Kerja UPT Pusat Kesejahteraan Sosial


10

tersebut merupakan sarana untuk mengatur hak dan kewajiban antara Dinas Sosial

yang di dalamnya ada pekerja sosial dan PMKS yang terdapat di Dinas Tersebut.

Yang dimaksud fungsi disini diartikan sebagai segala kegiatan yang

diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan kebutuhan dari sebuah

sistem (Raho, 2007:53). Fungsi ini menurut Talcott parson dibutuhkan oleh semua

sistem secara bersama-sama untuk bisa bertahan dan demi keberlangsungan

hidupnya, fungsi ini bagian dari unit analisis Talcott parson yang disebutnya

dengan AGIL. AGIL adalah singkatan dari Adaptation (A). Goal Attainment (G),

Intergratioan (I), dan Latency (Pattern maintenance) (L).

Menurut Ritzer dan Smart (2001:302), setiap entitas relatif subsitem-diri

terkait lingkungan yang memenuhi syarat sebagai sebuah sistem sosial. Keragka

fikir AGIL ini relevan dengan organisasi-organisasi di dalam misalnya Dinas

Sosial Dan penanggulangan Kemiskinan ini adapun dari fungsi-fungsi dari AGIL

tersebut, yakni:

Pertama, Adaptation yaitu fungsi yang dimiliki oleh semua sistem untuk

menyesuaikan dirinya dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dari sistem

tersebut. contoh konkritnya adalah mengenai peraturan Dinas Sosial atau dari

pekerja sosial dan respon PMKS. Dinas sosial ataupun UPT Pusat Kesejahteraan

Sosial harus menyeimbangakan atau mengedaptasikan peraturan yang dibuat

dengan keadaan PMKS dan para PMKS juga harus beradaptasi dengan peraturan-

peraturan dari dinas atau UPT Pusat Kesejahteraan Sosial demi tercapainya
11

kelangsungan hidup mereka. Jika keduanya saling beradaptasi satu sama lain,

maka akan memunculkan keseimbangan.

Kedua, Goal Attainment yaitu fungsi yang dimiliki oleh sebuah sistem untuk

dapat mendefinisikan dan mencapai tujuannya. Misalnya pada suatu lembaga

yang menangani atau mengurusi para PMKS dalam hal ini Dinas Sosial Dan

Penanggulangan Kemiskinan Divisi Kerja UPT Pusat Kesejateraan Sosial. Jika

dalam keduanya tidak dapat menentukan tujuannya sama maka tentunya Para

PMKS atau pihak Dinas Sosial itu tidak akan dapat menjalankan fungsinya.

Sebaliknya, jika keduanya memiliki tujuan yang sama yakni mencapai

kesejahteraan, maka kemungkinan besar kesejahteraan itu akan tercapai.

Ketiga, Integration yaitu fungsi yang dimiliki oleh sistem dalam rangka

mengatur hubungan bagian-bagian dalam komponen sistem tersebut dan aktor-

aktor didalamnya. Fungsi ini juga berperan dalam mengelola hubungan ketiga

fungsi lainnya dalam skema AGIL. Misalnya peraturan-peraturan yang tertera di

pihak Dinas Sosial yang merupakan tata tertib maupun hal yang berkaitan dengan

norma kesejahteraan para PMKS sebagai output dari hasil tersebut (Integration).

Keempat, Latency yaitu fungsi yang dimiliki suatu sistem untuk

memperlengkap, memelihara dan memperbaiki, pada tingkat individu maupun

tingkat kultural. Contohnya bila dalam suatu lembaga memiliki kemampuan

mengawasi kelembagaan dengan baik maka lembaga tersebut akan baik. Dalam

hal ini Dinas Sosial ataupun di divisi UPT Pusat Kesejahteraan Sosialnya, jika

pemeliharaan Dinas Sosial tersebut tidak baik dan proses dalam mensejahterakan
12

PMKS tidak baik, maka lembaga tersebut tidak akan baik pula sebaliknya, jika

pemeliharaan Dinas Sosial baik dan dalam proses mensejahterakan PMKS nya

baik, maka keadaan Dinas Sosial tersebut pasti akan baik dan akan terciptanya

kesejahteraan para PMKS juga.

Gambar 1.1

Struktur Sistem Tindakan Umum

Latencty Integration

(Sistem Kultural) Sistem Sosial

Adaptation Goal Kepribadian


(Oraganisme Prilaku) (Sistem Kepribadian)

Pada skema sistem tindakan tersebut, dapat dilihat bahwa Parsons

menekankan pada hirarki yang jelas. Pada tingkatan yang paling rendah yaitu

pada lingkungan organis, sampai pada tingkat yang paling tinggi, realitas terakhir

dan pada tingkatan integrasi menurut sistem Parsons terjadi atas dua cara.
13

Pertama, masing-masing tingkat yang paling rendah menyediakan kondisi

atau kekuatan yang diperlakukan untuk kegiatan yang lebih tinggi. Kedua, tingkat

yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada di bawahnya.

Berdasarkan analisi kerangka pemikiran diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang terlantar

akan lebih terjamin kehidupannya jika ada suatu lembaga yang bertanggung jawab

yakni Dinas Sosial Dan Penanggulangan Kemiskinan Divisi Kerja UPT Pusat

Kesejahteaan Sosial Kota Bandung. Dinas tersebut mempunyai peran dan fungsi

untuk mensejahterakan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Untuk memudahkan pemahaman mengenai Peran Pekerja Sosial Dalam

Memberi Motivasi terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS),

penulis menggambarkan skema kerangka pemikiran seperti dibawah ini:

Gambar 1.2

Skema Kerangka Pemikiran

Pekerja Sosial

Kesejahteraan
Struktur Fungsional
PMKS

Motivasi
14

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Penelitian Terdahulu

Dasar atau acuan teori-teori, temuan-temuan melalui berbagai penelitian

sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat dijadikan sebagai data

pendukung. Dalam penulisan penelitian ini, penulis mendapati penelitian

terdahulu yang mendekati relevan dengan judul atau masalah yang peneliti tulis,

yang diantaranya sebagai berikut :

Aceng ibrahim, dalam studinya Peran Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Meningkatkan Keterampilan Masyarakat Miskin (Studi Deskriftif PKBM (Pusat

Kegiatan Belajar Masyarakat) Raharja Kelurahan Antapani Kidul Kecamatan

Antapani Kota Bandung). Hasil penelitian menunjukan: (1) upaya yang dilakukan

untuk meningkatkan keterampilan masyarakat miskin melalui program pendidikan

dan ekonomi yaitu dengan persiapan, pendataan dan pelaporan, pemetaan,

pelaksanaan, analisis, program dukungan, dan evaluasi. (2) program yang

dilakuakan pusat kegiatan belajar masyarakat raharja meliputi pendidikan anak

usia dini (PAUD), pendidikan kesetaraan, keterampilan seperti keterampilan

menjahit, peltihan memasak, mengemudi, komputer, bahasa asing, dan taman

bacaan masyarakat namun yang diprioritaskan yaitu dalam program keterampilan

dalam memberdayakan masyarakat miskin. (3) Dampak yang dihasilkan itu

tingkat kesejahteraan masyarakat berubah menjadi sejahtera karena segala aspek


15

yang dilakukan oleh PKBM Raharja mempunyai tujuan untuk memberdayakan

masyarakat agar taraf hidupnya lebih baik dan sejahtera (Ibrahim, Skripsi, 2017).

Relevansinya dengan peneltian saya dimana penelitian terdahulu ini tujuan

utamanya untuk mensejahterakan masyarakat miskin melalui program-program

yang dilakukan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sama halnnya

dengan penelitian yang saya lakukan yang bertujuan untuk mensejahterakan

PMKS dengan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh dinas sosial kota

bandung. Yang jadi perbedaan nya dari penelitian ini objeknya hanya masyarakat

miskin dan tidak melalui lembaga seperti dinas sosial dalam pelaksanaan

programnya.

Selanjutnya dalan studi, Gilang Ramadhan yang berjudul Peran Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

(Studi Deskriptif Desa Cibeunying Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung).

Hasil penelitian menunjukan bahwa, proses pembentukan lembaga pemberdayaan

masyarakat (LPM) di Desa Cibeunying berawal pada tahun 2007 yang dilatar

belakangi dengan pembangunan kesejahteraan sosial di Desa Cibeunying yang

masih sangat minim pihak desa tergerak untuk mendirikan suatu lembaga

kemasyarakatan yang langsung dinaungi oleh pihak pemerintah desa. Kegiatan

LPM Desa Cibeunying membentuk kelompok-kelompok usaha masyarakat yang

berkontribusi sebagai kelompok usaha penyedia lapangan kerja baru dan sebagai

pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat Desa Cibeunying. Hasil yang di


16

capai LPM sejatinya adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat baik

dalam segi sandang, pangan dan papan (Ramadhan, Skripsi, 2018).

Perbedaan penelitian terdahulu ini dengan penelitian yang saya lakukan

adalah masalah penelitian saya tentang bagaimana kontribusi pekerja sosial dalam

meningkatkan motivasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

dimana lebih ke bersifat dorongan secara psikologis namun juga dibantu dengan

program-program yang dilaksanakan oleh dinas sosial Kota Bandung. Kalau

penelitian ini upaya mensejahteraan masyarakat desa dengan di bentuknya

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang membuat kelompok usaha

masyarakat lebih ke bantuan morilnya.

Neng Yeni Pitria, dalam studinya Implementasi Peraturan Daerah Nomor 24

Tahun 2012 Tentang penyelenggaraan Dan Penanganan kesejahteraan Sosial di

Kota Bandung. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Implementasi Kebijakan

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 24 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan

dan penanganan kesejahteraan sosial sejuah ini belum efektif dalam menjalankan

kebijakan penanganan gelandangan dan pengemis. Terdapat hambatan, dalam

aspek sumber daya manusia dinas sosial Kota Bandung kekurangan dalam

menangani gelandangan dan pengemis. Sumber daya dari segi fasilitas dinas

sosial belum memadai 100% selesai sehingga banyak gelandangan dan pengemis

yang sudah ditertibkan oleh SATPOL PP kembali lagi turun kejalan (Pitria,

Skripsi, 2017).
17

Relevansi penelitian terdahulu ini bisa menjadi bahan acuan mekanisme

program yang dilakuakan Dinas Sosial berdasarkan kebijakan praturan daerah dan

bagaimana peng Implementasian kebijakan tersebut supaya bisa lebih efektif

dalam pelaksanaan kerjanya. Sehingga PMKS yang terjaring razia dan telah

direhabilitasi di dinas sosial tidak kembali turun kejalanan

Imas Siti Masitoh, dalam studinya Pola Pembinaan Lembaga Sosial

Terhadap Para Pengemis (Studi di Balai Rehabilitasi Sosial Binaan Karya

(BRSBK) Cisarua Bandung). Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa

secara garis besar program kegiatan pembinaan yang diadakan di BRSBK ini

sangat berpengaruh terhadap klien, terlepas dari sedikit banyaknya perubahan

yang dialami oleh para klien. Misalnya, setelah mendapatkan pembinaan, para

klien pada dasarnya semakin memahami hakikat keberadaannya baik sebagai

makhluk tuhan maupun makhlus sosial. Adapun faktor penunjang kegiatan

pembinaan ini adalah dengan tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang

dari instansi-instansi terkait serta adanya semangat dan keinginan yang kuat dari

para klien dalam mengikuti pembinaan (Masitoh, Skripsi, 2010).

Perbedaan penelitan terdahulu ini dengan penelitan terdahulu ini dengan

penelitian yang saya lakukan setelah mendapatkan pembinaan pengemis di

BRSBK mengalami perubahan dan pada dasaarnya semakin memahami hakikat

keberadaannya baik sebagai makhluk tuhan maupun makhluk sosial. Sedang di

penelitian setelah mendapatkan pembinaan PMKS di rehabilitas tidak banyak

mengalami perubahan melahan mereka turun lagi kejalanan setelah di rehabilitasi.


18

2.2. Pekerja Sosial

2.2.1. Pengertian Pekerja Sosial

Pekerja sosial adalah orang yang melaksanakan pekerjaan sosial sebagai

profesi. Jadi pekerja sosial yang dibicarakan di sini adalah pekerja sosial

profesional, yaitu mereka yang telah mengikuti pendidikan pekerjaan sosial

disuatu lembaga pendidikan tinggi pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial.

Menurut studi kurikulum yang di sponsori oleh the Council on Social Work

Education dalam tahun 1959 dinyatakan bahwa, pekerja sosial berusaha untuk

meningkatkan keberfungsian sosial individu, secara sendiri-sendiri atau dalam

kelompok, dengan kegiatan-kegiatan yang dipusatkan pada hubungan-hubungan

sosial mereka yang merupakan interaksi antara orang dan lingkungannya.

Kegiatan-kegiatan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga fungsi: pemulihan

kemampuan yang terganggu, penyediaan sumber-sumber individu dan sosial, dan

pencegahan disfungsi sosial (Fahrudin, 2012:59-60).

Siporin (1975) mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut: “Social

work is defined as a social institutional method of helping people to prevent and

to resolve their social problems, to restore and enhance their social functioning.”

Pekerja sosial diartikan sebagai sebuah metode lembaga sosial yang membantu

orang mencegah dan memecahkan masalah-masalah sosial mereka, untuk

mengembalikan dan meningkatkan keberfungsian sosial mereka. Lebih lanjut

Siporin menyatakan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu institusi sosial, suatu

profesi pelayanan manusia, dan suatu seni praktik teknis dan ilmiah. Dalam meta-
19

institusi kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial mempunyai posisi pokok dan

sejumlah fungsi dasar yang merupakan tugas-tugas kemasyarakatan. Fungsi-

fungsi inti dan pelayanan-pelayanan pertolongan khusus dalam sistem

kesejahteraab sosial dilaksanakan oleh anggota-anggota profesi pekerjaan sosial

dalam bentuk apa yang disebut sebagai praktik pekerjaan sosial (Fahrudin,

2012:61).

2.2.2. Pekerjaan Sosial Sebagai Profesi

Dalam tahun 1915, Abraham Flexner dalam konferensi tentang amal dan

koreksi di baltimore mempertanyakan apakah pekerjaan susatu profesi.

Berdasarkan kriteria yang digunakannya, Flexner berkesimpulan bahwa pekerjaan

sosial belum merupakan suatu profesi. Atas dasar ini, mereka berusaha dengan

giat untuk mengembangkan landasan ilmu pengetahuannya. Kebetulan pada

waktu itu di Amerika mulai dikembangkan ajaran Sigmund Freud tentang

psikoanalisis ini merasa bahwa pengetahuan ini dapat diterapkan dalam pekerjaan

sosial. Para pekerja sosial yang lain juga berusaha mencari landasan ilmu

pengetahuan lain yang dapat memperkuat status pekerjaan sosial sebagai profesi.

Dalam tahun 1957, Ernest Greenwood menulis artikel tentang atribut suatu

profesi. Kriteria profesi yang dikemukakan oleh Greenwood adalah sebagai

berikut:

1. Suatu profesi mempunyai pengetahuan dasar dan mengembangkan

sekumpulan teori yang sistematik yang mengarahkan keterampilan-


20

keterampilan praktik; persiapan pendidikan haruslah bersifat intelektual

ataupun praktikal.

2. Kewenangan dan kredibilitas dalam hubungan klien-tenaga profesional

didasarkan atas penggunaan pertimbangan dan kompetensi profesional.

3. Suatu profesi diberi kekuatan untuk mengatur dan mengontrol keanggotaan,

praktik profesional didasarkan atas pengguanaan pertimbangan dan

kompetensi profesional.

4. Suatu profesi mempunyai kode etik pengaturan yang mengikat, yang dapat

ditegakkan, ekplisit, dan sistematik yang memaksa prilaku etik oleh

anggota-anggotanya.

5. Suatu profesi dibimbing oleh budaya nilai-nilai, norma-normal, dan simbol

dalam suatu jaringan organisasi dari kelompok-kelompok formal dan

informal, sebagai saluran untuk profesi itu berfungsi dan melaksanakan

pelayanan-pelayanannya.

Dengan kriteria tersebut, keberadaann profesi pekerjaan sosial di Indonesia

sekarang ini dapat dinilai apakah sudah merupakan profesi atau belum (Fahrudin,

2012:63-65)

2.2.3. Unsur-unsur Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial sebagai profesi mempunyai empat unsur utama, yang

umumnya, tiga unsur diantaranya dikatakan sebagai pengetahuan, sikap, dan

keterampilan. Tetapi kalau kita teliti lebih jauh, sikap dan keterampilan sudah

bersatu dengan individunya, sedangkan pengetahuan terlepas dari individu. Sikap


21

adalah kecenderungan yang relatif bertahan lama dari seorang individu untuk

mengamati, merasakan, berfikir, dan bertindak dalam suatu cara tertentu terhadap

suatu objek tertentu. Sedangkan keterampilan adalah kemahiran dalam

menerapkan pengetahuan dan dalam menggunakan dan teknik tertentu.

Hepworth, Rooney, dan Larsen (2002) juga menyatakan bahwa unsur-unsur

inti yang mendari pekerjaan sosial dimanapun di praktikkan adalah sebagai

berikut:

1. Maksud/tujuan profesi itu.

2. Nilai-nilai dan etika.

3. Dasar pengetahuan praktik langsung.

4. Metode-metode dan proses-proses yang dilakukan.

Dengan demikian seseorang yang memamsuki lembaga pendidikan

pekerjaan sosial akan mempelajari pengetahuan, nilai-nilai serta etika, dan metode

serta teknik pekerjaan sosial dari lembaga pendidikan tersebut. setelah semua itu

dipelajari dan dikuasai, maka dalam diri calon pekerja sosial ini akan terbentuk

“kemampuan melakukan analisis (dilandasi oleh pengetahuan), “sikap” (dilandasi

oleh nilai-nilai yang diyakini dan dianut), dan “keterampilan” (dilandasi oleh

metode dan teknik yang telah di pelajari dan dikuasai). Dengan berpedoman pada

ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, serta dibimbing oleh nilai-nilai yang

dianutnya, pekerja sosial menggunakan keterampilannya dalam membantu

indiviu, kelompok atau masyarakat (Fahrudin, 2012:66).


22

2.2.4. Misi, maksud dan Tujuan Pekerjaan Sosial

Misi utama profesi pekerjaan sosial menurut NASW adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan manusia (human well-being) dan membantu

memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, dengan perhatian khusus pada

kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang rawan, tertindas, dan miskin. Demikian

pula Dewan Pendidikan Pekerjaan Sosial (CSWE) menggambarkan profesi

pekerjaan sosial sebagai mempunyai komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan

manusia dan untuk mengurangi kemiskinan dan penidasan. Pekerjaan sosial

berusaha untuk memperkuat keberfungsian orang dan meningkatkan efektivitas

lembaga-lembaga dalam masyarakat yang menyediakan sumber-sumber serta

kesempatan-kesempatan bagi warganya yang menyumbang kepada kesejahteraan

masyarakat.

Misi pekerjaan sosial tersebut diterjemahkan menjadi tujuan pekerjaan

sosial yang memberikan arah yang lebih luas. Tujuan praktik pekerjaan sosial

menurut NASW adalah:

1. Meningkatkan kemampuan-kemampuan orang untuk memecahkan

masalah, mengatasi (coping), perkembangan.

2. Menghubungkan orang dengan sistem-sistem yang memberikan kepada

mereka sumber-sumber, pelayanan-pelayanan, dan kesempatan-

kesempatan.
23

3. Memperbaiki keefektifan dan bekerjanya secara manusiawi dari sitem-

sistem yang menyediakan orang dengan sumber-sumber dan pelayanan-

pelanyanan.

4. Mengembangkan dan memperbaiki kebijakan sosial.

Selain keempat tujuan itu, Zastrow (2008) juga menambahkan empat tujuan

lagi yang dikemukakan oleh CSWE sebagai berikut:

1. Meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi kemiskinan,

penindasan, dan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial lainnya.

2. Mengusahakan kebijakan, pelayanan, dan sumber-sumber melalui advokasi

dan tindakan-tindakan sosial dan politik yang meningkatkan keadilan

sosial dan ekonomi.

3. Mengembangkan dan menggunakan penelitian, pengetahuan, dan

keerampilan yang memajukan praktik pekerjaan sosial.

4. Mengembangkan dan menerapkan praktik dalam konteks budaya yang

bermacam-macam (Fahrudin, 2012:66-67).

a) Pemberdayaan dalam Pekerjaan Sosial

Beberapa unsur umum yang menandai proses pemberdayaan adalah sebagai

berikut:

1. Memusatkan pada kekuatan-kekuatan. Walaupun pekerjaan sosial

menyadari adanya masalah dan kekurangan-kekurangan yang ada pada

klien, tetapi yang lebih ditekankan dan dikemukakan pada klien adalah

adanya kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan yang ada pada


24

mereka untuk dikembangkan lebih lanjut. Menekankan kekuatan dan

kemampuan yang ada pada klien lebih dapat mendorong mereka untuk

melakukan perubahan atas situasinya ketimbang mengemukakan masalah

dan kekurangan-kekurangannya.

2. Bekerja secara kolaboratif. Ini sesuai dengan salah satu prinsip dalam

pekerjaan sosial, yaitu partisipatif. Klien harus terlibat secara integral

dalam proses perubahan, mulai dari merumuskan situasi mereka sampai

penentuan tujuan, memiliki rangkaian tindakan, dan mengevaluasi

hasilnya. Klien dipandang sebagai kolega, atau bahkan sebagai ahli dan

konsultan dalam proses perubahan atas situasinnya.

3. Secara kritis memikirkan tentang pengaturan struktural. Pekerja sosial perlu

memeriksa secara kritis pengaturan sosio politis yang mungkin membatasi

akses pada sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan. Pemikiran kritis

mempertanyakan pengaturan struktural yang ada, distribusi kekuatan dan

kewenangan, dan akses pada sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan.

4. Menghubungkan kekuatan pribadi dan kekuatan politis. Kekuatan pribadi

meliputi kemampuan individu untuk mengontrol kehidupannya dan

memengaruhi lingkungannya. Kekuatan politis adalah kekuatan untuk

merubah sistem, mendistribusikan kembali sumber-sumber, membuka

struktur kesempatan, dan mengorganisasi kembali masyarakat.

Berpartisipasi dalam perumusan kebijakan sosial merupakan jalan untuk

melaksanakan kekuatan politis untuk perubahan sosial yang kondusif

(Fahrudin, 2012:69-70).
25

2.3. Motivasi

2.3.1. Pengertian Motivasi

Motivasi didefinisikan dari kata motif yaitu sebagai upaya yang mendorong

kepada seseorang insividu atau kelompok untuk melakukan sesuatu yang lebih

baik. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari alam dan didalam subjek

untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Motif

juga dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi intern atau ke siapsiagaan. Maka

motivasi dapat diartikan sebagai upaya atau daya penggerak yang telah menjadi

aktif. terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan mendesak

Motif akan secara cepat aktif disaat seperti itu.

Menurut Mc. Donald, mendefinisikan motivasi sebagai perubahan energi

dalam diri seseorang yang akan ditandai dengan munculnya feeling dan didahului

dengan adanya tanggapan terhadap tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan

Mc. Donald ini mengandung tiga elemen penting.

1. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap

individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa

perubahan energi di dalam sistem “neurophysiological” yang ada pada

organisme manusia karena menyangkut perubahan energi manusia

(walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya

akan menyangkut kegiatan fisik manusia.


26

2. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/”feeling”, afeksi seseorang.

Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan,

afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.

3. Motivasi akan diransang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini

sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi yakni tujuan. Motivasi

memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena

terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan.

Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.

Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan

kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu,

dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakan

perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi itu dapat dirancang oleh faktor dari luar

tetapi motivasi itu adalah tumbuh didalam diri seseorang (Sardiman, 2012:73-75).

Oemar Hamalik (2004:173) menjelaskan motivasi dapat berupa dorongan-

dorongan dasar atau internal dan intensif diluar indivisu atau hadiah. Motivasi

adalah proses membangkitkan, mempertahankan, dan mengontrol minat-minat.

Pendapat lain mengenai motivasi juga dikemukakan oleh Dimyati dan Mudjiono

(2009:80) yang mengatakan bahwa motivasi dipandang sebagai dorongan mental

yang menggerakan dan pengarahan prilaku manusia, termasuk prilaku belajar.

Berdasarkan penegertian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan

suatu dorongan yang dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu, dan juga
27

sebagai pemberi arah dalam tingkah lakunya, salah satunya dorongan seseorang

untuk belajar.

2.3.2. Fungsi Motivasi

Motivasi memliki fungsi bagi seseorang, karena motivasi dapat menjadikan

seseorang mengalami perubahan kearah yang lebih baik. Motivasi juga dapat

mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

Sehubungan dengan hal tersebut ada tiga fungsi motivasi :

1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang

melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak

dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

2. Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.

Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang

harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang

harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan

perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi lain. Motivasi dapat berfungsi

sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seorang melakukan suatu

usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan

menunjukan hasil yang baik. Dengan kata lain, dengan adanya usaha yang
28

tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar ini

akan dapat melahirkan prestasi.

Oemar Hamalik (2004:175) menjelaskan fungsi motivasi antara lain:

mendorong timbulnya kelakuan atau sesuatu perbuatan. Perbuatan belajar akan

terjadi apabila seseorang tersebut memiliki motivasi, sebagai pengarah, artinya

dapat menjadi jalan agar mampu menuju arah yang ingin dicapai. Sebagai

penggerak, berfungsi sebgai mesin bagi mobil. Kecilnya motivasi akan

menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.

Berdasarkan fungsi motivasi diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi

motivasi adalah memberikan arah dalam meraih apa yang diinginkan, menentukan

sikap atau tingkah laku yang akan dilakukan untuk mendapatkan apa yang

diinginkan dan juga sebagai pendorong seseorang untuk melakukan aktivitas.

2.3.3. Macam-macam motivasi

Berbicara tentang macam atau jenis motivasi ini akan dapat dilihat dari

berbagai sudut pandang. Dengan demikian, motivasi atau motif-motif yang aktif

itu sangat bervariasi.

1. Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya.

a. Motif-motif bawaan.

Yang dimaksud dengan motiv bawaan adalah motif yang dibawa sejak

lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari sebagai contoh misalnya:

dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan untuk


29

bekerja, untuk beristirahat, dorongan seksual. Motif-motif ini

seringkali motif-motif yang disyaratkan secara biologis relevan dengan

ini, maka Arden N. Frandsen memberi istilah jenis motif Physiological

drives.

b. Motif-motif yang dipelajari.

Maksudnya motif yang timbul karena dipelajari sebagai contoh:

dorongan untuk belajar suatu cabang ilmu pengetahuan, dorongan

untuk mengajar sesuatu didalam masyarakat. Motif-motif ini seringkali

disebut dengan motif-motif yang diisyaratkan secara sosial. Sebab

manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia yang

lain, sehingga motivasi itu terbentuk (Sardiman, 20012: 85-86).

2.4. Definisi PMKS

Dalam Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan

Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya

kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan

mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Kementerian Sosial RI (Kemsos RI) memberikan istilah penduduk yang tertinggal

dalam proses pembangunan nasional sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial (PMKS). PMKS adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat

yang oleh karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat

melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik

jasmani, rohani dan maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan,

kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, kete-lantaran,


30

disabilitas, ketunaan sosial, keter-belakangan, keterasingan atau ketertinggalan,

dan bencana alam maupun bencana sosial (muslim dan Sismoro, Jurnal DASI, No.

2, Juni 2014:46).

2.4.1. Jenis PMKS

Dalam e-book panduan pendataan PMKS-PSKS, Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disebut PMKS adalah perseorangan,

keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan,

atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat

terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara

memadai dan wajar. Saat ini terdapat 26 jenis PMKS, (Asyhari dan Handoyo,

Jurnal Paradigma, No. 3, 2016:3). yaitu:

Tabel 1.1

No Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)


1 Anak balita terlantar
2 Anak terlantar
3 Anak yang berhadapan dengan hukum
4 Anak jalanan
5 Anak dengan kedisabilitasan
6 Anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah
7 Anak yang memerlukan perlindungan khusus
8 Lanjut usia terlantar
9 Penyandang disabilitas
10 Tuna susila
11 Gelandangan
12 Pengemis
13 Pemulung Kelompok minoritas
14 Kelompok minoritas
15 Bekas warga binaan lembaga pemasyarakatan (BWBLP)
16 Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
17 Korban penyalahgunaan NAPZA Korban trafficking
31

18 Korban trafficking
19 Korban tindak kekerasan
20 Pekerja migran bermasalah sosial (PMBS)
21 Korban bencana alam
22 Korban bencana sosial
23 Perempuan rawan sosial ekonomi
24 Fakir miskin
25 Keluarga bermasalah sosial psikologis
26 Komunitas adat terpencil
32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian yang bertujuan

untuk memahami suatu gejala yang dialami oleh masyarakat dengan cara

deskriptif dengan maksud untuk menjelaskan dan menggambarkan kejadian-

kejadian yang sedang berlangsung disebut penelitian kualitatif.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,

bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberi suatu gambaran secara lengkap.

Menurut Hadari, ciri-ciri metode deskriptif adalah seperti memusatkan

perhatiannya pada masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat pada saat

penelitian ini dilakukan atau masalah sosial tersebut bersifat aktual, serta

menggambarkan fakta-fakta tentang masalah sosial tersebut yang sedang di

selidiki sebagaimana adanya serta diiringi dengan interpretasi rasional yang tepat.

Caranya dengan mengumpulkan, dan menganalisa data-data yang ada kaitannya

dengan objek kajian penelitian tersebut (Hadari, 2003:63-64).

Metode ini sangat cocok dengan masalah penelitian penulis yang hendak

menggambarkan tentang Peran pekerja sosial dalam meningkatkan motivasi

PMKS Penelitian menggunakan metode deskriptif yang dimulai dari

mengumpulkan data-data lapangan, dengan data yang diperoleh dari hasil

observasi ataupun wawancara kepada kepala UPT Pusat Kesejahteraan Sosial dan

para pekerja sosial yang merupakan bagian dari divisi kerja dinas sosial serta para
33

penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang berkaitan dengan

penelitian ini. Kemudian penulis menganalisanya dan diakhiri dengan

memberikan kesimpulan terhadap masalah diatas, kemudian dibuatkan laporan

penelitiannya.

3.2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

sumbernya diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Data tersebut menjadi data

sekunder kalau dipergunakan orang yang tidak berhubungan langsung dengan

penelitian yang bersangkutan. Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan

sendiri pengumpulannya oleh peneliti misalnya dari Biro statistik, majalah,

keterangan-keterangan atau publikasi lainnya.

Menurut Loftland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah

kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan

lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dimana data dapat di

peroleh. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data yaitu:

3.2.1. Data Primer

Data primer penelitian ini di dapat melalui lokasi penelitian yaitu dari

observasi dan wawancara yang penulis lakukan kepada kepala UPT Pusat

Kesejahteraan Sosial dan juga kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial

(PMKS) yang berkaitan dengan penelitian ini.


34

3.2.2. Data Sekunder

Data sekunder yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diangkat dan

merupakan data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti.

Sumber data sekunder ini diambil dari buku-buku, surat kabar, internet, skripsi

dan publikasi lainnya yang mendukung dalam penelitian ini.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan sebagai akibatnya teknik

pengumpulan data yang sesuai dengan jenis penelitian tersebut yang digunakan

untuk memenuhi kebutuhan persepsi, pendapat. Teknik pengumpulan data yang

digunakan sebagai berikut:

4.4.1. Observasi

Sebagaimana alat pengumpulan data ilmu sosial lainnya, maka observasi

menurut penguasaan keahlian-keahlian (skills) tertentu. Observasi adalah

mengamati (watching) dan mendengar (listening) perilaku seseorang selama

beberapa waktu tanpa melakukan manipulasi atau pengendalian, serta mencatat

penemuan yang memungkinkan atau memenuhi syarat untuk digunakan ke dalam

tingkat penafsiran analisis. Observasi yang digunakan disini diarahkan pada

tingkah laku sosial yang alamiah.

Adapun ciri-ciri dalam observasi adalah:

1. Dapat menangkap keadaan (konteks) sosial alamiah tempat terjadinya

perilaku.

2. Dapat menangkap peristiwa yang berarti atau kejadian-kejadian yang

mempengaruhi realitas sosial para partisipan.


35

3. Mampu menentukan realitas serta peraturan yang berasal dari falsafah atau

pandangan masyarakat yang diamati.

4. Mampu mengidentifikasi keteraturan (regularities) dan gejala-gejala yang

berulang dalam kehidupan sosial dengan membandingkan dan melihat

perbedaan dari data yang diperoleh dalam suatu studi dengan data studi dari

keadaan (setting) lingkungan lainnya.

Tujuan pokok observasi adalah untuk mengamati tingkah laku manusia

sebagai peristiwa aktual, yang memungkinkan kita memandang tingkah laku

sebagai proses. Pencatatan informasi tentang cara-cara individu yang sebenarnya

bertindak dalam norma masyarakat yang relatif dari seorang ke orang lain,

mengamati bentuk dinamika tingkah laku alamiah. Dan kedua dari tujuan

observasi adalah untuk menyajikan kembali gambaran-gambaran kehidupan

sosial, kemudian dapat diperoleh cara-cara lain. Berkaitan dengan hal ini sering

digunakan secara berdampingan data lain untuk mendapatkan kualitas kehidupan

atau realitas penemuan-penemuan penelitian secara keseluruhan dari seorang

peneliti (James dan Dean, 2001:267).

Dengan demikian akan didapatkan permasalahan yang kemudian

ditanyakan kepada informan. Cara penghimpunan bahan-bahan keterangan

dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan sistematis

terhadap fenomena di lokasi penelitian, perubahan dan simbol apa saja yang

sering terjadi. Metode ini dilakukan sebagai bentuk usaha pengumpulan data di

lapangan secara langsung yang di mulai dengan mengidentifikasi tempat yang

hendak diteliti (Faco, 2010:112).


36

Penulis melakukan observasi sebagai pengamatan untuk memperoleh data

secara langsung dari sumber primer, khususnya untuk melihat keadaan PMKS dan

pekerja sosial. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi

partisipasi yang disesuaikan dengan objek atau sasaran yang diamati. Peneliti

melibatkan diri secara langsung dalam aktivitas pekerja sosial untuk melakukan

pengamatan dan ikut mengambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang akan

diobservasi untuk menunjang data dalam penelitian ini.

4.4.2. Wawancara

Metode ini merupakan suatu percakapan yang dilakukan untuk

mengumpulkan data tentang berbagai hal dari seseorang atau sekumpulan orang

secara lisan dan langsung. Wawancara adalah mencakup cara yang diperlukan

seseorang untuk suatu tugas tertentu untuk mendapatkan keterangan secara lisan

dari seorang responden dengan bercakap-cakap tatap muka dengan orang itu

(Koentjaraningrat (1983:129).

Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan

keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-

pendirian itu merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi

(pengamatan). Peneliti dalam pelaksanaan pengumpulan data di lapangan, peneliti

melakukan wawancara yaitu dengan melakukan metode wawancara mendalam.

Sesuai dengan pengertiannya, wawancara mendalam bersifat terbuka. Pelaksanaan

wawancara tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan berulang-ulang dengan

intensitas yang tinggi. Peneliti tidak hanya “percaya dengan begitu saja” pada apa

yang dikatakan informan, melainkan mengecek dalam kenyataan melalui


37

pengamatan. Itulah sebabnya cek dan ricek dilakukan secara silih berganti dari

hasil wawancara ke pengamatan di lapangan, atau dari informan yang satu ke

informan yang lain (Bungin, 2001:100).

Koentjaraningrat menambahkan bahwa dalam menjalankan wawancara

yang dapat menarik sebanyak mungkin keterangan dari informan dan dapat

menumbuhkan rapport yang sebaik-baiknya memang merupakan kuat kepandaian

yang hanya dapat dicapai dengan pengalaman. Melakukan wawancara biasanya

amat terbatas oleh kemampuan tenaga, tidak hanya di responden, tetapi juga dari

si peneliti. Wawancara mendalam termasuk pula wawancara tidak berstruktur

yang bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua

responden. Wawancara tak berstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaan dan

susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara,

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara. Mulyana dan Junaedi

(2010:181)

Wawancara secara mendalam (depth interview) untuk mengetahui

tanggapan, sikap, dimana penulis melakukan wawancara secara langsung dengan

menyiapkan sejumlah pertanyaan sebelumnya. Wawancara kenyataan yang

dialami dan dilihat oleh informan. Wawancara ditunjukkan kepada ketua upt pusat

kesejahteraan sosial dan anggota (pekerja sosial) serta PMKS yang ada dalam

binaan atau rehabilitasi. Wawancara juga dilakuakan di sela-sela pengamatan,

dalam hal ini peneliti ikut serta dalam aktivitas pekerja sosial sambil bertanya-

tanya tentang masalah penelitian, sehingga peneliti mendapatkan data yang


38

menguatkan saat mengadakan pengamatan terlibat, melalui wawancara terbuka

dan mendalam untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian.

4.4.3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah sumber informasi berupa bahan-bahan tertulis atau

catatan atau surat-surat penting dan peneliti mentransfernya. Studi dokumentasi

biasanya berbentuk arsip-arsip dan surat-surat penting lainnya yang tersimpan

mengenai suatu hal kejadian yang berkaitan dengan masalah penyelidikan, hal ini

dilakukan terutama untuk melengkapi dan menguatkan data yang diperoleh baik

dari observasi, maupun wawancara. Di samping itu data yang diperoleh dari

informan, juga untuk mendukung penelitian ini, data-data bisa berupa

dokumentasi. Dokumentasi merupakan penelaahan terhadap referensi-referensi

yang berhubungan dengan fokus permasalahan penelitian. salah satunya adalah

foto-foto. Tentu foto yang dipersilahkan dalam penelitian ini adalah foto saat

wawancara dengan informan, dan foto tempat-tempat penting lainnya yang

berhubungan dengan kepentingan penelitian.

3.4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul tahapan berikutnya adalah menganalisis data.

Analisis data adalah proses pengorganisasian data mengurutkan data kedalam

pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja.


39

3.4.1. Reduksi Data

Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan kepada hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,

dan mempermudah penelitian melakukan pengumpulan data selanjutnya dan

mencarinya bila diperlukan.

3.4.2. Penyajian Data

Penyajian data dalam penelitian kualitatif penyajian data dilakukan dalam

bentuk uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, flowhart, dan sejenisnya.

Dan yang paling sering digunakan untuk penyajian data dalam penelitian kualitatif

adalah dengan tesk (Bungin, 2001:107).

3.4.3. Kesimpulan

Kesimpulan dilakukan sejak awal terhadap data yang diperoleh, tetapi

kesimpulannya masih kabur (bersifat tentatif), diragukan tetapi semakin

bertambahnya data maka kesimpulan itu lebih “grounded” (berbasis data

lapangan). Kesimpulan yang harus diverifikasi selama penelitian masih

berlangsung, sesuai dengan gambar siklus analisis data yang disebutkan di muka

tadi, prosesnya tidaklah “sekali jadi”, melainkan berinteraktif, secara bolak balik.

Pengembangannya bersifat sekuensial dan interaktif

3.5. Jadwal dan Tempat Penelitian

Jadwal dan tempat penelitian yaitu dengan mencatat hasil wawancara

catatan lapangan, kemudian memilah dan memilih, mengklasifikasikan serta

berpikir membuat kategori data itu sehingga memperoleh suatu kesimpulan.


40

Penelitian ini dilakukan di Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Divisi

kerja UPT Pusat Kesejahteraan Sosial Kota bandung di Jl. BBK Karet Derwati

Rancasari Kota Bandung

Tabel 1.2
Jadwal Penelitian

Tahapan Oktober November Desember Januari


Penelitian 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengajuan
Judul
Pembuatan
Propoal
Penelitian
Bimbingan
Proposal
Sidang usulan
Penelitian
41

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Objektif Lokasi Penelitian

4.1.1. Kondisi Geografis

Dinas Sosial dan Penanggulangan kemiskinan Kota Bandung terletak fi

Jalan Sindang Sirna No 40 Kelurahan Rancacili, Kecamatan Derwati, Kota

Bandung. Kelurahan Rancacili merupakan salah satu bagian dar wilayah timur

Kota Bandung dengan memiliki luas lahan sebesar 160 Ha. Secara administrasi

Kelurahan Rancacili dibatasi oleh:

1 Bagian Selatan : Kelurahan Cisaranten Kidul

2 Bagian Utara : Kelurahan Cipamokolan

3 Bagian Timur : Kelurahan Gedebage

4 Bagian Barat : Kelurahan Margasari

Secara geografis Kelurahan Rancacili, Kecamatan Derwati memiliki bentuk

wilayah datar berombak sebesar 100% dari total keseluruhan luas wilayah ditinjau

dari sudut ketinggian tanah. Kelurahan Rancacili berada pada ketinggian 500 M

diatas permukaan air laut, suhu maksimum dan minimum di Kelurahan Rancacili

sebesar 28-32 C. Sedangkan dilihat dari segi hujan berkisar 874 mm/h dan jumlah

hari dengan jumlah hari dengan curah hujan yang terbanyak 45 hari ( Rusun

Rancacili, Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung).

Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung juga

menyediakan pemukimanan untuk warga atau bisa yang dsebut juga sebagai

Rusun Rancacili, mereka yang tidak mampu membeli rumah akan dberikan suatu
42

kemudahan. Karena rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia juga

sebagai sarana kebutuhan ekonomi, adapun gambar dibawah ini merupakan lokasi

Gedung Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung, dalam

Wawancara dengan ketua UPT Puskesos Handian.SS., MTHM. (20, juni 2019)

mengatakan:

Tepat pada tanggal 27 Desember 2018 Puskesos Kota Bandung sudah kita
bangun sekaligus kantor Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan
(Dinsosnangkis). Maka juga bisa dikatakan disini merupakan pusat
rehabilitasi dan rumah singgah bagi 26 jenis PMKS, yang terjaring oleh
kami akan ditempatkan digedungnya masing-masing. Jadi yang paling
penting adalah gedung sebesar ini adalah efektifitas pemanfaatannya.

Gambar 4.1 Gedung Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung

4.1.2. Sejarah dan Latar Belakang didirikan Pusat Rehabilitasi Sosial

Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung dibentuk pada

tahun 2017. Berdasarkan PERDA (Peraturan Daerah) Kota Bandung No. 8 tahun

2016. Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Bandung yang

diterbitkan pada 16 November 2016. Selain itu Dinas Sosial dan Penanggulangan
43

Kemiskinan Kota Bandung dibentuk berdasarkan peraturan Walikota Bandung

No. 1385 tahun 2016 tentang kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan fungsi

serta tata kerja Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung.

Sesuai dengan apa yang disampaikan Oded

Alhamdulillah hari ini 27 Desember 2018 Puskesos Kota Bandung sudah


kita bangun sekaligus kantor Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan
(Dinsosnangkis). Setelah proses panjang dari zaman wali kota pak Dada
Rosada Alhamdulillah sudah selesai. Saya berharap ini jadi sebuah kawasan
yang kedepan mengupayakan penanganan PMKS di kota Bandung lebih
baik lagi.

Sementara Sejarah Pusat Kesejahteraan Sosial dan Panti Rehabilitasi Sosial

sendiri di bentuk pada tahun 2017 pada awalnya tempat ini berada di Sindangsirna

dan setelah beberapa bulan kemudian dipindahkan ke kawasan Jalan Sindang

Sirna No 40 Kelurahan Rancacili, Kecamatan Derwati Kota Bandung. Pusat

Kesejahteraan Sosial dan Panti Rehabilitasi Sosial sendiri dibentuk berdasarkan

PERDA (Peraturan Daerah) Kota Bandung No. 160 tahun 2017 tentang

pembentukan kedudukan, tugas, dan fungsi susunan organisasi serta tata kerja unit

pelaksana teknis pada dinas dan badan di lingkungan pemerintah.

Pusat Kesejahteraan Sosial dan Panti Rehabilitasi Sosial merupakan

lembaga yang dibentuk oleh Desa/Kelurahan yang memudahkan warga miskin

dan rentan miskin di Desa/Kelurahan terkait untuk menjangkau layanan

perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan yang dikelola oleh

Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, pemerintah Desa/Kelurahan dan

Swasta/CSR. Dimana pemerintah Desa/Kelurahan diharapkan meneyediakan

kontribusi aturan dan anggaran untuk pelaksanaan pusat kesejahteraan sosial.


44

Berdasarkan Peraturan Walikota No 160 Tahun 2017 pada paragraf 18 yaitu

UPT Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial dan Rehabilitasi Sosial pada Dinas

Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung Pasal 23 yang berbunyi

yaitu

1 UPT Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial dan Rehabiltasi Sosial pada Dinas

Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f, mempunyai fungsi melaksanakan

sebagian tugas Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan lingkup

rehabilitasi sosial gelandangan, pengemis, anak jalanan, WTS, penyandang

disabilitas, lanjut usia dan penderita eks psikotik terlantar.

2 Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), UPT

Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial pada Dinas Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan Kota Bandung mempunyai fungsi:

1. Penyusunan rencana dan teknis operasional pelaksanaan pusat pelayanan

kesejahteraan sosial yang meliputi rehabilitasi sosial gelandangan,

pengemis, anak jalanan, WTS, penyandang disabilitas, lanjut usia dan

penderita eks psikotik terlantar;

2. Pelaksanaan operasional pusat pelayanan kesejahteraan sosial yang

meliputi rehabilitasi sosial gelandangan, pengemis, anak jalanan, WTS,

penyandang disabilitas, lanjut usia dan penderita eks psikotik terlantar;

3. Pelaksanaan ketata usahaan UPT; dan

4. Pelaksanaan pengawasan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan

pusat pelayanan kesejahteraan sosial.


45

4.1.3. Visi Dan Misi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota

Bandung

Sementara seperti apa yang kita ketahui bahwa Visi Kota Bandung itu

sendiri yaitu “Terwujudnya Kota Bandung Yang Unggul, Nyaman, Dan

Sejahtera”, maka untuk mewujudkan cita-cita tersebut salah satunya diperlukan

suasana yang kondusif dan kehidupan sosial kemasyarakatan yang berkeadilan

sosial serta ditandai dengan adanya kesejahteraan sosial masyarakat yang semakin

meningkat dan pada gilirannya dapat menunjang peningkatan partisipasi

masyarakat dalam kegiatan dan program pembangunan daerah.

Berdasarkan hal tersebut, maka Visi Dinas Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan Kota Bandung adalah “Kesejahteraan Sosial dari, oleh, dan untuk

Masyarakat menuju Bandung yang Bebas Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial (PMKS)“. Visi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota

Bandung tersebut dijabarkan sebagai berikut :

1 Kesejahteraan Sosial mengandung pengertian suatu tata kehidupan dan

penghidupan sosial, materi maupun spiritual yang diliputi oleh rasa

keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan

bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri,

keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta

kewajiban manusia sesuai Pancasila

2 Dari Masyarakat mengandung pengertian bahwa sumber pembiayaan untuk

penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial


46

dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung secara tidak langsung

bersumber dari masyarakat melalui mekanisme APBD Kota Bandung .

3 Oleh Masyarakat mengandung pengertian bahwa Dinas Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung mengupayakan agar

masyarakat tidak hanya berperan sebagai objek penyelenggaraan

kesejahteraan sosial akan tetapi juga dapat berfungsi sebagai subjek

penyelenggaraan kesejahteraan sosial melalui Pembinaan Potensi dan

Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).

4 Untuk Masyarakat mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan

kesejahteraan sosial ditujukan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran

masyarakat Kota Bandung.

5 Bebas Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial mengandung pengertian

bahwa seluruh Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang ada

di Kota Bandung mampu terlayani serta dapat melaksanakan fungsi

sosialnya secara wajar.

Untuk mencapai Visi tersebut, Dinas Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan Kota Bandung merumuskan misi sebagai berikut : “Kesejahteraan

Sosial dari, oleh, dan untuk Masyarakat menuju Bandung yang Bebas

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)“. Penjelasan arti dan makna

misi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan sebagaimana dimaksud di

atas, yakni :
47

1 Meningkatkan peran serta/partisipasi masyarakat dalam penanganan

masalah kesejahteraan sosial melalui Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial

(PSKS) yang berada di lingkungan masyarakat

2 Peningkatan rehabilitasi sosial mengandung makna pemulihan fungsi sosial

para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (Gelandangan, pengemis,

Wanita Tuna Susila, Korban Narkotika, HIV-Aids, Penyandang Cacat, dan

Eks-Narapidana) melalui pola penanganan dalam panti dan luar panti,

sehingga memiliki kembali fungsi sosialnya dan dapat bermasyarakat secara

wajar.

3 Peningkatan pelayanan sosial, mengandung pengertian optimalisasi

pelayanan terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial melalui

penanganan dalam panti maupun luar panti, bantuan bagi korban bencana,

dan bantuan bagi orang terlantar dalam perjalanan.

4 Penyediaan data kesejahteraan sosial dan kemiskinan yang valid dan

terintegrasi dilaksanakan melalui proses verifikasi dan validasi data yang

dilakukan secara terus menerus sehingga kualitas data yang ada dapat

dipertanggungjawabkan dan mutakhir serta terintegrasi dengan sumber-

sumber data lainnya seperti data kependudukan.

4.1.4. Tujuan dan Sasaran Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan

Kota Bandung

Tujuannya berbagai usaha penyelenggaraan pembangunan bidang

kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan Kota Bandung memiliki tujuan sebagai berikut :


48

1. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanganan Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial;

2. Meningkatnya PMKS yang mengalami perubahan perilaku;

3. Meningkatkan kualitas pelayanan bagi warga miskin;

Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh Dinas Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan Kota Bandung, yang merupakan penjabaran dari tujuan

penyelenggaraan pembangunan bidang kesejahteraan sosial sebagai berikut :

1. Meningkatnya pelayanan terhadap PMKS

2. Meningkatnya pemenuhan hak dasar warga miskin

3. Meningkatnya peran aktif PSKS

Untuk lebih jelasnya mengenai keterkaitan antara tujuan, sasaran, indikator

sasaran serta target capaian kinerja dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial

yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota

Bandung. Kelompok sasaran Puskesos, adalah:

1. Warga miskin dan rentan mskin yang terdapat atau tidak terdapat dalam

basis data terpadu yang dihasilkan melalui PBDT 2015 atau yang ada dalam

basis data siskadasatu yang tinggal di Desa/Kelurahan setempat

2. Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang ada di

Desa/Kelurahan setempat

3. Warga Desa/Kelurahan setempat lainnya yang memerlukan pelayanan

perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan

4.1.5. Bagan Kepegawaian Dinas Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan Kota Bandung


49

Adapun dalam sistem pemerintahan tentunya akan ada bagan pembagian

kerja dan pembagian tugas. adapun bagan kepegawaian Dinas Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung adalah sebagai berikut :

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Dinas Sosial dan Penanganan Kemiskinan Kota
Bandung.

4.1.6. Komposisi Pegawai Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan

Kota Bandung

Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung sebagai

organisasi perangkat pemerintah daerah yang bertanggungjawab dan memiliki

kewenangan dalam menyelenggarakan pembangunan bidang kesejahteraan sosial

di Kota Bandung dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tentunya perlu


50

mengoptimalkan berbagai sumber daya baik sumber daya manusia maupun sarana

penunjang yang dimiliki oleh Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota

Bandung dalam mencapai target kinerja selama 5 (lima) tahun. Jumlah pegawai

yang ada pada Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung saat

ini sebanyak 42 orang. Untuk penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran

tentang Data dan Komposisi Pegawai Dinas Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan Kota Bandung sebagai berikut :

Komposisi Pegawai Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota

Bandung berdasarkan Jabatan Struktural

Eselon Pelaksana
NO PD Fungsional Jumlah
II III IV IV III II I

Dinas Sosial dan


1. Penanggulangan 1 5 15 - - 30 5 1 56
Kemiskinan

Tabel 4.1 Komposisi Pegawai Dinas Sosial berdasarkan jabatan struktural

Komposisi Pegawai Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan

berdasarkan Pendidikan

Pendidikan
NO PD Jumlah
S3 S2 S1 D3 SMA SMP SD

Dinas Sosial dan


1. Penanggulangan 1 11 32 1 11 - - 56
Kemiskinan

Tabel 4.2 Komposisi Pegawai Dinas Sosial berdasarkan pendidikan


51

Adapun sarana dan prasarana dimiliki oleh Dinas Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung dalam menunjang kinerja

penyelenggaraan tugas dan fungsi sebagai berikut :

NO NAMA BARANG
Jumlah Keterangan

2 Jl. Sindang Sirna,


1. Gedung kantor
Cipamokolan

2. Kendaraan roda 4 10
3. Kendaraan roda 2 10
4. Computer 100
5. Ac 69

Tabel 4.3 Sarana dan Prasarana Kantor Dinas Sosial dan Penanggulangan
Kemiskinan

1. Bangunan gedung kantor sebanyak 2 (unit), yang terletak di Jl. Sindangsirna

No. 40 Bandung yang merupakan gedung kantor utama yang berfungsi

sebagai kegiatan operasional kantor sehari-hari, dan bangunan kantor yang

terletak di Jl. Cipamokolan yang berfungsi sebagai gudang dan operasional

kegiatan kantor sewaktu-waktu.

2. Kendaraan operasional Dinas Roda 4 sebanyak 10 (sepuluh) unit;

3. Kendaraan operasional Dinas Roda 2 sebanyak 10 (sepuluh) unit;

4. Komputer yang digunakan untuk keperluan operasional kantor sehari-hari,

serta peralatan kantor lainnya seperti filling cabinet, meja, kursi, lemari, dll.
52

4.2. Gambaran Umum dan Fenomena PMKS di Kota Bandung

4.2.1. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial atau yang disingkat PMKS.

Merupakan individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang karena suatu

hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya,

sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun

sosial secara baik dan wajar. Dalam wawancara dengan Ruli Insani Adhitya

selaku Pekerja Sosial (20 juni 2019) mengatakan:

Kriteria atau yang di sebut sebagai PMKS sudah di cantumkan di


Permensos no. 8 tahun 2012 itu ada disebutkan disana PMKS dan PSKS
untuk PMKS sendiri ada 26 jenis ada anak balita terlantar, anak korban
kekerasan, gelandangan/pengemis, pengamen, tuna susila sampai ke
komunitas adat terpencil semuanya ada kriteria masing-masing misal
dengan disebut balita terlantar itu apa kategorinya dan kriterianya.
Misalkan gelandangan pengemis itu yang tidak punya rumah, tidak
mempunyai pekerjaan tetap.

Menurut Undang-undang mengamanatkan bahwa kewajiban negara untuk

memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Seperti yang dimaksud dalam

undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah dan

pemerintah daerah memberikan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan

sosial dan perlindungan sosial sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban negara

dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga negara yang

miskin dan tidak mampu.

Adapun Menurut Handian selaku kepala Bagian Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial Kota Bandung Mengatakan bahwa

Adanya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di suatu kota


menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah terkait, ini merupakan
masalah sosial yang harus segera diatasi, kita ingin mengangkat PMKS
53

bahwa PMKS tidak tersu selamanya menjadi PMKS. mereka juga harus
mampu keluar dari zona mereka menjadi PMKS dan mereka
diproyeksikan untuk bisa mandiri. (Handian, wawancara, 20 juni 2019)

Karena pada dasarnya masyarakat tentunya menginginkan untuk

mendapatkan kebahagiaan dan kemakmuran sesuai dengan kata-kata dalam

undang-undang tersebut. Dengan munculnya PMKS disuatu kota, akan memberi

peluang adanya gangguan keamanan yang akan mengganggu pembangunan.

Sering kali kita jumpai dengan keadaan yang kurang lazim seperti dilampu merah,

emperan toko bahkan diperumahan-perumahan. Menyempitnya lahan pertanian di

desa karena banyak digunakan untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan

atau pabrik. Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan

maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya mereka tidak membekali diri

dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan

menambah tenaga yang tidak produktif di kota.(Robert dan Jackson, 2001:70)

4.2.2. Fenomena Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Kota

Bandung

Seseorang dapat dikatakan sebagai PMKS karena seseorang, keluarga atau

kelompok yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat

melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan

hidupnya (jasmani, rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar.

Seseorang dikatakan menjadi seorang PMKS sudah di cantumkan di


Permensos no. 8 Tahun 2012. Didalam permensos disebutkan seseorang
keluarga atau kelompok di kriteriakan sebagai PMKS adalah seperti anak
balita terlantar, anak terlantar, anak yang berhadapan dengan hukum
penyandang disabilitas, lanjut usia terlantar, dan masih banyak lagi.
Dibandung sendiri ada 23 jenis PMKS yang seiring berkembangnya jaman
akan muncul lagi jenis PMKS baru seperti yang telah di isukan katanya
54

akan ada juga jenis PMKS dari anak atau keluarga teroris (Handian,
wawancara, 20 juni 2019)

Permasalahan tersebut tidak serta merta melepaskan Kota Bandung dari

berbagai permasalahan sosial di tingkat mikro. Berbagai permasalahan sosial yang

berkembang di masyarakat pada tahun 2017 adalah balita terlantar (360 jiwa),

anak terlantar (6.643 jiwa), anak korban tindak kekerasan (19 jiwa), anak jalanan

(4.821 jiwa), anak cacat (484 jiwa), wanita rawan sosial ekonomi (5.868 jiwa),

tuna susila (116 jiwa), pengemis (4.126 jiwa), gelandangan (948 jiwa), korban

narkotika (363 jiwa), keluarga berumah tidak layak huni (27.041 keluarga),

pengidap HIV-Aids (1.268 jiwa), dsb.

Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menjadi

salah satu prioritas Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung.

Dana yang di keluarkan tak tanggung-tanggung Dinsos menganggarkan 10 miliar

untuk penanganan PMKS. Dalam wawancara dengan Pak Handian selaku kepala

bagian PMKS kota Bandung (20 juni 2019) mengatakan:

Pembinaan di Puskesos akan dilakukan lebih lama dari sebelumnya yang


hanya satu pekan . dengan waktu lebih lama maka PMKS akan dibina
dengan pembinaan hingga pelatihan keahlian di Puskesos. Anggaran ini
untuk biaya rumah singgah makannya, pembinaan, psikoterapi buat
kesehatannya juga.

Adanya peningkatan jumlah anak terlantar, keluarga miskin, keluarga

dengan rumah tidak layak huni, dan pengidap HIV-Aids. Peningkatan jumlah

anak jalanan, anak nakal, tuna susila, pengemis, gelandangan, dan masyarakat

yang tinggal di daerah rawan bencana. Dengan beberapa kecenderungan tersebut,

beberapa tantangan permasalahan sosial di Kota Bandung masih relatif sangat

besar.
55

Kualitas hidup dan kesejahteraan umum Kota Bandung yang ditandai

dengan relatif tingginya Indeks Pembangunan Manusia (dalam hal ini pendidikan

dan kesehatan), tidak serta merta melepaskan Kota Bandung dari berbagai

permasalahan sosial di tingkat mikro (Ivancevich, et al.,2008:59). Berbagai

permasalahan sosial yang berkembang di Kota Bandung masih relatif tinggi,

masih banyaknya mereka yang menjadi gelandangan, anak jalanan atau mereka

yang bekerja di sepanjang atau sekitaran jalan dan stopan lampu merah dengan

harapan mereka mendapatkan iba dari orang lain. Dan masih banyak juga mereka

yang bekerja sebagai wanita rawan sosial, akibat dari belum maksimalnya

penyerapan tenaga kerja sehingga mengakibatkan banyaknya pengangguran dan

hal ini masih terlihat pada tingginya jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial (PMKS) di Kota Bandung.

Berdasarkan data yang diperoleh dari observasi pada tahap awal di Dinas

Sosial Kota Bandung bahwa jumlah PMKS yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota

Bandung hanya terdiri dari kategori anak jalanan, gelandangan, pengemis dan

wanita rawan sosial ekonomi. Sedangkan untuk kategori lainnya, Dinas Sosial

Kota Bandung belum menangani sampai ke program pembinaan. Adapun data

Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Bandung

sebagai berikut:

Tabel 4.4

Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

Di Kota Bandung pada Tahun 2017

No Jenis PMKS Jumlah


1 Anak Balita Terlantar 360 org
56

2 Anak Terlantar 6.643 org


3 Anak Berhadapan dengan Hukum 57 org
4 Anak Jalanan 2.162 org
5 Penyandang Disabilitas Anak 1.060 org
6 Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus 151 org
7 Lanjut Usia Terlantar 2.108 org
8 Penyandang Disabilitas 5.069 org
9 Tuna Susila 319 org
10 Gelandangan 618 org
11 Pengemis 766 org
12 Pemulung 388 org
13 Kelompok Minoritas 153 org
14 Bekas warga binaan lembaga pemasyarakatan 153 org
15 Orang dengan HIV/Aids 2.690 org
16 Korban penyalahgunaan Napza 103 org
17 Pekerja migran bermasalah social 17 org
18 Korban bencana alam 111 org
19 Korban bencana social -
20 Perempuan rawan sosial ekonomi 3.487 org
21 Keluarga Miskin 78.751 KK
22 Keluarga bermasalah psikologis 2.603 KK
23 Keluarga berumah tidak layak huni 3.606 KK
Sumber : Pendataan Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota
Bandung Tahun 2017

4.3. Program Panti Rehabilitasi Sosial Dalam Mengatasi Masalah PMKS

4.3.1. Program Dinas Sosial Dan Panti Rehabilitasi Dalam Mengatasi

PMKS

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial merupakan kewajiban dari setiap

pemerintah kepada warga masyarakatnya, namun demikian penyelenggaraan

kesejahteraan sosial bukanlah suatu hal yang mudah karena permasalahan yang

terjadi di dalamnya jauh sangat kompleks. Sebagaimana kita ketahui bahwa

sasaran garapan dari Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota

Bandung ialah para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang

sebagaian besar diantara mereka merupakan penduduk miskin yang tidak mampu
57

menjalankan peran dan fungsi sosialnya di masyarakat secara wajar. Penyebab

terjadinya berbagai permasalahan sosial yang diderita oleh para PMKS ini sangat

bervariasi, hal tersebut kita dapat kelompokan ke dalam 2 (dua) kelompok besar

yaitu yang dikarenakan faktor eksternal dan internal, faktor eksternal diantaranya

kejadian bencana alam/sosial, kebijakan pemerintah, serta pengaruh lingkungan,

sedangkan faktor internal diantaranya tingkat pendidikan yang rendah serta

keterbatasan fisik atau mental yang dimiliki oleh seorang individu.

Berdasarkan perkembangan masalah kesejahteraan sosial di Kota

Bandung, bahwa pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh Dinas

Sosial Kota Bandung sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal

maupun eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal disini ialah kebijakan

pemerintah Kota Bandung dalam bidang lain yang sekiranya memiliki dampak

atau mempengaruhi baik secara langsung terhadap kinerja pelayanan sosial yang

dilaksanakan Dinas Sosial Kota Bandung, sedangkan yang dimaksud dengan

faktor eksternal disini ialah kebijakan pemerintah pusat atau provinsi menyangkut

pembangunan atau penyelenggaraan kesejahteraan sosial atau faktor-faktor lain

diluar faktor internal.

Menurut wawancara yang dilakukan dengan Ruli Insani Adhitya selaku

pekerja sosial (20 juni 2019) mengatakan :

Untuk masalah penanganan kita mengacu ke undang-undang Puskesos


nomor 11 tahun 2009 disana di sebutkan bahwasannya penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dilakukan dalam 4 bentuk ada Rehabilitasi Sosial,
pelindungan sosial, jaminan sosial dan pemberdayaan sosial. Untuk
program jangka panjang Penyelenggara sosial juga ada langkah preventif,
promotiv dan ada langkah kuratif juga sedangkan untuk program jangka
pendeknya ada macem macem juga sesuai jenis PMKS karna kalo terkait
dengan penanganan kan harus liat hasil assesment untuk menentukan
58

apakah PMKS ini hanya cukup untuk sekedar diberikan langkah


penanganan minimal atau justru malah yang berkelanjutan.

Adapun Program apa yang dilakukan selama kegiatan di Panti Rehabilitasi

Sosial di Dinas Sosial Kota Bandung di Rancacili Kecamatan Derwati selama

penulis melakukan observasi disana adalah sebagai berikut:

1. kegiatan peningkatan kemampuan (capacity Building) petugas dan

pendampingan sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT dan PMKS lainnya

2. Pelatihan menjahit, mengukir dan memahat kayu, menyablon baju yang

serta fasilitas manajemen usaha bagi keluarga miskin.

3. pelatihan keterampilan dan praktek belajar membaca dan menulis dan

memberikan nilai-nilai agama

4. pemberian motivasi dan pelayanan psikologi serta muatan muatan positif

lainnya dalam bentuk pendekatan sosial secara kelompok atau individu.

5. Pendidikan, pelatihan, dan pendayagunaan para penyandang cacat dan eks

trauma.

6. Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha serta program

pembinaan eks penyandang penyakit sosial (eks narapidan, PSK, narkoba

dan penyakit sosial lainnya.

Program-program yang telah dijelaskan itu merupakan program dari Dinas

Sosial untuk mengatasi PMKS, selebihnya lagi masih banyak program-program

yang lannya sebagaimana yang disampaikan oleh Ruli Insan Adhitya selaku

peksos Rehabiltasi Sosial (20 Juni 2019) mengatakan:

Dinas Sosial khusunya di UPT Pusat Kesejahteraan sosial selain


memberikan rehabilitasi dan motivasi juga memberikan banyak sekali
program pelatihan keahlian seperti adanya program untuk menjahit,
59

pelatihan memasak, pelatihan menyablon baju, pelatihan megukir kayu


dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
individu PMKS itu sendiri hal ini diharapkan ketika mereka keluar dari
sini mereka mempunyai bekal dan kemampuan yang dibawa sehingga
tidak mengaharapkan belas kasihan orang lain lagi

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang ada di panti rehabilitasi

adalah mereka yang terjaring/rajia oleh Satpol PP Kabupaten/Kota yang

diteruskan ke Dinas Sosial untuk di beri assesmet untuk di berikan tindakan

apakah di rehabilitasi atau cukup dengan di beri motivasi atau dikasih tahu sesuai

dengan kondisi PMKS tersebut. Selain itu, biasanya klien diperoleh dengan cara

Serah Diri, yakni dengan datang sendiri ke Balai/Panti Rehabilitasi Sosial melalui

bantuan kerabat atau masyarakat lainnya yang sebelumnya telah mengetahui

keberadaan dan fungsi dari Balai/Panti Rehabilitasi Sosial ini. Juga, klien ini

didapat diperoleh melalui Motivasi, yakni dengan cara memberikan pemahaman

serta arahan kepada klien untuk mendapatkan perlindungan serta bimbingan agar

mereka bisa hidup layak seperti masyarakat pada umumnya sehingga mereka

tidak lagi hidup menggelandang. menurut Ahmad Zulkifli selaku asisten kepala

Bagian Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (20 juni 2019) mengatakan:

Dinas Sosial kota Bandung bekerja sama dengan Satpol PP, Polri dan
jajaran TNI untuk melakuakan penjangkauan atau penjaringan pada hari
sabtu-minggu yang rutin dilakukan setiap kali melakukan penjaringan
untuk daerah sekitaran Samsat Soekarno Hatta dan sepajang rel di jalan
tera saja stidaknya menjaring 15-20 PMKS. Selain penjaringan, Puskesos
Kota Bandung juga melayani rujukan dari tingkat kelurahan. Guna
memenuhi operasional Puskesos ini, Dinsosnangkis menyiapkan 3 bus,
microbus 2 unit, dan mobil operasiona 5 unit karna tidak semua daerah
kita bisa jangkau ketika melakuakan penjaringan.

Biasanya kegiatan Penjaringan atau pengjangkauan ini dilakukan dengan

mendatangi sasaran secara langsung, kemudian melakukan interaksi dengannya


60

jika PMKS yang didapati di jalanan mencoba melawan atau kabur penjaring juga

akan tegas dengan menangkap secara paksa karna ketika melakukan penjaringan

biasanya suka ada laporan dari masyrakat terkait adanya PMKS yang

mengganggu ketertiban umum untuk lanjutnya diterima dan tindak lanjuti

melakukan penjaringan. Baik itu dilakukan secara formal oleh instansi Dinas

Sosial dengan cara sosialisasi program, maupun secara informal oleh para pekerja

sosial yang sengaja “nongkrong” di tempat umum yang biasanya selalu diwarnai

dengan adanya fenomena pengemisan.

Proses pelayanan yang dilakukan di Balai Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial

dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung ini adalah pembinaan berupa

bantuan pertolongan, bimbingan, perawatan serta rehabilitasi yang dilakukan

secara sistematis, terarah dan terencana atas dasar pendekatan pekerjaan sosial

yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial para pengemis tersebut.

adapun menurut wawancara yang dilakukan kepada Muhammad Zakaria selaku

Kepala asissten ketua UPT Pusat Kesejahteraan Sosial (20 juni 2019)

mengatakan:

Sejauh ini program-pragram yang dilakukan panti rehabilitasi sangat


mengurangi jumlah PMKS yang ada di Kota Bandung karna kebanyakan
klien yang dibawa ke panti rehabilitasi ini langsung mendapatkan
pelayanan dan treatmen dengan pendekatan sosial yang dilakuakan oleh
pekerja sosial secara baik-baik. Dari tahun 2018 ke 2019 penurunan
jumlah PMKS yang ada di Kota Bandung sangat signifikan tetapi untuk
saat ini kita belum bisa mengukur secara akurat karna belum punya juga
data yang akurat berapa jumlah PMKS di Kota Bandung tapi yang pasti
menurun karna sebelum adanya panti rehabilitasi ini kita bisa lihat banyak
pengamen dijalan gelandangan dimanan-mana dan banyak juga laporan
masyarakat yang merasa terganggu tetepi sekarang sudah banyak
berkurang kalo dikira-kira kurang lebih 40% karna kita juga tidak tahu
mobilitas PMKS yang keluar masuk dari luar kota Bandung.
61

Adapun pelayanan kesejahteraan sosial di Balai Rehabilitasi Sosial Sosial

dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung ini dilaksanakan selama kurang

lebih 4 bulan per angkatan mulai dari klien masuk sampai berakhirnya waktu yang

sudah ditetapkan. Untuk terciptanya ketertiban pelayanan kesejahteraan tersebut,

maka Balai/Panti Rehabilitasi Sosial ini melakukan tahap-tahap proses pelayanan

berdasarkan pada buku acuan (pedoman) yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang

diantaranya sebagai berikut :

1 Tahapan Pendekatan Awal dan Rehabilitasi Sosial

Tahap Pendekatan Awal ini merupakan serangkaian kegiatan yang

dilakukan untuk mendapatkan pengakuan/dukungan/bantuan dari berbagai

pihak terkait guna melaksanakan pelayanan. Tahapan ini meliputi :

1. Orientasi dan Konsultasi

Kegiatan ini sangat penting untuk menentukan para penyandang masalah

kesejahteraan sosial khususnya masalah gelandangan, pengemis dan orang

terlantar yang akan menjadi sasaran pelayanan di Balai/Panti. Kegiatan ini

meliputi :

Sosialisasi program ini dimaksudkan untuk memperkenalkan pelayanan

yang ada di Balai/Panti Rehabilitasi Sosial baik kepada para gelandangan,

pengemis, orang terlantar, organisasi, instansi maupun masyarakat umum.

Proses Sosialisasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya

dengan mengunjungi langsung berbagai wilayah di Jawa Barat yang telah

menjadi sasaran garapan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memahami dan

mengidentifikasi para pengemis, gelandangan dan orang terlantar beserta


62

keluarganya untuk nantinya ditempatkan di Balai. Hal ini dilakukan dengan

mengumpulkan data dan informasi dengan melihat karakteristik, latar

belakang kondisi ekonomi, psikologis dan potensi serta permasalahan yang

dihadapi. Selain itu, kegiatan sosialisasi ini juga dapat dilakukan dengan

melalui surat menyurat, telepon dan juga penyebaran brosur.

Identifikasi dan konsultasi merupakan suatu kegiatan yang diarahkan

untuk menemukan masalah, kebutuhan, potensi dasar yang dimiliki calon

klien, kemudian menganalisanya dilakukan dengan melakukan pengisisan

formulir bahan seleksi untuk menetapkan sasaran garapan (pengemis,

gelandangan dan orang terlantar) sebagai calon klien.

2. Motivasi

Motivasi ini merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan

dorongan membangun mental, semangat dan membangkitkan kepada para

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial anak jalanan, anak terlantar,

pengemis dan PMKS yang lainnya yang termasuk kepada usia produktif yang

di berikan oleh pekerja sosial supaya para PMKS bisa menjalani hidup

dengan lebih baik dan tidak melanggar serta menganggu ketertiban umum.

Setelah keluar dari Panti Rehabilitasi ini pun mereka tidak mempunyai

pemikiran untuk kembali lagi ke jalanan karna sudah diberikan motivasi serta

pelatihan soft skill lainnya yang bisa mereka gunakan untuk mencari uang

dengan layak. menurut wawancara yang dilakukan dengan Citra selaku

Pekerja Sosial (20 juni 2019) mengatakan:

Terkait dengan motivasi pekerja sosial memang disini tugasnya


melakukan pendampingan salah satunya itu motivasi dan advokasi juga
63

Pemberian Motivasi ini merupakan tahapan kedua dalam melaksanakan


program rehabilitasi sosial ini di dalamnya terdapat tahapan untuk
merubah pola pikir para penyandang masalah kesejahteraan sosial dan
membuat pandangan mereka menjadi berubah lebih baik lagi kedepannya
dan memberikan spirit dan pemahaman kepada para penyandang masalah
kesejahteraan sosial bahwa ada hal lain yang bisa dilakukan untuk
mendapatkan uang selain dari mencari uang dan tinggal dijalanan tanpa
norma dan aturan yang ada di dalam masyarakat yang seharusnya mereka
patuhi.

3. Seleksi

Kegiatan seleksi dimaksudkan untuk “memilih dan menetapkan” para

pengemis, gelandangan dan orang terlantar sebagai calon klien dalam Balai.

Seleksi calon klien ini didasarkan atas data dan informasi yang diperoleh.

Kriteria seleksi ini meliputi : seleksi psikososial oleh Pekerja Sosial, seleksi

fisik oleh Dokter/Petugas Paramedis, dan seleksi kriminalitas oleh aparat

penegak hukum. Berbagai permasalahan tertentu dibahas melalui pembahasan

kasus yang dihadiri oleh pekerja sosial, pimpinan panti, dokter, psikolog, dan

aparat penegak hukum sesuai dengan jenis permasalahannya. Seleksi tidak

hanya menguji kembali beberapa temuan tentang kebutuhan dan potensi calon

klien, melainkan juga mempelajari berbagai kemungkinan penempatan jenis

pelayanan yang disediakan selama berada di lingkungan panti serta dukungan

masyarakat yang diperlukan.

4. Kontrak

Kontrak merupakan kesepakatan pelayanan secara tertulis antara klien

dengan pengelola di Balai. Tujuan dari kontrak tersebut adalah untuk

melindungi calon klien dari tindakan-tindakan/praktik-praktik percobaan,

serta untuk melindungi pekerja sosial dari konsekuensi hukum akibat


64

pelayanan yang diberikan kepada calon klien. Pada kontrak ini dijelaskan

mengenai Kenyataan dan lingkup pelayanan, Langkah-langkah bersama yang

akan dilakukan dan Hak-hak, harapan-harapan serta persetujuan dari pekerja

sosial untuk melaksanakan pelayanan/bimbingan/pembinaan sosial. Setiap

penyandang masalah kesejahteraan sosial yang berada di panti rehabilitasi

harus terhadap aturan dan norma yang di terapkan oleh Dinas Sosial dan panti

rehabilitasi dan mengikuti setiap program yang ada.

5. Assesment

Assesment adalah upaya untuk menelusuri, menggali masalah dan potensi

serta menyusun rencana pelayanan. Assesment ini merupakan kegiatan

pendalaman/pengkajian tentang kebutuhan, persepsi, nilai, harapan,

pengalaman, perasaan, dan masalah yang dihadapi serta potensi yang dimiliki

oleh para pengemis, gelandangan dan orang terlantar. Kegiatan Assesment ini

meliputi Penelaahan situasi untuk menentukan faktor-faktor utama dalam

situasi yang dihadapi para pengemis, gelandangan dan orang terlantar.,

Penentuan faktor-faktor signifikan yang menyebabkan berlangsungnya

keadaan yang dialami oleh para pengemis, gelandangan dan orang terlantar

beserta keluarganya pada saat ini.

Penentuan faktor-faktor yang paling kritis, pemahaman antar hubungannya

dengan pemilihan faktor-faktor yang dapat ditangani. Penentuan sumber,

kekuatan dan motivasi yang tersedia. Pemilihan dan penggunaan generalisasi,

prinsip dan konsep yang tetap dalam profesi pekerjaan sosial. Penilaian

profesional, gagasan yang muncul dari pengetahuan dan pengalaman yang


65

dijadikan dasar upaya pemberian bantuan kepada para pengemis, gelandangan

dan orang terlantar. Penelaahan bisa dilakukan melalui pengujian atau

pengisian instrumen yang telah disusun para profesional yang terlibat

didalamnya, antara lain tes kemampuan, tes psikososial, catatan kasus, tes

penyesuaian sosial dan lain-lain.

6. Penempatan dalam Proses Rehabilitasi

Setelah kegiatan Assesment dilakukan, maka tahapan selanjutnya adalah

penempatan klien dalam proses rehabilitasi. Kegiatan ini dilakukan dengan

menempatkan klien dalam berbagai keterampilan sesuai dengan keinginan

dan bakat yang dimiliki dari klien tersebut. Selain itu, mereka juga diberikan

pemahaman tentang proses rehabilitasi serta pembinaan yang akan mereka

jalani selama berada di Balai. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya suasana

yang harmonis, kondusif dan terarah.

7. Penempatan Pola Kegiatan dan Pelayanan Kesehatan

Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan alternatif pilihan mengenai

pola kegiatan pembinaan, rehabilitasi serta pelayanan yang akan dijalani oleh

para klien selama berada di dalam Balai. Yakni kegiatan pembinaan dan

pelayanan kesehatan ini bisa berupa perseorangan ataupun kelompok.

Kegiatan pembinaan dan rehabilitasi serta pelayanan kesehatan perseorangan

biasanya dilakukan dengan bentuk konseling, sedangkan kegiatan rehabilitasi

kelompok (group work) dilakukan secara bersama-sama dalam bentuk terapi

kelompok. menurut wawancara yang dilakukan dengan Handian selaku

kepala UPT Pusat kesejahteraan sosial (20 Juni 2019) mengatakan


66

Untuk tahapan selanjutnya ada tahapan kegiatan dan pelayanan


kesehatan untuk mengetahui ke efektifan program kita akan melakukan
kegiatan kegiatan secara terstruktur dan penembangan bakat/keahlian yang
PMKS sudah bisa tinggal kita kembangkan lagi tetapi untuk program lain
kita juga memberi tahu dan memberi keahlian supaya mereka mendapat
pengalaman dan keahlian baru supaya setelah keluar dari dinas mereka
bisa bekerja dan hidup dengan layak. Adapun dari segi pelayanan
kesehatan supaya program bisa berjalan dengan baik kita harus tahu
kondisi fisik dan psikis PMKS supaya dapat penanganan secara tepat
misalnya PMKS yang ODGJ kita tidak bisa merehabnya disini tetapi kita
kirim dulu dia ke RS Jiwa untuk kemudidan dapat penanganan
selanjutnya.

2 Tahapan Resosialisasi

Tahapan ini merupakan serangkaian kegiatan bimbingan/pembinaan yang

diarahkan pada : Bimbingan Kesiapan dan Peran Serta Masyarakat, Kegiatan

ini bertujuan untuk menumbuhkan pengertian, kepedulian serta kemauan

masyarakat untuk ikut berperan dalam melaksanakan Pembinaan

Kesejahteraan Sosial bagi para pengemis, gelandangan dan orang terlantar.

Bimbingan Sosial Hidup Bermasyarakat, Bimbingan sosial ini merupakan

tahapan yang paling penting, karena tahapan ini merupakan tahap peringanan

beban dari sebuah Balai dalam kegiatan yang bertujuan untuk mempersiapkan

para pengemis, gelandangan serta orang terlantar untuk kembali ke

masyarakat.

Bimbingan Stimulan Usaha Ekonomis Produktif, Bimbingan ini

merupakan kegiatan berupa praktek kerja sesuai dengan keterampilan dari

masing-masing klien. Bimbingan Usaha Kerja Produktif, Bimbingan ini

dilakukan untuk penyiapan tempat penyaluran kerja/usaha/transmigrasi

para klien setelah menerima bimbingan/pembinaan rehabilitasi selama berada

di dalam Balai.
67

Menurut wawancara yang dilakukan dengan Muhammad Zakaria asisten

kepala UPT Pusat kesejahteraan (20 Juni 2019) mengatakan:

Pada tahapan Resosialisasi ini kita lebih kepada memberikan pelatihan


kerja dan usaha serta pengadaan sarana dan prasarana pendukung usaha
bagi keluarga miskin untuk menyiapkan keluarga PMKS supaya setelah
mereka keluar dari panti rehab keluarga juga sudah siap secara ekonomi
agar PMKS tidak kembali lagi ke jalanan.

3 Tahapan Penyaluran

Tahapan ini bertujuan untuk menempatkan klien pada lapangan kerja

atau sektor usaha sesuai dengan bakat dan keterampilan yang dimiliki. Jenis

penyaluran ini dapat berupa penyaluran ke lapangan kerja/usaha, kembali ke

keluarga/daerah asal, ataupun mengikuti program transmigrasi berwirausaha

4 Tahapan Bimbingan Lanjut

Tahapan ini merupakan serangkaian kegiatan bimbingan yang dilakukan

untuk memantau perkembangan bekas klien guna memantapkan,

meningkatkan dan mengembangkan kemandirian klien. Kegiatan ini

dilakukan oleh beberapa pihak terkait yang memang bekerjasama dengan

pihak Balai Pelatihan Rehabilitasi Sosial tersebut. Menurut wawancara yang

dilakukan dengan Muhammad Novri selaku Pekerja Sosial.

5 Tahapan Evaluasi

Merupakan serangkaian kegiatan untuk memastikan apakah proses

pelayanan berlangsung sesuai rencana yang telah ditetapkan, dan kemudian

diambil kesimpulan apakah secara keseluruhan proses pelayanan telah

berjalan dengan baik. Biasanya kegiatan ini dilakukan dalam bentuk

magang yang dilakukan selama 2 bulan setelah waktu kegiatan pembinaan


68

rehabilitasi tersebut selesai dilaksanakan. Namun, petugas Balai mengatakan

bahwa satu tahun terakhir ini kegiatan tersebut diberhentikan dengan alasan

para klien pada dasarnya sudah merasa siap dan mempunyai kemampuan

untuk bisa disalurkan.

6 Tahapan Terminasi

Merupakan pemutusan secara resmi/pengakhiran dalam proses

pemberian bantuan, pembinaan, pemecahan masalah, ataupun

pengembangan kerja klien yang dinilai sudah punya kemampuan untuk

menjalankan fungsi sosialnya, hidup mandiri sesuai dengan norma yang

berlaku dalam masyarakat. Menurut wawancara yang dilakukan dengan

Ruly Insani adhitya selaku Pekerja Sosial (20 Juni 2019) mengatakan:

Karna disini kita terbatas waktu untuk penangan PMKS sendiri dari 2
minggu sampai 1 bulan kita tidak bisa terus menerus menampung atau
merehabnya disini karna setiap minggu masuk PMKS baru yang terjaring
di jalanan. Ketika sudah dirasa sudah mempunyai keahlian dan motivasi
untuk hidup secara layak tidak turun lagi ke jalan kita kembalikan lagi ke
pihak keluarga.

Adapun dibawah ini terdapat tujuan dan sasaran jangka menenegah pelayan

Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung

Tabel 4.5
Tujuan dan Sasaran Jangka Menengah Pelayanan
Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung
69

FORMULASI
N INDIKATO TARGE
TUJUAN SASARAN PERHITUNGA SATUAN
O R T
N
1 Meningkatny Meningkatny Persentase Jumlah PMKS % 32
a PMKS a pelayanan PMKS yang yang
yang terhadap terlayani memperoleh
mengalami PMKS layanan
perubahan dibanding dengan
perilaku jumlah total
PMKS dikali
100%
2 Meningkatka Meningkatny Persentase Jumlah warga % 50
n kualitas a pemenuhan warga miskin miskin yang
pelayanan hak dasar yang memperoleh
bagi warga warga miskin terpenuhi pelayanan dasar
miskin kebutuhan dibanding dengan
dasarnya jumlah warga
miskin yang ada
dikali 100%

Guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan oleh Dinas Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung melalui Revisi Rencana Strategis

Tahun 2013-2018, maka Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota

Bandung menerapkan strategi yaitu :

1. Meningkatkan pelayanan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) melalui upaya-upaya rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial,

jaminan sosial, dan perlindungan sosial bagi PMKS;

2. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan bagi keluarga miskin serta;

Peningkatan kapasitas Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)


70

Dalam merealisasikan strategi penyelenggaraan kesejahteraan sosial, Dinas

Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung perlu menentukan arah

kebijakan selama 5 (lima) tahun yang dapat menunjang terhadap strategi

penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Adapun arah kebijakan yang diambil oleh

Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung selama tahun 2013-

2018 :

1. Penyediaan Rumah Singgah, Rumah Rehabilitasi, dan Bangsal Gelandangan;

2. Pembentukan Tim penjangkauan dan pemantauan Rutin guna melakukan

penertiban terhadap PMKS Jalanan di Kota Bandung;

3. Pemberdayaan Ekonomi bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial;

4. Penanganan Anak Jalanan melalui Kolaborasi dengan Komunitas Peduli Anak

Jalanan

5. Pemutakhiran data PMKS dan warga miskin secara berkala;

6. Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (One Stop Service) kemiskinan;

7. Pemberdayaan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).

Berbagai bentuk kebijakan yang ditetapkan oleh Dinas Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung guna mencapai sasaran yang telah

disepakati, maka diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan

sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun

2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Program dan kegiatan

pada Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung ada

Program/Kegiatan Urusan Wajib Sosial adapun jenis program dan kegiatan yang
71

diterapkan oleh Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung

yaitu :

A. Program/Kegiatan Urusan Wajib Sosial

1. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT), dan

Penyandang Masalah Sosial lainnya, yang terdiri dari beberapa kegiatan

yaitu:

a. Kegiatan peningkatan kemampuan (capacity building) petugas dan

pendamping sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT, dan PMKS

lainnya

b. Kegiatan pelatihan keterampilan berusaha bagi keluarga miskin

c. Kegiatan pengadaan sarana dan prasaran pendukung usaha bagi keluarga

miskin

d. Kegiatan pelatihan keterampilan bagi Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial

e. Kegiatan monitoring, Evaluasi dan pelaporan

2. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial yang terdiri dari

beberapa kegiatan yaitu :

a. Pelayanan dan perlindungan sosial hukum bagi korban perdagangan

perempuan dan anak

b. Pelaksanaan KIE Konseling dan kampanye sosial bagi Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial

c. Penanganan masalah-masalah strategis yang menyangkut tanggap cepat

tanggap darurat dan kejadian luar biasa


72

d. Kajian Identifikasi dan Inventarisasi Data Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial

3. Program Pembinaan Anak Terlantar, yang terdiri dari beberapa kegiatan

yaitu :

a. Kegiatan pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak

terlantar

b. Kegiatan pengembangan bakat dan keterampilan anak terlantar Kegiatan

peningkatan keterampilan tenaga pembinaan anak terlantar

c. Kegiatan pelayanan sosial bagi anak jalanan melalui pemberdayaan

orang tua anak

d. Kegiatan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pelayanan sosial

anak

e. Kegiatan pelatihan keterampilan dan prtaktek belajar kerja bagi remaja

putus sekolah

4. Program pembinaan para penyandang cacat dan eks-trauma yang terdiri dari

beberapa kegiatan yaitu :

a. Kegiatan Pendidikan dan pelatihan bagi penyandang cacat dan eks-

trauma

b. Kegiatan pendayagunaan para penyandang cacat dan eks-trauma

c. Kegiatan Peningkatan keterampilan tenaga pelatih dan pendidik

5. Program Pembinaan Panti Asuhan/Panti Jompo, yang terdiri dari atas :

a. Kegiatan Operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana panti

asuhan/jompo
73

b. Kegiatan Pendidikan dan pelatihan bagi penghuni panti asuhan/panti

jompo,

c. Kegiatan pengadaan prasarana panti persinggahan

6. Program Pembinaan Eks-Penyandang Penyakit Sosial (Eks-Narapidana, PSK,

Narkoba dan Penyakit Sosial lainnya), yang terdiri dari beberapa kegiatan

yaitu :

a. Kegiatan pendidikan dan pelatihan berusaha bagi eks penyandang

penyakit sosial

b. Kegiatan pembangunan pusat bimbingan/konseling bagi eks penyandang

penyakit sosial

c. Kegiatan pemantauan kemajuan perubahan sikap mental eks penyandang

penyakit sosial

d. Kegiatan pemberdayaan eks penyandang penyakit sosial

7. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial, yang terdiri dari

beberapa kegiatan yaitu :

a. Kegiatan peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha

b. Kegiatan Peningkatan kualitas SDM kesejahteraan sosial masyarakat

c. Kegiatan pengembangan model kelembagaan perlindungan sosial

d. Kegiatan penyuluhan sosial keliling

e. Kegiatan pendataan dan penilaian pelaksanaan program kepedulian sosial

(CSR). Draft Renstra Dinsosnangkis (2013-2018)


74

4.4 Kegiatan Pekerja Sosial di Panti Rehabilitasi

4.4.3 Kegiatan dan Program Pekerja Sosial

Pekerja sosial sebegai seseorang warga masyarakat yang mempunyai

kemampuan dan kemauan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta

mengikuti bimbingan atau pelatihan di bidang kesejahteraan sosial. Tang tentunya

bertugas untuk mendorong, menggerakan dan mengembangkan kegiatan

penyelenggaraan kesejahteraan sosial , menginisiasi penanganan masalah sosial,

sebagai pendamping sosial bagi masyarakat, mitra bagi pemerintah atau institusi,

dan memantau kesejahteraan sosial.

1. Tugas dan fungsi Pekerja Sosial

Tugas sebagai pekerja sosial memberikan pelayanan sosial,

membantu orang memecahkan masalah, mengembangkan rencana

penanganan kasus, melaksanakan penanganan kasus individu dan keluarga,

kelompok serta komunitas, dan melakukan pengembangan kompetensi

profesional pekerja sosial. Menurut wawancara yang dilakukan dengan Ruly

Insani Adhitya sebagai pekerja sosial (20 juni 2019) mengatakan:

Tugas pekerja sosial di sini lebih kepada melakukan


pendampingan dari mulai 7 tahapan yang sudah ada mulai dari
kegiatan pendataan, assesment, perencanaan, evaluasi, sama
terminasi kalo untuk sekarang sesuai prosedur saja. Mungkin disini
kita lebih menguatkan dari segi pendekatan sosial dan motivasi
kepada PMKS dari pekerja sosial. Karna berhasil atau tidak program
sebenarnya tidak terpaku pada keterampilan peksos itu sendiri tapi
ada faktor lainpun yang harus di perhatikan, ketika peksos sudah
melakukan tugas secara maksimal tapi klien tetap aja tidak berubah
75

nah itukan banyak faktor dari klien nya mungkin ini cuman butuh
waktu yang lebih.
Adapun tugas yang lain memberdayakan dan sebagai agen perubahan,

melakukan analisis kebijakan sosial berupa penelitian atau analisis

kebijakan sosial, mengembangkan pendidikan dan pelatihan, memberikan

pelayanan perlindungan, melakukan pemeliharaan dan pengembangan

ornganisasi, serta mengembangkan program.

2. Fungsi Pekerja Sosial

1) Preventif

Merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membantu

orang mencegah, mengurangi dan menghilangkan terjadinya

ketidak berfungsian sosial

2) Kuratif Reahabilitatif

Merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membantu

orang untuk memperbaiki, menyembuhkan, dan memulihkan

keberfungsian sosial

3) Pengembangan

Merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membantu

orang meningkatkan keberfungsian sosial

Pekerja sosial profesional bukan hanya pekerjaan amal namun merupakan

profesi yang didalamnya ada 3 (tiga) unsur pokok yaitu pengetahuan,

keterampilan dan nilai. Pekerja sosial profesional mempunyai tugas dan peran

yang penting dalam pendampingan, membingbing serta melakukan pengawasan

terhadap anak yang dijatuhi pidana. Berdasarkan pasar 68 ayat (1) undang-undang
76

nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, tugas pokoknya

adalah. (Andrisman, 2014:91-92)

1) Membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi anak dengan

melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri anak.

2) Memberikan pendampingan dan advokasi sosial.

3) Menjadi sahabat anak dengan mendengarkan pendapat anak dan

menciptakan suasana kondusif.

4) Membantu proses pemulihan dan perubahan prilaku anak.

5) Membuat dan menyampaikan laporan kepada pembimbing

kemasyarakatan menegenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan

terhadap anak yang dijatuhi pidana.

6) Memberikan pertimbangan aparat penegak hukum untuk penanganan

rehabilitasi sosial anak.

7) Mendampingi pengerahan anak kepada orang tua, lembaga, pemerintah,

atau lembaga masyarakat, dam

8) Melakukan pendekatan terhadap masyarakat agar bersedia menerima

kembali anak di lingkungan sosialnya.

Dalam pasal 23 peraturan Mentri Sosial Republik Indonesia Nomor 9 tahun

2015 tentang pedoman rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum

oleh lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial menyatakan bahwa

“pendampingan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial atau

tenaga kesejahteraan sosial yang dilatih dibidang penanganan ABH pada LKPS
77

yang diterapkan oleh mentri, baik diluar maupun didalam lembaga untuk

mendampingi ABH”.

Pendampingan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 dilaksanakan

dengan mekanisme:

a. Menerima penugasan pendampingan

b. Mempelajari kasus

c. Melakukan koordinasi dengan pihak terkait

d. Memberikan pendampingan psikososial

e. Mendampingi diluar maupun diluar lembaga dan

f. Menyusun laporan pelaksanaan pendampingan.

Rehabilitasi sosial ABH yang dilakukan oleh pekerja sosial dan tenaga

kesejahteraan sosial bertujuan agar ABH melaksanakan keberfungsian sosialnya

yang meliputi kemampuan dalam melaksanakan peran, memenuhi hak-hak anak,

memecahkan masalah, aktualisasi diri, pengembangan potensi diri, dan

tersedianya lingkungan sosial yang mendukung keberhasilan Rehabilitasi Sosial

ABH. Rehabilitasi sosial ABH dilaksanakan dalam bentuk :

a) Motivasi dan diagnosa psikososial.

b) Perawatan dan pengasuhan.

c) Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan.

d) Bimbingan mental spiritual.

e) Bimbingan fisik.

f) Bimbingan sosial dan konseling psikososial.

g) Pelayanan aksebilitas.
78

h) Bantuan dan asistensi sosial.

i) Bimbingan resosialisasi.

j) Bimbingan lanjut dan rujukan.

Rehabilitasi sosial dilaksanakan dengan mempertimbangkan hasil assesmen dari

pekerja sosial. Dalam penanganan anak yang demikian maka keluarga,

masyarakat, pekerja sosial/pendamping sosial dan pelaksana program

kesejahteraan anak, seharusnya memahami tentang tugas perkembangan anak

sesuai dengan tahapannya. Prilaku-prilaku yang muncul saat anak tidak dapat

melaksanakan tugas-tugas perkembangannya.

4.4.4. Kemampuan dasar Pekerja Sosial

1) Body of Knowledge

Kerangka pengetahuan (body of knowledge) pekerja sosial yaitu suatu

kerangka pengetahuan yang berisi, berasal dari atau diramu dari konsep-konsep

ilmu prilaku dan ilmu-ilmu sosial. Materi-materi pengetahuan yang diramu

tersebut dibentuk atau dikonstelasikan secara elektik dan dikembangkan melalui

penelitian dan praktek sehingga benar-benar memiliki keunikan. Oleh sebab itu

pengetahuan ilmiah pekerja sosial memiliki ciri-ciri, pluralistik-electic dan

applied. Berbagai macam pengelompokan pengetahuan ilmiah pekerja sosial

banyak dikemukakan para ahli, salah satunya menurut Charles Zastrow dalam

standar kompetensi pekerjaan sosial mengemukakan sebagai berikut:

1. Pengetahuan pekerja sosial yang umum (General Social Work) yang

mencakup:

a) Pelayanan sosial dan kebijakan sosial (social policy and services)


79

b) Tingkah laku manusia dan lingkungan sosialnya (human behavior and

the social environment)

c) Metode praktek pekerja sosial (methods o social work practice)

 Pengetahuan tentang bidang praktek

 Pengetahuan tentang badan-badan sosial tertentu

 Pengetahuan tentang klien

2) Body of Skill

Kerangka keterampilan (body of skill) pekerja sosial yaitu serangkaian

keterampilan teknis yang berdasarkan kerangka pengetahuan, yang dikuasai oleh

seorang pekerja sosial yang diperolehnya melalui pelatihan keterampilan, praktek

belajar kerja magang, dan atau praktek lapangan.

3) Body of Value

Standar kompetensi pekerja sosial di indonesia nilai-nilai pekerja sosial

adalah kerangka nilai (body of value) yaitu nilai-nilai, asas-asas, prinsip-prinsip,

standar prilaku, yang diangkat dari nilai-nilai luhur, falsafah hidup dan pandangan

hidup serta norma-norma sosial budaya/masyarakat dimana pekerja sosial

dilaksanakan. Kerangka nilai-nilai ini berfungsi mempedomi, mengarahkan serta

membimbing sikap serta prilaku seorang pekerja sosial dalam hubungannya

dengan klien, dengan lembaga tempat bekerja, dengan pekerja lain serta

masyarakat luas.
80

Kerangka nilai diperoleh dan dihayati oleh seorang pekerja sosial melalui

upaya penanaman nilai-nilai tersebut dalam proses pendidikannya. Pemhaman

terhadap kerangka nilai membantu pekerja sosial dalam merumuskan “apa yang

seharusnya” sebagai suatu dasar untuk merumuskan tujuan-tujuan dan

mengembangkan program-program kegiatan untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.

Setiap pelaksanaan dalam suatu kegiatan tentu saja didalamnya selalu ada

bentuk harapan dan tantangan. Atau dengan kata lain ada sejumlah faktor

penunjang (harapan) dan faktor penghambat (tantangan). Faktor penunjang adalah

segala hal yang menjadi pendorong, pemotivasi atau setiap sesuatu

pelaksanaannya menjadi lebih baik. Dengan melihat beberapa dari faktor

penunjangnya, maka kegiatan tersebut akan lebih mudah diberdayakan,

difungsikan serta dioptimalkan agar berjalan secara efektif dan efisien sehingga

dapat mencapai sasaran (tujuan) yang ingin dicapai.

Sedangkan faktor penghambat merupakan segala sesuatu hal yang menjadi

penghalang atau menjadikan sesuatu kegiatan tidak/kurang berjalan efektif. Faktor

ini biasanya berupa segala bentuk kekurangan-kekurangan atau tidak adanya

sarana yang mendukung pada kegiatan tersebut berlangsung. Namun demikian,

dengan adanya faktor penghambat ini tidak berarti kegiatan menjadi terhenti, tidak

berjalan, atau bahkan gagal. Akan tetapi, dengan lebih memberdayakan faktor

pendukung (penunjang) yang ada, maka akan meminimalisir dari kekurangan-

kekurangan yang ada. Oleh karena itu, pada pelaksanaan kegiatan program Balai

Rehabilitasi Sosial yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial dan Penanganan


81

Kemiskinan ini, dalam rangka pembinaannya terhadap para pengemis,

gelandangan dan orang terlantar, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah

faktor penunjang dan faktor penghambat. Adapun faktor-faktor tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut :

4.4.1. Faktor Pendorong

Diantara faktor-faktor pendorong yang menjadi alasan efektifnya

kegiatan di Dinas Sosial dan Penanggulangan Kota Bandung ini dimana dalam

program Rehabilitasi Sosial ini diantaranya :

1 Pada dasarnya, para pengemis/gelandangan, anak terlantar, Wanita rawan

sosial yang dibina di Panti Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung ini mempunyai potensi

tersendiri yang kemudian mereka ini memiliki keinginan yang kuat untuk

mengembangkan minat dan bakatnya tersebut dalam menghadapi segala

permasalahan yang akan terjadi dalam kehidupannya. Menurut wawancara

dengan Handian selaku Kepala Bagian PMKS kota Bandung

Adanya keinginan untuk merubah nasibnya, dimana mereka memeiliki


potensi untuk berubah dan untuk mau menjadi lebih baik dan tentunya
merek memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan minat dan
bakatnya tersebut dalam menghadapi segala permasalahan yang akan
terjadi dalam kehidupannya dan supaya kedepannya memeiliki
penghidupan yang lebih baik lagi.
2 Terciptanya jalinan sikap kekeluargaan dan kebersamaan antara para

pekerja sosial dan para pengemis/gelandangan, anak terlantar, Wanita

rawan sosial yang menjadi klien di Panti Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial

dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung sehingga dalam

melaksanakan pembinaan tersebut menimbulkan adanya pendekatan


82

secara emosional, saling percaya dan saling bertanggung jawab antara

keduanya. Tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang dari

instansi-instansi terkait yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat

(sumber kemasyarakatan) yang bekerjasama dengan Dinas Sosial Provinsi

Jawa Barat untuk dapat memberikan pelayanan serta mengembangkan

pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat dimanfaatkan dan

diterapkan kepada para klien yang berada di Panti Rehabilitasi Sosial

Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung . Adapun

sumber kemasyarakatan tersebut diantaranya adalah Dinas Kesehatan,

Departemen Agama, Kepolisian, Koramil, Dinas Pendidikan Nasional,

Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi Usaha Kecil dan

Menengah (KUKM), Dinas Pertanian, Dinas Tenaga Kerja dan

Trasmigrasi, Usahawan, dan Lembaga/Instansi terkait lainnya. menurut

wawancara dengan Yogaswara Hendramurti selaku Kepala Seksi

Rehabiltasi Sosial bagian Tuna Sosial, Korban Perdagangan dan Orang

Tindak Kekerasan

Penyandang masalah kesejhteraan sosial yang datang dari mana mana


dan dari daerah yeang berbeda membuat para PMKS ketika di Balai
pelatihan harus saling mengenal satu sama lainnya, haru saling
memahami dan beradabtasi satu sama lainnya belum lagi hubungannya
dengan pekerja sosialnya hal itu membuat adanya jalinan sikap
kekeluargaan dan kebersamaan antara para pekerja sosial dan para
pengemis/gelandangan, anak terlantar, Wanita rawan sosial yang menjadi
klien di Panti Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial dan Penanggulangan
Kemiskinan Kota Bandung sehingga dalam melaksanakan pembinaan
tersebut menimbulkan adanya pendekatan secara emosional, saling
percaya dan saling bertanggung jawab antara keduanya.
3 Dan yang paling menunjang lancarnya kegiatan pembinaan ini adalah

dengan adanya semangat serta keinginan yang kuat dari para klien dalam
83

mengikuti pembinaan/bimbingan tersebut, diantaranya berupa bimbingan

motivasi, bimbingan keagamaan, bimbingan keterampilan, dan

sebagainya. Menurut wawancara dengan Handian selaku Kepala Bagian

PMKS kota Bandung

Setiap PMKS tentunya memiliki keinginan untuk merubah nasibnya,


dimana mereka tentunya memiliki potensi untuk berubah dan untuk mau
menjadi lebih baik dan tentunya merek memiliki keinginan yang kuat
untuk mengembangkan minat dan bakatnya tersebut dalam menghadapi
segala permasalahan yang akan terjadi dalam kehidupannya dan supaya
kedepannya memeiliki penghidupan yang lebih baik lagi ditambah lagi
dinas sosial dan penanggulangan kemiskinan kota bandung memberikan
pelatihan berupa bimbingan motivasi, bimbingan keagamaan, bimbingan
keterampilan, dan sebagainya.

4.4.2. Faktor Penghambat

Sedangkan hambatan-hambatan yang dijumpai dalam kegiatan

pembinaan terhadap para pengemis tersebut diantaranya adalah sebagai berikut

1 Tingkat pendidikan para pengemis/gelandangan, anak terlantar, Wanita

rawan sosial yang rendah menyebabkan beberapa materi yang

disampaikan oleh para pekerja sosial sangat lamban untuk diterima oleh

para pengemis yang dibina di Panti Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial

dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung. Menurut wawancara

dengan Handian selaku Kepala Bagian PMKS kota Bandung

Mereka yang menjadi PMKS tentunya memilikitingakt pendidikan


yang rendah, dan alasanya kenapa mereka menjadi PMKS tentunya
karena alasan pendidikan ynag tidak mempuni sehingga lah bersaing
dengan kondisi sekarang dan tentunya karena alasan ekonomi, hambatan
yang paling dasar adalah mereka kurang ceoat dalam menerapkan apa
yang para pekerja sosal berusaha untuk terapkan sehingga kadang
tercipta kesalah pahaman komunikasi di dalamnya.
84

2 Waktu pembinaan program rehabilitasi sosial yang dirasa terlalu

singkat, yang bila tidak dimanfaatkan dengan baik maka akan

mengakibatkan ketidaksungguhan dan ketidakseriusan terhadap materi

yang akan didapat oleh para klien. Atau bahkan dirasa tidak cukup

untuk merubah secara total segala pola tingkah laku para pengemis yang

sudah terbiasa dengan kehidupan jalanan yang notabene tidak

mengindahkan tata kemasyarakatan, sehingga dikhawatirkan mereka

bisa kembali lagi melakukan aktivitasnya sebagai penyandang masalah

kesejahteraan sosial. menurut wawancara dengan Yogaswara

Hendramurti selaku Kepala Seksi Rehabiltasi Sosial bagian Tuna

Sosial, Korban Perdagangan dan Orang Tindak Kekerasan

Waktu pembinaan yang sebentar mengakibatkan mereka belum


menguasai materi dan ketrampilan sepenuhnya dan belum siap untuk
dilepas kembali ke masyarakat. mereka yang tidak mampu beradaptasi
dan menyesuaikan dri kadang justru malah menjad pengemis kembali
dan justru malah terjaring kembali dan tertangkap kembali untuk masuk
ke panti rehablitasi sosial.

3 Adanya rasa tidak betah atau merasa dirinya bukan sebagai seorang

penyandang masalah kesejahteraan sosial (korban salah tangkap).

Sehingga membuat mereka ingin segara pulang dan tidak betah di panti

rehabiltasi sosial. Menurut wawancara dengan Handian selaku Kepala

Bagian PMKS kota Bandung

Adanya rasab tidak betah dan ketakutan akan dlakukan atau


dikembalikan ke daerah asalnya menjadi salah satu faktor penghambat
seseorang ketika d panti rehabilitasi sosial. rasa tidak betah tersebut
atau merasa dirinya bukan sebagai seorang penyandang masalah
kesejahteraan sosial (korban salah tangkap) membuat mereka kadang
membuat masalah di panti rehabilitasi sosial. Ketidak betahan tersebut
85

kadang membuat mereka ingin segara pulang dan tidak ingin tinggal
lama di panti rehabiltasi sosial.

Dari hasil penelitian ini untuk mencari sebuah jawaban dari rumusan

masalah selain diperlukannya data persentase dari Dinas Sosial diperlukan pula

adanya wawancara, peneliti perlu menghadirkan beberapa orang klien untuk

dijadikan sample. Hal ini tentunya bertujuan untuk melihat sejauh mana hasil

Kontribusi Dinas Sosial kota Bandung dalam mengatasi Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial dalam Efektivitas Program Rehabilitasi yang diadakan oleh

Dinas Sosial Kota Bandung itu sendiri, dan penelitian ini ingin meninjau sejauh

mana perubahan yang telah diperoleh klien dari kegiatan program rehabilitasi

sosial tersebut. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menghadirkan hasil wawancara

dengan beberapa klien, diantaranya Neneng, Imran, dan Asep Iqbal.

Asep Nuryana. selaku Pekerja sosial Madya yang juga bertugas sebagai

koordinator Pekerja Sosial di Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota

Bandung menuturkan kepada penulis bahwa program rehabilitasi sosial yang

diadakan oleh pihak Dinas Sosial sedikit banyak memberikan perubahan terhadap

klien. Klien telah mengalami peningkatam serta adanya rasa ingin berhenti

menjadi penyandang Masalah kesejahteraan sosial. Para klien pada dasarnya

semakin memahami hakikat kebendaannya baik sebagai makhluk Tuhan maupun

makhluk sosial. Para klien tersebut semakin memahami berbagai ilmu

pengetahuan, seperti pengetahuan agama, pengetahuan sosial, pengetahuan umun,

ataupun kedisiplinan. Diantaranya mereka sedikit banyak telah memperoleh

berbagai keterampilan yang bisa mereka aplikasikan setelah keluar dari Panti
86

Rehabilitasi, dapat melakukan mandi secara rutin, mengikuti kegiatan membaca

Surat Yasin setiap malam jum’at, juga mereka sedikit demi sedikit dapat merubah

pola tingkah lakunya yang pada awalnya jauh dari kata “baik”. Seperti misalnya

mereka bisa meredam amarah ketika terjadi perselisihan antar sesama klien,

karena pada mulanya mereka sering melakukan tindak kekerasan bahkan sering

menggunakan senjata tajam ketika terjadi pertengkaran antar mereka. Hal ini

seperti yang pernah dialami oleh beberapa klien yang pada waktu itu sempat

kehilangan sandalnya. Yang pada akhirnya mereka dipanggil oleh pihak Panti

Rehabilitasi dan diberikan sanksi dan juga peringatan keras berupa ancaman

dikeluarkan dari Balai atau berhadapan dengan pihak berwajib (Wawancara Asep

Nuryana, pada hari Rabu, 6 Maret 2019). Intinya, setelah mendapatkan pembinaan

dan pelatihan selama kurang lebih empat bulan, para klien ini sudah dapat

memahami serta bisa mengatur pola hidupnya menjadi lebih baik lagi. Sehingga

mereka bisa hidup secara layak seperti halnya masyarakat lainnya.1

Walaupun proses dari peningkatan itu tidak signifikan, tetapi hal tersebut

menjadi keberhasilan yang cukup lumayan. Hal ini dikarenakan latar belakang

dari para klien tersebut sangat berbeda dan bervariasi. Kebanyakan mereka tidak

mampu secara ekonomi dan secara umum mereka dilatarbelakangi dengan

pendidikan yang kurang. Maka tidak aneh pada waktu pertama masuk Panti atau

Balai pelatihan, diantara mereka masih ada yang tidak bisa baca tulis, terlebih lagi

membaca Al-Qur’an. Mereka mengabaikan pendidikan karena alasan keterbatasan

ekonomi.

1
Asep Nuryana (Pekerja Sosial Madya), Hasil Wawanacara , pada hari Rabu, 6 Maret 2019
pukul 09.40 WIB
87

Neneng merupakan klien pertama yang berkesempatan diteliti oleh peniliti.

Ibu Neneng ini merupakan salah satu warga asli Bandung. Kini, beliau berusia 52

tahun. Pada kesempatan tersebut, beliau menuturkan pengalamannya kepada

peniliti. Sebelum ia berada di Balai dan Panti Rehabilitasi Sosial, beliau ini

merupakan seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya hidup sederhana.

Beliau mempunyai 6 orang anak yang kesemuanya hanya berkesempatan sekolah

hingga bangku SD saja, bahkan beberapa dari anaknya tersebut tidak sempat

meneruskan pendidikannya itu.

Maklum saja, beliau hanya menggantungkan nasibnya kepada suaminya

yang pada waktu itu hanya berprofesi sebagai tukang becak. Sehingga,

penghasilannya tersebut tidak bisa mencukupi kehidupan keluarganya. Seiring

dengan berjalannya waktu terdapat suatu kejadian diaman terjadi krisis ekonomi

yang melanda bangsa, keluarga Bu Neneng ini mengalami kesulitan dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya, 2 tahun yang lalu sepasang suami

istri ini berpindah profesi sebagai pengemis. Hal ini tentu saja dilakukan terpaksa

demi sesuap nasi untuk keluarganya.

Biasanya, sepasang suami istri ini beroperasi secara terpisah diperempatan

lampu merah sekitar jalan Dago-Bandung. Menurutnya, dengan mengemis ini

mereka bisa meraup hasil yang lumayan ketimbang dengan penghasilan yang

didapat sebagai tukang becak. Oleh karenanya, mereka mencoba untuk konsisten

dengan berprofesi sebagai pengemis. Namun, pada saat pergantian awal tahun

teaptnya sehari setelah tahun baru 2019, Ibu Neneng ini tertangkap razia oleh

Satpol PP kota Bandung, sehingga beliau ini diamankan untuk dimintai


88

keterangan dan dikirim ke Panti dan Balai Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung ini untuk mendapatkan pembinaan.

Pada waktu itu, Bu Neneng tidak bisa membawa anaknya-anaknya yang ke

Panti atau Balai Rehabilitasi sosial tersebut. Anaknya-anaknya yang masih kecil

beliau titipkan kepada orang tuanya. Kesedihanpun menyelimuti keseharian beliau

selama berada di balai/panti rehabilitasi sosial. Namun hal tersebut mau tidak mau

harus beliau lalui juga. Selang 3 bulan tinggal di balai dan panti rehabilitasi sosial

Kota Bandung, beliau menuturkan kepada peniliti bahwa beliau ini sudah

mengalami banyak perubahan. Mulai dari keterbatasan dalam beribadah,

membaca Al-Qur’an, ataupun lainnya. Namun, setelah beliau mendapat

bimbingan, kini beliau tidak pernah lagi meninggalkan shalat lima waktu,

mengikuti kegiatan baca Surat Yasin setiap malam jum’at, bahkan beliau sudah

bisa menghafal surat-surat pendek.

Sebelumnya, beliau ini sering meninggalkan perannya sebagai hamba Allah,

karena memikirkan untuk makan hari ini saja beliau sulit. Yang ada difikirannya

hanya bagaimana beliau bisa menyambung hidup. Oleh karenanya, beliau hanya

sibuk di jalanan untuk menengadahkan tangannya sebagai peminta-minta. Selain

itu, beliau juga menuturkan bahwa setelah mengikuti salah satu program kegiatan

di Balai dan Panti Rehabilitasi Sosial, akhirnya sekarang ia sudah menjadi ahli

pembuat kue. Dan hasil belajarnya ini akan beliau aplikasikan setelah ia keluar

dari balai nanti dengan membuka warung kecil, dan menjualnya sebagai sumber

pendapatan beliau beserta keluarganya2

2
Neneng, (Penyadang Masalah Kesejahteraan Sosial) pada hari Rabu, 6 Maret 2019 Pukul
13.00
89

Selama kegiatan pembinaan rehabilitasi sosial tersebut berlangsung, tentu

saja hal ini tidak selalu dapat dilalui dengan mulus. Awalnya Bu Neneng ini

merasa tidak betah berada di balai ini karena beliau selalu teringat dengan

anaknya yang masih kecil yang beliau titipkan kepada orangtuanya. Kesedihan

serta perasaan kehilangan pun sering menghampiri Bu Neneng ini. Namun,

dengan bimbingan mental berupa konseling yang beliau jalani, akhirnya beliau

sedikit bisa merasa tenang karena bisa mencurahkan segala isi perasaannya

kepada para pekerja sosial. Dengan itu, beliau mendapatkan motivasi serta

dorongan yang kuat agar bisa tetap bertahan demi masa depan anak-anaknya juga

kelak.3

Adapun klien kedua yang sempat menjadi subjek penelitian penulis yaitu

Bapak Imran. Sekarang beliau berusia 36 tahun dan merupakan warga asli

kabupaten Garut. Pada dasarnya, klien yang berada di balai dan Panti Rehabilitasi

sosial ini mempunyai latar belakang yang berbeda. dengan Ibu Neneng ini,

awalnya beliau merupakan seorang yang berprofesi sebagai pengamen jalanan.

Semasa remaja, beliau sering berkelana menyusuri jalan dengan menaiki bis-bis

jurusan luar kota. Hingga pada akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal di

Bandung, karena menurutnya Bandung memberikan satu ketertarikan tersendiri

sebagai sumber penghasilannya. Dulu beliau sempat bergabung dengan Kelompok

Penyanyi Jalanan (KPJ) di Bandung, namun hal ini tidak berlangsung lama.

Pada dasarnya, beliau ini dilatarbelakangi pendidikan yang sangat kurang.

Sehingga beliau tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak untuk

3
Neneng (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial), Hasil Wawanacara , pada hari Rabu,
6 Maret 2019 pukul 10.00 WIB
90

menghidupi keluarganya. Oleh karenanya, Bapak Imran ini tetap bekerja menjadi

seorang pengamen jalanan, bahkan sesekali beliau ini suka mengemis dengan

membawa anaknya sebagai media agar banyak dermawan yang merasa iba

padanya. Sampai suatu saat, beliau tertangkap saat ada penjaringan di Jalan

Jakarta pada bulan februari lalu. Awalnya Bapak Imran ini sempat menolak untuk

masuk Panti Rehabilitasi sosial. Namun setelah diberikan arahan dan motivasi

beliau akhirnya menerima keputusan tersebuat dan mau masuk ke Panti

Rehabilitasi Sosial, setelah melihat pemaparan program yang dibuat oleh Dinas

Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung. Beliau kemudian merasa

tertarik dengan program yang diadakan di balai dan panti Rehabilitasi sosial

tersebut.

Bu Imran juga sempat menuturkan kepada peneliti bahwa merasa senang

dan enak berada didalam balai dan panti Rehabilitasi sosial ini, sudah diberi

tempat tinggal yang cukup layak, bahan makanan dijamin, serta kebutuhan sehari-

haripun disediakan. Awalnya beliau ini termasuk orang yang jarang mengikuti

kegiatan bimbingan dengan berbagai alasan. Sehingga beliau kurang disenangi

oleh rekannya yang lain. Namun, setelah Bapak Imran ini mendapat teguran dari

pekerja fungsional, maka beliaupun mau mengikuti kegiatan tersebut, itupun

masih perlu diajak oleh salah satu rekannya. Setelah kurang lebih satu bulan

berada di balai dan Panti Reahbilitasi sosial, beliau pun merasakan perubahan

terhadap dirinya. Terutama setelah beliau mendapatkan bimbingan motivasi yang

menjadi program favoritnya. Dimana, beliau menuturkan bahwa pada saat seperti

ini mereka bisa berkumpul bersama di sebuah rumah singgah. Menurutnya, ini
91

merupakan suatu ajang silaturahmi dan juga kesempatan dimana mereka bisa

berkumpul dan berbagi pengalaman yang berharga. Dalam benaknya, terbesit

kesenangan tersendiri, yakni kehadirannya ini bisa diakui oleh rekannya yang lain

yang awalnya tidak terlalu menyukainya.

Setelah 1 bulan berada di balai dan Panti Rehabilitasi Sosial ini, kini Bapak

Imran sudah memiliki keterampilan yaitu menyablon baju. Beliau berharap

dengan keahlian yang ia peroleh setelah mendapatkan bimbingan dan motivasi

tersebut untuk selanjutnya bisa mengikuti program transmigrasi berwirausaha.

Kemudian beliau mengikuti penyaluran lapangan pekerjaan dan bisa bekerja

sesuai kemampuan yang dimilikinya.4

Klien ketiga yang berkesempatan menjadi objek penelitian peneliti adalah

Asep Iqbal dia adalah seorang pengemis yang terjaring di Pasar Baru beliau masih

berusia 12 Tahun. Asep iqbal ini berasal dari daerah Cimahi yang awalnya

berprofesi sebagai pemulung sama dengan profesi ayahnya. Karena kondisi

keluarganya yang berada di bawah garis kemiskinan membuat Asep Iqbal tidak

bisa melanjutkan pendidikannya dan harus membantu keluarganya untuk mencari

uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sejak dulu, tentunya Asep ini tentunya tidak ingin dirinya bernasib menjadi

seorang pemulung dan ingin melanjutkan pendidikannya. Namun, akibat

keterbatasan ekonomi yang dialaminya, maka ia memilih untuk membantu

ayahnya untuk menjadi pemulung. karena pada dasarnya ini adalah satu bentuk

keterpaksaan demi kelangsungan hidupnya beserta keluarga. Namun Asep melihat

4
Imran (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial), Hasil Wawanacara , pada hari Rabu, 6
Maret 2019 pukul 10.30 WIB
92

teman-temannya yang menjadi pengemis di kota Bandung, memiliki pendapatan

yang lebih menggiurkan daripada menjadi seorang pemulung. Rata-rata temannya

bisa mendapatkan uang Kurang lebih 200ribu perhari. Dan itu membuat Asep

menjadi tergiur dan memilih ikut ke Bandung bersama tema-temannya menjadi

seorang Pengemis. Asep dan teman-temannya menaiki bis dari Cimahi menuju

Bandung. Dan lokasi mereka mengamen adalah di daerah Pasar Baru.

Namun setelah dua minggu menjadi pengemis, Asep justru malah

tertangkap saat adanya perjaringan yang diadakan oleh Dinas sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan kota Bandung. Asep dibawa ke Balai dan Panti

Rehabilitasi Sosial Kota Bandung. Selama berada didalam Balai, Asep ini dikenal

sebagai anak yang pendiam dan baik serta merupakan salah satu klien yang rajin

mengikuti berbagai kegiatan pembinaan. Asep menuturkan kepada peniliti bahwa

ia mengakui kesalahannya dan ia ingin pulang ke Cimahi sebab ingin membantu

keluarganya yang kesusuahan. Asep berharap kehidupannya akan berubah ke arah

yang lebih baik.

Selain itu, selama dua minggu berada di Panti dan balai Rehabilitasi Sosial

Dinas Sosial Kota Bandung ini, Asep sering mengikuti kegiatan-kegiatan rohani

seperti pengajian, baca tulis Al-Qur’an, praktek ibadah, dan sebagainya. Kegiatan

ini merupakan salah satu program yang digemarinya. Menurutnya, materi yang

disampaikan sangat jelas, baik dengan menggunakan metode wawancara, diskusi

maupun tanya jawab. Maklum saja, beliau ini sudah lama tidak bergaul dengan

kegiatan-kegiatan seperti ini, karena beliau hanya tinggal di jalanan yang jauh dari

kehidupan sosial agama. Sambil tersenyum, Asep mengakui bahwa ia ingin


93

belajar mengaji dan ingin melanjutkan pendidikannya. Pelajaran yang selama ia

peroleh selama bersekolah sampai SD kelas 4 pun sebagian ada yang sudah lupa.

Untuk itu, menurut Asep dengan adanya kesempatan mengikuti kegiatan rohani di

Balai dan Panti Rehabilitasi sosial ini tidak boleh disia-siakan begitu saja. Karena

selain hal ini dapat memberikan ketenangan batin, juga kegiatan ini termasuk

salah satu kewajiban sebagai seorang muslim untuk bekal kita dihari depan5

Berdasarkan dari hasil wawancara penulis dengan ketiga klien tersebut,

dapat disimpulkan bahwa secara garis besar program kegiatan pembinaan dan

rehabilitasi sosial yang diadakan di Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan

Kota Bandung ini sangat berpengaruh terhadap klien/PMKS, terlepas dari sedikit

banyaknya perubahan yang dialami oleh para klien/PMKS. Misalnya, setelah

mendapatkan pembinaan, para klien pada dasarnya semakin memahami hakikat

kebendaannya baik sebagai makhluk Tuhan maupun makhluk sosial.

Pada dasarnya, dari sekian banyak program yang diadakan di Dinas Sosial

dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung tersebut, yang paling

mempengaruhi kehidupan para klien ini adalah kegiatan keagamaan, pelatihan

soft skill dan pemberian motivasi. Hal ini berdasarkan pada keterangan bahwa

pemahaman tentang keagamaan dan pelatihan soft skill ini merupakan basic

utama dalam pedoman hidupnya yang tentunya akan berpengaruh terhadap

mereka untuk menentukan kearah mana kehidupannya tersebut akan dibawa.

Sehingga banyak dari klien sangat berantusias dengan kegiatan pemahaman

keagamaan, pelatihan soft skill dan pemberian motivasi ini. Namun disamping itu,

5
Asep Iqbal (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial), Hasil Wawanacara , pada hari
Jum’at, 8 Maret 2019 pukul 09.00 WIB
94

kegiatan lainnya pun tentunya berpengaruh banyak terhadap perubahan para klien.

Misalnya kegiatan keterampilan yang diadakan di Balai/Panti Rehabilitasi Sosial.

Hal ini bisa dilihat dari keterampilan yang dihasilkan oleh para klien.

Dengan kata lain, program yang diadakan di Balai dan Panti Rehabilitasi

Sosial Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung ini dapat

dikatakan mampu/berhasil atau efektif dalam mengatasi permasalahan dalam

rangka pemulihan sosial para penyandang masalah kesejahteraan sosial,

khususnya para pengemis, gelandangan dan orang terlantar ini dalam mencapai

taraf hidup, kehidupan dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat dan

martabat manusia, yang diarahkan pada pemulihan kedudukan dan peranan

sosialnya6

6
Handian (Kepala Bagian Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial), Hasil Wawanacara ,
pada hari Rabu, 13 Maret 2019 pukul 14.00 WIB
95

Daftar Pustaka

George Ritzer, Edisi Kedelapan Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2012)

Adi Fahrudin, Ph.D. Pengantar Kesejahteraan Sosial, 2012, (Bandung: PT.

Refika Aditama, 2012)

Bernard Raho, SVD. Teori Sosiologi Modern, 2007, (Jakarta: Prestasi Pustaka)

Sardiman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: rajawali pers,

2012)

Koentjaraninggrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:

Gramedia,1983)

Margaret Poloma, Sosiologi Kontemporer,(Jakarta: Rajawali, 2000)

M. Taufiq Rahman, Glosari Teori Sosial, ( Bandung : Ibnu Sina Press, 2011)

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)

Syahrial Syarbiani, Fatkhuri, Teori Sosiologi Suatu Pengantar, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2016)
96

J.Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan,

(Jakarta: Kencana, 2007)

J.R.Faco, Metode Penelitian Kualitatif : Jenis Karakter dan Keunggulannya,

(Jakarta: Grasindo, 2010)

Black James J & Champion Dean J, Metode dan Masalah Penelitian Sosial,

(Jakarta: PT. Refika anggota IKAPI, 2001)

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2001)

Deddy Mulyana & Dedi Junaedi, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 2010)

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : (PT. Remaja

Rosdakarya Offset, 2008)

Skripsi & Jurnal

Aceng Ibrahim, 2017, Peran Pemberdayaan Masyarakat Dalam Meningkatkan

Keterampilan Masyarakat Miskin:Studi Deskriptif Peran Pemberdayaan

Masyarakat Dalam Meningkatkan Keterampilan Masyarakat Miskin.

Gilang Ramadhan, 2018, Peran Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Deskriptif Desa Cibeunying

Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung.

Neng Yeni Pitria, 2017, Implementasi Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Dan Penanganan Kesejahteraan Sosial Di Kota Bandung.

Imas Siti Masitoh, 2010, Pola Pembinaan Lembaga Sosial Terhadap Para Pengemis:

Studi di Balai Rehabilitasi Sosial Bina Karya (BRSBK) Cisarua Bandung.


97

M. farid Asyhari, Pambudi Handoyo, 2016, “ Peran Dinas Sosial Kabupaten Blitar

Dalam Mengatasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial atau PMKS (studi

kasus narkotika/NAFZA). (Jurnal Peran Dinas Sosial Kabupaten Blitar Dalam

Mengatasi PMKS)

Muslim, Heri Sismoro, 2014, “Perancangan Sistem Informasi Berbasis web Data

PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) Pada Ikatan Pekerja

Sosial Masyarakat Kabupaten Pelalawan”. (Jurnal Ilmiah DASI Vol.15.

Anda mungkin juga menyukai