T1 - 312008033 - Bab Iii
T1 - 312008033 - Bab Iii
Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian yang penulis peroleh
disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn telah dibuat. Hasil
penelitan ini dan analisis tersebut disusun mengacu pada konsep-konsep yang telah
dituangkan pada BAB II, dan data Bab III ini diperoleh wawancara dengan pemangku
jabatan di Dewan Adat Biak, dan sumber-sumber lainnya yang kemudian dianalisis
berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang berlaku di daerah
setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau buku-
A. Hasil Peneltian
Pulau Biak dan Pulau Numfor serta lebih dari 42 pulau sangat kecil,
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 18:45
Samudera Pasifik. Posisi ini menjadikan Kabupaten Biak Numfor sebagai
salah satu tempat yang strategis dan penting untuk berhubungan dengan
pariwisata.
Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di
berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17.
penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem “w” pada
kata wiak sebenarnya berasal dari fonem “v” yang kemudian berubah menjadi
“b” sehingga muncullah kata Biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama
terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor,
dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung
antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah
dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk
Cenderawasih itu.2
Asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat. Pertama
ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata “v” iak itu yang pada mulanya
orang yang tidak pandai kelautan”, seperti misalnya tidak cakap menangkap
ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas
dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 20: 45
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 21:05
Pendapat lain, berasal dari keterangan cerita lisan rakyat berupa mite,
yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang
suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari
permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau
`v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh
mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang
Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah
dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak
adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi
mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau
kampung. Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada
4
Kamma 1978:29-33
5
De Bruijn 1965:87
Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli
Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan
dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah
3. Bentuk Pemerintahan
6
http://seputarbyak.blogspot.com/2013/06/sejarah-pulau-biak-kabupaten-biak-numfor.html
Bentuk Pemerintahan Biak sebelum dan setelah bersama Indonesia antara lain
sebagai berikut7 :
Warsa (Desember 1526 - Mei 1527) menunggu cuaca yang baik dan di
Mei 1527.
Pada tahun 1616 Jacob Le Maire dan Willem Cornelizs Schoten yang
1908 Pendeta F.J.F Fan Hasselt membuka Pos Zending pertama di Maudori
dengan menempatkan Guru Petrus Kafiar putra asli Maudori (Biak) yang
menjadi Guru Injil pertama di Irian Jaya, kemudian tempat ini diusahakan
pedagang Belanda (VOC) kerja sama dengan pedagang Cina sebagai tempat
7
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/91/name/papua/detail/9106/biak-numfor
download Jumat , 23 Mei 2014, Jam 18:45
b. Periode Tahun 1919 – 1945
daerah Biak Numfor hingga tahun 1945. Pada Bulan April 1942 pecah
samping fasilitas yang tersedia pada waktu itu tidak memadai bila
tanggal 1 Mei 1963 jam 12.30 WIT, diadakan upacara penyerahan Irian
Barat (IBRP) dengan dibukanya peti uang IBRP oleh Lukas Rumkorem.
8
Nama “Nicakamp” diperkirakan berasal dari penyebutan local atas “NICA Camp” yang adalah kamp pasukan
yang pada waktu itu juga menjabat sebagai Ketua Dewan Daerah Biak.
yang masih itu masih membawahi daerah Yapen waropen dan sebagaian
daeran Paniai.
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka antara lain :
tradisionalnya ;
perkembangan masyarakat
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan
peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya
tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan
penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
(indigeneous people).
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan
dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan
dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam
perundang-undangan.
penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat
yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat,
ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian
ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata
sebagai berikut :
Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai
menumbuhkan sikap apatis dan disintegratif sebagian masyarakat Papua. Bila kita
melihat sejarah, konflik yang terjadi di Papua awalnya berupa konflik komunal
yang terjadi secara tradisi, yang timbul dari persaingan antarsuku dalam
memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik tradisi berkembang menjadi lebih
dan kesenjangan antara masyarakat lokal dan pendatang menjadi pemicu konflik
baru di Papua. Isu-isu itu menjadi komoditas yang sangat mudah dikelola oleh
berbagai pihak, terutama yang berkaitan dalam penguasaan sumber daya alam.
yang menurut mereka diwariskan Tuhan kepada mereka dan dipercayai turun-
temurun hingga saat ini adalah salah satu kepercayaan masyarakat adat asli
Kabupaten Biak Numfor. Ketika kita berbicara tentang adat maka kita berbicara
percampuran antara adat dengan kepercayaan agama Kristen yang masuk di Biak
tertulis bahwa apa yang ditulis menjadi bagian yang sakral dimana perjanjian
lama memuat tentang aturan-aturan adat yang harus dan patut ditaati karena itu
yang menulis tentang adat itu sendiri, narasumber juga mengungkapkan bahwa
kalau yang menjadi bagian dari aturan sanksi hukum adat disampaikan dari awal
mulanya manusia orang Papua atau orang Biak itu berada, maka itu di pakai
9
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
sebagai aturan hukum, bagi siapa pelanggar hukum maka akan di berikan sanksi
adat.10 (dalam hal ini dikatakan bahwa Hukum Tuhan didalam perjanjian lama
dan perjanjian baru adalah bagian yang memuat segala aturan yang menjadi
kontrol agar manusia tidak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan orang
lain, dan ini menjadi bagian aturan-aturan adat yang apabila ada masyarakat adat
dalam hal ini masyarakat Kabupaten Biak yang melangggar maka dia akan
Selama ini sanksi adat di Kabupaten Biak Numfor sudah berjalan hal ini
terlihat dengan sanksi adat yang diberikan dalam beberapa kasus yang
semua merujuk pada sanksi hukum adat. Hasil wawancara dengan narasumber
hukum adat dikarenakan ada beberapa alasan yakni faktor keterbukaan dalam
penyelesaian sengketa, faktor kendala bahasa, faktor waktu dan tempat, faktor
bagi masyarakat adat di Biak. Pada saat itu belum ada lembaga pemerintah
10
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak
11
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak
yang mewadahi atau mengakomodir permasalahan-permasalahan adat serta
tugas dan wewenang hakim adat yang telah dilantik sejak tahun 1950.
membentuk dewan adat Biak Numfor dengan tujuan untuk mewadahi dan
dan mengakomodir fungsi tugas peradilan adat yang dipakai sebagai acuan
kepada peradilan adat untuk mengadili seseorang baik itu dari suku-suku
asli maupun suku lain atau suku pendatang di Kabupaten Biak Numfor, jadi
apabila ada masalah adat yang terjadi pada suku asli di Biak dan datang
Karkara Byak). Penelitian dokumentasi oleh Rapat Kerja Dewan Adat Biak
hakim-hakim adat dan para kepala kampung pada tahun 1950 di wilayah
adat juga telah tercatat sejak tahun 1953. Dalam dokumen KKB juga sudah
berikut:
hukum yang ada, dewan adat juga merujuk pada keputusan KKB ada
orang-orang tua dulu pada tahun 1950an sudah membuat keputusan KKB
tersebut.
12
Lihat Dokumen KKB Tahun 1950.
Biak Numfor yang dapat dipegang sebagai dasar untuk mengambil
Pasal 1
Bilamana ada seorang menjuruh seorang lain untuk memanjat
kelapa dan lain-lain akhirya jatuh dan itu mati, maka menurut hukum adat
orang biak maka yang menyuruh orang itu naik kelapa hingga jatuh mati,
wajib membayar denda babiak 200 barang.
Pasal 2
Bila mana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulang kakinya
patah pendek kata salah sebuah anggota tubuhnya luka parah dan akhirnya
sembuh, akan tetapi ia sendiri tak mampu mencari penghidupannya untuk
rumah tangganya, maka ia dikenakan babiak setinggi-tingginya 100 barang
campur (papus barbaren).
Pasal 3
Bilamana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulangnya patah,
akan tetapi kemudian sembuh dan ia dapat melakukan pekerjaannya lagi
maka ia harus membayar dan setinggi-tingginya 50 barang campur ( papus
barbaren).
Pasal 6 Bagian:
1. “Sasmerbin atau Samarmerbin”. Bila mana seorang perempuan
kawin dengan keridla hatinya dilarikan oleh aki-laki lain maka
segala mas kawinnya dikembalikan. (Bim befarbuk kwar boi
snon bese duni ma byuki: Irya ararem ro snon byuk beponya,
kyabri kayem)
2. Bila mana perempuan tersebut karena perbuatan lakinya tidak
baik, dilarikan laki-laki lain maka maskawinnya tidak
dikembalikan. (Bim befarbuk kwar ine, bur ra fyarbuk
13
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
bese/byuk snon babo, snar snon byuk beponya kenenm byedi
bye Irya araren snon byuk beponya kyaber ba)
3. Bila mana anak perempuan bujang dilarikan oleh seorang laki-
laki maka dendanya dijatuhkan kepada laki-laki setinggi-
tingginya 50(lima puluh) robena atau papus. (Imboi inai ingbor
ro snon I duni, Irya babyak parkara ya dado fa snon beyuni ya
isoine babyak babaya 50 robena ma papus)
4. Bila mana anak seorang anak perempuan balu dilarikan oleh
seorang laki-laki, maka dendanja dijatuhkan kepada laki-laki
tersebut per setinggi 30 robena atau papus. (Bim kabong snon ya
duni’fa byuki;Irya babyak ya baba byedya bye 30 robena ma
papus)
Pasal 7 Bagian:
1. Bilamana seorang perempuan kawin, lari dari lakinya maka segala
maskawin dikembalikan. (Bin befarbuk ibur swari:Irya ararem
snoni byuk darmu. Bin ine kyab’ri kayem be snon iburya)
2. Bila mana seorang perempuan tersebut lari dari lakinya karena
perbuatan lakinya tidak baik, maka maskawin tidak dikembalikan.
(Bin ibur snon byuk ya snar kenem snon byuk ya. Ibyeba:Irya
ararem snoni byuk darmi ya kyaberba)
3. Bila mana seorang perempuan bujang atau perempuan balu lari
dari kaum keluarganya akan membuktikan keridlaan hatinya maka
dalam hal ini “Babiak Mamia” tidak berlaku. (Inai igbor syae ma
ibur simam byesya fa dun snon kabor imarisem ya ma subuk su :
Irya babyak mamiyai oba)
Selain sanksi adat yang diatur dalam KKB, ada juga beberapa keputusan-
keputusan tersebut menjadi sari hukum adat, sari hukum adat tersebut ditetapkan
sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah, tetapi acuannya tetap sama hanya
oleh wilayah masing-masing, hal ini juga di sebut dengan fenomena nilai atau
variasi nilai sangsi adat berdasarkan masing-masing wilayah adat. Lembaga ini
lain-lain.
penyelesain sengketa dimana nantinya ada pelaku dan korban atau orang –
orang yang bersengketa didalam persidangan yang akan dipimpin oleh hakim
yakni kepala suku untuk menyelesaikan perkara dan hakim akan mengambil
d. Hakim Adat
oleh hakim adat. Hakim adat adalah seseorang yang dipercaya dan ditunjuk
langsung oleh masyarakat wilayah hukum adat tetentu menjadi mananwir atau
kepala suku. Hakim dalam peradilan adat sebagai pengambil keputusan tidak
14
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
15
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
dibedakan atau tidak ada perbedaan antara hakim untuk keputusan sengketa
(1) harus menegakkan hukum siapa pun pelanggar hukum maka wajib
dihukum.
apakah orang yang dihukum statusnya mampu atau tidak, kalau tidak
kemudian bisa dilihat pada Perdasus No.20 Tahun 2008 baik asas, tujuan,
kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang dari peradilan adat di Papua pada
16
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
17
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
b. musyawarah dan mufakat; dan
c. peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 3
Peradilan adat di Papua bertujuan :
a. sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan,
perlindungan,penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat
adat Papua dan bukan Papua
b. memperkokoh kedudukan peradilan adat;
c. menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan;
d. menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; dan
e. membantu pemerintah dalam penegakan hukum.
Fungsi
Pasal 7
Pengadilan adat berfungsi untuk :
a. penyelesaian perkara perdata adat dan perkara pidana adat; dan
b. melindungi hak-hak orang asli Papua dan bukan Papua.
Kewenangan
Pasal 8
(1) Pengadilan adat berwenang menerima dan mengurus perkara perdata adat dan
perkara
pidana adat di antara warga masyarakat adat di Papua.
(2) Pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima dan
mengurus
perkara yang terjadi antara orang asli Papua dan bukan asli Papua jika ada
kesepakatan
di antara para pihak.
(3) Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui kewenangan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan
negara.
(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan
atas
putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya, pihak yang
berkeberatan tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri.
(5) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan
hukum
pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari
Ketua
Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan
Negeri
yang bersangkutan dengan tempat terjadi peristiwa pidana.
(6) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi keputusan
pengadilan adat ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka kepolisian dan kejaksaan
dapat
melakukan penyidikan dan penuntutan, dalam hal ini keputusan pengadilan adat
yang
bersangkutan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara
yang
diajukan.
B. Analisis
menganalisis eksistensi peradilan adat Papua khususnya di Kabupaten Biak. Analisis ini
oleh Tullius Cicero (106-43 SM) Ubi Societas Ibi ius (dimana ada masyarakat
disitu ada hukum). Ungkapan itu kemudian dikembangkan dan berlaku juga
kepada masyarkat adat “Dimana ada masyarakat adat disitu ada peradilan
adat”, karena setiap hukum membutuhkan peradilan. Teori ini juga berlaku di
Kabupaten Biak Numfor berkaitan dengan “dimana ada masyarakat adat disitu
adat ada peradilan adat yang berfungsi untuk menyelesaikan segala bentuk
perkara adat baik itu bentuk pidana adat atau perdata adat.
regionalitas menurut Van Vollenhoven berdasarkan konsep atau teori ini juga
dipakai untuk mengatur masyarakat adat dan merupakan sumber hukum yang
Tuhan karna bersumber dari kitab umat kristiani yang berkaitan dengan
Adat
oleh Eugen Ehrlich sebagai das lebende recht atau the living law, ada 4
pemangku adat dalam hal ini ada yang lebih tinggi untuk
ondoafi.
b. Delik Adat
adat adalah setiap pelanggaran adat yang dilakukan oleh satu pihak baik itu
berkaitan dengan materi maupun non materi dengan pihak yang lain. Apabila
pelanggaran itu terjadi akan menimbulkan reaksi adat yaitu pembicaraan dalam
ada keseimbangan.
ada yang mengatur kehidupan kalau di Kabupaten Biak Numfor masyarakat adat
sangat mengetahui aturan-aturan adat yang ada pada Kankain Karkara Byak.
Peradilan adat menjadi lembaga yang sangat penting dilingkungan adat dalam
masyarakat adat.
memisahkan diri dari NKRI, maka Pemerintah memberikan Otsus bagi Provinsi
kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur
dan mengurus sendiri didalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti
juga memiliki tanggungjawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk
memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakiladat, agama, dan kaum
perempuan. Peran yang diberikan adalah ikut serta dalam merumuskan kebijakan
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang termuat
Peradilan Adat Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan berdasarkan Pasal 50 ayat (2)
peradilan adat
3 Fungsi Peradilan adat dalam Undang-Undang Peradilan adat adalah peradilan
yang bersangkutan.
adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang
Nomor 21 Tahun 2001 lebih mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem
(hakim desa) yang pada jaman Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3ª RO dan
18
R. Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, (Jakarta: PradnyaParamita, 1972),
hlm. 50-51.
Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam
rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus
bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi
Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan adat
dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat
mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam
2001 memberikan makna baru terhadap lembaga peradilan di Papua saat ini.
Konsep ini sesuai pula dengan definisi peradilan adat yang dikembangkan
oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan adat adalah “sistem
19
Hedar Laujeng, op.cit., hlm. 1.
mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan terhadap kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan terhadap struktur dan
tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat
setempat20.
adat setempat21, sehingga termasuk sebagai entitas yang mendapat pengakuan dan
dalam kajian ini, yaitu suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang
digunakan oleh peradilan adat dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara
secara seragam mengenai struktur dan mekanisme peradilan adat yang hidup
20
Moh. Mahfud MD., “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong
Globalisasi”, Makalah pada acara Seminar Awig-awig II dengan tema: „Pemberdayaan Awig-awig Desa
Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat Yang Sejahtera”, Bali: 30 September 2010, hlm 4-6.
21
Lihat penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan di
bagian dari sistem peradilan Negara dan bukan pula kelanjutan atau bentuk baru
dari peradilan adat sebagai terjemahan dari inheemsche rechtspraak yang dikenal
pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan telah dihapuskan melalui Undang-
undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dengan begitu, keberadaan peradilan adat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini adalah suatu fakta
meskipun bukan bagian dari sistem peradilan negara tetapi hidup dan diakui oleh
adat itu, di samping berlaku peradilan formal berdasarkan hukum negara, juga
Tahun 1951 bukan bagian dari peradilan negara atau memperoleh pengakuan dari
tersebut dan diterima sebagai bagian dari sistem peradilan negara. Dengan
22
Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah kondisi di mana ada lebih dari satu tertib hukum yang berlaku
di suatu wilayah sosial (sosial field). Lihat: John Griffiths, “What Is Legal Pluralism?”, dalam Journal of Legal
Pluralisme and Unofficial Law Number 24 (Published by the Foundation for the Journal of Legal
Pluralismm,1986), hlm. 1.
berkaitan dengan kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di Indonesia
yakni :
UUD
1945
Pasal
18B
Ayat
(2)
TAP MPR
Romawi III
Pasal 1
Ketetapan MPR
Nomor
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No 21 Tahun
2001
PERATURAN DAERAH
4. Kedudukan Peradilan adat di Kabupaten Biak dalam sistem hukum
Peraturan Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008
Indonesia
Kabupaten Biak dapat dilihat dari budaya hukum yang bersumber dari aturan-
aturan adat yang hidup dari sejak zaman dulu hingga sekarang dan menjadi bagian
hukum yang mengatur cara hidup masyarakat kabupaten biak diluar hukum positif
dan Hukum adat keberadaanya diakui didalam walaupun hukum adat merupakan
sumber hukum yang tidak tertulis karena berasal dari adat kebiasaan masyarakat,
akan tetapi kebaradaanya sebagai sumber hukum positif sudah diakui oleh Negara
23
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 yang berbunyi : “pemerintah
umumnya warga masyarakat didaerah pedesaan dalam hal ini di kabupaten Biak,
masih tunduk dan taat pada aturan hukum adat sebagai pedoman dalam bersikap
dan bertingkah laku serta berinteraksi dengan sesama. Pada dasarnya hukum adat
di Kabupaten Biak merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
menaatinya. Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah bahwa
hukum adat bagi masyarakat Papua khsususnya di Kabupaten Biak hukum adat
23
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32
merupakan faktor penentu dalam mempersatukan seluruh anggota masyarakat,
baik dari segi lahiriah maupun non lahiriah dalam konteks hukum adat.
Hukum adat di Kabupaten Biak biasa disebut Kankai Karkara Byak ini
menjadi acuan atau aturan bagi masyakarat kabupaten dalam menjalani kehidupan
lembaga hukum lain yang berkaitan dengan kekuasaaan hukum lain diluar
lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan
mahkamah konstitusi dalam hal ini peradilan adat Kabupaten Biak, dan Pasal 50
dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua
dan Pasal 4 Perdasus Papua No. 20 Tahun 2008 menjelaskan kekuasaan peradilan
mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan lain atau
pria berwibawa dan kepemimpinan campuran. Dalam hal ini peradilan adat
Indonesia.
Perdasus No 20 Tahun 2008, dalam hal ini berkaitan dengan hasil wawancara
peradilan adat secara tidak langsung telah mengambil wewenang peradilan negara
dan perdata, atau dapat juga dikatakan bahwa ada lembaga lain yang memiliki
peradilan adat. Jadi apabila perkara pidana atau perdata yang berkaitan dengan
masyarakat adat atau dengan masyararakat diluar adat maka diselesaikan dulu di
peradilan adat, dan apabila tidak dapat diselesaikan oleh peradilan adat atau
masyarakat yang bersengkata tidak puas dengan hasil dari putusan dari peradilan
24
Wawancara : Bapak Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak
peradilan di wilayah Republik Indonesia masih dianut, seperti dituangkan melalui
satu pasal tersendiri, tetapi penyelesaian perkara yang diakui hanyalah alternatif
peradilan adat secara utuh, yang berwenang menyelesaikan perkara adat, baik
yang bersifat perdata maupun pidana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
dalam undang-undang yang mengatur kekuasan kehakiman yang berlaku saat ini,
undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
itu sendiri merupakan turunan dari Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tiga hal. Pertama, bahwa dalam
peradilan adat tidak diakui; Kedua, saat ini terjadi inkonsistensi dalam peraturan
terhadap peradilan adat. Di satu sisi, peradilan adat diakui dalam undang-undang
ketiga, dengan begitu, arahan politik hukum pengakuan peradilan adat yang
undang-undang.
a. Perbandingan Peradilan Umum dan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum di
Indonesia
2008
Mahkamah Agung
sanksi dan denda adat tidak hanya dijatuhkan seenaknya saja tetapi
disesuaikan dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri, dimana hukum
dengan prosedural yang cukup berbelit. Atau menjadi alasan juga banyak
bahsa hukum formal ini dikarenakan bahasa hukum adat lebih mudah
Biak Numfor
peradilan adat, karena dianggap lebih cepat, dan tidak memakan waktu
yang lama, dan untuk Peradilan Adat tempatnya mudah dijangkau oleh
denda atau ganti rugi. Sanksi berupa denda adat atau ganti rugi itu wajib
adat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada hidup didalam masyarakat,
alternatif sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam
atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat
Sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih
masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi ruang dengan masyarakat
penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib sosial dan
tercapainya kesejahteraan.
setara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam realitas sosial yang demikian
beragam seperti Indonesia memang bukanlah persoalan mudah. Tidak perlu
diragukan lagi bahwa peradilan adat dapat memberikan sesuatu yang seringkali
lebih baik dari pada ketika orang datang kepada peradilan formal.
peradilan adat lebih mudah diakses oleh masyarakat, cepat dan biayanya murah,
hukum yang lebih panjang, hal ini membuat peradilan adat cenderung dapat lebih
Hal yang lain adalah peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga
dipandang memahami adat didalam masyarakat yang juga memiliki profesi atau
yang melanggar hukum adat. Oleh karena itu, pada umumnya sanksi adat
dalam persidangan adat berupaya menjadi alat untuk mendamaikan para pihak
yang berperkara.
Namun bukan berarti peradilan adat tidak punya masalah atau tantangan
pengawasan terhadap pelaksanaan peradilan adat. Isu soal pengawasan itu penting
peradilan adat adalah tanggungjawab dari pimpinan dan pemangku adat. Namun
tidak berarti bahwa pimpinan dan pemangku adat selalu benar. Kalau mau jujur,
peradilan adat mencakup pertanyaan (1) perkara apa saja yang dapat diadili di
peradilan adat dan (2) peradilan adat dapat diterapkan terhadap orang dari luar
masyarakat adat itu sendiri atau tidak. Secara sekilas tentu dua pertanyaan itu
mudah dijawab.
Namun bila ditelisik lebih jauh dan dalam, maka ada pertanyaan turunan,
misalkan apakah peradilan adat juga akan menangani kasus pembunuhan, korupsi
yang telah melembaga. Pada beberapa komunitas masyarakat adat terlalu bias
adat dapat bekerja untuk mendatangkan keadilan bagi pihak yang lemah di dalam
komunitas.
mengadopsi nilai dan standar-standar yang perlu diikuti oleh para pemangku adat
pemerintah. Oleh karena itu, perlu meletakan kedudukan peradilan adat bukan
bagian untuk pengakuan terhadap hukum adat. Upaya ini berbarengan dengan
tangan negara sekaligus sebagai institusi terdepan dalam menangani perkara yang
Formalisasi lembaga adat ini akan mempengaruhi perubahan nilai dan tata
cara dalam melaksanakan peradilan adat sebab telah mulai mengadopsi nilai-nilai
dan tata cara peradilan formal. Hal ini dilakukan untuk menjamin peradilan adat
persamaan dihadapanhukum (equality before the law ) yang umum dikenal dalam
praktik peradilan.
Adat menjadi bagian dari lingkungan peradilan yang diakui didalam sistem
Masyarakat Adat yang sekarang sedang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR, atau
dalam RUU Desa yang sedang dibahas pada Komisi II DPR. Selain pada level
nasional, pada level daerah dapat didorong peraturan daerah, keputusan kepala
lembaga adat dengan aparat penegak hukum untuk menggunakan peradilan adat
Dengan pendekatan ini maka negara tidak perlu ambil pusing dengan
struktur peradilan adat, termasuk tidak perlu pusing dengan berapa jumlah orang
yang terlibat dalam peradilan, apakah pimpinan acara sidang dipimpin oleh orang
yang disebut hakim atau dengan nama lokal. Inti dari pendekatan formal yang
kedua ini lebih berorientasi pada hasil yang dibuat dari peradilan adat. Putusan
peradilan adat tersebut kemudian dicatatatkan oleh hakim yakni kepala adat atau
orang-orang yang berada di struktur pimpinana adat. Cara ini juga memiliki
kontribusi agar ikut „mendidik‟ hakim muda ikut terlibat dengan hukum yang
peradilan adat dapat mengundang hakim-hakim peradilan adat untuk menjadi ahli
menjadikanbahan kajian oleh akademisi, maka diharapkan hukum adat akan lebih
Dengan kata lain, cara ini tidak bergantung pada ada atau tidaknya pengakuan
dari negara terhadap keberadaan peradilan adat. Pendekatan kedua ini lebih
Semakin adil, dapat diterima dan semakin mudah, maka peradilan adat akan
eksistensi peradilan adat akan diakui secara nasional. Bandul politik hukum
yang ada dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan