Anda di halaman 1dari 3

COVID-19: Penularan melalui Air Limbah

Tjandra Setiadi
Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB

Dalam beberapa bulan terakhir ini, terdapat kekhawatiran di kalangan akademisi tentang
kemungkinan penularan COVID-19 melalui air (waterborne disease). Hal ini disebabkan
ditemukannya virus SAR-CoV-2, untuk selanjutnya disebut virus saja, di tinja, air limbah
dan/atau instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Sebelum membahas lebih lanjut, perlu
dipahami terlebih dahulu, bagaimana uji keberadaan virus tersebut, dimana saja kehadiran
tersebut terdeteksi, bagaimana peluang terjadinya penularan melalui air, apa yang harus
dilakukan untuk meminimalkan resiko.
Uji Virus
Pengujian virus dalam tinja, air limbah dan IPAL dilakukan dengan menganalisis RNA
(Ribonucleic Acid) virus SAR-CoV-2 yang menggunakan teknik RT-qPCR (reverse transcriptase
quantitative polymerase chain reaction). Dengan menggunakan teknik tersebut, kehadiran
RNA virus diasumsikan sebagai kehadiran virus aktif dan digunakan untuk menghitung kadar
virus.
Walaupun demikian, kehadiran RNA virus ini tidaklah serta merta menunjukkan
keberadaan virus aktif dalam media tersebut. Uji ini membuktikan adanya fragmen RNA dari
virus tersebut, apakah aktif atau non-aktif tidaklah dapat ditentukan. Berdasarkan
penelusuran Pustaka hingga saat ini, hanya satu penelitian di China yang telah membuktikan
kehadiran virus aktif dalam tinja pasien COVID-19.
Uji pada Tinja
Penelitian tentang kehadiran RNA virus di tinja pasien COVID-19 telah banyak dilakukan di
berbagai negara, terbanyak adalah dari China, kemudian disusul penelitian di AS, Itali, Korea
dan negara negara lain. Kehadiran RNA ini pun terdeteksi pada pasien yang telah dinyatakan
negatif pada uji usap (swab-test). Dengan demikian perlu perhatian khusus bagi tenaga medis
atau orang yang merawat pasien COVID-19, untuk menghindari resiko penularan dari tinja ke
mulut (faecal-oral).
Kehadiran RNA virus tersebut dalam tinja telah menjadi perhatian dalam pengelolaan
sistem pengaliran air limbah dalam pipa (plumbing system) di gedung gedung Unit Pelayanan
Kesehatan, seperti rumah sakit dan poliklinik yang melayani pasien COVID-19. Sistem
perpipaan yang bocor atau bermasalah dapat berpotensi menyebarkan virus ke Gedung
tersebut.
Disamping itu, RNA virus terdeteksi di tangki septik (septic tank) yang dipakai di sebuah
rumah sakit di China. Termasuk juga pada aliran air limbah yang keluar dari tangki septik
tersebut. Oleh karena itu, pengaliran air limbah dari tangki septik perlu dicermati, agar tidak
mencemari air tanah dan/atau air permukaan.
Uji pada Air Limbah
Penelitian tentang RNA virus di air limbah dan sistem IPAL telah banyak dilakukan di negara
negara maju. Tingkat kadar RNA yang tinggi di saluran air limbah (sewerage) berkorelasi
dengan jumlah pasien COVID-19 di daerah (komunitas) tertentu. Penelitian tentang RNA virus
di negara maju digunakan untuk menilai prevalensi penyakit tersebut di daerah tertentu.
Diharapkan di masa mendatang, kadar RNA virus di aliran air limbah dapat digunakan sebagai
sistem peringatan dini (early warning system) kehadiran virus tersebut di suatu komunitas.
Penelitian tentang nasib virus di dalam sistem IPAL, hingga saat ini, masih terbatas. Tidak
banyak data yang menunjukkan bahwa sistem IPAL mampu mengurangi kehadiran virus atau
sebaliknya. Pada suatu makalah yang menganalisis RNA virus di sistem tangki septik suatu
rumah sakit di Wuchang, Fangchang, China dilaporkan bahwa RNA virus masih terdeteksi
dalam aliran keluar dari tangki septik, bila tidak dilakukan desinfeksi dengan tepat.
Resiko Penyebaran
Dalam diskusi di atas, telah disampaikan bahwa RNA virus telah terdeteksi dalam air yang
terkontaminasi dengan tinja pasien COVID-19. Akan tetapi, apakah virus tersebut tetap aktif
dalam kondisi lingkungan air (water environment) yang memfasilitasi penularan tinja-mulut?
Hal ini belum dapat dipastikan secara ilmiah. Bahkan, WHO (World Health Organization)
masih menyatakan tidak ada bukti penularan dari tinja-mulut tersebut.
Walaupun demikian, terdapat beberapa kasus di China dan AS yang dicurigai terjadinya
infeksi akibat penularan dari air yang terkontaminasi tinja pasien COVID-19. Disamping itu,
potensi penyebaran melalui mulut (enteric) relatif besar bagi pekerja yang menangani limbah
dan air limbah manusia.
Berdasarkan informasi yang ada, transmisi melalui tinja-mulut tetap mungkin terjadi dan
berkontak dengan air limbah yang mengandung virus berpeluang meningkatkan resiko
terhadap kesehatan. Resiko ini makin tinggi bagi negara, daerah atau kota yang tidak memiliki
sanitasi yang baik. Daerah dan kota yang memiliki tingkat buang air sembarangan (BAS) yang
tinggi, makin besar resikonya.
UNICEF melaporkan, pada tahun 2017, bahwa 27 juta masyarakat Indonesia masih
melakukan BAS dan 67 % air minum masyarakat di kota Jogjakarta terkontaminasi oleh bakteri
fekal (fecal bacteria). Hal yang mirip dilaporkan oleh ADB (Asia Development Bank), pada
tahun 2016, bahwa di daerah perkotaan di Indonesia, sekitar 70 % populasi dilayani dengan
menggunakan sistem sanitasi setempat (onsite) seperti tangki septik. Akan tetapi sebagian
besar tidak dirancang dan dipelihara dengan baik. Dengan demikian, pencemaran terhadap
air tanah, air permukaan relatif tinggi. Sungai sungai di Indonesia memiliki kadar bakteri koli
yang tinggi pula, hal ini menunjukkan tingginya kontaminasi air sungai oleh tinja manusia.
Meminimalkan Resiko
Seperti telah disampaikan berulang ulang oleh WHO bahwa penerapan WASH (Water,
Sanitation and Hygiene) dan praktek pengelolaan limbah yang sehat dan konsisten dalam
komunitas, rumah, sekolah, pasar dan fasilitas pelayanan kesehatan adalah kunci pencegahan
transmisi virus dari orang ke orang, termasuk virus COVID-19.
Dalam jangka pendek, perlu dipastkan seluruh unit pelayanan kesehatan melakukan
pengoperasian IPAL dengan baik dan dapat mencapai baku mutu air limbah yang telah
ditetapkan. Bila belum memiliki IPAL yang baik, maka seluruh air limbah perlu didesinfeksi
mengikuti teknik desinfeksi yang telah disarankan oleh WHO atau Lembaga resmi
pemerintah.
Dalam jangka panjang, Pemerintah Indonesia harus meningkatkan pelayanan air minum
yang sehat dan penyediaan sanitasi air limbah yang baik, benar dan konsisten dikembangkan
untuk menjangkau semua lapisan masyarakat. Pencapaian tujuan SDGs di bidang air bersih
dan sanitasi tidak lah cukup hanya pada laporan di atas kertas yang terus meningkat. Akan
tetapi perlu disertai dengan bukti bahwa kualitas air sungai yang terus membaik, terutama
dari sisi kandungan organik dan bakteri koli atau koli tinja yang terus menurun.

Bandung, 3 Juni 2020

Anda mungkin juga menyukai