Mohon Ijin,
Meskipun Penjelasan Pasal I Angka 4 Pasal 30D Ayat (6) RUU Perubahahan
Kedua UU Kejaksaan tahun 2004 di atas adalah dalam konteks ”Kejaksaan dalam
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dapat melakukan
penyelesaian perkara di luar pengadilan”. Pertanyaan yang muncul adalah:
Bagaimana bisa (?) Penjelasan Pasal 132 KUHP baru dijadikan sebagai dasar
hukum oleh Kejaksaan dalam RUU Perubahan Kedua UU Kejaksaan tahun 2004,
sementara dalam Pasal 624 KUHP baru secara tegas disebutkan bahwa:
1
2
“Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan”, yakni diundang pada tanggal 2 Januari 2023 dan berarti baru mulai
berlaku sejak tanggal 2 Januari 2026. Dengan demikian sampai sebelum tanggal 2
Januari 2026, KUHP baru belum menjadi ius constitutum atau ius positivum,
masih sebagai ius constituendum. Ius constitutumnya masih KUHP (WvS) yang
berlaku selama ini berdasarkan UU RI Nomor 1 Tahun 1946.
Dari kegiatan Penelitian tentang KUHP baru yang dilakukan oleh Bid. PPITK
STIK tahun 2023, dari informan atau narasumber penelitian lapangan dari
Kejaksaan baik dari Kejaksaan Negeri pada saat penelitian dilakukan di Polres-
polres maupun dari Kejaksaan Tinggi pada saat penelitian dilakukan di Polda-
polda (4 Polda), diperoleh informasi (terungkap) bahwa:
Kejaksaan dengan bantuan atau berdasarkan pendapat salah seorang Guru Besar
FH Undip, telah membuat dan menyebarluaskan pemaknaan atau tasir hukum
(interpretasi hukum) sendiri dan sepihak bahwa bunyi Penjelasan Pasal 132
KUHP baru dimaknai bahwa “penuntutan” sebagai wewenang Kejaksaan
mencakup atau meliputi proses peradilan yang dimulai dari penyidikan, terlepas
dari konteks terminologi “penuntutan” dan materi muatan pada Buku I Bab IV
Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, Bagian Kesatu
Gugurnya Kewenangan Penuntutan dalam KUHP baru. Dan tanpa berdasarkan
sejarah hukum (sejarah UU) atau ratio legis atau legal spirit dari Bab IV Buku I
KUHP baru tersebut.
Dalam Penjelasan Pasal 132 KUHP baru disebutkan: “Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan “penuntutan” adalah proses peradilan yang dimulai dari
penyidikan” [Catatan: teks penuntutan tertulis dalam tanda petik dua:
“penuntutan”]
Penjelasan Pasal 132 KUHP baru yang berbunyi: ”Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan "penuntutan' adalah proses peradilan yang dimulai dari
penyidikan” yang selanjutnya disitir ulang dalam RUU Perubahahan Kedua UU
Kejaksaan tahun 2004, pada Penjelasan Pasal I Angka 4 Pasal 30D Ayat (6)
disebutkan: “Yang dimaksud dengan ”penuntutan” adalah proses peradilan yang
dimulai dari penyidikan, berdasarkan Penjelasan Pasal 132 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, HARUS
DITAFSIRKAN ATAU DIMAKNAI:
4
“penuntutan” dalam konteks gugur atau hapusnya proses peradilan, baik pada
tingkat atau tahap penyidikan oleh Penyidik, tingkat atau tahap penuntutan oleh
JPU maupun tingkat atau tahap persidangan di pengadilan oleh hakim, jika alasan-
alasan yang disebutkan dalam Pasal 132 KUHP ditemukan atau terdapat pada
masing-masing proses peradilan.
Jika Penjelasan Pasal I Angka 4 Pasal 30D Ayat (6) dalam RUU Perubahahan
Kedua UU Kejaksaan tahun 2004 di atas disetujui DPR, selanjutnya dapat
diperkirakan akan menjadi dasar hukum bagi Kejaksaan untuk mengukuhkan
dominus litis Kejaksaan sejak penyidikan pada KUHAP yang akan datang sebagai
KUHAP bagi KUHP baru.
Rancangan aturan hukum lain yang tidak kalah penting untuk dicermati dan
ditolak dalam RUU Perubahahan Kedua UU Kejaksaan tahun 2004 adalah:
Demikian catatan hukum singkat dan sementara. Semoga bermanfaat dalam upaya
penguatan wewenang Polri dan menghindari terjadinya praktik penyelundupan
hukum (“wewenang”) dalam politik pembentukan hukum (perundang-undangan).