Anda di halaman 1dari 4

CATATAN HUKUM:

RUU Perubahan Kedua atas UU Kejaksaan, Oktober 2023

Mohon Ijin,

Berikut disampaikan perkembangan upaya Kejaksaan melalui politik


pembentukan hukum (legal forming) dalam UU untuk menguatkan sistem
dominus litis, yakni Jaksa atau Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai pemilik atau
pengendali perkara pidana dalam proses peradilan (pidana) sejak dari Penyidikan
sampai Pelaksanaan Putusan yang bertolak belakang atau bertentangan dengan
relasi Penyidik dan JPU dalam sistem diferensiasi fungsional yang dianut
KUHAP.

Setelah Kejaksaan gagal memasukkan sistem dominus litis dalam UU RI Nomor


1l Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, sebagaimana termuat baik dalam Naskah Akademik
maupun dalam RUU-nya.

Belum sampai 2 (dua) tahun usia UU RI Nomor 1l Tahun 2021, Kejaksaan


kembali melakukan upaya selanjutnya, yakni dengan mengajukan RUU RI Nomor
… Tahun … tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI (disebut RUU Perubahan Kedua UU Kejaksaan tahun
2004).

Dalam RUU Perubahahan Kedua UU Kejaksaan tahun 2004 di atas, pada


Penjelasan Pasal I Angka 4 Pasal 30D Ayat (6) disebutkan: “Yang dimaksud
dengan ”penuntutan” adalah proses peradilan yang dimulai dari penyidikan,
berdasarkan Penjelasan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (disebut KUHP baru).

Meskipun Penjelasan Pasal I Angka 4 Pasal 30D Ayat (6) RUU Perubahahan
Kedua UU Kejaksaan tahun 2004 di atas adalah dalam konteks ”Kejaksaan dalam
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dapat melakukan
penyelesaian perkara di luar pengadilan”. Pertanyaan yang muncul adalah:

Bagaimana bisa (?) Penjelasan Pasal 132 KUHP baru dijadikan sebagai dasar
hukum oleh Kejaksaan dalam RUU Perubahan Kedua UU Kejaksaan tahun 2004,
sementara dalam Pasal 624 KUHP baru secara tegas disebutkan bahwa:

1
2

“Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan”, yakni diundang pada tanggal 2 Januari 2023 dan berarti baru mulai
berlaku sejak tanggal 2 Januari 2026. Dengan demikian sampai sebelum tanggal 2
Januari 2026, KUHP baru belum menjadi ius constitutum atau ius positivum,
masih sebagai ius constituendum. Ius constitutumnya masih KUHP (WvS) yang
berlaku selama ini berdasarkan UU RI Nomor 1 Tahun 1946.

Dari kegiatan Penelitian tentang KUHP baru yang dilakukan oleh Bid. PPITK
STIK tahun 2023, dari informan atau narasumber penelitian lapangan dari
Kejaksaan baik dari Kejaksaan Negeri pada saat penelitian dilakukan di Polres-
polres maupun dari Kejaksaan Tinggi pada saat penelitian dilakukan di Polda-
polda (4 Polda), diperoleh informasi (terungkap) bahwa:

Kejaksaan dengan bantuan atau berdasarkan pendapat salah seorang Guru Besar
FH Undip, telah membuat dan menyebarluaskan pemaknaan atau tasir hukum
(interpretasi hukum) sendiri dan sepihak bahwa bunyi Penjelasan Pasal 132
KUHP baru dimaknai bahwa “penuntutan” sebagai wewenang Kejaksaan
mencakup atau meliputi proses peradilan yang dimulai dari penyidikan, terlepas
dari konteks terminologi “penuntutan” dan materi muatan pada Buku I Bab IV
Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana, Bagian Kesatu
Gugurnya Kewenangan Penuntutan dalam KUHP baru. Dan tanpa berdasarkan
sejarah hukum (sejarah UU) atau ratio legis atau legal spirit dari Bab IV Buku I
KUHP baru tersebut.

Dalam Penjelasan Pasal 132 KUHP baru disebutkan: “Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan “penuntutan” adalah proses peradilan yang dimulai dari
penyidikan” [Catatan: teks penuntutan tertulis dalam tanda petik dua:
“penuntutan”]

Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa berdasarkan sejarah pembentukan


hukumnya:
1. Pembentuk KUHP baru tetap mempertahankan rumusan (hanya perubahan
redaksional) Judul Bab IV Buku I KUHP baru sebagaimana Judul yang
sudah ada dalam KUHP (WvS) peninggalan Kolonial Belanda pada Buku
I Bab VIII, karena Pembentuk KUHP baru, antara lain, menganut prinsip
Rekodifikasi ulang KUHP (WvS).
2. Bahwa dalam KUHP (WvS) terdapat aturan hukum pada Buku I Bab VIII
yang berjudul Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan
Pidana yang demikian dapat dipahami, karena sebelum KUHAP atau pada
masa HIR, Kepolisian dalam konteks penegakan hukum pidana
3

(penyidikan) adalah sebagai pembantu Kejaksaan (hulp magistraat) atau


Kejaksaan (JPU) adalah sebagai dominus litis pada proses peradilan sejak
penyidikan tindak pidana.
3. Bahwa sejak tahun 1981, berdasarkan sistem diferensiasi fungsional,
dalam KUHAP terdapat aturan hukum pada Pasal 109 ayat (2) yang
termasuk menjadi Kewenangan di tingkat Penyidikan oleh Penyidik untuk
melakukan penghentian penyidikan, antara lain, dengan alasan “demi
hukum”. Artinya secara formil berdasarkan hukum, Penyidikan dihentikan
dengan menyacu kepada alasan-alasan sebagaimana diatur pada Buku I
Bab VIII KUHP (WvS) sebagai aturan hukum yang memuat hapus atau
gugurnya kewenangan penuntutan, yakni Ne bis in idem, Tersangka
meninggal dunia dan Daluarsa.
4. Bahwa berdasarkan praktik hukum yang berlangsung selama ini sejak
KUHAP berlaku, Kepolisian (Penyidik) menghentikan Penyidikan jika
terdapat atau terpenuhi alasan-alasan yang menghapuskan atau
menggugurkan kewenangan penuntutan sebagaimana disebutkan dalam
Buku I Bab VIII KUHP (WvS) di atas.

Ditegaskan kembali, sejak tahun 1981 berdasarkan KUHAP dalam praktik


pelaksanaan wewenang penyidikan, Kepolisian (Penyidik) pada tingkat
Penyidikan menghentikan Penyidikan, jika terdapat atau terpenuhi alasan-
alasan yang dalam KUHP (WvS) disebutkan sebagai Alasan yang
Menghapuskan atau Menggugurkan Kewenangan Penuntutan.

Berdasarkan uraian atau argumentasi hukum berdasarkan aturan hukum KUHAP,


praktik Penyidikan oleh Kepolisian berdasarkan KUHAP dan sejarah
pembentukan hukum, ratio legis atau legal spirit dari Buku I Bab IV KUHP baru
di atas, ditegaskan bahwa:

Penjelasan Pasal 132 KUHP baru yang berbunyi: ”Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan "penuntutan' adalah proses peradilan yang dimulai dari
penyidikan” yang selanjutnya disitir ulang dalam RUU Perubahahan Kedua UU
Kejaksaan tahun 2004, pada Penjelasan Pasal I Angka 4 Pasal 30D Ayat (6)
disebutkan: “Yang dimaksud dengan ”penuntutan” adalah proses peradilan yang
dimulai dari penyidikan, berdasarkan Penjelasan Pasal 132 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, HARUS
DITAFSIRKAN ATAU DIMAKNAI:
4

Bukan penuntutan sebagai wewenang Kejaksaan mencakup atau meliputi proses


peradilan yang dimulai dari penyidikan, atau Kejaksaan sebagai dominus litis
perkara pidana sejak penyidikan, MELAINKAN:

“penuntutan” dalam konteks gugur atau hapusnya proses peradilan, baik pada
tingkat atau tahap penyidikan oleh Penyidik, tingkat atau tahap penuntutan oleh
JPU maupun tingkat atau tahap persidangan di pengadilan oleh hakim, jika alasan-
alasan yang disebutkan dalam Pasal 132 KUHP ditemukan atau terdapat pada
masing-masing proses peradilan.

Jika Penjelasan Pasal I Angka 4 Pasal 30D Ayat (6) dalam RUU Perubahahan
Kedua UU Kejaksaan tahun 2004 di atas disetujui DPR, selanjutnya dapat
diperkirakan akan menjadi dasar hukum bagi Kejaksaan untuk mengukuhkan
dominus litis Kejaksaan sejak penyidikan pada KUHAP yang akan datang sebagai
KUHAP bagi KUHP baru.

Rancangan aturan hukum lain yang tidak kalah penting untuk dicermati dan
ditolak dalam RUU Perubahahan Kedua UU Kejaksaan tahun 2004 adalah:

Rumusan Pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan:


”Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. ......... b. ........
c. ...... d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-Undang”.

Pada bagian Penjelasan Pasal 30 ayat (1) di atas, disebutkan:


”Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk
melakukan penyidikan, seperti namun tidak terbatas pada Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang,
Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Tindak Pidana Perusakan Hutan, dan tindak
pidana lainnya”. Yang berarti perluasan kewenangan Kejaksaan untuk menyidik
hampir semua tindak pidana.

Demikian catatan hukum singkat dan sementara. Semoga bermanfaat dalam upaya
penguatan wewenang Polri dan menghindari terjadinya praktik penyelundupan
hukum (“wewenang”) dalam politik pembentukan hukum (perundang-undangan).

Depok, 09 Oktober 2023

Dr. Zulkarnein Koto, S.H., M.Hum.

Anda mungkin juga menyukai