KELOMPOK 9
1. Afek luas
5. Afek serasi
Afek pada rentang normal, yaitu ekspresi emosi yang luas
Menggambarkan keadaan normal dari ekspresi emosi
dengan sejumlah variasi yang beragam dalam ekspresi wajah,
irama suara maupun gerakan tubuh, serasi dengan suasana yang terlihat dari keserasian antara ekspresi emosi
Intensitas dan keluasan dari ekspresi emosinya berkurang, yang Kondisi sebaliknya yakni ekspresi emosi yang tidak
dapat dilihat dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang kurang cocok dengan suasana yang dihayati. Misalnya
Mengarah ke gangguan
Mood Labil. Stabil.
psikotik.
Mengarah ke gangguan
Gangguan Persepsi Halusinasi akustik (+) Halusinasi (-)
psikotik.
Takut (+), waham kejar Takut (-), waham kejar Mengarah ke gangguan
Isi pikir
(+) (-) psikotik.
Pengalaman emosional melibatkan integrasi sinyal visceral dari korteks limbik melalui
penilaian kognitif sinyal-sinyal ini di korteks prefrontal (PFC). Pada individu yang sehat,
penilaian ulang kognitif terhadap emosi dapat terjadi melalui pengaturan aktivitas limbik
prefrontal dari atas ke bawah. Penilaian emosi menggunakan elaborasi untuk mengubah
penilaian yang awalnya negatif menjadi kurang negatif. Namun pada gangguan mood,
kontrol kognitif ini tampaknya terganggu, sebagaimana dibuktikan dengan terganggunya
konektivitas antara PFC dan daerah limbik seperti amigdala. Dengan demikian,
mengaktifkan daerah PFC dalam upaya untuk menilai kembali perasaan negatif dapat
menjadi bumerang dan membawa perhatian pada fokus pada suasana hati disforik tanpa
pengurangan intensitas perasaan negatif yang sebanding.
7. JELASKAN BAGIAN OTAK YANG MENGATUR KEPRIBADIAN DAN EMOSI.
Dasar neuroanatomi dari emosi berpusat pada sistem limbik. Emosi khas manusia, seperti
kasih sayang, kebanggaan, rasa bersalah, kasihan, iri hati, dan kebencian, sebagian
besar dipelajari dan kemungkinan besar terwakili di korteks. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa di dalam korteks terdapat dikotomi representasi emosional
hemisfer. Belahan kiri dari hemisfer mengatur pikiran analitis tetapi memiliki repertoar
emosional yang terbatas. Misalnya, lesi pada belahan otak kanan, yang menyebabkan
defisit fungsional yang parah, mungkin terlihat acuh tak acuh pada belahan otak kiri yang
utuh. Sebaliknya, lesi pada belahan otak kiri, yang menyebabkan afasia berat, dapat
memicu depresi yang parah, karena belahan otak kanan yang utuh berjuang untuk
menyadari kehilangan tersebut. Pengaturan emosi tampaknya memerlukan korteks
frontal yang utuh. Korteks prefrontal mempengaruhi suasana hati dengan cara saling
melengkapi. Jika aktivasi korteks prefrontal kiri tampaknya meningkatkan suasana hati,
aktivasi korteks prefrontal kanan menyebabkan depresi.
KESIMPULAN
Berdasarkan gejala, riwayat dan data
yang terdapat pada pemicu, hipotesis
diterima yaitu pasien 47 tahun mengalami
gangguan psikotik akut
TERIMA KASIH