Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN

“Pendekatan Pembelajaran”

Disusun Oleh:

Muhamad Zakhi Ramadhan (200611100244)

Annisa Azzura (200611100243)

Fadilatul Rizkiyah (200611100249)

Widya Ayu Kurnia Hidayati (200611100250)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas Ridho dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pendekatan
Pembelajaran” ini dengan baik. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Strategi
Pembelajaran SD. Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Bagus Rahmad
Wijaya M.Pd selaku dosen mata kuliah Strategi Pembelajaran SD yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami ucapkan terima
kasih, dan mohon maaf jika ada kesalahan maupun kekurangan, kami harap ada
kritik maupun saran untuk perbaikan makalah ini.

Bangkalan, 20 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan Masalah ........................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) ....... 4
2.2 Karakteristik Contextual Teaching and Learning (CTL) ....................... 5
2.3 Komponen Contextual Teaching and Learning (CTL) ........................... 6
2.4 Pengertian Pendekatan Realistic Mathematic Education...................... 10
2.5 Prinsip dan Karakteristik Pendekatan Realistic Mathematic Education
11
2.6 Tahapan atau langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik 13
2.7 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik ..... 14
2.8 Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran Matematika Realistik ... 16
BAB III ................................................................................................................. 18
PENUTUP ............................................................................................................. 18
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 18
3.2 Saran ........................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengaktifkan siswa, salah
satunya adalah memilih pendekatan belajar yang mampu mengaktifkan siswa
dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pendekatan pembelajaran tersebut
hendaknya dirancang dan dipilih dengan sedemikian rupa sehingga
memotivasi siswa untuk dapat mengambil alih proses pembelajaran dan lebih
menekankan kepada aktivitas siswa, misalnya dengan memilih belajar secara
berkelompok
Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah
pendekatan pembelajaran yang membantu siswa menghubungkan antara topik
yang dipelajari dan situasi nyata. Contextual Teaching and Learning (CTL)
merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses
pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran
sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL
bukan hanya sekadar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses
berpengalaman secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu diharapkan
perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang tidak hanya berkembang pada
aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga psikomotor.
Selain dari pendekatan Contextual Teaching and Learning, terdapat
salah satu pendekatan yang juga mampu meningkatkan hasil belajar siswa
yaitu pendekatan Realistic Mathematic Education (RME). Pendekatan
Realistic Mathematic Education (RME) merupakan pembelajaran matematika
yang memanfaatkan aktivitas siswa dalam realitas dan lingkungannya untuk
mentransformasi masalah dalam kehidupan sehari-harinya ke dalam simbol
dan model pemecahan masalah matematika.
Secara umum pendekatan CTL dan pendekatan RME ini memiliki
kesamaan dalam proses pembelajarannya yaitu terletak pada penggunaan
konteks dunia nyata pada pembelajarannya. Penggunaan pendekatan CTL dan
pendekatan RME bertujuan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang

1
aktif, terstruktur, berbasis kontekstual, menyenangkan dan berorientasi pada
pencapaian akademik. Kemudian pada tahapan pembelajaran juga terdapat
kesamaan yaitu dengan berkelompok, berdiskusi dan terdapat pemberian tugas
atau latihan. Serta beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan
bahwa pendekatan CTL dan pendekatan RME ini dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning?
2. Bagaimana karakteristik Contextual Teaching and Learning (CTL)?
3. Apa saja komponen dalam Contextual Teaching and Learning (CTL)?
4. Apa yang dimaksud dengan pendekatan Realistic Mathematic
Education?
5. Bagaimana prinsip dan karakteristik pendekatan Realistic Mathematic
Education?
6. Bagaimana tahapan atau langkah-langkah Pembelajaran Matematika
Realistik?
7. Apa sajakah keunggulan dan kelemahan Pembelajaran Matematika
Realistik?
8. Apa teori belajar yang melandasi Pembelajaran Matematika Realistik?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui pengertian pendekatan Contextual Teaching and
Learning.
2. Untuk mengetahui karakteristik Contextual Teaching and Learning
(CTL).
3. Untuk mengetahui komponen dalam Contextual Teaching and Learning
(CTL).
4. Untuk mengetahui pengertian pendekatan Realistic Mathematic
Education.

2
5. Untuk mengetahui prinsip dan karakteristik pendekatan Realistic
Mathematic Education.
6. Untuk mengetahui tahapan atau langkah-langkah Pembelajaran
Matematika Realistik.
7. Untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan Pembelajaran
Matematika Realistik.
8. Untuk mengetahui teori belajar yang melandasi Pembelajaran
Matematika Realistik.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)


Nurhadi (dalam Muslich, 2009:41) mengemukakan bahwa
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan
situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Johnson (dalam Sugiyanto, 2008:18) menyatakan bahwa
CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa
melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan
keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya
mereka.
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya,
2006:255).
Dengan pendekatan CTL proses pembelajaran diharapkan berlangsung
alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan
transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Melalui model pembelajaran CTL,
siswa diharapkan belajar mengalami bukan menghafal. Landasan filosofis
CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa
belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau
membangun pengetahuan dan ketrampilan baru lewat fakta-fakta atau
proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya (Muslich, 2009:41).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran CTL adalah konsep pembelajaran yang melibatkan siswa
untuk melihat makna di dalam materi yang dipelajari dan menghubungkannya

4
dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga hal
yang harus dipahami, yakni: CTL menekankan pada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan materi, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, CTL
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan. Dalam
upaya itu, siswa memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.

2.2 Karakteristik Contextual Teaching and Learning (CTL)


Menurut Nurhadi (2002:20) bahwa ada beberapa karakteristik
pembelajaran berbasis kontekstual, yaitu:
a. Adanya kerja sama, sharing dengan teman dan saling menunjang.
b. Siswa aktif dan kritis, belajar dengan bergairah, menyenangkan dan tidak
membosankan, serta guru kreatif.
c. Pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber.
d. Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa
misalnya; peta, gambar, diagaram, dll.
e. Laporan kepada orang tua bukan sekedar rapor akan tetapi hasil karya
siswa, laporan praktikum.
Untuk memahami pembelajaran kontekstual maka ada kata kunci dalam
pembelajaran kontekstual yaitu:
(a) Real world learning, mengutamakan pengalaman nyata.
(b) Berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis dan kreatif serta siswa “akting”
guru mengarahkan.
(c) Pengetahuan bermakna dalam kehidupan, dekat dengan kehidupan nyata,
serta adanya perubahan perilaku dan pembentukan manusia.
(d) Siswa praktek, bukan menghafal, Learning bukan Teaching; pendidikan
bukan pengajaran.
(e) Memecahkan masalah dan berpikir tingkat tinggi.
(f) Hasil belajar di ukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes

5
2.3 Komponen Contextual Teaching and Learning (CTL)
Menurut Nurhadi (2002:10) bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual
memiliki tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu :
1. Konstruktivisme (Constructivisme)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi)
pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas
(sempit) dan tidak sekonyong-konyong, Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat.Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan dasar tersebut,
pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi bukan
menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun
sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalm pross belajar
mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru. Landasan berpikir
konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang
lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan
konstruktivis strategi memperoleh lebih utama dibandingkan seberapa
banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas
guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan :
a) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,
b) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
sendiri,
c) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendifi dalam
belajar.
2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajran
berbasis CTL. Inquiry, artinya proses pembelajaran didasarkan pada
pencairan dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara
umum proses Inquiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
merumuskan masalah, mengajukan hipotesa, mengumpulkan data,
menguji hipotesis, dan membuat kesimpulan (Sanjaya, 2006:265).

6
Menemukan (Inquiri) merupakan proses pembelajaran didasarkan pada
pencarian dan penemuan. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap
fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk
menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat
fakta, akan tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya
Muslich (2009:45).
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan
bukanlah sejumlah fakta dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses
menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam proses perencanaan guru
bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal akan tetapi
merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan
sendiri materi yang harus dipahaminya.
Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri):
(1) Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun); (2) Mengamati
atau melakukan observasi; (3) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam
tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainya; (4)
Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru atau audien yang lain.
3. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya.
Sebelum tahu kota Palu, seseorang bertanya “Mana arah ke kota Palu?”
Questioning merupakan strategi utama pembelajaran CTL. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa kegiatan
bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran
yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa
yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum
diketahui.
Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna
untuk :

7
1) Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis 2) Mengecek
pemahaman siswa 3) Membangkitkan respons kepada siswa 4)
Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa 5) Mengetahui hal-hal yang
sudah diketahui siswa 6) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang
dikehendaki guru 7) Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
dari siswa 8) Menyegarkan kembali pengetahuan siswa Questioning dapat
diterapkan di dalam kelas untuk hampir semua aktivitas belajar.
Questioning dapat diterapkan : antara siswa dengan siswa, antara
guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang
lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya juga ditemukan
sewaktu siswa berdiskusi, kerja kelompok, ketika menemui kesulitan,
ketika mengamati, ketika observasi, dan sebagainya.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Didasarkan pada pendapat Vygotsky, bahwa pengetahuan dan
pemahaman anak banyak dibentuk oleh komunikasi dengan orang lain.
Permasalahan tidak mungkin dipecahkan sendirian, tetapi membutuhkan
bantuan orang lain. Konsep masyarakat belajar (Learning Comunity)
dalam CTL hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang
lain, teman, antar kelompok, sumber lain dan bukan hanya guru (Sanjaya,
2006:267).
Muslich (2009:46) mengemukakan konsep masyarakat belajar
dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui
kerjasama dengan orang lain. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa
diperoleh dengan sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang
tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas.
Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok,
dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di
sekitar sini, juga orang-orang yang berada di luar sana, semua adalah
anggota masyarakat belajar.
Model pembelajaran dengan teknik learning community sangat
membantu proses pembelajaran di kelas. Praktiknya dalam pembelajaran
terwujud dalam :

8
1) Pembentukan kelompok kecil 2) Pembentukan kelompok besar 3)
Mendatangkan ahli, tokoh, olahragawan, dokter, perawat, petani, polisi,
tukang kayu, teknisi, dan sebagainya ke kelas. 4) Bekerja dengan kelas
sederajat. 5) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya 6) Bekerja dengan
masyarakat.
5. Permodelan (Modeling)
Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan
sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Modeling
merupakan azas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab
melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis
(abstrak) yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme (Sanjaya,
2006:267).
Konsep pemodelan (modeling), dalam CTL menyarankan bahwa
pembelajaran ketrampilan dan pengetahuan tertentu diikuti dengan model
yang bisa ditiru siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian
contoh tentang cara mengoperasikan sesuatu, menunjukan hasil karya,
mempertontonkan suatu penampilan. Cara pembelajaran seperti ini, akan
lebih cepat dipahami siswa dari pada hanya bercerita atau memberikan
penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukan model atau contohnya (Muslich,
2009:46).
Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang
dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para
siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar
siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian
contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Guru memberi model tentang
bagaimana cara belajar. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan
satu-satunya model, akan tetapi model dapat dirancang dengan melibatkan
siswa atau juga dapat didatangkan dari luar.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah
dipelajari dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau
peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Dalam proses pembelajaran

9
dengan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk merenung atau mengingat kembali apa
yang telah dipelajarinya (Sanjaya, 2006:268).
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dengan
memikirkan apa yang baru saja dipelajari atau pengalaman yang terjadi
dalam pembelajaran, siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru
diperolehnya merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan yang
telah dimiliki sebelumnya.
7. Penilaian Yang Nyata atau Sebenarnya (Authentic Assesment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran
perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar dapat
memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar.
Dalam pembelajaran CTL penilaian bukan sekedar pada hasil belajar, akan
tetapi lebih menekankan pada proses belajar juga. Apabila data yang
dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami
kemacetan dalam pembelajaran, maka guru bisa segera melakukan
tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan tersebut.
Karakteristik authentic assessment
1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung 2)
Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif 3) Yang diukur
ketrampilan dan performasi, bukan mengingat fakta/dalil 4)
Berkesinambungan 5) Terintegrasi 6) dapat dipergunakan sebagai umpan
balik ( feedback ).
Hal-hal yang dapat dipergunakan sebagai dasar menilai prestasi
siswa yaitu : proyek/kegiatan dan laporan, PR, kuis, karya siswa,
presentasi atau performasi siswa demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes,
karya tulis.

2.4 Pengertian Pendekatan Realistic Mathematic Education


Menurut Tarigan (2006, hlm. 4), “Pembelajaran matematika realistik
merupakan pendekatan yang ditujukan untuk pengembangan pola pikir

10
praktis, logis, kritis, dan jujur dengan berorientasi pada penalaran matematika
dalam menyelesaikan masalah”. Pendekatan RME sejalan dengan teori
konstruktivisme yang menekankan pada kegiatan siswa untuk mempraktekkan
apa yang dipelajari dan membangun konsep bahan ajar yang dipelajarinya
tersebut. Teori konstruktivisme beranggapan bahwa siswa harus menemukan
dan mengemukakan suatu informasi yang kompleks ke situasi yang lain.
Proses pembelajaran dalam teori ini bersifat konkret serta erat kaitannya
dengan alam dan lingkungan sekitar. Dalam teori ini, siswa diperlakukan
sebagai subjek pembelajaran di mana pembelajaran ditekankan pada aktivitas
siswa (student centered). Karena pendekatan RME erat kaitannya dengan teori
konstruktivisme, maka dalam pembelajarannya sangat ditekankan pentingnya
konteks nyata (real) yang dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa. Selain
itu, dalam pembelajarannya, pendekatan RME menuntut siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri, sehingga pembelajaran akan terasa lebih
bermakna.

2.5 Prinsip dan Karakteristik Pendekatan Realistic Mathematic Education


Gravemeijer (dalam Hobri: 166) mengemukakan tiga prinsip kunci PMR,
yaitu:
1. Penemuan kembali secara terbimbing melalui matematisasi progresif
(Guided Reinvention Through Progressive Mathematizing). Menurut
prinsip Guided Reinvention, siswa harus diberi kesempatan mengalami
proses yang sama dengan proses yang dilalui para ahli ketika konsep-
konsep matematika ditemukan.
2. Fenomena didaktik (Didactical Phenomenology). Menurut prinsip
fenomena didaktik, situasi yang mejadi topik matematika diaplikasikan
untuk diselidiki berdasarkan dua alasan; (1) Memunculkan ragam aplikasi
yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, dan (2) Mempertimbangkan
kesesuaian situasi dari topik sebagai hal yang berpengaruh untuk proses
pembelajaran yang bergerak dari masalah nyata ke matematika formal.
3. Pengembangan model mandiri (self develop models). Model matematika
dimunculkan dan dikembangkan sendiri oleh siswa berfungsi

11
menjembatani kesenjangan pengetahuan informal dan matematika formal,
yang berasal dari pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Menurut Maulana (2009), karakteristik pendekatan RME antara lain:
1) Phenomenological Exploration or use context
Pembelajaran dimulai dengan menggunakan masalah kontekstual
sebagai titik tolak atau titik awal untuk belajar. Masalah kontekstual
yang menjadi topik pembelajaran harus merupakan masalah sederhana
yang dikenali siswa.
2) The use models or bridging by vertical instrument (Menggunakan
Model)
Model disini sebagai suatu jembatan antara real dan abstrak yang
membantu siswa belajar matematika pada level abstraksi yang berbeda.
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik
yang dikembangkan oleh siswa sendiri ( self develop models ). Peran
self develop models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke
situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Pertama model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.
Generalisasi dari formalisasi model tersebut akan berubah menjadi
model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan
bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan
menjadi model matematika formal.
3) The use of student own production and construction of student
contribution (Menggunakan Kontribusi Siswa)
Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan
datangnya dari siswa. Hal ini berarti semua pikiran (konstruksi dan
produksi) siswa diperhatikan.
4) The interactive character of teaching process or interactivity
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam
PMR. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi,
penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi

12
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal
siswa.
5) Intertwining or various learning strand.
Terintegrasi dengan topik lainnya ( intertwining ). Dalam PMR
pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam
pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain,
maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam
mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang
lebih kompleks.
Karakteristik inilah yang diharapkan muncul dalam proses
pembelajaran, sehingga kemampuan koneksi dan komunikasi siswa
dapat mengalami peningkatan.

2.6 Tahapan atau langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik


Mengacu pada karakteristik pembelajaran matematika realistik di atas,
maka langkah-langkah dalam kegiatan inti proses pembelajaran matematika
realistik pada penelitian ini adalah :
1. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual dan siswa memahami
permasalahan tersebut.
2. Menjelaskan masalah kontekstual
Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan
petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang
belum dipahami siswa. Penjelasan ini hanya sampai siswa mengerti
maksud soal.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individu menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara
mereka sendiri. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah
dengan cara mereka dengan memberikan pertanyaan/petunjuk/saran.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara

13
berkelompok. Untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan pada
diskusi kelas.
5. Menyimpulkan
Dari diskusi, guru mengarahkan siswa menarik kesimpulan suatu prosedur
atau konsep, dengan guru bertindak sebagai pembimbing.

2.7 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik


Menurut Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 173-174) kelebihan-
kelebihan Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR) adalah sebagai berikut :
1. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan
tentang kegunaan matematika pada umumnya kepada manusia.
2. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi
dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap orang “biasa” yang
lain, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan
tidak harus sama antara orang satu dengan orang yang lain.
4. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan
suatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus
menjalani sendiri proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri
konsep-konsep dan materi-materi matematika yang lain dengan bantuan
pihak lain yang sudah tahu (guru). Tanpa kemauan untuk menjalani
sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
5. RME memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan
pembelajaran lain yang juga dianggap “unggul”.
6. RME bersifat lengkap (menyeluruh), mendetail dan operasional. Proses
pembelajaran topik-topik matematika dikerjakan secara menyeluruh,
mendetail dan operasional sejak dari pengembangan kurikulum,

14
pengembangan didaktiknya di kelas, yang tidak hanya secara makro tapi
juga secara mikro beserta proses evaluasinya.
Selain kelebihan-kelebihan seperti yang diungkapkan di atas, terdapat
juga kelemahan-kelemahan Realistic Mathematics Education (RME) yang
oleh Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 175-176) adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman tentang RME dan pengimplementasian RME membutuhkan
paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai
berbagai hal, misalnya seperti siswa, guru, peranan sosial, peranan
kontek, peranan alat peraga, pengertian belajar dan lain-lain. Perubahan
paradigma ini mudah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dipraktekkan
karena paradigma lama sudah begitu kuat dan lama mengakar.
2. Pencarian soal-soal yang kontekstual, yang memenuhi syarat-syarat yang
dituntut oleh RME tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika
yang perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal tersebut masing-masing
harus bisa diselesaikan dengan berbagai cara. Upaya mendorong siswa
agar bisa menemukan cara untuk menyelesaikan tiap soal juga
merupakan tantangan tersendiri.
3. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa dengan memulai soal-
soal kontekstual, proses matematisasi horizontal dan proses matematisasi
vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana karena proses dan
mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat agar guru bisa
membantu siswa dalam menemukan kembali terhadap konsep-konsep
matematika tertentu. Dalam hal ini, pemilihan alat peraga harus cermat
agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai
dengan tuntutan RME.
4. Penilaian (assesment) dalam RME lebih rumit daripada dalam
pembelajaran konvensional. Sehingga kepadatan materi pembelajaran
dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses
pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip RME.

15
2.8 Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran Matematika Realistik
1. Teori Perkembangan Piaget
Teori ini beranggapan bahwa semakin manusia bertambah umur,
maka susunan syaraf manusia semakin kompleks, dan kemampuannya
semakin meningkat. Menurut Piaget (Budiningsih, 2012), proses belajar
seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai
dengan umurnya. Pola dan tahapan ini bersifat hierarkis, artinya harus
dilalui berdasarkan urutan tertentu, dan seseorang tidak dapat belajar
sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Penggunaan pendekatan
RME didasarkan pada tahap perkembangan siswa SD yang umurnya
berkisar antara 7 sampai 12 tahun, di mana dalam teori perkembangan
Piaget siswa SD digolongkan pada tahap operasional konkret. Dalam tahap
ini, siswa mulai bisa menggunakan konsep-konsep matematika melalui
bendabenda yang bersifat konkret. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
akan digunakan bendabenda konkret dalam proses pembelajaran berupa
media sederhana yang dekat dengan dunia siswa.
2. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Teori belajar ini menegaskan bahwa belajar bukan sekedar
menghafal, lebih luas lagi seharusnya belajar merupakan asimilasi yang
bermakna bagi siswa. Pengetahuan baru yang dipelajari diasimilasikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Dalam teori
ini dikenal istilah skemata, di mana menurut Budiningsih (2012), skemata
berfungsi untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-
pisah sebagai tempat untuk mengaitkan pengetahuan baru. Dalam
penelitian ini akan digunakan skemata berupa pemberian apersepsi, serta
akan dilaksanakan pula kegiatan intertwining. Oleh karena itu, dengan
menggunakan pendekatan RME diharapkan akan menciptakan proses
pembelajaran yang lebih bermakna. Hal ini sesuai dengan teori Ausubel
bahwa belajar akan lebih bermakna dengan penggunaan skemata.
3. Teori Vygotsky
Vygotsky merupakan salah satu tokoh aliran konstruktivisme yang
menganggap bahwa pengetahuan tidak hanya berasal dari dalam diri

16
siswa, tetapi juga diperoleh dari pengalaman-pengalaman siswa ketika
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam teori Vygotsky dikenal
istilah scaffolding yaitu bantuan-bantuan yang diberikan guru dalam
proses pembelajaran. Bantuan-bantuan tersebut dalam bentuk pemberian
contoh-contoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan, bagan/alur,
langkahlangkah atau prosedur melakukan tugas, pemberian stimulus
berupa pertanyaanpertanyaan yang membangun, dan masih banyak lagi.
Pendekatan RME sangat memfasilitasi siswa untuk memberikan
pembelajaran yang sesuai dengan teori belajar Vygotsky. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini siswa akan diberikan kesempatan untuk membangun
pengetahuannya sendiri secara berkelompok dengan teman-teman
sekelasnya. Dalam proses pembelajaran pun, siswa akan melakukan
berbagai aktivitas belajar yang dapat membantu siswa menemukan
(kembali) ide/konsep matematika yang sedang dipelajari, sedangkan guru
berperan sebagai pembimbing, fasilitator, dan mediator yang akan
melakukan kegiatan scaffolding.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembelajaran kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) yang
biasa disingkat CTL , merupakan salah satu model yang dekat ke arah model
inkuiri. Dalam tulisan ini model pembelajaran CTL menjadi pilihan untuk
melaksanakan pembelajaran ekonomi dalam kurikulum berbasis
kompetensi. Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi dengan situasi dunia nyata siswa,
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
dengan dalam penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Sehingga pembelajaran ini bermakna bagi siswa.
Pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah kontekstual
(contextual problems) sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Perlu
dicermati bahwa suatu hal yang bersifat kontekstual dalam lingkungan siswa
di suatu daerah, belum tentu bersifat konteks bagi siswa di daerah lain.
Pembelajaran pada matematika sekolah dengan PMR harus disesuaikan
dengan keadaan daerah tempat siswa berada.

3.2 Saran
Menyadari bahwa makalah diatas masih banyak kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengaharapkan kritik dan saran
dalam perbaikan makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bunga, Non, Isrok’atun, Julia. 2016. Pendekatan Realistic Mathematics Education


Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Komunikasi Matemais
Siswa. Jurnal Pena Ilmiah. 1 (1): 441-444.
Agus Budi L. 2010. Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching And
Learning) dalam Proses Belajar Mengajar Mata Pelajaran Sosiologi Kelas
X Pada Pokok Bahasan Nilai dan Norma Sosial di SMA Negeri 1 Tanjung
Kabupaten Brebes Tahun Ajaran 2010/2011 [skripsi]. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Sihono, Teguh. 2004. Contextual Teaching and Learning (CTL) Sebagai Model
Pembelajaran Ekonomi dalam KBK. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan. 1
(1): 75-80.
Ningsih, Seri. 2014. Realistic Mathematics Education Model Alternatif
Pembelajaran Matematika Sekolah. JPM IAIN Antasari. 01 (2):73-94

19

Anda mungkin juga menyukai