Anda di halaman 1dari 5

Shalawatan Antara Adzan dan Iqamat

admin situs 8 May 2013 Shalawatan Antara Adzan dan Iqamat2013-09-24T11:31:22+07:00Aqidah dan Manhaj,
Faidah-faidah, Fatwa Ulama, Fikih Kontemporer, Sunnah dan Bid'ah

Shalawatan Antara Adzan dan Iqamat

Fenomena yang sering kita dapati di berbagai masjid negeri kita yaitu lantunan-lantunan shalawat dan puji-pujian
antara adzan dan iqamat. Ironisnya, seringkali mereka mengeraskannya dengan mikrofon dan bersahut-sahutan
sehingga mengganggu kekhusyukan. Lebih ironis lagi, banyak di antara shalawatan/ puji-pujian tersebut yang berisi
sesuatu yang bukan doa / dzikir serta mengikuti irama nyanyian(!).

Teks Hadits
‫ َي ْر َح ُم َك ُهَّللا‬،‫ الَّس اَل ُم َع َلْي َك َأُّي َه ا الَّن ِبُّي َو َر ْح َم ُة ِهَّللا َو َبَر َك اُتُه‬: ‫ َقاَل‬، ‫َك اَن ِباَل ٌل ِإَذ ا َأَر اَد َأْن ُيِقْي َم الَّص اَل َة‬
Adalah Bilal apabila akan mengumandangkan iqamat, dia berkata: Keselematan bagimu wahai Nabi dan rahmat Allah
serta keberkahannya, semoga Allah merahmatimu.

MAUDHU’. Diriwayatkan ath-Thabarani[1] dalam al-Ausath (1/27), “Menceritakan kepada kami Miqdam bin Dawud:
Menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad al-Mughirah: Menceritakan kepada kami Kamil Abul Ala’ dari
Abu Shalih dari Abu Hurairah”, lalu berkata, “Hadits ini tidak ada yang meriwayatkan dari Kamil kecuali Abdullah
saja.”

Sanad ini maudhu’ (palsu). Sebabnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Mughirah ini, hadits-haditsnya palsu
sebagaimana dikatakan adz-Dzahabi. Demikian juga Miqdam bin Dawud, dia tidak terpercaya sebagaimana dikatakan
Nasai.[2]

Dampak Buruk ‘Hadits’


Hadits ini seakan-akan menjadi dasar untuk suatu bid’ah yang menyebar, yaitu shalawatan secara keras sebelum
iqamat seperti bid’ah lainnya yaitu shalawatan secara keras usai adzan sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
Padahal lahir hadits ini kalau memang shahih bahwa Bilal masuk ke kamar Nabi untuk memberitahu beliau agar
keluar karena iqamat sudah dekat.[3]

Dalam banyak masjid, sang muadzin biasanya usai adzan dia mengeraskan shalawat seakan-akan merupakan bagian
dari adzan. Tidak ragu lagi bahwa shalawat kepada Nabi pada asalnya disyari’atkan, tetapi shalawatan dengan tata
cara seperti itu tidak ada tuntunannya dari Nabi dan para sahabat. Oleh karena itu, para ulama bersepakat bahwa
hal tersebut termasuk kemungkaran dan kebid’ahan.

Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Guru-guru kami dan selain mereka telah ditanya tentang shalawat kepada Nabi
setelah adzan seperti yang biasa dilakukan mayoritas muadzin. Mereka semua memfatwakan bahwa asalnya adalah
sunnah tetapi kaifiat (tata cara) yang digunakannya adalah bid’ah.” Lanjutnya, “Hal itu karena adzan merupakan
syi’ar Islam yang dinukil secara mutawatir sejak masa Nabi dan kata-katanya telah terhimpun dalam kitab-kitab
hadits dan fiqih, disepakati oleh para imam kaum muslimin dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun tambahan
shalawat dan salam di akhirnya, maka itu merupakan kebid’ahan yang dibuat-buat oleh orang-orang belakangan.”
[4]

Persis dengan masalah ini juga adalah ketegasan tentang bid’ahnya dzikir-dzikir atau shalawatan beberapa menit
sebelum adzan, khususnya shalat Subuh dan shalat Jum’at, sebagai pengantar adzan dan peringatan kepada manusia
bahwa adzan telah dekat.

Hal ini, sekalipun dipandang baik oleh perasaan kebanyakan orang, tidak ada dalilnya dari al-Qur’an, hadits, dan
amalan generasi salafush shalih, bahkan tergolong perkara baru dalam agama. Para ulama telah menghukumi hal ini
termasuk perbuatan mungkar dan bid’ah:

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Apa yang diada-adakan dari tasbih sebelum Subuh dan Jum’at serta ‘shalawatan’,
bukanlah termasuk adzan baik secara bahasa maupun secara syar’i.” [5]
Al-Hajjawi berkata, “Bacaan-bacaan sebelum Subuh selain adzan berupa tasbih, nasyid, do’a, dan sebagainya
bukanlah perkara sunnah. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan hal itu sunnah, bahkan hal itu termasuk
perkara bid’ah yang tercela karena tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabatnya. Maka tidak boleh bagi seorang
pun untuk memerintahkannya atau mengingkari orang yang meninggalkannya.” [6]

Ibnul Hajj berkata, “Para muadzin dilarang dari perkara-perkara baru berupa tasbih di waktu malam (sebelum subuh)
sekalipun pada asalnya dzikir itu baik, namun bukanlah di tempat-tempat yang ditinggalkan oleh syari’at.” [7] Beliau
juga berkata, “Demikian juga pada hari Jum’at, hal itu dilarang karena Nabi tidak pernah melakukannya atau
memerintahkannya dan tidak pernah juga dilakukan oleh seorang pun setelahnya dari generasi salaf.” [8]

Lantas, bagaimana lagi kiranya bila hal itu dengan menggunakan mikrofon?!! Bukankah itu berdampak negatif bagi
orang yang mau menggunakan akalnya?!!

Perlu diketahui bahwa bid’ah ini memiliki beberapa dampak negatif, di antaranya:

1. Merupakan perkara bid’ah dalam ibadah


Kita semua sepakat bahwa Islam telah sempurna, ibadah telah ditetapkan tata caranya, lafazh-lafazh adzan juga
telah dijelaskan, maka segala sesuatu yang merupakan tambahan manusia terhadap ibadah termasuk maka tidak
disyari’atkan. Bukti bahwa hal itu tidak ada dalilnya, tidak adanya lafazh yang paten sehingga masing-masing
membuat model shalawatan sendiri. Seperti inikah ibadah yang diinginkan oleh Rabb kita?!

2. Mengganggu orang lain yang sedang ibadah


Tidak diragukan lagi bahwa shalawatan antara adzan dan iqamat sangat mengganggu kekhusyukan ibadah manusia
lain yang sedang shalat sunnah, berdo’a, membaca al-Qur’an, atau orang yang sakit di rumah, apalagi kadang-kadang
yang melantunkan adalah anak-anak yang notabene masih suka senda gurau dan main-main. Allah berfirman:

٥٨﴿ ‫﴾َو ٱَّلِذيَن ُيْؤ ُذ وَن ٱْلُمْؤ ِمِنيَن َو ٱْلُمْؤ ِم َن ٰـ ِت ِبَغ ْي ِر َم ا ٱْك َت َس ُبو۟ا َفَقِد ٱْح َت َم ُلو۟ا ُبْه َت ٰـ ًۭن ا َو ِإْث ًۭم ا ُّم ِبيًۭن ا‬

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 58)

Perlu diingat bahwa saat antara adzan dan iqamat adalah saat terkabulnya do’a, sebagaimana hadits Nabi:

‫َب ْي َن ُك ِّل َأَذ اَن ْي ِن َص اَل ة‬

“Antara dua adzan adalah shalat.” [9]

‫الُّد َع اُء َال ُيَر ُّد َب ْي َن اَألَذ اِن َو اِإلَق اَمِة‬

“Do’a antara adzan dan iqamat tidak tertolak (mustajab).” [10]

3. Menyalahi adab dzikir


Asal dalam berdzikir adalah tidak boleh dengan suara keras. Allah berfirman:

‫َو اْذ ُك ْر َّر َّب َك ِفْي َن ْف ِس َك َت َض ُّر ًعا َّو ِخْي َف ًة َّو ُد ْو َن اْلَج ْه ِر ِمَن اْل َقْو ِل ِباْل ُغ ُد ِّو َو اٰاْل َص اِل َو اَل َت ُك ْن ِّم َن اْلٰغ ِفِلْي َن‬
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS. al-A’raf
[7]: 205)

‫ُاْد ُعْو ا َر َّب ُك ْم َت َض ُّر ًع ا َّو ُخْف َي ًة ۗ ِاَّن ٗه اَل ُيِحُّب اْلُمْع َت ِدْي َۚن‬

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas” [Al-A’raaf /7: 55]

Rasulullah juga bersabda:


‫َأُّيَه ا الَّن اُس اْر َب ُعوا َع َلى َأْنُفِس ُك ْم ِإَّنُك ْم َلْي َس َتْد ُعوَن َأَصَّم َو َال َغاِئًبا ِإَّنُك ْم َتْد ُعوَن َس ِميًع ا َق ِر يًبا َو ُه َو َمَع ُك م‬

“Wahai manusia, sayangilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Zat yang bisu atau tidak ada,
namun kalian berdo’a kepada Zat yang maha mendengar, dekat, dan bersama kalian.” (HR. Bukhari-Muslim)

Syaikh Albani mengatakan, “Asal dalam berdzikir adalah dengan merendahkan suara. Sebagaimana di-nash-kan
dalam kitab dan sunnah kecuali yang telah dikecualikan.” [11]

Dikecualikan pada beberapa keadaan yang terdapat dalil yang menunjukkan dzikir dengan suara keras, seperti ketika
adzan dan iqamat, ketika bertakbir pada dua hari raya, ketika bertalbiyah untuk haji dan umrah, dan lain-lain yang
ada dalilnya.

Jangan Salah Paham!!


Perlu kami tegaskan di sini bahwa para ulama apabila mengingkari bid’ah seperti ini, maka janganlah ada anggapan
pada diri seorang bahwa mereka mengingkari disyaria’atkannya shalawat kepada Nabi! Namun, yang mereka ingkari
adalah apabila shalawat diletakkan pada tempat yang tidak dicontohkan oleh Nabi, atau dengan model-model yang
tidak disyari’atkan oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya, sebagaimana telah shahih dari Ibnu Umar bahwa tatkala ada
seorang bersin dan berkata, “Alhamdulillah dan shalawat serta salam atas Rasulullah”, beliau berkata, “Saya juga
mengatakan ‘alhamdulillah’ dan shalawat serta salam untuk Rasulullah, namun bukan seperti itu Rasulullah
mengajari kita! Katakanlah ‘Alhamdulillahi Rabbil ’alamin’.”

Lihatlah bagaimana Ibnu Umar mengingkari peletakan shalawat di samping pujian kepada Allah dengan alasan
bahwa Nabi tidak melakukan hal itu, padahal dalam waktu yang sama beliau menegaskan bahwa dirinya juga
bershalawat kepada Nabi. Hal itu untuk menolak anggapan yang mungkin terlintas dalam benak orang bahwa beliau
mengingkari shalawat secara keseluruhan! Sebagaimana anggapan sebagian orang-orang bodoh tatkala pembela
sunnah mengingkari bid’ah-bid’ah seperti ini! Semoga Allah memberi mereka petunjuk kepada sunnah.[12]

Dan alangkah indahnya atsar dari Sa’id bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar
lebih dari dua raka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya, Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang
itu berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab shalat?” Beliau menjawab,
“Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi sunnah.” [13]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengomentari atsar ini, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id
bin Musayyib, dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan
bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlus
Sunnah) mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah
dari tuntunan Rasul dalam dzikir, shalat, dan lain-lain.” [14]

Dzikir Sunnah Pengganti Puji-pujian


Imam Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa ada lima sunnah yang hendaknya diperhatikan oleh orang yang
mendengarkan adzan[15], kami akan menyebutkannya dengan beberapa tambahan:

Seseorang yang mendengar adzan, hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin


Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri:

‫َع ْن َأِبي َس ِعيٍد اْلُخ ْد ِر ِّي َأَّن َر ُسوَل ِهللا َق اَل ِإَذ ا َس ِمْع ُتُم الِّن َد اَء َف ُقوُلوا ِم ْث َل َم ا َي ُقوُل اْلُم َؤ ِّذ ُن‬
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwasanya Rasulullah bersabda, “Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah
sebagaimana yang diucapkan muadzin.” [16]

Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menjawab adzan. Maka hendaknya bagi kita untuk menghidupkan sunnah
yang banyak dilalaikan kaum muslimin ini. Aduhai, alangkah indahnya bila kita meniru para ulama dan orang-orang
shalih dahulu. Al-Hafizh Ibnu Hajar menceritakan dari Ibnu Juraij, dia berkata, “Saya mendapat cerita bahwa manusia
(pada zamannya) mendengarkan muadzin seperti mendengarkan bacaan, tidaklah para muadzin mengucapkan suatu
kata kecuali mereka menirukannya.” [17]

2. Membaca dzikir setelah syahadat


‫ َم ْن َق اَل ِحْي َن َي ْس َم ُع اْلُم َؤ ِذَّن َأْش َه ُد َأْن اَل ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو ْح َد ُه اَل َش ِر ْي َك َلُه َو َأَّن‬: ‫َع ْن َس ْع ِد ْب ِن َأِبْي َو َّقاٍص َع ْن َر ُسْو ِل ِهَّللا َأَّن ُه َق اَل‬
‫ُم َح َّم ًد ا َع ْب ُد ُه َو َر ُسْو ُلُه َر ِض ْي ُت ِباِهلل َر ًّب ا َو ِبُم َح َّمٍد َر ُسْو ًال َو ِباِإلْس َالِم ِدْي ًن ا ُغ ِفَر َلُه َذْن ُبُه‬
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash dari Rasulullah berkata, “Barangsiapa yang berkata ketika mendengar muadzin: ‘Saya
bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah saja tiada sekutu bagi-Nya dan
bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, saya ridha Allah sebagai Rabbku dan Muhammad sebagai
nabiku, dan Islam sebagai agamaku’, maka dosanya diampuni.” [18]

Saudaraku, hidupkanlah sunnah yang hampir mati ini, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu.[19] Adapun
letaknya, para ulama berselisih apakah setelah syahadat ataukah setelah usai adzan. Kita berharap masalahnya
mudah, yakni boleh kedua-duanya, hanya saja dalam riwayat Abu Awanah 1/283–284 dijelaskan bahwa letaknya
setelah syahadat sehingga hal itu lebih diutamakan.

3. Bershalawat atas Nabi


Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash:

‫ َع ْن َعْبِد ِهللا ْب ِن َع ْم ِر و ْب ِن اْلَع اِص‬d ‫ َأَّن ُه َس ِمَع الَّن ِبَّي‬n ‫ ِإَذ ا َس ِمْع ُتُم اْلُم َؤ ِّذ َن َف ُقوُلوا ِم ْث َل َم ا َي ُقوُل ُثَّم َص ُّلوا َع َلَّي َف ِإَّن ُه َم ْن‬: ‫َي ُقوُل‬
‫َص َّلى َع َلَّي َص َالًة َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه ِبَه ا َع ْش ًر ا ُثَّم َس ُلْو ا َهللا ِلْي اْلَو ِس ْي َلَة َف ِإَّن َه ا َم ْن ِز َلٌة ِفي اْلَج َّن ِة َال َت ْن َب ِغْي ِإَّال ِلَع ْبٍد ِمْن ِع َباِد ِهللا‬
‫َو َأْر ُجْو َأْن َأُك ْو َن َأَن ا ُه َو َف َم ْن َس َأَل ِلي اْلَو ِس ْي َلَة َح َّلْت َلُه الَّش َفاَع ُة‬

Dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwasanya dia mendengar Nabi bersabda, “Apabila kalian mendengarkan adzan
maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin kemudian bershalawatlah kepadaku karena barangsiapa yang
bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mintalah
kepada Allah wasilah karena itu adalah tempat di surga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba dari hamba-
hamba Allah dan saya berharap sayalah yang mendapatkannya, maka barangsiapa yang memintakan untukku
wasilah, niscaya halal syafa’at baginya.” [20]

Syaikh Albani berkata, “Dalam hadits ini ada tiga sunnah yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia yaitu
menjawab adzan, shalawat kepada Nabi, usai menjawab, dan memintakan wasilah untuk Nabi. Anehnya, engkau
perhatikan sebagian orang yang meremehkan sunnah-sunnah ini adalah orang yang sangat fanatik memperjuangkan
bid’ahnya shalawat muadzin secara keras usai adzan, padahal hal tersebut merupakan kebid’ahan dalam agama
dengan kesepakatan ulama. Kalau mereka melakukan hal itu dengan alasan cinta Nabi, lantas kenapakah mereka
tidak menghidupkan sunnah ini dan meninggalkan bid’ah tersebut?! Kita memohon hidayah.” [21]

4. Membaca do’a setelah adzan


Hal ini sebagaimana dalam hadits Jabir:

‫َع ْن َج اِبِر ْب ِن َع ْب ِدِهللا َأَّن َر ُسوَل ِهللا َق اَل َم ْن َق اَل ِحيَن َي ْس َم ُع الِّن َد اَء الَّلُهَّم َر َّب َهِذِه الَّد ْع َو ِة الَّت اَّمِة َو الَّص َالِة اْل َقاِئَمِة آِت ُم َح َّم ًد ا‬
‫اْلَو ِس يَلَة َو اْل َفِض يَلَة َو اْب َع ْث ُه َم َقاًما َم ْح ُموًد ا اَّلِذي َو َع ْد َت ُه َح َّلْت َلُه َشَفاَع ِتي َي ْو َم اْل ِقَياَمِة‬
Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berdoa ketika selesai mendengar adzan:
‘Ya Allah, Rabb seruan sempurna dan shalat yang tegak ini, berikanlah kepada Muhammad derajat dan keutamaan,
dan berilah dia kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan kepadanya.’ Maka halal atasnya syafa’atku di hari
kiamat.” [22]

Ibnul Qayyim berkata, “Tatkala Rasulullah adalah makhluk yang paling tinggi ibadahnya, paling mengerti, paling takut
kepada Allah, dan paling cinta kepada-Nya, maka tempatnya layak untuk berada paling dekat dengan Allah, di
tingkatan surga yang paling tinggi. Nabi memerintahkan kepada umatnya untuk dirinya agar umatnya mendapatkan
pahala dan keimanan dengan do’a tersebut.” [23]
5. Berdo’a umum antara adzan dan iqamat
‫َع ْن َأَن ِس ْب ِن َم اِلٍك َقاَل َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا الُّد َع اُء َال ُيَر ُّد َب ْي َن اَألَذ اِن َو اِإلَق اَمِة‬
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda, “Do’a antara adzan dan iqamat tidak tertolak (mustajab).” [24]

Saudaraku, janganlah engkau luputkan waktu dan kesempatan berharga ini untuk memohon kepada Allah segala
kebutuhan dan kebahagiaanmu di dunia dan akhirat.[25]

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

REFERENSI :

[1] Demikianlah harakatnya yang benar, yaitu dengan memfathah ba’, bukan dengan menyukunnya, nisbah kepada
Thabariyyah, sebuah kota di Urdun. (Lihat al-Ansab as-Sam’ani 4/42, Wafayatul A’yan Ibnu Khallikan 2/407, Dhabtul
A’lam Ahmad Taimur Basya hlm. 125)
[2] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 891
[3] Ibid. 2/294
[4] Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 1/191
[5] Fathul Bari 2/99
[6] Al-Iqna’ 1/77–78
[7] Al-Madkhal 2/410
[8] Ibid. 2/417
[9] HR. Bukhari: 601
[10] HR. Abu Dawud (521), Tirmidzi (212), Nasai dalam Amalul Yaum wa Lailah sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf
(1/408–409), Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum (100) dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (no. 244).
[11] Silsilah as-Shahihah 7/454
[12] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 2/294
[13] SHAHIH. Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubra 2/466 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwaul
Ghalil 2/236.
[14] Irwaul Ghalil 2/236
[15] Zadul Ma’ad 2/356–358, Jala’ul Afham hlm. 209, al-Wabilush Shayyib hlm. 131.
[16] HR. Muslim: 383
[17] Fathul Bari 2/109
[18] HR. Muslim: 386
[19] Lihat al-Washiyyah bi Ba’dhi Sunan Syibhil Mansiyyah hlm. 52–53 oleh Haifa’ binti Abdullah ar-Rasyid.
[20] HR. Muslim: 384
[21] Ta’liq Fadhlush Shalah ’ala Nabi hlm. 49–50
[22] HR. Bukhari: 614
[23] Hadiy Arwah hlm. 54
[24] HR. Abu Dawud (521), Tirmidzi (212), Nasai dalam Amalul Yaum wa Lailah sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf
(1/408–409), Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum (100) dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (no. 244).
[25] Lihat pula an-Nubadz al-Mustathabah fi Da’awatil Mustajabah hlm. 55–56 oleh Syaikh Salim al-Hilali.

sholawatan antara adzan, sholawatan bidah dan sholawatan sunnah

Anda mungkin juga menyukai