Abstrak – Pabrik kelapa sawit merupakan suatu industri pengolahan minyak sawit dan inti sawit
yang merupakan produk barang setengah jadi. Industri kelapa sawitan saat ini berkembang pesat
sejalan dengan permintaan banyaknya CPO dan Kernal beserta turunannya. Dalam
pengoperasiannya selalu berhadapan dengan berbagai resiko, mulai dari lapangan sampai pada
pabrik pengolahan. Resiko-resiko ini akan menyebabkan kerugian bagi pabrik khususnya dalam
bentuk finansial. Dari hasil observasi lapangan diperoleh 13 macam resiko rantai pasok, yaitu truk
angkut rusak, TBS tidak sesuai standar, TBS rusak, TBS kurang, jaringan eror, TBS rusak di lapangan
sortasi, perebusan bermasalah, polisyndrom bermasalah, steem tidak normal, proses berjalan tidak
normal/berhenti, viber siklun sumbat dan pipa bocor. Oleh karena itu diperlukan identifikasi,
pengukuran dan penanganan risiko untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh risiko rantai
pasok ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode MAFMA (Multi Attribute
Failure Mode Analysis). Metode MAFMA ini merupakan pengembangan dari metode FMEA. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa, nilai risk level terdapat 4 risiko kritis pada bagian pabrik, yaitu
TBS kurang dengan nilai risk level sebesar 0.096, TBS tidak sesuai standar dengan nilai risk level
0.085, jaringan errror dengan nilai risk level sebesar 0.083 dan proses berjalan tidak normal/berhenti
dengan nilai risk level sebesar 0.073. Ke-4 risiko yang kritis inilah yang menjadi prioritas untuk
ditangani. Adapun penanganan yang dilakukan adalah perencanaan pengadaan TBS yang tepat,
melakukan binaan terhadap proses panen, menstabilkan jaringan dengan pemberian rod tembaga
dan perencanaan penjadwalan mesin.
Kata Kunci: Risiko,Rantai Pasok, Multi Attribute Failure Mode Analysis (MAFMA), Failure Mode and
Effect Analysis (FMEA)
1 Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, dimana salah satunya adalah
kelapa sawit. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan penghasil terbesar kelapa sawit di dunia, dengan
luas area perkebunan mencapai 12,76 juta hektar (BPS). Luasnya perkebunan sawit di indonesia mempermudah pihak
manajemen pabrik kelapa sawit untuk memperoleh bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi. PT. X adalah
pabrik kelapa sawit yang terletak di Aceh Singkil, dalam proses produksi, perusahaan ini menggunakan bahan baku
dari perkebunan kelapa sawit miliknsendiri dan juga dari perkebunan kelapa sawit milik masyarakat setempat. Dalam
pengoperasiannya, manajemen pabrik selalu berhadapan dengan berbagai resiko, mulai dari resiko dilapangan
bentuk finansial. Dari hasil observasi lapangan diperoleh bahawa 13 macam resiko rantai pasok, yaitu truk angkut
rusak, TBS tidak sesuai standar, TBS rusak, TBS kurang, jaringan eror, TBS rusak di lapangan sortasi, perebusan
bermasalah, polisyndrom bermasalah, steem tidak normal, proses berjalan tidak normal/berhenti, viber siklun sumbat
dan pipa bocor. Risiko-risiko tersebut terjadi pada bagian supplier dan bagian pabrik.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis untuk mengetahui penyebab
munculnya risiko dan cara menangani risiko tersebut. Metode yang digunakan dalam penanganan risiko ini adalah
dengan menggunakan metode MAFMA.
2 Landasan Teori
2.1 Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis suatu
risiko yang kemungkinan akan terjadi serta tahapan yang dilakukan dalam penanganan risiko yang terjadi. Manajemen
risiko dapat mengidentifikasi risiko, menilai risiko dan mengurangi kemungkinan terjadinya risiko. Manajemen risiko
memiliki komponen-komponen yang dapat membedakan dengan manajemen bisnis lainnya, yakni lingkungan
internal, penentuan sasaran, identifikasi peristiwa, penilaian resiko, tanggapan resiko, aktifitas pengendalian,
informasi dan komunikasi serta pemantauan. Instrumen inilah yang harus ada di dalam manajemen baru proses
pelaksanaannya bisa dilakukan dengan maksimal [1] [2] [3].
FMEA merupakan sebuah metode evaluasi kemungkinan terjadinya suatu kegagalan dari sebuah sistem, desain,
proses atau servis untuk dilakukakan penanganannya [11]. Failure mode and effect analysis merupakan metode yang
kerap kali dipakai untuk mengidentifikasi komponen penyebab risiko kemudian mencegah permasalahan yang terjadi.
[12] [13][14].
3. Metodologi Penelitian
Ada beberapa langkah dari Metode MAFMA yang dikembangkan oleh braglia (Braglia, 2000). Pada penelitian ini
digunakan untuk menganalisis rantai pasok yaitu:
Pembuatan
Pembuatan Tabel FMEA Penentuan bobot Uji perbandingan untuk
untuk
Tabel menghitung
FMEA nilai Kriteria dengan AHP alternatif expected cost
RPN
4.2. Pembahasan
Perhitungan FMEA
Setelah menetapkan ranking untuk masing-masing kriteria Severity, Occurrence dan Detectebility, nilai RPN ( Risk
Priority Number) kemudian dapat dihitung dengan cara mengalikan S x O x D. Hasil perkalian RPN untuk rantai pasok
kelapa sawit bagian pemasok dan bagian pabrik didapat dari Tabel FMEA.
Tabel 1. Total Hasil Perkalian RPN
Rantai Pasok Total RPN
Pemasok 120
Pabrik 1261
Perhitungan AHP
A. Penentuan Prioritas
1. pengolahan kuesioner I uji perbandingan berpasangan antar kriteria
Untuk pengolahan kuesioner I menggunakan aplikasi expert choice dengan mengambil empat kriteria yaitu severity,
occurance, detectability dan expected cost.
Bobot kriteria menurut responden I
Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa kriteria severity lebih tinggi atau lebih penting dari ketiga kriteria yang ada.
Pabrik
0.287 Kematangan buah berbeda-beda 0.026
0.100 Cuaca/Petir 0.009
0.019 Tidak menggunakan sistem FIFO 0.002
0.185 TBS tidak normal/TBS mentah 0.017
0.050 TBS kurang stabil pada saat
perebusan 0.005
0.035 Aerior tidak bisa
menghisap gravitasi 0.003
0.035 Putaran as gearbox
parang-parang tidak
berfungsi 0.003
0.172 Mesin rusak 0.015
0.070 Pengepresan awal lebih
dari satu unit 0.006
0.049 Kurang pengontrolan pada
pipa 0.004
Inkonsistensi = 0.09
Perhitungan MAFMA
Perhitungan MAFMA dimulai dari mencari local priority (severity, occurance dan detectability) sampai dengan level
risiko.
Perawatan mesin yang kurang 0.045 0.077 0.059 0.033 0.017 0.005 0.025 0.004 0.052
Bagian Pabrik
Kematangan buah berbeda-beda 0.101 0.090 0.118 0.026 0.038 0.006 0.050 0.003 0.097
Cuaca/Petir 0.056 0.064 0.147 0.009 0.021 0.004 0.062 0.001 0.089
Tidak menggunakan system 0.034 0.038 0.147 0.002 0.013 0.003 0.062 0.000 0.078
FIFO
TBS tidak normal/TBS mentah 0.101 0.103 0.088 0.017 0.038 0.007 0.037 0.002 0.084
TBS kurang stabil pada saat
0.079 0.064 0.088 0.005 0.030 0.004 0.037 0.001 0.072
perebusan
Aerior tidak bisa menghisap 0.079 0.064 0.059 0.003 0.030 0.004 0.025 0.000 0.059
gravitasi
Putaran as gearbox parang- 0.079 0.090 0.059 0.003 0.030 0.006 0.025 0.000 0.061
parang tidak berfungsi
Mesin rusak 0.101 0.090 0.059 0.015 0.038 0.006 0.025 0.002 0.071
Pengepresan awal lebih dari satu
0.090 0.090 0.059
unit 0.006 0.034 0.006 0.025 0.001 0.065
Kurang pengontrolan pada pipa 0.090 0.090 0.059 0.004 0.034 0.006 0.025 0.001 0.065
Penanganan dan Pengontrolan Risiko
Dari hasil analisis MAFMA didapatkan risiko yang memiliki nilai risk level tertinggi yang membutuhkan kontrol lebih
lanjut adalah:
Dalam upaya meminimalisir dampak dan kemungkinan terjadinya risiko negatif, terdapat beberapa strategi yang dapat
diterapkan, yaitu avoidance, mitigation. Strategi penanganan risiko yang dapat diberikan antara lain:
1. TBS kurang
a. Strategi avoidance
b. Strategi mitigate
Pada strategi ini agar tidak terjadi kekurangan TBS perlu dipastikan TBS sesuai permintaan, kemudian perlu
diperhatikan juga pekerja yang melakukan panen pada perkebunan agar tidak melakukan panen secara asal-
asalan yang tidak memperhatikan kematangan buah yang semestinya. Kemudian juga bisa menambah
penerimaan TBS dari pihak ketiga
a. Strategi avoidance
Pemeliharaan tanaman sawit secara rutin
b. Strategi mitigate
Untuk mengurangi risiko TBS yang tidak normal perlu diperhatikan pekerja yang melakukan proses
pemanenan buah yang diambil dari perkebunan sendiri.Melakukan binaan bagi petani kelapa sawit setempat
melalui pendampingan teknis cara panen sehingga dapat memanen TBS dengan baik dan sesuai standar.
3. Jaringan error
Untuk jaringan error ini berisiko dikarenakan perusahaan melakukan penimbangan secara otomatis, sehingga
ketika cuaca tidak stabil jaringan harus dimatikan yang berdampak pada pemberhentian penimbangan. Yang
perlu dilakukan adalah tetap menstabilkan jaringan agar tetap bisa melakukan penimbangan. Juga bisa
diberikan rod tembaga yaitu alat untuk anti petir.
a. Strategi avoidance
Melakukan pengawasan pada pekerja, pengambilan TBS sesuai dengan penggunaan system FIFO.
4 Kesimpulan
Untuk mengetahui risiko yang paling berdampak untuk diprioritaskan menurut bobot kriteria yang ditentukan oleh
manajemen perusahaan. Kriteria yang dipakai adalah severity, occurance, detectability dan expected cost. Dan untuk
hasil uji perbandingan berpasangan dari empat kriteria didapatkan nilai masing-masing bobot kriteria yaitu severity
sebesar 37.6%, kriteria occurrence sebesar 6.5%, kriteria detectability sebesar 42.3% dan kriteria expected cost sebesar
13.5%. Berdasarkan bobot kriteria yang diperoleh, Pada bagian pabrik didapatkan nilai risk level tertinggi pada TBS
kurang 0.097, jaringan error risk level sebesar 0.089, TBS tidak sesuai standar risk level sebesar 0.084 dan yang terakhir
TBS rusak di lapangan sortasi dengan nilai risk level sebesar 0.078. untuk bagian pemasok nilai risk level tertinggi
terdapat pada hama dan gulma pada tanaman sawit sebesar 0.055 dan perawatan mesin yang kurang dengan nilai risk
level sebesar 0.052. Bagian-bagian yang memiliki risk level tertinggi menunjukkan bahwa bagian tersebut
membutuhkan penanganan dan kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
[1] O. Lavastre, A. Gunasekaran, and A. Spalanzani, “Supply chain risk management in French companies,” Decis.
Support Syst., vol. 52, no. 4, pp. 828–838, Mar. 2012, doi: 10.1016/j.dss.2011.11.017.
[2] D. G. Hoffman, Managing Operational Risk: 20 Firmwide Best Practice Strategies. Wiley, 2002.
[3] Y. K. Tse, M. Zhang, K. H. Tan, K. Pawar, and K. Fernandes, “Managing quality risk in supply chain to drive
firm’s performance: The roles of control mechanisms,” J. Bus. Res., vol. 97, pp. 291–303, Apr. 2019, doi:
10.1016/j.jbusres.2018.01.029.
[4] J. . Vaughan, Risk Management. New Jersey: John Wiley&Sons, Inc., 1997.
[5] A. I. Pettersson and A. Segerstedt, “Measuring supply chain cost,” Int. J. Prod. Econ., vol. 143, no. 2, pp. 357–
363, Jun. 2013, doi: 10.1016/j.ijpe.2012.03.012.
[6] D. M. Lambert and M. C. Cooper, “Issues in Supply Chain Management,” Ind. Mark. Manag., vol. 29, no. 1, pp.
65–83, Jan. 2000, doi: 10.1016/S0019-8501(99)00113-3.
[7] S. Samad et al., “Green Supply Chain Management practices and impact on firm performance: The moderating
effect of collaborative capability,” Technol. Soc., vol. 67, p. 101766, Nov. 2021, doi:
10.1016/j.techsoc.2021.101766.
[8] G. Li, H. Fan, P. K. C. Lee, and T. C. E. Cheng, “Joint supply chain risk management: An agency and
collaboration perspective,” Int. J. Prod. Econ., vol. 164, pp. 83–94, Jun. 2015, doi: 10.1016/j.ijpe.2015.02.021.
[9] M. Munir, M. S. S. Jajja, K. A. Chatha, and S. Farooq, “Supply chain risk management and operational
performance: The enabling role of supply chain integration,” Int. J. Prod. Econ., vol. 227, p. 107667, Sep. 2020,
doi: 10.1016/j.ijpe.2020.107667.
[10] J. Hong, Y. Zhang, and M. Ding, “Sustainable supply chain management practices, supply chain dynamic
capabilities, and enterprise performance,” J. Clean. Prod., vol. 172, pp. 3508–3519, Jan. 2018, doi:
10.1016/j.jclepro.2017.06.093.
[11] R. K. Aslani, H. R. Feili, and H. Javanshir, “A hybrid of fuzzy FMEA-AHP to determine factors affecting alternator
failure causes,” Manag. Sci. Lett., vol. 4, no. 9, pp. 1981–1984, 2014.
[12] G. Cassanelli, G. Mura, F. Fantini, M. Vanzi, and B. Plano, “Failure Analysis-assisted FMEA,” Microelectron.
Reliab., vol. 46, no. 9–11, pp. 1795–1799, Sep. 2006, doi: 10.1016/j.microrel.2006.07.072.
[13] N. Xiao, H.-Z. Huang, Y. Li, L. He, and T. Jin, “Multiple failure modes analysis and weighted risk priority number
evaluation in FMEA,” Eng. Fail. Anal., vol. 18, no. 4, pp. 1162–1170, Jun. 2011, doi:
10.1016/j.engfailanal.2011.02.004.
[14] A. Hassan, M. R. A. Purnomo, and A. R. Anugerah, “Fuzzy-analytical-hierarchy process in failure mode and
effect analysis (FMEA) to identify process failure in the warehouse of a cement industry,” J. Eng. Des. Technol.,
vol. 18, no. 2, pp. 378–388, Sep. 2019, doi: 10.1108/JEDT-05-2019-0131.
[15] K.-S. Chin, Y.-M. Wang, G. Ka Kwai Poon, and J.-B. Yang, “Failure mode and effects analysis using a group-
based evidential reasoning approach,” Comput. Oper. Res., vol. 36, no. 6, pp. 1768–1779, Jun. 2009, doi:
10.1016/j.cor.2008.05.002.
[16] R. Fattahi and M. Khalilzadeh, “Risk evaluation using a novel hybrid method based on FMEA, extended
MULTIMOORA, and AHP methods under fuzzy environment,” Saf. Sci., vol. 102, pp. 290–300, Feb. 2018, doi:
10.1016/j.ssci.2017.10.018.
[17] N. Khalil, S. N. Kamaruzzaman, and M. R. Baharum, “Ranking the indicators of building performance and the
users’ risk via Analytical Hierarchy Process (AHP): Case of Malaysia,” Ecol. Indic., vol. 71, pp. 567–576, Dec.
2016, doi: 10.1016/j.ecolind.2016.07.032.
[18] H. Li, H. Díaz, and C. Guedes Soares, “A failure analysis of floating offshore wind turbines using AHP-FMEA
methodology,” Ocean Eng., vol. 234, p. 109261, Aug. 2021, doi: 10.1016/j.oceaneng.2021.109261.
[19] M. Braglia, “MAFMA: multi‐attribute failure mode analysis,” Int. J. Qual. Reliab. Manag., vol. 17, no. 9, pp.
1017–1033, Dec. 2000, doi: 10.1108/02656710010353885.
[20] K.-H. Chang, “Generalized multi-attribute failure mode analysis,” Neurocomputing, vol. 175, pp. 90–100, Jan.
2016, doi: 10.1016/j.neucom.2015.10.039.