Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN ANALISIS FILM

“LESSON IN MURDER / SICKNESS THAT LEADS TO THE DEATH PENALTY”

Diajukan untuk memenuhi Tugas Besar 1 pada mata kuliah Gangguan-Gangguan Psikologis
Dosen pengampu: Riblita Damayanti, M.Psi., Psikolog

Disusun oleh :

Muhammad Rizqy Octavian


46120010056

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA

JAKARTA

2023
I. Deskripsi / Sinopsis Film

Judul Film : Lesson in Murder / Sickness That Leads to The Death Penalty
Tahun Rilis : 2022
Penulis : Ryû Kushiki, Ryô Takada
Sutradara : Kazuya Shiraishi
Produser : Kazumi Fukase, Takuro Nagai, Shintaro Hori
Durasi : 2 jam 8 menit
Tautan film : http://5.189.165.125/lesson-in-murder-2022/

Seorang Psikopat terkadang tidak terlihat seperti seseorang yang memiliki


masalah kesehatan mental. Selain kesehatan fisik, pemerintah pun seharusnya
memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental. Sehingga
masyarakat pun akan menjadi lebih awas terhadap berbagai gejala atau tanda-tanda
jika seseorang memiliki gangguan mental. Isu psikopat inilah yang diangkat menjadi
tema film Lesson in Murder. Film yang ditayangkan pada Japanese Film Festival
2022 arahan Kazuya Shiraishi ini bergenre mystery thriller yang diadaptasi dari novel
Shikei ni Itaru Yamai karya Riu Kushiki. Lesson in Murder menghadirkan Sadao Abe
dan Kenshi Okada sebagai pemeran utamanya. Alur film ini pun dikemas dengan
apik sehingga penonton tidak akan menyadari bahwa alur film ini akan berujung
dengan plot yang tidak tertebak sebelumnya.
Lesson in Murder mengisahkan tentang lika-liku kehidupan Masaya Kakei
sepeninggal kematian neneknya. Tumbuh sebagai anak yang introvert, Masaya
merupakan pribadi yang tertutup dan penyendiri, serta memiliki riwayat hubungan
yang tidak harmonis dengan ayahnya. Cerita dimulai saat Masaya menemukan surat
lama dari Yamato Haimura yang memintanya untuk bertemu.
Saat ini, Yamato tengah tersandung kasus pembunuhan berantai yang
korbannya cukup banyak. Namun, anehnya ia menyangkal telah membunuh 1
korban. Karena pernah ada ‘kedekatan’ di masa kecilnya, Masaya tertarik untuk
menelusuri kasus ini dan magang di sebuah firma hukum yang menangani kasus
Yamato.
Masaya memulai proses investigasinya dengan berbicara dengan Yamato di
rumah tahanan. Selain itu, ia juga pergi ke lokasi pembunuhan dan berbincang
dengan warga di sekitar tempat tinggal Yamato. Yang paling menarik, Masaya
bahkan menemukan fakta bahwa Ibunya pernah memiliki hubungan dengan Yamato.
Alur film pun mundur ke masa remaja Masaya yang seringkali dipukuli oleh ayahnya.
Ternyata, dulu ia tak jarang mampir di toko roti milik Yamato yang cukup perhatian

2
dengan Masaya. Berujung dengan dugaan bahwa Yamato adalah ayah kandung
Masaya.
Faktanya, dibalik wajah polos dan ramah milik Yamato, ia mengincar
sejumlah anak muda dengan karakteristik dan latar belakang yang menjadi pola
pembunuhannya. Seketika, Yamato berubah menjadi pembunuh bengis dan sadis.
Namun, sinematografinya dikemas sehingga adegan pembunuhannya pun tak
terlihat murahan dan menjijikkan yang penuh dengan darah.
Seiring perjalanan investigasinya, Masaya juga menemukan fakta bahwa
memang ada ‘pelaku’ lain untuk 1 orang korban sesuai yang dinyatakan oleh
Yamato. Semakin dalam menyelami kasus ini, perlahan kepribadian Masaya pun
mulai berubah. Ia menjadi lebih berani dan agresif. Bahkan, ia pun akhirnya
berkencan dengan salah seorang teman kuliahnya.
Alur yang maju mundur di film Lesson in Murder ini menjadi salah satu daya
tarik tersendiri yang membuat penonton tetap terhipnotis untuk mengikuti satu per
satu jalannya alur film. Serta dialog antara Yamato dan Masaya yang cukup
mendalam pun membuat penonton ikut terkecoh karena memang Yamato
bermaksud untuk memanipulasi kondisi mental Masaya. Hingga pada akhirnya
Masaya menyadari bahwa Yamato memanfaatkannya untuk mengaburkan motif
kasus pembunuhannya. Lalu, cerita pun berlanjut memperlihatkan kehidupan
Masaya yang saat ini menjadi lebih ceria dan berwarna. Namun, ternyata penonton
justru disuguhi dengan plot twist yang tidak akan pernah diduga di akhir film Lesson
in Murder.

II. Perkembangan Tokoh Utama


a. Masaya Kakei
Masaya dirawat dan dibesarkan oleh neneknya. Ia memiliki masa lalu
yang kurang menyenangkan karena hubungan dengan Ayahnya terbilang
tidak harmonis. Bahkan sejak kecil, ia sering mendapatkan perlakuan
kekerasan dari Ayahnya. Alih-alih melawan atau menghindar, ia dengan
pasrah menerima kekerasan itu agar sang Ayah tidak melampiaskan
emosinya kepada Ibunya. Hal tersebut terus dialaminya hingga ia memasuki
usia remaja.
Di sepanjang film diperlihatkan bahwa Masaya remaja merupakan
sosok yang dingin, pendiam, dan sangat tertutup dari lingkungannya. Pada
beberapa adegan, Masaya menjalani aktivitasnya seorang diri dan tidak
banyak berinteraksi. Ia juga kurang memiliki keintiman kepada siapapun,
bahkan kepada ibunya sendiri. Ketika ia bertemu dengan teman lamanya

3
(Akari Kano) yang ternyata kuliah di universitas yang sama pun, Masaya
terlihat tidak antusias berinteraksi dan menjaga jarak dengan temannya
tersebut. Di samping itu, ia juga hanya bisa diam dan menghindar dari
perilaku menekan orang-orang sekitarnya.
Namun seiring berjalannya investigasi yang ia lakukan, perilaku
Masaya berubah. Ia menjadi lebih agresif dan berani. Perilaku tersebut
muncul di adegan ketika ia berjalan di bawah hujan dan menabrak seorang
pria. Kemudian pria tersebut melontarkan kata kasar kepada Masaya hingga
membuat Masaya kehilangan kendali atas emosinya dan ia hampir
membunuh pria tersebut karena memukuli dan mencekiknya dengan dasi
milik pria tersebut. Adegan lainnya adalah ketika Masaya mencium Kano
dengan agresif dan berhubungan intim setelah Kano berusaha mengobati
luka di tangan Masaya.
Kondisi psikologis yang dialami oleh Masaya adalah sebuah
gangguan yang berkaitan dengan psikologis dan sosialnya. Menurut Erikson,
psikososial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan
antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental maupun
emosionalnya. Pada teori psikososial ini menjelaskan bahwa perkembangan
manusia dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang menjadikan manusia
matang secara fisik dan psikologisnya. Menurut teori Erikson, perkembangan
psikososial adalah proses penyesuaian psikologis dan sosial sejalan dengan
perkembangan seseorang sejak bayi sampai dewasa berdasarkan delapan
tahap kematangan. Berikut delapan tahapan perkembangan psikososial
menurut Erik Erikson :
a.) Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan
pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan
anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat
mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak
pernah terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam
membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu
meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari
dirinya.
b.) Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas
tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk
mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan

4
yang kasar. Mereka melatih kehendak mereka, tepatnya otonomi. Harapan
idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial
tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah
resolusi yang diharapkan.1,2,4

c.) Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)


Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan
melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini
akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan
karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan
tidak mau mengembangkan harapan- harapan ketika ia dewasa. Bila anak
berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang
diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.
d.) Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)
Tahap ini merupakan tahap setara dengan umur anak sekolah dasar.
Tahapan ini juga merupakan tahapan anak dimana mulai menaruh perhatian
pada bagaimana sesuatu benda itu dapat bekerja dan bagaimana cara
membuatnya. Pencapaian suatu prestasi menjadi perhatian utama pada
tahapan ini.
e.) Tahap V : Identity versus Role Confusion (12-18 tahun)
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis
seperti orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain
pihak ia dianggap dewasa tetapi disisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap
ini merupakan masa standarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam
bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber
perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau
teman sebaya tinggi.
f.) Tahap VI : Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi
dengan orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk
membentuk ikatan sosial yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila
individu berhasil mengatasi krisis ini, maka keterampilan ego yang diperoleh
adalah cinta.
g.) Tahap VII : Generativity versus Stagnation (masa dewasa
menengah)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai
balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan

5
sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa
depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan
menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan.
Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka keterampilan ego
yang dimiliki adalah perhatian.
h.) Tahap VIII : Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir)
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali
masa lalu dan melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa
lalu itu terasa menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk
mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama bertahun-tahun.
Kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa
putus asa.

Dalam analisis perkembangan Masaya Kakei ini, usia yang menjadi


fokus utama adalah 12-18 tahun (tahap V : Identity versus Role Confusion)
dan masa dewasa muda (tahap VI : Intimacy versus Isolation).
Di masa remaja, tahapan perkembangan psikososial individu berada
pada tahapan identity (identitas) versus identity confusion (kebingungan
identitas). Menurut Erikson, tugas utama remaja adalah memecahkan krisis
identitas dan kebingungan identitas, membangun identitas yang unik yang
mereka miliki, menjalin hubungan dengan lingkungan agar diakui
keberadaannya dan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang
lain (Sobh, 2020). Remaja yang tidak mampu menyelesaikan krisis
identitasnya, akan muncul kebingungan peran dan ketidakjelasan identitas
(Inayah et al., 2021). Remaja yang mengalami kebingungan identitas ini
merasa tidak mampu, tidak berdaya, turun harga dirinya dan pesimis dalam
menghadapi masa depannya (Nurhayati, 2015).
Sejalan dengan pandangan tersebut, dapat dilihat bahwa Masaya
memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan dampak ketidakberhasilan individu
menemukan identitas diri, seperti rendah diri dan tidak mengetahui nilai-nilai
yang ada dalam dirinya. Ciri-ciri tersebut muncul pada adegan ketika Masaya
yang masih SMP pasrah dengan perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh
Ayahnya. Bahkan ia juga merasa pantas dan menerima bahwa dirinya tidak
diinginkan oleh orang tuanya untuk hadir di acara perpisahan mendiang
neneknya. Di adegan lain adalah ketika ia diundang oleh Kano untuk hadir di
acara perkumpulan club di salah satu restoran dan mengetahui bahwa dirinya
telah dibohongi dan dihina, Masaya memilih untuk diam dan pergi

6
meninggalkan restoran tersebut tanpa pembelaan sedikitpun terhadap
dirinya.
Tahap selanjutnya di usia dewasa muda individu berada di tahap
Intimacy (Keintiman) versus Isolation (Isolasi). Pada tahap psikososial ini,
manusia berfokus pada pengembangan hubungan dekat dan penuh kasih
dengan orang lain. Individu akan mulai mengenal pacaran, pernikahan,
membangun keluarga, dan persahabatan. Ketika hubungan cinta dengan
orang lain berhasil, Individu dapat mengalami cinta dan menikmati keintiman
(hubungan yang sangat dekat). Sementara yang gagal akan merasa
terisolasi.
Di awal hingga pertengahan film diperlihatkan bahwa Masaya dewasa
tidak memiliki keintiman dengan siapapun. Interaksi dengan ibunya pun
sangat minim terlihat. Ia juga terlihat menutup diri dengan lingkungannya dan
tidak memiliki teman dekat. Seiring berjalannya investigasi yang dilakukan
oleh Masaya, di pertengahan film diperlihatkan ia yang mulai menjalin
hubungan dekat dengan Kano. Namun hubungan mereka terjalin karena
situasi yang mendorong Masaya untuk berperilaku agresif kepada Kano dan
bukan disebabkan oleh keintiman yang dibangun perlahan. Hal tersebut
merupakan ciri-ciri dari ketidakberhasilan Masaya dalam membangun sebuah
hubungan intim dengan orang lain dan juga merupakan dampak dari
kegagalan di tahap perkembangan sebelumnya.

b. Yamato Haimura
Tidak jauh berbeda dengan Masaya Kakei, Yamato Haimura memiliki
masa kecil yang tidak menyenangkan. Sejak kecil ia mendapatkan perlakuan
tercela dari orang tuanya. Ia dilecehkan oleh ayahnya secara fisik seksual
(menit 56:38) dan seringkali mendapatkan perlakuan kasar. Selain itu,
Haimura kecil juga tidak pernah menerima kasih sayang yang seharusnya ia
dapatkan dari orang tua biologisnya. Semasa anak-anak, Haimura pernah
melakukan kriminal dengan membunuh seorang anak perempuan yang
masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Waktu berlalu, Haimura kemudian diadopsi oleh Kirie Haimura yang
merupakan seorang aktivis HAM yang mengadopsi anak-anak dengan latar
belakang kekerasan dan pelecehan untuk diberi tempat tinggal di tempat
penampungannya.
Haimura dikenal sebagai sosok yang baik dan pekerja keras oleh
tetangganya. Ia bisa menjadi “pawang” untuk anak yang nakal atau

7
bermasalah, termasuk anak-anak yang mengalami kasus pelecehan dan
kekerasan.
Haimura telah membunuh sebanyak 23 orang remaja laki-laki dan
perempuan. Pembunuhan terakhir (kasus ke-9) Kaoru Nezu merupakan
pembunuhan acak dan tidak direncanakan. Hal ini mengindikasikan bahwa
pembunuh membiarkan emosinya yang berkuasa saat itu. Kaoru Nezu
adalah seorang maniak kebersihan dan punya pola makan yang aneh (menit
46:57). Terdapat kemungkinan bahwa ia dibunuh di lumpur karena sang
pembunuh mengetahui kalau Nezu memiliki germaphobia.
Di sepanjang film, perlahan kita mulai memahami bahwa Haimura ahli
dalam memanfaatkan dinamika pujian untuk memuaskan keinginan orang
lain akan pengakuan dan memuaskan rasa frustrasinya yang berkepanjangan
karena tidak mendapatkan cukup pengakuan atas tindakannya, tidak cukup
mendapatkan cinta dan kasih sayang. Ia menjadikan keahliannya tersebut
untuk membangun hubungan dan kepercayaan kepada korban-korbannya.
Haimura juga ahli dalam memanipulasi orang lain, seperti yang diperlihatkan
pada adegan percakapannya dengan Masaya, dimana Masaya dengan
mudah mempercayai bahwa Haimura adalah Ayah kandungnya. Di adegan
lain juga diperlihatkan bahwa Haimura lihai dalam mengarang sebuah cerita
bahwa ia tidak terlibat dalam kasus kematian Nezu untuk membuat dirinya
terlihat tidak bersalah di hadapan Masaya.
Fakta baru muncul ketika Masaya mengetahui bahwa Ibunya (Eriko)
pernah menjalin hubungan dengan Haimura hingga Eriko hamil. Hal tersebut
menyebabkan Eriko diusir oleh Ibu angkatnya dan melahirkan anak di rumah
kosong. Lalu bayinya tersebut dibakar oleh Haimura.
Dari perkembangan yang terlihat di sepanjang film, Haimura sejak
anak-anak hingga dewasa memiliki sikap dan perilaku yang menyimpang dari
norma-norma sosial. Perilaku menyimpang yang dilakukan Haimura seperti
membunuh, mengarah pada gangguan psikologis Antisosial atau Psikopat.
Menurut Eppright, Kashani, Robinson, dan Reid (dalam Durand & Barlow,
2007), individu dengan Conduct Disorder di masa kanak-kanak banyak yang
kemudian menjadi remaja pelaku kejahatan. Hal ini didukung oleh Robins
(dalam Durand & Barlow, 2007), banyak orang dewasa dengan gangguan
kepribadian antisosial atau psikopat memiliki gangguan tingkah laku ketika
masih kecil. Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa psikopat anak
maupun remaja terkait dengan berbagai kenakalan (Murrie, Cornell, Kaplan,
McConville, & Levy-Elkon, dalam Salekin, Leistico, Trobst, Schrum, &

8
Lochman, 2005), serta pelanggaran kekerasan dan kriminalitas (Forth &
Book, 2010). Hal tersebut ditunjukkan di film pada adegan ketika Haimura di
masa anak-anak yang sudah melakukan kriminal dengan membunuh seorang
anak perempuan.
Cooke dan Michie (2001) menjelaskan dimensi-dimensi psikopat
menjadi tiga dimensi penting (dalam Farrington, 2005), yaitu: An Arrogant,
Deceitful Interpersonal Style (ADI), meliputi pesona palsu, berpusat pada diri
sendiri atau harga diri yang berlebihan, berbohong patologis, menipu,
manipulasi dan penuh tipu daya. Di dalam film Lesson in Murder, Haimura
sangat ahli dalam membangun kepercayaan orang lain kepada dirinya. Ia
juga mampu memanipulasi psikologis orang lain, seperti Haimura yang
mudah luluh dengannya dan Itsuki Kanayama yang selalu patuh terhadap
perkataan Haimura. Yang kedua adalah Deficient Affective Experience
(DAE), meliputi kurang rasa bersalah dan penyesalan, hati nuraninya lemah,
tidak berperasaan, kurang empati, ketidakmatangan emosi, tidak
bertanggung jawab atas tindakannya (penyangkalan, berasalan dan lain-lain).
Haimura di dalam film terlihat menikmati setiap menjalankan aksinya
membunuh para korbannya. Ia tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun,
bahkan ketika berada di dalam ruang persidangan. Kemudian yang ketiga An
Impulsive or Irresponsible Behavioral Style (IIB) meliputi sifat mudah bosan,
mencari kesenangan, kurang tujuan jangka panjang, impulsif, gagal berpikir
sebelum bertindak, gaya hidup parasit (hutang, kebiasaan kerja tidak
memuaskan dan lain-lain).
Salah satu faktor eksternal yang dapat memicu munculnya psikopat
adalah kualitas hubungan yang dialami individu dengan orang tua (pengasuh
utama) pada usia dini. Teori kelekatan yang dikemukakan oleh Bowlby
(dalam Smith, 2011) menekankan pentingnya kualitas hubungan anak dan
orang tua pada awal kehidupan. Kelekatan merupakan suatu ikatan afektif
yang kuat, bersifat menetap yang ditandai dengan adanya kecenderungan
untuk mencari dan mempertahankan kedekatan terhadap figur lekat
walaupun tidak terlihat dari pandangan mata (Bowlby & Ainsworth, dalam
Colin, 1996), terutama ketika berada dalam keadaan di bawah tekanan
(Colin, 1996). Menurut Bowlby (dalam Farrington, 2005) bahwa kelekatan
aman yang diperoleh anak merupakan fondasi untuk terbentuknya
kemandirian dan membimbing anak dalam berhubungan dengan orang lain di
masa depan. Sedangkan kelekatan tidak aman dianggap berkaitan dengan

9
masalah dalam relasi dan perilaku di masa perkembangan selanjutnya
(Santrock, 2011).
Kelekatan tidak aman menurut Ainsworth (dalam Santrock, 2011)
digambarkan dengan adanya ketidakkonsistenan kehadiran orang tua,
penolakan orang tua maupun pengalaman-pengalaman traumatis seperti
terjadinya kekerasan oleh orang tua. Jika seorang anak mengalami deprivasi
cinta atau ketiadaan cinta dan kasih sayang dari orang tua (pengasuh)
selama 5 tahun pertama kehidupan, maka menyebabkan anak menjadi
individu yang dingin, kurang menyayangi, tidak berperasaan dan cenderung
menjadi remaja delinkuen (Bowlby, dalam Farrington, 2005), serta tidak
mempercayai dunia sebagai tempat yang aman dan memiliki keyakinan
bahwa orang lain tidak peduli terhadap mereka (Talebi & Verma, 2007),
sehingga dapat dikaitkan dengan ciri-ciri psikopat (Meloy, 2003).
Sesuai dengan teori kelekatan yang telah diuraikan diatas, Haimura
merupakan individu yang memiliki pengalaman masa anak-anak yang buruk.
Ia tidak memiliki kelekatan aman dengan orang tuanya karena tidak
mendapatkan kehadiran dan kasih sayang yang utuh dari orang tuanya. Ia
juga tumbuh besar dari orang tua angkat (Kirie Haimura) yang tidak dapat
sepenuhnya memberikan kasih sayang seperti orang tua kandung pada
umumnya. Kelekatan tidak aman tersebut membentuk kepribadian dan
perilaku Haimura yang tidak memiliki empati dan impulsif.

III. Gangguan-Gangguan Psikologis Tokoh Utama


a. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) - Masaya Kakei
Tokoh utama yang mengalami gangguan psikologis ini adalah Masaya
Kakei. Keterkaitan simptom yang muncul pada Masaya dengan kriteria Post-
Traumatic Stress Disorder menurut DSM-5-TR adalah sebagai berikut :
● Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
Adegan : Pada saat Masaya berbincang dengan Haimura di Rutan,
diperlihatkan kilas balik ke masa lalu ketika Masaya yang masih
duduk di bangku SMP mengalami babak belur di wajah akibat
menerima perlakuan kekerasan dari Ayahnya.
● Menyaksikan sendiri peristiwa yang dialami orang lain.
Adegan : Ketika kilas balik di toko roti Haimura, Masaya menceritakan
bahwa ia harus menerima kekerasan dari Ayahnya agar Ayahnya
tidak melampiaskan emosinya kepada Ibunya. Ini mengindikasikan

10
kalau Masaya sudah pernah menyaksikan Ibunya mengalami KDRT
oleh Ayahnya sendiri.
● Mengetahui bahwa peristiwa traumatis terjadi pada anggota keluarga
dekat atau teman dekat. Dalam kasus kematian anggota keluarga
atau teman yang nyata atau terancam, peristiwa tersebut pasti
merupakan kekerasan atau kecelakaan.
Adegan : Ketika kilas balik di toko roti Haimura, Masaya menceritakan
bahwa ia harus menerima kekerasan dari Ayahnya agar Ayahnya
tidak melampiaskan emosinya kepada Ibunya. Ini mengindikasikan
kalau Masaya sudah pernah menyaksikan Ibunya mengalami KDRT
oleh Ayahnya sendiri.
● Penghindaran atau upaya untuk menghindari kenangan, pikiran, atau
perasaan yang menyusahkan tentang atau terkait erat dengan
peristiwa traumatis.
Adegan : Masaya beberapa kali diperlihatkan sering bermain tenis.
Namun kegiatan tersebut bukanlah aktivitas favoritnya. Ini
mengindikasikan bahwa ia bermain tenis adalah salah satu cara dia
menghindar dari pikiran-pikiran yang erat dengan pengalaman
traumatisnya.
● Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal
(orang, tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang
membangkitkan ingatan, pikiran, atau perasaan yang menyusahkan
tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.
Adegan : Di awal film ketika Masaya membaca surat dari Haimura,
dikatakan bahwa Masaya ingin masuk ke sekolah asrama. Terdapat
indikasi bahwa Masaya ingin tinggal di asrama sekolah agar terhindar
dari Ayahnya.
● Berkurangnya minat atau partisipasi dalam aktivitas penting.
Adegan : Di awal film ketika Masaya dan keluarga sedang berduka
atas kematian neneknya, Masaya terlihat tidak ingin hadir di acara
perpisahan neneknya.
● Perasaan terpisah atau terasing dari orang lain.
Adegan : Di sepanjang film diperlihatkan Masaya yang tertutup dan
melakukan aktivitasnya seorang diri. Misalnya pada adegan di
kampus dan ketika ia menghadiri perkumpulan club di salah satu
restoran. Terlihat Masaya yang tidak berbaur dengan orang-orang
sekitarnya dan bersikap dingin.

11
● Ketidakmampuan yang terus-menerus untuk merasakan emosi positif
(misalnya, ketidakmampuan untuk merasakan kebahagiaan,
kepuasan, atau perasaan cinta).
Adegan : Ketika ia selesai melakukan hubungan intim dengan Kano,
ia terlihat murung. Seolah-olah kebahagiaan yang ia rasakan hanya
sementara.
● Perilaku mudah tersinggung dan ledakan kemarahan (dengan sedikit
atau tanpa provokasi) biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal atau
fisik terhadap orang atau benda.
Adegan : Simtom ini muncul ketika Masaya yang tersulut emosi
hingga melakukan percobaan pembunuhan karena menerima
perkataan kasar oleh seorang pria tak dikenal yang ditabraknya ketika
sedang berjalan.

b. Antisocial Personality Disorder - Yamato Haimura


Tokoh utama yang mengalami gangguan psikologis ini adalah Yamato
Haimura. Keterkaitan simptom yang muncul pada Haimura dengan Kriteria
Antisocial Personality Disorder menurut DSM-5-TR adalah sebagai berikut :
● Kegagalan untuk mematuhi norma-norma sosial sehubungan dengan
perilaku yang sah, yang ditunjukkan dengan berulang kali melakukan
tindakan yang dapat dijadikan dasar penangkapan.
Adegan : Perilaku menyimpang Haimura menjadi sorotan utama di
film ini. Ketika di persidangan, diperlihatkan adegan Haimura yang
melakukan penyiksaan sadis dan pembunuhan kepada korban-
korbannya. Di adegan lain juga ia terlihat mengendalikan anak-anak
(Itsuki dan Daichi) untuk saling menyakiti satu sama lain. Lalu adegan
lainnya adalah ketika Haimura yang masih anak-anak membunuh
seorang anak perempuan.
● Kecurangan, ditandai dengan kebohongan yang berulang-ulang,
penggunaan nama samaran, atau menipu orang lain demi keuntungan
atau kesenangan pribadi.
Adegan : Di beberapa adegan diperlihatkan Haimura yang
menggunakan persona yang hangat dan ramah ketika membangun
kepercayaan dengan calon korbannya. Salah satunya adalah ketika Ia
berpura-pura mengambil sepeda yang salah (milik calon korban), agar
terjadi interaksi antara mereka berdua.

12
● Iritabilitas dan agresivitas, yang ditunjukkan dengan perkelahian atau
penyerangan fisik yang berulang-ulang.
Adegan : Penyerangan fisik ini diperlihatkan ketika Haimura sedang
melakukan penyiksaan yang sadis kepada korban-korbannya. Salah
satunya adalah ketika Ia mencabut kuku-kuku para korbannya.
● Sembrono mengabaikan keselamatan diri sendiri atau orang lain.
Adegan : Diperlihatkan ketika Haimura yang membuat permainan
saling menyakiti bersama Itsuki dan adiknya. Tanpa berpikir atas
keselamatan dirinya dan Itsuki serta adiknya, Ia terus memainkan
permainan tersebut sampai Itsuki dan adiknya saling melukai satu
sama lain.
● Kurangnya rasa penyesalan, yang ditunjukkan dengan sikap acuh tak
acuh atau merasionalisasikan telah disakiti, dianiaya, atau dicuri
orang lain.
Adegan : Ketika Ia menyiksa para korbannya, raut wajahnya terlihat
senang dan puas. Adegan lainnya adalah ketika di persidangan Ia
bisa mengikuti persidangan dengan lancar tanpa ada rasa sedih
sedikitpun yang terlihat dari wajahnya.
● Individu tersebut berusia minimal 18 tahun.
Adegan : Ketika Haimura menjalankan aksinya, Ia sudah berusia
dewasa sekitar 30 hingga 40 tahun.
● Terdapat bukti gangguan tingkah laku yang timbul sebelum usia 15
tahun.
Adegan : Ketika adegan kilas balik diperlihatkan Haimura yang masih
anak-anak membunuh seorang anak perempuan yang masih duduk di
bangku Sekolah Dasar.

13
Referensi

American Psychiatric Assosiation. (2022). DSM V-TR (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders V Text Revision).
Cooke, D., & Michie, C. (2001). Refining the construct of psychopathy: Towards a
hierarchical model. doi:10.1037111040-3590.13.2.171.
Durand, V., & Barlow, D. (2007). Psikologi Abnormal (4 ed.). (H. Soetjipto, & S. Soetjipto,
Trans.) Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Inayah, M. N., Yusuf, A., & Umam, K. (2021). Krisis Identitas dalam Perkembangan
Psikososial Pelaku Klitih di Yogyakarta. Jurnal PKS.
Nurhayati, T. (2015). Perkembangan Perilaku Psikososial pada Masa Pubertas. Jurnal
Pendidikan Sosial Dan Ekonomi.
Rusuli, I. (2022). PSIKOSOSIAL REMAJA: SEBUAH SINTESA TEORI ERICK ERIKSON
DENGAN KONSEP ISLAM. Jurnal As-Salam.
Santrock, J. (2011). Remaja (11 ed., Vol. 4). (B. Widyasinta, Trans.) Jakarta: Erlangga.
Smith, L. (2011). An exploration of the relationship between poor parent-child attachment
and callous-unemotional traits in a sample of high-risk young offenders.
Sobh, Z. M. (2020). Identity among adolescent Arab-Americans in Dearborn, Michigan: An
Eriksonian perspective.
Yanti, P. E., Agustina, L. F., & Kes, M. (2022). GAMBARAN PSIKOSOSIAL ANAK KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Bimbingan dan Konseling Islam.

14

Anda mungkin juga menyukai