Anda di halaman 1dari 2

ANTI NUTRISI

Anti Nutrisi atau antinutrient adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam bahan pakan
(pangan) nabati atau hewani yang dapat mengganggu penyerapan nutrisi lain di dalam tubuh. L
Kandungan antinutrisi yang tinggi dalam pakan akan memberi efek negatif terhadap proses
metabolisme, pencernaan, penyerapan dan pemanfaatan zat makanan sehingga menurunkan
produktivitas ternak. Antinutrisi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu tipe A, tipe B dan tipe C

1. Antinutrisi tipe A adalah antinutrisi jenis anti protein Antinutrisi jenis Anti Protein ini
mengganggu dalam pencernaan protein maupun absorpsi dan penggunaan asam
amino. Antinutrisi jenis antiprotein adalah protease inhibitor dan lectin.
2. Antinutrisi tipe B adalah antinutrisi jenis anti mineral terdapat pada hijauan dan biji-bijian
Konsumsi berlebihan antinutrisi tipe B ini dapat menyebabkan intoksikasi akut.
Antinutrisi jenis anti mineral adalah Oksalat, asam phytat dan glukosinolat.
3. Antinutrisi tipe C adalah anti vitamin. Antivitamin secara alamiah bisa mendekomposisi
vitamin menjadi komplek yang tidak bisa diabsorbsi, atau mengganggu kemampuan dari
vitamin itu dicerna atau dimetabolisme. Antivitamin ini adalah asam askorbat oksidase,
anti tiamin factor dan anti piridoksin factor, asam askorbat oksidase merupakan enzim
yang mengandung tembaga yang isa mengkatalisis, poksidasi asam askorbat bebas
menjadi asam diketoglukonat, asam oksalat dan produk oksidasi lainnya.

Adanya senyawa antinutrisi dalam bahan pakan dapat menjadi pembatas penggunaan bahan
pakan dalam ransum. Hal ini dikarenakan senyawa antinutrisi dapat menimbulkan pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan dan produksi ternak. Upaya yang dapat dilakukan untuk
mengurangi efek negatif dari senyawa antinutrisi pada bahan pakan adalah dengan pengolahan
bahan pakan, baik secara teknis/mekanik, kimia maupun biologi. Berbagai metode pengolahan
pakan tersebut dapat menurunkan kadar anti nutrisi dari bahan pakan sehingga efek negatif
dari mengkonsumsi pakan yang mengandung antinutrisi dapat dikurangi.

TANIN
Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder berupa polyphenol yang dihasilkan
tumbuhan, berasa pahit dan kelat. Tanin dapat menggumpalkan protein dan bereaksi dengan
senyawa organic lainnya termasuk asam amino dan alkaloid. Tanin terdapat banyak pada
hijauan pakan ternak seperti tanaman leguminosa atau kacang-kacangan dan lain-lain.

Tanin merupakan senyawa yang mempunyai berat molekul 500-3000 dan mengandung
sejumlah besar gugus hidroksi fenolik yang memungkinkan membentuk ikatan silang yang
efektif dengan protein dan molekul-molekul lain seperti polisakarida, asam amino, asam lemak
dan asam nukleat (Fahey and Berger, 1988).

Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin yang mudah terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Tanin yang mudah terhidrolisis merupakan polimer gallic dan ellagic acid yang
berikatan ester dengan sebuah molekul gula, sedangkan tanin terkondensasi merupakan
polimer senyawa flavonoid dengan ikatan karbon- karbon berupa catechin dan gallocatechin
(Patra dan Saxena, 2010). Tanin yang berasal dari hijauan(leguminosa) umumnya membentuk
tanin terkondensasi dan mempunyai ikatan kompleks dengan protein yang lebih kuat
dibandingkan dengan tanin terhidrolisis (Fahey dan Berger, 1988). Tanin bersifat antinutrisi dan
dapat menyebabkan keracunan pada ternak

Tanin yang berasal dari hijauan(leguminosa) umumnya membentuk tanin terkondensasi dan
mempunyai ikatan kompleks dengan protein yang lebih kuat dibandingkan dengan tanin
terhidrolisis (Fahey dan Berger, 1988).

Tanin bersifat antinutrisi dan dapat menyebabkan keracunan pada ternak apabila dikonsumsi
secara berlebihan. Namun pada dosis tertentu tanin memberi pengaruh yang menguntungkan
pada ternak. Tanin dapat berfungsi dalam memproteksi protein bahan pakan dengan kadar dan
konsentrasi tertentu. Tanin. berperan sebagai enkapsulasi pada pakan yang mengandung
protein tinggi sehingga melindungi protein dari degradasi mikroba rumen.

Disamping itu, keberadaan tanin dalam ransum dapat mengurangi produk gas metana. Hal ini
berlangsung melalui penghambatan pertumbuhan bakteri metanogen yang memproduksi gas
metana. Menurut Jouany (1991), sebanyak 70% dari total bakteri metanogen bersimbiosis
dengan protozoa. Penurunan jumlah protozoa akan diikuti dengan penurunan bakteri
metanogen, sehingga perlu dilakukan proses defaunasi (proses penghilangan protozoa dari
dalam rumen) secara parsial karena keberadaan protozoa cenderung merugikan.

Defaunasi menyebabkan turunnya mekanisme simbiosis antara metanogen dengan protozoa,


sehingga hanya sedikit hidrogen yang dapat dikonversikan menjadi metan (Takahashi, 2006).
Menurut Hess et al., (2003) penghilangan protozoa dapat mengurangi produksi metan yang
sama halnya dengan penurunan protozoa diikuti dengan penurunan bakteri metanogen.

Anda mungkin juga menyukai