Anda di halaman 1dari 12

BAHAN PAKAN DAN NUTRISI TERNAK

ZAT ANTINUTRISI PADA PAKAN TERNAK


TUGAS INDIVIDU

Oleh:
Dhimas Yusantoro (181510102011)

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahan pakan adalah setiap bahan pakan yang dapat dimakan, disukai, dan
dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, kemudian dapat diabsorpsi dan
bermanfaat bagi ternak. Oleh karena itu agar disebut sebagai bahan pakan adalah
bahan yang dapat dimakan, dicerna, dan diserap baik sebagian atau keseluruhan
dan tidak menimbulkan keracunan atau tidak mengganggu kesehatan ternak yang
mengkonsumsinya (Kamal, 1998). Pakan berfungsi sebagai pembangunan dan
pemeliharaan tubuh, sumber energy, produksi, dan pengatur proses-proses dalam
tubuh ternak.
Seiring dengan upaya peningkatan produksi pakan, aspek mutu pakan menjadi
fokus utama para peternak, mengingat pakan berperan penting untuk menentukan
kuantitas dan kualitas produk pangan asal ternak. Sistem keamanan pakan ternak
secara keseluruhan melibatkan dari proses produksi ternak sampai penanganan
pasca produksi. Beberapa aspek perlu diperhatikan dalam peningkatan mutu
pakan yang baik adalah standar kebutuhan nutrient dari ternak, teknik pengolahan,
formulasi dan teknik pencampuran, kontaminan. Beberapa hal yang menyebabkan
analisa kimia perlu ditentukan yaitu salah satunya antinutrisi pada bahan pakan.
Hal ini dapat mempengaruhi pakan dari segi nilai gizinya.

Komponen antinutrisi merupakan terminology umum dari berbagai zat pada


bahan pakan yang dapat mengganggu proses utilisasi nutrient di dalam saluran
pencernaan ternak. Sifat menghambat tersebut terjadi pada proses pencernaan
ataupun proses absorpsi. Kebanyakan dari komponen antinutrisi merupakan
senyawa metabolit sekunder tanaman yang berperan dalam proses adaptasi
tanaman terhadap lingkungannya namun tidak terlibat dalam jalur utama biokimia
dalam pertumbuhan sel dan reproduksi tanaman. Oleh karena itu komponen
antinutrisi menjadi tidak terpisahkan dengan istilah senyawa metabolit sekunder
tanaman.
1.2 Tujuan dan Manfaat
Pada makalah ini mahasiswa dapat mempelajari dan memahami komponen
antinutrisi pada bahan pakan ternak, dimana pada pemahaman antinutrisi akan
dibutuhkan oleh mahasiswa apabila terjun di masyarakat yang bersinggungan
langsung dengan cara pengolahan dan pemilihan pakan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Tanin
Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder tanaman, yakni senyawa
polifenol dengan bobot molekul yang bervariasi. Struktur kimia tanin juga
beragam, namun memiliki kesamaan yaitu mengikat protein. Umumnya tanin
memiliki bobot molekul serta struktur yang lebih kompleks dibandingkan dengan
senyawa fenol nontanin seperti katekol, pirogallol, asam gallat, katekin, dan
flavanol-flavanol lainnya.
Tanin memiliki efek pada ternak baik positif atau negative ketika
dikonsumsi oleh ternak, tergantung pada konsentrasi serta sumber tanaman
pakannya, spesies ternak, status fisiologis ternak, dan komposisi nutrient pakan.
Adapun efek positif tanin adalah meningkatkan efisiensi penggunaan protein
ransum, pertumbuhan ternak lebih cepat, meningkatkan produksi susu,
meningkatkan fertilitas, mencegah terjadinya kembung, serta menghambat infeksi
nematode. Efek positif ini bisa dirasakan apabila pada tingkatan rendah hingga
sedang.
Efek negatif tanin pada ternak adalah pada konsentrasi tinggi dapat
menurunkan konsumsi pada ternak karena rasanya sepat dan menurunkan
kecernaan. Pada konsentrasi tinggi tanin juga dapat menyebabkan efek toksik
pada mikroba rumen melalui inhibisi enzim, rusaknya dinding sel atau membrane
mikroba, serta pengikatan berbagai jenis mineral. Efek toksik tanin pada ternak
ruminansia adalah pendarahan pada saluran pencernaan, nekrosis hati, dan
kerusakan ginjal. Toksisitas ini khususnya terjadi pada ternak yang mengonsumsi
hijauan mengandung kadar tanin dapat dihidrolisis yang tinggi.
Ternak yang terbiasa mengonsumsi pakan mengandung tanin dapat
beradaptasi melalui proses sekresi protein tinggi prolin pada saliva. Saliva yang
mengandung tinggi prolin dapat mengikat sejumlah tanin sehingga mengurangi
efek antinutrisi dan toksiknya. Mekanisme lain yaitu melalui degradasi tanin
secara lebih cepat oleh mikroba rumen yang telah beradaptasi dengan tanin pada
konsentrasi tinggi.
Kadar tanin dalam suatu bahan pakan ternak dapat direduksi atau
diturunkan konsentrasinya dengan menggunakan teknik amoniasi yaitu
menggunakan urea sebesar 4% dan dapat menurunkan kadar tanin hingga
mencapai 90%. Tanin juga dapat direduksi dengan cara fermentasi menggunakan
mikroba khususnya jamur. Spesies jamur yang dapat digunakan yaitu
Sporotricum pulverulentum, Ceriporiopsis subvermispora, dan Cyathus steroreus.
Fermentasi menggunakan mikroba jamur dapat menurunkan kadar tanin sebesar
58-66%.

2.2 Saponin
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder tanaman yang meliputi
komponen gula seperti glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xilosa, ramnosa, atau
metil pentose. Saponin terdapat pada jenis tanaman pakan ternak. Pakan yang
mengandung saponin yaitu kedelai, kacang-kacangan, teh dan daun kembang
sepatu. Saponin yang umumnya terdapat pada leguminosa adalah triterpenoid
saponin, sedangkan saponin komersial dari yucca berupa steroid saponin. Pakan
yang mengandung saponin dengan kadar tinggi berasa sepat atau pahit.
Saponin memiliki efek positif dan negatif tergantung jumlah konsentrasi
saponin yang dikonsumsi. Efek negative saponin pada ternak monogastrik
khususnya ternak unggas dapat berpengaruh terhadap produktivitas, sedangkan
pada ternak ruminansia bervariasi bisa negative atau positif. Pemberian tepung
alfala pada ternak unggas yang tinggi saponin dapat menghambat pertumbuhan,
menurunkan produksi telur, menurunkan konsumsi ransum, dan menurunkan
efisiensi penggunaan ransum. Penghambatan saponin terhadap pertumbuhan
ternak diduga adanya senyawa yang menghambat aktivitas sejumlah enzim, baik
enzim didalam pencernaan maupun enzim pada level seluler. Menurunnya
konsumsi diduga pada rasa sepat dan iritasi pada saponin. Efek negative pada
mekanisme lainnya adalah rusaknya membrane usus halus, menurunnya mortilitas
usus, dan penghambatan transport nutrient
Efek negative saponin pada ruminansia adalah menyebabkan kembung
yang disebabkan karena cepatnya produksi gas didalam rumen, kondisi pH rumen
yang asam, dan keberadaan sejumlah kation tertentu yang terlibat pada
pembentukan busa. Dampak positif pada saponin dapat dirasakan pada ternak
ruminansia yaitu dari ekstrak saponin tanaman yucca yang dapat meningkatkan
pertumbuhan, efisiensi pakan, dan kesehatan ternak ruminansia. Secara spesifik
pada rumen ternak ruminansia terdapat protozoa, saponin memiliki dampak
negative terhadap protozoa. Oleh karena itu menurunnya populasi protozoa di
dalam rumen dapat meningkatkan biomassa bakteri sehingga meningkatkan
efisiensi protein mikroba.

2.3 Inhibitor Protease


Inhibitor protease merupakan komponen antinutrisi berupa protein yang
memiliki kemampuan untuk menghambat aktivitas proteolik dari enzim protease.
Cara penghambatan yaitu berkompetisi dengan substrat untuk berikatan dengan
sisi aktif enzim protease sehingga reaksi proteolik tidak terjadi. Inhibitor protease
memiliki berat molekul 20.000 hingga 50.000 Da, dengan relatif sedikit ikatan
disulfida, lalu pada berat molekul 6.000 hingga 10.000 Da, dengan tinggi proporsi
residu sistin dan mampu menghambat enzim kimotripsin dan tripsin
Dampak inhibitor protease pada ternak adalah menurunnya daya cerna
protein terutama pada ternak monogastrik termasuk manusia. Selain itu, didalam
sistem metabolism, inhibitor tripsin dapat menginduksi mukosa usus untuk
menghasilkan hormone cholecystokinin berlebih. Hormon ini dapat menstimulasi
pancreas untuk amilase secara berlebih. Jika negatif feedback ini terus berlanjut
maka asam amino sulfur yang penting untuk metabolism akan banyak hilang. Hal
ini apabila terus terjadi akan mengakibatkan kegagalan pertumbuhan serta efek
karsinogenik.
Kadar protease inhibitor pada pakan ternak dapat dinonaktifkan dengan
cara pemanasan basah. Fermentasi dan germinasi dapat mengurangi kemampuan
inhibitor protease menghasilkan efek yang merugikan. Pemantauan kadar
inhibitor protease dilakukan pada bahan pakan yang belum diolah dan sudah
diolah untuk mencegah efek buruknya. Pakan yang diketahui mengandung
inhibitor protease terutama pada biji-bijian dan kacang-kacangan, seperti kedelai,
dedak padi, kacang tanah, jagung, lamtoro, kacang hijau, gamal, lupin, biji kelor.

2.4 Lektin (Hemaglutin)


Lektin merupakan protein dengan bobot molekul sebesar antara 60.000
sampai 100.000 Da. Sebakian lektin berikatan secara kovalen dengan komponen
gula sehingga membentuk glikoprotein. Lektin sering juga dikenal dengan sebutan
fitohemaglutin karena kemampuannya dalam menggumpalkan sel darah merah.
Lekti bersifat mengikat molekul karbohidrat khususnya komponen gula.
Lektin mempunyai dampak terhadap ternak yaitu mengikat epitel usus
halus sehingga mengurangi viabilitas sel-sel epitel dan mengakibatkan kerusakan
pada sel-sel tersebut, kemudian dapat mengganggu proses penyerapan nutrient
pada usus halus. Efek fisiologis yang diakibatkan oleh lektin adalah menurunnya
level insulin pada darah, penghambatan aktivitas enzim disakaridase dan protease
di usus halus, perubahan degenerative pada hati dan ginjal, meningkatkan
kehilangan N endogen, meningkatkan katabolisme protein, pemecahan lemak dan
glikogen yang tersimpan, mengganggu metabolism mineral, mengganggu absorpsi
zat besi dan lemak, serta mengganggu sistem kekebalan tubuh ternak.
Pemberian pakan yang mengandung lektin pada tanaman kacang
Phaseolus vulgaris dapat mengakibatkan gangguan metabolisme seperti gangguan
transportasi nutrisi ketika melintasi dinding usus, disertai hipertrofi usus,
peningkatan laju sintesis protein mukosa, peningkatan katabolisme hati dan
protein otot, tingkat insulin dalam darah yang rendah.
Lektin dapat diinaktivasi secara efektif menggunakan pemanasan basah
dalam merusak lektin dibandingkan pemanasan kering. Selain dengan pemanasan,
lektin dapat secara alami diturunkan dengan cara perkecambahan.

2.5 Asam Oksalat


Asam oksalat merupakan anion dari asam dikarboksilat. Senyawa ini dapat
diakumulasikan oleh tanaman dalam konsentrasi tinggi. Kandungan asam oksalat
yang tinggi terdapat pada tanaman belimbing, lada hitam, bayam, pisang, kakao,
dan teh. Satu-satunya bagian yang dapat dimakan adalah bagian tangkai karena
akar dan daun mengandung konsentrasi asam oksalat yang tinggi.
Asam oksalat memiliki dampak pada ternak, muatan negative pada asam
oksalat menyebabkan senyawa tersebut memiliki afinitas yang tinggi terhadap
mineral yang bermuatan positif seperti kalsium, zinc, dan magnesium. Dalam
sistem metabolism sifat ini dapat mengganggu utilisasi dari mineral tersebut.
Oksalat terlarut memiliki kapasitas yang tinggi dalam mengikat kalsium pada
serum darah sehingga mengakibatkan intoksikasi akut pada ternak.
Kemampuan oksalat dalam mengikat anion kalsium dan fosfor dapat
menyebabkan pergerakan mineral secara besar-besaran hingga akhirnya
kekurangan kalsium. Tulang yang mengalam demineralisasi atau kekurangan
kalsium akan menjadi cacat. Kasus yang terjadi adalah bighead pada ternak kuda.
Biasanya pada ternak ruminansia tidak terlalu berpengaruh, tetapi asupan pakan
yang berkepanjangan pada sapi, domba, dan kambing di beberapa daerah tropis
rumput dapat menyebabkan hipokalsemia berat. Pada konsentrasi tinggi, asam
oksalat dapat menyebabkan pembengkakan di daerah persendian.
Ternak nonruminansia lebih peka terhadap kandungan asam oksalat
daripada ternak ruminansia. Hal ini disebabkan karena pada lambung ternak
ruminansia memiliki bakteri rumen pada tahap akhir pencernaan, sehingga dapat
membantu menurunkan kadar asam oksalat. Proses adaptasi ternak ruminansia
terhadap kandungan asam oksalat dapat diterima dengan diberikan pakan tinggi
oksalat secara perlahan, sehingga populasi bakteri pendegradasi oksalat dalam
rumen akan meningkat secara signifikan. Akan tetapi, jika diberikan pakan
sekaligus dalam jumlah besar dan tinggi asam oksalat maka sistem rumen akan
kesulitan dalam metabolisme hasil oksalat yang menyababkan ternak keracunan
oksalat.

2.6 Glukosinolat
Glukosinolat adalah senyawa metabolit sekunder tanaman yang
mengandung sulfur, umumnya terdapat pada tanaman kubis-kubisan atau brasika.
Dampak biologis pada ternak apabila mengkonsumsi pakan yang mengandung
glukosinolat yaitu dapat mengganggu kesehatan serta menurunnya produktivitas.
Secara umum ternak nonruminansia lebih sensitif terhadap glukosinolat
dibandingkan ternak ruminansia. Selain itu, ternak yang berusia muda juga lebih
rentan terhadap glukosinolat daripada ternak yang dewasa. Glukosinolat
merupakan molekul yang tidak aktif secara biologis, namun hasil produksi
degradasinya yang mengandung isotiosianat, tiosianat, oxazolidition, dan nitril
yang menyebabkan efek negatif bagi ternak apabila aktif.
Pada konsentrasi rendah, produk hidrolisis dari gluksinolat berupa
antioksidan dan antikanker. Namun apabila mempunyai konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid, mengganggu sistem endokrin tubuh,
menghambat pertumbuhan, dan menurunkan aktivitas ternak. Pada kondisi yang
parah dapat menyebabkan pendarahan hati dan mortalitas pada ternak akan
meningkat. Tanda-tanda menurunnya produktivitas ternak dari pengaruh
glukosinolat adalah dengan adanya penurunan konsumsi ransum karena adanya
rasa pahit. Ternak yang mengkonsumsi bungkil rapeseed memiliki ciri khas yaitu
menurunkan konsumsi ransum karena kandungan glukosinolat yang tinggi
Proses penurunan kadar konsentrasi glukosinolat yaitu dengan cara
pemanasan, baik pemanasan basah dan pemanasan kering. Adanya proses
perendaman juga dapat menurunkan kadar glukosinolat pada bahan selama 6-8
jam dengan perbandingan 1:5 yaitu bobot bahan per volume air.

2.7 Sianogen
Sianogen merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder tanaman yang
disintesis dari asam amino. Produk dari hidrolisis sianogen adalah sianida.
Sejumlah tanaman yang mengandung sianida adalah varietas singkong. Tanaman
singkong yang masih muda mengandung sianogen yang lebih tinggi dibandingkan
tanaman yang sudah tua. Tanaman lain yang mengandung sianogen adalah ubi
jalar, sorgum, bamboo muda, daun bamboo, tebu, biji almond dan biji karet
Sianogen dalam bentuk utuh tidak beracun, yang beracun adalah sianida
bebas setelah hidrolisis atau asam. Sianida pada dosis tinggi dapat menghambat
kerja enzim sitokrom oksidase, yaitu suatu enzim penting pada siklus asam
trikarboksilat untuk produksi ATP. Hal ini secara keseluruhan menghambat proses
respirasi seluler baik pada manusia dan hewan. Pada kondisi tersebut baik
manusia dan hewan mengalami kekurangan energy dan pada kondisi yang akut
bahkan dapat menyebabkan kematian. Ternak ruminasia lebih rentan dan sensitif
terhadap racun sianida dibandingkan ternak nonruminasia. Hal ini terjadi karena
pH yang rendah pada ternak monogastrik menginaktivasi enzim β-glukosidase
yang bertanggung jawab terhadap katalisis sianogen menjadi HCN
Pada konsentrasi rendah, sianida dapat didetoksifikasi di organ hati, ginjal
dan tiroid khusunya pada ternak monogastrik. Enzim rhodanase yang terdapat
pada jaringan tubuh hewan memiliki kemampuan mendetoksifikasi sianida
melalui konjugasi dengan sulfur untuk membentuk tiosianat, sehingga
menyebabkan goiter. Sejumlah teknik untuk mengurangi kadar konsentrasi
sianida yang tinggi adalah pengeringan, perebusan, perendaman, pengupasan
kulit, ekstraksi pati, dan fermentasi (silase)

2.8 Mimosin
Mimosin adalah asam amino dan secara struktur kimia serupa dengan
asam amino tirosin. Senyawa ini pertama kali diisolasi dari tanaman Mimosa
pudica sehingga dinamakan mimosin. Lamtoro adalah tanaman yang memiliki
kandungan mimosin yang tinggi. Keberadaan mimosin sebagai bahan pakan
hijauan dibatasi karena adanya mimosin yang bersifat toksik bagi hewan ternak,
baik ruminansia atau monogastrik.
Konsumsi mimosin pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan
rontoknya rambut, goiter, gangguan reproduksi, kerusakan sel epitel, menurunkan
konsumsi pakan, dan berujung pada kematian, baik pada ternak ruminansia atau
monogastrik. Mimosin dapat mengikat sejumlah mineral seperti Zn, Mg, dan Cu
dan piridoksal fosfat yang diperlukan untuk aktivitas berbagai enzinm, baik
sebagai komponen kofaktor ataupun koenzim.
Keracunan mimosin terhadap hewan ternak baik ruminansia atau
monogastrik dapat dicegah dengan adaptasi dari hewan ternak tersebut. Ternak
yang dapat beradaptasi terhadap lamtoro yang mengandung mimosin memiliki
mikroba yang terdapat pada rumen, dimana mikroba tersebut mampu
memetabolisme mimosin dan DHP menjadi sejumlah senyawa yang tidak toksik.
Mikroba tersebut dinamakan Synergistes jonesii
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada pembuatan praktikum bisa didapatkan bahwa beragam jenis
komponen antinutrisi serta dampak biologis terhadap ternak baik dampak positif
dan negatif.

3.2 Saran
Mahasiswa diharapkan dapat menggali lebih dalam dan mencari
komponen antinutrisi secara menyeluruh, sehingga apabila terjun di masyarakat
secara tidak langsung akan bersinggungan langsung apabila terjun pada bidang
nutrisi pakan.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, J. (2007). Kualitas Pakan Ternak yang Baik dan Aman untuk
Mendukung Kesuksesan Usaha Peternakan. Jurnal Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Vol 1: 1-11
Jayanegara, A., Ridla, M., Laconi, E. B., Nahrowi. 2019. Komponen Antinutrisi
pada Pakan. Bogor. IPB Press
Subekti, E. (2009). Ketahanan Pakan Ternak Indonesia. Jurnal Ketahanan Pakan
Ternak. Vol 5 (2): 63-71

Anda mungkin juga menyukai