Oleh:
Dhimas Yusantoro (181510102011)
2.2 Saponin
Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder tanaman yang meliputi
komponen gula seperti glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xilosa, ramnosa, atau
metil pentose. Saponin terdapat pada jenis tanaman pakan ternak. Pakan yang
mengandung saponin yaitu kedelai, kacang-kacangan, teh dan daun kembang
sepatu. Saponin yang umumnya terdapat pada leguminosa adalah triterpenoid
saponin, sedangkan saponin komersial dari yucca berupa steroid saponin. Pakan
yang mengandung saponin dengan kadar tinggi berasa sepat atau pahit.
Saponin memiliki efek positif dan negatif tergantung jumlah konsentrasi
saponin yang dikonsumsi. Efek negative saponin pada ternak monogastrik
khususnya ternak unggas dapat berpengaruh terhadap produktivitas, sedangkan
pada ternak ruminansia bervariasi bisa negative atau positif. Pemberian tepung
alfala pada ternak unggas yang tinggi saponin dapat menghambat pertumbuhan,
menurunkan produksi telur, menurunkan konsumsi ransum, dan menurunkan
efisiensi penggunaan ransum. Penghambatan saponin terhadap pertumbuhan
ternak diduga adanya senyawa yang menghambat aktivitas sejumlah enzim, baik
enzim didalam pencernaan maupun enzim pada level seluler. Menurunnya
konsumsi diduga pada rasa sepat dan iritasi pada saponin. Efek negative pada
mekanisme lainnya adalah rusaknya membrane usus halus, menurunnya mortilitas
usus, dan penghambatan transport nutrient
Efek negative saponin pada ruminansia adalah menyebabkan kembung
yang disebabkan karena cepatnya produksi gas didalam rumen, kondisi pH rumen
yang asam, dan keberadaan sejumlah kation tertentu yang terlibat pada
pembentukan busa. Dampak positif pada saponin dapat dirasakan pada ternak
ruminansia yaitu dari ekstrak saponin tanaman yucca yang dapat meningkatkan
pertumbuhan, efisiensi pakan, dan kesehatan ternak ruminansia. Secara spesifik
pada rumen ternak ruminansia terdapat protozoa, saponin memiliki dampak
negative terhadap protozoa. Oleh karena itu menurunnya populasi protozoa di
dalam rumen dapat meningkatkan biomassa bakteri sehingga meningkatkan
efisiensi protein mikroba.
2.6 Glukosinolat
Glukosinolat adalah senyawa metabolit sekunder tanaman yang
mengandung sulfur, umumnya terdapat pada tanaman kubis-kubisan atau brasika.
Dampak biologis pada ternak apabila mengkonsumsi pakan yang mengandung
glukosinolat yaitu dapat mengganggu kesehatan serta menurunnya produktivitas.
Secara umum ternak nonruminansia lebih sensitif terhadap glukosinolat
dibandingkan ternak ruminansia. Selain itu, ternak yang berusia muda juga lebih
rentan terhadap glukosinolat daripada ternak yang dewasa. Glukosinolat
merupakan molekul yang tidak aktif secara biologis, namun hasil produksi
degradasinya yang mengandung isotiosianat, tiosianat, oxazolidition, dan nitril
yang menyebabkan efek negatif bagi ternak apabila aktif.
Pada konsentrasi rendah, produk hidrolisis dari gluksinolat berupa
antioksidan dan antikanker. Namun apabila mempunyai konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid, mengganggu sistem endokrin tubuh,
menghambat pertumbuhan, dan menurunkan aktivitas ternak. Pada kondisi yang
parah dapat menyebabkan pendarahan hati dan mortalitas pada ternak akan
meningkat. Tanda-tanda menurunnya produktivitas ternak dari pengaruh
glukosinolat adalah dengan adanya penurunan konsumsi ransum karena adanya
rasa pahit. Ternak yang mengkonsumsi bungkil rapeseed memiliki ciri khas yaitu
menurunkan konsumsi ransum karena kandungan glukosinolat yang tinggi
Proses penurunan kadar konsentrasi glukosinolat yaitu dengan cara
pemanasan, baik pemanasan basah dan pemanasan kering. Adanya proses
perendaman juga dapat menurunkan kadar glukosinolat pada bahan selama 6-8
jam dengan perbandingan 1:5 yaitu bobot bahan per volume air.
2.7 Sianogen
Sianogen merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder tanaman yang
disintesis dari asam amino. Produk dari hidrolisis sianogen adalah sianida.
Sejumlah tanaman yang mengandung sianida adalah varietas singkong. Tanaman
singkong yang masih muda mengandung sianogen yang lebih tinggi dibandingkan
tanaman yang sudah tua. Tanaman lain yang mengandung sianogen adalah ubi
jalar, sorgum, bamboo muda, daun bamboo, tebu, biji almond dan biji karet
Sianogen dalam bentuk utuh tidak beracun, yang beracun adalah sianida
bebas setelah hidrolisis atau asam. Sianida pada dosis tinggi dapat menghambat
kerja enzim sitokrom oksidase, yaitu suatu enzim penting pada siklus asam
trikarboksilat untuk produksi ATP. Hal ini secara keseluruhan menghambat proses
respirasi seluler baik pada manusia dan hewan. Pada kondisi tersebut baik
manusia dan hewan mengalami kekurangan energy dan pada kondisi yang akut
bahkan dapat menyebabkan kematian. Ternak ruminasia lebih rentan dan sensitif
terhadap racun sianida dibandingkan ternak nonruminasia. Hal ini terjadi karena
pH yang rendah pada ternak monogastrik menginaktivasi enzim β-glukosidase
yang bertanggung jawab terhadap katalisis sianogen menjadi HCN
Pada konsentrasi rendah, sianida dapat didetoksifikasi di organ hati, ginjal
dan tiroid khusunya pada ternak monogastrik. Enzim rhodanase yang terdapat
pada jaringan tubuh hewan memiliki kemampuan mendetoksifikasi sianida
melalui konjugasi dengan sulfur untuk membentuk tiosianat, sehingga
menyebabkan goiter. Sejumlah teknik untuk mengurangi kadar konsentrasi
sianida yang tinggi adalah pengeringan, perebusan, perendaman, pengupasan
kulit, ekstraksi pati, dan fermentasi (silase)
2.8 Mimosin
Mimosin adalah asam amino dan secara struktur kimia serupa dengan
asam amino tirosin. Senyawa ini pertama kali diisolasi dari tanaman Mimosa
pudica sehingga dinamakan mimosin. Lamtoro adalah tanaman yang memiliki
kandungan mimosin yang tinggi. Keberadaan mimosin sebagai bahan pakan
hijauan dibatasi karena adanya mimosin yang bersifat toksik bagi hewan ternak,
baik ruminansia atau monogastrik.
Konsumsi mimosin pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan
rontoknya rambut, goiter, gangguan reproduksi, kerusakan sel epitel, menurunkan
konsumsi pakan, dan berujung pada kematian, baik pada ternak ruminansia atau
monogastrik. Mimosin dapat mengikat sejumlah mineral seperti Zn, Mg, dan Cu
dan piridoksal fosfat yang diperlukan untuk aktivitas berbagai enzinm, baik
sebagai komponen kofaktor ataupun koenzim.
Keracunan mimosin terhadap hewan ternak baik ruminansia atau
monogastrik dapat dicegah dengan adaptasi dari hewan ternak tersebut. Ternak
yang dapat beradaptasi terhadap lamtoro yang mengandung mimosin memiliki
mikroba yang terdapat pada rumen, dimana mikroba tersebut mampu
memetabolisme mimosin dan DHP menjadi sejumlah senyawa yang tidak toksik.
Mikroba tersebut dinamakan Synergistes jonesii
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada pembuatan praktikum bisa didapatkan bahwa beragam jenis
komponen antinutrisi serta dampak biologis terhadap ternak baik dampak positif
dan negatif.
3.2 Saran
Mahasiswa diharapkan dapat menggali lebih dalam dan mencari
komponen antinutrisi secara menyeluruh, sehingga apabila terjun di masyarakat
secara tidak langsung akan bersinggungan langsung apabila terjun pada bidang
nutrisi pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, J. (2007). Kualitas Pakan Ternak yang Baik dan Aman untuk
Mendukung Kesuksesan Usaha Peternakan. Jurnal Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Vol 1: 1-11
Jayanegara, A., Ridla, M., Laconi, E. B., Nahrowi. 2019. Komponen Antinutrisi
pada Pakan. Bogor. IPB Press
Subekti, E. (2009). Ketahanan Pakan Ternak Indonesia. Jurnal Ketahanan Pakan
Ternak. Vol 5 (2): 63-71