Anda di halaman 1dari 21

BAB VII

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Tujuan Pembelajaran Umum:


Mahasiswa dapat memahami konsep perlindungan konsumen di Indonesia

Tujuan Pembelajaran Khusus:


Melalui pemaparan dan pendekatan dialogis, pada akhir pembahasan para
mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan:
1. Menjelaskan latar belakang dan pengertian hukum perlindungan konsumen di
Indonesia.
2. Menguraikan prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen.
3. Menjelaskan mengenai tanggung jawab produk (product liability).
4. Menjelaskan mengenai prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability
principle ).
5. Menguraikan mengenai tugas, wewenang dan tanggu jawab Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

7.1 Latar Belakang Lahirnya Hukum Perlindungan Konsumen


Pada era pembangunan dan perkembangan ekonomi dewasa ini kita
menjumpai aneka produk barang dan/ atau pelayanan jasa yang dipasarkan kepada
konsumen. Pemasaran dilakukan oleh pelaku usaha dilakukan melalui banyak
saluran yang tersedia dengan wujud penawaran, promosi dan periklanan.
Selain itu, globalisasi yang didukung oleh perkembangan ilmu dan teknologi
komunikasi, juga telah menawarkan aneka cara orang melakukan transaksi dan
meningkatkan transaksi penjualan. Perkembangan ini dapat memberikan manfaat
kepada konsumen untuk memenuhi segala kebutuhannya dan kebebasan dalam
memilih jenis dan kualitas barang dan/ atau jasa.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 125
Globalisasi ekonomi yang coba di realisasikan melalui mekanisme
perdagangan bebas juga menambah kompleks persoalan perlindungan konsumen
ini dan menjadikannya sebagai sebuah masalah krusial yang sudah selayaknya
mendapat perhatian serius dalam penanganannya.
Seperti diketahui, liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi bahwa
semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain harus dapat masuk ke
Indonesia, kecuali bila kita ingin distigma anti World Trade Organization (WTO)
yang sejak 1 Januari 1995 resmi menggantikan dan melanjutkan General
Agreement of Tarrifs and Trade (GATT).
Masyarakat kita yang “terlanjur” memiliki image konsumtif, dalam
menghadapi masuknya arus barang impor dengan tanpa perlindungan hukum yang
memadai akan dipaksa menjadi sebuah keranjang sampah dari negara lain.
Padahal, belum tentu barang-barang / jasa impor tersebut berkualitas baik atau
benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat kita. Mungkin sekali terjadi, lewat
perdagangan internasional, penyakit sapi gila (mad cow) atau Bovine Spongiform
Enchephalapathy (BSE) yang diderita sejumlah besar sapi, dapat membahayakan
konsumen Indonesia. Penyakit yang bisa menimbulkan gejala kegilaan pada
manusia ini menyerang ternak sapi dengan masa inkubasi 4 – 6 tahun. Hanya saja
penyakit ini tidak menular pada hewan lain, seperti halnya penyakit mulut dan
kuku. Adapun gejala kegilaan pada manusia tersebut dapat berupa insomnia,
limbung, depresi serta berubahnya perilaku dan kepribadian.
Dengan kata lain, perkembangan dan globalisasi ekonomi tersebut juga
dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dan lemahnya kedudukan konsumen di
mata pelaku usaha. Karena pelaku usaha dapat mengeksploitasi konsumen untuk
kepentingan perdagangan dan meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.
Sebagai contoh, Irlandia pernah menawarkan daging sapi murah yang
kemudian baru diketahui terjangkit penyakit berbahaya kepada Indonesia.
Penyakit sapi gila yang diduga timbul karena makanan dari tepung daging ternak
memamah biak (ruminasia) digunakan untuk makanan sapi. Kasus serupa juga
terjadi di negara Belgia yaitu dengan terjadinya kasus dioksin yang menyerang
sebagian besar ternak unggas mereka.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 126
Dalam perspektif perdagangan bebas, permasalahan hukum yang muncul ke
permukaan dapat berwujud dalam bentuk pengaduan / komplain dari konsumen
atas barang atau jasa yang dikonsumsinya. Secara yuridis, permasalahan di atas
berkaitan dengan persoalan :
1. perihal mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak jelas;
2. perihal perbedaan sistem hukum, yaitu permasalahan apabila peraturan
perundang-undangan Indonesia bertentangan atau berbeda dengan peraturan
perundang-undangan negara lain, ketentuan/kesepakatan regional bahkan
apabila bertentangan dengan ketentuan WTO atau sebaliknya sehingga
diperlukan harmonisasi ketentuan nasional Indonesia terhadap kesepakatan
regional atau WTO ;
3. perihal yurisdiksi hukum, badan peradilan dan hakim mana yang berwenang
mengadili sengketa yang berdimensi internasional ;
4. perihal pilihan hukum, yaitu pranata hukum mana yang digunakan.
Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang dialami
konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekadar bagaimana
memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut pada
penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen
sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Karenanya, lahirnya WTO
masih merupakan tanda tanya besar, apakah WTO benar akan membawa
perbaikan nasib konsumen Indonesia.
Selama lebih dari setengah abad kita merdeka, perlindungan hukum
terhadap konsumen tidak banyak memperoleh perhatian dari para pengambil
keputusan, apalagi menjadi prioritas pembangunan nasional. Salah satu instrumen
perlindungan hukum terhadap konsumen yang pernah diundangkan Pemerintah
dengan persetujuan DPR-GR pada tahun 1961 yaitu UU No. 10 tahun 1961
tentang Barang (Perpu No. 1 tahun 1961) dalam kenyataannya hanya menjadi
“macan ompong” atau sekedar jalinan huruf mati yang tidak bermakna, yang
disinyalir sudah banyak dilupakan orang.
Masih segar dalam ingatan kita, pada tahun 1994 masyarakat kita
dihebohkan dengan terjadinya “kasus biskuit beracun” yang kemudian disusul

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 127
dengan “kasus mie instan”, dimana para korban / keluarganya / ahli warisnya
tidak mendapat ganti rugi kecuali sebatas santunan atas inisiatif Menko Polkam
waktu itu.
Pusat data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyebutkan bahwa
selama tahun 2004 sejak permulaan tahun hingga Agustus saja telah terjadi 54
kasus keracunan makanan dengan menelan korban jiwa sebanyak 15 orang dari
kurang lebih 2.000 orang korban secara keseluruhan baik yang di bawa ke rumah
sakit maupun tidak, yang terjadi antara lain di Gresik, Surabaya, Lampung,
Sumatra Barat. Demikian pula setelah rentang waktu tersebut masih terjadi
kembali beberapa kasus serupa, seperti pada :
• Perayaan HUT ke-8 Matahari Dept. Store, Angso II Jambi, ratusan karyawan
muntah-muntah bahkan ada yang pingsan setelah mengkonsumsi makanan
yang dihidangkan ;
• Kasus keracunan karyawan perusahaan Beyonics ;
• Kasus keracunan karyawan Ciba Vision, Muka Kuning Batam, dan karyawan
perusahaan MKPI (Matsushita Kotobuki Electronics Peripheral Ind.), Tanjung
Uncang Batam. Jumlah korban keracunan tersebut mencapai kurang lebih 500
pekerja;
• Kasus keracunan di Mataram akibat mengkonsumsi susu cair dalam kemasan
botol plastik.
Selain itu, masih dalam rentang waktu yang sama, bidang pengaduan YLKI
menerima 457 pengaduan konsumen (melalui surat dan datang langsung). Sepuluh
besar komoditas yang diadukan ke YLKI berturut-turut adalah bidang perumahan
76 pengaduan, listrik 67 pengaduan, PDAM 66 pengaduan, jasa telekomunikasi
54 pengaduan, bank 38 pengaduan, produk elektronik 24 pengaduan, jasa
transportasi 19 pengaduan, asuransi 18 pengaduan, leasing 15 pengaduan, produk
makanan/minuman 10 pengaduan.
Dari total pengaduan perumahan, masalah yang dominan diadukan adalah
keterlambatan serah terima unit rumah, sertifikasi dan perjanjian perikatan jual
beli, mutu bangunan, fasilitas sosial maupun umum, iklan/promosi/pameran

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 128
perumahan, dan masalah rumah fiktif, pembatalan pembelian rumah,
pengembalian uang muka, serta perubahan site plan secara sepihak.
Dari total pengaduan listrik, ragam masalah yang diadukan konsumen yaitu
tagihan membengkak, pemadaman dan tegangan turun-naik, layanan petugas,
pencatatan meter yang tidak teratur, dan soal pasang baru serta daya tambah,
meteran/instalasi listrik, payment point, dan informasi pemutusan yang sepihak
dan mendadak.
Berdasarkan data dan fakta yang dimiliki YLKI di atas, sementara dapat
disimpulkan bahwa aspek yang paling penting bagi perlindungan (hukum) bagi
konsumen yaitu aspek keamanan dan keselamatan. Hal ini tidak hanya terjadi
pada produk makanan dan minuman saja, tetapi juga sektor jasa, khususnya jasa
transportasi publik (darat, laut, dan udara). Puluhan nyawa melayang hanya
karena kecerobohan manusia (human factor).
Dengan melihat dari kuantitas dan kompleksitas kasus yang terjadi, semakin
membuktikan betapa urgent-nya keberadaan pranata hukum yang dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan semacam di atas sehingga diharapkan sedapat
mungkin mampu menekan tingkat kerugian yang diderita. Karenanya, berkaitan
dengan datangnya liberalisasi ekonomi, urgensi keberadaan perangkat hukum
yang mengatur mengenai perlindungan hukum bagi konsumen Indonesia semakin
terasa pentingnya.

7.2 Perlindungan Konsumen Di Indonesia.


Belajar dari pengalaman negara-negara lain dalam menghadapi perdagangan
bebas, Indonesia paling tidak memerlukan sejumlah perangkat undang-undang
penting, di antaranya Undang-Undang di bidang Intelektual Property Rights,
Undang-Undang Anti-Monopoli, Undang-Undang Perlindungan Pengusaha Kecil
dan sejumlah peraturan lainnya. Selain itu, kejelasan asas dan tujuan perlindungan
konsumen, hak-hak konsumen, norma-norma perlindungan konsumen dan
penyelesaian sengketa konsumen yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih harus dibuktikan dalam
praktik segenap instrumen hukum kita.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 129
Thailand sudah sejak 1979 melalui Consumer Protection Act 1979 telah siap
dengan perangkat Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Disusul kemudian
Korea melalui Consumer Protection Act (Law No. 3921, 31 Desember 1986).
Sebelumnya Australia sudah lebih dulu mempunyai Trade Practices Act pada
tahun 1974 yang memuat norma-norma perlindungan konsumen. Bahkan,
Amerika Serikat dengan Federal Trade Comission-nya memiliki andil yang
sangat besar dalam mengatasi masalah-masalah konsumen, semisal kasus
penarikan sejumlah besar kendaraan produksi General Motors yang diduga
mengakibatkan sejumlah besar kecelakaan lalu lintas di Amerika Serikat. Pada
bulan Juni 1994 Parlemen Jepang telah menyetujui secara bulat Undang-Undang
Pertanggungjawaban Produk (Product Liability Act) yang lebih memungkinkan
konsumen menerima ganti rugi yang dideritanya akibat produk yang dibeli
ternyata rusak atau cacat, dimana konsumen hanya perlu membuktikan bahwa
produk yang dikonsumsinya memang cacat dan mengakibatkan kerugian baginya.
Pada tanggal 20 April 1999, Presdien Habibi waktu itu mengesahkan UU
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam konsiderannya,
yaitu:
a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi
ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat
mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka
barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan
kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian konsumen;
c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses
globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau
jasa yang diperolehnya di pasar;

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 130
d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia
belum memadai;
Perihal upaya-upaya peningkatkan kesadaran konsumen yang masih minim
dan pendidikan yang kurang menyentuh masyarakat konsumen secara luas
seringkali dituding sebagai “biang keladi” lemahnya perlindungan hukum
konsumen Indonesia.
Dengan disahkannya UUPK tersebut, selayaknya menjadi momentum kuat
yang dapat mendorong pemerintah, lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat, dan masyarakat konsumen untuk melakukan pemberdayaan terhadap
konsumen di Indonesia sehingga mampu menjadi konsumen mandiri yang
memiliki tingkat pengetahuan hukum dan menjadikannya konsumen yang sadar
akan hak dan kewajibannya.
Dalam Pasal 29 UUPK disebutkan bahwa pemerintah adalah pihak yang
paling berperan dan bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Menteri yang
terkait, dalam hal ini adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Selengkapnya dalam Pasal 29 tersebut menyatakan:
(1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau
menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 131
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya
kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain pembinaan, peranan pemerintah yang cukup penting adalah
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 30
UUPK disebutkan bahwa pemerintah, bersama masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat adalah pihak-pihak yang diberi
tugas untuk melakukan pengawasan.
Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-
undangannya. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, selain atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-
undangannya, juga dilakukan atas barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar.
Bentuk pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan/ atau
survey. Aspek yang diawasi meliputi pemuatan informasi tentang resiko
penggunaan barang, pemasangan dan kelengkapan info pada label/ kemasan,
pengiklanan dan lain-lain, sebagaimana yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan dan praktek perdagangan. Hasil pengawasan yang
diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada Menteri dan menteri teknis.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 132
Dalam ketentuan Pasal 30 tersebut di atas juga disebutkan, apabila dalam
pengawasan ditemukan penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan,
pemerintah harus mengambil tindakan administratif dan atau tindakan hukum,
sebagaimana sanksi yang diancam oleh UUPK.
Tindakan tegas ini akan meningkatkan kepercayaan konsumen kepada
sistem hukum perlindungan konsumen yang dibangun pemerintah, meningkatkan
partisipasi pengawasan masyarakat dan lembaga konsumen, serta mendorong
pelaku usaha untuk berproduksi secara berkualitas dan menciptakan iklim
berusaha yang lebih baik.

7.3 Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen


Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan
secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan
kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab sehingga tercipta iklim
usaha yang lebih baik.
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan cara :
a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan
informasi, serta menjamin kepastian hukum;
b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh
pelaku usaha;
c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu
dan menyesatkan;
e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

7.4 Tanggung Jawab Produk (Product Liability)


Menurut Natalie O’Connor:
“Product Liability, These were designed to protect the consumer from faulty
or defective goods by imposing strict liability upon manufacturers”.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 133
Dari pedapat di atas dapat kita lihat secara umum bahwa Tanggung Jawab
Produk adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen.
Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap
hal-hal yang sudah kita kenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa
meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha
pembuat produk / produsen atau dikenal dengan istilah pertanggungjawaban Strict
Liability. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menjadi
beban dan tanggung pelaku usaha.
Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau
membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan
tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur
dalam pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat
produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya
kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan
keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat di persalahkan
kepadanya.
Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh
berbeda dengan konsepsi tanggung jawab sebagaiman diatur dalam ketentuan
Pasal 1365 jo. 1865 KUHPerdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab
produsen untuk memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita
kerugian dapat membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang
timbul merupakan akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen. Perbedaan
lainnya adalah ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau
beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada pihak manapun yang
mempunyai hubungan hukum dengan produsen, apakah sebagai konsumen,
sesama produsen, penyalur, pedagang atau instansi lain.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 134
Di Indonesia cacat produk atau produk yang cacat di definisikan sebagai
berikut:
“Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik
karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal
lain yang terjadi dalam peredaranya, atau tidak menyediakan syarat-syarat
keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya,
sebagaimana diharapkan orang.”

Dari batasan ini dapat dilihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah
pelaku usaha pembuat produk tersebut. Perkembangan ini dipicu oleh tujuan yang
ingin dicapai doktrin ini yaitu:
a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut.
b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak
dapat di hindari.
Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan
pembuatannya) karena:
1. Cacat produk atau manufaktur;
2. Cacat Desain;
3. Cacat Peringatan atau cacat industri.
Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya
berada di bawah tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian
rupa sehingga dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa
konsumen. Cacat seperti tersebut diatas termasuk cacat desain, sebab kalau desain
produk itu dipenuhi sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan
konsumen tersebut dapat terjadi.
Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi
dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Produk
yang tidak memuat peringatan atau instruksi tertentu sebagaimana yang di
utarakan diatas, termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas
dibebankan pada produsen dari produk tersebut.
Tetapi disamping produsen, dengan syarat-syarat tertentu, beban tanggung
jawab itu dapat pula diletakkan di atas pundak pelaku usaha lainnya, seperi
importir produk, distributor atau pedagang pengecernya.
Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 135
Jadi, tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku
usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada
tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang
lain, sedang tanggung jawab pelaku usaha, karena perbuatan melawan hukum
adalah tanggung jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.
Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan
melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability),
tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam konsdisi
demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab)
telah ditinggalkan, dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung
jawab)
Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku
usaha yang berakibat menimbulkan kerugian dan atau membahayakan konsumen
diatur dalam Pasal 4,5,7-17, 19-21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Undang-
Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar
tahun 1940-an dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan
dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan
produsen (Producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor)
mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat
produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat
dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen
(Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk
yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. makanan binatang
piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. peta penerbangan yang
diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (misal:
rumah).
Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata
suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 136
suku cadang. Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk
yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung
jawab dikenal tiga macam defect:
1. Production/manufacturing defects,
yaitu apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga
akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
2. design defects,
yaitu apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang
diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk
tersebut lebih kecil dari risikonya.
3. warning or instruction defects.
yaitu apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau
plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin
timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman.

Definisi Product Liability sendiri banyak ditemukan di banyak literatur yang


pada intinya menyebutkan sebagai suatu bentuk tanggung jawab secara hukum
dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture)
atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan
suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau
mendistribusikan produk tersebut.
Pada dasarnya tanggung jawab tersebut muncul sehubungan dengan produk
yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak
lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

7.5 Prinsip Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability Principle)


Seperti di kemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa jika dilihat secara
sepintas, nampak bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product Liability telah
diatur pula dalam KUHPerdata kita.
Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang
konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 137
pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan
menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh
ganti rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada
unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak
berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal.
Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka
sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab
mutlak (strict liability principle). Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab
mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau
barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus
mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:
a. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban
kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/
mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;
b. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti
produsen menjamin bahwa barang –barang tersebut aman dan pantas untuk
dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung
jawab;
c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen
yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan
beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir,
grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen.
Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang
panjang ini.

Selain hal tersebut di atas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat


penerapan prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social
Climate Theory:

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 138
1. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih
baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang
mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut
dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi
yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil
produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.
2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam
suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar
(industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual.
Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang akan
menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal:
1. bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen;
2. bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan
kerugian/kecelakaan;
3. adanya kerugian.
Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus
menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada
prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya
tidak ada modifikasi-modifikasi).
Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip
strict liability, guna melindungi kepentingan hukum bagi pelaku usaha yang
beritikad baik, pihak produsen juga dapat membebaskan diri dari tanggung
jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.
Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah:
a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation);
b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk
diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;
c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau
diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka
bisnis;

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 139
d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi
kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah;
e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific an technical knowledge,
state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;
f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan
oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau
disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen
tersebut;
g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan
terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence);
h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh overmacht atau force majeur.
Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen
dan industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas
produk-produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan
konsumen jug akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen
akan lebih berhati-hati dalam meproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran
sehingga konsumen, baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu
membeli produksi Indoensia.
Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability dalam hukum
tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat
perlindungan. Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya
sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti.
Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability)
yang menganut prinsip tanggung mutlak (strict liability) dalam mengantisipasi
kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan
konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini
disebabkan karena sistem hukum yang beralaku dewasa ini dipandang terlalu
menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis
yang lebih kuat.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 140
7.6 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sebagai salah satu upaya menegakkan norma-norma perlindungan
konsumen terhadap sengketa yang terjadi, UUPK melalui Pasal 49 sampai Pasal
58 telah mengamanatkan Pemerintah untuk membentuk suatu Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK).
Pada pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah membentuk badan
penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil
(small claim court) yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan
secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan.
Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam waktu maksimal 21 hari
kerja dan tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama proses
pelaksanaan keputusan, sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan
sendiri oleh para pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang
dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan. Keanggotaan
BPSK terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha,
yang masing-masing unsur diwakili oleh 3-5 orang, yang diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri (Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5)).

7.7 Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


Berdasarkan Pasal 52 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dinyatakan tentang tugas dan wewenang BPSK sebagai berikut:
a) melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b) memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c) melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam undang-undang ini;
e) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f) melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 141
g) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
j) mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen;
l) memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen; dan
m) menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.
Untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang tersebut, Menteri
Perindustrian dan Perdagangan RI telah mengeluarkan SK No.
350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara Konsiliasi
atau Mediasi atau Arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan
para pihak yang bersangkutan, dan bukan merupakan proses penyelesaian
sengketa secara berjenjang (Pasal 4).
Penyelesaian secara Konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang
bersengketa dengan didampingi oleh Majelis yang bertindak pasif sebagai
Konsiliator, penyelesaian secara Mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang
bersengketa dengan didamping oleh Majelis yang bertindak aktif sebagai
Mediator, dan penyelesaian secara Arbitrase dilakukan sepenuhnya dan
diputuskan oleh Majelis yang bertindak sebagai Arbiter (Pasal 5).
Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang
dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK (Pasal 6). Putusan
yang dikeluarkan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 142
dikabulkan. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, berupa pemenuhan ganti rugi
dan atau sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (Pasal 40).
Selanjutnya sebagai percontohan maka dibentuklah BPSK di 10 kota besar
melalui Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK
Pada Pemerintahan Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota
Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya,
Kota Malang dan Kota Makassar. Dalam Kepres tersebut juga disebutkan bahwa
biaya pelaksanaan tugas dan operasional BPSK dibebankan kepada APBN dan
APBD. Pembentukan BPSK di 10 kota ini diharapkan dapat diikuti oleh daerah
lainnya atas prakarsa daerah sendiri.
Perlindungan konsumen dalam kenyataannya masih menjadi suatu hal yang
sangat ideal untuk diterapkan. Namun, sejalan dengan perkembangan global yang
akhirnya tidak dapat dihindari menuntut kita untuk selalu siap terhadap segala
konsekuensi logis daripadanya termasuk menyiapkan pranata hukum yang
memadai sekaligus terus menerus melakukan sosialisasi dan pendidikan bagi
konsumen Indonesia betapa urgent-nya persoalan perlindungan hukum bagi
konsumen khususnya dalam menghadapi perdagangan bebas sehingga konsumen
Indonesia mampu menjadi konsumen yang mandiri, yang sadar akan segala hak
dan kewajibannya.
Keberadaan aturan hukum yang mengatur perlindungan konsumen
selayaknya ditempatkan tidak sebagai penghambat dari perdagangan bebas.
Sebaliknya, merupakan apresiasi terhadap hak-hak konsumen secara universal
yang mengabaikan batas-batas territorial negara sehingga dengan begitu dapat
tercipta iklim usaha global yang lebih baik dimana para pelaku usaha dapat lebih
memperlihatkan tanggung jawab terhadap segala barang atau jasa yang
diproduksinya.
Dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan
sejumlah perangkat hukum lainnya, kiranya juga dapat dikatakan bahwa
perangkat hukum yang mengatur perlindungan konsumen di Indonesia telah

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 143
cukup memadai. Berdasarkan pengamatan penulis, selama ini persoalannya justru
terletak pada proses penegakkan norma-norma perlindungan konsumen tersebut
dalam kenyataan. Dengan demikian, persoalan lemahnya perlindungan konsumen
Indonesia sepertinya merupakan cerminan dari persoalan besar yang masih dan
terus akan dihadapi bangsa ini yaitu in-konsistensi penegakkan hukum kita.

7.8 Rangkuman
1. Globalisasi di bidang ekonomi menuntut Pemerintah untuk mampu
memberikan perlindungan yang memadai kepada konsumen sebagai pihak
yang terkena dampaknya. Oleh karena itu, pemerintah indonesia pada
tahun 1998 menetapkan suatu perundang-undangan di bidang konumen,
yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen.
2. Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen
dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam
menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab
sehingga tercipta iklim usaha yang lebih baik.
3. UUPK melalui Pasal 49 sampai Pasal 58 telah mengamanatkan
Pemerintah untuk membentuk suatu Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK).
4. BPSK merupakan peradilan kecil (small claim court) yang melakukan
persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan
dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan. Disebut cepat karena
harus memberikan keputusan dalam waktu maksimal 21 hari kerja dan
tanpa ada penawaran banding yang dapat memperlama proses pelaksanaan
keputusan, sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan
sendiri oleh para pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang
dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 144
5. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan
yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak
yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK.

7.9 Latihan/Soal
1. Jelaskan secara singkat sejarah/latar belakang hukum perlindungan
konsumen di Indonesia!
2. Jelaskan peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia!
3. Berikan 2 (dua) buah contoh kasus perlindungan konsumen, dan berikan
tanggapannya sesuai hukum perlindungan konsumen yang berlaku di
Indonesia!.

Hukum Bisnis
Untuk Administrasi Bisnis 145

Anda mungkin juga menyukai