Anda di halaman 1dari 6

BULAN DAN CINTA

Mafela Gendis SelIa Sari

Suatu malam di desa Makmur.


Terdengar suara bising dari kedIaman pasangan muda Adi dan Mentari.

BRAK! “GATAU DIRI KAMU TAR!” bentak Adi.


“Kamu tahu kan tugas istri?! MASAK!” bentak Adi lagi.
“Iya aku tahu. Tapi mas aku lagi hamil, kamu ga bisa ngertiin aku?” jawab
Mentari sambil merintih kesakitan.
PLAK! satu tamparan mendarat di pipi Mentari
“KAMU TUH YA JADI ISTRI NGELAWAN SAYA MULU, kamu tuh
harusnya nurut sama saya MENTARI!”
Mentari yang terus-terusan menerima perilaku buruk dari suaminya tersebut
lama-kelamaan merasa stres dan terbebani. Adi mulai tak segan melukai tubuh
Mentari yang sedang hamil. Mentari merasa hidupnya dan buah hatinya akan
terancam jika terus-menerus hidup bersama Adi. Mentari pun memilih menceraikan
Adi. Para warga desa Makmur sangat tidak menyangka hal demikIan akan terjadi
pada Adi dan Mentari, yang masyarakat tahu mereka saling mencintai, saling
melengkapi dan sangat harmonis. Adi beralasan Ia melakukan hal tersebut karena Ia
lelah dengan pekerjaannya, Ia khilaf karena kelelahan. Namun Mentari tetap teguh
pendirian dan akhirnya tetap menceraikan Adi.
Sampai pada akhirnya lahirlah Bulan, di malam dengan bulan purnama yang
sangat terang menerangi langit saat malam itu. Mentari menangis tersedu-sedu ketika
pertama kali melihat wajah Bulan.
“Anakku, Ibu akan memberikanmu nama Bulan. Tumbuhlah kamu menjadi orang
yang hebat dan kelak kamu akan bersinar di mata orang-orang seperti bulan pada
malam ini” ucapnya sambil mengelus muka mungil Bulan.
5 tahun kemudian.

Bulan tumbuh menjadi anak yang sangat aktif dan ceria. Namun ada sesuatu
dengan Bulan yang membuatnya berbeda. Mentaripun mulai menyadari hal yang
berbeda dari anaknya itu. Bulan belum bisa berbicara layaknya anak seusianya.
Bulan terus-menerus berbicara di depan televisi, seolah-olah televisi
merupakan temannya dan setiap kali Mentari memanggil Bulan, Bulan tak pernah
menggubris pembicaraannya.
“Jeng! Tahu ga sih! Anaknya si Mentari” bu Ida memulai percakapan.
“Mentari yang kena KDRT itu bukan sih, jeng?” tanya bu Sari.
“Iya heeh, bener yang itu. Kasian deh sama si Mentari sama anaknya, udah 5
tahun belum lancar ngomong, suka gak nyautin kalau dipanggil” kata bu Ida lagi.
“Oh si Bulan ya jeng” ibu-ibu lain mulai menanggapi.
“Iya, masa udah 5 tahun ngomong belum bisa, jalannya juga aneh. Pokoknya
aneh deh anaknya. Kalo kata saya sih kecanduan handphone” kata bu Ida lagi.
“Iya ga sih, kurang diurusin itu juga” kata ibu-ibu yang lain.
“Lagian kalo kata saya ngapain sih dicerai si Adi kan jadi ribet sendiri. Jadi
tulang punggung keluarga, udah anaknya masih kecil, si Mentarinya juga masih
muda” kata bu Ida mengeluarkan opininya.
“Makanya saya suruh anak saya jauh-jauh sama si Bulan tuh gara-gara itu
loh”
kata bu Sari.
“Iya saya juga deh, pengen saya suruh anak saya jauhin aja deh si Bulan.
Aneh lagIan anaknya” kata ibu-ibu yang lain.

Bulan sering dikucilkan di lingkungannya, Ia bahkan sering dibully dengan


anak yang lebih tua darinya. Memang betul rupanya Bulan mengidap penyakit
Autisme. Dimana seorang anak yang mengalami keterlambatan perkembangan,
perilaku yang tidak sesuai dengan anak seusianya. Mentari memang sadar bahwa
Bulan berbeda dari anak-anak seusianya namun Ia mengira bahwa hal yang dialami
Bulan itu adalah hal yang normal.

Sampai pada suatu hari datanglah para mahasiswa terapi wicara yang berniat
melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyara) di Desa Makmur. Salah satu dari mahasiswa
tersebut bernama Suci. Ia menyadari ada satu anak yang mengalami gejala Autisme,
ya itu Bulan. Suci dan teman-teman langsung berbicara dengan Mentari tentang
bagaimana tingkah laku Bulan sehari-hari.
“Saya kan kerja di sawah ya mba, jadi biasanya Bulan saya bawa dia main
handphone di saung” kata Mentari.
“Biasanya Bulan kalo menggunakan gawai berapa lama ya bun?” tanya Suci.
“Tidak saya perhatikan sih mba, pokoknya yang penting Bulan ga tantrum,
soalnya Bulan sering tantrum” jawab Mentari.
“Yang saya perhatikan, memang Bulan tidak seperti anak seusIanya mba..
Bulan memang sangat aktif dan ceria, tapi Bulan belum bisa berbicara dengan lancar,
dan setiap hal yang dia suka pasti selalu diulang-ulang” kata Mentari.
“Maaf bun tapi semua yang bunda deskripsikan adalah gejala Autisme..” kata
Suci
“Autisme? Anak yang gila maksud mba?” kata Mentari sambil mengernyitkan
dahinya.
“Bukan gila bun, tapi berkebutuhan khusus. Bulan merasa bahwa dunIanya itu
di televisi. Bulan merasa teman-temannya yang asli merupakan yang di televisi. Anak
seperti Bulan memang mengalami keterlambatan tersebut sudah ditakdirkan Tuhan.
Bunda bisa menyembukan Bulan dengan terapi. Bunda bisa terapi Bulan dengan
mandiri dan kalau bisa bunda harus lebih peduli dengan Bulan, karena Bulan masih
masa pertumbuhan. Ia harus banyak berkomunikasi dengan orang tuanya, dan untuk
penggunaan gawainya dikurangi dulu baik bunda mau pun Bulan. Karena pasti Bulan
mencontoh apa yang orang tuanya lakukan” Suci pun menjelaskan. Mentari pun
mencoba menerapi apa yang Suci sarankan.
Saat terapi dimulai, Bulan diperlihatkan beberapa gambar alam semesta. Kemudia Ia
mengangkat tangannya dan menunjukkan gambar bulan.
“Ini Bulan” kata Mentari
“I..n..i? Bul..ngal?” kata Bulan dengan nada kebingunan.
“Bu-lannn” kata Mentari lagi.
“Bu..la..eenn” kata Bulan lagi
“BENAR! ini bu-lannn, seperti nama kamu nak Bu-lannn”
“BU-LANNN” kata Bulan.
Mentari langsung mengecup dahi Bulan, dan menangis terharu. Huruf demi huruf
Bulan kenal dan Ia ucapkan. Kata demi kata Bulan hafal dan banyak yang Bulan
mengerti, sampai Bulan belajar merangkai kalimat. Kata yang yang paling Bulan suka
adalah ‘bulan’ dan ‘cinta’.

Mentari pun mulai perhatian dengan Bulan memberikan banyak apresIasi


kepada Bulan dan memperbanyak waktunya untuk bermain, bercengkrama dengan
Bulan. Lama kelamaan Bulan juga bisa berbaur anak-anak seusIanya, mereka sudah
mengaggap Bulan ‘normal’.

Suci dan teman-temannya berinisatif untuk memperkenalkan dan menjelaskan


apa itu Ausitme, bagaimana cara menyikapinya dan sebagainya seputar Autisme.
Warga-warga di desa Makmur pun mulai membuka mata dan tersadar bahwa mereka
yang mengidap penyakit Autisme bukan untuk dijauhi dan dirundung tapi diajak
berbaur dan diajak bersosialisasi dengan lingkungan sekitar agar membantu proses
terapi pasien. Mentari pun berterima kasih atas kepedulian Suci dan teman-temannya
kepada anak-anak Autis.

15 Tahun KemudIan.
Bulanpun menjadi seorang novelis, Ia membuat buku berjudul “Bulan dan
Cinta”. Novel tersebut menceritakan tentang dirinya sebagai anak Autis dan
perlakuan yang Ia dapatkan dan novel tersebut berhasil mengubah pandangan orang-
orang terhadap Autisme. Bahwa orang-orang Autis bukanlah orang-orang yang gila,
tapi mereka yang spesIal, mereka memiliki kelebihan yang bahkan melebihi orang-
orang normal, dan bahkan mungkin masa depan yang lebih cerah dari pada orang-
orang normal cerah.

Mentari tentu sangat bangga dengan pencapaIan Bulan. Bulan menjadi anak
yang berprestasi ketika masa sekolahnya dan Bulan melanjutkan studi S2nya sebagai
seorang terapis wicara.
BIOGRAFI PENULIS

Mafela Gendis Selia Sari, lahir di Bekasi Utara pada tanggal 16 Agustus 2009.
Merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Menempuh pendidikan Taman Kanak-
Kanak di TKIT Bintang Kecil, pendidikan Sekolah Dasar di SDIT Widya Duta, dan
pendidikan sekolah menengah pertama di SMPIT Assyifa Boarding School Wanareja
Subang selama 1 tahun 3 bulan.
Pernah mengikuti organisasi Majelis Perwakilan Kelas (MPK) ketika SMP,
Ia juga memiliki impian untuk berkuliah di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, Jurusan Kriminologi dan bekerja sebagai Jurnalis Kriminologi.
Memiliki hobi mendengarkan musik, menonton film, membaca novel dan
jurnaling. Menulis juga merupakan hobinya. Ia sering menulis banyak cerpen, dan
salah satunya adalah “Bulan dan Cinta”.

Anda mungkin juga menyukai