Anda di halaman 1dari 54

NAMA : DIANA RAHMAWATI

NIM : 23611008

JUDUL PENELITIAN :

Faktor-faktor yang berhubungan terhadap minat pemeriksaan IVA di Desa

Pesaguan wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan

LATAR BELAKANG :

Kanker merupakan salah satu penyebab kematian dengan jumlah

terbanyak di dunia. Berdasarkan data Internasional Agency For

Research on Cancer (IARC) didapatkan data pada tahun 2014 bahwa setiap

tahunnya untuk angka kanker meningkat sekitar 19% dengan tingkat

kematian per 100.000 orang pertahun. Di Indonesia untuk kasus kanker

berjumlah yaitu 1.027.763 kasus (Riskesdas, 2013).

Salah satu jenis kanker yang sering ditemukan pada wanita adalah

kanker serviks. Dengan jumlah kasus 550,000 diseluruh dunia (IARC, 2014).

Kanker serviks merupakan pembunuh nomor 2 pada wanita setelah kanker

payudara. Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10

kanker dengan jumlah kasus kanker serviks sebanyak 522.354 kasus. Kanker

serviks (kanker leher rahim) adalah kanker yang terjadi pada servik yaitu

suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke

arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama

(vagina) (Kemenkes RI, 2015).


Kanker ini disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus dan

menyerang wanita menikah dan dampak dari kanker serviks ini bisa

menyebabkan kematian (Kumalasari, 2012). Sedangkan menurut Kemenkes

RI (2015) mengatakan bahwa kanker serviks adalah keganasan yang berasal

dari serviks, serviks adalah sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk

silindris, menonjol dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri

eksternum.

Salah satu pencegahan kanker serviks yang dapat dilakukan sebelum

terjadi penyebaran ke organ-organ lainnya dan terjadinya peningkatan jumlah

kasus ialah dengan cara melakukan deteksi dini. Deteksi dini kanker serviks

ini bertujuan untuk memberika pengetahuan dan pemahaman serta perhatian

terhadap kondisi psikologis (Depkes, 2009). Deteksi dini dapat dilakukan

dengan pap smear, pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)

atau dengan kolposkopi.

Salah satu alasan semakin berkembangnya kanker serviks tersebut

disebabkan oleh rendahnya cakupan deteksi dini kanker serviks. Berdasarkan

estimasi data World Health Organization (WHO) Tahun 2013 terdapat hanya

5% wanita di negara berkembang yang hanya melakukan deteksi dini. WHO

mengatakan terdapat 490.000 wanita didunia yang terkena kanker serviks

pada tiap tahunnya disebabkan karena keterlambatan dalam deteksi dini.

Pada umumnya wanita datang ke pelayanan kesehatan ketika akan

memeriksa kondisinya dalam kedaan kanker sudah menyebar ke organ lain

sehingga menimbulkan pengobatan yang sulit (Astrid, 2015).


Di Indonesia metode deteksi dini yang mudah diujikan bahkan

diberbagai negara yaitu dengan cara inspeksi visual asam asetat (IVA),

yaitu suatu metode pemeriksaan dengan mengoleskan serviks atau leher

rahim menggunakan lidi wotten yang telah dicelupkan kedalam asetat atau

cuka 3-5% dengan mata telanjang. Daerah yang tidak normal akan berubah

menjadi putih (acetowhite) dengan batas yang tegas dan mengindikasikan

bahwa serviks mungkin memiliki lesi prekanker (Adi, 2012).

Pemeriksaan IVA ini hampir sama efektifnya dengan pemeriksaan

pap smear dalam mendeteksi perubahan pada serviks secara dini sebelum

berkembang menjadi kanker sehingga dapat disembuhkan dengan segera.

Selain itu dapat dilakukan di Fasilitas Kesehatan Dasar seperti Puskesmas

dan Pustu dengan hasilnya langsung dapat diketahui pada saat pemeriksaan

(Depkes, 2009). Program deteksi dini khusunya IVA telah dimasukan oleh

pemerintah ke dalam Rencana Strategis Kemenkes RI dengan presentase

sampai tahun 2019 mencakup minimal 80% wanita menikah (WUS) telah

melakukan deteksi dini kanker serviks.

Beberapa faktor yang mendukung perilaku seseorang adalah umur,

tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap dan dukungan sosial. Pengetahuan

diperlukan sebagai dorongan psikis dalam menimbulkan sikap dan perilaku

setiap hari. Sedangkan sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap

suatu objek yang reaksinya dapat berbentuk positif dan negatif. Pengetahuan

didapatkan atau diperoleh dari informasi atau kelompok sosial (Ahmad,

2012).
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elkanah, Omeng

et al. (2016) di Kenya didapatkan bahwa sedikitnya jumlah wanita yang

melakukan deteksi dini kanker serviks dengan IVA disebabkan karena

kemauan dan sikap wanita itu sendiri yang masih rendah dan dipengaruhi

oleh rasa takut dan malu akan organ reproduksi yang sensitif wanita.

Jumlah wanita yang melakukan tindakan pemeriksaan IVA ini hanya

11% dari jumlah 5000. Elkanah juga mendapatkan hubungan bahwa

pengetahuan juga mempengaruhi wanita dalam melakukan deteksi dini

sehingga pengetahuan yang rendah akan menghasilkan sikap yang

negatif,dari jumlah responden hanya 20% mengetahui deteksi dini kanker

serviks.

Dukungan sosial merupakan bantuan yang diberikan kelompok sosial

baik itu keluarga maupun masyarakat sehingga mampu membuat individu

merasa nyaman baik secara fisik maupun psikis sebagai bukti bahwa mereka

diperhatikan dan dicintai (Nurmadina, 2008). Melalui dukungan sosial

dapat membantu menurunkan kecemasan meningkatkan semangat dan

komitmen wanita dalam melakukan pencegahan kanker serviks. Selain itu

juga dukungan sosial menjadi faktor penentu karena seperti dukungan

pasangan akan memberikan penguatan terhadap motivasi untuk melakukan

pencegahan kanker serviks (Wahyuni, 2013).

Berdasarkan data yang didapat dari Profil Puskesmas Pangkalan Lesung

didapatkan data bahwa Desa Pesaguan memiliki capaian pemeriksaan IVA

terendah di wilayah Puskesmas Pangkalan Lesung. Berdasarkan studi

pendahuluan terhadap 13 orang wanita menikah yang berdomisili di Desa


Pesaguan didapatkan data bahwa, 12 orang mengatakan belum pernah

melakukan pemeriksaan IVA dan 1 orang pernah melakukan pemeriksaan

IVA. Dengan karakteristik responden 2 orang berusia 20–35 tahun dan 11

orang berusia 30-55 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan 1 orang

diketahui lulusan SMP, 11 orang lulusan SMA dan 1 orang lulusan

sarjana. Untuk tingkat pengetahuan 4 orang respoden mengatakan

mengetahui apa itu pemeriksaan IVA dan 9 orang mengatakan tidak

mengetahui pemeriksaan IVA. Data pemeriksaan IVA di Puskesmas

Pangkalan Lesung didapatkan data bahwa dari 480 sasaran WUS di Desa

Pesaguan hanya 35 WUS yang melakukan pemeriksaan IVA.

Berdasarkan hasil survey awal dengan WUS yang telah menikah di

Desa Pesaguan didapatkan data bahwa rata-rata responden yang belum

pernah melakukan pemeriksaan IVA mengatakan malu dan takut untuk di

periksa, alasan wanita itu mengatakan takut karena itu merupakan area

sensitif wanita jadi mereka takut dan malu jika kemaluannya di lihat.

Mereka mengatakan pemeriksaan itu dianggap tabu karena tidak adanya

informasi dari petugas kesehatan dan tidak memperoleh izin dari suami serta

dukungan dan informasi dari teman- teman sekitaran lingkungan rumah, hal

ini membuat wanita malas dan takut melakukan dalam melakukan tindakan

pemeriksaan IVA.

Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang faktor-faktor yang berhubungan terhadap minat pemeriksaan IVA di

Desa Pesaguan wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Lesung Kabupaten

Pelalawan.
RUMUSAN MASALAH :

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan penelitian ini

adalah apa faktor-faktor yang berhubungan terhadap minat pemeriksaan IVA

di Desa Pesaguan di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Lesung Kabupaten

Pelalawan?.

TUJUAN PENELITIAN:

Tujuan Umum :

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan terhadap minat

pemeriksaan IVA di Desa Pesaguan di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan

Lesung Kabupaten Pelalawan.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi pengetahuan, sikap, pendidikan, dukungan

suami, akses informasi terhadap pemeriksaan IVA di Desa Pesaguan di

wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan.

2. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan terhadap minat pemeriksaan

IVA di Desa Pesaguan di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Lesung

Kabupaten Pelalawan.

3. Untuk mengetahui hubungan sikap terhadap minat pemeriksaan IVA di

Desa Pesaguan di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Lesung

Kabupaten Pelalawan.
4. Untuk mengetahui hubungan pendidikan terhadap minat pemeriksaan

IVA di Desa Pesaguan di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan Lesung

Kabupaten Pelalawan.

5. Untuk mengetahui hubungan dukungan suami terhadap minat

pemeriksaan IVA di Desa Pesaguan di wilayah kerja Puskesmas

Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan.

6. Untuk mengetahui hubungan akses informasi terhadap minat

pemeriksaan IVA di Desa Pesaguan di wilayah kerja Puskesmas

Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan.

MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah refernsi

perpustakaan dan menjadi bahan bacaan.

2. Bagi Puskesmas

Hasil dari penelitian ini dapat menjadi saran dan informasi bagi

petugas kesehatan dalam memberikan serta mengajak masyarakat untuk

melakukan pemeriksaan IVA.

3. Bagi Responden

Agar penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

responden sehingga meningkatkan minat untuk melakukan pemeriksaan

IVA.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya


Diharapkan dapat menjadi acuan dalam penelitian dan sebagai

perbandingan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

LANDASAN TEORI :

2.1 Konsep Minat

2.1.1 Pengertian Minat

Minat adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas

tertentu. Minat bisa merupakan dorongan dari naluri yang fitri terdapat

manusia, namun bisa pula dorongan dari pemikiran yang disertai perasaan

kemudian menggerakkannya menjadi suatu amal. Minat yang hanya muncul

dari dorongan perasaan tanpa pemikiran mudah berubah sesuai dengann

perubahan perasaannya. Perasaan yang tidak dikendalikan oleh adanya fikir

(bukan hasil dorongan pemikiran), mudah dipengaruhi dan berubah sesuai

dengan perubahan lingkungan, fakta yang dihadapinya dan lain-lain. Dalam

kondisi ini minat seseorang bisa sangat lemah dan tidak stabil sesuai dengan

perubahan lingkungan (Musa, 2010).

Menurut Nursalam (2011), minat seseorang dapat digolongkan menjadi:

1. Rendah, Jika seseorang tidak menginginkan obyek minat

2. Tinggi, Jika seseorang sangat menginginkan obyek minat dalam waktu

segera.
Eysenck dkk (2002) mendefinisikan minat sebagai suatu kecenderungan

untuk bertingkah laku yang berorientasi kepada objek, kegiatan, atau

pengalaman tertentu, dan kecenderungan tersebut antara individu yang satu

dengan yang lain tidak sama intensitasnya. Sedang Witherington (1999)

berpendapat bahwa minat adalah kesadaran seseorang pada sesuatu, seseorang,

suatu soal atau situasi yang bersangkut paut dengan dirinya. Tanpa kesadaran

seseorang pada suatu objek, maka individu tidak akan pernah mempunyai

8
minat terhadap sesuatu. Menurut Hurlock (1996) dalam Purwanto (2002)

mengartikan minat sebagai sumber motivasi yang akan mengarahkan seseorang

pada apa yang akan mereka lakukan bila diberi kebebasan untuk memilihnya.

Bila mereka melihat sesuatu itu mempunyai arti bagi dirinya, maka mereka

akan tertarik terhadap sesuatu itu yang pada akhirnya nanti akan menimbulkan

kepuasan bagi dirinya.

Dalam kamus psikologi, Chaplin (1999) menyebutkan bahwa interest

atau minat dapat diartikan sebagai :

1. Suatu sikap yang berlangsung terus-menerus yang memberi pola pada

perhatian seseorang sehingga membuat dirinya selektif terhadap objek

minatnya.

2. Perasaan yang menyatakan bahwa satu aktivitas pekerjaan atau objek itu

berharga atau berarti bagi individu.

3. Satu keadaan atau satu set motivasi yang menuntut tingkah laku menuju

satu arah tertentu.

Dengan mengintip pendapat Layton, Handoyo (2001) mengartikan minat

sebagai kesukaan atau ketidaksukaan terhadap sesuatu. Dengan kata lain, minat
dapat dilihat atas dasar perbedaan rasa suka terhadap sesuatu hal, pekerjaan,

tugas atau suatu kegiatan. Sedangkan Murphy berpendapat, sebagaiman yang

dikutip oleh Handoyo, bahwa minat merupakan kondisi rangsang yang terarah

sehubungan dengan tujuan yang bermanfaat. Sebagaimana yang telah

disebutkan di atas, minat yang berbentuk perhatian yang intens tadi merupakna

suatu reaksi organisme, baik yang tampak nyata maupun yang imajiner, yang

disebabkan karena rasa suka terhadap suatu objek tertentu. Minat ini

mempunyai kecenderungan mempengaruhi perilaku individu dalam aktivitas

tertentu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa minat dalam diri individu

sangat penting artinya bagi kesuksesan yang akan dicapai. Individu yang

mempunyai minat terhadap suatu objek atau aktivitas berarti ia telah

menetapkan tujuan yang berguna bagi dirinya sehingga ia akan cenderung

untuk menyukainya. Dari sana kemudian, segala tingkah laku menjadi terarah

dengan baik dan tujuan pun akan tercapai (Handoyo, 2001).

Di samping berbagai pengertian di atas, pengertian minat secara harfiah

adalah suatu kegiatan organisme yang mengarahkan perhatian dengan sungguh

terhadap suatu objek, yaitu objek yang relevan atau mempunyai karakteristik

yang serupa dengan objek tertentu. Ada yang mengatakan bahwa hubungan

minat dengan motivasi itu bersifat gradual, dimana timbulnya motivasi setelah

adanya sikap, dan sikap timbul karena adanya minat. Ada yang mengatakan

bahwa minat itu adalah aspek kognitif dari motivasi, dan ada pula yang

mengatakan bahwa minat timbul bersamaan dengan motivasi. Ada juga yang

justru mengidentikkan minat dengan motivasi. Misalnya, apabila timbul minat


terhadap suatu aktivitas berarti ada indikasi motivasi terhadap aktivitas tadi

(Handoyo, 2001).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa minat adalah

suatu kecenderungan seseorang dalam bertingkah laku yang dapat diarahkan

unutk memperhatikan suatu objek atau melakukan suatu aktivitas tertentu yang

didorong oleh perasaan senang karena dianggap bermanfaat bagi dirinya. Di

samping itu, dari beberapa pengertian berikut :

1. Perasaan sadar dari individu terhadap suatu objek atau aktivitas, karena

adanya anggapan bahwa objek aktivitas tersebut bermanfaat bagi dirinya.

2. Perasaan senang terhadap subjek atau objek ataupun juga aktivitas.

3. Perasaan sadar dan suka tersebut pada gilirannya akan menimbulkan rasa

untuk memperhatikan suatu objek, subjek atau aktivitas.

4. Dorongan tersebut akan berlangsung secara terus-menerus untuk selalu

melakukan aktivitas yang berhubungan dengan objek atau subjek yang

diminati, dan

5. Kuatnya kecenderungan individu untuk memberikan perhatian terhadap

objek, subjek atau aktivitas yang memuaskan dan memuaskan dan

bermanfaat bagi objek, subjek atau aktivitas tersebut (Handoyo, 2001).

2.1.2 Faktor Timbulnya Minat

Faktor timbulnya minat, menurut Crow and Crow (1982) dalam Purwanto (2004),

terdiri dari tiga faktor :

1. Faktor Dorongan Dari Dalam

Yaitu rasa ingin tahu atau dorongan untuk menghasilkan sesuatu yang baru

dan berbeda. Dorongan ini dapat membuat seseorang berminat untuk


mempelajari ilmu mekanik, melakukan penelitian ilmiah, atau aktivitas

lain yang menantang.

2. Faktor Motif Sosial

Yakni minat dalam upaya mengembangkan diri dari dan dalam ilmu

pengetahuan, yang mungkin diilhami oleh hasrat unutk mendapatkan

kemampuan dalam bekerja, atau adanya hasrat untuk memperolah

penghargaan dari keluarga atau teman.

3. Faktor Emosional

Yakni minat yang berkaitan dengan perasaan dan emosi. Misalnya,

keberhasilan akan menimbulkan perasaan puas dan meningkatkan minat,

sedangkan kegagalan dapat menghilangkan minat seseorang.

2.1.3 Aspek Minat

Purwanto (2004) mengemukakan bahwa minat termasuk dalam afektif

(istilahnya Bloom). Taksonomi afektif Bloom dalam Notoatmodjo (2007),

ini meliputi lima kategori :

1. Penerimaan (receiving) yang terdiri dari sub-kesadaran kemauan untuk

menerima perhatian yang terpilih. Merupakan masa dimana kita menerima

rangsangan melalui panca indra.

2. Menanggapi (responding) yang terdiri dari sub-kategori persetujuan untuk

menanggapi kemauan dan kepuasan.

3. Penilaian (valuting) yang terdiri dari sub-kategori penerimaan, pemilihan

dan komitmen terhadap nilai-nilai tertentu.

4. Organisasi (organization) yaitu kemampuan dalam melakukan penyusunan

langkah terhadap nilai baru yang diterima.


5. Pencirian (characterization) kemamuan dalam memahami ciri dari nilai

baru yang diterima.

2.1.4 Kondisi Yang Mempengaruhi Minat

Menurut Hurlock (1999), ada beberapa kondisi yang mempengaruhi minat,

diantaranya :

1. Status Ekonomi

Status ekonomi membaik, orang cenderung memperluas minat mereka

untuk mencakup hal yang semula belum mereka laksanakan. Sebaiknya,

kalau status ekonomi mengalami kemunduran karena tanggung jawab

keluarga tatu usaha yang kurang maju, maka orang cenderung untuk

mempersempit minat mereka. Menurut Benyamin Luminto (1998), bahwa

tingkat pencapaian pelayanan medis ditentukan oleh biaya yang meningkat,

sehingga faktor ekonomi menjadi penyebab naik turunya tingkat

pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, terutama oleh si miskin.

2. Pendidikan

Semakin tinggi dan semakin formal tingkat pendidikan yang dimiliki

seseorang maka semakin besar pula kegiatan yang bersifat intelek yang

dilakukan. Seperti yang telah dikutip Notoatmodjo (1997) dari L. W. Green

mengatakan bahwa “jika ada seseorang yang mempunyai pengetahuan baik,

maka ia mencari pelayanan yang lebih kompeten atau lebih aman baginya”.

3. Situasional (orang dan lingkungan)


Berhubungan dengan ancaman konsep diri terhadap perubahan status,

adanya kegagalan, kehilangan benda yang dimiliki, dan kurang penghargaan

dari orang lain.

4. Keadaan Psikis

Keadaan psikis yang mempunyai pengeruh paling besra terhadap minat

adalah kecemasan. Kecemasan merupakan suatu respon terhadap stres,

seperti putusnya suatu hubungan yang penting atau bencana yang

mengancam jiwa. Kecemasan juga bisa merupakan suatu reaksi terhadap

dorongan seksual atau dorongan agresif yang tertekan, yang bisa

mengancam pertahanan psikis yang secara normal menngendalikan

dorongan tersebut. Pada keadaan ini, kecemasan menunjukkan adanya

pertentangan psikis. Kecemasan bisa timbul secara mendadak atau secara

bertahap selama beberapa menit, jam atau hari. Kecemasan bisa berlangsung

selama beberapa detik sampai beberapa tahun. Beratnya juga bervariasi,

mulai dari rasa cemas yang hampir tidak tampak sampai letupan kepanikan

(Perry, 2003).

2.2 Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat )

2.2.1 Pengertian IVA

IVA adalah salah satu cara melakukan tes kanker leher rahim yang

mempunyai kelebihan yaitu kesederhanaan teknik dan kemampuan

memberikan hasil yang segera kepada ibu. Selain itu juga bisa dilakukan oleh

hampir semua tenaga kesehatan, yang telah mendapatkan pelatihan (Depkes

RI, 2007).
Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan leher rahim

secara visual menggunakan asam cuka dengan mata telanjang untuk

mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam cuka 3-5% (Depkes RI,

2010).

Tujuannya adalah untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia

sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. IVA tidak

direkomendasikan pada wanita pasca menopause, karena daerah zona

transisional seringkali terletak di kanalis servikalis dan tidak tampak dengan

pemeriksaan inspekulo (Rasjidi, 2008).

2.2.2 Sasaran dan Interval IVA

Sasaran pemeriksaan IVA adalah dianjurkan bagi semua perempuan

berusia antara 30 sampai dengan 50 tahun. Perempuan yang mempunyai faktor

resiko terutama adalah kelompok yang paling penting untuk mendapatkan

pelayanan tes dan pengobatan dengan sarana terbatas. Dengan memfokuskan

pada pelayanan tes dan pengobatan untuk perempuan berusis 30 sampai

dengan 50 tahun atau yang memiliki faktor resiko seperti resiko tinggi IMS

akan dapat meningkatkan nilai prediktif positif dari IVA. Karena angka

penyakit lebih tinggi pada kelompok usia tersebut, maka lebih besar

kemungkinan untuk mendeteksi lesi pra-kanker, sehingga meningkatkan

efektifitas biaya dari program pengujian dan mengurangi kemungkinan

pengobatan yang tidak perlu (Depkes RI, 2007)


Depkes RI (2007) mengindikasikan skrining deteksi dini kanker leher

rahim dilakukan pada kelompok berikut ini :

a. Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah

menjalani tes sebelumnya, atau pernah menjalani tes 3 tahun sebelumnya

atau lebih.

b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes

sebelumnya.

c. Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan

pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda

dan gejala abnormal lainnya.

d. Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.

Sedangkan untuk interval skrining WHO merekomendasikan :

a. Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka

sebaiknya dilakukan pada perempuan antara usia 35 – 45 tahun.

b. Untuk perempuan usia 25- 45 tahun, bila sumber daya memungkinkan,

skrining hendaknya dilakukan tiap 3 tahun sekali.

c. Untuk usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali.

d. Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan

usia diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining.

e. Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun

sekali.

Di Amerika; waktu awal skrining kira-kira 3 tahun setelah aktivitas

seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun; interval skrining

tiap tahun, atau tiap 2 – 3 tahun untuk wanita usia = 30 tahun dengan 3 kali
berturut-turut hasil skrining negative; penghentian skrining pada wanita usia =

70 tahun dengan = 3 kali berturut-turut hasil tes negatif dan tanpa hasil tes

abnormal dalam 10 tahun terakhir. Di Eropa merekomendasikan waktu awal

skrining pada wanita usia 20 – 30 tahun; interval skrining tiap 3 – 5 tahun; dan

penghentian skrining setelah usia 60 – 65 tahun dengan = 3 kali berturut-turut

hasil skrining negative (Depkes RI, 2008)

Sedangkan di Indonesia interval pemeriksaan IVA adalah 5 tahun

sekali. Jika hasil pemeriksaan negatif maka dilakukan ulangan 5 tahun dan

jika hasilnya positif maka dilakukan ulangan 1 tahun kemudian (Depkes RI,

2007).

2.2.3 Penilaian Klien

Pemeriksaan IVA biasanya dilakukan sebagai bagian dari program

penapisan kesehatan reproduksi atau pelayanan kesehatan primer, seperti

kunjungan prenatal, atau post partum/nifas, pemakaian awal atau lanjutan KB,

asuhan paska keguguran, Kontap, atau asesmen IMS. Oleh karena itu, riwayat

singkat kesehatan reproduksi perlu ditanyakan seperti; riwayat menstruasi; pola

perdarahan (paska coitus atau mens tidak teratur); paritas; usia pertama kali

berhubungan seksual dan penggunaan alat kontrasepsi. Selain menanyakan

riwayat kesehatan reproduksi, juga disampaikan informasi tentang faktor

resiko kanker leher rahim.

2.2.4 Peralatan dan Bahan

Pemeriksaan IVA dapat dilakukan dimana saja yang mempunyai

sarana seperti antara lain meja periksa ginekologi dan kursi, sumber cahaya /

lampu yang memadai agar cukup menyinari vagina dan leher rahim,
speculum/cocor bebek, rak atau nampan wadah alat yang telah didesinfeksi

tingkat tinggi sebagai tempat untuk meletakkan alat dan bahan yang akan

dipakai, sarana pencegahan infeksi berupa tiga ember plastik berisi larutan

klorin, larutan sabun dan air bersih bila tidak ada wastafel (Depkes RI, 2010).

Persiapan bahan antara lain kapas lidi atau forcep untuk memegang kapas,

sarung tangan periksa untuk sekali pakai, spatula kayu yang masih baru,

larutan asam asetat 3-5 % (cuka putih dapat digunakan), dan larutan klorin

0,5 % untuk dekontaminasi alat dan sarung tangan serta formulir cacatan

untuk mencatat temuan (Depkes RI, 2010).

2.2.5 Tindakan dan Hasil Pemeriksaan

Sedangkan persiapan tindakan antara lain menerangkan prosedur

tindakan (bagaiman hal tersebut akan dikerjakan dan apa artinya hasil tes

positif). Yakinkan pasien telah memahami dan menandatangani informed

concent; pemeriksaan inspeculo secara umum meliputi dinding vagina, leher

rahim, dan fornik. (Rasjidi, 2008). Teknik pemeriksaan IVA adalah klien

dalam posisi litotomi lalu dipasang cocor bebek/spekulum, dengan

penerangan lampu 100 watt pemeriksa menampakkan leher rahim untuk

mengenali tiga hal yaitu curiga kanker, curiga infeksi, leher rahim normal

dengan daerah transformasi yang dapat atau tidak dapat ditampakkan.

Pemeriksaan IVA yang pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman

(1925) dengan cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah

dicelupkan dalam asam asetat 3-5%. Pemberian asam asetat akan

mempengaruhi epitel normal, bahkan akan meningkatkan osmolaritas cairan

ekstraseluler. Cairan ekstraseluler ini bersifat hipertonik akan menarik


cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel

akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat

sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan

keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, yang

disebut epitel putih/acetowhite (Nuranna, Laila, et all 2008).

Pertama-tama petugas melakukan menggunakan speculum untuk

memeriksa leher rahim. Lalu serviks dibersihkan untuk menghilangkan

cairan keputihan (discarge), kemudian asam asetat dioleskan secara merata

pada leher rahim. Setelah minimal 1 menit, leher rahim dan seluruh SSK,

diperiksa untuk melihat apakah terjadi perubahan acetowhite. Hasil tes

(positif atau negatif) harus dibahas bersama ibu, dan pengobatan diberikan

setelah konseling, jika diperlukan dan tersedia.

Temuan asesmen harus dicatat sesuai kategori yang telah baku

sebagaimana terangkum dalam uraian berikut ini :

a. Hasil Tes-positif : Bila diketemukan adanya Plak putih yang tebal

berbatas tegas atau epitel acetowhite (bercak putih), terlihat menebal

dibanding dengan sekitarnya, seperti leukoplasia, terdapat pada zona

transisional, menjorok kearah endoserviks dan ektoserviks

b. Positif 1(+) : Samar, transparan, tidak jelas, terdapat lesi bercak putih

yang ireguler pada serviks. Lesi bercak putih yang tegas, membentuk

sudut (angular), geographic acetowhite lessions yang terletak jauh dari

sambungan skuamos.

c. Positif 2 (++) : Lesi achetowhite yang buram, padat dan berbatas jelas

sampai ke sambungan skuamokolumnar. Lesi acetowhite yang luas,


circumorificial, berbatas tegas, tebal dan padat. Pertumbuhan pada

leher rahim menjadi acetowhite.

d. Hasil Tes-negatif : Permukaan polos dan halus, berwarna merah

jambu. Bila area bercak putih yang berada jauh dari zona

transformasi. Area bercak putih halus atau pucat tanpa batas jelas.

Bercak bergaris-garis seperti bercak putih. Bercak putih berbentuk

garis yang terlihat pada batas endocerviks. Tak ada lesi bercak putih

(acetowhite lesion). Bercak putih pada polip endoservikal atau kista

nabothi. Garis putih mirip lesi acetowhite pada sambungan

skuamokolumnar.

e. Normal : Titik-titik berwarna putih pucat di area endoserviks,

merupakan epitel kolumnar yang berbentuk anggur yang terpulas

asam asetat. Licin, merah muda, bentuk porsio normal.

2.3. Kanker Serviks

2.3.1. Definisi Kanker Serviks

Leher rahim adalah bagian dari sistem reproduksi perempuan yang

terletak di bagian bawah yang sempit dari rahim (uterus atau womb).

Sedangkan, rahim adalah suatu organ berongga yang berbentuk buah per

pada perut bagian bawah. Adapun penghubung rahim menuju vagina adalah

mulut rahim (serviks). Kanker leher rahim muncul karena adanya

pertumbuhan sel yang tidak normal sehingga mengakibatkan terjadinya

gangguan pada leher rahim atau menghalangi leher rahim (Maharani,

2009).
Kanker leher rahim atau dalam bahasa latin disebut Carcinoma

Cervicis Uteri, merupakan tumor ganas yang paling ganas dan paling

sering dijumpai pada wanita, juga merupakan tumor ganas yang paling

banyak diderita dari semua tumor ganas alat kelamin wanita. Bila ingin

mengetahui seberapa tinggi angka kejadian tumor ganas ini ialah bahwa

kanker leher rahim merupakan 1% dari semua tumor ganas pada

wanita dan merupakan 66% dari semua tumor ganas pada alat kelamin

wanita (Wulandari, 2010).

2.3.2. Gejala Kanker Serviks

Menurut penelitin Wulandari (2010) kanker serviks stadium dini

biasanya tanpa gejala-gejala. Tetapi jika dilakukan pemeriksaan deteksi dini

bisa ditemukan adanya lesi prakanker atau disebut dengan sel-sel serviks

yang tidak normal.

Gejala-gejala kanker ini adalah:

1. Ada bercak atau pendarahan setelah hubungan seksual

2. Ada bercak atau pendarahan di luar masa haid

3. Ada bercak atau pendarahan pada masa menopause

4. Mengalami masa haid yang lebih berat dan lebih panjang dari

biasanya

5. Keluarnya bau menyengat yang tidak bisa dihilangakan walaupun

sudah diobati.

6. Timbul nyeri panggul atau perut bagian bawah bila ada radang

panggul

2.3.3. Etiologi Kanker Serviks


Hingga saat ini Human Papiloma Virus (HPV) merupakan penyebab

99,7% kanker serviks. Virus papilloma ini berukuran kecil, diameter virus

kurang lebih 55 nm. Terdapat lebih dari 100 tipe HPV, HPV tipe 16,

18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58 sering ditemukan pada kanker

maupun lesi pra kanker serviks. HPV tipe 16 dan 18 merupakan70%

penyebab kanker serviks. Sebenarnya sebagian besar virus HPV akan

menghilang sendiri karena ada sistem kekebalan tubuh alami, tetapi ada

sebagian yang tidak menghilang dan menetap. HPV yang menetap inilah

yang menyebabkan perubahan sel leher rahim menjadi kanker serviks.

Perjalanan kanker serviks dari infeksi HPV, tahap pra kanker hingga

menjadi kanker serviks memakan waktu 10-20 tahun. Pada tahap awal

infeksi virus akan menyebabkan perubahan sel-sel epitel pada mulut

rahim, sel-sel menjadi tidak terkendali perkembangannya dan bila

berlanjut akan menjadi kanker. Pada tahap atau stadium awal (pra kanker)

tidak ada gejala yang jelas, setelah berkembang menjadi kanker timbul

gejala-gejala keputihan yang tidak sembuh walaupun sudah diobati,

keputihan yang keruh dan berbau busuk, perdarahan setelah berhubungan

seks, perdarahan di luar siklus haid dan lain-lain. Pada stadium lanjut

dimana sudah terjadi penyebaran ke organ-organ sekitar mungkin terdapat

keluhan nyeri daerah panggul, sulit buang air kecil, buang air kecil

berdarah dan lain-lain (Rina, 2009).

Kanker serviks diperkirakan disebabkan oleh HPV (Human

Papilloma Virus), biasanya terjadi pada wanita berumur 31-60 tahun,

akan tetapi bukti terkini menunjukan bahwa kanker serviks juga telah
menyerang wanita berusia antara 20–30 tahun. Untuk itu meskipun masih

menjadi kontroversi, di beberapa negara berkembang telah diberikan

imunisasi HPV kepada remaja, di negara- negara yang sumber daya

kesehatannya rendah, pemberian vaksin secara massal belum diberikan,

salah satu alasannya karena harganya sangat mahal (Wulandari, 2010).

2.3.4. Faktor Resiko Kanker Serviks

2.3.4.1. Perilaku Seksual

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kanker serviks. Pada

berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan wanita

yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun atau

mempunyai pasangan seksual berganti-ganti lebih berisiko untuk menderita

kanker serviks.

2.3.4.2. Kebersihan Organ Kewanitaan

Kebersihan organ kewanitaan dapat mencegah terjadinya kanker

serviks. Kebersihan kewanitaan dihubungkan dengan pemakaian pembalut

yang tidak diganti kurang dari 2 kali, hal ini dapat menyebabkan

kelembaban berlebih yang memudahkan pertumbuhan jamur atau

bakteri termasuk HPV. Frekuensi mengganti pembalut saat menstruasi ≤

2 kali sehari sangat berpengaruh terhadap flora vagina. Jumlah darah

menstruasi yang keluar kemungkinan tidak terserap dengan baik dalam

waktu lebih dari 4 jam. Adanya darah yang tidak terserap pembalut

mengakibatkan permukaan pembalut basah, ditambah lagi aktifitas wanita

seperti duduk membuat pembalut akan tertekan dan darah yang dalam
pembalut akan tertekan keluar sehingga organ wanita lembab pada waktu

yang lama. Kebersihan organ vagina kurang baik meningkatkan risiko

kanker serviks sebesar 29 kali dibandingkan yang menjaga kebersihan

organ vagina (Dewi dkk, 2014).

2.3.4.3. Usia

Umur pertama kali melakukan hubungan seksual. penelitian

menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual

maka semakin besar kemungkinan mendapat kanker serviks. Kawin

pada usia 20 tahun dianggap masih terlalu muda (Arifatulul, 2013).

2.3.4.4. Sosial Ekonomi

Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi

rendah. faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas, dan

kebersihan perorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah

umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang. Hal ini mempengaruhi

imunitas tubuh (Arifatulul, 2013).

2.3.4.5. Merokok dan AKDR ( Alat Kontrasepsi dalam Rahim )

Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker sedangkan

pemakaian AKDR akan terpengaruh terhadap serviks yaitu, bermula dari

adanya erosi serviks yang kemudian menjadi infeksi berupa radang yang

terus menerus. Hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks

(Arifatulul, 2013).

2.3.4.6. Jumlah Perkawinan

Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti

pasangan mempunyai faktor resiko yang sangat besar terhadap kanker


serviks. Orang yang jumlah perkawinanya lebih dari satu maka

meningkatkan risiko tertulas virus HPV (Arifatulul, 2013).

2.3.4.7. Infeksi Virus

Human Papiloma Virus (HPV) , terdapat sejumlah bukti yang

menunjukkan HPV sebagai penyebab neoplasia servikal. Hubungan infeksi

HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan

displasia ringan atau sedang. Selain itu, infeksi virus herpes simpleks

(HSV-2) dan virus papiloma atu virus kondiloma akuinata juga diduga

sebagai faktor penyebab kanker serviks (Rasjidi, 2008).

2.3.5. Stadium Kanker Serviks

Stadium yang dipakai adalah stadium klinik menurut The

International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) (Rasjidi,

2008).

2.3.5.1. Stadium 0

Stadium ini disebut juga “Carsinoma-in-situ” yang berarti “kanker

yang berada ditempatnya”, belum menyerang bagian lain. Pada stadium

ini, perubahan sel yang tidak wajar hanya ditemukan pada permukaan

serviks. Ini termasuk kondisi pra kanker yang bisa diobati dengan

tingkat kesembuhan mendekati

100%. Tetapi kalau dibiarkan, pada beberapa wanita pra-kanker ini bisa

berkembang menjadi kanker setelah beberapa tahun. Carsinoma-in-situ

dapat ditemukan melalui tes pap smear, dan disembuhkan dengan

mengambil daerah permukaan serviks yang sel-selnya mengalami

perubahan tidak wajar.


2.3.5.2. Stadium 1

Stadium 1 berarti bahwa kanker baru berada di leher rahim. Stadium

ini dibagi menjadi dua yaitu, Stadium 1A dan Stadium 1B. Saat ini,

Stadium 1A dan 1B keduanya juga dibagi menjadi dua bagian lagi

yaitu, Stadium 1A1 dan Stadium 1A2, Stadium 1B1 dan Stadium 1B2.

Pada stadium 1A, pertumbuhannya begitu kecil sehingga kanker

hanya bisa dilihat dengan sebuah mikroskop atau kolposkop. Pada Stadium

1A1, kanker telah tunbuh kurang dari 3 mm ke dalam jaringan serviks, dan

lebarnya kurang dari 7 mm. Pada Stadium 1A2, kanker telah tumbuh antar

3 sampai 5 mm ke dalam jaringan-jaringan serviks, tetapi lebarnya masih

kurang dari 7 mm.

Pada Stadium 1B, area kanker lebih luas, tetapi kanker masih berada

dalam jaringan serviks dan biasanya masih belum menyebar. Kanker ini

biasanya bisa dilihat tanpa menggunakan mikroskop, tetapi tidak selalu

demikian. Pada Stadium

1B1, kanker tidaklebih besar dari 4 cm. Pada Stadium 1B2, kanker

lebih besar dari 4 cm (ukuran horizontal).

2.3.5.3. Stadium 2

Pada Stadium 2, kanker mulai menyebar keluar dari leher rahim

menuju ke jaringan-jaringan di sekitarnya. Tetapi kanker masih belum

tumbuh ke dalam otot- otot atau ligamen dinding panggul, atau menuju ke

vagina bagian bawah. Stadium 2 dibagi menjadi, Stadium 2A dan Stadium

2B.
Pada Stadium 2A kanker telah menyebar ke vagina bagian atas.

Stadium 2A dibagi lagi menjadi Stadium 2A1 dan Stadium 2A2. Pada

Stadium 2A1 kanker berukuran 4 cm atau kurang. Pada Stadium 2A2

kanker bukuran lebih dari 4 cm. Pada Stadium 2B ada penyebaran ke dalam

jaringan di sekitar serviks.

2.3.5.4. Stadium 3

Pada Stadium 3, kanker serviks telah menyebar jauh dari serviks

menuju ke dalam struktur di sekitar daerah panggul. Kanker mungkin telah

tumbuh ke dalam vagina bagian bawah dan otot-otot serta ligamen yang

melapisi dinding panggul, dan kemungkinan kanker telang tumbuh

memblokir saluran kencing. Stadium ini dibagi menjadi Stadium 3A dan

Stadium 3B.

Pada Stadium 3A, kanker telah menyebar ke sepertiga bagian bawah

dari vagina tetapi masih belum ke dinding panggul. Pada Stadium 3B

kanker telah tumbuh menuju dinding panggul atau memblokir satu atau

kedua saluran pembuangan ginjal.

2.3.5.5. Stadium 4

Kanker serviks Stadium 4 adalah kanker yang paling parah. Kanker

telah menyebar ke organ-organ tubuh di luar serviks dan rahim. Stadium ini

dibagi menjadi 2 yaitu, Stadium 4A dan Stadium 4B. Pada Stadium 4A ,

kanker telah menyebar ke organ-organ seperti kandung kemih dan dubur.

Pada Stadium 4B, kanker telah menyebar ke organ-organ tubuh yang

sangat jauh, misalnya paru- paru.

2.3.6. Penyebaran Kanker Serviks


Penyebaran penyakit ini ada tiga macam, yaitu:

1. Melalui pembuluh limfe (limfogen) menuju ke kelenjar getah

bening lainnya.

2. Melalui pembuluh darah (hematogen)

3. Penyebaran langsung melalui parametrium, korpus uterus,

vagina, kandung kencing dan rektum

Penyebaran jauh melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe

terutama ke paru-paru, kelenjar getah bening, mediastinum dan supra

klavikuler, tulang dan hati. Penyebaran ke paru-paru menimbulkan

gejala batuk, batuk darah (hemoptisis), dan kadang-kadang nyeri dada,

kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula terutama

sebelah kiri (Dalimartha, 1998).

2.3.7. Skrining Kanker Serviks

Kanker Serviks merupakan salah satu kanker yang dapat

disembuhkan bila terdeteksi pada tahap awal. Dengan demikian, deteksi

dini kanker serviks sangat diperlukan. Menurut Arumaniez (2010) ada

beberapa tes yang dapat dilakukan untuk pada deteksi dini kanker serviks,

yaitu sebagai berikut:

2.3.7.1. Pemeriksaan dengan Pap Smear

Pemeriksaan Pap Smear saat ini merupakan suatu keharusan bagi

wanita sebagai sarana pencegahan dan deteksi dini kanker serviks.

Pemeriksaan ini dilaksanakan oleh setiap wanita yang telah menikah


sampai dengan umur kurang lebih 65 tahun bila dalam dua kali

pemeriksaan apusan Pap terakhir negatif dan tidak pernah mempunyai

riwayat hasil pemeriksaan abnormal sebelumnya (Lestadi, 2009).

Pap Test (Pap Smear) merupakan pemeriksaan sitologik epitel

porsio dan endoservik uteri untuk penentuan adanya perubahan

praganas maupun ganas di porsio atau serviks uteri. Pap Smear sebagai

upaya menghindari kanker leher rahim bagi wanita usia reproduksi,

pengertian Pap Test (Pap Smear) yaitu suatu pemeriksaan dengan cara

mengusap leher rahim (scrapping) untuk mendapatkan sel-sel leher

rahim kemudian diperiksa sel-selnya, agar dapat diketahui terjadinya

perubahan atau tidak. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan

bahwa Pap Smear yaitu pemeriksaan usapan pada leher rahim untuk

mengetahui adanya perubahan sel-sel yang abnormal yang diperiksa

dibawah mikroskop (Ayurai, 2009).

2.3.7.2. Pemeriksaan dengan IVA Test

Menurut Amrantara (2009), tes visual dengan menggunakan larutan

asam cuka (asam asetat 2%) dan larutan iosium lugol pada leher rahim dan

melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan olesan. Tujuan

dari IVA tes adalah untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia

sebagai salah satu metode skrining kanker leher rahim.

Pemeriksaan IVA adalah pemeriksaan oleh dokter atau bidan /

paramedik terhadap leher rahim yang diberi asam asetat 3-5% secara

inspekulo dengan mata telanjang. Lesi prakanker jaringan ektoserviks


rahim yang diolesi asam asetat (asam cuka) akan berubah warna menjadi

putih (acetowhite). Namun bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai

kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan dan pasien segera dirujuk

ke sarana yang lebih lengkap (Sulistiowati, 2014). Pelaksanaan IVA test

bisa dilakukan di tempat pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pemeriksaan seperti tempat praktek, puskesmas dan rumah sakit, dan

yang melakukannya yaitu perawat terlatih, bidan, dokter umum, dan dokter

spesialis obgyn.

2.3.7.3. Pemeriksaan Kolposkopi

Kolposkopi merupakan sebuah tes tindak lanjut untuk tes Pap

abnormal. Serviks dilihat dengan kaca pembesar, yang dikenal sebagai

kolposkopi, dan dapat mengambil biopsi dari setiap daerah yang tidak

terlihat sehat (Rahayu, 2015: 23).

2.3.7.4. Tes DNA HPV

Sel serviks dapat diuji untuk kehadiran DNA dari Human

papillomaVirus (HPV) melalui tes ini. Tes ini dapat mengidentifikasi

apakah tipe HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks yang hadir

(Rahayu, 2015).

Metode yang sekarang ini sering digunakan diantaranya adalah Tes

Pap dan (IVA). Tes Pap memiliki sensitivitas 51% dan spesifitas 98%,

selain itu pemeriksaan Pap Smear masih memerlukan penunjang

laboratorium sitologi dan dokter ahli patologi yang relatif memerlukan


waktu dan biaya yang besar. Sedangkan IVA memiliki sensitivitas sampai

96% dan spesifitas 97% untuk program yang dilaksanakan oleh tenaga

medis yang terlatih. Hal ini menunjukkan bahwa IVA memiliki

sensitivitas yang hampir sama dengan sitologi serviks sehingga dapat

menjadi metode skrining yang efektif pada negara berkembang seperti

Indonesia (Sulistiowati, 2014).

2.4 Faktor - faktor yang Mempengaruhi Minat Wanita Menikah dalam

Pemeriksaan Kanker Serviks Metode IVA

2.4.1. Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan

domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah di terima. Oleh sebab itu, tahu

ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan

materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau

materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya).

Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguaan hukum-

hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi

lain.

d. Analisis (analisys)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi aatau

suatu objek kedalam komponen-kompenen, tetapi masih didalam struktur

organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini

dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (sintesys)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyususn
formulasin baru dari formulasin-formulasin yang sudah ada. Misalnya

dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan

sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-

penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri

atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2012).

Kurangnya pengetahuan tentang kanker serviks dapat mempengaruhi

perilaku wanita usia subur sehingga gejala-gejala yang dirasakan tidak di

konsultasikan pada tenaga kesehatan dan mengatasinya. pengetahuan

berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan. Bisa juga karena

kebiasaan atau sosial budaya yang sulit dihilangkan sehingga meskipun

mengerti tentang kanker serviks beserta gejala-gejala yang terjadi tetap

tidak mengubah perilakunya menjadi lebih baik. Diartikan bahwa

sebagian besar para wanita usia subur dalam menanggapai perilaku

deteksi dini kanker serviks memiliki perilaku cukup atau melakukan suatu

hal berdasarkan kebiasaannya dalam mengatasi masalah- masalah yang

mungkin terjadi atau dialaminya. Diharapkan perilaku ini dapat

menjadi baik dengan adanya pendekatan-pendekatan dengan wanita usia

subur agar berusaha mengubah kebiasaan buruk menjadi baik dengan

memberikan pengetahuan cukup tentang pentingnya deteksi dini kanker

serviks melalui tanya jawab saat mereka datang untuk berobat ke tempat

pelayanan kesehatan baik di Posyandu ataupun Puskesmas sehingga


perilaku yang kurang dapat ditinggalkan dan perilaku baik yang sudah ada

ditingkatkan menjadi lebih baik (Priyoto, 2014).

Lapau (2012) menyatakan bahwa pengetahuan dikategorikan menjadi

2 yaitu :

1. Tinggi, jika menjawab pertanyaan ≥75% benar menjawab soal

2. Kurang, jika menjawab pertanyaan <75% benar menjawab soal

2.4.2. Sikap

Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia

sosial, serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau

tidak suka individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan

objek. Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk

munculnya suatu tindakan. Fenomena sikap adalah mekanisme mental

yang mengevalusi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan

menentukan kecenderungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu

yang kita hadapi, bahkan terhadap diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan

kita terpenga/ruh oleh ingatan masalalu, oleh apa yang kita ketahui dan

kesan kita terhadap apa yang sedang kita hadapi saat ini (Priyoto, 2014).

Dalam pengukuran sikap ada beberapa macam cara, yang pada garis

besarnya dapat dibedakan secara langsung dan tidak langsung. Secara

langsung yaitu subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana

sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya.

Dalam hal ini dapat dibedakan langsung yang tidak berstruktur dan

langsung berstruktur. Secara langsung yang tidak berstruktur misalnya

mengukur sikap dan survei (misal public option survey). Sedangkan secara
langsung yang berstruktur yaitu pengukuran sikap dengan menggunakan

pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu alat

yang telah ditentukan dan langsung dibedakan kepada subjek yang diteliti

(Arikunto, 2002). Jawaban skor Sikap di kategorikan menjadi positif Jika

skor jawaban ≥ mean / median dan negatif Jika skor jawaban < mean

/median (Azwar, 2010).

2.4.3. Pendidikan

Pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam

bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya. Proses sosial

dimana seseorang dipengaruhi oleh sesuatu lingkungan yang terpimpin

(khususnya di sekolah) sehingga dia dapat mencapai kecakapan sosial dan

mengembangkan kepribadiannya (Good, Carter V, 1977).

Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah menerima

informasi sehingga semakin banyak pula menerima pengetahuan yang

dimilikinya, dan jika tingkat pendidikan rendah, maka menghambat

perkembangan perilaku seseorang terhadap penerimaan informasi, dan

nilai-nilai yang baru diperkenalkan.

Lapau (2012) menyatakan bahwa tingkatan pendidikan adalah:

1. Pendidikan dasar/rendah ( SD-SMP/MTs)

3. Pendidikan Tinggi (SMA, D3/S1)

2.4.4. Dukungan Suami

Dalam penelitian Yuliawati (2012) mengatakan bahwa sebelum

seseorang individu mencari pelayanan kesehatan yang profesional, ia

biasanya mencari nasihat dari keluarga dan teman-temannya. Selanjutnya


Friedman (2008) mengatakan tentang peran keluarga sebagai kelompok

kecil yang terdiri individu- individu yang mempunyai hubungan satu sama

lain, saling tergantung merupakan sebuah lingkungan sosial dimana secara

efektif keluarga memberi perasaan aman, secara ekonomi keluarga

berfungsi untuk mengadakan sumber-sumber ekonomi yang memadai

untuk menunjang proses perawatan, secara sosial keluarga menumbuhkan

rasa percaya diri, memberi umpan balik, membantu memecahkan masalah,

sehingga tampak bahwa peran dari keluarga sangat penting untuk setiap

aspek perawatan kesehatan.

Keberhasilan dan keberlangsungan perilaku sehat sangat

membutuhkan dukungan dari keluarga. Dukungan keluarga khususnya

suami sangat bermakna untuk guna meningkatkan kesehatan wanita.

Dukungan suami dapat memberikan keuntungan emosional atau

berpengaruh pada tingkah laku termasuk dalam melakukan deteksi dini

kanker serviks. Dalam hal ini dukungan suami terbagi dua yaitu mendukung

≥75% benar menjawab soal dan tidak mendukung <75% benar menjawab

soal (Supartiningsih, 2003).

2.4.5. Dukungan Petugas Kesehatan

Menurut WHO (1984) apabila seseorang itu penting untuknya, maka

apa yang ia katakan atau perbuatannya cenderung untuk dicontoh. Orang-

orang yang dianggap penting ini sering disebut kelompok referensi

(reference group) antara lain; guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala

desa dan sebagainya.


Petugas kesehatan (Bidan di Desa) sebagai salah satu orang yang

berpengaruh dan dianggap penting oleh masyarakat sangat berperan dalam

terjadinya perilaku kesehatan pada masyarakat. Peran petugas kesehatan

disini adalah memberikan pengetahuan tentang kanker serviks dan

pentingnya deteksi dini, serta memberikan motivasi kepada wanita yang

sudah menikah untuk melakukan deteksi dini kanker serviks. Faktor dari

tenaga kesehatan itu sebagai pendorong atau penguat dari individu untuk

berperilaku. Hal ini dikarenakan petugas tersebut ahli dibidangnya sehingga

dijadikan tempat untuk bertanya dan pemberi input atau masukan untuk

pemanfaatan pelayanan kesehatan.

2.4.6. Akses Informasi

Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula

pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Hal ini sejalan dengan

pernyataan Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa pengetahuan

dapat diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai sumber

informasi sehingga dapat membentuk suatu keyakinan bagi seseorang.

Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adaah

informasi atau penyuluhan dari orang-orang yang berkompeten seperti

bidan, kader dan tenaga kesehatan lainya.

Menurut Notoatmojo (2003) sumber informasi yang diterima oleh

panca indera untuk kemudian diterima oleh otak dan disusun secara

sistematis karena pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan

terjadi melalui panca indera yakni indera pencium, indera peraba.


Pengukuran akses informasi yang diperoleh tentang pemeriksaan IVA

pada WUS dibagi dua kategori yaitu terpapar (≥75% benar menjawab soal)

dan tidak terpapar informasi(<75% benar menjawab soal). Item akses

informasi antara lain tenaga kesehatan (bidan, dokter, perawat) teman,

keluarga, kader posyandu, media elektronik (televisi, radio, internet), media

cetak (koran, majalah, leaflet, booklet, poster, lembar balik) (Utami, 2014).

2.4.7. Akses Menuju ke Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat harus bersifat

berkesinambungan. Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya

dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan, untuk

berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana

pendukung. Keterjangkauan untuk mencapai tempat layanan kesehatan

tersebut, sangat mendukung seseorang untuk melakukan tindakan

(Azrul Azwar, 1996).

2.4.8. Keterjangkauan Biaya

Biaya pengobatan adalah banyaknya uang yang dikeluarkan

seseorang untuk melakukan pengobatan penyakit yang dideritanya.

Kemampuan masing- masing orang untuk mengeluarkan biaya pengobatan

berbeda, dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi keluarga. Apabila

kemampuan ekonomi keluarga cukup, ada kemungkinan seseorang dapat

mengeluarkan biaya untuk pengobatan penyakitnya. Keluarga dengan


kemapuan ekonomi kurang, kecil kemungkinan mampu menyisihkan uang

untuk biaya pemeriksaan. Mahalnya biaya pemeriksaan IVA juga

mempengaruhi seseorang untuk melakukan pemeriksaan. Biaya

pemeriksaan yang terjangkau oleh semua kalangan ekonomi

masyarakat memungkinkan seseorang untuk melakukan pemeriksaan.

Persepsi seseorang terhadap biaya pengobatan mempengaruhi

skeikutsertaan dalam melaksanakan pemeriksaan IVA secara rutin.

2.4.9. Dukungan Teman

Pola pembentukan perilaku manusia berawal dari terbentuknya

pikiran yang kemudian dikirim ke otak untuk diproses sebelumnya

kemudian direpresentasikan menjadi sebuah tindakan dan perilaku. Perilaku

yang terus menerus ini berubah menjadi kebiasaan berlanjut menjadi

pembentukan karakter dan sistem keyakinan manusia. Karakter

terbentuknya pikiran dan menguatkan sebuah informasi menjadi system

keyakinan dalam pikiran seseorang adalah apa yang dilihat, didengar dan

dirasakan. Friedman (1998) mengatakan bahwa sebelum seseorang mencari

pelayanan kesehatan, biasanya mencari nasihat dari keluarga atau

teman. Teman adalah orang yang dikenal WUS dan memiliki hubungan

baik dengan orang itu yang ikut memberikan informasi tentang deteksi

dini kanker serviks dengan metode IVA. Peran keluarga / teman sangat

penting dalam aspek perawatan kesehatan yang terdiri dari hubungan

yang erat satu dengan yang lain, saling ketergantungan sebagai bagian

dari lingkungan sosial, memberi perasaan aman, secara sosial

menumbuhkan
Teman adalah orang yang kita kenal dan memiliki hubungan baik

dengan orang itu. Teman dapat menjadi sumber informasi yang

berpengaruh dalam memberikan informasi kepada wanita. Wanita sebagai

makhluk social sangat membutuhkan orang lain/teman dalam interaksi

sesamanya, apalagi dalam hal pemeriksaan IVA, wanita merasa

mempunyai kesamaan yang erat, mempunyai rasa empati antar sesama

wanita sehingga informasi yang diberikan lebih dipercaya. Dalam hal ini

informasi dari teman hendaknya dapat memberi pengetahuan yang benar

tentang deteksi ini kanker serviks, sehingga dapat meningkatkan tindakan

mereka dalam mencegah penyakit kanker serviks tersebut (Sofiana,2014).

2.5. Teori Perilaku Lawrance Green

Teori Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat

kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua

faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor dari luar perilaku. Perilaku

seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan,

sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagian dari orang atau masyarakat yang

bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku

petugas terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat

terbentuknya perilaku (Notoatmodjo, 2012).Ada tiga kelas faktor yang

mempunyai potensi dalam mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang,

yaitu:

2.5.1. Faktor Predisposisi (Predisposing factor)


Faktor predisposisi merupakan faktor yang mempermudah dan

mendasari untuk terjadinya perilaku tertentu, yang termasuk dalam

kelompok faktor predisposisi adalah pengetahuan, sikap, nilai-nilai dan

budaya, kepercayaan tentang dan terhadap perilaku tertentu, serta

beberapa karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, dan tingkat

pendidikan. Faktor predisposisi (Predisposing factor) terwujud dalam:

2.5.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensor

khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku

terbuka (over behaviour) (Fitriani. 2012).

2.5.1.2. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau

obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya

tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu

dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas menunjukkan

adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu (Fitriani. 2012).

2.5.1.3. Nilai-nilai

Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang

sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang lebih melekat pada diri seseorang

(Fitriani. 2012).

2.5.1.4. Kepercayaan
Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan

tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit

yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya (Fitriani. 2012).

2.5.1.5. Persepsi

Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu

terhadap stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh

organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan

merupakan respon yang menyeluruh dalam diri individu, oleh karena itu

dalam penginderaan akan menghubungkan dengan stimulus, sedangkan

dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek (Fitriani. 2012).

2.5.2. Faktor Pemungkin (Enabling factor)

Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bisa

sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan

perilaku dan perubahan lingkungan yang baik. Faktor pemungkin juga

merupakan faktor yang memungkinkan untuk terjadinya perilaku

tertentu, yang termasuk dalam kelompok faktor pemungkin meliputi

ketersediaan pelayanan kesehatan, serta ketercapaian pelayanan kesehatan

baik dari segi jarak maupun segi biaya dan sosial. Faktor pemungkin

mencakup berbagai ketrampilan dan sumber daya yang ada untuk

melakukan perilaku kesehatan. Faktor pendukung (enabling factor)

mencakup ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas. Sarana dan

fasilitas ini hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya


suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor

pemungkin (Notoatmodjo, 2005).

2.5.3. Faktor Penguat (Reinforching factor)

Faktor penguat merupakan faktor-faktor yang memperkuat atau justru

memperlunak untuk terjadinya perilaku tertentu. Sumber penguat

bergantung dari jenis program. Penguat bisa positif maupun negatif

bergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan dan sebagian

diantaranya lebih kuat dari pada yang lain dalam mempengaruhi perilaku.

Dalam hal ini yang termasuk dalam faktor penguat meliputi pendapat,

dukungan, kritik baik dari keluarga, teman, lingkungan bahkan dari

petugas kesehatan itu sendiri. Faktor-faktor pendorong merupakan

penguat terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau

berperilaku. Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan

memberikan memotivasi, sebaliknya hukuman dan pandangan negatif

sesorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku

(Notoatmodjo, 2005).

JENIS DAN DESAIN PENELITIAN :

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis

penelitian kuantitatif dengan metode survei yang menggunakan pendekatan

cross sectional yaitu jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya

dilakukan hanya satu kali, pada satu saat yang bersamaan (Sastroasmoro,

2011).
POPULASI DAN SAMPEL :

Populasi

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 84 responden WUS yang

sudah menikah.

Sampel

Sampel penelitian ini adalah sebagian atau wakil populasi yang

diteliti yang memenuhi kriteria. Teknik sampling yang digunakan adalah

total Sampling dimana semua populasi dijadikan sampel berjumlah 84

responden.

Kriteria Sampel

1. Kriteria Inklusi

a. Wanita Usia Subur (WUS) usia 15-35 tahun dan bertempat di desa

Pesaguan

b. Wanita Usia Subur (WUS) usia 15-35 tahun yang sudah menikah dan

bersedia menjadi responden.

2. Kriteria Eksklusi

a. Wanita Usia Subur (WUS) yang didiagnosa kanker serviks.

b. WanitaUsia Subur (WUS) usia 15-35 tahun yang sudah menikah dan

tidak bersedia untuk menjadi responden.

VARIABEL :

1. Independen :
a. Pengetahuan

b. Sikap

c. Dukungan Suami

d. Akses Informasi

2. Dependen : Minat wanita menikah dalam pemeriksaan kanker

DEFENISI OPERASIONAL:

No Variabel Definisi Operasional Alat Skala Hasil Ukur


Ukur
1 Variabel Kecenderungan wanita Kuesion Nomina 0. Minat tinggi: jika WUS
terikat: menikah untuk er l berminat melakukan
Minat wanita melakukan suatu pemeriksaan kanker serviks
menikah aktivitas tertentu metode IVA
dalam pemeriksaan kanker 1. Minat rendah: jika WUS
pemeriksaan serviks metode IVA tidak berminat melakukan
kanker pemeriksaan kanker serviks
serviks metode IVA
metode IVA (Depkes RI, 2007).

2 Variabel Pemahaman atau segala Kuesion Ordinal 0. Tinggi (≥75% benar


Bebas: sesuatu tentang deteksi er menjawab soal)
Pengetahuan dini kanker serviks 1. Kurang (<75% menjawab
dengan metode IVA soal)
baik definisi, gejala, (Lapau, 2012)
faktor resiko, penyebab,
pemeriksaan,
pencegahan, manfaat
pemeriksaan, kapan
dilakukan, tempat
pelayanan yang
dikunjungi oleh
responden
3 Variabel Pernyataan diri Kuesion Nomina 0. Positif jika nilai ≥ mean
Bebas: Sikap responden er l (31)
terhadap tindakan 1. Negatif jika < mean (31)
deteksi dini kanker (Azwar, 2010)
serviks dengan metode
IVA
4 Variabel Pencapaian pendidikan Kuesion Ordinal 0. Pendidikan Tinggi (SMA,
Bebas: formal yang ditamatan er D3/S1)
Pendidikan oleh responden 1. Pendidikan dasar/rendah
(SD-SMP/MTs)
(Lapau, 2012)
5 Variabel Dorongan moril maupun Kuesion Nomina 0. Mendukung (≥75% benar
Bebas: materiil yang bersifat er l menjawab soal)
Dukungan positif dari suami 1. Tidak mendukung (<75%
Suami sehingga responden menjawab soal)
mau melaksanakan (Supartiningsih, 2003)
pemeriksaan kanker
serviks
dengan metode IVA
6 Variabel Adanya informasi Kuesion Ordinal 0. Terpapar (≥75% benar
Bebas: tentang pemeriksaan er menjawab soal)
Akses kanker serviks dengan 1. Tidak terpapar (<75%
informasi metode IVA yang menjawab soal)
pernah diterima oleh (Utami, 2014)
responden

INSTRUMEN PENELITIAN :

Instrumen penelitian atau alat yang digunakan untuk mengumpulkan

data dalam penelitian ini adalah kuesioner. Peneliti menggunakan

instrumen yang berisi sejumlah pertanyan yang jawabannya telah

disediakan oleh peneliti. Kuesioner penelitian ini meliputi pertanyaan -

pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan sebanyak 13

pertanyaan, sikap sebanyak 13 pertanyaan, pendidikan sebanyak 1

pertanyaan, dukungan suami sebanyak 12 pertanyaan, dan akses informasi

sebanyak 10 pertanyaan.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA :

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

Tahap Pra Penelitian

Tahap pra penelitian adalah kegiatan yang dilakukan sebelum penelitian itu

sendiri dilakukan. Kegiatan pra penelitian dalam penelitian ini adalah:

1. Koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini

tentang tujuan dan prosedur penelitian.


2. Melakukan survey pendahuluan dilokasi tempat penelitian.

3. Menentukan sampel penelitian.

4. Mempersiapkan perlengkapan lainnya.

Tahap Penelitian

Tahap penelitian adalah kegiatan yang dilakukan pada saat

penelitian tersebut berlangsung. Kegiatan tersebut diantaranya adalah:

1. Pemberian instrumen pada narasumber yang memenuhi kriteria penelitian.

2. Dokumentasi kegiatan selama penelitian.

Tahap Pasca Penelitian

Tahap pasca penelitian merupakan langkah yang dilakukan pada saat

penelitian telah selesai dilakukan. Langkah ini meliputi:

1. Pencatatan hasil penelitian.

2. Analisis data.

3. Penarikan kesimpulan.

METODE PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA :

Pengolahan Data

Dalam melakukan analisis data terlebih dahulu diolah menjadi

informasi pengolahan data menggunakan sistem komputerisasi dengan tahap

sebagai berikut:

1. Editing
Editing adalah kegiatan untuk memeriksa kembali dan memperbaiki

isian. Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya kesalahan

data yang telah dikumpulkan dan untuk memastikan bahwa tidak ada data

yang kosong (Notoatmodjo, 2010).

2. Coding

Coding adalah kegiatan mengubah data informasi responden menjadi

angka untuk memudahkan perhitungan ( Notoatmodjo, 2010 ).

3. Scoring

Scoring merupakan pemberian skor kepada setiap item yang perlu

diberi skor ( Arikunto, 2007 ). Scoring pada penelitian ini dapat ditentukan

setelah responden memilih gambar pada instrument berupa skala

pendeskripsi verbal ( Verbal Descriptor scale ), VDS (Andarmoyo, 2013).

4. Tabulating

Tabulating adalah pembutan tabel untuk mengisi data yang telah

dirubah menjadi angka ( kode ) (Notoatmodjo, 2010). Tabulasi dalam

penelitian ini membuat table karakteristik responden. Hasil perhitungan

kuesioner kemudian dipresentase dan dikualitaskan menggunakan skala

kualitatif (Sugiyono, 2009).

Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan untuk menganalisis

tiap variabel satu persatu ( Arikunto, 2010 ). Analisis univariat

digunakan untuk mendiskripsikan variabel pengetahuan, pendidikan,


dukungan suami, dukungan petugas kesehatan, sosial ekonomi,

keterpaparan informasi/ media massa terhadap pemeriksaan kanker serviks

disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan atau

korelasi setiap variabel independen dan dependen. Analisis ini

dapat dilakukan dengan pengujian statistik Chi Square. Uji hipotesis Chi

Square ini dilakukan untuk menguji hipotesis asosiasi/komparasi kelompok

sampel tidak berpasangan pada 2 kelompok sampel atau lebih dari 2

kelompok sampel dengan skala pengukuran variabel kategorik. Dalam

melakukan uji Chi Square ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Aturan

yang berlaku untuk interpretasi uji Chi-Square pada analisis

menggunakan SPSS adalah sebagai berikut (Sopiyudin Dahlan, 2011):

1. Jika pada tabel silang 2x2 dijumpai Expected Count kurang dari lebih

dari 20% jumlah sel, maka uji hipotesis yang digunakan adalah uji

alternatif Chi Square, yaitu uji Fisher. Hasil yang dibaca pada bagian

Fisher’s Exact Test. Namun jika terjadi pada tabel selain 2x2 atau

2xK maka dilakukan penggabungan sel, kemudian kembali ulangi

analisis dengan uji Chi-Square.

2. Jika pada tabel silang 2x2 tidak dijumpai Expected Count kurang

dari 5 atau dijumpai tetapi tidak lebih dari 20% jumlah sel, maka

uji hipotesis yang digunakan adalah uji Chi-Square. Hasil yang

dibaca pada bagian Continuity Correction.


3. Jika tabel silang selain 2x2 tidak dijumpai Expected Count kurang

dari 5 atau dijumpai tetapi tidak lebih dari 20% jumlah sel, maka

uji hipotesis yang digunakan adalah uji Chi-Square. Hasil yang

dibaca pada bagian Pearson Chi-Square.

4. Dasar pengambilan keputusan yang dipakai adalah berdasarkan

probabilitas. Jika ρ value < 0,05 maka Ho ditolak. Ini berarti

kedua variabel “ada hubungan”. Telah tetapi jika Ho diterima, yaitu

jika ρ value > 0,05 ini berarti kedua variabel “tidak ada hubungan”.

Sedangkan untuk mengetahui besarnya hubungan antara variabel bebas

dengan terikat, maka dipakai koefisien korelasi.

REFERENSI :

Adi D. Tilong. (2012). Bebas dari Ancaman Kanker Serviks. Flashbook. Jogjakarta
Ahmad Kholid. (2012). Promosi Kesehatan. Jakarta : Rajawali Pers.
Amrantara. (2009). Pembunuh Ganas Itu Bernama Kanker Servik. Yogyakarta : Sinar
Kejora
Arifah, Siti. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasangan Usia Subur
(PUS) Tentang Kanker Serviks Dengan Pemanfaatan Pelayanan
Tes IVA Di Puskesmas Sangkrah Surakarta. Surakarta: Universitas
sebelas Maret.
Arifatulul. (2013). Infeksi Human Papilloma Virus. Jakarta: Badan penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Arikunto, Suharsimi. (2012). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Arumaniez. (2010). Human Papilloma Virus (HPV) Penyebab Kanker Serviks. Jakarta :
EGC
Ayurai. (2009). Aborsi dengan sikap remaja luntas. EGC. Jakarta.
Azwar,azrul. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Bina Rupa. Aksara.
Chaplin, J. P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. penerjemah : Kartini Kartono.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Dahlan, Sopiyudin., (2011). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 5. Jakarta,
Salemba Medika
Dalimartha, S. (1999). Panduan Lengkap Mengenal Kanker : Serviks, Payudara.
Jakarta : EGC
Depkes RI. (2007). Seri PHBS. Jakarta: Departemen kesehatan RI.
Depkes RI. (2008). Seri PHBS. Jakarta: Departemen kesehatan RI.
Depkes RI. (2009). Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kanker. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta
Depkes RI. (2010). Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kanker. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta
Dewi, Lutfina. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi WUS dalam Deteksi
Dini Kanker Serviks Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Hulu
Pontianak Timur Tahun 2014. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Elkanah,Omeng et al. (2016). Developing a Comprehensive Approach to Cervix
Cancer in Africa: Is It Possible?. Conference Paper
Emilia Ova, Hananta I Putu Y, Kusumanto Dhanu, Freitag Harry. (2012). Vitamin
yang Penting Untuk Mencegah Kanker Dalam Buku Bebas
Ancaman Kanker Serviks. Jakarta : MedPress. Hal 73-93.
Eysenck, H.J. & Wilson, G.D. (2002). Know Your Own Personality. Anglesburg :
Pelican.
Fitriani. S. (2011). Promosi Kesehatan. Ed 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Friedman, M. Marilyn. (1998). Keperawatan Keluarga :Teori dan Praktik. Jakarta. :
EGC.
Good, Carter V. (1977). Dasar Konsep Pendidikan. Jakarta: Alfabet
Gustiana, Dwikha, dkk. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku
Pencegahan Kanker Serviks Pada Wanita Usia Subur. JOM
PSIK. Vol. 1. No 2. Oktober 2014. hlm. 1-8.
Handoyo, S., (2001), Stress pada Masyarakat Surabaya, Jurnal Insan Media. Psikologi 3
Hurlock, E.B. (1996). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang. Rentang
Kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayati & Soedjarwo. Edisi Kelima.
Jakarta:
International Agency for Research on Cancer (IARC) / WHO. (2014).
GLOBOCAN 2012: Estimated cancer incidence, mortality, and
prevalence world wide in 2012.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
Jakarta: Badan Litbang Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Buletin Jendela Data & informasi kesehatan,
semester 1, 2015. Jakarta
Khosidah, Amik dkk. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu Rumah
Tangga Dalam Melakukan Tes IVA Sebagai Upaya Deteksi Dini
Kanker Serviks. Jurnal Ilmiah Kebidanan. Vol 6. No 2.
Desember 2015. Hlm 94-105.
Kumalasari. (2012). Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Rineka Cipta
Lapau, Prof.Dr.Buchari,dr.MPH. (2012). Metode Penelitian Kesehatan Metode
Ilmiah Penulisan Skripsi, Tesis, dan disertai Pedoman bagi
Mahasiswa S-1, S-2 dan S-3. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Lestadi, L. (2009). Sitologi Pap Smear. Jakarta: EGC.
Lestari, Sri. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan, Pengetahuan dan Sikap Ibu
Rumah Tangga dengan Perilaku Deteksi Dini Kanker Serviks
Metode IVA di Puskesmas Jaten II Kabupaten Karanganyar.
Surakrta: Universitas Sebelas Maret.Lapau, Buchari. (2012).
Metode Penelitian Kesehatan Metode Ilmiah Penulisan Skripsi,
Tesis, dan disertai Pedoman bagi Mahasiswa S-1, S-2 dan S-3.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Maharani, Sabrina. (2009). Mengenal 13 Jenis Kanker Dan Pengobatannya.
Jogjakarta: Katahati
Musa, Muhammad dan Titi Nurfitri. (2010). Manusia dan lingkungan. Jakarta:
C.V. Fajar Agung.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan teori dan aplikasinya.Jakarta: Rineka
Cipta.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka. Cipta.
Notoatmodjo, S. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nugroho,U dan Utami B.I .(2014). Masalah Kesehatan Reproduksi Wanita.
Yogyakarta : Nuha Medika
Nursalam. (2010). Konsep dan penerapan metodelogi penelitian ilmu
keperawatan. Jakarta: Salemba medika.
Nurana, Laila. (2008). Skrinning Kanker Serviks Dengan Metode IVA. Jurnal
Dunia Kedokteran.
Nurmadina. (2016). Anaisis Faktor-faktor Televisi dan Interaksi Reference Group
terhadap Minat Bertransaksi. Secara Online. Skripsi.
Palimbo, Adriana. 2012. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Dengan
Kapatuhan Deteksi Dini Kanker Serviks Pada Wanita Usia Subur
Di Kelurahan Kertak Baru Ilir Rt 07. Artikel Kesehatan. Vol 10. No
10. Desember 2012. Hlm 10-19.
Priyoto. (2014). Teori Sikap dan Perilaku dalam Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Purba, Evi Misrawaty. (2011). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Pemeriksaan Pap Smear pada Pasangan Usia Subur di Puskesmas
Belawan Kota Medan. Skripsi. FKM UI
Purwanto. (2004). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Rahayu, Dedeh sri. (2015). Asuhan Ibu dengan Kanker Serviks. Jakarta: Salemba
Medika.
Rasjidi, Imam. (2008). Manual Prakanker Serviks. Jakarta: CV Sagung Seto
Rina. (2009). Kanker Serviks. Jakarta : Rineka Cipta
Sastroasmoro, Sudigdo. (2011). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Sastroasmoro, dan Sofyan ismael. (2014). Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Jakarta: Sagung seto
Savitri, Astrid, dkk. (2015). Kupas Tuntas Kanker Payudara, Leher Rahim, dan. Rahim.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Supartiningsih. (2003). Peran Ganda Perempuan, sebuah analisis filosofis kritis,


Vol.33, No.1, (http://jurnal.fisafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/
view File/29/25. Diakses 5 Januari 2020
Tiara, Hanggayasti Putri. 2013. Tingkat Pengetahuan Ibu Wanita Usia
Subur Tentang Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di
Desa Jatimulyo Kecamatan Mantingan Kaupaten Ngawi. Karya
Tulis Ilmiah. STIKES Kusuma Husada Surakarta.
Sarini, Ni Ketut Manik. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan
Pemeriksaan Papsmear Pada Pada Wanita Usia Subur Di Desa
Pacung Wilayah Kerja Puskesmas Tejakula II Kecamatan
Tejakula Kabupaten Kabupaten Buleleng Bali Tahun 2011. Skripsi.
Jakarta : FKM UI.
Sofiana, Nurcahyati. 2014. Faktor yang Berhubungan dengan Pencegahan
Kanker Serviks Pada Wanita Usia Subur. Artikel Kesehatan. Vol. 1
No. 2.
Sulistiowati, Eva. (2014). Pengetahuan Tentang Faktor Risiko, Perilaku dan
Deteksi Dini Kanker Serviks Dengan Inspeksi Visual Asam Asetat
(IVA) Pada Wanita di Kecamatan Bogor Tengah. Bogor: Buletin
Penelitian Kesehatan, Vol. 42. No. 3. Hal. 192-202.
Sholihah, Ainin Nur, dkk. 2015. Hubungan Antara Sikap Pencegahan Kanker
Serviks Dengan Minat Deteksi Dini Menggunakan IVA Pada WUS
di Desa Mojolaban Sukoharjo. Artikel Ilmiah. Vol 20. No.1
Wahyuni S. (2013). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Deteksi Dini
Kanker Serviks Di Kecamatan Ngampel kabupaten Kendal Jawa
Tengah. Jurnal Keperawatan Maternitas, 1 (1), Mei 2013: 55-60.
Witherington,H.C. (1999). Psikologi Pendidikan. Jakarta:Aksara Baru
World Health Organization. (2013). WHO classification of tumours. Ed 4th.
IARC.
Wulandari, S.A. (2013). Faktor – factor penyebab Serviks Di RSUD Soreang Kabupaten
Bandung tahun 2010-2012. Skripsi
Yuliawati. (2012). Faktor-faktor yang Mempengaruhi WUS Dalam Deteksi Dini
Kanker Serviks Di Wilayah Puskesmas Prambun. Diakses 01
November 2019 dari http://repository.ui.ac.id

Anda mungkin juga menyukai