Anda di halaman 1dari 21

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1

BLOK EMERGENCY (SP)


“Bayiku Kembung”

Nama : Ni Wayan Paramitha Putri


NIM : 019.06.0071
Kelompok : Semester Pendek / Kelompok 2
Modul : Blok Emergency
Tutor : dr. Nadira Yumna, S. Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 1 dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 1 meliputi seven jumps step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi.
Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai
pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Nadira Yumna, S. Ked sebagai dosen fasilitator SGD 2 yang senantiasa
memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami dalam
berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun
makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 28 Maret 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario
Seorang bayi perempuan berumur 5 bulan dibawa ibunya ke UGD dengan
keluhan sejak satu hari yang lalu BAB berlendir bercampur darah tanpa feses
sebanyak tiga kali dan muntah berwarna hijau lima kali. Anak rewel dan sering
menangis mengangkat kaki, tidak mau makan dan minum, serta badan panas. Hasil
pemeriksaan fisik keadaan tampak sakit sedang, tekaran darah 100/60 mmHg,
frekuensi nadi 150x/menit, frekuensi nafas 36x/menit, suhu 39C. Rectal toucher
ditemukan ampula collaps dan tidak ditemukan feses. Darah positif lender current
jelly positif. Pemeriksaan penunjang BNO 3 posisi ditemukan adanya tanda-tanda
step ladder dan herring bone serta air fluid level. USG abdomen ditemukan donut
sign positif.

1.2 Deskripsi Masalah


1. Triage
2. Hirschsprung
3. Intususepsis
4. Volvulus
5. Atresia deodenum
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Triage
Definisi Triage
Triage berasal dari kata Perancis "trier," yang digunakan untuk menggambarkan
proses pemilahan dan organisasi.Triase digunakan dalam komunitas perawatan
kesehatan untuk mengkategorikan pasien berdasarkan tingkat keparahan cedera
mereka dan, dengan perluasan, urutan di mana beberapa pasien memerlukan
perawatan dan pemantauan. Sejarah triase darurat berasal dari militer untuk dokter
lapangan. Pada awal abad ke-18, dokumentasi menunjukkan bagaimana ahli bedah
lapangan akan dengan cepat memeriksa tentara dan menentukan apakah ada yang
bisa mereka lakukan untuk prajurit yang terluka. Ahli bedah militer Prancis Baron
Dominique Jean Larrey, kepala ahli bedah di pengawal kekaisaran Napoleon
Bonaparte, mengembangkan sistem berdasarkan kebutuhan untuk mengevaluasi
dan mengkategorikan tentara yang terluka dengan cepat selama pertempuran
(Habib et al., 2016).

Klasifikasi Triage
Berdasarkan lokasi, triage dapat dibagi menjadi 3 yaitu primary, secondary
dan tertiary triage. Primary triage adalah triage tahap pertama yang bertujuan
untuk mengurutkan prioritas untuk penanganan di lokasi kejadian dan mengirim
pasien ke rumah sakit. Secondary triage adalah triage tahap kedua yang dilakukan
untuk memilah prioritas dalam menangani pasien yang datang ke emergency
department (ED). Selain itu, secondary triage juga dapat bertujuan untuk
menentukan siapa pasien yang dapat diterima pada suatu rumah sakit karena
mungkin ada pasien yang harus mendapatkan perawatan lebih intensif di rumah
sakit dengan tipe yang lebih baik. Tertiary triage adalah triage tahap ketiga yang
dilakukan untuk menentukan pasien dalam mendapatkan penanganan definitive
atau critical care. Triage tahap ini dilakukan pada saat pasien keluar dari emergency
room menuju intensive care unit atau OR (Christian, 2019).
Berbeda dengan pendapat Christian, Verawati (2019) menjelaskan bahwa
terdapat dua jenis triage berdasarkan lokasina, yaitu pre-hospital dan post hospital.
Triage pre-hospital merupakan tindakan penyelamatan pasien yang sedang
megalami gangguan medis maupun trauma pada massa yang banyak dengan lokasi
yang luas. Triage ini umumnya dilakukan saat bencana alam, kepanikan massal,
terorisme dan peperangan. Triage post-hospital atau triage pada rumah sakit
bertujuan untuk menetapkan kondisi yang paling mengancam nyawa agar dapat
mengerahkan segala daya upaya dan fokus untuk melakukan pertolongan medis
hingga semua parameter hemodinamik pasien terkendali. Konsep triage setiap
rumah sakit berbeda dan bergantung dari kebijakan dan kebiasaan petugas
kesehatan.
Klasifikasi triage menurut tingkatan prioritas dapat digambarkan dengan
warna label yang diberikan kepada pasien. Secara umum, terdapat 4 warna yang
dijadikan indikator prioritas penanganan, yaitu:
1. Merah.
Label ini menunjukkan pasien dalam keadaan mengancam jiwa dan mengalami
masalah ABC sehingga diperlukan tindakan secepat dan setepat mungkin.
2. Kuning.
Label ini menunjukkan keadaan pasien berpotensi mengancam nyawa maupun
fungsi vital. Penanganan dapat ditunda sementara waktu apabila terdapat
pasien dengan label merah.
3. Hijau.
Label ini menunjukkan keadaan pasien dapat ditangani dengan pelayanan biasa
dan tidak perlu segera. Penanganan pasien berlabel hijau akan ditunda apabila
terdapat pasien dengan label kuning dan merah.
4. Hitam.
Label ini menunjukkan keadaan pasien memiliki kemungkinan sangat kecil
untuk diselamatkan dengan penanganan karena telah memiliki gejala henti
jantung seperti nadi tidak teraba, tekanan darah sulit didapatkan dan apnea atau
tidak bernapas.
Alur Triage
Sistem triase yang paling umum di Amerika Serikat adalah sistem triase
START (simple triage and rapid treatment). Triage pre-hospital dan post hospital
juga dapat menggunakan START sebagai alur rujukan pasien. Algoritma ini
digunakan untuk pasien di atas usia 8 tahun. Dengan menggunakan algoritme ini,
status triase dimaksudkan untuk dihitung dalam waktu kurang dari 60 detik.
Berbagai kriteria dipertimbangkan, termasuk denyut nadi pasien, laju pernapasan,
waktu pengisian kapiler, adanya perdarahan, dan kemampuan pasien untuk
mengikuti perintah. Untuk anak-anak, algoritma triase yang umum digunakan
adalah sistem triase Jump-START (triase sederhana dan perawatan cepat).
Algoritma ini didasarkan pada algoritma triase START yang telah dibahas
sebelumnya. Namun, ini mempertimbangkan peningkatan kemungkinan anak-anak
mengalami gagal napas dan ketidakmampuan mereka untuk mengikuti perintah
verbal.

Algoritme lain dari triase disebut triase SALT atau sortir, assessment, life-
saving intervensi, dan treatment/transport. Ini mirip dengan sistem triase START
karena meminta individu yang dapat berjalan ke area perawatan tertentu yang
ditandai untuk cedera ringan. Setelah itu, individu yang tidak mampu ambulasi
diminta untuk melambaikan tangan untuk mengidentifikasi diri.Ini memungkinkan
penyedia untuk menilai siapa yang bisa mengikuti perintah dan berjalan, siapa yang
bisa mengikuti perintah tapi tidak bisa ambulasi, dan siapa yang tidak bisa
mengikuti perintah dan melambaikan tangan. Orang-orang yang tidak melambaikan
tangan diurus terlebih dahulu karena kemungkinan besar mereka membutuhkan
perhatian medis segera, kemudian orang-orang yang melambaikan tangan,
kemudian mereka yang mampu ambulasi ke area perawatan yang ditentukan.
Individu yang terkena dapat dibagi menjadi satu dari lima kategori berdasarkan
penilaian awal ini; segera, hamil, tertunda, minimal, atau meninggal.

2.2 Hirschsprung
Definisi
Penyakit Hirschsprung (HSCR) adalah kelainan motilitas bawaan bawaan
yang paling umum dan ditandai dengan tidak adanya sel ganglion (aganglionosis)
di pleksus mienterik dan submukosa dari usus bagian distal. Diperkirakan timbul
dari kegagalan kolonisasi usus distal oleh prekursor sistem saraf enterik (ENS)
selama perkembangan embrionik. Tidak adanya sel ganglion mengganggu ekspresi
saraf parasimpatis penghambatan di pleksus mienterik dari segmen yang terkena.
Kurangnya aktivitas penghambatan yang normal menghasilkan kontraksi tonik dari
segmen yang terkenan menghasilkan gejala obstruksi dan dilatasi serta hipertrofi
kolon proksimal (Silambi et al., 2020).

Etiologi
Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai
penyebab tersebut yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista
neuralis untuk bermigrasi ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian
bawah termasuk kolon dan rektum. Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis
(aganglion) di daerah tersebut. sehingga menyebabkan peristaltik usus menghilang
sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya
distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal sehingga timbul gejala
obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus yang mengalami
aganglion (Trisnawan & Darmajaya, 2018).

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada
neonatus cukup bulan dengan keterlambatan evakuasi mekonium pertama,
selanjutnya diikuti dengan distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal, mirip
tanda-tanda obstruksi usus setinggi ileum atau lebih distal. Distensi abdomen
merupakan gejala penting lainnya. Distensi abdomen merupakan manifestasi
obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh kelainan lain, seperti atresia
ileum dan Iain-lain. Muntah yang berwarna hijau sering terjadi pada penyakit
hirschsprung. Penyakit hirschsprung dengan komplikasi enterokolitis menampilkan
distensi abdomen, demam dengan disertai diare berupa feses cair bercampur mukus
dan berbau busuk, dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan atau
tengguli (Kemeskes RI, 2017; Silambi et al., 2020).
Patofisiologi
Tidak adanya ganglion meliputi pleksus auerbach yang terletak pada lapisan
otot dan pleksus meissner pada submukosa, mengakibatkan hipertrofi pada serabut
saraf dan terjadinya kenaikan kadar asetilkolinesterase. Enzim ini merupakan
produksi serabut saraf secara spontan dari saraf parasimpatik ganglia otonom dalam
mencegah akumulasi neurotransmiter asetilkolin pada neuromuskular junction.
Ganguan inervasi parasimpatis ini akan menyebabkan incoordinate peristalsis,
sehingga mengganggu propulsi isi usus. Obstruksi yang terjadi secara kronik akan
menyebabkan distensi abdomen yang dapat beresiko terjadinya enterocolitis (Surya
& Dharmajaya, 2018).

Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Polos Abdomen
Penyakit Hirschsprung pada neonatus cenderung menampilkan gambaran
obstruksi usus letak rendah. Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat
ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti
atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya
enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto Pada foto polos abdomen neonatus,
distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada
pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih
jelas dapat terlihat. Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi
usus karena adanya gas.
b. Barium enema
Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan
keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan
muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-
tanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Hal terpenting dalam foto
barium enema adalah terlihatnya zona transisi. Zona transisi mempunyai 3 jenis
gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium enema yaitu Abrupt, Cone,
Funnel. Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto
barium enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga
terlihat gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium
mengisi lumen kolon yang berada dalam keadaan kosong. Pemerikasaan
barium enema tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis
karena adanya resiko perforasi dinding kolon (Trisnawan & Darmajaya, 2018).

Penatalaksanaan
a. Dekompresi
Dekompresi dilakukan bila terdapat perut kembung dan muntah berwarna hijau
dengan pemasangan pipa orogaster/nasogaster dan pipa rektum serta dilakukan
irigasi feces dengan menggunakan NaCl 0.9% 10-20 cc/kgBB, bila irigasi
efektif dapat dilanjutkan sampai cairan yang keluar relatif bersih.
b. Perbaikan keadaan umum
- Resusitasi cairan dan koreksi elektrolit Resusitasi cairan melalui melalui
rehidrasi dilakukan dengan menggunakan cairan isotonik. Koreksi terhadap
gangguan elektrolit diberikan setelah dipastikan fungsi ginjal baik.
- Antibiotik spektrum luas untuk mencegah sepsis.
Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah episode berulang
penyakit hirschsprung tidak terbukti mempunyai dampak yang baik dan
dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi. Antibiotik digunakan
untuk menekan overgrowth dan translokasi bakteri-bakteri di usus ke
pembuluh darah melalui dinding usus. Adanya demam dan lekositosis
dapat menjadi dasar untuk memulai pemberian antibiotik.
- Rehabilitasi nutrisi
Setelah dekompresi berhasil pasien tidak perlu dipuasakan dan dapat segera
mendapat diet per oral sesuai dengan umur pasien
c. Tindakan Bedah
Pada dasarnya penyembuhan penyakit hirschsprung hanya dapat dicapai
dengan pembedahan (rekomendasi A), berupa pengangkatan segmen usus
aganglion, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus (Kemeskes RI, 2017).
2.3 Intususepsis

Definisi
Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam
segmen lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya obstruksi
ataupun strangulasi. Invaginasi sering disebut juga sebagai intususepsi Invaginasi
adalah suatu keadaan gawat darurat akut dibidang ilmu bedah dimana suatu segmen
usus masuk kedalam lumen usus bagian distalnya sehingga dapat menimbulkan
gejala obstruksi dan pada fase lanjut apabila tidak segera dilakukan reposisi dapat
menyebabkan strangulasi usus yang berujung pada perforasi dan peritonitis.
Perjalanan penyakit ini bersifat progresif.

Etiologi
Kasus intususepsi idiopatik seringkali diasumsikan karena peristaltik usus
yang tidak terkoordinasi, atau karena hiperplasia limfoid, yang mungkin terjadi
pada infeksi gastrointestinal. Perbedaan asupan makanan pada bayi, ASI, antibodi
maternal, prevalensi enteropatogen seperti adenovirus dan rotavirus, berkontribusi
pada risiko terjadinya intususepsi.

Patofisiologi
Mayoritas intususepsi pada anak bersifat idiopatik. Intususepsi dianggap
berkaitan dengan peristaltik usus yang tidak terkoordinir atau adanya hiperplasia
limfoid karena diare. Intususepsi juga berhubungan dengan pemberian makanan
pada anak. pemberian makanan pengganti ASI sebelum waktunya menimbulkan
pembengkakan payer patch di ileum terminalis, menyebabkan invaginasi segmen
ileum ke kolon proksimal. Jika segmen ileum masuk ke kolon, terjadi kompresi
pembuluh darah mesenterika, menyebabkan inflamasi dan edema intestinal yang
dapat berujung pada obstruksi usus, gangguan vaskuler, dan bahkan nekrosis usus.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dapat menunjang diagnosis invaginasi.
Leukositosis dapat merupakan indikasi gangren pada proses lanjut. Pemeriksaan
elektrolit diperlukan untuk melihat ketidakseimbangan elektrolit pada kondisi
dehidrasi.
2. Foto Polos Abdomen
Pada lebih dari separuh kasus, diagnosis invaginasi dapat ditunjang melalui
foto polos abdomen. Meskipun demikian, foto polos abdomen ini hanya dapat
menunjukkan adanya obstruksi usus (adanya massa abdominalis, distribusi
udara dan feses yang abnormal, udara di dalam usus yang melebar, gambaran
Herring bone, dan air-fluid level) atau perforasi (gambaran udara bebas).
3. Ultrasonografi (USG)
Pada ultrasonografi, pada gambaran longitudinal dapat ditemukan hayfork
sign atau sandwich sign yang patognomonik, yaitu 3 area hipoekoik yang
terpisahkan oleh area hiperekoik. Tiga area ini menggambarkan segmen usus
yang berdilatasi dan terisi segmen usus lain. Pada beberapa kasus akan terlihat
gambaran pseudokidney yang terbentuk karena intususepsi melengkung dan
mesenterium hanya terlihat pada satu sisi saja. Pada gambaran aksial, terdapat
gambaran hipoekoik melingkar. Area hipoekoik adalah area dinding usus yang
mengalami edema. Sedangkan lapisan di tengah adalah gambaran lapisan
mukosa dan serosa segmen usus yang masuk ke dalam segmen usus lain.
Gambaran ini memiliki beberapa nama, yaitu bulls eye sign, target sign, atau
donut sign
4. Computed Tomography
Invaginasi pada pemeriksaan CT scan tampak sebagai massa intraluminal
dengan lapisan yang karakteristik. Mesipun demikian, pemeriksaan CT scan ini
memiliki risiko terkait dengan pemberian kontras, paparan radiasi, dan sedasi.
5. Pemeriksaan dengan kontras enema (kontras berupa Barium atau Udara)
Pemeriksaan radiologik dengan kontras dapat digunakan untuk diagnostik
sekaligus terapi pada pasien yang stabil. Untuk tujuan diagnostik hanya
dikerjakan jika terdapat keraguan diagnosa. Pada foto terlihat gambaran cupping
dan coil spring. Pemeriksaan maupun terapi dengan enema merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan gejala perforasi atau peritonitis (Mario &
Surya, 2019).
Penatalaksanaan
Perbaikan keadaan umum dikerjakan sebelum melakukan tindakan
pembedahan. Pasien baru boleh dioperasi apabila sudah yakin bahwa perfusi
jaringan telah baik. Pasang sonde lambung (NGT) untuk tujuan dekompresi dan
mencegah aspirasi. Rehidrasi cairan elektrolit dan atasi asidosis bila ada. Berikan
antibiotika profilaksis dan obat sedativa, muscle relaxan, dan atau analgetika bila
diperlukan. Tindakan yang dikerjakan oleh ahli bedah tergantung pada temuan
intra-operasi. Invaginasi sering ditemukan di daerah sekum, pada suatu segmen
ileum terminal yang berkaliber kecil menyusup masuk kedalam sekum yang
berkaliber lebih besar.
Reposisi manual dapat dilakukan dengan cara milking yaitu gerakan seperti
memerah susu dengan tujuan untuk mengeluarkan invaginat. Reseksi usus
dilakukan bila telah terjadi perforasi atau ganggren pada invaginat, kemudian
dilakukan anastomosis bila memungkinkan, bila tidak mungkin dilakukan
“eksteriorisasi” atau ileostomy.

2.4 Volvulus
Definisi
Volvulus merupakan keadaan dimana bagian usus terpuntir oleh usus itu
sendiri yang disebabkan kurang kuatnya fiksasi dinding usus dan menggantung
pada mesenterium. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
cerna, saat terjadi obstruksi dapat menghentikan nutrisi dan oksigen yang masuk ke
usus (Jurnalis et al, 2013). Volvulus bisa terjadi di daerah sigmoid, sekum, fleksura
lien, dan kolon transversum. (M Hasbahceci et al, 2012)
Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus terhadap
usus itu sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dimana mesenterium
itu sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan obstruksi saluran cerna.
Keadaan ini disebabkan karena adanya rotasi gelung usus di sekeliling cabang arteri
mesenterika superior. Normalnya gelung usus primer berotasi 270° berlawanan
dengan arah jarum jam. Akan tetapi kadang-kadang putaran hanya 90° saja. Apabila
hal ini terjadi, kolon dan sekum adalah bagian usus pertama yang kembali dari tali
pusat, dan menempati sisi kiri rongga perut. Gelung usus yang kembali belakangan
makin terletak di kanan, sehingga mengakibatkan kolon letak kiri. Apabila volvulus
mengenai seluruh bagian usus maka keadaan ini disebut volvulus midgut.

Etiologi
Volvulus dikaitkan dengan malrotasi usus, usus besar yang membesar,
mesenterium yang panjang, penyakit Hirschsprung, kehamilan, perlengketan perut,
dan konstipasi kronis. Dalam kebanyakan kasus, volvulus sigmoid adalah kelainan
yang didapat. Volvulus dapat terjadi karena fiksasi mesenterika dorsal yang tidak
lengkap dari usus besar kanan atau sekum atau mesenterium yang memanjang.
Volvulus sigmoid lebih sering terjadi pada individu dengan gangguan
neuropsikiatri, multiple sclerosis, dan penyakit Parkinson. Obat neuroleptik juga
dapat mengganggu motilitas kolon dan dapat memicu volvulus. Pasien panti jompo
yang terbaring di tempat tidur dan mengalami konstipasi kronis memiliki risiko
lebih besar terkena volvulus sigmoid. Insiden volvulus yang lebih tinggi juga
terlihat di antara pasien dengan miopati terkait seperti distrofi otot Duchenne,
miopati visceral. Di negara berkembang, konsumsi diet tinggi serat menyebabkan
kelebihan muatan pada kolon sigmoid, menyebabkannya berputar di sekitar
mesenterium. Demikian pula, penyakit Chagas atau megakolon juga dapat menjadi
predisposisi volvulus sigmoid. Jarang, radang usus buntu atau pembedahan dapat
menyebabkan perlengketan berlebihan yang menyebabkan volvulus (Jurnalis et al.,
2013).

Patofisiologi
Volvulus sigmoid biasanya disebabkan oleh dua mekanisme yaitu sembelit
kronis dan diet tinggi serat. Dalam kedua kasus tersebut, kolon sigmoid menjadi
melebar dan penuh dengan feses, membuatnya rentan terhadap torsi. Arah volvulus
berlawanan arah jarum jam. Dengan serangan torsi berulang kali, terjadi
pemendekan mesenterium akibat peradangan kronis. Selanjutnya, terjadi
perkembangan adhesi yang kemudian menjebak kolon sigmoid menjadi posisi
bengkok yang tetap. Volvulus cecal dapat berupa organoaxial (cecocolic atau true
cecal volvulus) atau mesentericoaxial (cecal bascule). Dalam variasi organoaksial,
kolon asenden dan ileum distal saling memutar searah jarum jam. Namun, pada
subtipe mesenterikoaksial, sekum tidak sepenuhnya terfiksasi dan terletak di
anterior di atas kolon asenden pada sudut kanan ke mesenterium. Karena tidak ada
puntiran pedikel vaskular, kompromi vaskular jarang dikaitkan dengan volvulus.
Berbeda dengan volvulus kolon, volvulus midgut pada anak-anak selalu disebabkan
oleh anomali rotasi usus.

Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos Abdomen.
Foto polos abdomen anterior-posterior dan lateral dapat menunjukan
adanya obstruksi usus, dengan adanya pelebaran loop, dilatasi lambung dan
duodenum, dengan atau tanpa gas usus serta batas antara udara dengan cairan
(air-fluid level ). Foto dengan kontras dapat menunjukan adanya obstruksi,
baik bagian proksimal maupun distal.
b. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ultrasonografi tidak banyak membantu diagnosis volvulus,
namun pada pemeriksaan ini didapatkan cairan intraluminal dan edema di
abdomen. Kemudian, adanya perubahan anatomi arteri dan vena mesenterika
superior dapat terlihat, hal ini menunjukan adanya malrotasi, walaupun tidak
selalu. Gambaran lain yang dapat terlihat pada pemeriksaan USG adalah
gambaran pembuluh darah mesenterika yang mengalami lilitan dapa volvulus
midgut.
c. Upper gastrointestinal (UGI) series
Apabila pemeriksaan USG tidak dapat mendiagnosis malrotasi dengan
volvulus, maka perlu dilakukan pemeriksaan upper gastrointestinal (UGI)
series. Adanya volvulus dapat diindikasikan apabila terdapat gambaran dilatasi
lambung dan duodenum akibat obstruksi setinggi duodenum dan gambaran
klasik “corkscrew” yang merupakan gambaran duodenum dan jejunum
proksimal yang terpelintir di sekitar aksis mesenterika.
Penatalaksanaan
Dalam semua kasus volvulus, pasien perlu diresusitasi sebelum operasi.
Antibiotik spektrum luas juga harus diberikan pada pasien ini sebelum operasi.
Pemantauan vital termasuk pengukuran output urin harus dilakukan secara berkala.
Beberapa dokter juga menganjurkan merawat pasien dalam posisi lateral kiri untuk
menghindari kompresi pada vena cava. Perawatan awal untuk volvulus sigmoid
adalah sigmoidoskopi. Sigmoidoskopi juga dapat membantu menegakkan diagnosis
volvulus sigmoid. Spiral dari mukosa dan kesulitan untuk menegosiasikan ruang
lingkup di luar lokasi obstruksi adalah gambaran klasik dari volvulus sigmoid pada
sigmoidoskopi. Untuk perawatan endoskopik, dilakukan penyisipan endoskop tepat
di bawah tempat torsi dan insuflasi udara. Jika tidak berhasil, ujung endoskopi dapat
digunakan untuk mengikuti mukosa yang bengkok dan mencapai apeks. Hal ini
menyebabkan detorsi dan dekompresi. Untuk mencegah kekambuhan dini, tabung
flatus disimpan di tempat setelah reduksi endoskopik(Octiara et al., 2020).

2.5 Atresia deodenum


Definisi
Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama
dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran
terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung
ke usus. Pada kondisi ini duodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit
sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk
mengalami proses absorbs. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka
kondisi ini disebut dengan duodenal stenosis

Etiologi
Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini
belum diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi
pada neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini
disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan. Pada atresia
duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi. Faktor
risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan
terjadinya anomali ini.
Obstruksi duodenum menyebabkan atresia duodenum, biasanya distal
ampula Vater di bagian kedua duodenum. Selama minggu kedelapan hingga
kesepuluh perkembangan embriologis, kesalahan rekanalisasi duodenum
merupakan penyebab utama atresia duodenum. Pada atresia duodenum, terjadi
obstruksi total pada lumen duodenum. Stenosis duodenum adalah istilah yang
digunakan untuk penyempitan, yang mengakibatkan obstruksi lumen duodenum
yang tidak lengkap. Jaring duodenum adalah penyebab obstruksi duodenum yang
lebih jarang, yang cenderung menyebabkan deformitas windsock dari lumen
duodenum.

Manifestasi Klinis
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan
nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala
dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus
menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonates dengan
atresia duodenal. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung
cairan empedu (biliosa). Muntah neonates akan semakin sering dan progresif
setelah neonates mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada
lokasi obstruksi. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama
kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya
dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus
dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai
gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya
akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih
kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal
(Kemeskes RI, 2017).

Patogenesis
Ada faktor instrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya
atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini
karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir 5
foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh
proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-
10. Atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini
disebabkan karena gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas.
Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan
jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum
bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan perkembangan
duodenum.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum yaitu :
- Pemasangan tube orogastrik untuk mendekompresi lambung
- Memberikan cairan elektrolilt melalui intravena (mengkoreksi dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit).
- Mengatasi sindrom down.
- Pembedahan untuk mengkoreksi kebuntuan duodenum perlu dilakukan namun
tidak darurat. Pembedahan ini tergantung pada sifat abnormalitas. Prosedur
operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi
a. Pre operasi
Penatalaksanaan terdiri dari dekompresi nasogastric dan menyediakan
penggantian cairan dan elektrolik. resusitasi dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan cairan dan abnormalitas elektrolit serta melakukan kompresi
pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan menjaga hidrasi
IV. Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian
besar pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan kecil,
sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi
dan mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus berat badan
lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi. Sebaiknya
pesien dirawat dalam incubator.
b. Post Operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum, pemberian
makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi. Nutrisi parenteral via
central atau perifer dimasukan kateter dapat sangat efektif untuk menjaga
nutrisi waktu yang lama jika transanastomik enteral tidak cukup atau tidak
dapat ditolenrasi oleh tubuh pasien.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada kasus diatas hal
yang harus dilakukan adalah pengambilan keputusan yang cepat dan tanggap untuk
menyelamatkan pasien. Kegawatdaruratan yang terdapat pada kasus di skenario
akan menyebabkan obstruksi usus, pada fase lanjut apabila tidak segera dilakukan
reposisi dapat menyebabkan strangulasi usus yang berujung pada perforasi dan
peritonitis.
DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, J.T. et al. (2019) ‘Manchester Triage System (MTS): A REVIEW’,


Avicenna : Journal of Health Research, 2(2), pp. 82–87.
doi:10.36419/avicenna.v2i2.310.
Fitriyanti, M.Y., Huspa, F.A. and Sodikin, A. (2020) ‘An overview of Dead on
Arrival patients at RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Year 2014-2018’,
Journal of Indonesian Forensic and Legal Medicine, 2(1), pp. 92–98.
Gilboy, Nicki, Paula Tanabe, Debbie A. Travers, Alexander M. Rosenau and David
R. Eitel. 2011. Emergency Severity Index Implementation Handbook Version
5. USA: Agency for Healthcare Research and Quality.
Jurnalis, Y. D., Sayoeti, Y., & Russelly, A. (2013). Malrotasi dan Volvulus pada
Anak. 2(2), 105–110.
Kemeskes RI. (2017). 1–31.
Mario, A., & Surya, E. (2019). Diagnosis dan Tatalaksana Intususepsi. 46(3), 189–
192.
Octiara, D. L., Wahyuni, A., Anestesiologi, B., & Moeloek, R. H. A. (2020).
Manajemen Anestesi pada Pediatri dengan Invaginasi : Sebuah Laporan
Kasus Anesthesia Management in Pediatric with Invagination : A Case
Report. 4, 70–79.
Silambi, A., Setyawati, T., Langitan, A., Program, M. P., & Hospital, U. G. (2020).
hirschsprung disease. 2(1).
Surya, P. A. I. L., & Dharmajaya, I. M. (2018). SYMPTOMS AND DIAGNOSIS OF
HIRSCHSPRUNG ’ S DISEASE. 1–5.
Trisnawan, P., & Darmajaya, M. (2018). PENYAKIT HIRSCPRUNG.

Anda mungkin juga menyukai