Anda di halaman 1dari 68

PERBANDINGAN PENDAPATAN

USAHATANI PADI ORGANIK DAN NON ORGANIK


DI DESA PRINGKASAP KABUPATEN SUBANG

ASFIATIKA HAYUNING ANGGITA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan Pendapatan


Usahatani Padi Organik dan Non Organik di Desa Pringkasap Kabupaten Subang
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2020

Asfiatika Hayuning Anggita


NIM H34160030
ABSTRAK

ASFIATIKA HAYUNING ANGGITA. Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi


Organik dan Non Organik di Desa Pringkasap Kabupaten Subang. Dibimbing oleh
SUPREHATIN.
Pertanian organik sebagai salah satu pertanian alternatif terus berkembang di
Indonesia, termasuk pertanian padi organik. Meskipun demikian, pengembangan
usahatani padi organik tersebut masih menghadapi banyak tantangan seperti minat
berusahatani organik yang masih rendah karena mempertimbangkan apakah usahatani
organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani padi non organik. Penelitian ini
bertujuan menganalisis pendapatan usahatani padi organik dan non organik. Penelitian
ini menggunakan data primer dari 30 petani organik dan non organik di Desa
Pringkasap Kabupaten Subang yang diperoleh dengan menggunakan metode sensus
untuk petani organik dan purposive sampling untuk petani non organik. Metode
analisis yang digunakan adalah analisis struktur biaya, penerimaan, pendapatan, R/C
rasio usahatani sedangkan untuk analisis perbandingan menggunakan uji Mann
Whitney. Hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani padi organik di Desa
Pringkasap lebih menguntungkan dengan total pendapatan lebih tinggi daripada
usahatani padi non organik. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa usahatani padi
organik di Desa Pringkasap lebih efisien biayanya dilihat dari nilai R/C yang lebih
tinggi dari usahatani padi non organik.
Kata kunci: padi organik, pendapatan, Pringkasap, R/C rasio, struktur biaya

ABSTRACT

ASFIATIKA HAYUNING ANGGITA. Comparation of Organic and Non-Organic Rice


Farming Income in Pringkasap Village, Subang. Supervised by SUPREHATIN.
The development of organic farming as alternative farming practices is
gradually increasing in Indonesia, including organic rice farming. However, the
development of organic rice farming still faces many challenges, such as low interest
of farmers in organic farming, considering whether organic farming is more profitable
than non-organic farming. This research aims to analyze the income of organic and
non-organic rice farming. This research uses primary data obtained from 30 organic
and non-organic farmers in Pringkasap Village of Subang Disctrict using the census
method for organic rice farmers and purposive sampling for non-organic rice farmers.
The analytical methods used are the analysis of cost structure, revenue, income, R/C
ratio, while comparison analysis used Mann Whitney test. The results show that
organic rice farming in Pringkasap Village is more profitable with higher total income
than non-organic rice farming. The results also show that organic rice farming in
Pringkasap Village is more efficient in terms of cost-efficiency with higher R/C value
than non-organic rice farming.
Keywords: cost structure, income, organic rice, Pringkasap, R/C ratio
PERBANDINGAN PENDAPATAN
USAHATANI PADI ORGANIK DAN NON ORGANIK
DI DESA PRINGKASAP KABUPATEN SUBANG

ASFIATIKA HAYUNING ANGGITA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT


atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah ini pada pandemic COVID-19. Pada awalnya, dari proses perumusan ide,
penulisan proposal, pengambilan data sampai pemasukan data, mendapatkan
bimbingan intensif dari dosen pembimbing. Namun, sebagai dampak dari pandemic
COVID-19, kebijakan learning from home yang diterapkan IPB sejak pertengahan
Maret 2020 memberikan tantangan dan kesan tersendiri dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis pernah pesimis dan ragu dapat menyelesaikan ini dengan baik dan tepat waktu.
Proses penyelesaian skripsi baik dalam bimbingan dengan dosen, diskusi dengan teman
maupun menelusuri referensi semua harus dilakukan secara daring. Aktivitas
berkunjung ke perpustakaan IPB untuk belajar bersama mahasiswa lainnya menjadi
terhenti.
Alhamdulillah, pada akhirnya saya dapat menjalani proses itu dengan
memperoleh banyak pembelajaran baru. Saya sangat terkesan dengan pengalaman
berharga ini, termasuk pada saat melaksanakan seminar dan ujian skripsi secara daring
dimana keluarga mendampingi secara langsung di rumah.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada
para pihak atas dukungan baik secara moril maupun spritual sehingga penulisan skripsi
ini dapat diselesaikan pada kondisi pandemic ini. Ucapan terima kasih setulus-tulusnya
saya sampaikan kepada:
1. Bapak Dr Suprehatin SP, MAB selaku pembimbing yang telah membimbing sejak
pemilihan topik hingga penyelesaian karya ilmiah ini dengan sabar serta ikhlas
merelakan waktunya untuk melakukan bimbingan secara daring meskipun banyak
ketidaktelitian dan kesalahan yang saya ulang dalam penulisan.
2. Ibu Etriya SP, MM dan Ibu Tursina Andita Putri SE,MSi selaku dosen penguji
yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan karya ilmiah ini.
3. Bapak Dedi Mulyadi selaku pendiri paguyuban Bumi Mandiri, Bapak Kalim
selaku ketua Paguyuban Bumi Mandiri, penyuluh pertanian Kecamatan Pabuaran
dan Kepala Desa Pringkasap beserta jajarannya yang telah memfasilitasi dalam
pengumpulan data.
4. Ayah, ibu dan kakak yang senantiasa memberikan kasih sayang dan nasihat yang
menumbuhkan motivasi untuk segera menyelesaikan penulisan karya ilmiah
dengan baik.
5. Keluarga Departemen Agribisnis baik dosen dan tenaga kependidikan Agribisnis
yang sudah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat, serta telah memfasilitasi
penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun daring.
6. Juliyanti Ritonga, Hanita Kurrotul A’yuni N, Irfan Rahmat F, M F Irvansyah
Sinaga, Febri Tri Rezki, Cahyaningsih dan teman-teman Agribisnis lainnya yang
selalu memberikan dukungan dan semangat meskipun terbatas jarak dan harus
melalui media daring. Usamah N dan M Adji yang selalu siap menerima ajakan
diskusi seputar penulisan karya ilmiah dengan topik yang sama. Ikhtiar Anugrah
H, Anang Ainul Y, Ayu Nabilah, Roseta Afrina A, Nabila Mufti I dan Syifa Fazia,
sahabat sedari SMA, yang senantiasa berusaha memberikan dukungan secara
langsung.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.

Bogor, Juni 2020

Asfiatika Hayuning Anggita


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
Struktur Biaya Usahatani 7
Penerimaan Usahatani 8
Pendapatan Usahatani 9
Efisiensi Usahatani (R/C Rasio) 10
KERANGKA PEMIKIRAN 10
Kerangka Pemikirian Teoritis 10
Konsep Usahatani 10
Konsep Biaya Usahatani 12
Konsep Penerimaan Usahatani 12
Konsep Pendapatan Usahatani 13
Konsep Efisiensi Usahatani (R/C Rasio) 14
Kerangka Operasional 15
METODE PENELITIAN 16
Lokasi dan Waktu Penelitian 16
Jenis dan Sumber Data 17
Metode Pengambilan Sampel 17
Metode Analisis Data 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 23
Keadaan Umum Pertanian Padi Desa Pringkasap 23
Karakteristik Responden 25
HASIL DAN PEMBAHASAN 28
Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Non Organik di Desa Pringkasap
Kabupaten Subang 28
Penerimaan Usahatani Padi Organik dan Non Organik Usahatani Padi Organik dan
Non Organik di Desa Pringkasap Kabupaten Subang 34
Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Non Organik di Desa
Pringkasap Kabupaten Subang 36
SIMPULAN DAN SARAN 40
DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN 44
RIWAYAT HIDUP 56
DAFTAR TABEL

1 Struktur biaya usahatani 18


2 Metode menghitung pendapatan usahatani 19
3 Karakteristik petani dan usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap, Subang 26
4 Struktur biaya usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap perhektar permusim tanam 32
5 Penerimaan usahatani petani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap per hektar per musim tanam 34
6 Pendapatan usahatani padi organik dan non organik di Desa
pringkasap per hektar per musim tanam 36
7 Hasil uji perbedaan usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap (Rp juta/hektar/musim) 38

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran operasional analisis perbandingan pendapatan


usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap, Kabupaten
Subang 16
2 Beras organik Pringkasap 23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata HOK dan upah pada setiap kegiatan usahatani padi organik di
Desa Pringkasap per hektar per musim tanam 44
2 Rata-rata HOK dan upah pada setiap kegiatan usahatani padi non organik
di Desa Pringkasap per hektar per musim tanam 44
3 Rata-rata HOK usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap Subang per hektar per musim tanam 45
4 Jumlah produksi usahatani padi organik yang dijadikan upah TKLK
per hektar per musim tanam 45
5 Jumlah produksi usahatani padi non organik yang dijadikan upah TKLK
per hektar per musim tanam 46
6 Input produksi usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap Subang per hektar per musim tanam 46
7 Statistik deskriptif penerimaan usahatani padi organik dan non organik
di Desa Pringkasap per hektar per musim tanam 47
8 Statistik deskriptif biaya, penerimaan, pendaptan dan R/C Rasio usahatani
padi organik dan non organik di Desa Pringkasap per hektar per musim
tanam 47
9 Hasil uji Mann Whitney 48
10 Dokumentasi penelitian 55
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian organik sebagai salah satu pertanian alternatif terus berkembang di


Indonesia. Menurut IFOAM (2002), pertanian organik merupakan kegiatan usahatani
yang proses produksi (prapanen) sampai pengolahan hasil panennya (pascapanen)
bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa penggunaan bahan kimia
sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang dinilai lebih sehat
dan bergizi (Surdianto et al. 2015). Proses menuju pertanian organik disebut pertanian
semi organik atau dikenal sebagai masa konversi. Pada masa konversi ini petani mulai
mengurangi penggunaan pupuk, obat dan pestisida kimia, serta sebagai gantinya petani
menambah penggunaan pupuk, obat dan pestisida organik untuk memperbaiki kondisi
tanah. Sementara itu, Isnaini (2006) menjelaskan bahwa terdapat dua pemahaman
mengenai pertanian organik yaitu dalam arti luas dan sempit. Pertanian organik dalam
arti sempit, yaitu pertanian yang bebas dari bahan kimia walau hanya sedikit mulai dari
perlakuan untuk mendapatkan benih, penggunaan pupuk, pengendalian hama dan
penyakit hingga perlakuan pasca panen, semua yang digunakan adalah bahan alami.
Pertanian organik dalam arti luas adalah pertanian yang masih memberi toleransi bahan
kimia dalam suatu batasan tertentu, misalnya selain menggunakan pupuk organik tetapi
tetap menggunakan pupuk kimia dalam jumlah yang sedikit.
Sistem pertanian organik di Indonesia pertama kali dikenalkan oleh yayasan
Bina Sarana Bakti (BSB) pada tahun 1984 (Surono 2007 di dalam Rochayati 2015).
BSB merupakan pusat pelatihan pertanian organik yang terletak di Cisarua, Bogor.
Setelah adanya revolusi hijau di masa orde baru yang bertujuan untuk meningkatkan
jumlah ketersediaan pangan, pertanian organik di Indonesia kembali dicanangkan pada
tahun 2001 melalui program “Go Organic 2010” oleh Kementerian Pertanian. Program
go organic 2010 dilaksanakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan
sehat bagi petani, menghasilkan pangan yang cukup, aman dan berkualitas sehingga
dapat meningkatkan kesehatan, daya saing agribisnis. Program ini juga bertujuan
meningkatkan pendapatan petani karena adanya efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan
impressive premium product. Kementrian Pertanian (Kementan) RI menggalakkan
kembali pertanian organik karena pertanian organik dinilai mempunyai manfaat
ekologis yang lebih bagus. Sistem ini mampu memperbaiki mutu lahan yang
terdegradasi akibat penggunaan pupuk non organik secara terus-menurus.1 Adanya
dukungan pemerintah semakin mendorong berkembangnya pertanian organik di
Indonesia. Bahkan pada tahun 2016 untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik, pemerintah membuat program

1
Pemprov Jawa Timur. 2019. Minat pertanian organik meningkat. Tersedia pada
http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/minat-pertanian-organik-meningkat. [internet]. [diakses
pada 12 November 2019]
2

“Pengembangan 1000 Desa Pertanian Organik” guna mencapai kedaulatan pangan2.


Pemerintah memberikan bimbingan teknis petugas pendamping penerapan sistem
pertanian organik untuk mendukung program tersebut. Ketentuan dan persayaratan
pertanian organik diatur pada Permentan Nomor 64 Tahun 2013 dan SNI 6729:2013.
Adanya ketentuan tersebut memunculkan berbagai lembaga sertifikasi organik (LSO).
Berdasarkan data Komite Akreditasi Nasional (KAN) 2020 terdapat sembilan lembaga
sertifikasi organik (LSO) di Indonesia.
Adanya peningkatan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh
penggunaan bahan kimia sintetis dalam pertanian menjadikan pertanian organik
semakin mendapat perhatian, baik di tingkat produsen maupun konsumen (Mayrowani
2012). Tren gaya hidup sehat konsumen yang lebih mementingkan kualitas dibanding
kuantitas mendorong peningkatan permintaan produk pertanian organik. Pertumbuhan
pasar organik di Indoensia sekitar 15-20% (AOI 2016).
Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) tahun 2016
yang diterbitkan Aliansi Organis Indonesia (AOI) total jumlah produsen pertanian
organik tahun 2014 sebanyak 11 189 orang meningkat 56 persen di tahun 2015 menjadi
17 468 orang termasuk petani kecil, perusahaan dan pengolah produk organik. Luasan
area organik juga meningkat sebesar 21.36 persen dari tahun 2014 ke tahun 2015
menjadi 261 147.30 hektar termasuk area pertanian organik, akuakultur (perikanan
darat) dan panen liar yang merupakan hasil kompilasi dari area yang disertifikasi,
dalam proses sertifikasi, sertifikasi PAMOR (penjaminan partisipatif dalam pertanian
organik) dan tanpa sertifikasi (anggota AOI yang dijamin AOI).
Produk pertanian organik yang berkembang di Indonesia diantaranya beras,
sayuran, buah-buahan, kopi, coklat, produk peternakan dan produk olahan. Diantara
produk pertanian tersebut, beras dan sayuran merupakan produk pertanian organik
yang paling banyak di produksi petani skala kecil untuk pasar lokal (Maynowani 2012).
Hasil survei Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) tahun 2015 menunjukan
pasar beras organik di Indonesia masih berfokus di pulau Jawa. Hal ini dikarenakan
potensi pasar dan konsumen potensial di Pulau Jawa lebih besar seperti konsumen di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung.
Permintaan beras organik terus meningkat setiap tahunnya baik di dalam maupun
luar negeri. Menurut Sukayat et al (2016) terdapat peningkatan permintaan beras
organik di Kabupaten Bandung untuk memenuhi pasar domestik dari tahun 2012
hingga tahun 2015. Pada tahun 2012 permintaan beras organik hanya 2 ton dan
meningkat menjadi 10 ton pada tahun 2013/2014 dan kemudian meningkat 100 persen
menjadi 20 ton pada tahun 2015. Selain itu, salah satu distributor beras organik di Kota
Denpasar mengaku kewalahan untuk memenuhi pesanan setiap harinya. Rata-rata
distributor tersebut harus memenuhi permintaan sebanyak 50 kantong beras organik di
salah satu supermarket besar di Kota Denpasar (Tisnawati 2013 dalam Tisnawati

2
Kementan RI. 2016. Penguatan sistem pertanian organik Indonesia menuju berkembangnya desa
pertanian organik & menguasai pasar organik dunia. Tersedia pada:
http://tanamanpangan.pertanian.go.id/index.php/berita/95. [internet]. [diakses pada 12 November
2019]
3

2014). Permintaan beras organik luar negri dibuktikan dengan volume ekspor beras
organik yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 ekspor beras organik
Indonesia hanya 81 ton, namun pada tahun 2018 Kementan RI telah menerbitkan
rekomendasi ekspor 143 ton beras organik. Bahkan menurut Direktur Jendral Tanaman
Pangan (2019), 252 ton beras organik telah direkomendasikan untuk menembus pangsa
pasar luar negeri di bulan Juni 2019.3 Negara sasaran yang menjadi tujuan ekspor beras
organik hingga Juni 2019 diantaranya Jepang, Hongkong, Jerman, US, Perancis,
Malaysia dan Singapura. Beras organik yang diekspor adalah beras putih, beras hitam
dan beras merah. Sejalan dengan permintaan beras organik, selama tahun 2016-2018
program pemerintah untuk desa pertanian padi organik yang mendapat bantuan
Kementan RI telah terealisasi 650 desa melebihi target 600 desa dengan luasan
mencapai 23 375 hektar dan produktivitas rata-rata 5.46 ton per hektar.4
Harga jual beras organik lebih tinggi dibandingkan harga jual beras non organik.
Harga beras putih organik pada tahun 2019 menurut Kementerian RI berkisar antara
Rp20 000 sampai dengan Rp25 000 per kg5, sementara harga beras non organik
berkisar Rp9 000 sampai dengan Rp11 000 per kg di tingkat konsumen. Selain itu,
harga jual Gabah Kering Panen (GKP) padi organik lebih tinggi dibandingkan harga
padi non organik seperti di Kabupaten Tasikamalaya harga GKP padi organik Rp 5 500
per kg, sementara GKP padi non organik Rp 5 000 (Mutiarasari 2016). Harga yang
tinggi tersebut menjadi peluang untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Akan tetapi,
realitanya jumlah petani padi yang mengusahakan padi organik masih lebih sedikit
dibanding jumlah petani padi non organik.
Adanya tantangan dalam pertanian organik di Indonesia menjadi salah satu
penyebab masih banyak petani padi non organik yang enggan beralih ke pertanian
organik sehingga meskipun luasan area dan produksi padi organik meningkat
jumlahnya belum sebanding dengan padi non organik. Menurut Mayrowani (2012)
terdapat kendala yang bersifat mikro yaitu kendala yang dihadapi petani kecil pada
tingkat usahatani. Kendala tersebut diantaranya kurangnya pemahaman para petani
terhadap sistem pertanian organik serta perlunya organisasi di tingkat petani sebagai
penyuluh dan membantu dalam sertifikasi. Proses sertifikasi dianggap berat oleh petani
karena biaya sertifikasi organik cukup tinggi. Di samping itu, perlu investasi mahal
pada awal pengembangan karena lahan yang digunakan harus benar-benar steril dari
bahan kimia. Kendala lainnya adalah minat petani yang rendah untuk bertani organik

3
Kementrian Pertanian RI. 2019. Beras organik Indonesia diminati pasar ekspor. Tersedia pada:
https://pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=3907. [internet]. [diakses pada 30 Agustus
2019]
4
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2019. Kementan galakkan beras
organik, terwujud 1000 desa mandiri organik. Tersedia pada:
http://bbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/index.php/fr/berita/berita-teknologi/1185-kementan-
galakkan-beras-organik-terwujud-1000-desa-mandiri-organik. [internet]. [diakses pada 12 November
2019]
5
Kementan RI. 2019. Mentan ajak bertani cerdas dengan tanam padi organik. Tersedia pada:
https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=1738. [internet]. [diakses pada 6 juni
2020]
4

karena masih belum jelasnya pasar produk pertanian organik, hingga saat ini konsumen
produk organik termasuk beras organik masih terbatas pada kalangan menengah atas
tidak seperti beras non organik yang dikonsumsi semua kalangan sehingga petani
masih ragu akan keuntungan dari bertani organik. Padahal, beberapa penelitian
menunjukan bahwa usahatani padi organik di berbagai daerah di Indonesia lebih
menguntungkan daripada usahatani padi non organik diukur dari pendapatannya yang
12-60 persen lebih tinggi dan efisiensi biayanya yang 3-30 persen lebih tinggi
(Damayanti 2014; Syarifah 2014; Mutiarasari 2016). Pendapatan yang lebih tinggi
tersebut tidak selalu diperoleh dari biaya pengeluaran yang lebih rendah atau total
penerimaan yang lebih tinggi. Hasil penelitian Mutiarasari (2016), menunjukan
usahatani padi organik di Tasikmalaya menggunakan biaya yang lebih tinggi
dibandingkan padi non organik tetapi usahatani padi organik menghasilkan keuntungan
yang lebih tinggi dilihat dari tingkat pendapatannya karena penerimaan yang diperoleh
40.1 persen lebih tinggi. Sementara itu, usahatani padi organik di desa Purwasari
memberikan pendapatan yang lebih tinggi meskipun penerimaan yang diperoleh hanya
3 persen lebih tinggi dari usahatani padi non organik, hal ini dikarenakan biaya total
usahatani padi organik lebih rendah 40 persen dibandingkan biaya total usahatani padi
non organik (Poetriyani 2011).
Adanya tantangan dalam usahatani padi organik dan lebih tersedianya pasar beras
non organik membuat petani di Indonesia enggan beralih, sementara itu beberapa
penelitian sebelumnya menunjukan bahwa usahatani padi organik lebih
menguntungkan. Adanya perbedaan tersebut menjadi menarik, bagaimana
perbandingan pendapatan usahatani padi organik dan non organik sehingga diharapkan
petani bisa memilih usahatani padi organik manakah yang bisa memberikan
kesejahteraan lebih baik melalui pendapatan yang diperoleh.

Rumusan Masalah

Salah satu daerah yang memproduksi padi organik di Jawa Barat adalah Desa
Pringkasap, Kabupaten Subang. Desa Pringkasap dicanangkan sebagai desa organik
oleh Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Provinsi Jawa Barat pada tahun 2016. Inisiatif pengembangan padi organik di Desa
Pringkasap muncul dari salah satu penyuluh pertanian yang merupakan alumni IPB
atas dasar isu kesehatan. Upaya untuk mengajak petani beralih ke padi organik
dilakukan dengan pendekatan keluarga yang disebut “satu petak satu keluarga”.
Pendekatan ini dimaksudkan mengajak satu keluarga menanam satu petak padi organik
untuk kebutuhan bahan makanan pokok sehat bagi keluarga.
Padi organik di Desa Pringkasap melalui Kelompok Tani Paguyuban Bumi
Mandiri telah mendapat sertifikat organik dari lembaga sertifikasi organik (LSO) resmi
yaitu Indonesian Organic Farming Certification (Inofice) sejak tahun 2016. Sertifikasi
organik dari Inofice merupakan sertifikasi yang dilakukan LSO yang telah diverifikasi
oleh Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) Kementrian Pertanian Republik
Indonesia pada tahun 2007 dan dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) pada tahun
2008 dengan no LSPO-003-IDN (Inofice 2007). Meskipun sudah mendapatkan
5

sertifikasi organik dari Inofice, belum semua petani di Desa Pringkasap beralih ke
usahatani padi organik. Dalam prakteknya belum semua petani sudah memasuki tahap
organik secara penuh. Dalam arti, masih ada petani yang berada pada tahap transisi
yaitu semi organik (konversi lahan).
Jumlah petani padi organik juga cukup fluktuatif. Pada awal sertifikasi (2016)
jumlah petani padi organik yang tersertifikasi sebanyak delapan petani dengan luas
lahan 5.6 hektar. Pada tahun 2017 mencapai 56 petani dengan luas lahan pertanian
organik mencapai 48 hektar. Kemudian mengalami penurunan pada tahun 2018
menjadi 20 petani dengan luas lahan 14.24 hektar. Kini jumlah petani padi organik di
Desa Pringkasap tersisa 16 petani, dimana enam diantaranya masih tahap mengurangi
penggunaan obat dan pupuk kimia. Hal ini dikarenakan petani yang lebih berorientasi
pada jumlah hasil produksi, sementara pada masa peralihan dari non organik ke organik
yang tanpa obat dan pupuk kimia jumlah hasil produksi padi akan menurun. Masa
peralihan juga cukup lama sehingga beberapa petani yang mencoba organik memilih
kembali ke non organik. Selain itu, adanya program bantuan bibit unggul dengan sarana
produksi yang tidak berlabel organik juga menjadi penyebab berkurangnya jumlah
petani organik. Kebanyakan petani juga lebih tertarik dengan hadiah atau bantuan dari
beberapa produsen obat atau pupuk kimia. Masih banyak petani yang lebih bergantung
pada pestisida untuk mengusir hama demi menghasilkan produksi yang optimal
daripada beralih ke sistem organik.
Paguyuban Bumi Mandiri di Desa Pringkasap sebagai organisasi yang
menampung hasil produksi padi organik petani Desa Pringkasap terkendala
keterbatasan modal dan pasar. Paguyuban Bumi Mandiri tidak dapat membeli semua
hasil panen petani. Di samping itu, dalam pemasarannya terkendala jarak dengan
konsumen. Biaya pengantaran yang harus dibayarkan konsumen terlalu besar sehingga
konsumen kurang tertarik. Kendala-kendala tersebut menyebabkan tidak semua petani
padi organik menyerahkan hasil panennya ke Paguyuban Bumi Mandiri, ada sebagian
petani yang menjual padi organiknya ke tengkulak sehingga harga yang mereka peroleh
sama dengan padi non-organik. Padahal harga yang diterima petani tersebut akan
mempengaruhi hasil pendapatan yang mereka terima. Kondisi tersebut berbeda dengan
penelitian sebelumnnya yang hasil padinya selalu dijual dengan harga lebih tinggi
(Fatullah 2010; Damayanti 2014; Syarifah 2014; dan Mutiarasari 2016). Dalam
Damayanti (2014) petani padi organik mendapatkan harga lebih tinggi dibandingan
petani padi konversi dan non organik, petani konversi juga mendapat harga premium
di atas petani padi non organik.
Meski ada beberapa petani di Desa Pringkasap yang kembali beralih ke usahatani
padi non organik tetapi masih ada beberapa petani yang bertahan menggunakan sistem
usahatani padi organik sehingga muncul pertanyaan apakah usahatani padi organik di
Desa Pringkasap lebih menguntungkan dibandingkan usahatani non organik apabila
dilihat dari struktur biaya, penerimaan, pendapatan dan efisiensi biaya usahataninya?
6

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai


berikut:
1. Menganalisis struktur biaya usahatani padi organik dan padi non organik di Desa
Pringkasap, Subang.
2. Menganalisis penerimaan usahatani padi organik dan usahatani padi Non organik
di Desa Pringkasap, Subang.
3. Membandingkan pendapatan dan efisiensi biaya usahatani padi organik dan
usahatani padi non organik di Desa Pringkasap, Subang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian analisis perbandingan pendapatan usahatani padi organik dan


organik ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Petani di Desa Pringkasap, sebagai sumber evaluasi usahatani padi organik yang
sudah dijalankan agar tujuan yang diharapkan tercapai secara efisien dan sebagai
gambaran informasi untuk petani non organik yang berminat melakukan usahatani
organik.
2. Pemerintah, sebagai sumber informasi pengambilan kebijakan yang berkaitan
dengan pengembangan padi organik.
3. Pelaku agribisnis dan masyarakat, sebagai sumber informasi pengambilan
keputusan untuk melakukan sistem usahatani organik atau non organik.
4. Mahasiswa dan peneliti selanjutnya, sebagai sumber referensi penyelesaian tugas
matakuliah, tugas akhir dan penelitian selanjutnya.
5. Penulis, sebagai sumber pengetahuan, pengaplikasian ilmu yang telah dipelajari
saat kuliah serta mengembangkan ilmu analisis permasalahan.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai pendapatan usahatani padi organik dan non organik telah
banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, baik penelitian sistem usahatani padi
organiknya saja, non organiknya saja maupun yang membandingkan keduanya.
Penelitian terdahulu menganalisis pendapatan usahatani untuk melihat imbalan yang
diperoleh petani dari masing-masing usahatani yang dilakukan dan membandingkan
usahatani manakah yang memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Pada penelitian
terdahulu, pendapatan usahatani padi organik dan non organik diukur dengan
menganalisis struktur biaya dan penerimaan usahataninya sehingga dapat diketahui
bagaimana pendapatan usahatani tersebut. Berikut merupakan hasil penelitian
perbandingan usahatani padi organik terdahulu yang ditinjau dari struktur biaya,
penerimaan, pendapatan dan efisiensi usahatani yang diukur melalui R/C rasio.
7

Struktur Biaya Usahatani

Perbedaan input pada usahatani padi organik dan non organik berimpilkasi pada
struktur biaya usahatani. Struktur biaya usahatani terdiri dari segala jenis biaya yang
dikeluarkan pada suatu usahatani. Hasil penelitian terdahulu mengenai struktur biaya
usahatani cukup beragam. Penelitian Mutiarasari (2016), Syarifah (2014), dan Fatullah
(2010) menunjukan bahwa biaya total usahatani padi organik lebih tinggi dari pada
usahatani padi non organik. Hal ini disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk tenaga
kerja usahatani padi organik lebih banyak dibandingkan usahatani padi non organik.
Biaya tenaga kerja merupakan total dari biaya tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga
kerja luar keluarga. Artinya dalam usahatani padi organik lebih banyak membutuhkan
tenaga kerja secara intensif sehingga menuntut biaya yang lebih banyak. Pada
penelitian Mutiarasari (2016) di Tasikmalaya, biaya tenaga kerja usahatani padi
organik memiliki proporsi 38.71 persen dari struktur biaya usahatani, sementara
proporsi biaya tenaga kerja usahatani padi non organik sebesar 33.33 pesen dari
struktur biaya usahatani. Berbeda halnya dengan penelitian Poetriyani (2011) dan
Rahayu et al (2020) biaya total usahatani padi organik lebih rendah dibandingan
dengan usahatani padi non organik. Biaya total usahatani padi organik di Desa
Purwasari lebih rendah 40 persen dibandingkan biaya total usahatani padi non organik
(Poetriyani 2011). Hal ini dikarenakan biaya tunai untuk pupuk dan benih pada
usahatani padi organik lebih rendah dibandingkan usahatani padi non organik.
Penelitian Mutiarasari (2016), Syarifah (2014), dan Fatullah (2010) juga
menunjukan bahwa biaya tertinggi yang dikeluarkan setelah tenaga kerja pada
usahatani padi organik adalah biaya pupuk. Biaya pupuk usahatani padi organik lebih
tinggi dibandingkan usahatani padi non organik. Biaya pupuk usahatani padi organik
pada penelitian Syarifah (2014) sebesar Rp 1 079 181 dengan proporsi 13.22 persen
dari struktur biaya, sementara usahatani padi non organik Rp 763 267 dengan proporsi
10.36 persen dari struktur biaya. Hal ini dikarenakan pada usahatani padi organik
pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dengan jumlah yang dibutuhkan
mencapai 2000 kg per hektar dengan harga Rp 500 per kg sementara usahatani padi
non organik hanya menggunakan pupuk kimia sebanya 314.31 kg per hektar dengan
harga Rp 2 300 per kg.
Struktur biaya dalam usahatani juga dikelompokan secara tunai dan non tunai.
Biaya tunai merupakan biaya yang secara langsung dikeluarkan dalam usahatani,
sementara biaya non tunai merupakan biaya yang diperhitungkan dalam usahatani
(Hernanto 1989). Penelitian Syarifah (2014) dan Fatullah (2010) menunjukan biaya
yang paling banyak dikeluarkan dalam usahatani padi organik dan non organik adalah
biaya tunai dengan proporsi di atas 50 persen dari struktur biaya usahatani. Meskipun
demikian, perbandingan biaya tunai antara usahatani padi organik dan organik
beragam. Penelitian Syarifah (2014) menunjukan bahwa biaya tunai yang dikeluarkan
usahatani padi organik di Bogor 12 persen lebih rendah dibandingkan biaya tunai
usahatani padi non organik. Penelitian di yang sama di Bogor oleh Fatullah (2010)
menunjukan hasil yang berbeda dimana biaya tunai usahatani padi organik 22.77
persen lebih tinggi dibandingkan biaya tunai usahatani padi non organik karena biaya
tenaga kerja luar keluarga usahatani padi organik dalam penelitian tersebut mencapai
8

59.35 persen dari struktur biaya. Struktur biaya usahatani menjadi komponen yang
penting dalam menghitung pendapatan usahatani sehingga adanya perbedaan struktur
biaya pada usahatani padi organik dan non organik berimplikasi pada pendapatan
usahatani padi organik dan non organik.

Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani merupakan hasil atau output yang diperhitungkan. Pada


umumnya, penelitian terdahulu menggunakan gabah kering panen (GKP) sebagai
output yang diperhitungkan dalam menghitung penerimaan usahatani. Lebih lanjut,
penelitian terdahulu membedakan analisis penerimaan usahatani menjadi dua yaitu
penerimaan tunai dan non tunai. Sebagai contoh, Mutiarasari (2016) menganalisis
penerimaan tunai usahatani padi organik dan non organik di Tasikmalaya
menggunakan nilai total GKP yang dijual sedangkan untuk analisis penerimaan non
tunai memperhitungkan nilai total GKP yang digunakan untuk konsumsi sendiri dan
untuk pembayaran bawon.
Di beberapa lokasi yang berbeda, total penerimaan usahatani padi organik lebih
lebih besar dibandingkan usahatani padi non organik (Damayanti 2014; Mutiarasari
2016; Syarifah 2017). Sebagai contoh, total penerimaan usahatani padi organik di
Kabupaten Bogor lebih tinggi 18 persen dari padi non organik di Kabupaten Bogor
(Syarifah 2017). Hal yang sama juga untuk penerimaan tunai usahatani padi organik
yaitu lebih tinggi dibandingkan padi non organik (Mutiarasari 2016; Syarifah 2017).
Hal ini disebabkan harga GKP padi organik lebih tinggi dibandingkan padi non organik
seperti di Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC) harga GKP organik yaitu Rp 5
967 Sedangkan untuk non organik yaitu Rp 3 812 (Damayanti 2014). Selain harga,
total penerimaan yang diterima petani pada usahatani padi organik maupun non organik
tergantung pada jumlah produktivitas yang diterima. Produktivitas padi organik di
Komunitas Ngawi Organik Center (KNOC) lebih rendah dibandingkan dengan padi
non organik diduga karena rata-rata penerapan organik di KNOC kurang dari lima
tahun (Damayanti 2014).
Meskipun demikian, apabila dilihat dari proporsi terhadap total penerimaan,
baik usahatani padi organik maupun non organik memiliki proporsi penerimaan tunai
lebih rendah dibandingkan proporsi penerimaan non tunai (Mutiarasari 2016; Syarifah
2017). Hal ini menunjukan bahwa jumlah GKP yang dijual petani organik maupun non
organik lebih sedikit dibandingkan yang dikonsumsi dan yang digunakan untuk
membayar sewa lahan atau tenaga kerja. Penelitian Mutiarasari (2016) menunjukan
bahwa proporsi GKP padi organik yang dijual sebesar 40.37 persen, dikonsumsi
sebesar 49.63 persen dan digunakan untuk membayar tenaga kerja 10 persen.
Sementara proporsi GKP padi non organik yang dijual sebesar 46.85 persen,
dikonsumsi 46 persen dan digunakan untuk membayar tenaga kerja 10 persen.
Penerimaan tunai, penerimaan non tunai dan penerimaan total usahatani berimplikasi
pada pendapatam usahatani, baik pendapatan tunai maupun pendapatan total.
9

Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan biaya yang


dikeluarkan. Pendapatan yang diperoleh petani menunjukan apakah petani
mendapatkan keuntungan atau kerugian dari usahatani yang dijalankan. Pada penelitian
sebelumnya meski biaya yang dikeluarkan usahatani padi organik lebih tinggi tetapi
pendapatan yang diperoleh juga lebih tinggi (Mutiarasari 2016; Syarifah 2014; Fatullah
2010). Dalam berbagai penelitian terdahulu, perbandingan pendapatan usahatani padi
organik dan non organik diukur dalam dua bentuk pendapatan yaitu pendapatan tunai
usahatani dan pendapatan total usahatani (misalnya Wulandari 2011; Mutiarasari
2016). Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa pendapatan tunai dan pendapatan
total padi organik lebih tinggi daripada pendapatan usahatani non organik (Wulandari
2011; Mutiarasari (2016). Hal ini dikarenakan penerimaan usahatani padi organik lebih
tinggi dibanding padi non organik. Sebagai contoh pada penelitian Wulandari (2011),
pendapatan total usahatani padi organik dan non organik masing-masing adalah Rp 2.9
juta per hektar dan Rp 1.32 juta per hektar, sedangkan pada penelitian Mutiarasari
(2016) masing-masing adalah Rp 10.56 juta per hektar dan Rp 4.12 juta per hektar.
Kedua penelitian tersebut menunjukan pendapatan total usahatani padi organik 54-61
persen lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non organik.
Selain dari pendapatan total dan pendapatan tunai, keuntungan usahatani yang
diterima petani dapat diukur melalui imbalan kepada seluruh modal (return to total
capital), imbalan kepada modal petani (return to farm quity capital), dan terhadap
penggunaan tenaga kerja (return to family labour) (Soekartawi et al 1986). Penelitian
Mutiarasari (2016) menunjukan bahwa nilai return to total capital pada usahatani padi
organik dan non organik di kecamatan Manonjaya lebih tinggi dari suku bunga dasar
kredit bank saat itu. Artinya petani lebih untung menginvestasikan modalnya untuk
bertani daripada berinvestasi di bank. Lebih lanjut, return to total capital usahatani
padi organik lebih tinggi dibandingakan usahatani padi non organik yaitu msing-
masing sebesar 70.71 persen dan 49.3 persen. Hal ini menunjukan bahwa berinvestasi
modal pada usahatani padi organik lebih menguntungkan dibanding pada usahatani
padi non organik.
Berbeda halnya pada penelitian Syarifah (2014) di Kabupaten Bogor yang
menunjukan nilai return to total capital usahatani padi organik justru lebih rendah
dibandingkan dengan usahatani padi non organik yang masing-masing sebesar 58
persen dan 63 persen. Artinya petani akan memperoleh imbalan kepada modal yang
dikeluarkan lebih besar jika menginvestasikan modalnya pada usahatani padi non
organik dibandingkan pada padi organik.
Balas jasa terhadap penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dapat diukur
berdasarkan return to family labour pada masing-masing usahatani. semakin tinggi
nilai return to family labour maka kegiatan usahatani tersebut semakin menguntungkan
bagi petani dinilai dari imbalan kepada penggunaan tenaga kerja dalam keluarganya.
Penelitian Mutiarasari (2016) menunjukan nilai return to family labour usahatani padi
organik di Kecamatan Manonjaya lebih tinggi dibandingkan nilai return to family
labour usahatani padi non organik. Nilai return to family labour padi organik sebesar
Rp 404 587.29 per HOK sementara padi non organik hanya Rp 221 183.32 per HOK
10

selisihnya mencapai 45.3 persen. Perbedaan nilai ini menunjukan bahwa tenaga kerja
padi organik akan mendapatkan imbalan lebih besar dibandingkan dengan imbalan
yang diterima petani padi non organik sehingga keputusan petani melakukan kegiatan
usahatani padi organik lebih menguntungkan.
Efisiensi Usahatani (R/C Rasio)

Penerimaan dan biaya yang dikeluarkan petani juga berimplikasi pada efisiensi
biaya pada usahatani. R/C Rasio merupakan ukuran yang tepat untuk menilai
keuntungan dan kelayakan usahatani diukur dari penerimaan yang diterima atas setiap
satuan biaya yang dikeluarkan (Soekartawi 1995). Pada umumnya, penelitian terdahulu
pada lokasi yang berbeda-beda menunjukan bahwa nilai R/C usahatani padi organik 3-
30 persen lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non organik (Wulandari 2011;
Damayanti 2014; Mutiarasari 2016; Syarifah 2017; Lufti 2017) . Hal ini menunjukan
bahwa usahatani padi organik lebih layak dan menguntungkan dibandingkan usahatani
padi non organik. Sebagai contoh penelitian Mutiarasari (2016) menunjukan nilai R/C
atas biaya total padi organik sebesar 2.33 yang artinya setiap Rp 1 biaya yang
dikeluarkan pada usahatani padi organik menghasilkan penerimaan sebesaar Rp 2.33
sementara padi non organik memiliki R/C atas biaya total padi organik sebesar 1.63.
Hal yang sama pada penelitian Wulandari (2011) dan Lufti (2017) yang menunjukan
bahwa nilai R/C atas biaya total dan biaya tunai padi organik yang lebih tinggi, artinya
usahatani padi organik lebih layak dan menguntungkan dari pada usahatani padi non
organik.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikirian Teoritis

Teori dasar yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur perbandingan


pendapatan usahatani padi organik dan organik dalam penelitian ini dimulai dari
konsep usahatani, biaya dalam usahatani, penerimaan usahatani, pendapatan usahatani
hingga konsep ukuran efisensi usahatani berdasarkan rasio penerimaan terhadap biaya
atau R/C rasio.
Konsep Usahatani
Usahatani adalah suatu tempat dimana seseorang atau sekumpulan orang
berusaha mengelola unsur-unsur produksi seperti alam, tenaga kerja, modal dan
keterampilan dengan tujuan berproduksi untuk menghasilkan sesuatu di lapangan
pertanian (Kadarsan 1930). Terdapat ilmu yang mempelajari bagaimana konsep
usahatani. Sesuai dengan definisinya, Soekartawi et al (1986) menjelaskan bahwa ilmu
usahatani pada dasarnya memperhatikan bagaimana cara petani memperoleh dan
11

memadukan sumberdaya (lahan, kerja , modal, waktu, pengolahan) yang terbatas untuk
mencapai tujuannya. Soekartawi (1995) juga mendefinisikan ilmu usahatani sebagai
ilmu yang mempelajari bagaimana petani mengalokasikan sumberdaya yang ada secara
efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu.
Dikatakan efektif apabila petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki
sebaik-baiknya dan dapat dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut
menghasilkan output lebih besar dari input.
Input produksi merupakan unsur penting yang perlu diperhatikan dalam
usahatani. Hernanto (1989) menyatakan bahwa terdapat empat unsur atau faktor utama
produksi dalam usahatani yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan
(manajemen). Tanah merupakan bagian alam yang menjadi tempat penyelenggaraan
usahatani. Menurut Suratiyah (2006) tanah mempunyai sifat istimewa antara lain
bukan merupakan barang produksi, tidak dapat diperbanyak, dan tidak dapat dipindah-
pindah. Shinta (2011) menyatakan bahwa tenaga kerja adalah energi yang dicurahkan
dalam suatu proses kegiatan untuk menghasilkan suatu produk. Tenaga kerja dalam
usahatani terdiri dari manusia, hewan ternak, dan mesin. Tenaga kerja manusia terbagi
menjadi dua jenis yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga.
Faktor produksi usahatani selanjutnya adalah modal. Modal usahatani berupa
uang tunai, peralatan pertanian dan benda yang diinvestasikan. Modal bisa bersumber
dari pribadi, pinjaman, warisan dan kontrak sewa. Faktor produksi yang terakhir adalah
pengelolaan atau manajemen. Pengelolaan usahatani merupakan bagaimana cara petani
mengambil keputusan dalam merencanakan, mengorganisasikan, mengorganisir
mengarahkan mengkoordinasikan dan mengawasi faktor produksi yang dimiliki
sehingga mampu memberika produksi yang diharapkan (Shinta 2011). Menurut
Soekartawi et al (1986), tersedianya faktor produksi dalam usahatani belum berarti
produktivitas yang diperoleh petani akan tinggi. Produktivitas usahatani yang tinggi
ditunjukan bagaimana petani mampu mengalokasikan faktor produksi yang dimiliki
untuk mencapai keuntungan yang maksimal (Soekartawi et al 1986).
Usahatani berdasarkan coraknya terbagi menjadi usahatani subsisten dan
komersial. Usahatani subsisten merupakan usahatani yang dilaksanakan atas dasar
untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Hernanto 1989). Pada usahatani subsisten tidak
ada hasil produksi yang dijual untuk mendapatkan keuntungan. Berbeda dengan
usahatani subsisten, usahatani komersial merupakan usahatani yang berorientasi untuk
mencari keuntungan (Hernanto 1989). Ada beberapa karakteristik petani yang
melaksanakan usahatani komersial yaitu cepat mengadopsi inovasi, mobilitas yang
cepat dalam pencarian informasi, berani menanggung resiko dalam berusaha, dan
memiliki sumberdaya yang cukup Soekartawi et al (1986).
Sebagian besar petani kecil tergolong dalam usahatani semi komersial, yaitu
tidak sepenuhnya komersial, sehingga mereka mempunyai hubungan dengan pasar dan
memperoleh sebagian pendapatannya dalam bentuk uang (Soekartawi et al 1986).
Dapat disimpulkan bahwa pada usahatani semi komersial, sebagian hasil produksi
digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sebagian dijual untuk memperoleh
keuntungan. Usahatani di Indonesia didominasi petani kecil. Menurut (Soekartawi et
12

al 1986) dua ciri petani kecil ialah kecilnya pemilikan dan penguasaan sumberdaya
serta rendahnya pendapatan yang diterima petani.
Soekartawi et al (1986) menyatakan bahwa penelitian usahatani mempunyai sifat
multidisplin karena harus memperhatikan informasi prinsip dan teori dari ilmu yang
sangat erat kaitannya, tetapi disiplin induknya adalah ilmu ekonomi sehingga untuk
melihat penampilan usahatani diperlukan konsep-konsep dari teori ekonomi. Seperti
untuk mengukur pendapatan usahatani diperlukan analisis total pengeluaran usahatani
terlebih dahulu sehingga perlu diketahui bagaimana konsep biaya usahatani.

Konsep Biaya Usahatani


Konsep biaya dalam usahatani digunakan untuk menghitung pengeluaran dalam
usahatani. Menurut Soekartawi et al (1986) biaya adalah nilai penggunaan sarana
produksi, upah, dan lain-lain yang dibebankan pada proses produksi yang
bersangkutan. Soekartawi (1995) mengklasifikasikan biaya usahatani menjadi dua
yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap
didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya relatif tetap dan terus dikeluarkan
walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, misalnya pajak dan biaya sewa
tanah. Sementara biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh
jumlah produksi, seperti biaya sarana produksi, upah tenaga kerja, biaya angkut, dan
sebagainya. Dikarenakan biaya variabel berkaitan dengan jumlah produksi maka
usahatani yang menggunakan input secara intensif untuk meningkatkan jumlah
produksi akan menghasilkan biaya variabel yang tinggi. Berdasarkan klasifikasi
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa biaya total usahatani merupakan jumlah antara
biaya tetap dan biaya variabel.
Sependapat dengan Soekartawi (1995), Hernanto (1989) juga
mengklasifikasikan biaya usahatani sebagai biaya tetap dan biaya variabel, hanya saja
ada pengklasifikasian lebih lanjut secara tunai dan non tunai. Biaya tunai merupakan
biaya tetap dan biaya variabel yang dibayarkan secara langsung atau tunai. Biaya tunai
dari biaya tetap dapat berupa biaya pengairan dan pajak, sedangkan biaya tunai variabel
diantaranya biaya obat-obatan, biaya pupuk dan benih yang dibeli dari toko. Sementara
itu, biaya tidak tunai adalah biaya yang diperhitungkan dalam kegiatan usahatani.
Biaya tidak tunai juga terdiri dari biaya tetap seperti penyusutan peralatan dan biaya
variabel seperti biaya pengolahan lahan dan panen yang dilakukan oleh tenaga kerja
dalam keluarga, pemakaian benih dari panen sebelumnya, jumlah pupuk kandang yang
dipakai tanpa membeli di toko serta biaya tenaga kerja yang dibayarkan dengan hasil
panen.

Konsep Penerimaan Usahatani


Pada usahatani semi komersial, tidak semua hasil produksi dijual oleh petani
melainkan ada yang dikonsumsi rumahtangga petani, digunakan sebagai bibit atau
pakan ternak, maupun sebagai pembayaran tenaga kerja. Oleh karena itu, Soekartawi
et al (1986) membagi penerimaan usahatani menjadi penerimaan tunai dan penerimaan
non tunai. Penerimaan tunai ialah uang yang diterima dari penjualan produk usahatani.
Dengan kata lain penerimaan tunai merupakan hasil perkalian antara total produk yang
13

dijual dengan harga per satuan produk seperti uang yang diterima dari penjualan hasil
produksi ke tengkulak. Sedangkan penerimaan non tunai adalah nilai total produk yang
tidak dijual seperti hasil produksi yang dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan
sebagai bibit atau pakan ternak dan pembayaran tenaga kerja. Produk yang tidak dijual
harus tetap dihitung nilainya berdasarkan harga pasar (Soekartawi et al 1986).
Dengan pengklasifikasian penerimaan usahatani dapat disimpulkan bahwa total
penerimaan usahatani ialah penjumlahan antara total penerimaan tunai dan total
penerimaan non tunai. Penerimaan tunai usahatani digunakan untuk menghitung
pendapatan usahatani diliat dari bentuk tunai yang diterima dalam usahatani.
Sementara total penerimaan usahatani digunakan untuk mengukur pendapatan total
usahatani.

Konsep Pendapatan Usahatani


Setelah pengeluaran total dan penerimaan total usahatani diperoleh maka
pendapatan usahatani yang diperoleh dapat diukur. Pendapatan usahatani merupakan
selisih antara total penerimaan dan total biaya usahatani (Soekartawi 1995). Dalam
Hernanto (1989) pendapatan usahatani dapat diukur dalam bentuk pendapatan tunai
dan pendapatan total. Pendapatan tunai merupakan selisih antara penerimaan tunai dan
biaya tunai. Pendapatan total adalah selisih antara penerimaan total dan biya total.
Sementara itu, Soekartawi et al (1986) menjelaskan bahwa pendapatan bersih usahatani
berguna untuk mengukur imbalan yang diperoleh petani dari penggunaan faktor-faktor
produksi kerja, pengolahan dan modal yang diinvestasikan dalam usahatani, baik
modal pribadi maupun pinjaman. Oleh karenanya, pendapatan bersih menjadi ukuran
keuntungan pada usahatani. Soekartawi et al (1986) mendefinisikan pendapatan bersih
(net farm income) sebagai selisih pendapatan kotor (gross farm income) dengan
pengeluaran total usahatani (total farm expenses).
Pendapatan kotor (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total
usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual
(Soekartawi et al 1986). Pendapatan kotor disebut juga nilai produksi (value of
production) atau penerimaan kotor usahatani (gross return). Sesuai dengan konsep
penerimaan, dalam menaksir pendapatan kotor semua komponen produk yang dijual
maupun tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar.
Pengeluaran total usahatani (total farm expenses) ialah nilai semua masukan yang
habis terpakai atau dikeluarkan didalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja
dalam keluarga. Pengeluaran usahatani terdiri dari pengeluaran tetap atau disebut juga
biaya tetap (fixed cost) dan pengeluaran tidak tetap atau disebut juga biaya variabel
(variable cost). Kedua pengeluaran tersebut mencangkup pengeluaran tunai dan tidak
tunai. Nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayarkan secara
langsung dengan uang maka disebut sebagai pengeluan tunai, sementara apabila dalam
usahatani menggunakan mesin-mesin maka harus dihitung penyusutan dan dianggap
sebagai pengeluaran non tunai.
Menurut Soekartawi et al (1986) apabila petani menggunakan dana pinjaman
sebagai modal usahatani maka ukuran yang bisa menilai penampilan usahatani adalah
penghasilan bersih usahatani (net farm earning). Penghasilan bersih usahatani
14

diperoleh dari pendapatan bersih usahatani (net farm income) yang dikurangi bunga
modal pinjaman yang harus dibayarkan.
Selain pendapatan bersih usahatani, Soekartawi et al (1986) juga menjelaskan
bahwa untuk mengukur kemampuan usahatani menghasilkan uang tunai dapat
menggunakan pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow). Pendapatan tunai
usahatani diperoleh dari selisih penerimaan tunai dengan pengeluaran tunai usahatani.
Penampilan usahatani semi komersial juga dapat dilihat dari imbalan kepada
modal dan imbalan terhadap tenaga kerja keluarga yang digunakan. Soekartawi et al
(1986) menjelaskan bahwa analisis imbalan kepada modal merupakan hal yang dapat
digunakan untuk menilai keuntungan investasi yang dilakukan petani. Modal usahatani
bisa bersumber dari pribadi maupun pinjaman. Apabila sebagian modal diperoleh dari
pinjaman maka ada dua ukuran yaitu imbalan kepada seluruh modal (return to total
capital) dan imbalan kepada modal petani (return to farm quity capital).
Dalam Soekartawi et al (1986) dijelaskan bahwa imbalan kepada seluruh modal
(return to total capital) dihitung dengan mengurangkan nilai tenaga kerja keluarga dari
pendapatan bersih (net farm income) kemudian hasilnya dinyatakan dalam persen
terhadap nilai seluruh modal. Dalam perhitungannya tenaga kerja keluarga dinilai
dengan tingkat upah yang berlaku. Sementara imbalan kepada modal petani (return to
farm equity capital) diperoleh dengan mengurangkan nilai kerja keluarga dari
penghasilan bersih usahatani (net farm earning) kemudian hasilnya dinyatakan dalam
persen terhadap nilai modal petani. Nilai imbalan kepada seluruh modal (return to total
capital) dan imbalan kepada modal petani (return to farm quity capital) dibandingkan
dengan tingkat suku bunga yang berlaku saat itu, apabila nilainya lebih tinggi maka
artinya petani tepat menginvestisikan modalnya untuk usahatani tersebut. Apabila
modal yang digunakan petani hanya modal dari pribadi maka nilai imbalan kepada
seluruh modal sama dengan imbalan kepada modal petani.
Imbalan kepada penggunaan tenaga kerja keluarga (return to family labour)
mampu menunjukan upah yang diterima petani atas penghasilan bersih (net farm
earning). Menurut Soekartawi et al (1986) imbalan kepada tenaga kerja keluarga dapat
dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal petani
yang diperhitungkan. Ukuran ini dinyatakan per HOK untuk menilai imbalan yang
diperoleh per hari kerja dari kegiatan usahatani yang dibandingkan dengan upah kerja
buruh tani harian maupun upah kerja di luar usahatani. Semakin besar balas jasa
terhadap penggunaan tenaga kerja akan lebih baik.

Konsep Efisiensi Usahatani (R/C Rasio)


Menurut Soekartawi (1995), selain melalui pendapatan usahatani salah satu
ukuran yang mampu menunjukan tingkat keuntungan usahatani adalah rasio
penerimaan terhadap biaya (R/C rasio). R/C rasio menunjukan berapa besarnya
penerimaan yang akan diperoleh dari setiap produk dari setiap rupiah yang dikeluarkan
dalam produksi usahatani, dengan kata lain R/C rasio merupakan perbandingan antara
penerimaan dan biaya. Oleh karenanya, R/C rasio mampu menunjukan efisiensi biaya
dalam usahatani. Jika nilai R/C rasio yang diperoleh lebih besar atau sama dengan
satu, maka usahatani tersebut menguntungkan. Sebaliknya jika nilai R/C rasio kurang
15

dari satu berarti usahatani yang dijalankan belum menguntungkan. Secara teoritis
dengan imbangan penerimaan terhadap Biaya sama dengan satu artinya tidak untung
dan tidak rugi.
Soekartawi (1995) menjelaskan bahwa perhitungan R/C dapat dipisahkan
berdasarkan biaya total dan biaya tunai. R/C atas biaya total didapat dengan membagi
penerimaan total terhadap biaya total. Sementara perhitungan R/C atas biaya tunai
didapatkan dengan membagi total penerimaan terhadap biaya tunai.

Kerangka Operasional

Kesadaran akan pentingnya memilih pangan yang aman untuk kesehatan dan isu
menjaga lingkungan mulai meningkat di kalangan masyarakat. Oleh karenanya sistem
pertanian organik kini mulai mendapat perhatian lebih baik dari konsumen, produsen
maupun pemerintah. Salah satu jenis pertanian pangan yang permintaannya mulai
meningkat adalah padi organik. Selain karena sistem pertanian organik yang lebih
aman untuk lingkungan dan kesehatan petani sendiri, harga beras organik yang lebih
tinggi diduga menjadi salah satu penyebab mulai banyak petani yang melakukan
usahatani padi organik.
Kelompok tani di Desa Pringkasap Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang
merupakan salah satu kelompok tani yang mengembangkan usahatani padi organik.
Bahkan melalui Paguyuban Bumi Mandiri, beras yang dihasilkan telah mendapat
sertifikasi dari salah satu LSO yaitu Indonesian Organic Farming Certification
(Inofice) sejak tahun 2016. Akan tetapi kondisi di lapang menunjukan petani padi non
organik masih banyak di Desa Pringkasap meskipun Desa Pringkasap sudah
dicanangkan sebagai desa organik oleh Pemerintah Kabupaten Subang dan Kementan
RI. Selain itu, petani padi organik Desa Pringkasap masih terkendala pasar sehingga
petani menjual ke tengkulak dan harga yang diterima masih setara dengan petani padi
non organik. Akibatnya ada beberapa petani yang kembali beralih ke usahatani padi
non organik tetapi masih ada beberapa petani yang bertahan menggunakan sistem
usahatani padi organik sehingga diperlukan analisis perbandingan pendapatan
usahatani padi organik dan non organik untuk melihat apakah sebenarnya usahatani
padi organik di desa Pringkasap memberikan keuntungan yang lebih tinggi
dibandingkan usahatani padi non organik.
Metode yang digunakan untuk membandingakan pendapatan usahatani padi
organik dan non organik diawali dengan menganalisis stuktur biaya, penerimaan,
pendapatan hingga efisiensi usahatani berdasarkan R/C rasio. Kemudian dilakukan uji
Mann Whitney untuk mengetahui apakah perbedaan hasil pada perbandingan usahatani
padi organik dan non organik berbeda signfikan secara statistik atau tidak. Hasil dari
penelitian ini bertujuan memberikan rekomendasi pada petani apakah usahatani padi
organik baik untuk diterapkan dalam sistem usahatani padi atau tidak. Berikut adalah
kerangka pemikiran operasional analisis perbandingan pendapatan usahatani padi
organik dan padi non organik
16

• Petani padi non organik masih banyak di Desa


Pringkasap meskipun desa ini sudah dicanangkan
sebagai desa organik oleh Pemerintah Kabupaten Petani terdorong
Subang dan Kementan RI melakukan pertanian padi
• Pertanian padi organik berkembang tetapi di organik karena alasan
Desa Pringkasap masih terkendala pasar kesehatan, menjaga
sehingga petani menjual ke tengkulak dan harga kelestarian lingkungan,
yang diterima masih setara dengan petani padi dan memberikan harga
non organik jual yang tinggi

Analisis perbandingan usahatani padi organik dan non organik, meliputi


1. Analisis struktur biaya usahatani
2. Analisis penerimaan usahatani
3. Analisis pendapatan usahatani dan efisiensi biaya usahatani (R/C rasio)

Uji beda dua sampel bebas (Uji Mann Whitney)

Rekomendasi untuk petani padi


Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional analisis perbandingan pendapatan
usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap, Kabupaten
Subang

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Pringkasap, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten


Subang. Pemilihan lokasi ini dikarenakan Desa Pringkasap telah dicanangkan sebagai
desa organik oleh Kementan RI dan Pemerintah Kabupaten Subang, hal ini berarti ada
upaya pengembangan padi organik di desa tersebut. Selain itu, beras organik yang
dihasilkan telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi Indonesian organic farming
certification (Inofice) selama tiga tahun sejak tahun 2016. Pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2020.
17

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan jenis data primer. Data primer yang digunakan
merupakan data biaya usahatani yang dikeluarkan petani, data penerimaan dan
pendapatan usahatani. Data primer diperoleh melalui metode wawancara langsung
dengan petani organik dan non organik di Desa Pringkasap. Proses wawancara
dilaksanakan dengan panduan kuesioner.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah


metode sensus dan purposive sampling. Pada metode sensus, semua anggota populasi
menjadi responden penelitian. Metode sensus digunakan untuk mengambil sampel
petani organik sejumlah 14 petani yang mengkomersilkan beras organik dan tergabung
dalam paguyuban Bumi Mandiri di Desa Pringkasap. Penggunaan metode sensus
bertujuan untuk menggambarkan keseluruhan petani padi organik di Desa Pringkasap.
Penelitian ini mendefinisikan pertanian organik dalam arti luas sehingga dari 14
responden petani padi organik, tujuh diantaranya masih dalam proses membatasi atau
mengurangi penggunaan bahan kimia.
Metode purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel secara
sengaja dengan kriteria tertentu. Pengambilan sampel petani padi non organik
menggunakan metode purposive sampling karena tidak diketahui data nama calon
responden. Jumlah responden petani non organik adalah 16 petani yang tersebar pada
tujuh dusun di Desa Pringkasap, masing-masing diambil sejumlah dua sampai tiga
petani di setiap dusun. Kriteria petani non organik yang menjadi responden adalah
petani yang sudah bertani minimal selama empat musim tanam dengan pertimbangan
bahwa dengan lamanya pengalaman responden bertani maka petani tersebut lebih
memahami segala pertimbangan untuk menerapkan usahatani padi non organik dan
bagaimana pola usahatani non organik. Dari 16 petani organik, enam diantaranya
merupakan petani yang beralih kembali ke pertanian non organik setelah mencoba
pertanian organik.

Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, data primer yang diperoleh diolah menggunakan bantuan
kalkulator, Microsoft Exel dan program statistik SPSS. Data primer dianalisis secara
deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif menjelaskan gambaran
umum pertanian padi di lokasi penelitian dan karakteristik responden usahatani padi
organik dan usahatani padi non organik. Sementara analisis kuantitatif digunakan untuk
mengukur perbandingan struktur biaya, pendapatan, efisiensi usahatani berdasarkan
R/C rasio dan perbedaan hasil secara statistik signifikan atau tidak sehingga alat
analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
18

1. Analisis Struktur Biaya Usahatani


Biaya dalam usahatani terdiri dari biaya variabe dan biaya tetap, seperti yang
dikemukan Soekartawi (1995). Biaya tetap (fixed cost) didefinisikan sebagai biaya
yang jumlahnya relatif tetap dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh
banyak atau sedikit. Sementara biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang besar
kecilnya dipengaruhi oleh jumlah produksi. Sehingga total biaya usahatani adalah
penjumlahan dari total biaya variabel dan total biaya tetap, atau dapat dirumuskan
sebagai berikut :
TC = TVC + TFC
Keterangan :
TC : Total biaya usahatani (Rp)
TVC : Total biaya variabel (Rp)
TFC : Total biaya tetap (Rp)
Selain itu, biaya variabel dan biaya tetap dalam usahatani diketegorikan menjadi
biaya tunai dan biaya non tunai (Hernanto, 1989). Biaya tunai didefinisikan sebagai
biaya tetap dan biaya variabel yang langsung dibayar tunai. Sementara itu, biaya tidak
tunai adalah biaya yang tidak dimasukkan ke dalam biaya tunai tetapi diperhitungkan
dalam kegiatan usahatani. Secara rinci pengkategorian biaya yang dikeluarkan
usahatani padi organik dan non organik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Struktur biaya usahatani


Padi Organik Padi Non organik
Komponen biaya
Rp (%) Rp (%)
I. Biaya tunai
Biaya tetap
1. Biaya pengairan
2. Pajak tanah
Biaya variabel
1. Benih
2. Pupuk
3. Pestisida
4. Biaya tenaga kerja luar keluarga
Total biaya tunai
Ii. Biaya non tunai
Biaya tetap
1. Penyusutan alat pertanian
2. Sewa lahan – pemilik
Biaya variabel
1. Biaya tenaga kerja dalam keluarga
Total biaya non tunai
Total biaya usahatani

Dalam biaya non tunai terdapat biaya penyusutan peralatan pertanian. Biaya
penyusutan peralatan pertanian dapat dihitung menggunakan metode garis lurus. Pada
19

metode ini jumlah penyusutan lahan dan peralatan tiap tahunnya dianggap sama dan
diasumsikan tidak laku bila dijual. Persamaan biaya penyusutan dapat dirumuskan
sebagai berikut :

Nilai beli (Rp) - Nilai sisa (Rp)


Biaya penyusutan=
Usia ekonomis (th)

2. Analisis Penerimaan dan Pendapatan Usahatani


Analisis penerimaan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi penerimaan
tunai dan non tunai. Penerimaan tunai adalah hasil perkalian antara total produk yang
dijual dengan harga GKP. Sementara penerimaan non tunai adalah hasil perkalian
antara total produk yang tidak dijual dengan harga GKP.
Analisis pendapatan usahatani dalam penelitian ini diketegorikan menjadi
pendapatan tunai dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani
merupakan selisih antara penerimaan tunai dengan biaya tunai usahatani. Sedangkan
pendapatan total usahatani merupakan selisih dari total penerimaan dengan biaya total,
baik tunai maupun non tunai. Secara rinci metode perhitungan pendapatan usahatani
ditunjukan pada Tabel 2.
Alasan pembagian bentuk pendapatan tersebut karena biasanya petani
menghitung pengeluaran dalam bentuk tunai. Pendapatan tunai juga bertujuan untuk
mengukur kemampuan usahatani menghasilkan uang tunai. Sementara pendapatan
total dapat mengukur total imbalan yang diterima atas segala faktor yang telah
digunakan dalam usahatani tersebut.

Tabel 2 Metode menghitung pendapatan usahatani


Urutan Metode Perhitungan
A Penerimanaan tunai Harga GKP x hasil panen yang dijual
Harga GKP x hasil panen yang dikonsumsi,
B Penerimaan non tunai
disimpan, dan dijadikan pembayaran TKLK
C Total penerimaan A+B
D Biaya tunai Biaya variabel (benih, pupuk, pestisida,
sewa alat pertanian, biaya tenaga kerja luar
keluarga) + biaya tetap (biaya pengairan,
pajak)
E Biaya non tunai Biaya variabel (biaya tenaga kerja dalam
keluarga) + biaya tetap (sewa lahan milik
sendiri, penyusutan alat)
F Biaya total D+E
G Pendapatan atas biaya tunai A-D
H Pendapatan atas biaya total C-F

Dalam penelitian ini juga dianalisis imbalan kepada tenaga kerja dan imbalan
kepada modal untuk menunjukan penampilan usahatani. Apabila petani hanya
20

menggunakan modal milik sendiri maka imbalan kepada keseluruhan modal (return to
total capital) dihitung dengan mengurangkan nilai kerja keluarga dari pendapatan
bersih usahatani. Hasilnya dinyatakan dalam persen dan dibandingkan terhadap total
keseluruhan modal. Kerja keluarga dinilai dengan tingkat upah yang berlaku. Secara
rinci dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pendapatan bersih-nilai tenaga kerja keluarga


Return to total capital= x 100%
Total modal
Hasil dari perhitungan return to total capital akan dibandingakan dengan nilai
suku bunga kredit bank yang berlaku,jika nilainya lebih tinggi maka petani sudah tepat
melakukan usahataninya. Nilai return to total capital pada usahatani padi organik dan
non organnik akan dibandingkan. Semakin tinggi nilainya maka usahatani tersebut
semakin baik karena Return to total capital menunjukan keuntungan terhadap investasi
modal.
Imbalan kepada tenaga kerja dibagi menjadi imbalan kepada total tenaga kerja
(return to total labour) dan imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family
labor). return to total labour diperoleh dari hasil selisih total penerimaan dengan
pengeluaran non tenaga kerja dan bunga modal terhadap total tenaga kerja yang
digunakan. Apabila petani menggunakan modal milik pribadi maka bunga modal yang
digunakan hanya bunga modal petani yang diperhitungkan dengan suku bunga
diasumsikan sama dengan suku bunga kredit yang berlaku. Hasilnya dapat dinyatakan
rupiah per tenaga kerja keluarga (HOK). Sementara return to family labour diperoleh
dari hasil selisih penghasilan bersih yang tidak termasuk biaya tenaga kerja keluarga
dengan bunga modal yang diperhitungkan terhadap jumlah tenaga kerja dalam
keluarga. Apabila modal petani hanya berasal dari milik pribadi maka nilai penghasilan
bersih sama dengan pendapatan bersih. Secara rinci dapat dirumuskan sebagai berikut:

Total penerimaan - pengeluaran non TK- bunga modal


Return to total labor=
Total Tenaga kerja

Penghasilan bersih- bunga modal petani


Return to family labour =
Total TKDK

dimana, TK= Tenaga Kerja, TKDK = Tenaga Kerja Dalam Keluarga

Return to total labour dan return to family labor kemudian dibandingkan dengan
upah di luar usahatani. Apabila nilainya lebih tinggi maka petani telah tepat
mengalokasikan tenaga kerja keluarga. Return to total labour dan return to family
labor yang lebih tinggi menunjukan imbalan yang diperoleh atas tenaga kerja yang
digunakan dalam usahatani lebih baik.

3. Analisis Efisiensi Usahatani (R/C Rasio)


Pendapatan bersih usahatani belum mampu menujukan efisiensi biaya yang pada
usahatani. Oleh karenanya diperlukan analisis return cost ratio (R/C rasio). Analisis
21

R/C Rasio dihitung dengan membandingkan antara penerimaan (revenue) terhadap


biaya (cost). Selain itu, menurut Soekartawi (1995) analisis R/C rasio juga bertujuan
untuk mengetahui apakah usahatani tersebut menguntungkan atau tidak. Analisis
return cost ratio (R/C rasio) dapat dinotasikan sebagai berikut:

TR
R/C=
TC
Keterangan :
R/C : Imbangan penerimaan terhadap biaya
TR : Total penerimaan (Rp)
TC : Total biaya (Rp)
Kriteria keputusan;
R/C > 1, usahatani untung
R/C < 1, usahatani rugi
R/C = 1, usahatani impas (tidak untung tidak rugi)

Semakin tinggi nilai R/C rasio maka usahatani tersebut lebih menguntungkan untuk
dilaksanakan oleh petani.

4. Analisis Uji Beda Mann Whitney


Dalam penelitian ini digunakan uji Mann Whitney untuk menguji perbedaan
pendapatan (atau biaya, penerimaan) usahatani padi organik dan non organik. Sehingga
hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
H0 : Median pendapatan (atau biaya, penerimaan) petani organik dan non organik
tidak bebeda.
H1 : Median pendapatan (atau biaya, penerimaan) organik dan non organik
berbeda.
Taraf nyata (α) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 persen (0.01), 5
persen (0.05) dan 10 persen (0.1).
Uji Mann Whitney merupakan uji nonparametrik yang digunakan untuk menguji ada
tidaknya perbedaan dari dua populasi yang saling independen. Uji Mann Whitney
merupakan alternatif dari uji 𝑡 untuk dua populasi independen ketika asumsi normalitas
populasi tidak terpenuhi (Suyanto et al 2017). Syarat uji Mann Whitney diantaranya
data berskala ordinal, interval atau rasio; terdiri dari dua kelompok saling bebas
(independent), jumlah datanya tidak harus sama banyak; data tidak harus berdistribusi
normal (Yuantari et al 2017). Adapun prosedur untuk melakukan uji Mann Whitney
dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Lakukan perankingan dengan menggabungkan kedua data. Apabila terdapat
data yang nilainya sama maka perankingan dirata-rata. Sajikan nilai-nilai
tersebut dimulai dari nilai yang paling kecil hingga nilai yang paling besar.
2. Setelah menghitung jumlah ranking untuk masing-masing nilai data dari kedua
sampel, maka akan ditentukan nilai statistik dari uji Mann Whitney (Uhit )
n2 (n2 +1) n1 (n1 +1)
Uhit = n1 n2 + 2
+R2 atau Uhit =R1 + 2
22

Keterangan:
n1= jumlah sampel usahatani padi organik
n2= jumlah sampel usahatani padi non organik
R1= menyatakan jumlah ranking pada sampel pertama
R2= menyatakan jumlah ranking pada sampel kedua.

3. Karena sampel pada usahatani padi organik dan non organik lebih besar dari 8,
maka pendekatan normal dapat digunakan (Suyanto et al 2017). sehingga

n1 n2 n1 n2 (n1 +n2 +1)


Mean= dan simpangan baku= √
2 12

4. Kemudian nilai statistik dari uji Mann Whitney terlebih dahulu ditransformasi
ke dalam bentuk nilai normal 𝑍 terstandarisasi sebagai berikut:

n1 n2
Uhit +
Zhit = 2
√n1 n2 (n1 +n2 +1
12

5. Pengambilan keputusan terhadap hipotesis


Zhitung > Ztabel, maka pendapatan (atau biaya, penerimaan) berbeda
secara signifikan (H0 ditolak)
Zhitung < Ztabel, maka pendapatan (atau biaya, penerimaan) tidak
berbeda secara signifikan (H0 diterima)

Pengambilan keputusan terhadap hipotesis juga dapat ditentukan


dengan cara membandingkan probabilitas kumulatif dari nilai normal 𝑍
terstandarisasi terhadap tingkat signifikansi yang digunakan. Asymp. Sig. (2-
tailed) merupakan nilai probabilitas dari nilai normal (Suyanto et al 2017).
Pvalue < 1 persen (atau 5persen, 10 persen), maka pendapatan (atau biaya,
penerimaan) berbeda secara signifikan (H0 ditolak)
Pvalue > 1 persen (atau 5persen, 10 persen), maka pendapatan pendapatan
(atau biaya, penerimaan) tidak berbeda secara signifikan (H0
diterima)
23

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Sebelum membahas biaya, penerimaan, pendapatan usahatani padi organik dan


non organik di Desa Pringkasap, perlu diketahui bagaimana keadaan umum pertanian
padi di lokasi penelitian. Selain itu juga dibahas karakteristik responden dalam
penelitian ini.
Keadaan Umum Pertanian Padi Desa Pringkasap

Desa Pringkasap merupakan satu-satunya penghasil beras organik dengan


sertifikasi Inofice yang masih bertahan di Kabupaten Subang. Desa ini terletak di
Kecamatan Pabuaran, dan memiliki delapan dusun yaitu dusun Bugel, Sukasari,
Lamaran, Peutag, Cijengkol, Pendeuy, Salam dan Jaringao. Berdasarakan data dari
kantor Desa Pringkasap, 45 persen masyarakatnya bekerja sebagai petani. Akan tetapi
hanya sebagian kecil yang menjadi petani organik. Luas lahan sawah di Desa
Pringkasap mencapai 900 hektar. Luasnnya lahan ini bahkan lebih besar dari lahan
pemukiman yang hanya 567 hektar.
Pertanian organik di Desa Pringkasap pertama kali dikembangkan di dusun
Bugel kemudian menyebar ke dusun Sukasari dan beberapa petani di Desa
Karanghegar yang kemudian tergabung dalam Paguyuban Bumi Mandiri. Beras
organik Pringkasap (Gambar 2) yang dihasilkan merupakan hasil panen dari petani padi
organik yang tergabung dalam paguyuban Bumi Mandiri. Meski ada beberapa petani
di luar Desa Pringkasap tetapi hasil produksi tetap diatasnamakan beras Pringkasap.

Gambar 2 Beras Organik Pringkasap

Lahan pertanian padi di Desa Pringkasap berada pada beberapa blok yang
membentuk hamparan luas. Lahan padi organik tersebar di tiga blok yaitu daerah Pasir
Angin, bakan Gombong dan Wardoyong. Meski berada pada tiga blok namun lahan
padi organik milik petani di Desa Pringkasap tidak berada pada satu hamparan sehingga
area di sekitar lahan padi organik tersebut masih menggunakan sistem budidaya padi
non organik. Berbeda dengan petani organik, lahan padi non organik di desa Pringkasap
tersebar di semua blok yang terbagi pada beberapa dusun.
Teknik budidaya padi yang diterapkan petani di Desa Pringkasap sudah
sepenuhnya memanfaatkan tenaga mesin dan manusia, tidak lagi memanfaatkan kerbau
dalam pengolahan lahan. Akan tetapi, petani di Desa Pringkasap masih belum
24

melakukan sistem rotasi tanam. Selama setahun lahan pertaniannya hanya akan
ditanami padi.
Terdapat beberapa hal yang membedakan budidaya padi organik dan non
organik di Desa Pringkasap. Pengolahan lahan merupakan hal penting dalam proses
budidaya usahatani padi organik di Desa Pringkasap. Petani padi organik menggunakan
pupuk kandang sebelum lahannya ditraktor. Selain itu, dilakukan pemupukan
menggunakan pupuk hayati buatan paguyuban. Umumnya pemberian pupuk dilakukan
sebanyak tiga kali yaitu setelah lahan pertama kali ditraktor, sebelum dan sesudah
benih ditanam. Pemberian lupuk hayati ini bertujuan untuk memperbaiki lahan dan
meningkatkan kesuburan tanah. Berbeda halnya dengan usahatani padi non organik
yang umumnya tidak ada pemberian pupuk pada proses pengolahan lahan. Hal lain
yang membedakan usahatani padi organik dan non organik adalah penggunaan pupuk
dan obat pada pengendalian HPT. Usahatani padi organik menggunakan bahan baku
utama bawang merah, bawang putih, urin ternak, air beras dan air kelapa untuk
membuat obat sebagai pengendalian HPT. Bahan-bahan tersebut dihaluskan kemudian
difermentasi selama 1 minggu. Apabila bahan yang dibuat tersebut melebihi masa
fermentasi maka bisa digunakan sebagai pupuk organik. Petani padi organik sebagian
besar menyemprot padinya hanya saat ada hama dan penyakit yang menyerang
sementara petani padi non organik pada umumnya lebih mudah cemas dalam
menghadapi HPT sehingga lebih banyak melakukan penyemprotan sebagai bentuk
pencegahan atau penanggulangan. Selain hal tersebut, cara dalam budidaya padi
organik dan non organik sama.
Pengairan yang digunakan pada budidaya padi di Desa Pringkasap cukup
beragam. Daerah Pasir Angin dan Bakan Gombong sebagian besar menggunakan
pengairan irigasi teknis Tarum Timur, sementara di daerah Wardoyong menggunakan
irigasi tadah hujan. Perbedaan sistem pengairan ini berdampak pada pengeluaran biaya
petani pada musim kemarau. Sistem pengairan di setiap dusun yang berbeda
menyebabkan perbedaan pengambilan keputusan petani untuk menjual atau
menyimpan padinya. Di dusun Pendeuy, Jaringao dan Salam biasanya padi yang
ditanam pada musim kemarau disimpan dan tidak dijual dikarenakan hasil produksi
yang diterima sedikit. Petani di ketiga dusun tersebut hanya mengandalkan pengairan
tadah hujan sehingga pengairan yang diberikan tidak maksimal dan mempengaruhi
hasil panen.
Musim tanam padi di Desa Pringkasap juga beragam. Musim tanam padi non
organik di dusun lamaran bisa sampai tiga kali karena jumlah pengairan yang memadai.
Berbeda dengan ketujuh dusun yang relatif menggunakan dua kali musim tanam dalam
setahun, meskipun ada beberapa petani di dusun jaringao yang hanya satu kali musim
tanam. Sementara itu, usahatani padi organik menggunakan sistem dua kali musim
tanam dalam setahun. Hal ini bertujuan untuk memberikan waktu istirahat pada lahan.
Selain itu, menurut petani organik jika dilakukan tiga kali musim tanam maka panen
yang ketiga tidak memberikan keuntungan.
Berbeda dari pertanian padi di daerah dataran tinggi atau diluar jawa yang
arealnya cukup asri dan tidak berada di tengah-tengah hamparan padi non organik
sehingga lahannya bisa organik dalam waktu empat sampai enam musim atau dua
sampai tiga tahun. Pertanian padi organik di Desa Pringkasap membutuhkan waktu
25

konversi lahan selama delapan musim atau empat tahun. Selama delapan musim tanam
tersebut dilakukan perbaikan lahan dan optimalisasi lahan. Lamannya masa konversi
dikarenakan lahan milik petani organik telah menggunakan bahan kimia cukup lama.
Waktu yang cukup lama tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi petani padi organik.
Terlebih lagi pada musim tanam pertama hingga keempat padi yang dihasilkan belum
bisa diklaim organik sehingga tidak bisa dijual ke paguyuban.
Hasil panen padi non organik umumnya dijual ke tengkulak melalui calo. Harga
Gabah Kering Panen (GKP) yang diterima petani berada di rentang Rp 3 800-5 500 per
kg. Di dusun Jaringao, Pendeuy dan Salam harga GKP biasanya hanya mencapai Rp 3
800-4 500 per kg, hal ini dikarenakan jarak dusun yang lebih jauh dan jalan yang
ditempuh tidak terlalu baik. Sementara hasil padi organik ada yang dijual ke paguyuban
dengan harga GKP Rp 6 000 per kg dan ada yang dijual ke tengkulak dengan harga
yang sama seperti padi non organik.
Permasalahan dalam budidaya padi baik organik maupun non organik yang
utama adalah hama yang seringkali menyerang. Hama tersebut lebih banyak jumlahnya
ketika musim kemarau. Hal ini menyebabkan petani harus mengeluarkan biaya lebih
banyak untuk mengusir hama. Pada umumnya petani non organik menggunakan obat
dan pestisida kimia yang dijual di toko, sementara petani organik menggunakan bahan-
bahan alami di lingkungan sekitar untuk dijadikan pestisida.

Karakteristik Responden

Karakteristik petani responden diperoleh dari hasil wawancara dengan 14


petani usahatani padi organik dan 16 petani usahatani padi non organik. Karakteristik
responden petani pada penelitian ini terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jumlah
tanggungan keluarga, luas lahan, status penguasaan lahan dan pengalaman petani
melakukan usahatani padi. Variabel dalam karakteristik responden tersebut dapat
memengaruhi sikap petani dalam melaksanakan budidaya tanaman padi serta dalam
menentukan jenis usahatani padi yang akan diusahakan.

Usia
Usia dapat memengaruhi keputusan petani dalam mengambil keputusan untuk
mengadopsi pertanian organik. Seperti yang dinyatakan Kartasapoetra (1991) dalam
Sutarto (2008), petani yang berusia lanjut akan sulit untuk diberikan pengertian-
pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja dan cara hidup. Pada
umumnya semakin tua usia petani maka kemauan dan kemampuan mengadopsi
teknologi budidaya organik akan semakin rendah. Rata-rata petani organik berusia
51.64 sedangkan pertani non organik berusia 51.37 (Tabel 3). Usia petani padi organik
dan non organik yang termuda masing-masing adalah 38 tahun dan 30 tahun,
sedangkan tertua keduanya mencapai 75 tahun.
26

Tingkat Pendidikan
Pada penelitian ini, Rata-rata tingkat pendidikan petani organik dan non organik
masing-masing adalah 8.4 tahun dan 6.5 tahun (Tabel 3). Meskipun tingkat pendidikan
dapat memengaruhi pola pikir, keterbukaan dan pemahaman menerima informasi dan
teknologi baru, petani organik di Desa Pringkasap yang sebagian besar merupakan
tamatan SD dan SMP memiliki ketertarikan untuk menjalankan usahatani padi organik
karena sudah memahami pentingnya pola hidup sehat dan manfaat kesehatan yang
diperoleh dari bertani organik

Tabel 3 Karakteristik petani dan usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap Kabupaten Subang
Non Organik (n=16) Organik (n=14)
Karakteristik
Mean Max Min St.dev Mean Max Min St.dev
Usia (tahun) 51.37 75 30 10.63 51.64 75 38 10.67
Pendidikan (tahun) 6.5 12 0 3.82 8.4 16 0 4.55
Pengalaman 26.81 60 5 18.5 25.28 60 2 17.65
usahatani (tahun)
Tanggungan 3 6 2 1.26 4 6 3 0.86
keluarga (orang)
Luas lahan (hektar) 0.98 2 0.15 0.64 0.59 3 0.2 0.71
Kepemilikan lahan Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
- Pribadi 12 75.00 12 85.71
- Gadai 2 12.50 1 7.14
- Bagi hasil 2 12.50 1 7.14

Pengalaman Usahatani
Petani yang memiliki pengalaman bertani lebih lama biasanya mampu
merencanakan dan memanajemen penggunaan faktor produksi maupun kegiatan
usahatani. Adanya pengalaman membantu petani bertindak lebih cekatan dalam
mengambil keputusan dan menyelesaikan suatu masalah, termasuk keputusan dalam
mengadopsi teknologi baru Dalam hal pengalaman bertani, rata-rata petani non organik
memiliki pengalaman 1.52 tahun lebih lama dibandingkan petani organik. Sebagian
besar petani non organik sudah berpengalaman selama lebih dari 30 tahun yaitu
sebanyak tujuh orang atau 43.75 persen dari total responden. Di duga dengan lamanya
pengalaman usahatani tersebut petani merasa lebih nyaman dan menyukai usahatani
yang sudah dilaksanakan sejak lama. Berdasarkan hasil wawancara beberapa petani
organik beranggapan bahwa tanahnya sudah tidak subur lagi setelah beberapa tahun ke
belakang menggunakan pupuk kimia sehingga mereka beralih ke sistem budidaya
organik.

Jumlah Tanggungan Keluarga


Berdasarkan jumlah tanggungan keluarga, rata-rata petani organik memiliki
tanggungan lebih banyak dari petani non organik masing-masing empat dan tiga orang
27

(Tabel 3). Jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak membuat petani organik
memutuskan untuk memilih usahatani yang menghasilkan pendapatan yang tinggi atau
setidaknya mengeluarkan modal yang lebih sedikit.

Luas Lahan
Rata-rata luas lahan petani organik dan non organik masing-masing berkisar
0.98 hektar dan 0.59 hektar dengan sebagian besar merupakan lahan milik pribadi
(Tabel 3). Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar petani organik dan non organik
di Desa Pringkasap bukan petani kecil. Berdasarkan wawancara, sebagian besar petani
organik di Desa Pringkasap berpendapat bahwa usahatani padi organik bisa diterapkan
baik pada lahan sempit maupun luas, sementara beberapa petani padi non organik
berpendapat bahwa sistem usahatani padi organik pada lahan yang luas akan lebih sulit
dalam hal pengendalian hamanya dan jumlah output yang diterima juga akan jatuh
lebih rendah sehingga bagi petani dengan lahan luas akan terasa sangat rugi.

Status kepemilikan Lahan


Status kepemilikan lahan biasanya akan mempengaruhi sikap petani dalam
memilih usahatani yang akan dijalankan. Menurut Soekartawi et al (1986) status
kepemilikan lahan mempunyai pengaruh terhadap proses produksi sehingga apabila
lahan itu milik pribadi maka pengambilan keputusan untuk memilih usahatani akan
lebih mudah tanpa mempertimbangkan keinginan dari pihak lain. Selain itu, status
kepemilikan lahan akan berpengaruh pada struktur biaya usahatani, bagi petani dengan
lahan milik pribadi akan menjadi biaya non tunai, sedangkan bagi petani dengan status
lahan sewa harus membayar secara tunai biaya sewa. Status kepemilikan lahan petani
organik dan non organik yang menjadi responden pada penelitian ini cukup beragam.
Tabel 3 menunjukan status kepemilikan lahan responden petani organik dan
non organik yang sebagian besar adalah milik pribadi, masing-masing sebanyak 12
responden dengan persentase 85.71 persen dan 75 persen, artinya petani responden
sebagian besar lebih mudah memanajemen proses produksinya tanpa perlu
mempertimbangkan keputusan dari pihak lain. Pada umumnya lahan yang dimiliki
petani tersebut didapat secara turun temurun atau warisan sehingga petani tidak perlu
membayar sewa lahan. Di Desa Pringkasap sendiri memang tidak ada petani yang
menyewa lahan, mereka lebih senang menggunakan sistem gadai atau bagi hasil.
Keuntungannya pada sistem gadai petani bisa mendapatkan uangnya kembali setelah
waktu perjanjian yang disepakati telah usai.
28

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan


penelitian mengenai perbandingan struktur biaya, penerimaan, pendapatan dan
efisiensi biaya usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap. Segala
input dan output yang diterima dalam penelitian ini dianalisis dalam ukuran satu hektar
lahan selama satu musim kemarau. Sebelum menganalisis perbandingan pendapatan
usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap maka perlu diketahui
bagaimana perbandingan biaya usahataninya terlebih dahulu.

Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Non Organik di Desa Pringkasap
Kabupaten Subang

Penelitian ini membandingkan bagaimana biaya yang dikeluarkan petani


organik dan non organik di Desa Pringkasap secara tunai, non tunai dan keseluruhan
(biaya total). Biaya tunai adalah biaya yang secara nyata dikeluarkan oleh petani dalam
bentuk uang tunai, sedangkan biaya non tunai adalah biaya yang diperhitungkan dalam
kegiatan usahatani (Hernanto 1989).
Komponen biaya tetap tunai dalam penelitian ini terdiri dari biaya pajak, sewa
peralatan, iuran pengairan, bahan bakar pengairan dan biaya pengangkutan. Biaya
pajak petani organik lebih besar dari pada petani non organik dikarenakan rata-rata
petani organik berada pada wilayah yang memiliki kondisi pengairan dan akses yang
mudah sehingga biaya pajak yang dikeluarkan lebih besar. Rata-rata petani organik
membayarkan pajak sebesar Rp 166 592.97 untuk lahan seluas satu hektar dalam satu
musim tanam, sementara petani non organik hanya Rp 108 644.35.
Petani padi organik maupun non organik juga menyewa beberapa peralatan
usahatani seperti traktor, komben dan pompa untuk menggarap lahannya. Biaya sewa
tersebut sudah meliputi biaya sewa tenaga kerja dengan sistem borong dan dibayarkan
secara tunai. Rata-rata biaya sewa peralatan yang dikeluarkan petani padi non organik
lebih tinggi daripada petani organik. Biaya sewa peralatan usahatani padi non organik
mencapai Rp 4 029 150.09, sementara usahatani padi organik hanya Rp 2 221 145.12.
Perbedaan yang cukup jauh ini disebabkan rata-rata petani non organik menyewa
pompa untuk pengairan. Beberapa petani non organik tidak mendapat irigasi tarum
timur dan tidak memiliki pompa sendiri sehingga harus menyewa. Sementara sebagian
besar petani organik mendapat irigasi tarum timur dan memiliki pompa sendiri. Selain
itu, berdasarkan hasil wawancara petani organik mengatakan dengan adanya
pengolahan lahan menggunakan pupuk hayati tanahnya menjadi lebih lembab. Hal ini
berdampak pada biaya pengeluaran bahan bakar untuk pengairan. Rata-rata 1 hektar
lahan padi non organik bisa menghabiskan Rp 914 375 untuk biaya bahan bakar saat
musim kemarau. Jauh berbeda dengan petani organik yang rata-rata hanya
menghabiskan Rp 187 321.43. Biaya bahan bakar termasuk dalam komponen biaya
29

tetap tunai dikarenakan petani rata-rata mengeluarkan biaya bahan bakar tidak jauh
berbeda di setiap musim kemarau.
Iuran pengairan termasuk dalam biaya tetap tunai karena rata-rata besar iuran
pengairan yang dikeluarkan petani setiap musim tanam sama. Biaya iuran pengairan
petani padi organik lebih rendah dibandingkan petani non organik dikarenakan lebih
banyak responden petani non organik yang membayar iuran pengairan dibandingkan
petani organik. Petani yang menggunakan irigasi teknis atau irigasi desa saja yang
membayar iuran pengairan. Rata-rata iuran pengairan petani organik dalam satu musim
tanam adalah Rp 31 071.43, sementara petani non organik membayar sebesar Rp 67
500.00.
Biaya pengangkutan hasil panen tidak banyak dikeluarkan oleh petani organik
maupun non organik karena sebagian besar pengangkutan sudah dilakukan oleh TKLK
untuk kegiatan panen. Raya-rata biaya pengangkutan hasil panen padi non organik
hanya sebesar Rp 32 500.00 atau 0.12 dari total biaya usahatani, sedangkan petani
organik hanya Rp 24 428.57 atau 0.11 dari total biaya usahatani. Sama halnya dengan
biaya bahan bakar, biaya pengangkutan juga termasuk dalam komponen biaya tetap
tunai dikarenakan petani rata-rata mengeluarkan biaya pengangkutan tidak jauh
berbeda di setiap musim kemarau.
Biaya tunai variabel dalam penelitian ini meliputi biaya benih, pupuk organik
padat dan cair, pupuk kimia padat, obat kimia padat dan cair, upah TKLK dan bagi
hasil. Akan tetapi, biaya pengadaan benih yang dikeluarkan petani organik maupun non
organik terbagi pada komponen biaya tunai dan non tunai. Adanya pembagian tersebut
dikarenakan ada beberapa petani yang benih padinya berasal dari panen sebelumnya
dan ada yang membeli dari toko. Benih dalam komponen biaya tunai berasal dari
pembelian di toko. Biaya benih tunai petani padi non organik lebih tinggi dibandingkan
petani organik, masing-masing sebesar Rp 166 436.01 dan Rp 55 588.70 per hektar
permusim tanam, artinya petani non organik lebih banyak membeli benih di toko
dibandingkan usahatani padi organik. Hal ini sesuai dengan biaya non tunai benih
petani padi non organik lebih rendah dibandingkan petani organik, masing-masing
sebesar Rp 56 393.23 dan Rp 116 738.10 per hektar permusim tanam. Petani organik
lebih suka menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya. Berdasarkan hasil
wawancara petani organik memang lebih percaya menggunakan bibit dari hasil
panennya daripada bibit dari toko. Secara keseluruhan biaya untuk pengadaan benih
dalam usahatani padi organik lebih rendah daripada usahatani padi non organik. Hal
ini dikarenakan jumlah benih yang digunakan petani padi organik lebih sedikit daripada
petani non organik. Jumlah benih usahatani padi organik adalah 26.19 kg per hektar
sementara usahatani padi non organik membutuhkan 29.37. Seperti pada usahatani padi
organik di Kabupaten bogor yang menggunakan benih 56% lebih sedikit dibanding
usahatani padi non organik (Syarifah 2014)
Beberapa petani non organik juga ada yang menggunakan pupuk organik yang
dibeli di paguyuban. Petani padi non organik yang menggunakan pupuk organik adalah
petani yang sudah beralih dari usahatani padi organik. Rata-rata total biaya pupuk
organik yang dikeluarkan petani padi non organik sebesar Rp 173 384.8 per hektar,
sementara petani padi organik mencapai Rp 925 920.02 per hektar. Biaya pupuk
30

organik petani organik tentu lebih besar karena rata-rata petani organik menggunakan
pupuk organik jauh lebih banyak. Usahatani padi organik rata-rata menggunakan
pupuk organik padat sebanyak 2580.86 kg dan pupuk organik cair sebanyak 22.88 liter
perhektar permusim, sedangkan usahatani padi non organik hanya menggunakan
pupuk organik padat sebanyak 107.86 kg dan 4.28 liter pupuk organik cair. Sebagian
besar pupuk organik yang digunakan oleh petani adalah pupuk organik buatan
paguyuban dan buatan sendiri.
Pada kenyataannya tidak semua petani organik sudah terlepas 100 persen dari
pupuk kimia, ada tujuh responden yang masih menggunakan pupuk kimia dengan
jumlah yang berangsur dikurangi setiap musimnya. Rata-rata biaya pupuk kimia yang
dikeluarkan petani padi non organik sebesar Rp 2 030 863.08 per hektar sementara
petani organik hanya Rp 441 288.27 per hektar. Usahatani padi organik rata-rata
menggunakan pupuk kimia sebanyak 917.5 kg per hektar sementara petani organik
hanya menggunakan 148.26 kg per hektar.
Biaya obat-obatan menjadikan komponen biaya tunai usahatani padi non
organik menjadi besar. Biaya obat yang dikeluarkan petani non organik mencapai Rp
2 000 959.70 atau 7.48 persen dari total biaya dibandingkan dengan biaya petani
organik yang hanya mengeluarkan biaya obat sebesar Rp 215 847.64 atau 1 persen dari
total biaya. Petani organik hanya mengeluarkan sedikit biaya tunai untuk obat
dikarenakan beberapa bahan baku membuat pestisida organik didapatkan secara gratis
dengan memanfaatkan air cucian beras dan tanaman yang dapat dipetik di sekitar
lingkungan rumah. Petani padi non organik menggunakan obat kimia cair dan padat
untuk membantu pertumbuhan dan mengusir hama. Sebagian besar petani organik
menggunakan obat organik untuk pertumbuhan dan mengusir hama, hanya ada satu
petani yang masih menggunakan obat kimia untuk mengusir hama dan dua orang petani
yang menggunakan obat kimia untuk membantu pertumbuhan.
Biaya tunai yang dikeluarkan petani organik untuk membayar upah tenaga kerja
luar keluarga (TKLK) lebih banyak daripada petani non organik. Biaya TKLK yang
harus dikeluarkan petani padi organik dalam satu musim tanam adalah Rp 1 991 760.06
per hektar, sementara petani non organik hanya membayar Rp 1 815 587.29 per hektar.
Hal ini dikarenakan jumlah HOK TKLK yang dibutuhkan dalam usahatani organik
juga lebih tinggi dibandingkan usahatani non organik, masing-masing 21.88 HOK dan
21.58 HOK perhektar permusim. Pada usahatani padi organik penyiangan dilakukan
lebih banyak dibandingkan usahatani padi non organik. HOK untuk penyiangan pada
usahatani padi organik sebesar 6.47 sementara usahatani padi non organik hanya 1.36.
Rata-rata upah harian yang dibayarkan petani organik untuk TKLK adalah Rp 91 061.6
per HOK per hektar sementara petani non organik hanya Rp 84 124.89. Rendahnya
rata-rata upah harian pada usahatani padi non organik dikarenakan beberapa petani
responden non organik menggunakan sistem borongan pada proses pengolahan lahan.
Kegiatan usahatani yang upahnya dibayarkan secara tunai diantaranya kegiatan
31

pengolahan tanah, persemaian, mencetak jarak tanam (nyaplak), penyiangan,


pemupukan dan penyemprotan (secara lengkap di Lampiran 1 dan 2)
Bagi hasil merupakan hasil panen yang harus dibayarkan oleh petani penggarap
kepada petani pemilik. Seperti yang dijelaskan pada karakteristik responden, terdapat
dua petani non organik yang lahannya bagi hasil. Bagi hasil yang dibayarkan dalam
bentuk tunai karena hasil panen yang diterima petani dijual dahulu baru dibagi dua
dengan pemilik. Rata-rata bagi hasil usahatani padi non organik sebesar Rp 1 550
984.38. Tidak ada biaya bagi hasil pada komponen biaya tunai non organik.
Total biaya tunai usahatani organik lebih rendah dibandingkan usahatani non
organik dan berbeda signifikan secara statistik, artinya kegiatan usahatani padi organik
membutuh biaya tunai usahatani jauh lebih rendah. Biaya tunai yang dikeluarkan
usahatani organik hanya Rp 6 260 964.20 per hektar per musim tanam sementara petani
non organik mencapai Rp 12 890 384.66, selisihnya mencapai 51.43 persen. Hal ini
dikarenakan total biaya pupuk yang dikeluarkan secara tunai oleh petani organik lebih
rendah dibanding usahatani padi non organik. Rata-rata petani non organik
menggunakan pupuk urea, pupuk TSP dan NPK dalam jumlah yang cukup banyak
sehingga berimplikasi pada biaya tunai yang harus dikeluarkan. Selain itu, selisih biaya
obat-obatan dan sewa peralatan antara usahatani padi organik dan non organik juga
cukup besar. Ditambah lagi beberapa petani padi non organik membayar pupuk dan
obat setelah panen sehingga harga yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan jika
membayar langsung. Komponen biaya tunai terbesar yang dikeluarkan usahatani non
organik maupun organik adalah biaya sewa alat.
Berbeda halnya dengan biaya tunai, biaya non tunai usahatani padi organik
tidak berbeda signifikan dengan usahatani padi non organik. Total biaya non tunai
usahatani padi organik Rp 15 210 620.20 sementara usahatani padi non organik Rp 13
868 798.09. Tingginya biaya non tunai usahatani padi organik karena biaya tenaga
kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) usahatani padi
organik lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non organik. Ditambah lagi usahatani
padi organik menggunakan pupuk dan obat-obatana yang bahan bakunya tidak dibeli
secara tunai sehingga ada biaya yang dikeluarkan secara non tunai. Beberapa petani
padi organik menggunakan pupuk kandang milik pribadi dan milik tetangga. Bahan
baku untuk obat-obatan organik seperti brotowali dan air cucian beras yang tidak dibeli
tetap diperhitungkan. Biaya untuk pupuk dan obat-obatan organik yang dikeluarkan
secara non tunai mencapai Rp 402 680.85 per hektar. Secara rinci perbedaan biaya
tunai dan non tunai usahatani padi organik dan non organik dapat dilihat pada Tabel 4.
Sewa lahan merupakan komponen biaya non tunai yang paling besar. Sebagian
besar petani organik dan non organik menggunakan lahan pribadi sehingga terdapat
komponen biaya non tunai sewa lahan. Biaya sewa lahan usahatani padi non organik
lebih rendah dibandingkan usahatani padi organik, hal ini dikarenakan terdapat dua
petani non organik yang sewa lahannya dibayar menggunakan bagi hasil. Selain itu,
32

biaya sewa lahan di Desa Pringkasap didasarkan pada kemudahan akses dan irigasi.
Biaya sewa lahan di Desa Pringkasap berkisar antara Rp 5-8 juta per hektar per musim.

Tabel 4 Struktur biaya usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
perhektar permusim tanam
Petani Non Organik n=16 Petani Organik n=14
Komponen Biaya
(Rp) (%) (Rp) (%)
Biaya Tunai
Biaya tetap
Pajak 108 644.35 0.41 166 592.97 0.78
Sewa peralatan (traktor,
4 029 150.09 15.06 2 221 145.12 10.34
komben, pompa)
Iuran pengairan 67 500.00 0.25 31 071.43 0.14
Bahan bakar pengairan 914 375.00 3.42 187 321.43 0.87
Biaya pengangkutan 32 500.00 0.12 24 428.57 0.11
Biaya variabel
Benih 166 436.01 0.62 55 588.70 0.26
Pupuk organik 173 384.75 0.65 925 920.02 4.31
Pupuk kimia padat 2 030 863.08 7.59 441 288.27 2.06
Obat organik 0.00 0.00 212 862.94 0.99
Obat kimia 2 000 959.70 7.48 2 984.70 0.01
Biaya TKLK 1 815 587.29 6.78 1 991 760.06 9.28
Bagi hasil 1 550 984.38 5.80 0.00 0.00
Total biaya tunai 12 890 384.66 48.17 6 260 964.20 29.16
Biaya non tunai
Biaya tetap
Biaya penyusutan alat 381 958.33 1.43 233 205.36 1.09
Sewa lahan 5 906 250.00 22.07 6 214 285.71 28.94
Biaya variabel
Biaya TKDK 2 267 539.06 8.47 2 550 984.43 11.88
Biaya TKLK (tanam
5 256 657.47 19.64 5 698 531.31 26.54
dan panen)
Benih 56 393.23 0.21 116 738.10 0.52
Pupuk organik 0.00 0.00 343 000.85 1.59
Obat organik 0.00 0.00 59 680.00 0.28
Total biaya non tunai 13 868 798.09 51.83 15 210 620.20 70.84
Total biaya 26 759 182.75 100.00 21 471 584.40 100

Biaya Penyusutan peralatan usahatani padi organik lebih rendah 38.5 persen
dibandingkan usahatani padi non organik (Tabel 4). Hal ini dikarenakan petani padi
33

organik rata-rata hanya memiliki satu alat penyemprotan, sementara petani padi non
organik memiliki lebih dari satu alat penyemprotan.
Biaya TKDK yang dikeluarkan usahatani padi organik lebih besar karena
usahatani padi organik membutuhkan TKDK 24.31 HOK per hektar sementara
usahatani padi non organik 24.16 HOK per hektar. Pada usahatani padi organik
kegiatan pengolahan lebih banyak dilakukan oleh TKDK sementara pada usahatani
padi non organik pengolahan lahan lebih banyak dilakukan oleh TKLK. Selain itu,
berdasarkan wawancara petani organik yang berusia tua dan petani yang berdagang
dalam sehari tidak menghabiskan waktu yang lama untuk melakukan kegiatan
usahatani sehingga membutuhkan jumlah hari yang lebih banyak, hal ini berdampak
pada upah harian yang sebenarnya harus dikeluarkan.
Biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) untuk kegiatan tanam dan panen
dibayar dengan hasil panen, sehingga biaya tersebut termasuk komponen biaya non
tunai. Pada usahatani padi organik biaya TKLK tersebut mencapai Rp 5 698 531.31
atau 26.38 persen dari total biaya usahatani, sementara biaya TKLK usahatani padi non
organik Rp 5 256 657.47 atau 19.64 persen dari total biaya. Padahal usahatani padi
organik hanya membutuhkan 26.61 HOK per hektar sementara usahatani padi non
organik membutuhkan 27.51 HOK per hektar. Biaya TKLK usahatani padi organik
yang lebih tinggi ini dikarenakan sistem upah didasarkan pada pembagian 1 : 6
terhadap hasil produktivitas yang diberi harga sesuai yang harga jual GKP yang didapat
petani. Beberapa petani organik mendapat harga GKP lebih besar daripada usahatani
padi non organik sehingga biaya TKLK non tunai yang dikeluarkan petani organik
lebih besar (secara lengkap di Lampiran 1 dan 2).
Secara keseluruhan, biaya total usahatani padi organik berbeda signifikan
dengan usahatani padi non organik yaitu lebih rendah, artinya kegiatan usahatani padi
organik membutuh total biaya usahatani jauh lebih rendah. Total biaya usahatani yang
dikeluarkan petani padi organik hanya sebesar Rp 21 471 584.40 per hektar per musim
tanam, sementara usahatani padi non organik mencapai Rp 26 759 182.75. Besarnya
selisih pada komposisi biaya tunai usahatani padi organik menjadi penyebab utama
total biaya usahatani padi organik lebih rendah daripada usahatani padi non organik.
Secara keseluruhan, komponen biaya yang menyebabkan biaya usahatani padi organik
menjadi lebih rendah adalah total biaya pupuk, obat-obatan dan sewa alat. Total biaya
pupuk usahatani padi organik sebesar Rp 1 710 209.13 sementara usahatani padi non
organik mencapai Rp 2 204 247.83. Usahatani padi organik tidak membutuhkan obat-
obatan perangsang tumbuhan seperti usahatani padi non organik karena berdasarkan
hasil wawancara petani merasa tanah pada lahan padi organik sudah lebih subur dengan
menggunakan pupuk hayati (pupuk cair organik buatan paguyuban) tanpa perlu banyak
obat-obatan. Ketika pupuk hayati diaplikasikan pada benih, tanah, dan permukaan
tanaman maka mikroorganisme akan mendiami rizofer atau jaringan tanaman
(endofitik) membantu meningkatkan pasokan nutrisi tanaman, kesuburan tanah,
keanekaragaman mikroorganisme tanah dan hasil tanaman (Saraswati et al 2015).
34

Hanya terdapat dua petani organik yang masih menggunakan obat perangsang
tumbuhan dengan jumlah yang sedikit yaitu 5.12 kg per hektar. Selain itu usahatani
padi organik tidak melakukan penyemprotan sesering usahatani padi non organik.
Usahatani padi organik hanya membutuhkan 4.58 HOK per hektar sementara usahatani
padi non organik mencapai 11.67 HOK. Ditambah lagi harga obat dan pupuk yang
harus dibayarkan petani non organik jauh lebih mahal. Secara keseluruhan biaya total
tenaga kerja (TKDK dan TKLK) menjadi komponen biaya yang terbesar baik untuk
usahatani padi organik maupun non organik. Total biaya tenaga kerja usahatani padi
organik sebesar Rp 10 241 275.8 sementara usahatani padi non organik sebesar Rp 9
272 596.32 per hektar per musim.

Penerimaan Usahatani Padi Organik dan Non Organik Usahatani Padi Organik
dan Non Organik di Desa Pringkasap Kabupaten Subang

Penerimaan dalam penelitian ini terdiri dari penerimaan tunai dan non tunai.
Penerimaan tunai adalah total hasil padi yang dijual ke tengkulak atau ke paguyuban
sesuai dengan harga gabah kering panen yang telah ditentukan. Sementara penerimaan
non tunai adalah total padi yang dijadikan bibit, dikonsumsi serta dijadikan
pembayaran ceblokan atau pembayaran tenaga kerja saat tanam dan panen.

Tabel 5 Penerimaan usahatani petani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
per hektar per musim tanam
Usahatani Padi Non Usahatani Padi Organik
Komponen penerimaan organik (n= 16) (n=14)
Nilai (Rp) (%) Nilai (Rp) (%)
Penerimaan tunai*
Dijual ke tengkulak 22 686 515.05 69.06 13 897 205.22 41.52
Dijual ke Paguyuban 0.00 0.00 7 500 000.00 22.41
Total penerimaan tunai 22 686 515.05 69.06 21 397 205.22 63.69
Penerimaan non tunai
Dikonsumsi 4 853 568.05 14.78 6 276 545.66 18.75
Biaya TKLK-panam dan
Panen (ceblokan) 5 256 657.47 16.00 5 698 531.31 17.03
Dijadikan bibit 52 799.48 0.16 96 646.83 0.29
Total penerimaan non
10 163 024.99 30.94 12 071 723.79 36.07
tunai
Total penerimaan 32 849 540.04 100.00 33 468 929.01 100.00
Keterangan: *dihitung pada tingkat harga GKP per kg
35

Petani organik maupun non organik di Desa Pringkasap lebih banyak menjual
hasil panennya daripada mengkonsumsi atau menyimpannya. Jumlah padi organik dan
non organik yang dijual masing-maisng sebanyak 4.06 ton dan 4.77 ton. Sementara
yang disimpan sebanyak 2.25 ton padi organik dan 2.17 ton padi non organik. Jumlah
tersebut berimplikasi pada total penerimaan tunai petani organik dan non organik yang
lebih tinggi daripada total penerimaan non tunai. Berdasarkan (Tabel 5) rata-rata total
penerimaan tunai usahatani padi organik dan non organik masing-masing adalah Rp
21.40 juta dan Rp 22.69 juta. Meskipun terdapat selisih angka sebesar Rp 1.29 juta
namun keduanya tidak berbeda signifikan secara statistik. Selain karna masih ada
petani yang menjual padinya ke tengkulak, hal ini dikarenakan jumlah produktivitas
padi yang dijual antara usahatani padi organik dan non organik tidak berbeda
signifikan. Petani padi non organik rata-rata menjual 4.69 ton ke tengkulak dengan
harga GKP rata-rata Rp 5056 per kg. Sementara petani padi organik rata-rata menjual
2.77 ton ke tengkulak dengan harga GKP rata-rata Rp 5056 per kg dan 1.29 ton ke
paguyuban dengan harga GKP Rp 6000 per kg.
Rata-rata penerimanaan non tunai usahatani padi organik tidak berbeda
signifikan dengan usahatani padi non organik. Total penerimaan non tunai usahatani
padi organik sebanyak Rp 12.07 juta sementara non organik hanya Rp 10.16 juta (Tabel
5). Tingginya total penerimaan non tunai usahatani padi organik dikarenakan jumlah
konsumsi petani padi organik mencapai 1.16 ton yang apabila diperhitungkan nilainya
sebesar Rp 6.27 juta sementara petani padi non organik hanya mengonsumsi sebanyak
1.07 ton senilai Rp 4.85 juta. Berdasarkan hasil wawancara, selain karena lahannya
yang sudah mulai tidak produktif petani organik beralih ke organik karena ingin hidup
lebih sehat, sehingga hasil panennya lebih banyak dikonsumsi. Biaya non tunai untuk
TKLK dan hasil panen yang dijadikan bibit petani organik juga lebih banyak daripada
petani non organik. Berdasarkan hasil wawancara, petani organik lebih percaya
menggunakan bibit dari hasil panennya daripada membeli dari toko, karena mereka
tidak yakin apakah bibit di toko benar-benar unggul dan organik atau tidak.
Rata-rata total penerimaan petani padi organik dan non organik masing-masing
sebesar Rp 33.47 juta dan Rp 32.85 juta dimana keduanya tidak berbeda signifikan
secara statistik. Hal ini dikarenakan produktivitas usahatani padi organik dan non
organik tidak berbeda signifikan, yaitu 6.3 ton per hektar untuk usahatani padi organik
dan 6.86 ton per hektar. Dikarenakan masih ada petani organik yang berada pada tahap
peralihan menuju organik murni sehingga produktivitas usahatani padi organik yang
diperoleh masih rendah. Seperti pada penelitian Damayanti (2014) produktivitas padi
konversi (menuju organik murni) 4.85 ton per hektar, sementara usahatani padi non
organik 7.17 ton. Pada masa transisi dari usahatani padi non organik menjadi organik
akan menyebabkan produktivitas padi rendah, akan tetapi setelah beberapa periode
pengusahaan padi organik dan semua unsur sudah murni organik maka produktivitas
padi organik bisa lebih tinggi dibandingkan padi non organik (Fariyanti et al 2011).
Selain itu, masih ada petani organik yang menjual hasil panennya ke tengkulak.
36

Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Non Organik di Desa


Pringkasap Kabupaten Subang

Pada penelitian ini, analisis pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan tunai
dan pendapatan total. Analisis pendapatan tunai mengukur kemampuan usahatani
menghasilkan uang tunai atas biaya tunai yang dikeluarkan (Soekartawi et al 1986),
sementara pendapatan atas biaya total mengukur hasil yang diperoleh dari total
penerimaan dikurangin dengan total biaya usahatani yang dikeluarkan.
Rata-rata pendapatan atas biaya tunai usahatani padi organik berbeda signifikan
dengan usahatani padi non organik masing-masing adalah Rp 15.13 juta untuk padi
organik dan Rp 9.80 juta untuk padi non organik (Tabel 6). Terdapat selisih sebesar Rp
5.23 juta. Rata-rata pendapatan atas biaya tunai usahatani padi organik yang lebih
tinggi menunjukan bahwa usahatani padi organik mampu memberikan imbalan dalam
bentuk tunai lebih baik daripada usahatani padi non organik. hal ini dikarenakan biaya
tunai usahatani padi organik 51.43 persen lebih rendah dibandingkan usahatani padi
non organik meskipun penerimaan tunai usahatani padi organik tidak berbeda
signifikan dengan usahatani padi non organik.

Tabel 6 Pendapatan usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap per
hektar per musim tanam
Usahatani Padi Non Usahatani Padi
Komponen Biaya
Organik (n=16) Organik (n=14)
Penerimaan tunai (Rp) 22 686 515.05 21 397 205.22
penerimaan non tunai (Rp) 10 163 024.99 12 071 723.79
Total penerimaan (Rp) 32 849 540.04 33 468 929.01
Biaya tunai (Rp) 12 890 384.66 6 260 964.20
Biaya non tunai (Rp) 13 868 798.09 15 210 620.20
Total biaya (Rp) 26 759 182.75 21 471 584.40
Pendapatan atas biaya tunai (Rp) 9 796 130.39 15 136 241.02
Pendapatan atas biaya total (Rp) 6 090 357.29 11 997 344.61
R/C tunai 1.76 3.42
R/C total 1.23 1.56
Return to total capital (%) 24.87 32.19
Return to labour (Rp/HOK) 187 253.98 281 883.84
Return to family labor (Rp/HOK) 275 008.09 527 834.95

Rata-rata pendapatan atas biaya total usahatani padi organik mencapai Rp 11.99
juta sementara usahatani padi non organik Rp 6.09 juta (Tabel 6). Terdapat perbedaan
signifikan sebesar Rp 5.90 juta, lebih tinggi usahatani padi organik. Artinya usahatani
padi organik memberikan imbalan atas biaya total yang jauh lebih besar. Hal ini
dikarenakan biaya total usahatani padi organik jauh lebih rendah (19.76 persen)
37

dibandingkan usahatani padi non organik meskipun total penerimaan usahatani padi
organik dan non organik tidak berbeda secara signifikan.
Pendapatan usahatani yang tinggi belum tentu mencerminkan usahatani yang
efisien dari segi biaya. Oleh karenanya diperlukan analisis R/C untuk mengukur
efisiensi biaya usahatani. Dalam penelitian ini efisiensi biaya atau nilai R/C terdiri dari
nilai R/C tunai dan nilai R/C total. Semakin tinggi nilai R/C maka semakin untung
usahatani tersebut. Nilai R/C total maupun tunai pada usahatani padi organik berbeda
signifikan dibandingkan usahatani padi non organik yaitu lebih tinggi. Artinya
usahatani padi organik lebih menguntungkan diukur dari efisiensi biaya yang
dikeluarkan. Nilai R/C tunai usahatani padi organik dan non organik, masing-masing
3.42 dan 1.76 (Tabel 6). Artinya setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan
usahatani padi organik dan non organik akan menghasilkan penerimaan tunai masing-
masing sebesar Rp 3.42 dan Rp 1.76. Usahatani padi organik mendapat penerimaan
tunai Rp 1.62 lebih tinggi dari setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan. Nilai
R/C total usahatani organik adalah 1.23 sementara usahatani padi non organik 1.56.
Artinya setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan, usahatani padi organik akan
memperoleh penerimaan total Rp 1.56 sedangkan usahatani padi non organik akan
memperoleh penerimaan total sebesar Rp 1.23.
Selain itu, kinerja usahatani semi komersial juga dapat dilihat dari imbalan
terhadap tenaga kerja dan modal. Analisis imbalan terhadap modal merupakan hal yang
dapat digunakan untuk menilai keuntungan investasi yang dilakukan petani
(Soekartawi et al 1986). Nilai return to total capital usahatani padi organik dan non
organik lebih besar daripada suku bunga kredit bank BRI tahun 2019 yakni sebesar 7
persen yang artinya petani padi organik dan non organik lebih untung
menginvestasikan modalnya untuk usahatani padi daripada di bank. Nilai return to
total capital usahatani padi organik lebih besar dibandingkan usahatani padi non
organik, masing-masing nilainya 32.19 persen dan 24.87 persen yang mana terdapat
selisih hingga 7.32 persen. Artinya menginvestasikan modal pada usahatani padi
organik lebih menguntungkan daripada menginvestasikan modal pada usahatani padi
non organik.
Nilai return to labour dan return to family labour usahatani padi organik dan
non organik masing-masing lebih tinggi dari nilai rata-rata upah harian yang nilainya
Rp 0.13 juta. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan petani untuk melakukan kegiatan
usahatani padi organik dan non organik sudah tepat karena imbalan kepada total tenaga
kerja dan tenaga kerja dalam keluarga yang diperoleh lebih besar daripada upah di luar
usahatani. Nilai return to labour usahatani padi organik lebih tinggi dibandingakan
usahatani padi non organik. Tenaga kerja pada usahatani padi organik mendapat
imbalan sebesar Rp 0.28 juta per HOK sementara usahatani padi non organik hanya
mendapat Rp 0.19 juta per HOK. Berdasarkan hal tersebut usahatani padi organik lebih
menguntungkan diukur dari imbalan yang diperoleh tenaga kerja.
Nilai return to family labour usahatani padi organik juga lebih tinggi dari
usahatani padi non organik artinya usahatani padi organik lebih menguntungkan karena
tenaga kerja dalam keluarga mendapatkan imbalan lebih tinggi dibandingkan dengan
usahatani padi non organik. Tenaga kerja dalam keluaraga pada usahatani padi non
38

organik hanya mendapat imbalan sebesar Rp 0.28 juta per HOK sementara pada
usahatani padi organik mencapai Rp 0.53 juta per HOK.
Setelah hasil analisis biaya, penerimaan dan pendapatan diperoleh maka untuk
mengetahui adanya perbedaan antara usahatani padi organik dan non organik dilakukan
uji beda dua sampel bebas yaitu uji Mann Whitney. Secara rinci hasil uji beda dua
sampel bebas terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil uji perbedaan usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
(Rp juta/hektar/musim)
Usahatani Padi Non Usahatani Padi Asymp
Komponen Organik (n=16) Organik (n=14) sig
Mean Min Max Mean Min Max (2 tailed)
Biaya tunai*** 12.89 6.53 36.82 6.26 3.28 11.22 0.000
Biaya non tunai 13.87 4.99 23.21 15.21 11.54 19.99 0.135
Biaya total* 26.76 17.78 56.43 21.47 16.63 25.66 0.051
Penerimaan tunai 22.69 8.00 44.00 21.40 3.25 38.38 1.000
Penerimaan non tunai 10.16 4.50 18.80 12.07 7.04 17.75 0.212
Penerimaan total 32.85 16.00 56.00 33.47 19.50 46.05 0.480
Pendapatan atas biaya
6.09 -7.83 29.84 11.99 0.99 22.32 0.096
tunai*
Pendapatan atas biaya
9.80 -5.14 37.47 15.13 -0.03 34.64 0.028
total**
R/C tunai** 1.76 0.61 6.73 3.42 0.99 10.28 0.014
R/C total** 1.23 0.67 2.14 1.56 1.04 1.94 0.006
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, ** signifikan pada taraf nyata
5 persen,* signifikan pada taraf nyata 10 persen
Berdasarkan hasil uji Mann Whitney, biaya tunai usahatani padi organik dan
non organik berbeda signifikan secara statistik pada taraf nyata 1 persen, ditunjukan
dengan nilai asymp sig (2 tailed) lebih kecil dari 0.01 (tolak H0). Usahatani padi organik
mengeluarkan biaya tunai jauh lebih rendah dibandingkan usahatani padi non organk.
Sementara itu, biaya total usahatani padi organik dan non organik berbeda signifikan
pada taraf nyata 10 persen ditunjukan dengan nilai asymp sig (2 tailed) lebih kecil dari
0.1 (tolak H0). Artinya biaya total yang dikeluarkan usahatani padi organik jauh lebih
rendah dibandingkan usahatani padi non organik.
Pendapatan atas biaya tunai usahatani padi organik dan non organik berbeda
signifikan pada taraf nyata 10 persen, yaitu lebih tinggi Rp 5.90 juta per hektar per
musim tanam usahatani padi organik. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai asymp sig
(2 tailed) lebih kecil dari 0.1 (tolak H0). Pendapatan atas biaya total usahatani padi
organik dan non organik berbeda signifikan pada taraf nyata 5 persen ditunjukan
dengan nilai asymp sig (2 tailed) lebih kecil dari 0.05 (tolak H0), usahatani padi organik
lebih tinggi Rp 5.33 juta dibandingkan usahatani padi non organik.
39

Nilai R/C tunai dan total usahatani padi organik dan non organik berbeda
signifikan pada taraf nyata 5 persen ditunjukan dengan nilai asymp sig (2 tailed) R/C
tunai dan R/C total lebih kecil dari 0.05 (tolak H0). Nilai R/C tunai dan total usahatani
padi organik jauh lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non organik. artinya
usahatani padi organik lebih menguntungkan dengan efisiensi biaya yang lebih tinggi
dibandingkan usahatani padi non organik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani padi organik di Desa Pringkasap
lebih menguntungkan dengan memberikan pendapatan dan efisiensi biaya yang lebih
tinggi dibandingkan usahatani padi non organik, selain itu biaya yang dikeluarkan
usahatani padi organik lebih rendah dibandingkan usahatani padi non organik. Hal ini
berarti bahwa budidaya padi organik layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan.
Meskipun demikian, dalam mengusahakan padi organik ada masa transisi dari
usahatani padi non organik menjadi organik dimana pada umumnya produktivitas padi
menurun pada masa ini (Fariyanti et al 2011).
Oleh karena itu, perlu upaya khusus agar tetap dapat menarik minat petani padi
non organik untuk beralih ke usahatani padi organik. Salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan mengedukasi petani untuk menanam padi organik pada sebagian lahan
yang dimiliki terlebih dahulu. Strategi tersebut telah dilakukan Paguyuban Bumi
Mandiri dan dikenal dengan sebutan “satu petak satu keluarga”. Strategi satu petak
lahan tersebut bertujuan agar petani tidak merasa semua hasil panennya turun sehingga
petani tetap mendapatkan hasil panen yang cukup. Hal ini berarti bahwa lahan lainnya
milik petani masih dapat ditanami padi konvensional. Dengan demikian proses beralih
ke padi organik dapat dilakukan secara bertahap.
Berdasarkan wawancara selama pengumpulan data, petani juga lebih mudah
tertarik untuk mengusahakan sesuatu apabila ada bukti yang menunjukan bahwa usaha
tersebut memberikan hasil yang memuaskan sehingga organisasi yang menaungi petani
padi organik harus bisa menunjukan bahwa usahatani padi organik mampu
memberikan hasil yang memuaskan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membuat
petani organik untuk tetap membudidayakan padi organiknya hingga produktivitas
yang dihasilkan meningkat dan tanahnya terlepas dari bahan input kimia sehingga
biaya yang dikeluarkan bisa benar-benar dikurangi. Setelah beberapa periode
pengusahaan padi organik dan semua unsur sudah murni organik maka produktivitas
padi organik bisa lebih tinggi dibandingkan padi non organik (Fariyanti et al 2011).
Sementara itu, karena adanya keterbatasan modal dan pasar yang dihadapi
paguyuban maka untuk meningkatkan jumlah petani padi organik di Desa Pringkasap
adalah menggunakan sistem pembayaran jatuh tempo. Sistem pembayaran jatuh tempo
dilakukan dengan cara petani dan paguyuban membuat kesepakatan batas tanggal
pembayaran hasil panen, dengan begitu petani merasa terjamin dan paguyuban dapat
memiliki kelonggaran untuk membayar dan target untuk mendapatkan pasar. Widodo
et al (2018) memberikan alternatif pembayaran jatuh tempo pada Komunitas Ngawi
Organik Center (KNOC) yang juga belum memiliki pangsa pasar yang sesuai dengan
target penjualan. Widodo et al (2018) menjelaskan bahwa KNOC perlu
mengkomunikasikan pada petani mengenani permasalahan yang menyebabkan
keterlambatan pembayaran dan menyarankan petani untuk percaya dengan
pembayaran jatuh tempo. Selain itu, Paguyuban Bumi Mandiri juga dapat melakukan
40

strategi kerjasama atau bermitra dengan kelompok tani organik lain yang memiliki
sertifikasi yang sama dan dengan perusahaan yang bergerak di bidang pangan. Sebagai
contoh, kelompok tani yang memproduksi beras organik di Bandung yaitu Kelompok
Tani Sarinah di Bandung melakukan kerjasama dengan kelompok tani lainnya sebagai
mitra dan perusahaan seperti Foodhall dan Nutrifood dalam memasarkan beras organik
(Sukayat et al 2016). Dalam arti, Kelompok Tani Sarinah bekerjasama dengan
kelompok tani lainnya menjadi pemasok beras organik ke Foodhall dan Nutrifood.
Kemitraan antara Kelompok Tani Sarinah dengan kelompok tani mitra dilengkapi
dengan kesepakatan kontrak bersama meliputi kesepakatan volume, harga, mutu dan
waktu. Selain itu, Kelompok Tani Sarinah juga membantu kelompok tani mitra terkait
dengan sarana produksi dan pensertifikasian melalui Inofice. Berdasarkan wawancara,
Paguyuban Bumi Mandiri kini juga sudah menjalin kerja sama dengan Kelompok Tani
Sarinah dan sudah mulai ada penjajakan dari perusahaan Enersoil dan Kondo
International.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan Paguyuban Bumi Mandiri, seperti
menyarankan kepada petani untuk melakukan konversi lahan organik secara bertahap,
inovasi sistem pembayaran kepada petani, dan bekerjasama dengan kelompok tani lain
dalam pemasaran diharapkan dapat mengatasi kendala saat ini untuk dapat mengajak
petani lain menjalankan usahatani padi organik. Kedepannya, dapat mewujudkan visi
paguyuban dan harapan pemerintah untuk menjadikan Desa Pringkasap sebagai desa
organik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, penelitian mengenai analisis perbandingan


pendapatan usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap, Subang
menunjukan bahwa:
1. Total biaya usahatani padi organik di Desa Pringkasap berbeda signifikan secara
statistik dibandingkan usahatani padi non organik yaitu lebih rendah. Hal ini
dikarenakan usahatani padi organik di Desa Pringkasap menggunakan pupuk dan
obat-obatan yang harganya lebih rendah. Komponen biaya terbesar dalam struktur
biaya usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap adalah biaya
tenaga kerja.
2. Total penerimaan padi organik di Desa Pringkasap tidak berbeda signifikan secara
statistik dibandingkan usahatani padi non organik. Hal ini dikarenakan masih ada
beberapa petani organik di Desa Pringkasap yang mendapat harga GKP padi organik
sama seperti harga GKP padi non organik. Selain itu produktivitas usahatani padi
organik dan non organik di Desa Pringkasap tidak berbeda signifikan.
41

3. Pendapatan total usahatani padi organik di Desa Pringkasap berbeda signifikan


secara statistik dibandingkan usahatani padi non organik yaitu lebih tinggi. Hal ini
dikarenakan total biaya usahatani padi organik di Desa Pringkasap lebih rendah
19.76 persen dibandingkan usahatani padi non organik.
4. Nilai R/C total maupun tunai pada usahatani padi organik di Desa Pringkasap
berbeda signifikan secara statistic dibandingkan usahatani padi non organik yaitu
lebih tinggi. Artinya usahatani padi organik di Desa Pringkasap layak dan lebih
menguntungkan diukur dari efisieni biaya yang dikeluarkan.

Saran

Sebaiknya petani di Desa Pringkasap yang ingin menerapkan usahatani padi


non organik mengurangi jumlah penggunaan pupuk dan obat kimia yang harganya
lebih tinggi dan mensubstitusi penggunaan pupuk kimia dengan pupuk organik untuk
mengurangi jumlah biaya tunai yang harus dikeluarkan. Sehubungan dengan
keuntungan usahatani padi organik di Desa Pringkasap yang lebih tinggi dibandingkan
non organik, bagi petani yang ingin mencoba usahatani padi organik alangkah baiknya
menggunakan waktu lebih efisien dengan menyelesaikan kegiatan dalam hari yang
sama dan tidak menunda-nunda waktu sehingga biaya tenaga kerja yang dikeluarkan
tidak terlalu banyak.
Sehubungan dengan strategi pemasaran Paguyuban Bumi Mandiri yang masih
pada tahap perkenalan maka pola kemitraan dengan kelompok tani lainnya dan
perusahaan pangan dapat menjadi alternatif dalam pemasaran. Paguyuban perlu
mempertahankan kemitraan yang sudah terjalin dan menambah mitra tani lain.
Pengembangan pasar perlu dilakukan untuk membuat petani padi organik mau
bertahan dan meningkatkan minat petani padi non organik beralih ke organik.
Bagi peneliti selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk memperhitungkan
penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pembuatan pupuk dan obat organik karena
sebagian besar pupuk dan obat organik yang digunakan petani dibuat mandiri sehingga
membutuhkan waktu dan tenaga. Selain itu penelitian selanjutnya dapat
mempertimbangkan penghitungan analisis usahatani padi organik berdasarkan
lamanya berusahatani organik dan dapat menghitung efisiensi teknis usahatani padi
organik.
42

DAFTAR PUSTAKA

[AOI] Aliansi Organis Indonesia. 2017. Statistik Pertanian Organik Indonesia Tahun
2016. [e-book]
[AOI] Aliansi Organis Indonesia. 2016. Tren konsumsi dan gaya hidup organik di
Indonesia. [Internet]. Tersedia pada : https://aoi.ngo/web/tren-konsumsi-
dan-gaya-hidup-organik-di-indonesia/ [diakses pada 3 Juni 2020]
Damayanti G. 2014. Analisis usahatani padi organik dan non organik di komunitas
ngawi organik center (knoc) Kabupaten Ngawi. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Fariyanti A, Kusnadi N, Atmakusuma J, Farmayanti N. 2011. Efisiensi produksi padi
sehat dan non organik di Kabupaten Bogor. Didalam : Nurmalina R, Priatna
WB, Jahroh S, Nurhayati P, Rifin A, editor. Prosiding Seminar Penelitian
Unggulan Departemen Agribisnis; 2011 Des 7 dan 14; Bogor, Indonesia,
Bogor (ID): Departemen Agribisnis IPB. Hlmn 79-97
Fatullah A. 2010. Analisis sistem usahatani padi sehat (suatu perbandingan, kasus :
Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa
Barat). [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Bogor: Penebar Swadaya.
[KAN] Komite Akreditasi Nasional. 2020. Direktori klien LS organik.
http://kan.or.id/index.php/documents/terakreditasi/doc17021/sni-iso-iec-
17065/lembaga-sertifikasi-organik. [intenet]. [diakses pada 21 Mei 2020]
Lufti M A. 2017. Analisis pendapatan usahatani padi organik dan non organik di
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Mayrowani H. 2012. Pengembangan pertanian organik di Indonesia.(the development
of organic agriculture in indonesia ). Forum penelitian agro ekonomi,
volume 30 no. 2, desember 2012 : 91 - 108
Mutiarasari A. 2016. Analisis pendapatan usahatani padi organik dan padi anorganik
di Kecamatan Manonjaya, Tasikmalaya Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID):
IPB.
Poetriyani A. 2011. Analisis perbandingan efisiensi teknis usahatani padi organik
dengan anorganik (kasus Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor). [Skripsi]. Bogor (ID): IPB
Rahayu MD dan Yuliawati. 2020. Pendapatan dan risiko usahatani padi organik dan
non organik di Karangasem, Ketapang, Susukan, Kabupaten Semarang.
ZIRAA’AH. Vol 45 No 1. Hlmn 41-45. Salatiga (ID) : Universitas Kristen
Satya Wacana
Rochayati S dan Husnain. 2015. Pengembangan pertanian organik di Indonesia. Di
dalam Rachman A, Irawan, Husnain, Hartatik W, Wigena P, Nurjaya,
editor. Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan
Berkelanjutan. Jakarta, Indonesia, Jakarta (ID): IAARD Press. Hlmn 1-21
Saefuddin A, Notodiputro K A, Alamudi A, Sadik K. 2009. Statistika Dasar. Jakarta
(ID): Grasindo
Saraswati R, Hastuti RD, Salma S. 2015. Potensi pupuk hayati pada pertanian organik.
Di dalam Rachman A, Irawan, Husnain, Hartatik W, Wigena P, Nurjaya,
43

editor. Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan


Berkelanjutan. Jakarta, Indonesia, Jakarta (ID): IAARD Press. Hlmn 53-
62
Shinta A. 2011. Ilmu Usahatani. Malang : UB Press
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-Press.
Soekartawi, Soeharjo A, Dillon J L, dan Hardaker J B. 1986. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Cet 3. Jakarta : UI Press
Sukayat Y dan Supyandi D. 2016. Keberdayaan petani padi organik dalam memenuhi
permintaan pasar terstruktur (studi kasus pada Kelompok Tani Sarinah
Kabupaten Bandung). Agricore. Vol. 1, No. 1, Juni 2016: 1-94
Surdianto Y dan Sutrisna N. 2015. Budidaya Padi Organik. Bandung : Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Sutarto. 2008. Hubungan Sosial Ekonomi Petani Dengan Tingkat Adopsi Inovasi
Teknologi Komoditas Jagung Di Sidoharjo Wonogiri. Jurnal Agritexts 1
(2) p: 1-12.
Suyanto dan Gio PU. 2017. Statistika Nonparametrik dengan SPSS, Minitab, dan R.
Medan : USU Press
Syarifah A. 2014. Analisis usahatani padi organik dan padi non-organik di Kabupaten
Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Tisnawati NM. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen beras
organik di Kota Denpasar. Piramida. Vol. XI No. 1 : 13 - 19
Wibowo H dan Husnain. 2015. Sertifikasi dan pasar organik. Di dalam Rachman A,
Irawan, Husnain, Hartatik W, Wigena P, Nurjaya, editor. Sistem
Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan Berkelanjutan.
Jakarta, Indonesia, Jakarta (ID): IAARD Press. Hlmn 153-169
Widodo ALM, Harisudin M, dan Agustono. 2018. Analisis menurunnya minat petani
menanam padi organik dengan pendekatan fishbone diagram Di Kabupaten
Ngawi. Agrisaintifika. Vol. 2, No. 1, 2018
Wulandari I. 2011. Analisis perbandingan pendapatan usahatani padi organik dengan
padi anorganik (kasus : Kelurahan Sindang Barang Dan Situ Gede,
Kecamatan Bogor Barat). [Skripsi]. Bogor (ID): IPB
Yuantari C dan Handayani S. 2017. Biostatistik Deskriptif & Inferensial. Cet 2.
Semarang (ID) : Badan Penerbit Universitas Dian Nuswantoro
44

LAMPIRAN

Lampiran 1 Rata-rata HOK dan upah pada setiap kegiatan usahatani padi organik di
Desa Pringkasap per hektar per musim tanam

Non tunai Tunai


Kegiatan TKDK TKLK TKLK
Upah (Rp) Upah (Rp) Upah (Rp)
(HOK) (HOK) (HOK)
Pengolahan lahan 12.27 1049682.00 0.00 0.00 9.07 8457540
persemaian 2.11 206768.00 0.00 0.00 0.48 33571.40
Mencetak jarak
0.00 0.00 0.00 0.00 1.66 220368.00
tanam (nyaplak)
Tanam 0.00 0.00 11.21 2832738.00 0.00 0.00
Penyiangan 2.87 298376.00 0.00 0.00 6.47 486531.00
Pemupukan 5.13 720292.00 0.00 0.00 1.57 183750.00
Penyemprotan 1.94 275867.00 0.00 0.00 2.64 221786.00
Panen 0.00 0.00 15.41 2832738.00 0.00 0.00
Total 24.31 2550984.00 26.61 5665476.00 21.88 1991760.00
Upah/HOK 104917.23 212882.79 91016.60

Lampiran 2 Rata-rata HOK dan upah pada setiap kegiatan usahatani padi non organik
di Desa Pringkasap per hektar per musim tanam
Non tunai Tunai
Kegiatan TKDK TKLK TKLK
Upah (Rp) Upah (Rp) Upah (Rp)
(HOK) (HOK) (HOK)

Pengolahan lahan 6.78 43483.30 0.00 0.00 12.24 910781.30


Persemaian 2.53 193255.20 0.00 0.00 0.12 24488.60
Mencetak jarak
0.27 33541.70 0.00 0.00 1.30 129045.90
tanam (Nyaplak)
Tanam 0.00 0.00 13.91 2594735.00 1.07 108333.30
Penyiangan 2.60 187500.00 0.00 0.00 1.36 107087.10
Pemupukan 1.75 299127.60 0.00 0.00 2.80 223013.70
Penyemprotan 8.97 1032031.30 0.00 0.00 2.70 312837.40
Panen 1.25 87500.00 13.60 2594735.00 0.00 0.00
Total 24.16 2267539.10 27.51 5189470.00 21.58 1815587.30
Upah/HOK 93 865.18 188658.63 84124.89
45

Lampiran 3 Rata-rata HOK usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
Subang per hektar per musim tanam

Petani Non Organik (n=16) Petani organik (n=14)


Total Total
Kegiatan TKDK TKLK Tenaga TKDK TKLK Tenaga
(%) (%)
(HOK) (HOK) Kerja (HOK) (HOK) Kerja
(HOK) (HOK)
Pengolahan
6.78 12.24 19.02 25.97 12.27 9.07 21.34 29.31
lahan
persemaian 2.53 0.12 2.66 3.62 2.11 0.48 2.59 3.55
Nyaplak 0.27 1.30 1.57 2.14 0.00 1.66 1.66 2.28
Tanam 0.00 14.97 14.97 20.44 0.00 11.21 11.21 15.39
Penyiangan 2.60 1.36 3.96 5.40 2.87 6.47 9.34 12.82
Pemupukan 1.75 2.80 4.54 6.20 5.13 1.57 6.70 9.20
Penyemprotan 8.97 2.70 11.67 15.94 1.94 2.64 4.58 6.29
Panen 1.25 13.60 14.85 20.27 0.00 15.41 15.41 21.16
Total 24.16 49.09 73.25 100.00 24.31 48.50 72.81 100.00

Lampiran 4 Jumlah produksi usahatani padi organik yang dijadikan upah TKLK per
hektar per musim tanam

Nama Jumlah produktivitas Harga


Luas lahan (Ha) Nilai (Rp)
Responden (Kg/Ha) (Rp/satuan)
Aam 0.50 1140.00 6000.00 6840000.00
Kusna 0.54 796.29 5100.00 4061111.11
Tali 0.50 1200.00 5500.00 6600000.00
Kalim 0.50 940.00 6500.00 6110000.00
Akat 0.50 800.00 5000.00 4000000.00
Ahyar 0.25 880.00 5500.00 4840000.00
Endang 0.26 1192.31 5500.00 6557692.31
H.Adi 0.50 840.00 5500.00 4620000.00
Wastar 3.00 1000.00 4600.00 4600000.00
Rohim 0.35 1428.57 5000.00 7142857.14
Deni 0.24 900.00 4800.00 4320000.00
Memed 0.80 1425.00 5000.00 7125000.00
Lapin 0.20 1850.00 5000.00 9250000.00
Enjang 0.20 500.00 6500.00 3250000.00
Total 14892.17 75500.00 79316660.60
Rata-rata 1063.73 5392.86 5665475.75
46

Lampiran 5 Jumlah produksi usahatani padi non organik yang dijadikan upah TKLK
per hektar per musim tanam

Nama Jumlah produktivitas Harga


Luas Lahan (Ha) Nilai (Rp)
Responden (Kg/Ha) (Rp/satuan)
Atim 2.00 650.00 5000.00 3250000.00
Erti 0.55 636.36 5200.00 3309091.00
335.00 5500.00 1842500.00
Nata 2.00
420.00 4500.00 1890000.00
Herman 2.00 950.00 4500.00 4275000.00
Tardi 1.00 800.00 5000.00 4000000.00
Alam 0.25 1680.00 5000.00 8400000.00
Narsita 1.00 1167.00 5500.00 6418500.00
Rohendi 0.20 1500.00 5000.00 7500000.00
Aca 0.75 1866.66 5000.00 9333333.00
Amu 1.50 2000.00 5500.00 11000000.00
Haji Aji 1.40 1192.86 4000.00 4771429.00
Lukman 0.38 666.67 4000.00 2666667.00
Sakim 0.64 1250.00 4700.00 5875000.00
Oman 0.15 0.00 0.00 0.00
Sadi 1.00 1000.00 4000.00 4000000.00
Enjang 1.00 1000.00 4500.00 4500000.00
Total 17114.55 76900.00 83031519.50
Rata-rata 1069.66 4806.25 5189470.00

Lampiran 6 Input produksi usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
Subang per hektar per musim tanam
Usahatani Padi Non Organik Usahatani Padi organik
Kebutuhan
(n= 16) (n-14)
Benih (kg) 29.37 26.19
Pupuk kimia padat (kg) 917.49 148.25
Pupuk organik padat (kg) 107.87 2580.65
Pupuk organik cair (liter) 4.28 22.88
Obat kimia Padat (kg) 24.36 5.27
Obat kimia cair (liter) 7.98 0.14
Obat organik cair (liter) 0.00 9.29
47

Lampiran 7 Statistik deskriptif penerimaan usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap per hektar per musim
tanam

Usahatani Padi Non Organik (n=16) Usahatani Padi Organik (n=14)


Variabel
Mean StDev Min Max Mean StDev Min Max
Dijual ke tengkulak 22686515 11530211 8000000 44000000 13897205 12902835 0 38375000
Dijual ke paguyuban 0 0 0 0 9410714 13414834 0 30250000
Dikonsumsi 4853568 4687851 0 18400000 6276546 3928647 0 12837500
Upah TKLK 5256657 2798440 0 11000000 5698531 1378484 3250000 7675000
Dijadikan bibit 52799 79738 0 266667 96647 115568 0 325000

Lampiran 8 Statistik deskriptif biaya, penerimaan, pendaptan dan R/C Rasio usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap per hektar per musim tanam

Usahatani Padi Non Organik (n=16) Usahatani Padi Organik (n=14)


Variabel
Mean StDev Min Max Mean StDev Min Max
Pendapatan total 6090357 9777182 -7831250 29839802 11997345 6222131 993843 22319250
Pendapatan tunai 9796130 12096893 -5136667 37470011 15136241 9616406 -28750 34642500
Biaya tunai 12890385 7223192 6529989 36820000 6260964 2574769 3278750 11222750
Biaya non tunai 13868798 4946294 4987500 23214583 15210620 2412443 11535750 19998250
Biaya total 26759183 9186228 17776250 56430000 21471584 2779374 16634375 25662750
Penerimaan tunai 22686515 11530211 8000000 44000000 21397205 9398211 3250000 38375000
Penerimaan non tunai 10163025 4443789 4500000 18800000 12071724 3464731 7040000 17750000
Penerimaan total 32849540 12894363 16000000 56000000 33468929 8117160 19500000 46050000
R/C tunai 2.06 1.50 0.61 6.74 3.97 2.64 0.99 10.28
R/C total 1.24 0.36 0.67 2.14 1.55 0.25 1.04 1.94
48

Lampiran 9 Hasil uji Mann Whitney


Ranks

Biaya tunai N Mean Rank Sum of Ranks

Biaya tunai non organik 16 21.06 337.00

organik 14 9.14 128.00

Total 30

Test Statisticsb

Biaya tunai

Mann-Whitney U 23.000

Wilcoxon W 128.000

Z -3.700

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Biaya tunai

Ranks

biaya non
tunai N Mean Rank Sum of Ranks

biaya non tunai non organik 16 13.25 212.00

organik 14 18.07 253.00

Total 30
49

Test Statisticsb

biaya non tunai

Mann-Whitney U 76.000

Wilcoxon W 212.000

Z -1.497

Asymp. Sig. (2-tailed) .135

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .142a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: biaya non tunai

Ranks

biaya total N Mean Rank Sum of Ranks

biaya total non organik 16 18.44 295.00

organik 14 12.14 170.00

Total 30

Test Statisticsb

biaya total

Mann-Whitney U 65.000

Wilcoxon W 170.000

Z -1.954

Asymp. Sig. (2-tailed) .051

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .052a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: biaya total


50

Ranks

Penerimaan
tunai N Mean Rank Sum of Ranks

Penerimaan tunai non organik 16 15.50 248.00

organik 14 15.50 217.00

Total 30

Test Statisticsb

Penerimaan
tunai

Mann-Whitney U 112.000

Wilcoxon W 217.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Penerimaan tunai

Ranks

penerimaan
non tunai N Mean Rank Sum of Ranks

penerimaan non tunai non organik 16 13.62 218.00

organik 14 17.64 247.00

Total 30
51

Test Statisticsb

penerimaan non
tunai

Mann-Whitney U 82.000

Wilcoxon W 218.000

Z -1.247

Asymp. Sig. (2-tailed) .212

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .224a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: penerimaan non tunai

Ranks

penerimaan
total N Mean Rank Sum of Ranks

penerimaan total non organik 16 14.44 231.00

organik 14 16.71 234.00

Total 30

Test Statisticsb

penerimaan total

Mann-Whitney U 95.000

Wilcoxon W 231.000

Z -.707

Asymp. Sig. (2-tailed) .480

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .498a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: penerimaan total


52

Ranks

Pendapatan
atas biaya
tunai N Mean Rank Sum of Ranks

Pendapatan atas biaya tunai non organik 16 13.00 208.00

organik 14 18.36 257.00

Total 30

Test Statisticsb

Pendapatan atas
biaya tunai

Mann-Whitney U 72.000

Wilcoxon W 208.000

Z -1.663

Asymp. Sig. (2-tailed) .096

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .101a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Pendapatan atas biaya


tunai

Ranks

pendapatan
total N Mean Rank Sum of Ranks

pendapatan total non organik 16 12.19 195.00

organik 14 19.29 270.00

Total 30
53

Test Statisticsb

pendapatan total

Mann-Whitney U 59.000

Wilcoxon W 195.000

Z -2.203

Asymp. Sig. (2-tailed) .028

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .028a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: pendapatan total

Ranks

R/C tunai N Mean Rank Sum of Ranks

R/C tunai non organik 16 11.81 189.00

organik 14 19.71 276.00

Total 30

Test Statisticsb

R/C tunai

Mann-Whitney U 53.000

Wilcoxon W 189.000

Z -2.453

Asymp. Sig. (2-tailed) .014

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .013a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: R/C tunai


54

Ranks

R/C Total N Mean Rank Sum of Ranks

R/C Total non organik 16 11.38 182.00

organik 14 20.21 283.00

Total 30

Test Statisticsb

R/C Total

Mann-Whitney U 46.000

Wilcoxon W 182.000

Z -2.744

Asymp. Sig. (2-tailed) .006

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .005a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: R/C Total


55

Lampiran 10 Dokumentasi penelitian

Pupuk cair organik LPK Pupuk cair organik Deka


buatan paguyuban buatan Paguyuban

Obat kimia Proses wawancara dengan petani

Lahan sawah padi organik Produk beras organik pringkasap


56

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 April 1998 di Kabupaten Pekalongan sebagai


anak kedua dari Bapak M. Sucipto dan Ibu Rini Anggorowati. Tahun 2016 penulis
lulus dari SMA Negeri 1 Kajen dan lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur SNMPTN dengan program studi Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen.
Selama aktif mengikuti perkuliahan di IPB, penulis menjadi anggota
Departemen Eksternal pada Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis
(HIPMA) tahun 2017/2018 dan Badan Pengurus Harian (BPH) organisasi mahasiswa
daerah (Pekalongan-Batang) tahun 2017/2018. Penulis juga menjadi anggota publik
dan bisnis organisasi Forum For Indonesia (FFI) chapter Bogor (2018/2019) yang
bergerak dalam bidang sosial dan pengembangan masyarakat. Prestasi yang diraih
penulis selama masa perkuliahan adalah menjadi finalis lomba business plan
Cultureplaner 2018 yang diadakan Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai