DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
ABSTRACT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PRAKATA
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
Struktur Biaya Usahatani 7
Penerimaan Usahatani 8
Pendapatan Usahatani 9
Efisiensi Usahatani (R/C Rasio) 10
KERANGKA PEMIKIRAN 10
Kerangka Pemikirian Teoritis 10
Konsep Usahatani 10
Konsep Biaya Usahatani 12
Konsep Penerimaan Usahatani 12
Konsep Pendapatan Usahatani 13
Konsep Efisiensi Usahatani (R/C Rasio) 14
Kerangka Operasional 15
METODE PENELITIAN 16
Lokasi dan Waktu Penelitian 16
Jenis dan Sumber Data 17
Metode Pengambilan Sampel 17
Metode Analisis Data 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 23
Keadaan Umum Pertanian Padi Desa Pringkasap 23
Karakteristik Responden 25
HASIL DAN PEMBAHASAN 28
Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Non Organik di Desa Pringkasap
Kabupaten Subang 28
Penerimaan Usahatani Padi Organik dan Non Organik Usahatani Padi Organik dan
Non Organik di Desa Pringkasap Kabupaten Subang 34
Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Non Organik di Desa
Pringkasap Kabupaten Subang 36
SIMPULAN DAN SARAN 40
DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN 44
RIWAYAT HIDUP 56
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Rata-rata HOK dan upah pada setiap kegiatan usahatani padi organik di
Desa Pringkasap per hektar per musim tanam 44
2 Rata-rata HOK dan upah pada setiap kegiatan usahatani padi non organik
di Desa Pringkasap per hektar per musim tanam 44
3 Rata-rata HOK usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap Subang per hektar per musim tanam 45
4 Jumlah produksi usahatani padi organik yang dijadikan upah TKLK
per hektar per musim tanam 45
5 Jumlah produksi usahatani padi non organik yang dijadikan upah TKLK
per hektar per musim tanam 46
6 Input produksi usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap Subang per hektar per musim tanam 46
7 Statistik deskriptif penerimaan usahatani padi organik dan non organik
di Desa Pringkasap per hektar per musim tanam 47
8 Statistik deskriptif biaya, penerimaan, pendaptan dan R/C Rasio usahatani
padi organik dan non organik di Desa Pringkasap per hektar per musim
tanam 47
9 Hasil uji Mann Whitney 48
10 Dokumentasi penelitian 55
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Pemprov Jawa Timur. 2019. Minat pertanian organik meningkat. Tersedia pada
http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/minat-pertanian-organik-meningkat. [internet]. [diakses
pada 12 November 2019]
2
2
Kementan RI. 2016. Penguatan sistem pertanian organik Indonesia menuju berkembangnya desa
pertanian organik & menguasai pasar organik dunia. Tersedia pada:
http://tanamanpangan.pertanian.go.id/index.php/berita/95. [internet]. [diakses pada 12 November
2019]
3
2014). Permintaan beras organik luar negri dibuktikan dengan volume ekspor beras
organik yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 ekspor beras organik
Indonesia hanya 81 ton, namun pada tahun 2018 Kementan RI telah menerbitkan
rekomendasi ekspor 143 ton beras organik. Bahkan menurut Direktur Jendral Tanaman
Pangan (2019), 252 ton beras organik telah direkomendasikan untuk menembus pangsa
pasar luar negeri di bulan Juni 2019.3 Negara sasaran yang menjadi tujuan ekspor beras
organik hingga Juni 2019 diantaranya Jepang, Hongkong, Jerman, US, Perancis,
Malaysia dan Singapura. Beras organik yang diekspor adalah beras putih, beras hitam
dan beras merah. Sejalan dengan permintaan beras organik, selama tahun 2016-2018
program pemerintah untuk desa pertanian padi organik yang mendapat bantuan
Kementan RI telah terealisasi 650 desa melebihi target 600 desa dengan luasan
mencapai 23 375 hektar dan produktivitas rata-rata 5.46 ton per hektar.4
Harga jual beras organik lebih tinggi dibandingkan harga jual beras non organik.
Harga beras putih organik pada tahun 2019 menurut Kementerian RI berkisar antara
Rp20 000 sampai dengan Rp25 000 per kg5, sementara harga beras non organik
berkisar Rp9 000 sampai dengan Rp11 000 per kg di tingkat konsumen. Selain itu,
harga jual Gabah Kering Panen (GKP) padi organik lebih tinggi dibandingkan harga
padi non organik seperti di Kabupaten Tasikamalaya harga GKP padi organik Rp 5 500
per kg, sementara GKP padi non organik Rp 5 000 (Mutiarasari 2016). Harga yang
tinggi tersebut menjadi peluang untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Akan tetapi,
realitanya jumlah petani padi yang mengusahakan padi organik masih lebih sedikit
dibanding jumlah petani padi non organik.
Adanya tantangan dalam pertanian organik di Indonesia menjadi salah satu
penyebab masih banyak petani padi non organik yang enggan beralih ke pertanian
organik sehingga meskipun luasan area dan produksi padi organik meningkat
jumlahnya belum sebanding dengan padi non organik. Menurut Mayrowani (2012)
terdapat kendala yang bersifat mikro yaitu kendala yang dihadapi petani kecil pada
tingkat usahatani. Kendala tersebut diantaranya kurangnya pemahaman para petani
terhadap sistem pertanian organik serta perlunya organisasi di tingkat petani sebagai
penyuluh dan membantu dalam sertifikasi. Proses sertifikasi dianggap berat oleh petani
karena biaya sertifikasi organik cukup tinggi. Di samping itu, perlu investasi mahal
pada awal pengembangan karena lahan yang digunakan harus benar-benar steril dari
bahan kimia. Kendala lainnya adalah minat petani yang rendah untuk bertani organik
3
Kementrian Pertanian RI. 2019. Beras organik Indonesia diminati pasar ekspor. Tersedia pada:
https://pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=3907. [internet]. [diakses pada 30 Agustus
2019]
4
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2019. Kementan galakkan beras
organik, terwujud 1000 desa mandiri organik. Tersedia pada:
http://bbpengkajian.litbang.pertanian.go.id/index.php/fr/berita/berita-teknologi/1185-kementan-
galakkan-beras-organik-terwujud-1000-desa-mandiri-organik. [internet]. [diakses pada 12 November
2019]
5
Kementan RI. 2019. Mentan ajak bertani cerdas dengan tanam padi organik. Tersedia pada:
https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=1738. [internet]. [diakses pada 6 juni
2020]
4
karena masih belum jelasnya pasar produk pertanian organik, hingga saat ini konsumen
produk organik termasuk beras organik masih terbatas pada kalangan menengah atas
tidak seperti beras non organik yang dikonsumsi semua kalangan sehingga petani
masih ragu akan keuntungan dari bertani organik. Padahal, beberapa penelitian
menunjukan bahwa usahatani padi organik di berbagai daerah di Indonesia lebih
menguntungkan daripada usahatani padi non organik diukur dari pendapatannya yang
12-60 persen lebih tinggi dan efisiensi biayanya yang 3-30 persen lebih tinggi
(Damayanti 2014; Syarifah 2014; Mutiarasari 2016). Pendapatan yang lebih tinggi
tersebut tidak selalu diperoleh dari biaya pengeluaran yang lebih rendah atau total
penerimaan yang lebih tinggi. Hasil penelitian Mutiarasari (2016), menunjukan
usahatani padi organik di Tasikmalaya menggunakan biaya yang lebih tinggi
dibandingkan padi non organik tetapi usahatani padi organik menghasilkan keuntungan
yang lebih tinggi dilihat dari tingkat pendapatannya karena penerimaan yang diperoleh
40.1 persen lebih tinggi. Sementara itu, usahatani padi organik di desa Purwasari
memberikan pendapatan yang lebih tinggi meskipun penerimaan yang diperoleh hanya
3 persen lebih tinggi dari usahatani padi non organik, hal ini dikarenakan biaya total
usahatani padi organik lebih rendah 40 persen dibandingkan biaya total usahatani padi
non organik (Poetriyani 2011).
Adanya tantangan dalam usahatani padi organik dan lebih tersedianya pasar beras
non organik membuat petani di Indonesia enggan beralih, sementara itu beberapa
penelitian sebelumnya menunjukan bahwa usahatani padi organik lebih
menguntungkan. Adanya perbedaan tersebut menjadi menarik, bagaimana
perbandingan pendapatan usahatani padi organik dan non organik sehingga diharapkan
petani bisa memilih usahatani padi organik manakah yang bisa memberikan
kesejahteraan lebih baik melalui pendapatan yang diperoleh.
Rumusan Masalah
Salah satu daerah yang memproduksi padi organik di Jawa Barat adalah Desa
Pringkasap, Kabupaten Subang. Desa Pringkasap dicanangkan sebagai desa organik
oleh Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Provinsi Jawa Barat pada tahun 2016. Inisiatif pengembangan padi organik di Desa
Pringkasap muncul dari salah satu penyuluh pertanian yang merupakan alumni IPB
atas dasar isu kesehatan. Upaya untuk mengajak petani beralih ke padi organik
dilakukan dengan pendekatan keluarga yang disebut “satu petak satu keluarga”.
Pendekatan ini dimaksudkan mengajak satu keluarga menanam satu petak padi organik
untuk kebutuhan bahan makanan pokok sehat bagi keluarga.
Padi organik di Desa Pringkasap melalui Kelompok Tani Paguyuban Bumi
Mandiri telah mendapat sertifikat organik dari lembaga sertifikasi organik (LSO) resmi
yaitu Indonesian Organic Farming Certification (Inofice) sejak tahun 2016. Sertifikasi
organik dari Inofice merupakan sertifikasi yang dilakukan LSO yang telah diverifikasi
oleh Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) Kementrian Pertanian Republik
Indonesia pada tahun 2007 dan dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) pada tahun
2008 dengan no LSPO-003-IDN (Inofice 2007). Meskipun sudah mendapatkan
5
sertifikasi organik dari Inofice, belum semua petani di Desa Pringkasap beralih ke
usahatani padi organik. Dalam prakteknya belum semua petani sudah memasuki tahap
organik secara penuh. Dalam arti, masih ada petani yang berada pada tahap transisi
yaitu semi organik (konversi lahan).
Jumlah petani padi organik juga cukup fluktuatif. Pada awal sertifikasi (2016)
jumlah petani padi organik yang tersertifikasi sebanyak delapan petani dengan luas
lahan 5.6 hektar. Pada tahun 2017 mencapai 56 petani dengan luas lahan pertanian
organik mencapai 48 hektar. Kemudian mengalami penurunan pada tahun 2018
menjadi 20 petani dengan luas lahan 14.24 hektar. Kini jumlah petani padi organik di
Desa Pringkasap tersisa 16 petani, dimana enam diantaranya masih tahap mengurangi
penggunaan obat dan pupuk kimia. Hal ini dikarenakan petani yang lebih berorientasi
pada jumlah hasil produksi, sementara pada masa peralihan dari non organik ke organik
yang tanpa obat dan pupuk kimia jumlah hasil produksi padi akan menurun. Masa
peralihan juga cukup lama sehingga beberapa petani yang mencoba organik memilih
kembali ke non organik. Selain itu, adanya program bantuan bibit unggul dengan sarana
produksi yang tidak berlabel organik juga menjadi penyebab berkurangnya jumlah
petani organik. Kebanyakan petani juga lebih tertarik dengan hadiah atau bantuan dari
beberapa produsen obat atau pupuk kimia. Masih banyak petani yang lebih bergantung
pada pestisida untuk mengusir hama demi menghasilkan produksi yang optimal
daripada beralih ke sistem organik.
Paguyuban Bumi Mandiri di Desa Pringkasap sebagai organisasi yang
menampung hasil produksi padi organik petani Desa Pringkasap terkendala
keterbatasan modal dan pasar. Paguyuban Bumi Mandiri tidak dapat membeli semua
hasil panen petani. Di samping itu, dalam pemasarannya terkendala jarak dengan
konsumen. Biaya pengantaran yang harus dibayarkan konsumen terlalu besar sehingga
konsumen kurang tertarik. Kendala-kendala tersebut menyebabkan tidak semua petani
padi organik menyerahkan hasil panennya ke Paguyuban Bumi Mandiri, ada sebagian
petani yang menjual padi organiknya ke tengkulak sehingga harga yang mereka peroleh
sama dengan padi non-organik. Padahal harga yang diterima petani tersebut akan
mempengaruhi hasil pendapatan yang mereka terima. Kondisi tersebut berbeda dengan
penelitian sebelumnnya yang hasil padinya selalu dijual dengan harga lebih tinggi
(Fatullah 2010; Damayanti 2014; Syarifah 2014; dan Mutiarasari 2016). Dalam
Damayanti (2014) petani padi organik mendapatkan harga lebih tinggi dibandingan
petani padi konversi dan non organik, petani konversi juga mendapat harga premium
di atas petani padi non organik.
Meski ada beberapa petani di Desa Pringkasap yang kembali beralih ke usahatani
padi non organik tetapi masih ada beberapa petani yang bertahan menggunakan sistem
usahatani padi organik sehingga muncul pertanyaan apakah usahatani padi organik di
Desa Pringkasap lebih menguntungkan dibandingkan usahatani non organik apabila
dilihat dari struktur biaya, penerimaan, pendapatan dan efisiensi biaya usahataninya?
6
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai pendapatan usahatani padi organik dan non organik telah
banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, baik penelitian sistem usahatani padi
organiknya saja, non organiknya saja maupun yang membandingkan keduanya.
Penelitian terdahulu menganalisis pendapatan usahatani untuk melihat imbalan yang
diperoleh petani dari masing-masing usahatani yang dilakukan dan membandingkan
usahatani manakah yang memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Pada penelitian
terdahulu, pendapatan usahatani padi organik dan non organik diukur dengan
menganalisis struktur biaya dan penerimaan usahataninya sehingga dapat diketahui
bagaimana pendapatan usahatani tersebut. Berikut merupakan hasil penelitian
perbandingan usahatani padi organik terdahulu yang ditinjau dari struktur biaya,
penerimaan, pendapatan dan efisiensi usahatani yang diukur melalui R/C rasio.
7
Perbedaan input pada usahatani padi organik dan non organik berimpilkasi pada
struktur biaya usahatani. Struktur biaya usahatani terdiri dari segala jenis biaya yang
dikeluarkan pada suatu usahatani. Hasil penelitian terdahulu mengenai struktur biaya
usahatani cukup beragam. Penelitian Mutiarasari (2016), Syarifah (2014), dan Fatullah
(2010) menunjukan bahwa biaya total usahatani padi organik lebih tinggi dari pada
usahatani padi non organik. Hal ini disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk tenaga
kerja usahatani padi organik lebih banyak dibandingkan usahatani padi non organik.
Biaya tenaga kerja merupakan total dari biaya tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga
kerja luar keluarga. Artinya dalam usahatani padi organik lebih banyak membutuhkan
tenaga kerja secara intensif sehingga menuntut biaya yang lebih banyak. Pada
penelitian Mutiarasari (2016) di Tasikmalaya, biaya tenaga kerja usahatani padi
organik memiliki proporsi 38.71 persen dari struktur biaya usahatani, sementara
proporsi biaya tenaga kerja usahatani padi non organik sebesar 33.33 pesen dari
struktur biaya usahatani. Berbeda halnya dengan penelitian Poetriyani (2011) dan
Rahayu et al (2020) biaya total usahatani padi organik lebih rendah dibandingan
dengan usahatani padi non organik. Biaya total usahatani padi organik di Desa
Purwasari lebih rendah 40 persen dibandingkan biaya total usahatani padi non organik
(Poetriyani 2011). Hal ini dikarenakan biaya tunai untuk pupuk dan benih pada
usahatani padi organik lebih rendah dibandingkan usahatani padi non organik.
Penelitian Mutiarasari (2016), Syarifah (2014), dan Fatullah (2010) juga
menunjukan bahwa biaya tertinggi yang dikeluarkan setelah tenaga kerja pada
usahatani padi organik adalah biaya pupuk. Biaya pupuk usahatani padi organik lebih
tinggi dibandingkan usahatani padi non organik. Biaya pupuk usahatani padi organik
pada penelitian Syarifah (2014) sebesar Rp 1 079 181 dengan proporsi 13.22 persen
dari struktur biaya, sementara usahatani padi non organik Rp 763 267 dengan proporsi
10.36 persen dari struktur biaya. Hal ini dikarenakan pada usahatani padi organik
pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dengan jumlah yang dibutuhkan
mencapai 2000 kg per hektar dengan harga Rp 500 per kg sementara usahatani padi
non organik hanya menggunakan pupuk kimia sebanya 314.31 kg per hektar dengan
harga Rp 2 300 per kg.
Struktur biaya dalam usahatani juga dikelompokan secara tunai dan non tunai.
Biaya tunai merupakan biaya yang secara langsung dikeluarkan dalam usahatani,
sementara biaya non tunai merupakan biaya yang diperhitungkan dalam usahatani
(Hernanto 1989). Penelitian Syarifah (2014) dan Fatullah (2010) menunjukan biaya
yang paling banyak dikeluarkan dalam usahatani padi organik dan non organik adalah
biaya tunai dengan proporsi di atas 50 persen dari struktur biaya usahatani. Meskipun
demikian, perbandingan biaya tunai antara usahatani padi organik dan organik
beragam. Penelitian Syarifah (2014) menunjukan bahwa biaya tunai yang dikeluarkan
usahatani padi organik di Bogor 12 persen lebih rendah dibandingkan biaya tunai
usahatani padi non organik. Penelitian di yang sama di Bogor oleh Fatullah (2010)
menunjukan hasil yang berbeda dimana biaya tunai usahatani padi organik 22.77
persen lebih tinggi dibandingkan biaya tunai usahatani padi non organik karena biaya
tenaga kerja luar keluarga usahatani padi organik dalam penelitian tersebut mencapai
8
59.35 persen dari struktur biaya. Struktur biaya usahatani menjadi komponen yang
penting dalam menghitung pendapatan usahatani sehingga adanya perbedaan struktur
biaya pada usahatani padi organik dan non organik berimplikasi pada pendapatan
usahatani padi organik dan non organik.
Penerimaan Usahatani
Pendapatan Usahatani
selisihnya mencapai 45.3 persen. Perbedaan nilai ini menunjukan bahwa tenaga kerja
padi organik akan mendapatkan imbalan lebih besar dibandingkan dengan imbalan
yang diterima petani padi non organik sehingga keputusan petani melakukan kegiatan
usahatani padi organik lebih menguntungkan.
Efisiensi Usahatani (R/C Rasio)
Penerimaan dan biaya yang dikeluarkan petani juga berimplikasi pada efisiensi
biaya pada usahatani. R/C Rasio merupakan ukuran yang tepat untuk menilai
keuntungan dan kelayakan usahatani diukur dari penerimaan yang diterima atas setiap
satuan biaya yang dikeluarkan (Soekartawi 1995). Pada umumnya, penelitian terdahulu
pada lokasi yang berbeda-beda menunjukan bahwa nilai R/C usahatani padi organik 3-
30 persen lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non organik (Wulandari 2011;
Damayanti 2014; Mutiarasari 2016; Syarifah 2017; Lufti 2017) . Hal ini menunjukan
bahwa usahatani padi organik lebih layak dan menguntungkan dibandingkan usahatani
padi non organik. Sebagai contoh penelitian Mutiarasari (2016) menunjukan nilai R/C
atas biaya total padi organik sebesar 2.33 yang artinya setiap Rp 1 biaya yang
dikeluarkan pada usahatani padi organik menghasilkan penerimaan sebesaar Rp 2.33
sementara padi non organik memiliki R/C atas biaya total padi organik sebesar 1.63.
Hal yang sama pada penelitian Wulandari (2011) dan Lufti (2017) yang menunjukan
bahwa nilai R/C atas biaya total dan biaya tunai padi organik yang lebih tinggi, artinya
usahatani padi organik lebih layak dan menguntungkan dari pada usahatani padi non
organik.
KERANGKA PEMIKIRAN
memadukan sumberdaya (lahan, kerja , modal, waktu, pengolahan) yang terbatas untuk
mencapai tujuannya. Soekartawi (1995) juga mendefinisikan ilmu usahatani sebagai
ilmu yang mempelajari bagaimana petani mengalokasikan sumberdaya yang ada secara
efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu.
Dikatakan efektif apabila petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki
sebaik-baiknya dan dapat dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut
menghasilkan output lebih besar dari input.
Input produksi merupakan unsur penting yang perlu diperhatikan dalam
usahatani. Hernanto (1989) menyatakan bahwa terdapat empat unsur atau faktor utama
produksi dalam usahatani yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan pengelolaan
(manajemen). Tanah merupakan bagian alam yang menjadi tempat penyelenggaraan
usahatani. Menurut Suratiyah (2006) tanah mempunyai sifat istimewa antara lain
bukan merupakan barang produksi, tidak dapat diperbanyak, dan tidak dapat dipindah-
pindah. Shinta (2011) menyatakan bahwa tenaga kerja adalah energi yang dicurahkan
dalam suatu proses kegiatan untuk menghasilkan suatu produk. Tenaga kerja dalam
usahatani terdiri dari manusia, hewan ternak, dan mesin. Tenaga kerja manusia terbagi
menjadi dua jenis yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga.
Faktor produksi usahatani selanjutnya adalah modal. Modal usahatani berupa
uang tunai, peralatan pertanian dan benda yang diinvestasikan. Modal bisa bersumber
dari pribadi, pinjaman, warisan dan kontrak sewa. Faktor produksi yang terakhir adalah
pengelolaan atau manajemen. Pengelolaan usahatani merupakan bagaimana cara petani
mengambil keputusan dalam merencanakan, mengorganisasikan, mengorganisir
mengarahkan mengkoordinasikan dan mengawasi faktor produksi yang dimiliki
sehingga mampu memberika produksi yang diharapkan (Shinta 2011). Menurut
Soekartawi et al (1986), tersedianya faktor produksi dalam usahatani belum berarti
produktivitas yang diperoleh petani akan tinggi. Produktivitas usahatani yang tinggi
ditunjukan bagaimana petani mampu mengalokasikan faktor produksi yang dimiliki
untuk mencapai keuntungan yang maksimal (Soekartawi et al 1986).
Usahatani berdasarkan coraknya terbagi menjadi usahatani subsisten dan
komersial. Usahatani subsisten merupakan usahatani yang dilaksanakan atas dasar
untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Hernanto 1989). Pada usahatani subsisten tidak
ada hasil produksi yang dijual untuk mendapatkan keuntungan. Berbeda dengan
usahatani subsisten, usahatani komersial merupakan usahatani yang berorientasi untuk
mencari keuntungan (Hernanto 1989). Ada beberapa karakteristik petani yang
melaksanakan usahatani komersial yaitu cepat mengadopsi inovasi, mobilitas yang
cepat dalam pencarian informasi, berani menanggung resiko dalam berusaha, dan
memiliki sumberdaya yang cukup Soekartawi et al (1986).
Sebagian besar petani kecil tergolong dalam usahatani semi komersial, yaitu
tidak sepenuhnya komersial, sehingga mereka mempunyai hubungan dengan pasar dan
memperoleh sebagian pendapatannya dalam bentuk uang (Soekartawi et al 1986).
Dapat disimpulkan bahwa pada usahatani semi komersial, sebagian hasil produksi
digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sebagian dijual untuk memperoleh
keuntungan. Usahatani di Indonesia didominasi petani kecil. Menurut (Soekartawi et
12
al 1986) dua ciri petani kecil ialah kecilnya pemilikan dan penguasaan sumberdaya
serta rendahnya pendapatan yang diterima petani.
Soekartawi et al (1986) menyatakan bahwa penelitian usahatani mempunyai sifat
multidisplin karena harus memperhatikan informasi prinsip dan teori dari ilmu yang
sangat erat kaitannya, tetapi disiplin induknya adalah ilmu ekonomi sehingga untuk
melihat penampilan usahatani diperlukan konsep-konsep dari teori ekonomi. Seperti
untuk mengukur pendapatan usahatani diperlukan analisis total pengeluaran usahatani
terlebih dahulu sehingga perlu diketahui bagaimana konsep biaya usahatani.
dijual dengan harga per satuan produk seperti uang yang diterima dari penjualan hasil
produksi ke tengkulak. Sedangkan penerimaan non tunai adalah nilai total produk yang
tidak dijual seperti hasil produksi yang dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan
sebagai bibit atau pakan ternak dan pembayaran tenaga kerja. Produk yang tidak dijual
harus tetap dihitung nilainya berdasarkan harga pasar (Soekartawi et al 1986).
Dengan pengklasifikasian penerimaan usahatani dapat disimpulkan bahwa total
penerimaan usahatani ialah penjumlahan antara total penerimaan tunai dan total
penerimaan non tunai. Penerimaan tunai usahatani digunakan untuk menghitung
pendapatan usahatani diliat dari bentuk tunai yang diterima dalam usahatani.
Sementara total penerimaan usahatani digunakan untuk mengukur pendapatan total
usahatani.
diperoleh dari pendapatan bersih usahatani (net farm income) yang dikurangi bunga
modal pinjaman yang harus dibayarkan.
Selain pendapatan bersih usahatani, Soekartawi et al (1986) juga menjelaskan
bahwa untuk mengukur kemampuan usahatani menghasilkan uang tunai dapat
menggunakan pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow). Pendapatan tunai
usahatani diperoleh dari selisih penerimaan tunai dengan pengeluaran tunai usahatani.
Penampilan usahatani semi komersial juga dapat dilihat dari imbalan kepada
modal dan imbalan terhadap tenaga kerja keluarga yang digunakan. Soekartawi et al
(1986) menjelaskan bahwa analisis imbalan kepada modal merupakan hal yang dapat
digunakan untuk menilai keuntungan investasi yang dilakukan petani. Modal usahatani
bisa bersumber dari pribadi maupun pinjaman. Apabila sebagian modal diperoleh dari
pinjaman maka ada dua ukuran yaitu imbalan kepada seluruh modal (return to total
capital) dan imbalan kepada modal petani (return to farm quity capital).
Dalam Soekartawi et al (1986) dijelaskan bahwa imbalan kepada seluruh modal
(return to total capital) dihitung dengan mengurangkan nilai tenaga kerja keluarga dari
pendapatan bersih (net farm income) kemudian hasilnya dinyatakan dalam persen
terhadap nilai seluruh modal. Dalam perhitungannya tenaga kerja keluarga dinilai
dengan tingkat upah yang berlaku. Sementara imbalan kepada modal petani (return to
farm equity capital) diperoleh dengan mengurangkan nilai kerja keluarga dari
penghasilan bersih usahatani (net farm earning) kemudian hasilnya dinyatakan dalam
persen terhadap nilai modal petani. Nilai imbalan kepada seluruh modal (return to total
capital) dan imbalan kepada modal petani (return to farm quity capital) dibandingkan
dengan tingkat suku bunga yang berlaku saat itu, apabila nilainya lebih tinggi maka
artinya petani tepat menginvestisikan modalnya untuk usahatani tersebut. Apabila
modal yang digunakan petani hanya modal dari pribadi maka nilai imbalan kepada
seluruh modal sama dengan imbalan kepada modal petani.
Imbalan kepada penggunaan tenaga kerja keluarga (return to family labour)
mampu menunjukan upah yang diterima petani atas penghasilan bersih (net farm
earning). Menurut Soekartawi et al (1986) imbalan kepada tenaga kerja keluarga dapat
dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal petani
yang diperhitungkan. Ukuran ini dinyatakan per HOK untuk menilai imbalan yang
diperoleh per hari kerja dari kegiatan usahatani yang dibandingkan dengan upah kerja
buruh tani harian maupun upah kerja di luar usahatani. Semakin besar balas jasa
terhadap penggunaan tenaga kerja akan lebih baik.
dari satu berarti usahatani yang dijalankan belum menguntungkan. Secara teoritis
dengan imbangan penerimaan terhadap Biaya sama dengan satu artinya tidak untung
dan tidak rugi.
Soekartawi (1995) menjelaskan bahwa perhitungan R/C dapat dipisahkan
berdasarkan biaya total dan biaya tunai. R/C atas biaya total didapat dengan membagi
penerimaan total terhadap biaya total. Sementara perhitungan R/C atas biaya tunai
didapatkan dengan membagi total penerimaan terhadap biaya tunai.
Kerangka Operasional
Kesadaran akan pentingnya memilih pangan yang aman untuk kesehatan dan isu
menjaga lingkungan mulai meningkat di kalangan masyarakat. Oleh karenanya sistem
pertanian organik kini mulai mendapat perhatian lebih baik dari konsumen, produsen
maupun pemerintah. Salah satu jenis pertanian pangan yang permintaannya mulai
meningkat adalah padi organik. Selain karena sistem pertanian organik yang lebih
aman untuk lingkungan dan kesehatan petani sendiri, harga beras organik yang lebih
tinggi diduga menjadi salah satu penyebab mulai banyak petani yang melakukan
usahatani padi organik.
Kelompok tani di Desa Pringkasap Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang
merupakan salah satu kelompok tani yang mengembangkan usahatani padi organik.
Bahkan melalui Paguyuban Bumi Mandiri, beras yang dihasilkan telah mendapat
sertifikasi dari salah satu LSO yaitu Indonesian Organic Farming Certification
(Inofice) sejak tahun 2016. Akan tetapi kondisi di lapang menunjukan petani padi non
organik masih banyak di Desa Pringkasap meskipun Desa Pringkasap sudah
dicanangkan sebagai desa organik oleh Pemerintah Kabupaten Subang dan Kementan
RI. Selain itu, petani padi organik Desa Pringkasap masih terkendala pasar sehingga
petani menjual ke tengkulak dan harga yang diterima masih setara dengan petani padi
non organik. Akibatnya ada beberapa petani yang kembali beralih ke usahatani padi
non organik tetapi masih ada beberapa petani yang bertahan menggunakan sistem
usahatani padi organik sehingga diperlukan analisis perbandingan pendapatan
usahatani padi organik dan non organik untuk melihat apakah sebenarnya usahatani
padi organik di desa Pringkasap memberikan keuntungan yang lebih tinggi
dibandingkan usahatani padi non organik.
Metode yang digunakan untuk membandingakan pendapatan usahatani padi
organik dan non organik diawali dengan menganalisis stuktur biaya, penerimaan,
pendapatan hingga efisiensi usahatani berdasarkan R/C rasio. Kemudian dilakukan uji
Mann Whitney untuk mengetahui apakah perbedaan hasil pada perbandingan usahatani
padi organik dan non organik berbeda signfikan secara statistik atau tidak. Hasil dari
penelitian ini bertujuan memberikan rekomendasi pada petani apakah usahatani padi
organik baik untuk diterapkan dalam sistem usahatani padi atau tidak. Berikut adalah
kerangka pemikiran operasional analisis perbandingan pendapatan usahatani padi
organik dan padi non organik
16
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis data primer. Data primer yang digunakan
merupakan data biaya usahatani yang dikeluarkan petani, data penerimaan dan
pendapatan usahatani. Data primer diperoleh melalui metode wawancara langsung
dengan petani organik dan non organik di Desa Pringkasap. Proses wawancara
dilaksanakan dengan panduan kuesioner.
Dalam penelitian ini, data primer yang diperoleh diolah menggunakan bantuan
kalkulator, Microsoft Exel dan program statistik SPSS. Data primer dianalisis secara
deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif menjelaskan gambaran
umum pertanian padi di lokasi penelitian dan karakteristik responden usahatani padi
organik dan usahatani padi non organik. Sementara analisis kuantitatif digunakan untuk
mengukur perbandingan struktur biaya, pendapatan, efisiensi usahatani berdasarkan
R/C rasio dan perbedaan hasil secara statistik signifikan atau tidak sehingga alat
analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
18
Dalam biaya non tunai terdapat biaya penyusutan peralatan pertanian. Biaya
penyusutan peralatan pertanian dapat dihitung menggunakan metode garis lurus. Pada
19
metode ini jumlah penyusutan lahan dan peralatan tiap tahunnya dianggap sama dan
diasumsikan tidak laku bila dijual. Persamaan biaya penyusutan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Dalam penelitian ini juga dianalisis imbalan kepada tenaga kerja dan imbalan
kepada modal untuk menunjukan penampilan usahatani. Apabila petani hanya
20
menggunakan modal milik sendiri maka imbalan kepada keseluruhan modal (return to
total capital) dihitung dengan mengurangkan nilai kerja keluarga dari pendapatan
bersih usahatani. Hasilnya dinyatakan dalam persen dan dibandingkan terhadap total
keseluruhan modal. Kerja keluarga dinilai dengan tingkat upah yang berlaku. Secara
rinci dapat dirumuskan sebagai berikut:
Return to total labour dan return to family labor kemudian dibandingkan dengan
upah di luar usahatani. Apabila nilainya lebih tinggi maka petani telah tepat
mengalokasikan tenaga kerja keluarga. Return to total labour dan return to family
labor yang lebih tinggi menunjukan imbalan yang diperoleh atas tenaga kerja yang
digunakan dalam usahatani lebih baik.
TR
R/C=
TC
Keterangan :
R/C : Imbangan penerimaan terhadap biaya
TR : Total penerimaan (Rp)
TC : Total biaya (Rp)
Kriteria keputusan;
R/C > 1, usahatani untung
R/C < 1, usahatani rugi
R/C = 1, usahatani impas (tidak untung tidak rugi)
Semakin tinggi nilai R/C rasio maka usahatani tersebut lebih menguntungkan untuk
dilaksanakan oleh petani.
Keterangan:
n1= jumlah sampel usahatani padi organik
n2= jumlah sampel usahatani padi non organik
R1= menyatakan jumlah ranking pada sampel pertama
R2= menyatakan jumlah ranking pada sampel kedua.
3. Karena sampel pada usahatani padi organik dan non organik lebih besar dari 8,
maka pendekatan normal dapat digunakan (Suyanto et al 2017). sehingga
4. Kemudian nilai statistik dari uji Mann Whitney terlebih dahulu ditransformasi
ke dalam bentuk nilai normal 𝑍 terstandarisasi sebagai berikut:
n1 n2
Uhit +
Zhit = 2
√n1 n2 (n1 +n2 +1
12
Lahan pertanian padi di Desa Pringkasap berada pada beberapa blok yang
membentuk hamparan luas. Lahan padi organik tersebar di tiga blok yaitu daerah Pasir
Angin, bakan Gombong dan Wardoyong. Meski berada pada tiga blok namun lahan
padi organik milik petani di Desa Pringkasap tidak berada pada satu hamparan sehingga
area di sekitar lahan padi organik tersebut masih menggunakan sistem budidaya padi
non organik. Berbeda dengan petani organik, lahan padi non organik di desa Pringkasap
tersebar di semua blok yang terbagi pada beberapa dusun.
Teknik budidaya padi yang diterapkan petani di Desa Pringkasap sudah
sepenuhnya memanfaatkan tenaga mesin dan manusia, tidak lagi memanfaatkan kerbau
dalam pengolahan lahan. Akan tetapi, petani di Desa Pringkasap masih belum
24
melakukan sistem rotasi tanam. Selama setahun lahan pertaniannya hanya akan
ditanami padi.
Terdapat beberapa hal yang membedakan budidaya padi organik dan non
organik di Desa Pringkasap. Pengolahan lahan merupakan hal penting dalam proses
budidaya usahatani padi organik di Desa Pringkasap. Petani padi organik menggunakan
pupuk kandang sebelum lahannya ditraktor. Selain itu, dilakukan pemupukan
menggunakan pupuk hayati buatan paguyuban. Umumnya pemberian pupuk dilakukan
sebanyak tiga kali yaitu setelah lahan pertama kali ditraktor, sebelum dan sesudah
benih ditanam. Pemberian lupuk hayati ini bertujuan untuk memperbaiki lahan dan
meningkatkan kesuburan tanah. Berbeda halnya dengan usahatani padi non organik
yang umumnya tidak ada pemberian pupuk pada proses pengolahan lahan. Hal lain
yang membedakan usahatani padi organik dan non organik adalah penggunaan pupuk
dan obat pada pengendalian HPT. Usahatani padi organik menggunakan bahan baku
utama bawang merah, bawang putih, urin ternak, air beras dan air kelapa untuk
membuat obat sebagai pengendalian HPT. Bahan-bahan tersebut dihaluskan kemudian
difermentasi selama 1 minggu. Apabila bahan yang dibuat tersebut melebihi masa
fermentasi maka bisa digunakan sebagai pupuk organik. Petani padi organik sebagian
besar menyemprot padinya hanya saat ada hama dan penyakit yang menyerang
sementara petani padi non organik pada umumnya lebih mudah cemas dalam
menghadapi HPT sehingga lebih banyak melakukan penyemprotan sebagai bentuk
pencegahan atau penanggulangan. Selain hal tersebut, cara dalam budidaya padi
organik dan non organik sama.
Pengairan yang digunakan pada budidaya padi di Desa Pringkasap cukup
beragam. Daerah Pasir Angin dan Bakan Gombong sebagian besar menggunakan
pengairan irigasi teknis Tarum Timur, sementara di daerah Wardoyong menggunakan
irigasi tadah hujan. Perbedaan sistem pengairan ini berdampak pada pengeluaran biaya
petani pada musim kemarau. Sistem pengairan di setiap dusun yang berbeda
menyebabkan perbedaan pengambilan keputusan petani untuk menjual atau
menyimpan padinya. Di dusun Pendeuy, Jaringao dan Salam biasanya padi yang
ditanam pada musim kemarau disimpan dan tidak dijual dikarenakan hasil produksi
yang diterima sedikit. Petani di ketiga dusun tersebut hanya mengandalkan pengairan
tadah hujan sehingga pengairan yang diberikan tidak maksimal dan mempengaruhi
hasil panen.
Musim tanam padi di Desa Pringkasap juga beragam. Musim tanam padi non
organik di dusun lamaran bisa sampai tiga kali karena jumlah pengairan yang memadai.
Berbeda dengan ketujuh dusun yang relatif menggunakan dua kali musim tanam dalam
setahun, meskipun ada beberapa petani di dusun jaringao yang hanya satu kali musim
tanam. Sementara itu, usahatani padi organik menggunakan sistem dua kali musim
tanam dalam setahun. Hal ini bertujuan untuk memberikan waktu istirahat pada lahan.
Selain itu, menurut petani organik jika dilakukan tiga kali musim tanam maka panen
yang ketiga tidak memberikan keuntungan.
Berbeda dari pertanian padi di daerah dataran tinggi atau diluar jawa yang
arealnya cukup asri dan tidak berada di tengah-tengah hamparan padi non organik
sehingga lahannya bisa organik dalam waktu empat sampai enam musim atau dua
sampai tiga tahun. Pertanian padi organik di Desa Pringkasap membutuhkan waktu
25
konversi lahan selama delapan musim atau empat tahun. Selama delapan musim tanam
tersebut dilakukan perbaikan lahan dan optimalisasi lahan. Lamannya masa konversi
dikarenakan lahan milik petani organik telah menggunakan bahan kimia cukup lama.
Waktu yang cukup lama tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi petani padi organik.
Terlebih lagi pada musim tanam pertama hingga keempat padi yang dihasilkan belum
bisa diklaim organik sehingga tidak bisa dijual ke paguyuban.
Hasil panen padi non organik umumnya dijual ke tengkulak melalui calo. Harga
Gabah Kering Panen (GKP) yang diterima petani berada di rentang Rp 3 800-5 500 per
kg. Di dusun Jaringao, Pendeuy dan Salam harga GKP biasanya hanya mencapai Rp 3
800-4 500 per kg, hal ini dikarenakan jarak dusun yang lebih jauh dan jalan yang
ditempuh tidak terlalu baik. Sementara hasil padi organik ada yang dijual ke paguyuban
dengan harga GKP Rp 6 000 per kg dan ada yang dijual ke tengkulak dengan harga
yang sama seperti padi non organik.
Permasalahan dalam budidaya padi baik organik maupun non organik yang
utama adalah hama yang seringkali menyerang. Hama tersebut lebih banyak jumlahnya
ketika musim kemarau. Hal ini menyebabkan petani harus mengeluarkan biaya lebih
banyak untuk mengusir hama. Pada umumnya petani non organik menggunakan obat
dan pestisida kimia yang dijual di toko, sementara petani organik menggunakan bahan-
bahan alami di lingkungan sekitar untuk dijadikan pestisida.
Karakteristik Responden
Usia
Usia dapat memengaruhi keputusan petani dalam mengambil keputusan untuk
mengadopsi pertanian organik. Seperti yang dinyatakan Kartasapoetra (1991) dalam
Sutarto (2008), petani yang berusia lanjut akan sulit untuk diberikan pengertian-
pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja dan cara hidup. Pada
umumnya semakin tua usia petani maka kemauan dan kemampuan mengadopsi
teknologi budidaya organik akan semakin rendah. Rata-rata petani organik berusia
51.64 sedangkan pertani non organik berusia 51.37 (Tabel 3). Usia petani padi organik
dan non organik yang termuda masing-masing adalah 38 tahun dan 30 tahun,
sedangkan tertua keduanya mencapai 75 tahun.
26
Tingkat Pendidikan
Pada penelitian ini, Rata-rata tingkat pendidikan petani organik dan non organik
masing-masing adalah 8.4 tahun dan 6.5 tahun (Tabel 3). Meskipun tingkat pendidikan
dapat memengaruhi pola pikir, keterbukaan dan pemahaman menerima informasi dan
teknologi baru, petani organik di Desa Pringkasap yang sebagian besar merupakan
tamatan SD dan SMP memiliki ketertarikan untuk menjalankan usahatani padi organik
karena sudah memahami pentingnya pola hidup sehat dan manfaat kesehatan yang
diperoleh dari bertani organik
Tabel 3 Karakteristik petani dan usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap Kabupaten Subang
Non Organik (n=16) Organik (n=14)
Karakteristik
Mean Max Min St.dev Mean Max Min St.dev
Usia (tahun) 51.37 75 30 10.63 51.64 75 38 10.67
Pendidikan (tahun) 6.5 12 0 3.82 8.4 16 0 4.55
Pengalaman 26.81 60 5 18.5 25.28 60 2 17.65
usahatani (tahun)
Tanggungan 3 6 2 1.26 4 6 3 0.86
keluarga (orang)
Luas lahan (hektar) 0.98 2 0.15 0.64 0.59 3 0.2 0.71
Kepemilikan lahan Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
- Pribadi 12 75.00 12 85.71
- Gadai 2 12.50 1 7.14
- Bagi hasil 2 12.50 1 7.14
Pengalaman Usahatani
Petani yang memiliki pengalaman bertani lebih lama biasanya mampu
merencanakan dan memanajemen penggunaan faktor produksi maupun kegiatan
usahatani. Adanya pengalaman membantu petani bertindak lebih cekatan dalam
mengambil keputusan dan menyelesaikan suatu masalah, termasuk keputusan dalam
mengadopsi teknologi baru Dalam hal pengalaman bertani, rata-rata petani non organik
memiliki pengalaman 1.52 tahun lebih lama dibandingkan petani organik. Sebagian
besar petani non organik sudah berpengalaman selama lebih dari 30 tahun yaitu
sebanyak tujuh orang atau 43.75 persen dari total responden. Di duga dengan lamanya
pengalaman usahatani tersebut petani merasa lebih nyaman dan menyukai usahatani
yang sudah dilaksanakan sejak lama. Berdasarkan hasil wawancara beberapa petani
organik beranggapan bahwa tanahnya sudah tidak subur lagi setelah beberapa tahun ke
belakang menggunakan pupuk kimia sehingga mereka beralih ke sistem budidaya
organik.
(Tabel 3). Jumlah tanggungan keluarga yang lebih banyak membuat petani organik
memutuskan untuk memilih usahatani yang menghasilkan pendapatan yang tinggi atau
setidaknya mengeluarkan modal yang lebih sedikit.
Luas Lahan
Rata-rata luas lahan petani organik dan non organik masing-masing berkisar
0.98 hektar dan 0.59 hektar dengan sebagian besar merupakan lahan milik pribadi
(Tabel 3). Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar petani organik dan non organik
di Desa Pringkasap bukan petani kecil. Berdasarkan wawancara, sebagian besar petani
organik di Desa Pringkasap berpendapat bahwa usahatani padi organik bisa diterapkan
baik pada lahan sempit maupun luas, sementara beberapa petani padi non organik
berpendapat bahwa sistem usahatani padi organik pada lahan yang luas akan lebih sulit
dalam hal pengendalian hamanya dan jumlah output yang diterima juga akan jatuh
lebih rendah sehingga bagi petani dengan lahan luas akan terasa sangat rugi.
Struktur Biaya Usahatani Padi Organik dan Non Organik di Desa Pringkasap
Kabupaten Subang
tetap tunai dikarenakan petani rata-rata mengeluarkan biaya bahan bakar tidak jauh
berbeda di setiap musim kemarau.
Iuran pengairan termasuk dalam biaya tetap tunai karena rata-rata besar iuran
pengairan yang dikeluarkan petani setiap musim tanam sama. Biaya iuran pengairan
petani padi organik lebih rendah dibandingkan petani non organik dikarenakan lebih
banyak responden petani non organik yang membayar iuran pengairan dibandingkan
petani organik. Petani yang menggunakan irigasi teknis atau irigasi desa saja yang
membayar iuran pengairan. Rata-rata iuran pengairan petani organik dalam satu musim
tanam adalah Rp 31 071.43, sementara petani non organik membayar sebesar Rp 67
500.00.
Biaya pengangkutan hasil panen tidak banyak dikeluarkan oleh petani organik
maupun non organik karena sebagian besar pengangkutan sudah dilakukan oleh TKLK
untuk kegiatan panen. Raya-rata biaya pengangkutan hasil panen padi non organik
hanya sebesar Rp 32 500.00 atau 0.12 dari total biaya usahatani, sedangkan petani
organik hanya Rp 24 428.57 atau 0.11 dari total biaya usahatani. Sama halnya dengan
biaya bahan bakar, biaya pengangkutan juga termasuk dalam komponen biaya tetap
tunai dikarenakan petani rata-rata mengeluarkan biaya pengangkutan tidak jauh
berbeda di setiap musim kemarau.
Biaya tunai variabel dalam penelitian ini meliputi biaya benih, pupuk organik
padat dan cair, pupuk kimia padat, obat kimia padat dan cair, upah TKLK dan bagi
hasil. Akan tetapi, biaya pengadaan benih yang dikeluarkan petani organik maupun non
organik terbagi pada komponen biaya tunai dan non tunai. Adanya pembagian tersebut
dikarenakan ada beberapa petani yang benih padinya berasal dari panen sebelumnya
dan ada yang membeli dari toko. Benih dalam komponen biaya tunai berasal dari
pembelian di toko. Biaya benih tunai petani padi non organik lebih tinggi dibandingkan
petani organik, masing-masing sebesar Rp 166 436.01 dan Rp 55 588.70 per hektar
permusim tanam, artinya petani non organik lebih banyak membeli benih di toko
dibandingkan usahatani padi organik. Hal ini sesuai dengan biaya non tunai benih
petani padi non organik lebih rendah dibandingkan petani organik, masing-masing
sebesar Rp 56 393.23 dan Rp 116 738.10 per hektar permusim tanam. Petani organik
lebih suka menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya. Berdasarkan hasil
wawancara petani organik memang lebih percaya menggunakan bibit dari hasil
panennya daripada bibit dari toko. Secara keseluruhan biaya untuk pengadaan benih
dalam usahatani padi organik lebih rendah daripada usahatani padi non organik. Hal
ini dikarenakan jumlah benih yang digunakan petani padi organik lebih sedikit daripada
petani non organik. Jumlah benih usahatani padi organik adalah 26.19 kg per hektar
sementara usahatani padi non organik membutuhkan 29.37. Seperti pada usahatani padi
organik di Kabupaten bogor yang menggunakan benih 56% lebih sedikit dibanding
usahatani padi non organik (Syarifah 2014)
Beberapa petani non organik juga ada yang menggunakan pupuk organik yang
dibeli di paguyuban. Petani padi non organik yang menggunakan pupuk organik adalah
petani yang sudah beralih dari usahatani padi organik. Rata-rata total biaya pupuk
organik yang dikeluarkan petani padi non organik sebesar Rp 173 384.8 per hektar,
sementara petani padi organik mencapai Rp 925 920.02 per hektar. Biaya pupuk
30
organik petani organik tentu lebih besar karena rata-rata petani organik menggunakan
pupuk organik jauh lebih banyak. Usahatani padi organik rata-rata menggunakan
pupuk organik padat sebanyak 2580.86 kg dan pupuk organik cair sebanyak 22.88 liter
perhektar permusim, sedangkan usahatani padi non organik hanya menggunakan
pupuk organik padat sebanyak 107.86 kg dan 4.28 liter pupuk organik cair. Sebagian
besar pupuk organik yang digunakan oleh petani adalah pupuk organik buatan
paguyuban dan buatan sendiri.
Pada kenyataannya tidak semua petani organik sudah terlepas 100 persen dari
pupuk kimia, ada tujuh responden yang masih menggunakan pupuk kimia dengan
jumlah yang berangsur dikurangi setiap musimnya. Rata-rata biaya pupuk kimia yang
dikeluarkan petani padi non organik sebesar Rp 2 030 863.08 per hektar sementara
petani organik hanya Rp 441 288.27 per hektar. Usahatani padi organik rata-rata
menggunakan pupuk kimia sebanyak 917.5 kg per hektar sementara petani organik
hanya menggunakan 148.26 kg per hektar.
Biaya obat-obatan menjadikan komponen biaya tunai usahatani padi non
organik menjadi besar. Biaya obat yang dikeluarkan petani non organik mencapai Rp
2 000 959.70 atau 7.48 persen dari total biaya dibandingkan dengan biaya petani
organik yang hanya mengeluarkan biaya obat sebesar Rp 215 847.64 atau 1 persen dari
total biaya. Petani organik hanya mengeluarkan sedikit biaya tunai untuk obat
dikarenakan beberapa bahan baku membuat pestisida organik didapatkan secara gratis
dengan memanfaatkan air cucian beras dan tanaman yang dapat dipetik di sekitar
lingkungan rumah. Petani padi non organik menggunakan obat kimia cair dan padat
untuk membantu pertumbuhan dan mengusir hama. Sebagian besar petani organik
menggunakan obat organik untuk pertumbuhan dan mengusir hama, hanya ada satu
petani yang masih menggunakan obat kimia untuk mengusir hama dan dua orang petani
yang menggunakan obat kimia untuk membantu pertumbuhan.
Biaya tunai yang dikeluarkan petani organik untuk membayar upah tenaga kerja
luar keluarga (TKLK) lebih banyak daripada petani non organik. Biaya TKLK yang
harus dikeluarkan petani padi organik dalam satu musim tanam adalah Rp 1 991 760.06
per hektar, sementara petani non organik hanya membayar Rp 1 815 587.29 per hektar.
Hal ini dikarenakan jumlah HOK TKLK yang dibutuhkan dalam usahatani organik
juga lebih tinggi dibandingkan usahatani non organik, masing-masing 21.88 HOK dan
21.58 HOK perhektar permusim. Pada usahatani padi organik penyiangan dilakukan
lebih banyak dibandingkan usahatani padi non organik. HOK untuk penyiangan pada
usahatani padi organik sebesar 6.47 sementara usahatani padi non organik hanya 1.36.
Rata-rata upah harian yang dibayarkan petani organik untuk TKLK adalah Rp 91 061.6
per HOK per hektar sementara petani non organik hanya Rp 84 124.89. Rendahnya
rata-rata upah harian pada usahatani padi non organik dikarenakan beberapa petani
responden non organik menggunakan sistem borongan pada proses pengolahan lahan.
Kegiatan usahatani yang upahnya dibayarkan secara tunai diantaranya kegiatan
31
biaya sewa lahan di Desa Pringkasap didasarkan pada kemudahan akses dan irigasi.
Biaya sewa lahan di Desa Pringkasap berkisar antara Rp 5-8 juta per hektar per musim.
Tabel 4 Struktur biaya usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
perhektar permusim tanam
Petani Non Organik n=16 Petani Organik n=14
Komponen Biaya
(Rp) (%) (Rp) (%)
Biaya Tunai
Biaya tetap
Pajak 108 644.35 0.41 166 592.97 0.78
Sewa peralatan (traktor,
4 029 150.09 15.06 2 221 145.12 10.34
komben, pompa)
Iuran pengairan 67 500.00 0.25 31 071.43 0.14
Bahan bakar pengairan 914 375.00 3.42 187 321.43 0.87
Biaya pengangkutan 32 500.00 0.12 24 428.57 0.11
Biaya variabel
Benih 166 436.01 0.62 55 588.70 0.26
Pupuk organik 173 384.75 0.65 925 920.02 4.31
Pupuk kimia padat 2 030 863.08 7.59 441 288.27 2.06
Obat organik 0.00 0.00 212 862.94 0.99
Obat kimia 2 000 959.70 7.48 2 984.70 0.01
Biaya TKLK 1 815 587.29 6.78 1 991 760.06 9.28
Bagi hasil 1 550 984.38 5.80 0.00 0.00
Total biaya tunai 12 890 384.66 48.17 6 260 964.20 29.16
Biaya non tunai
Biaya tetap
Biaya penyusutan alat 381 958.33 1.43 233 205.36 1.09
Sewa lahan 5 906 250.00 22.07 6 214 285.71 28.94
Biaya variabel
Biaya TKDK 2 267 539.06 8.47 2 550 984.43 11.88
Biaya TKLK (tanam
5 256 657.47 19.64 5 698 531.31 26.54
dan panen)
Benih 56 393.23 0.21 116 738.10 0.52
Pupuk organik 0.00 0.00 343 000.85 1.59
Obat organik 0.00 0.00 59 680.00 0.28
Total biaya non tunai 13 868 798.09 51.83 15 210 620.20 70.84
Total biaya 26 759 182.75 100.00 21 471 584.40 100
Biaya Penyusutan peralatan usahatani padi organik lebih rendah 38.5 persen
dibandingkan usahatani padi non organik (Tabel 4). Hal ini dikarenakan petani padi
33
organik rata-rata hanya memiliki satu alat penyemprotan, sementara petani padi non
organik memiliki lebih dari satu alat penyemprotan.
Biaya TKDK yang dikeluarkan usahatani padi organik lebih besar karena
usahatani padi organik membutuhkan TKDK 24.31 HOK per hektar sementara
usahatani padi non organik 24.16 HOK per hektar. Pada usahatani padi organik
kegiatan pengolahan lebih banyak dilakukan oleh TKDK sementara pada usahatani
padi non organik pengolahan lahan lebih banyak dilakukan oleh TKLK. Selain itu,
berdasarkan wawancara petani organik yang berusia tua dan petani yang berdagang
dalam sehari tidak menghabiskan waktu yang lama untuk melakukan kegiatan
usahatani sehingga membutuhkan jumlah hari yang lebih banyak, hal ini berdampak
pada upah harian yang sebenarnya harus dikeluarkan.
Biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) untuk kegiatan tanam dan panen
dibayar dengan hasil panen, sehingga biaya tersebut termasuk komponen biaya non
tunai. Pada usahatani padi organik biaya TKLK tersebut mencapai Rp 5 698 531.31
atau 26.38 persen dari total biaya usahatani, sementara biaya TKLK usahatani padi non
organik Rp 5 256 657.47 atau 19.64 persen dari total biaya. Padahal usahatani padi
organik hanya membutuhkan 26.61 HOK per hektar sementara usahatani padi non
organik membutuhkan 27.51 HOK per hektar. Biaya TKLK usahatani padi organik
yang lebih tinggi ini dikarenakan sistem upah didasarkan pada pembagian 1 : 6
terhadap hasil produktivitas yang diberi harga sesuai yang harga jual GKP yang didapat
petani. Beberapa petani organik mendapat harga GKP lebih besar daripada usahatani
padi non organik sehingga biaya TKLK non tunai yang dikeluarkan petani organik
lebih besar (secara lengkap di Lampiran 1 dan 2).
Secara keseluruhan, biaya total usahatani padi organik berbeda signifikan
dengan usahatani padi non organik yaitu lebih rendah, artinya kegiatan usahatani padi
organik membutuh total biaya usahatani jauh lebih rendah. Total biaya usahatani yang
dikeluarkan petani padi organik hanya sebesar Rp 21 471 584.40 per hektar per musim
tanam, sementara usahatani padi non organik mencapai Rp 26 759 182.75. Besarnya
selisih pada komposisi biaya tunai usahatani padi organik menjadi penyebab utama
total biaya usahatani padi organik lebih rendah daripada usahatani padi non organik.
Secara keseluruhan, komponen biaya yang menyebabkan biaya usahatani padi organik
menjadi lebih rendah adalah total biaya pupuk, obat-obatan dan sewa alat. Total biaya
pupuk usahatani padi organik sebesar Rp 1 710 209.13 sementara usahatani padi non
organik mencapai Rp 2 204 247.83. Usahatani padi organik tidak membutuhkan obat-
obatan perangsang tumbuhan seperti usahatani padi non organik karena berdasarkan
hasil wawancara petani merasa tanah pada lahan padi organik sudah lebih subur dengan
menggunakan pupuk hayati (pupuk cair organik buatan paguyuban) tanpa perlu banyak
obat-obatan. Ketika pupuk hayati diaplikasikan pada benih, tanah, dan permukaan
tanaman maka mikroorganisme akan mendiami rizofer atau jaringan tanaman
(endofitik) membantu meningkatkan pasokan nutrisi tanaman, kesuburan tanah,
keanekaragaman mikroorganisme tanah dan hasil tanaman (Saraswati et al 2015).
34
Hanya terdapat dua petani organik yang masih menggunakan obat perangsang
tumbuhan dengan jumlah yang sedikit yaitu 5.12 kg per hektar. Selain itu usahatani
padi organik tidak melakukan penyemprotan sesering usahatani padi non organik.
Usahatani padi organik hanya membutuhkan 4.58 HOK per hektar sementara usahatani
padi non organik mencapai 11.67 HOK. Ditambah lagi harga obat dan pupuk yang
harus dibayarkan petani non organik jauh lebih mahal. Secara keseluruhan biaya total
tenaga kerja (TKDK dan TKLK) menjadi komponen biaya yang terbesar baik untuk
usahatani padi organik maupun non organik. Total biaya tenaga kerja usahatani padi
organik sebesar Rp 10 241 275.8 sementara usahatani padi non organik sebesar Rp 9
272 596.32 per hektar per musim.
Penerimaan Usahatani Padi Organik dan Non Organik Usahatani Padi Organik
dan Non Organik di Desa Pringkasap Kabupaten Subang
Penerimaan dalam penelitian ini terdiri dari penerimaan tunai dan non tunai.
Penerimaan tunai adalah total hasil padi yang dijual ke tengkulak atau ke paguyuban
sesuai dengan harga gabah kering panen yang telah ditentukan. Sementara penerimaan
non tunai adalah total padi yang dijadikan bibit, dikonsumsi serta dijadikan
pembayaran ceblokan atau pembayaran tenaga kerja saat tanam dan panen.
Tabel 5 Penerimaan usahatani petani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
per hektar per musim tanam
Usahatani Padi Non Usahatani Padi Organik
Komponen penerimaan organik (n= 16) (n=14)
Nilai (Rp) (%) Nilai (Rp) (%)
Penerimaan tunai*
Dijual ke tengkulak 22 686 515.05 69.06 13 897 205.22 41.52
Dijual ke Paguyuban 0.00 0.00 7 500 000.00 22.41
Total penerimaan tunai 22 686 515.05 69.06 21 397 205.22 63.69
Penerimaan non tunai
Dikonsumsi 4 853 568.05 14.78 6 276 545.66 18.75
Biaya TKLK-panam dan
Panen (ceblokan) 5 256 657.47 16.00 5 698 531.31 17.03
Dijadikan bibit 52 799.48 0.16 96 646.83 0.29
Total penerimaan non
10 163 024.99 30.94 12 071 723.79 36.07
tunai
Total penerimaan 32 849 540.04 100.00 33 468 929.01 100.00
Keterangan: *dihitung pada tingkat harga GKP per kg
35
Petani organik maupun non organik di Desa Pringkasap lebih banyak menjual
hasil panennya daripada mengkonsumsi atau menyimpannya. Jumlah padi organik dan
non organik yang dijual masing-maisng sebanyak 4.06 ton dan 4.77 ton. Sementara
yang disimpan sebanyak 2.25 ton padi organik dan 2.17 ton padi non organik. Jumlah
tersebut berimplikasi pada total penerimaan tunai petani organik dan non organik yang
lebih tinggi daripada total penerimaan non tunai. Berdasarkan (Tabel 5) rata-rata total
penerimaan tunai usahatani padi organik dan non organik masing-masing adalah Rp
21.40 juta dan Rp 22.69 juta. Meskipun terdapat selisih angka sebesar Rp 1.29 juta
namun keduanya tidak berbeda signifikan secara statistik. Selain karna masih ada
petani yang menjual padinya ke tengkulak, hal ini dikarenakan jumlah produktivitas
padi yang dijual antara usahatani padi organik dan non organik tidak berbeda
signifikan. Petani padi non organik rata-rata menjual 4.69 ton ke tengkulak dengan
harga GKP rata-rata Rp 5056 per kg. Sementara petani padi organik rata-rata menjual
2.77 ton ke tengkulak dengan harga GKP rata-rata Rp 5056 per kg dan 1.29 ton ke
paguyuban dengan harga GKP Rp 6000 per kg.
Rata-rata penerimanaan non tunai usahatani padi organik tidak berbeda
signifikan dengan usahatani padi non organik. Total penerimaan non tunai usahatani
padi organik sebanyak Rp 12.07 juta sementara non organik hanya Rp 10.16 juta (Tabel
5). Tingginya total penerimaan non tunai usahatani padi organik dikarenakan jumlah
konsumsi petani padi organik mencapai 1.16 ton yang apabila diperhitungkan nilainya
sebesar Rp 6.27 juta sementara petani padi non organik hanya mengonsumsi sebanyak
1.07 ton senilai Rp 4.85 juta. Berdasarkan hasil wawancara, selain karena lahannya
yang sudah mulai tidak produktif petani organik beralih ke organik karena ingin hidup
lebih sehat, sehingga hasil panennya lebih banyak dikonsumsi. Biaya non tunai untuk
TKLK dan hasil panen yang dijadikan bibit petani organik juga lebih banyak daripada
petani non organik. Berdasarkan hasil wawancara, petani organik lebih percaya
menggunakan bibit dari hasil panennya daripada membeli dari toko, karena mereka
tidak yakin apakah bibit di toko benar-benar unggul dan organik atau tidak.
Rata-rata total penerimaan petani padi organik dan non organik masing-masing
sebesar Rp 33.47 juta dan Rp 32.85 juta dimana keduanya tidak berbeda signifikan
secara statistik. Hal ini dikarenakan produktivitas usahatani padi organik dan non
organik tidak berbeda signifikan, yaitu 6.3 ton per hektar untuk usahatani padi organik
dan 6.86 ton per hektar. Dikarenakan masih ada petani organik yang berada pada tahap
peralihan menuju organik murni sehingga produktivitas usahatani padi organik yang
diperoleh masih rendah. Seperti pada penelitian Damayanti (2014) produktivitas padi
konversi (menuju organik murni) 4.85 ton per hektar, sementara usahatani padi non
organik 7.17 ton. Pada masa transisi dari usahatani padi non organik menjadi organik
akan menyebabkan produktivitas padi rendah, akan tetapi setelah beberapa periode
pengusahaan padi organik dan semua unsur sudah murni organik maka produktivitas
padi organik bisa lebih tinggi dibandingkan padi non organik (Fariyanti et al 2011).
Selain itu, masih ada petani organik yang menjual hasil panennya ke tengkulak.
36
Pada penelitian ini, analisis pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan tunai
dan pendapatan total. Analisis pendapatan tunai mengukur kemampuan usahatani
menghasilkan uang tunai atas biaya tunai yang dikeluarkan (Soekartawi et al 1986),
sementara pendapatan atas biaya total mengukur hasil yang diperoleh dari total
penerimaan dikurangin dengan total biaya usahatani yang dikeluarkan.
Rata-rata pendapatan atas biaya tunai usahatani padi organik berbeda signifikan
dengan usahatani padi non organik masing-masing adalah Rp 15.13 juta untuk padi
organik dan Rp 9.80 juta untuk padi non organik (Tabel 6). Terdapat selisih sebesar Rp
5.23 juta. Rata-rata pendapatan atas biaya tunai usahatani padi organik yang lebih
tinggi menunjukan bahwa usahatani padi organik mampu memberikan imbalan dalam
bentuk tunai lebih baik daripada usahatani padi non organik. hal ini dikarenakan biaya
tunai usahatani padi organik 51.43 persen lebih rendah dibandingkan usahatani padi
non organik meskipun penerimaan tunai usahatani padi organik tidak berbeda
signifikan dengan usahatani padi non organik.
Tabel 6 Pendapatan usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap per
hektar per musim tanam
Usahatani Padi Non Usahatani Padi
Komponen Biaya
Organik (n=16) Organik (n=14)
Penerimaan tunai (Rp) 22 686 515.05 21 397 205.22
penerimaan non tunai (Rp) 10 163 024.99 12 071 723.79
Total penerimaan (Rp) 32 849 540.04 33 468 929.01
Biaya tunai (Rp) 12 890 384.66 6 260 964.20
Biaya non tunai (Rp) 13 868 798.09 15 210 620.20
Total biaya (Rp) 26 759 182.75 21 471 584.40
Pendapatan atas biaya tunai (Rp) 9 796 130.39 15 136 241.02
Pendapatan atas biaya total (Rp) 6 090 357.29 11 997 344.61
R/C tunai 1.76 3.42
R/C total 1.23 1.56
Return to total capital (%) 24.87 32.19
Return to labour (Rp/HOK) 187 253.98 281 883.84
Return to family labor (Rp/HOK) 275 008.09 527 834.95
Rata-rata pendapatan atas biaya total usahatani padi organik mencapai Rp 11.99
juta sementara usahatani padi non organik Rp 6.09 juta (Tabel 6). Terdapat perbedaan
signifikan sebesar Rp 5.90 juta, lebih tinggi usahatani padi organik. Artinya usahatani
padi organik memberikan imbalan atas biaya total yang jauh lebih besar. Hal ini
dikarenakan biaya total usahatani padi organik jauh lebih rendah (19.76 persen)
37
dibandingkan usahatani padi non organik meskipun total penerimaan usahatani padi
organik dan non organik tidak berbeda secara signifikan.
Pendapatan usahatani yang tinggi belum tentu mencerminkan usahatani yang
efisien dari segi biaya. Oleh karenanya diperlukan analisis R/C untuk mengukur
efisiensi biaya usahatani. Dalam penelitian ini efisiensi biaya atau nilai R/C terdiri dari
nilai R/C tunai dan nilai R/C total. Semakin tinggi nilai R/C maka semakin untung
usahatani tersebut. Nilai R/C total maupun tunai pada usahatani padi organik berbeda
signifikan dibandingkan usahatani padi non organik yaitu lebih tinggi. Artinya
usahatani padi organik lebih menguntungkan diukur dari efisiensi biaya yang
dikeluarkan. Nilai R/C tunai usahatani padi organik dan non organik, masing-masing
3.42 dan 1.76 (Tabel 6). Artinya setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan
usahatani padi organik dan non organik akan menghasilkan penerimaan tunai masing-
masing sebesar Rp 3.42 dan Rp 1.76. Usahatani padi organik mendapat penerimaan
tunai Rp 1.62 lebih tinggi dari setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan. Nilai
R/C total usahatani organik adalah 1.23 sementara usahatani padi non organik 1.56.
Artinya setiap satu rupiah total biaya yang dikeluarkan, usahatani padi organik akan
memperoleh penerimaan total Rp 1.56 sedangkan usahatani padi non organik akan
memperoleh penerimaan total sebesar Rp 1.23.
Selain itu, kinerja usahatani semi komersial juga dapat dilihat dari imbalan
terhadap tenaga kerja dan modal. Analisis imbalan terhadap modal merupakan hal yang
dapat digunakan untuk menilai keuntungan investasi yang dilakukan petani
(Soekartawi et al 1986). Nilai return to total capital usahatani padi organik dan non
organik lebih besar daripada suku bunga kredit bank BRI tahun 2019 yakni sebesar 7
persen yang artinya petani padi organik dan non organik lebih untung
menginvestasikan modalnya untuk usahatani padi daripada di bank. Nilai return to
total capital usahatani padi organik lebih besar dibandingkan usahatani padi non
organik, masing-masing nilainya 32.19 persen dan 24.87 persen yang mana terdapat
selisih hingga 7.32 persen. Artinya menginvestasikan modal pada usahatani padi
organik lebih menguntungkan daripada menginvestasikan modal pada usahatani padi
non organik.
Nilai return to labour dan return to family labour usahatani padi organik dan
non organik masing-masing lebih tinggi dari nilai rata-rata upah harian yang nilainya
Rp 0.13 juta. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan petani untuk melakukan kegiatan
usahatani padi organik dan non organik sudah tepat karena imbalan kepada total tenaga
kerja dan tenaga kerja dalam keluarga yang diperoleh lebih besar daripada upah di luar
usahatani. Nilai return to labour usahatani padi organik lebih tinggi dibandingakan
usahatani padi non organik. Tenaga kerja pada usahatani padi organik mendapat
imbalan sebesar Rp 0.28 juta per HOK sementara usahatani padi non organik hanya
mendapat Rp 0.19 juta per HOK. Berdasarkan hal tersebut usahatani padi organik lebih
menguntungkan diukur dari imbalan yang diperoleh tenaga kerja.
Nilai return to family labour usahatani padi organik juga lebih tinggi dari
usahatani padi non organik artinya usahatani padi organik lebih menguntungkan karena
tenaga kerja dalam keluarga mendapatkan imbalan lebih tinggi dibandingkan dengan
usahatani padi non organik. Tenaga kerja dalam keluaraga pada usahatani padi non
38
organik hanya mendapat imbalan sebesar Rp 0.28 juta per HOK sementara pada
usahatani padi organik mencapai Rp 0.53 juta per HOK.
Setelah hasil analisis biaya, penerimaan dan pendapatan diperoleh maka untuk
mengetahui adanya perbedaan antara usahatani padi organik dan non organik dilakukan
uji beda dua sampel bebas yaitu uji Mann Whitney. Secara rinci hasil uji beda dua
sampel bebas terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil uji perbedaan usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
(Rp juta/hektar/musim)
Usahatani Padi Non Usahatani Padi Asymp
Komponen Organik (n=16) Organik (n=14) sig
Mean Min Max Mean Min Max (2 tailed)
Biaya tunai*** 12.89 6.53 36.82 6.26 3.28 11.22 0.000
Biaya non tunai 13.87 4.99 23.21 15.21 11.54 19.99 0.135
Biaya total* 26.76 17.78 56.43 21.47 16.63 25.66 0.051
Penerimaan tunai 22.69 8.00 44.00 21.40 3.25 38.38 1.000
Penerimaan non tunai 10.16 4.50 18.80 12.07 7.04 17.75 0.212
Penerimaan total 32.85 16.00 56.00 33.47 19.50 46.05 0.480
Pendapatan atas biaya
6.09 -7.83 29.84 11.99 0.99 22.32 0.096
tunai*
Pendapatan atas biaya
9.80 -5.14 37.47 15.13 -0.03 34.64 0.028
total**
R/C tunai** 1.76 0.61 6.73 3.42 0.99 10.28 0.014
R/C total** 1.23 0.67 2.14 1.56 1.04 1.94 0.006
Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1 persen, ** signifikan pada taraf nyata
5 persen,* signifikan pada taraf nyata 10 persen
Berdasarkan hasil uji Mann Whitney, biaya tunai usahatani padi organik dan
non organik berbeda signifikan secara statistik pada taraf nyata 1 persen, ditunjukan
dengan nilai asymp sig (2 tailed) lebih kecil dari 0.01 (tolak H0). Usahatani padi organik
mengeluarkan biaya tunai jauh lebih rendah dibandingkan usahatani padi non organk.
Sementara itu, biaya total usahatani padi organik dan non organik berbeda signifikan
pada taraf nyata 10 persen ditunjukan dengan nilai asymp sig (2 tailed) lebih kecil dari
0.1 (tolak H0). Artinya biaya total yang dikeluarkan usahatani padi organik jauh lebih
rendah dibandingkan usahatani padi non organik.
Pendapatan atas biaya tunai usahatani padi organik dan non organik berbeda
signifikan pada taraf nyata 10 persen, yaitu lebih tinggi Rp 5.90 juta per hektar per
musim tanam usahatani padi organik. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai asymp sig
(2 tailed) lebih kecil dari 0.1 (tolak H0). Pendapatan atas biaya total usahatani padi
organik dan non organik berbeda signifikan pada taraf nyata 5 persen ditunjukan
dengan nilai asymp sig (2 tailed) lebih kecil dari 0.05 (tolak H0), usahatani padi organik
lebih tinggi Rp 5.33 juta dibandingkan usahatani padi non organik.
39
Nilai R/C tunai dan total usahatani padi organik dan non organik berbeda
signifikan pada taraf nyata 5 persen ditunjukan dengan nilai asymp sig (2 tailed) R/C
tunai dan R/C total lebih kecil dari 0.05 (tolak H0). Nilai R/C tunai dan total usahatani
padi organik jauh lebih tinggi dibandingkan usahatani padi non organik. artinya
usahatani padi organik lebih menguntungkan dengan efisiensi biaya yang lebih tinggi
dibandingkan usahatani padi non organik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani padi organik di Desa Pringkasap
lebih menguntungkan dengan memberikan pendapatan dan efisiensi biaya yang lebih
tinggi dibandingkan usahatani padi non organik, selain itu biaya yang dikeluarkan
usahatani padi organik lebih rendah dibandingkan usahatani padi non organik. Hal ini
berarti bahwa budidaya padi organik layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan.
Meskipun demikian, dalam mengusahakan padi organik ada masa transisi dari
usahatani padi non organik menjadi organik dimana pada umumnya produktivitas padi
menurun pada masa ini (Fariyanti et al 2011).
Oleh karena itu, perlu upaya khusus agar tetap dapat menarik minat petani padi
non organik untuk beralih ke usahatani padi organik. Salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan mengedukasi petani untuk menanam padi organik pada sebagian lahan
yang dimiliki terlebih dahulu. Strategi tersebut telah dilakukan Paguyuban Bumi
Mandiri dan dikenal dengan sebutan “satu petak satu keluarga”. Strategi satu petak
lahan tersebut bertujuan agar petani tidak merasa semua hasil panennya turun sehingga
petani tetap mendapatkan hasil panen yang cukup. Hal ini berarti bahwa lahan lainnya
milik petani masih dapat ditanami padi konvensional. Dengan demikian proses beralih
ke padi organik dapat dilakukan secara bertahap.
Berdasarkan wawancara selama pengumpulan data, petani juga lebih mudah
tertarik untuk mengusahakan sesuatu apabila ada bukti yang menunjukan bahwa usaha
tersebut memberikan hasil yang memuaskan sehingga organisasi yang menaungi petani
padi organik harus bisa menunjukan bahwa usahatani padi organik mampu
memberikan hasil yang memuaskan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membuat
petani organik untuk tetap membudidayakan padi organiknya hingga produktivitas
yang dihasilkan meningkat dan tanahnya terlepas dari bahan input kimia sehingga
biaya yang dikeluarkan bisa benar-benar dikurangi. Setelah beberapa periode
pengusahaan padi organik dan semua unsur sudah murni organik maka produktivitas
padi organik bisa lebih tinggi dibandingkan padi non organik (Fariyanti et al 2011).
Sementara itu, karena adanya keterbatasan modal dan pasar yang dihadapi
paguyuban maka untuk meningkatkan jumlah petani padi organik di Desa Pringkasap
adalah menggunakan sistem pembayaran jatuh tempo. Sistem pembayaran jatuh tempo
dilakukan dengan cara petani dan paguyuban membuat kesepakatan batas tanggal
pembayaran hasil panen, dengan begitu petani merasa terjamin dan paguyuban dapat
memiliki kelonggaran untuk membayar dan target untuk mendapatkan pasar. Widodo
et al (2018) memberikan alternatif pembayaran jatuh tempo pada Komunitas Ngawi
Organik Center (KNOC) yang juga belum memiliki pangsa pasar yang sesuai dengan
target penjualan. Widodo et al (2018) menjelaskan bahwa KNOC perlu
mengkomunikasikan pada petani mengenani permasalahan yang menyebabkan
keterlambatan pembayaran dan menyarankan petani untuk percaya dengan
pembayaran jatuh tempo. Selain itu, Paguyuban Bumi Mandiri juga dapat melakukan
40
strategi kerjasama atau bermitra dengan kelompok tani organik lain yang memiliki
sertifikasi yang sama dan dengan perusahaan yang bergerak di bidang pangan. Sebagai
contoh, kelompok tani yang memproduksi beras organik di Bandung yaitu Kelompok
Tani Sarinah di Bandung melakukan kerjasama dengan kelompok tani lainnya sebagai
mitra dan perusahaan seperti Foodhall dan Nutrifood dalam memasarkan beras organik
(Sukayat et al 2016). Dalam arti, Kelompok Tani Sarinah bekerjasama dengan
kelompok tani lainnya menjadi pemasok beras organik ke Foodhall dan Nutrifood.
Kemitraan antara Kelompok Tani Sarinah dengan kelompok tani mitra dilengkapi
dengan kesepakatan kontrak bersama meliputi kesepakatan volume, harga, mutu dan
waktu. Selain itu, Kelompok Tani Sarinah juga membantu kelompok tani mitra terkait
dengan sarana produksi dan pensertifikasian melalui Inofice. Berdasarkan wawancara,
Paguyuban Bumi Mandiri kini juga sudah menjalin kerja sama dengan Kelompok Tani
Sarinah dan sudah mulai ada penjajakan dari perusahaan Enersoil dan Kondo
International.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan Paguyuban Bumi Mandiri, seperti
menyarankan kepada petani untuk melakukan konversi lahan organik secara bertahap,
inovasi sistem pembayaran kepada petani, dan bekerjasama dengan kelompok tani lain
dalam pemasaran diharapkan dapat mengatasi kendala saat ini untuk dapat mengajak
petani lain menjalankan usahatani padi organik. Kedepannya, dapat mewujudkan visi
paguyuban dan harapan pemerintah untuk menjadikan Desa Pringkasap sebagai desa
organik.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
[AOI] Aliansi Organis Indonesia. 2017. Statistik Pertanian Organik Indonesia Tahun
2016. [e-book]
[AOI] Aliansi Organis Indonesia. 2016. Tren konsumsi dan gaya hidup organik di
Indonesia. [Internet]. Tersedia pada : https://aoi.ngo/web/tren-konsumsi-
dan-gaya-hidup-organik-di-indonesia/ [diakses pada 3 Juni 2020]
Damayanti G. 2014. Analisis usahatani padi organik dan non organik di komunitas
ngawi organik center (knoc) Kabupaten Ngawi. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Fariyanti A, Kusnadi N, Atmakusuma J, Farmayanti N. 2011. Efisiensi produksi padi
sehat dan non organik di Kabupaten Bogor. Didalam : Nurmalina R, Priatna
WB, Jahroh S, Nurhayati P, Rifin A, editor. Prosiding Seminar Penelitian
Unggulan Departemen Agribisnis; 2011 Des 7 dan 14; Bogor, Indonesia,
Bogor (ID): Departemen Agribisnis IPB. Hlmn 79-97
Fatullah A. 2010. Analisis sistem usahatani padi sehat (suatu perbandingan, kasus :
Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa
Barat). [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Bogor: Penebar Swadaya.
[KAN] Komite Akreditasi Nasional. 2020. Direktori klien LS organik.
http://kan.or.id/index.php/documents/terakreditasi/doc17021/sni-iso-iec-
17065/lembaga-sertifikasi-organik. [intenet]. [diakses pada 21 Mei 2020]
Lufti M A. 2017. Analisis pendapatan usahatani padi organik dan non organik di
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Mayrowani H. 2012. Pengembangan pertanian organik di Indonesia.(the development
of organic agriculture in indonesia ). Forum penelitian agro ekonomi,
volume 30 no. 2, desember 2012 : 91 - 108
Mutiarasari A. 2016. Analisis pendapatan usahatani padi organik dan padi anorganik
di Kecamatan Manonjaya, Tasikmalaya Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID):
IPB.
Poetriyani A. 2011. Analisis perbandingan efisiensi teknis usahatani padi organik
dengan anorganik (kasus Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor). [Skripsi]. Bogor (ID): IPB
Rahayu MD dan Yuliawati. 2020. Pendapatan dan risiko usahatani padi organik dan
non organik di Karangasem, Ketapang, Susukan, Kabupaten Semarang.
ZIRAA’AH. Vol 45 No 1. Hlmn 41-45. Salatiga (ID) : Universitas Kristen
Satya Wacana
Rochayati S dan Husnain. 2015. Pengembangan pertanian organik di Indonesia. Di
dalam Rachman A, Irawan, Husnain, Hartatik W, Wigena P, Nurjaya,
editor. Sistem Pertanian Organik Mendukung Produktivitas Lahan
Berkelanjutan. Jakarta, Indonesia, Jakarta (ID): IAARD Press. Hlmn 1-21
Saefuddin A, Notodiputro K A, Alamudi A, Sadik K. 2009. Statistika Dasar. Jakarta
(ID): Grasindo
Saraswati R, Hastuti RD, Salma S. 2015. Potensi pupuk hayati pada pertanian organik.
Di dalam Rachman A, Irawan, Husnain, Hartatik W, Wigena P, Nurjaya,
43
LAMPIRAN
Lampiran 1 Rata-rata HOK dan upah pada setiap kegiatan usahatani padi organik di
Desa Pringkasap per hektar per musim tanam
Lampiran 2 Rata-rata HOK dan upah pada setiap kegiatan usahatani padi non organik
di Desa Pringkasap per hektar per musim tanam
Non tunai Tunai
Kegiatan TKDK TKLK TKLK
Upah (Rp) Upah (Rp) Upah (Rp)
(HOK) (HOK) (HOK)
Lampiran 3 Rata-rata HOK usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
Subang per hektar per musim tanam
Lampiran 4 Jumlah produksi usahatani padi organik yang dijadikan upah TKLK per
hektar per musim tanam
Lampiran 5 Jumlah produksi usahatani padi non organik yang dijadikan upah TKLK
per hektar per musim tanam
Lampiran 6 Input produksi usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap
Subang per hektar per musim tanam
Usahatani Padi Non Organik Usahatani Padi organik
Kebutuhan
(n= 16) (n-14)
Benih (kg) 29.37 26.19
Pupuk kimia padat (kg) 917.49 148.25
Pupuk organik padat (kg) 107.87 2580.65
Pupuk organik cair (liter) 4.28 22.88
Obat kimia Padat (kg) 24.36 5.27
Obat kimia cair (liter) 7.98 0.14
Obat organik cair (liter) 0.00 9.29
47
Lampiran 7 Statistik deskriptif penerimaan usahatani padi organik dan non organik di Desa Pringkasap per hektar per musim
tanam
Lampiran 8 Statistik deskriptif biaya, penerimaan, pendaptan dan R/C Rasio usahatani padi organik dan non organik di Desa
Pringkasap per hektar per musim tanam
Total 30
Test Statisticsb
Biaya tunai
Mann-Whitney U 23.000
Wilcoxon W 128.000
Z -3.700
Ranks
biaya non
tunai N Mean Rank Sum of Ranks
Total 30
49
Test Statisticsb
Mann-Whitney U 76.000
Wilcoxon W 212.000
Z -1.497
Ranks
Total 30
Test Statisticsb
biaya total
Mann-Whitney U 65.000
Wilcoxon W 170.000
Z -1.954
Ranks
Penerimaan
tunai N Mean Rank Sum of Ranks
Total 30
Test Statisticsb
Penerimaan
tunai
Mann-Whitney U 112.000
Wilcoxon W 217.000
Z .000
Ranks
penerimaan
non tunai N Mean Rank Sum of Ranks
Total 30
51
Test Statisticsb
penerimaan non
tunai
Mann-Whitney U 82.000
Wilcoxon W 218.000
Z -1.247
Ranks
penerimaan
total N Mean Rank Sum of Ranks
Total 30
Test Statisticsb
penerimaan total
Mann-Whitney U 95.000
Wilcoxon W 231.000
Z -.707
Ranks
Pendapatan
atas biaya
tunai N Mean Rank Sum of Ranks
Total 30
Test Statisticsb
Pendapatan atas
biaya tunai
Mann-Whitney U 72.000
Wilcoxon W 208.000
Z -1.663
Ranks
pendapatan
total N Mean Rank Sum of Ranks
Total 30
53
Test Statisticsb
pendapatan total
Mann-Whitney U 59.000
Wilcoxon W 195.000
Z -2.203
Ranks
Total 30
Test Statisticsb
R/C tunai
Mann-Whitney U 53.000
Wilcoxon W 189.000
Z -2.453
Ranks
Total 30
Test Statisticsb
R/C Total
Mann-Whitney U 46.000
Wilcoxon W 182.000
Z -2.744
RIWAYAT HIDUP