a. Efek Sistemis
1. Oral (po, per os, per oral)
Kelebihannya sebagai berikut.
a. Pemberiannya mudah (melalui mulut)
b. Mudah, murah, aman, nyaman, lazim, dan praktis pemakaiannya
c. Dapat digunakan untuk mencapai efek lokal dalam usus misalnya untuk
obat cacing, dan obat diagnostic untuk pemotretan lambung – usus
d. Digunakan untuk sterilisasi lambung – usus pada infeksi atau sebelum
operasi menggunakan antibiotika.
a. Tidak dapat digunakan untuk pasien tidak sadar dan yang mengalami
mual, muntah, maupun gangguan menelan.
b. Sebaiknya tidak digunakkan untuk obat yang bersifat merangsang
(emetin,aminofillin) atau yang diuraikan oleh getah lambung (benzyl
penisilin, insulin, dan oksitosin) atau yang dapat mengiritasi dinding
lambung dan menyebabkan muntah (garam besi dan salisilat)
c. Dapat terjadi inaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tepat kerjanya.
2. Oromukosal
Pemberian melalui mukosa di rongga mulut, ada 2 macam cara yaitu :
a. Sub Lingual
Obat diletakkan di bawak lidah
1. Terjadi resorpsi oleh selaput lendir ke vena – vena lidah yang sangat
banyak
2. Obat langsung masuk peredaran darah tanpa melalui hati (tidak
diinaktifkan)
3. Efek yang diinginkan tercapai lebih cepat
4. Efektif untuk serangan janung, asthma
5. Kurang praktis untuk digunakan terus menerus karena dapat
merangsang selaput lendir mulut
6. Bentuk tablet kecil contoh Isosorbid tablet
b. Bucal
1. Obat diletakkan di antara pipi dan gusi
2. Saat ini sudah jarang digunakan.
3. Injeksi
Adalah pemberian obat secara parenteral, yaitu di bawah atau menembus
kulit/selaput lendir. Suntikan atau injeksi digunakan untuk :
a. Memberikan efek obat dengan cepat
b. Terutama untuk obat – obat yang merangsang atau dirusak oleh getah
lambung
c. Diberikan pada pasien yang tidak sadar, atau tidak mau bekerjasama.
a. Sakit
b. Mahal
c. Sulit digunakan
d. Ada bahaya infeksi
e. Dapat merusak pembuluh darah atau saraf
Macam – macam jenis suntikan :
a. Subcutan/hypodermal (s.c)
Penyuntikan di bawah kulit yaitu pada jaringan konektif atau lemak di
bawah dermis, seperti lengan atas bagian luar, paha bagian depan dan
perut,hanya digunakan untuk obat yang tidak merangsang dan larut
baik dalam air atau minyak, efeknya agak lambat disbanding i.m atau
iv, mudah digunakan sendiri contohnya vaksin, obat-obatan
preoperasi, narkotika, insuli dan heparin.
b. Intra muscular (i.m)
Penyuntikan dilakukan dalam otot seperti otot pantat atau lengan atas,
absorbs berlangsung lebih cepat dibandingkan subkutan, berlangsung
10-30 menit karena lebih banyak suplai darah ke otot tubuh. Tetapi
cara ini dapat menyebabkan luka pada kulit dan rasa nyeri yang
menimbulkan ketakutan pada pasien. Untuk memperpanjang kerja
obat sering dpakai larutan atau suspense dalam minyak. Injeksi ini
dilakukan dengan beberapa tujuan yaitu untuk memasukkan obat
dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan melalui subkutan.
c. Intra vena (i.v)
Penyuntikan dilakukan di dalam pembuluh darah vena dengan tujuan
agar obat dapat bereaksi dengan cepat yaitu 18 detik, misalnya dalam
keadaan darurat atau dengan obat yang cepat metabolisme dan
ekskresianya, guna mencapai kadar plasma tetap tinggi. Karena
langsung dimasukkan kedalam aliran darah, maka dapat
mengakibatkan reaksi – reaksi hebat seperti turunnya tekanan darah
secara mendadak, shock dan sebagainya. Bahaya thrombosis dapat
terjadi bila penyuntikkan dilakukan terlalu sering pada satu tempat.
Pemberian obat secara intra vena dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
langsung disuntikan ke dalam pembuluh vena dan melalui karet pada
selang infus pada infus intra vena.
d. Intra Arteri (i.a)
Penyuntikan ke dalam pembuluh nadi, dilakukan untuk membanjiri
suatu organ misalnya pada penderita kanker hati.
e. Intra cutan (i.c)
Penyuntikkan dilakukan di dalam kulit, absorbs sangat perlahan
misalnya tuberculin test dari Mantoux.
f. Intra lumbal
Penyuntikan dilakukan ke dalam ruas tulang belakang (sumsum tulang
belakang) misalnya anestetika umum.
g. Intra peritoneal
Penyuntikan ke dalam ruang selaput (rongga) perut.
h. Intra cardial
Penyuntikan ke dalam jantung.
i. Intra pleural
Penyuntikan ke dalam rongga pleura.
j. Intra articuler
Penyuntikan ke dalam celah – celah sendi.
4. Implantasi
Obat dalam bentuk Pellet steril dimasukan di bawah kulit dengan alat khusus
(trocar). Terutama digunakan untuk efek sistemik lama, misalnya obat – obat
kontrasepsi yang mengandung hormon kelamin (estradiol dan testosteron).
Akibat resorpsi yang lambat satu pellet dapat melepaskan zat aktifnya secara
teratur selama 3 sampai 5 bulan.
5. Rektal
Obat dalam bentuk enema atau suppositoria diberikan melalui rektal atau
dubur. Enema adalah bila sejumlah besar obat dalam bentuk cairan diberikan
secara rektal. Suppositoria adalah bila obat berbentuk kapsul setengah padat
yang panjang dan besar dimasukan ke dalam rektal. Cara ini memiliki efek
sistemik lebih cepat dan lebih besar dibandingkan peroral, tidak mengiritasi
saluran pencernaan dan beberapa obat tertentu dapat diabsorbsi dengan baik
melalui dinding permukaan rectum dan baik sekali digunakan untuk obat
yang mudah dirusak oleh asam lambung. Perlu diberitahukan kepada pasien
bahwa pemakaian bentuk sediaan ini harus dalam keadaan berbaring ke kiri
dan setelah obat masuk pasien harus diam dalam keadaan terlentang selama
kira-kira 30 menit untuk mencegah peristaltic yang dapat menyebabkan obat
keluar kembali. Penyimpanan obat dalam bentuk suppositoria harus di
lemari es karena dapat meleleh dalam suhu kamar. Contoh :
a. Suppositoria dan clysma sering digunakan untuk efek lokal misalnya
wasir dan pencahar.
b. Salep yang dioleskan pada permukaan rektal hanya mempunyai efek
lokal.
6. Transdermal
Cara pemakaian melalui permukaan kulit berupa plester, obat menyerap
secara perlahan dan kontinyu masuk ke dalam sistem peredaran darah,
langsung ke jantung. Umumnya untuk gangguan jantung misalnya Angina
pectoris, tiap dosis dapat bertahan 24 jam contohnya Nitrodisk dan
Nitroderm TTS (Therapeutik Transdermal System) dan preparat hormon.
1. Kulit (Percutan)
2. Inhalasi
Obat disemprotkan untuk disedot melalui hidung atau mulut dan penyerapan dapat
terjadi pada selaput mulut, tenggorokan dan pernafasan. Contoh bentuk sediaan
gas, zat padat atau aerosol.
Obat diberikan melalui selaput/mukosa mata, hidung atau telinga. Pada obat tetes
mata dapat berbentuk obat tetes atau salep, karena sifat selaput lendir dan jaringan
mata lunak dan responsif terhadap obat maka kadar obat tidak boleh lebih dari 2%.
Obat tetes hidung biasanya diberikan dengan tujuan menimbulkan efek astringen
yaitu mengkerutkan selaput lendir hidung yang bengkak, dapat pula digunakan
untuk menyembuhkan infeksi pada rongga atau sinus hidung. Sedangkan obat tetes
telinga untuk mengatasi radang pada rongga telinga atau bertujuan untuk
membersihkan kotoran pada telinga. Bila pasien dewasa maka obat diteteskan
dengan cara menarik daun telinga ke atas belakang sedangkan bila pasien masih
bayi maka daun telinga ditarik ke bawah.
4. Intra Vaginal
Obat diberikan melaui selaput lendir atau mukosa vagina, bertujuan untuk
mengobati infeksi atau menghilangkan rasa nyeri maupun gatal pada vagina,
seperti obat anti fungi dan pencegah kehamilan. Dapat berbentuk ovula, salep,
cream dan cairan bilas.
5. Intranasal
Obat diberikan melalui selaput lendir hidung untuk menciutkan selaput atau
mukosa hidung yang membengkak, misalnya otrivin.
C. Prinsip Farmakokinetika
Farmakokinetika adalah segala proses yang dilakukan tubuh terhadap obat berupa
absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan ekskresi. Tubuh kita dapat
dianggap sebagai suatu ruangan besar, yang terdiri dari beberapa kompartemen
yang terpisah oleh membran-membran sel. Sedangkan proses absorpsi, distribusi
dan ekskresi obat dari dalam tubuh pada hakikatnya berlangsung dengan
mekanisme yang sama, karena proses ini tergantung pada lintasan obat melalui
membran tersebut.
Membran sel terdiri dari suatu lapisan lipoprotein (lemak dan protein) yang
mengandung banyak pori-pori kecil, terisi dengan air. Membran dapat ditembus
dengan mudah oleh zat-zat tertentu, dan sukar dilalui zat-zat lain, maka disebut
semi permeable. Zat-zat lipofil (suka lemak) yang mudah larut dalam lemak dan
tanpa muatan listrik umumnya lebih lancar melintasinya dibandingkan dengan zat-
zat hidrofil dengan muatan (ion).
Mekanisme pengangkutan obat untuk melintasi membran sel ada dua cara :
a. Filtrasi, melalui pori-pori kecil dari membran misalnya air dan zat hidrofil.
b. Difusi, zat melarut dalam lapisan lemak dari membran sel, contoh ion anorganik
1. Absorpsi
Proses absorpsi sangat penting dalam menentukan efek obat. Pada umumnya obat
yang tidak diabsorpsi tidak menimbulkan efek. Kecuali antasida dan obat yang
bekerja lokal. Proses absorpsi terjadi di berbagai tempat pemberian obat, misalnya
melalui alat cerna, otot rangka, paru-paru, kulit dan sebagainya.
a. Kelarutan obat
c. Konsentrasi obat
2. Distribusi
Obat setelah diabsorpsi akan tersebar melalui sirkulasi darah ke seluruh badan dan
harus melalui membran sel agar tercapai tepat pada efek aksi. Molekul obat yang
mudah melintasi membran sel akan mencapai semua cairan tubuh baik intra
maupun ekstra sel, sedangkkan obat yang sulit menembus membran sel maka
penyebarannya umumnya terbatas pada cairan ekstra sel.
Selain itu ada beberapa tempat lain misalnya tulang, organ tertentu, dan cairan
transel yang dapat berfungsi sebagai gudang untuk beberapa obat tertentu.
Distribusi obat kesusunan saraf pusat dan janin harus menembus sawar khusus
yaitu sawar darah otak dan sawar uri. Obat yang mudah larut dalam lemak pada
umumnya mudah menembusnya.
3. Metabolisme (biotransformasi)
a. Fungsi hati, metabolisme dapat berlangsung lebih cepat atau lebih lambat,
sehingga efek obat menjadi lebih lemah atau lebih kuat dari yang kita harapkan.
c. Faktor genetik (turunan) ada orang yang memiliki faktor genetik tertentu yang
dapat menimbulkan perbedaan khasiat obat pada pasien.
4. Ekskresi
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal
melalui air seni, dan dekeluarkan dalam bentuk metabolit maupun bentuk asalnya
Di samping ini ada pula beberapa cara lain, yaitu sebagai berikut
d. Air susu ibu, misalnya alkohol, obat tidur, nikotin dari rokok dan alkaloid lain.
Harus diperhatikan karena dapat menimbulkan efek farmakologi atau toksis pada
bayi.