Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian


4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
RSUD ini berawal dari Balai Pengobatan Panti Karya Harapan
yang dikelola oleh jawatan sosial kota praja pada tahun 1946. Balai
pengobatan ini bertujuan melayani warga miskin, orang – orang terlantar,
dan gelandangan di Jakarta. Pada tanggal 19 Desember 1962 semasa
H.M. Moeljadi Djojomartono menjabat sebagai Menteri Sosial Republik
Indonesia, Balai Pengobatan Panti Karya Harapan dijadikan Rumah Sakit
Sosial Budhi Asih. Pengelolaan Rumah Sakit Budhi Asih berada dibawah
Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta yang saat itu kapasitas rumah sakit
hanya 60 tempat tidur. Pada tanggal 20 Januari 1981, pengelolaannya
dialihkan kepada Dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta berdasarkan SK
Gubernur KDKI No.63/1981 dengan kapasitas tampung pasien mencapai
100 tempat tidur. Rumah sakit ini lalu melayani masyarakat luas dan
tetap memberikan pelayanan kepada pasien yang kurang mampu seperti
gelandangan dan pengemis, sebagai ciri sosialnya.
Pada tahun 1990, terjadi perubahan status rumah sakit ini menjadi
tipe C dengan kapasitas 143 tempat tidur. Sebagai rumah sakit milik
Pemprov DKI Jakarta, anggaran operasional dan investasi sepenuhnya
bersumber dari APBD DKI Jakarta. Sejak diterbitkannya Perda DKI
Jakarta No.10 tahun 1997 rumah sakit ini menjadi rumah sakit menjadi
unit Swadana Daerah dan pada tahun 2000, RSUD Budhi Asih berhasil
mendapat sertifikat akreditasi Rumah Sakit penuh untuk lima pelayanan
dasar tanpa syarat yaitu: Unit Gawat Darurat (UGD), Unit Pelayanan
Medik, Unit Rekam Medik, Unit Keperawatan dan Unit Manajemen.
Kemudian tahun 2006, rumah sakit ini menempati gedung barunya
dengan 12 lantai yang saat itu mempunyai kapasitas sebanyak 267 tempat
tidur. Barulah pada tahun 2007, RSUD Budhi Asih berhasil menjadi

1
rumah sakit tipe B dengan SK Menkes tanggal 10 April 2007
No.434/Menkes/SK/IV/2007.
Pada tanggal 19 Desember 2013, RSUD Budhi Asih mengalami
lonjakan pasien KJS, dan terjadi antrean panjang. Pihak Rumah Sakit
mengkonfirmasi bahwa RSUD Budhi Asih beroperasi seperti biasanya
namun warga bersikeras mengantre hingga larut malam, padahal pihak
RS telah mempersilakan pulang dahulu. Untuk menampung pemilik
Kartu Jakarta Sehat yang terus melonjak tersebut, Mantan Gubernur DKI
Joko Widodo mencanangkan pembangunan gedung tambahan untuk
RSUD Budhi Asih. Proyek perluasan ini baru selesai di masa
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan tower baru berlantai delapan.
Dengan adanya penambahan kapasitas, turut pula dilakukan penambahan
ruang layanan antara lain sarana evakuasi pasien, dapur pasien,
penambahan kapasitas rawat jalan, rawat inap, kamar operasi serta
HCU/NICU dari 351 tempat tidur menjadi 506 tempat tidur.
4.1.2. Analisis Univariat
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang dirawat di Ruang
NICU RSUD Budi Asih. Dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 45
responden sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Adapun
karakteristik responden berdasarkan usia/gestasi responden adalah,
sebagai berikut:
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gestasi
Di Ruang NICU RSUD Budhi Asih
Gestasi Frekuensi Persentase (%)
Matur 12 26.7
Prematur 33 73.3
Total 45 100.0

Berdasarkan table 4.1, distribusi frekuensi responden berdasarkan


gestasi dapat dilihat bahwa gestasi terbagi atas matur dan premature.

2
Gestasi yang sudah tergolong matur sebanyak 12 atau 26,7% dan yang
tergolong premature sebanyak 33 atau 73,7 %.
Selanjutnya, pada table dibawah ini juga dapat dilihat distribusi
kejadian penyakit penyerta yaitu sepsis pada pasien yang dirawat di
Ruang NICU RSUD Budi Asih, sebagai berikut:
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penyakit Sepsis
Di Ruang NICU RSUD Budhi Asih
Gestasi Frekuensi Persentase (%)
Tidak Sepsis 15 33.3
Sepsis 30 66.7
Total 45 100.0

Berdasarkan table 4.2, distribusi frekuensi responden berdasarkan


penyakit sepsis yang dialami oleh pasien dapat dilihat bahwa yang tidak
mengalami penyakit sepsis sebanyak 15 atau 33,3 % dan yang
mengalami penyakit sepsis sebanyak 30 atau 66,7 %.
Pada table dibawah ini juga dapat dilihat distribusi frekuensi
ukuran jarum IV Catheter yang digunakan pada pasien yang dirawat di
Ruang NICU RSUD Budi Asih, sebagai berikut:
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Ukuran Jarum IV Catheter
Di Ruang NICU RSUD Budhi Asih
Ukuran Frekuensi Persentase (%)
Jarum
Ukuran <24 0 0
Ukuran ≥24 45 100.0
Total 45 100.0

Berdasarkan table 4.3 distribusi frekuensi responden berdasarkan


ukuran jarum IV Catheter yang digunakan untuk pasien dapat dilihat

3
bahwa tidak ada yang menggunakan ukuran <24 dan yang menggunakan
ukuran >24 sebanyak 45 atau 100 %.

4.1.3. Analisis Bivariat


Berdasarkan hasil tabulasi silang (crosstab) antara gestasi, penyakit
sepsis, dan ukuran jarum dengan kejadian phlebitis, maka didapatkan
hasil sebagai berikut:
Tabel 4.4
Tabulasi Silang Antara Gestasi dengan Phlebitis
Phlebitis
P
Tidak Phlebitis Total
Value
Phlebitis
Matur 8 4 12
Gestas
Prematur 7 26 33 0,004
i
Total 15 30 45

Pada tabel diatas (Tabel 4.4) dapat dilihat hasil tabulasi silang
antara gestasi dengan phlebitis. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan
taraf signifikansi 0,05 didapatkan nilai P Value sebesar 0,004, dimana
nilai P Value 0,004<0,05, maka dapat dikatakan bahwa terdapat
hubungan antara gestasi dengan phlebitis.
Kemudian, juga dapat dilihat hasil tabulasi silang antara diagnosis
penyakit sepsis dengan phlebitis, sebagai berikut:
Tabel 4.5
Tabulasi Silang Antara Penyakit Sepsis dengan Phlebitis
Phlebitis
P
Tidak Phlebitis Total
Value
Phlebitis
Sepsi Tidak Sepsis 8 7 15 0,044
s Sepsis 7 23 30
Total 15 30 45

4
Pada tabel diatas (Tabel 4.5) dapat dilihat hasil tabulasi silang
antara penyakit sepsis dengan phlebitis. Berdasarkan hasil uji chi-square
dengan taraf signifikansi 0,05 didapatkan nilai P Value sebesar 0,044,
dimana nilai P Value 0,044<0,05, maka dapat dikatakan bahwa terdapat
hubungan antara penyakit sepsis dengan phlebitis.

Selanjutnya, juga dapat dilihat hasil tabulasi silang antara ukuran


jarum IV Catheter dengan phlebitis, sebagai berikut:
Tabel 4.6
Tabulasi Silang Antara Ukuran Jarum IV Catheter dengan Phlebitis
Phlebitis
P
Tidak Phlebitis Total
Value
Phlebitis
<24 0 0 0
Ukuran
>24 19 26 45 0,019
Jarum
Total 19 26 45

Pada tabel diatas (Tabel 4.6) dapat dilihat hasil tabulasi silang
antara ukuran jarum IV Catheter dengan phlebitis. Berdasarkan hasil uji
chi-square dengan taraf signifikansi 0,05 didapatkan nilai P Value
sebesar 0,019, dimana nilai P Value 0,019<0,05, maka dapat dikatakan
bahwa terdapat hubungan antara ukuran jarum dengan phlebitis.

4.2.Pembahasan Penelitian
4.2.1. Analisis Univariat
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) telah
memasukkan pengendalian Infeksi Nosokomial (INOS) menjadi salah satu
acuan atau tolok ukur dalam akreditasi rumah sakit, serta menjadi
indikator mutu layanan rumah sakit dengan standar kejadian ≤1,5% sejak

5
tahun 2001. Berdasarkan KMK No.129 tahun 2008, angka kejadian infeksi
nosokomial di rumah sakit Indonesia harus kurang dari 1,5%, jika standar
pelayanan tersebut tidak terpenuhi, maka minimal ijin operasional rumah
sakit tersebut dapat dicabut, menurut PMK No. 56 tahun (2014).
Sjamsuhidajat dkk, (2010), mengungkapkan jenis infeksi
nosokomial yang sering dijumpai pada pasien bedah adalah infeksi saluran
kemih, infeksi area infeksi saluran nafas bawah, bakterimia termasuk
infeksi akibat penggunaan kateter intravaskuler atau yang sering disebut
flebitis.
Dalam penelitian ini dilakukan beberapa analisis faktor yang
mempengaruhi terjadinya phlebitis pada pasien yang dirawat di Ruang
NICU RSUD Budi Asih diantaranya adalah gestasi, Ukuran Jarum IV
Catheter, dan Penyakit sepsis.
Dalam penelitian ini, berdasarkan gestasi dapat dilihat bahwa
gestasi terbagi atas matur dan premature. Gestasi yang sudah tergolong
matur sebanyak 12 atau 26,7% dan yang tergolong premature sebanyak 33
atau 73,7 %. Dapat dilihat dari data tersebut bahwa pada umumnya pasien
yang dirawat di Ruang NICU RSUD Budhi Asih adalah bayi yang lahir
prematur.
Menurut asumsi peneliti bahwa pasien yang dirawat di Ruang
NICU RSUD Budhi Asih merupakan pasien yang rawan akan terjadinya
phlebitis. Hal tersebut dipengaruhi oleh gestasi yang masih sangat muda
(prematur) sehingga sangat rawan akan terjadinya infeksi bakteri. Pada
bayi yang lahir premature belum memiliki sistem imun yang maksimal
karena masih dalam proses pembentukan sistem imun. Sistem imun tidak
hanya menurun pada usia lansia, namun pada saat lahir sistem imun masih
lemah karena proses pembentukan sistem imun masih berlangsung.
Menurut Notoatmodjo (2005), usia adalah umur individu yang
terhitung mulai dari dilahirkan sampai saat berulang tahun. Usia adalah
jumlah hari, bulan, tahun yang telah dilalui sejak lahir sampai waktu
tertentu. Usia juga bisa diartikan sebagai satuan waktu yang mengukur

6
waktu keberadaan suatu benda atau makhluk baik yang hidup maupun
yang mati. Seiring dengan penambahan usia maka akan terjadi berbagai
perubahan fungsi tubuh baik secara fisik, biologis, psikologi dan sosial.
Salah satu perubahan fisik tersebut adalah penurunan sistem imun tubuh.
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu mencegah
infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain
serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut imunoglobulin)
untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh
(Fatmah, 2006). Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence)
menurun sesuai umur, hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang
penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat
seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik
(Fatmah, 2006). Tidak hanya fungsi imunitas tubuh yang menurun
perubahan vena juga terjadi seiring dengan peningkatan usia dimana
pasien yang usianya >60 tahun, memiliki vena yang bersifat rapuh, tidak
elastis dan mudah hilang (kolap), sedangkan pada pasien anak vena lebih
bersifat kecil, elastis dan mudah hilang (kolap) hal inilah yang nantinya
akan mempengaruhi kejadian phlebitis pada seseorang (Potter & Perry
2005).
Selain daripada itu, hal lain juga dapat menyebabkan terjadinya
phlebitis yaitu penyakit penyerta. Salah satu penyakit tersebut adalah
sepsis yang merupakan penyakit autoimun. Sepsis merupakan penyakit
dimana sistem imun atau kekebalan dalam tubuh tidak berespon terhadap
infeksi atau cedera.
Dalam Penelitian ini didapatkan hasil bahwa yang tidak mengalami
penyakit sepsis sebanyak 15 atau 33,3 % dan yang mengalami penyakit
sepsis sebanyak 30 atau 66,7 %. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat
bahwa lebih dari 50% pasien yang dirawat di Ruang NICU RSUD Budi
Asih mengalami penyakit penyerta yaitu sepsis.
Menurut asumsi peneliti bahwa penyakit sepsis merupakan
penyakit penyerta yang sangat rentan terjadinya phlebitis sebab sudah

7
sangat jelas bahwa sepsis merupakan penyakit yang berkaitan erat dengan
sistem imun dimana sistem imun sudah tidak mampu mengatasi ataupun
mengurangi proses terjadinya infeksi ditambah dengan faktor usia bayi
yang masih sangat muda dan belum memiliki sistem imun yang sempurna.
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu mencegah
infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain;
serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut imunoglobulin)
untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Tugas
sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang
membahayakan tubuh manusia. Fungsi sistem imunitas tubuh
(immunocompetence) menurun sesuai umur.
Sepsis neonatorum sebagai salah satu bentuk penyakit infeksi pada
neonatus masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan
sampai saat ini. Sepsis neonatorum adalah Systemic Inflammation
Respons Syndrome (SIRS) yang disertai dengan infeksi yang telah terbukti
(proven infection) atau tersangka (suspected infection) yang terjadi pada
bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. 4 SIRS merupakan kaskade
inflamasi yang diawali oleh respon host terhadap faktor infeksi dan bukan
infeksi berupa suhu, denyut jantung, respirasi dan jumlah leukosit.
Kejadian sepsis dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor ibu
(kelahiran kurang bulan, persalinan dengan tindakan, demam pada ibu),
faktor lingkungan, serta yang paling penting faktor dari neonatus sendiri,
seperti jenis kelamin, status kembar, prosedur invasif, bayi kurang bulan
dan berat badan lahir. 7 Faktor risiko terjadinya sepsis adalah bayi dengan
jenis kelamin laki-laki, karena aktivitas pada bayi laki-laki lebih tinggi
dibandingkan bayi perempuan sehingga bayi laki-laki memerlukan
oksigen yang lebih banyak, karena jika oksigen kurang di dalam tubuh
maka bakteri anaerob akan mudah berkembang. Status kembar juga
merupakan salah satu faktor risiko, karena bayi kembar kemungkinan
besar akan lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan
prematuritas, sehingga akan berisiko mengalami sepsis karena organ

8
tubuhnya belum sempurna dan sistem imunnya kurang yang menyebabkan
mudah terkena infeksi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizky Wirawan
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2012 menemukan bahwa
terdapat hubungan antara berat badan lahir dengan terjadinya sepsis
neonatorum yaitu BBLR memiliki risiko sebesar tiga kali untuk
mengalami sepsis dari pada yang tidak BBLR. BBLR berisiko mengalami
sepsis neonatorum karena pada bayi dengan BBLR pematangan organ
tubuhnya belum sempurna. Ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Carolus et al di Sub Bagian Neonatal RSUP Prof. Dr. R. D. Kondou
Manado tahun 2012 - 2013 bahwa tidak ada hubungan antara berat badan
lahir dalam bentuk kategori rendah dan normal dengan kejadian sepsis
neonatorum, tetapi dari tabel diperoleh bayi yang mengalami sepsis
memiliki berat badan lahir rendah lebih banyak dengan persentase 85,7%.
Sistem imunitas dibentuk sejak awal kehidupan, yaitu dalam masa
kandungan. Sistem imunitas ini akan terus berkembang seiring dengan
pertambahan usia. Itu sebabnya bayi dan anak-anak tampak lebih sering
terkena infeksi atau sakit, jika dibanding remaja atau dewasa. Alasannya,
sistem imunitas pada bayi dan anak masih belajar mengenali dan
melindungi tubuh dari kuman yang masuk. Sedangkan pada anak remaja
dan orang dewasa, sistem imunitas tubuhnya sudah langsung mengenali
jenis kuman dan segera menyerangnya begitu kuman masuk ke dalam
tubuh.

Berdasarkan table 4.6 distribusi frekuensi responden berdasarkan


ukuran jarum IV Catheter yang digunakan untuk pasien dapat dilihat
bahwa tidak ada yang menggunakan ukuran <24 dan yang menggunakan
ukuran >24 sebanyak 45 atau 100 %. Jenis ukuran jarum infus yang
paling banyak digunakan responden saat dirawat adalah ukuran >24 G.
Penggunaan keteter intravena disesuaikan dengan ukuran diameter
vena atau pembuluh darah. Pemilihan keteter dilakukan untuk

9
mempertahan rasio yang tepat antara kanula dengan vena untuk
memperoleh aliran darah disekitar vena. Penggunaan keteter intravena
yang berdiameter besar pada pembuluh dara vena memungkinkan
terjadinya perlukaan pada dinding vena dan akan mengiritasi pembuluh
darah (The Center for Disease Control and Prefention (CDC, 2012).
Ukuran jarum infus berkisar antara 14-24 gauge yang dapat
dibedakan dengan warna dan panjangnya 25-45 mm. Semakin rendah
ukuran jarum infus maka semakin besar jarumnya. Ukuran jarum infus
dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti durasi dan komposisi cairan infus,
kondisi klinik, ukuran dan kondisi vena. Pemilihan jarum harus sesuai
dengan keadaan dan kondisi vena pasien, karena sangat mempengaruhi
keberhasilan terapi yang diberikan. Penggunaannya juga harus sesuai
dengan keadaan pembuluh darah vena. Struktur pembuluh darah vena
sangat tipis, maka apabila menggunakan ukuran jarum infus yang tidak
sesuai dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Akibatnya
tubuh akan bereaksi dengan memberikan tanda radang. Penggunaan
ukuran jarum infus biasanya disesuaikan dengan ukuran vena yang
tampak oleh mata (Peucca, 2010).
4.2.2 Analisis Bivariat
4.2.2.1. Hubungan Gestasi dengan Kejadian Plebitis
Pada hasil tabulasi silang antara gestasi dengan phlebitis.
Berdasarkan hasil uji chi-square dengan taraf signifikansi 0,05 didapatkan
nilai P Value sebesar 0,005, dimana nilai P Value 0,005<0,05, maka dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan antara gestasi dengan phlebitis.
Menurut asumsi peneliti, bahwa usia/gestasi merpakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya plebitis disebabkan pembuluh
darah yang masih tipis dan sangat rentan terjadinya ruptur atau robekan
ketika benda asing masuk kedalam vena tersebut. Sehingga, ketika terjadi
hal tersebut akan menyebabkan terjadinya proses infeksi yang akan
menyebabkan plebitis pada area pemasangan infus.
Anak merupakan kelompok umur yang rentan mengalami kejadian

10
flebitis. Data dari salah satu penelitian di rumah sakit anak di Afganistan
menunjukkan bahwa 69,9% anak yang dirawat mengalami flebitis. Risiko
flebitis akan meningkat setelah 24 jam pemasangan dan dilaporkan
risikonya meningkat di ruang rawat intensif (Premji, 2007). Penelitian
yang dilakukan di ruang rawat anak salah satu RS di Jakarta
mengidentifikasi jenis terapi intravena sebagai salah satu faktor yang
berkontribusi terhadap kejadian flebitis pada anak
Pemasangan infus pada pasien anak lebih sulit dikarenakan
pembuluh kapiler pada anak yang lemah, vena dan pembuluh kapiler yang
sempit serta sulit untuk dilihat sehingga dalam prosedur pemasangan infus
menjadi lebih lama dan sulit (Bitencourt, Leal, Boostel, Mazza, Felix, &
Pedrolo, 2018). Anak perempuan lebih berisiko dibandingkan dengan anak
laki-laki terhadap komplikasi pemasangan infus. Pembuluh darah pada
anak perempuan lebih kecil secara anatomis karena adanya timbunan
lemak sedangkan pada anak laki-laki pembuluh darahnya lebih sedikit
karena sedikitnya timbunan lemak akibat anak laki-laki lebih banyak
beraktifitas (Marleni, Novayelinda, & Dewi, 2018).
Salah satu komplikasi dari pemasangan infus yaitu phlebitis.
Phlebitis merupakan peradangan pada vena yang diikuti dengan bekuan
darah atau thrombus pada vena yang sakit (Maryunani, 2019). Gejala yang
menunjukkan pasien mengalami phlebitis muncul 3x24 jam setelah
pemasangan infus, seperti timbulnya kemerahan disekitar area tusukan,
bengkak, nyeri, indurasi sepanjang vena dan teraba panas (Rahayu &
Kadri, 2018).
Standar angka kejadian phlebitis menurut Infusion Nurses Society
(2006) adalah sebesar <5%. Sedangkan, Depkes RI (2008) menetapkan
standar angka kejadian phlebitis ≤1,5%. Penelitian yang dilakukan Hartni
dan Fatimah (2016) di RSUD dr. R. Soetrasno Rembang diketahui selama
tahun 2011 angka kejadian phlebitis tertinggi terdapat di ruang bayi yaitu
17,70% dan di ruang anak yaitu 7,52%. Di ruang PICU RSUD Abdul
Wahad Sjahranie ditemukan pasien anak dengan tanda-tanda terjadinya

11
phlebitis sebanyak 27 dari 47 pasien dengan pemasangan infus sudah 1
bulan (Rini & Ni Wayan, 2019).

4.2.2.2. Hubungan Penyakit Sepsis dengan Kejadian Plebitis


Pada hasil tabulasi silang antara penyakit sepsis dengan phlebitis.
Berdasarkan hasil uji chi-square dengan taraf signifikansi 0,05 didapatkan
nilai P Value sebesar 0,011, dimana nilai P Value 0,011<0,05, maka dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit sepsis dengan
phlebitis.
Faktor penyebab dari phlebitis terdiri dari faktor internal dan
eksternal. Faktor internal dari phlebitis terdiri dari usia, status gizi, stres,
kondisi vena, faktor penyakit pasien, serta jenis kelamin. Faktor eksternal
dari phlebitis terdiri dari 3 jenis yaitu faktor kimia, faktor mekanik dan
faktor bakterial. Faktor kimiawi meliputi jenis cairan dan jenis obat.
Faktor mekanik meliputi bahan infus, lokasi pemasangan infus, ukuran
jarum infus, dan jumlah insersi. Faktor bakterial meliputi lama
pemasangan, teknik aseptik yang buruk, frekuensi pergantian balutan
infus, dan jenis balutan infus (Potter, 2011).
Pada pembahasan sebelumnya telah dikatakan bahwa salah satu
factor internal terjadinya phlebitis adalah penyakit penyerta. Dalam
penelitian ini peneliti lebih terfokus pada penyakit sepsis yang merupakan
penyakit autoimun yang rentan terjadi akan proses infeksi.
Kejadian phlebitis erat kaitannya dengan riwayat penyakit ataupun
penyakit yang diderita pasien, karena penurunan kekebalan tubuh baik
disebabkan oleh penyakitnya maupun efek dari pengobatan. Pemberian
cairan infus dapat menimbulkan risiko terjadinya infeksi, termasuk
phlebitis, karena adanya portal the entry and exit yang merupakan akses
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh jika tidak dilakukan tindakan
pencegahan yang adekuat (Potter, 2011). Pasien dengan riwayat penyakit
kronis dan infeksi lebih berisiko tinggi dan rentan terkena phlebitis.

12
Teori di atas dibuktikan oleh penelitian Pedreira (2016)
menunjukkan bahwa 13,10% kejadian phlebitis terjadi karena adanya
penyakit penyerta seperti penyakit kronis dan infeksi.

4.2.2.3. Hubungan Ukuran Jarum IV Catheter dengan


Kejadian Plebitis
Pada hasil tabulasi silang antara ukuran jarum IV Catheter dengan
phlebitis. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan taraf signifikansi 0,05
didapatkan nilai P Value sebesar 0,019, dimana nilai P Value 0,019<0,05,
maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara ukuran jarum
dengan phlebitis.
Menurut asumsi peneliti bahwa ukuran jarum infus sangat
berpengaruh terhadap kejadian plebitis. Semakin besar ukuran jarum yang
digunakan, maka akan semakin besar pula resiko terjadinya plebitis.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Erfatunafiah (2017) dengan nilai p=0,02 dan penelitian Fitriyanti (2015)
dengan nilai p=0,000 dalam artian terdapat hubungan antara ukuran jarum
infus dengan kejadian phlebitis.
Sejalan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Dian, S. R. D.,
Arulita, I. F. (2020) yang dilakukan di RSUD Ungaran bahwa terdapat
hubungan antara ukuran jarum dengan kejadian plebitis dengan nilai P-
Value 0,039; OR=3,523; 95% CI=1,181-10,510)
Namun, Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Murtiningsih (2017) dengan p = 0,118 dan BenChetrit
(2015) p =1,852 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
ukuran jarum infus dengan kejadian phlebitis. Ukuran jarum infus berkisar
antara 14-24 gauge yang dapat dibedakan dengan warna dan panjangnya
25-45 mm. Semakin rendah ukuran jarum infus maka semakin besar
jarumnya. Ukuran jarum infus dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti durasi
dan komposisi cairan infus, kondisi klinik, ukuran dan kondisi vena.
Pemilihan jarum harus sesuai dengan keadaan dan kondisi vena pasien,
karena sangat mempengaruhi keberhasilan terapi yang diberikan.

13
Penggunaannya juga harus sesuai dengan keadaan pembuluh darah vena.
Struktur pembuluh darah vena sangat tipis, maka apabila menggunakan
ukuran jarum infus yang tidak sesuai dapat menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah. Akibatnya tubuh akan bereaksi dengan memberikan
tanda radang. Penggunaan ukuran jarum infus biasanya disesuaikan
dengan ukuran vena yang tampak oleh mata (Peucca, 2010).
Ukuran infus berkisar antara 16-24 G yang dapat dibedakan
dengan warna dan panjangnya 25-45 mm. Ukuran infus dipengaruhi oleh
faktor- faktor sebagai berikut :durasi dan komposisi cairan infus, kondisi
klinik, ukuran dan kondisi vena. Dimana ukuran tersebut antara lain adalah
14 G (warna coklat), 16G (warna abu-abu), 17G (Warna putih), 18G
(warna hijau) digunakan pada pasien trauma, pembedahan dan transfusi
darah. Ukuran 20G (warna merah muda) digunakan pada pasien infus
kontinu atau intermitten dan transfusi darah, 22G (warna biru) digunakan
pada pasien infus intermitten umum dan anak-anak dan pasien lansia) dan
24G (warna kuning) digunakan pada pasien vena fragil untuk infus
intermiten atau kontinu (Wayunah, 2011).
Sesuai dengan teori menurut Stikowski (2009) yang menyatakan
bahwa penyebab Flebitis yang terjadi secara mekanis (mechanical flebitis)
terjadi ketika ada pergerakan benda asing (kateter intravena) dalam
pembuluh darah yang menyebabkan gesekan dan peradangan vena. Pada
penelitian ini kejadian flebitis yang terjadi karena ukuran katater intravena
yang dipasang tidak sesuai dengan ukuran vena pasien sehingga mudah
terjadi gesekan ketika pasien bergerak sehingga terjadi peradangan di
sekitar area yang terpasang infus.

14

Anda mungkin juga menyukai