Analisis Putusan Pengdilan Yayasan Surabaya International School

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 22

A.

Identitas Para Pihak


Nama Penggugat : Yayasan Surabaya International School
Alamat : Citra Raya Internasional Village, Lakarsatri, Tromol Pos 2/SBDK, Kota Surabaya
60225; Indonesia

Nama Tergugat 1 : Yayasan Nusa Adiguna


Alamat : Jalan Kertajaya Indah 4/17 F-509, Kota Surabaya dan/atau di Jalan Cokroaminoto
No. 12-A, Kota Surabaya, Indonesia

Nama Tergugat 2 : Pemerintah Ri Cq. Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Ri Cq.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Cq. Departemen Direktorat Merek.
Alamat : Jl. Daan Mogot Km. 24, Tangerang, 15119, Indonesia

B. Kasus Posisi
Penggugat merupakan suatu badan hukum yang berbentuk yayasan dimana akta
pendiriannya tertuang pada Akta Yayasan The Surabaya International School tertanggal 22
Februari 1977 nomor: 38, oleh Elly Nangoy, SH., Notaris di Kota Surabaya, Akta tersebut telah
didaftarkan di Pengadilan Negeri Surabaya, Juga telah diumumkan dalam suatu berita di negara
Indonesia, sesuai dengan Akta Keputusan Rapat Badan Pengurus Yayasan The Surabaya
International School nomor: 10 tertanggal 29 September 2008 dan Akta Pembetulan nomor: 1,
tertanggal 8 April 2009, keduanya dibuat oleh Notaris yang sama James Ridwan Efferin, SH.,
Notaris di Kota Surabaya, diterima dan dicatat dalam daftar yayasan oleh Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Kegiatan yang dilakukan oleh Penggugat adalah menjalankan sekolah internasional, dan
nama sekolah sama dengan nama badan hukumnya yaitu “Surabaya International School”.
Sekolah international telah diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Negara Republik Indonesia mengenai sekolah internasional. Lokasi Sekolah
International Yayasan The Surabaya International School ini berpindah pindah hingga berakhir
pada Citra Raya Internasional Village, Lakarsatri, Tromol Pos 2/SBDK, Kota Surabaya 60225;
Indonesia. legalitas Penggugat sebagai penyelenggara sekolah internasional bernama “Surabaya
International School” adalah tertuang pada surat putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia cq. Sekretaris Jenderal, pada putusan nomor: 0420/0/1977, dan ditetapkan
di Jakarta pada tanggal 23 September 1977, tentang Izin Pendirian dan Penyelenggaraan
“Surabaya International School”, sesuai dengan isi surat dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Tim Pembantu Pelaksanaan Asimilasi di Bidang Pendidikan dan Pengaturan
Pendidikan Asing di Indonesia (TP-PAP3A) cq. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah/Ketua TP-PAPPA cq. Sekretaris Tim/Direktur Sekolah Swasta nomor: B-103/TP-
PAPPA/V/1995 tertanggal 18 Mei 1995.

Pada sekolah internasional ini memiliki siswa, dimana semua siswa tidak berasal dari
dalam negeri saja tetapi berasal dari lebih dari 20 negara, Antara lain :
a. Indonesia,
b. Australia,
c. Belgium,
d. Brazil,
e. Canada,
f. France,
g. Germany,
h. India, dan lain-lain.

Bahasa pengantar didalam sekolah internasional ini menggunkan Bahasa sehari-harinya


adalah Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Bahasa Perancis dan Bahasa Mandarin. Akreditasi
merupakan faktor utama supaya siswa-siswi lulusan sekolah ini dapat melanjutkan
pendidikannya di luar negeri. Sehingga selain para siswanya diberi mata pelajaran utama yakni
matematika dan sains, para siswa juga diberi mata pelajaran pengantar seni, teknologi dan olah
raga. Hinnga saat ini lebih dari 33 tahun semenjak berdirinya Surabaya International School,
kegiatan dalam pembelajaran masih terus dilanjutkan, dan selama itu tidak pernah ada pihak
lain yang mengganggu/menggunakan nama sekolah “Surabaya International School”

Penggugat kaget dikarenakan pada tanggal 04 Agustus 2010 Penggugat menerima surat
tanggal 26 Juli 2010 yang dikirimkan oleh Tergugat I, perihal: Pemberitahuan. Surat
pemberitahuan itu berisikan dimana nama sekolah dengan merek “Surabaya International
School” dikuasai/didaftarkan pertama kali oleh Tergugat I tersebut, dan telah terdaftar pada
Daftar Umum Merek di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual pada Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan nomor pendaftaran 543887 dan
tanggal penerimaan permohonan 11 Juli 2002. Selanjutnya, dalam suratnya, Tergugat I
memperingatkan kepada Penggugat agar menghentikan penggunaan nama merek sekolah
“Surabaya International School” dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak suratnya diterima dengan
adanya ancaman tuntutan hukum yang akan diberikan oleh Tergugat I kepada Penggugat.

Menurut Penjelasan dari Pasal 4 Undang-Undang nomor: 15 Tahun 2001 tentang Merek
dijelaskan mengenai kriteria “Pemohon yang beritikad baik” yaitu: “Pemohon yang beritikad
baik adalah pemohon yang mendaftar mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun
untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan
usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan
curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Contohnya: Merek Dagang A yang sudah
dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun ditiru sedemikian rupa sehingga
memiliki persamaan pada pokoknya ataupun keseluruhannya dengan merek dagang A tersebut.
Dalam contoh itu sudah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknya patut
diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal tersebut”.

Terlampir pada Peraturan Pemerintah Nomor : 24 Tahun 1993 Tentang Jenis Barang Atau
Jasa Yang Didaftarkan Mereknya Sesuai Dengan Peraturan Yang Telah Diubah, Kelas Jasa 41
Meliputi : Jasa Sekolah, Pendidikan, Pelatihan, Hiburan, Olahraga Dan Kegiatan Kebudayaan.
Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pada angka 10 dan 11 di atas,
tegugat I mendaftarkan merek “Surabaya International School ” atas nama tergugat II, padahal
merek yang didaftarkan oleh tergugat I. menyerupai nama badan hukum dan sekaligus nama
sekolah milik Penggugat yaitu “Yayasan Surabaya International School” telah teridentifikasi
sebagai “pendaftar yang beritikad tidak baik”. Selain kesamaan nama merek dengan nama
badan hukum yang dijadikan nama sekolah, jenis layanan dan jumlah kelas yang didaftarkan
pada kegiatan usaha tergugat I juga serupa dengan kegiatan sekolah internasional yang
diselenggarakan oleh penggugat. selama puluhan tahun khususnya untuk jenis jasa golongan
41. Dalam hal ini, berdasarkan klarifikasi Pasal 4 Undang-Undang Nomor: 15 Tahun 2001
tentang Merek, perilaku Tergugat I dalam Pendaftaran Kegiatan Usaha serupa dengan perilaku
Tergugat I. perilaku dalam mendaftarkan kegiatan usaha. Kegiatan sekolah yang
diselenggarakan oleh Penggugat telah diketahui sebelumnya, demikian pula tindakan Tergugat
I bertentangan dengan klasifikasi “pendaftar beritikad baik”.

Merek "Surabaya International School" yang didaftarkan oleh Tergugat I dianggap tidak
pantas dan tidak asli karena menyalin nama badan hukum dan sekolah internasional yang telah
dikenal sebelumnya, yaitu "Surabaya International School." Oleh karena itu, tindakan Tergugat
I dianggap tidak jujur dan tidak memiliki niat baik dalam pendaftaran merek tersebut. Beberapa
poin yang mendukung klaim ini adalah:
a. Tidak mungkin bagi Tergugat I (termasuk pengurusnya atau stafnya) untuk tidak
pernah mendengar, membaca, atau melihat nama "Surabaya International School."
Ini disebabkan oleh sejarah panjang sekolah tersebut, termasuk peresmiannya pada
tanggal 9 Oktober 1994 oleh Bapak Basofi Soedirman, mantan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Timur, yang dihadiri oleh ratusan undangan dari dalam dan
luar negeri. Selain itu, nama badan hukum dan sekolah tersebut sering muncul
dalam pemberitaan media, termasuk harian Jawa Pos, Surabaya Post, dan Surya.
b. Tidak mungkin bagi Tergugat I (termasuk pengurusnya atau stafnya) untuk tidak
pernah mendengar, membaca, atau melihat nama badan hukum dan sekolah
"Surabaya International School." Selama bertahun-tahun, Penggugat telah aktif
mempromosikan sekolah "Surabaya International School" di lokasi-lokasi strategis
di kota, dengan menggunakan berbagai media iklan seperti spanduk, pamflet,
brosur, billboard, papan penunjuk arah, pameran pendidikan, dan surat kabar.
c. Merek "Surabaya International School" atas nama Tergugat I terdaftar di Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia dengan nomor pendaftaran 543887 sejak tanggal 11
Juli 2002. Namun, mengapa Tergugat I baru mengirimkan peringatan kepada
Penggugat delapan tahun kemudian, dengan surat tertanggal 27 Juli 2010.

Hanya Tergugat II yang memiliki wewenang menurut undang-undang untuk menerima,


memeriksa, mengumumkan, menolak, atau mendaftarkan suatu merek. Kewenangan ini diatur
dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a yang menyatakan bahwa merek harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal jika mirip dengan nama orang terkenal, foto, atau badan hukum milik orang lain tanpa
persetujuan tertulis. Agar merek tidak menyerupai nama badan hukum lain, Tergugat II harus
melakukan pemeriksaan awal yang cermat, komprehensif, dan menyeluruh saat menerima
permohonan pendaftaran merek. Ini melibatkan memeriksa kesamaan antara merek yang
diajukan dengan nama badan hukum yang sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi
Hukum Umum, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Merek
"Surabaya International School" atas nama Tergugat I lolos hanya karena pemeriksaan
dilakukan pada database Tergugat II.

Ketika merek "Surabaya International School" atas nama Tergugat I terdaftar di Tergugat
II, Penggugat merasa terganggu dalam aktivitasnya dan merasa bahwa hak dan kepentingannya
terganggu. Selain itu, merek yang sama tersebut dapat menimbulkan kebingungan di kalangan
masyarakat. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek memberi hak kepada pihak
ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan Niaga
di wilayah tempat kedudukan Tergugat. Alasan gugatan pembatalannya adalah bahwa pemilik
merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan setelah mengajukan permohonan ke
Direktorat Jenderal.

Penggugat memiliki kepentingan besar terhadap merek "Surabaya International School"


atas nama Tergugat I. Namun, upaya Penggugat untuk berkomunikasi dengan Tergugat I melalui
surat tertanggal 18 Agustus 2010 tidak mendapatkan respons positif. Oleh karena itu, Penggugat
tidak memiliki pilihan lain selain mendaftarkan gugatan. Kemudian, pada tanggal 11 November
2010, Penggugat mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur di Jl. Kayoon
nomor 50-52, Kota Surabaya.

Dalam prinsipnya, perlindungan merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001


tentang Merek tidak hanya berlaku bagi pendaftar pertama, tetapi juga bagi pendaftar pertama
yang memiliki niat baik. Hal ini merupakan prinsip utama dalam hukum merek dan telah
diaplikasikan dalam beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu:
a. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 677 K/Sip/1972 menyatakan bahwa pemakai
pertama di Indonesia merujuk kepada pemakai pertama yang beritikad baik.
b. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 K/Pdt/1989 menyatakan bahwa setiap
penggunaan merek yang membingungkan dan mengelabui serta mengacaukan pendapat
dan persepsi masyarakat dianggap sebagai tindakan buruk (bad faith) dan persaingan tidak
sehat (unfair competition).
c. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 04 PK/N/HaKI/2007 menyatakan bahwa merek
yang sudah terdaftar tetapi menyerupai nama badan hukum milik pihak lain dan pendaftar
tersebut terbukti memiliki niat buruk harus dibatalkan.
d. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 081 PK/Pdt.Sus/2009 menyatakan bahwa merek
yang menyerupai nama badan hukum milik pihak lain dan kemudian terbukti bahwa
pendaftar memiliki niat buruk, maka merek terdaftar tersebut harus dibatalkan.

Tindakan pendaftaran merek "Surabaya International School" oleh Tergugat I dianggap


tidak pantas karena merek tersebut tidak asli, dan pendaftaran tersebut dilakukan tanpa itikad
baik, yaitu dengan meniru, membonceng, dan menjiplak nama badan hukum yang juga
digunakan sebagai sekolah internasional yang sudah dikenal sebelumnya, yaitu "Surabaya
International School". Tergugat II mencatat merek "Surabaya International School" atas nama
Tergugat I dalam Daftar Umum Merek dengan nomor 543887 untuk jenis penyelenggaraan
pendidikan, kursus, dan kursus bahasa asing (kelas 41) tanpa melakukan pemeriksaan yang
cermat dan menyeluruh. Tindakan ini merugikan hak dan kepentingan Penggugat, baik secara
materiil maupun immateriil. Sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata, Penggugat berhak untuk
menuntut dan membebani Tergugat I dengan semua kerugian yang diderita oleh Penggugat
tersebut.

Kerugian materiil dan immaterial yang telah diderita oleh Penggugat tersebut rinciannya yaitu:
Kerugian materiil:
a. Biaya permohonan pendaftaran Rp 600.000,-
b. Biaya gugatan pembatalan merek Rp 5.300.000,-
c. Biaya legalisir, permeteraian, dan fotocopi Rp 20.000.000,-
d. Biaya administrasi kantor Rp 50.000.000,-
e. Jasa konsultan hukum Rp 50.000.000,- Rp 130.900.000,-
Kerugian immateriil:
Berupa kerugian terkurasnya tenaga, pikiran dan waktu yang berkepanjangan guna menghadapi
perkara ini dengan nilai kerugian sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), secara tunai
dan sekaligus, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
putusan dalam perkara ini dibacakan.
Berdasarkan alasan-alasan hukum yang telah dijelaskan dalam poin 1 hingga 25 di atas,
telah terbukti bahwa gugatan ini diajukan oleh Penggugat yang merupakan pihak yang memiliki
kepentingan dan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika gugatan ini
diterima, dan selanjutnya Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya mengakui bahwa
Penggugat bertindak dengan itikad baik. Selain itu, "Surabaya International School" merupakan
nama badan hukum dan sekaligus nama sekolah yang dimiliki oleh Penggugat. Oleh karena itu,
sangatlah beralasan jika Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan bahwa
"Surabaya International School" merupakan nama badan hukum yang dimiliki oleh Penggugat.

Selanjutnya, pendaftaran merek "Surabaya International School" atas nama Tergugat I


dengan cara yang tidak pantas telah terbukti dengan sangat jelas. Nama yang digunakan sebagai
merek tersebut bukan nama asli, dan pendaftaran tersebut dilakukan dengan cara yang tidak
jujur, yaitu dengan meniru, membonceng, dan menjiplak nama badan hukum yang sudah
dikenal sebelumnya, yaitu "Surabaya International School." Oleh karena itu, sangatlah
beralasan jika Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan bahwa Tergugat I
merupakan pendaftar dengan itikad buruk.

Selanjutnya, Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya diharapkan untuk


menghukum Tergugat I untuk membayar seluruh kerugian yang diderita oleh Penggugat.
Terdapat catatan bahwa merek "Surabaya International School" terdaftar atas nama Tergugat I
dalam Daftar Umum Merek dengan nomor 543887 untuk jenis penyelenggaraan pendidikan,
kursus pendidikan, ketrampilan, dan kursus bahasa asing (kelas 41) tanpa dilakukan
pemeriksaan yang cermat dan menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kehati-hatian
dalam pemeriksaan oleh Tergugat II terkait kesamaan nama yang diajukan sebagai merek
dengan badan hukum yang dimiliki oleh pihak lain. Oleh karena itu, Penggugat mengusulkan
agar Tergugat II diperintahkan untuk menghapus merek "Surabaya International School"
dengan nomor 543887 dari Daftar Umum Merek.

Penggugat juga menjelaskan bahwa gugatan ini didasari oleh alasan yang benar dan
didukung oleh bukti-bukti otentik, sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 180 HIR. Oleh karena
itu, Penggugat meminta agar Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya menetapkan
amar putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada kemungkinan
adanya perlawanan, bantahan (verzet), banding, kasasi, peninjauan kembali, atau upaya hukum
lainnya (uitvoerbaar bij voorraad).

Berdasarkan uraian di atas, Penggugat memohon kepada Pengadilan Niaga di Pengadilan


Negeri Surabaya untuk mengeluarkan putusan sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat dalam seluruh aspeknya.

2. Menyatakan bahwa tindakan Tergugat I yang mengajukan permohonan pendaftaran merek


jasa dengan menggunakan nama "Surabaya International School" untuk jenis penyelenggaraan
pendidikan, kursus pendidikan, ketrampilan, dan kursus bahasa asing (kelas 41) merupakan
tindakan yang dilakukan dengan itikad buruk.

3. Menyatakan bahwa "Surabaya International School" adalah nama badan hukum yang sah
milik Penggugat.

4. Memerintahkan Tergugat II untuk membatalkan merek "Surabaya International School" yang


terdaftar dalam Daftar Umum Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan nomor 543887
atas nama Yayasan Nusa Adiguna, yang beralamat di Jl. Kertajaya Indah 4/F-509, Kota
Surabaya (rumah), Jl. Cokroaminoto nomor 12-A, Kota Surabaya (kantor).
5. Memerintahkan Tergugat II untuk menghapus merek "Surabaya International School" dari
Daftar Umum Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan nomor 543887 atas nama
Yayasan Nusa Adiguna, yang beralamat di Jl. Kertajaya Indah 4/F-509, Kota Surabaya (rumah),
Jl. Cokroaminoto nomor 12-A, Kota Surabaya (kantor).

6. Memerintahkan Tergugat II untuk mengumumkan pencabutan merek "Surabaya International


School" atas nama Yayasan Nusa Adiguna di Berita Resmi Merek yang sesuai.

7. Memerintahkan Tergugat II untuk menerbitkan sertifikat merek atas nama Penggugat dan
mendaftarkan merek "Surabaya International School" sebagai milik Penggugat dalam Daftar
Umum Merek. Ini merujuk pada Surat permohonan pendaftaran merek jasa tanggal 11
November 2010, dengan nomor agenda: D10.2010.000.393, untuk jenis jasa pendidikan atau
penyelenggaraan sekolah internasional (kelas 41).

8. Menghukum Tergugat I untuk membayar kepada Penggugat kerugian materiil sejumlah Rp


130.900.000,- (seratus tiga puluh juta sembilan ratus ribu rupiah) dan kerugian immaterial
sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dalam waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari sejak pembacaan putusan dalam perkara ini.

9. Menyatakan bahwa Tergugat I dan Tergugat II harus bertanggung jawab secara bersama-sama
untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini.

Atau, jika Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya berpendapat sebaliknya, Penggugat
memohon putusan yang adil dan bijaksana (ex aequo et bono).

Dalam merenungkan gugatan yang telah disebutkan di atas, Tergugat I telah mengajukan
eksepsi dan gugatan balik (rekonvensi) yang didasarkan pada argumen sebagai berikut:

**Dalam Eksepsi:**
- Tergugat I menolak semua klaim yang diajukan oleh Penggugat, kecuali jika ada klaim
tertentu yang secara tegas diakui kebenarannya dan tidak bertentangan dengan argumen
Tergugat I.

- Tergugat I berpendapat bahwa gugatan Penggugat telah melewati batas waktu yang
ditentukan (kadaluwarsa). Hal ini merujuk pada Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No. 15
Tahun 2001 tentang Merek, yang menyatakan bahwa gugatan pembatalan pendaftaran
merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggal pendaftaran merek.
Tergugat I berpendapat bahwa gugatan tersebut seharusnya tidak dapat diperiksa oleh
pengadilan karena telah melewati batas waktu 5 tahun.

Dalam Gugatan Balik (Rekonvensi):


1. Tergugat Rekonvensi meminta agar semua argumen dan tanggapan dalam konvensi
(gugatan asal) dianggap sebagai argumen dan tanggapan dalam gugatan balik
(rekonvensi) ini.

2. Tergugat Rekonvensi mengakui bahwa Penggugat Rekonvensi adalah pemilik atau


pemegang sah dari merek "Surabaya International School" dengan nomor pendaftaran
543887, tanggal permohonan 11 Juli 2002, yang melindungi jenis jasa di kelas barang
41, dikeluarkan oleh Pemerintah RI melalui Departemen Hukum & HAM RI melalui
Direktorat Jenderal HAKI melalui Direktorat Merek.

3. Tergugat Rekonvensi juga mengakui bahwa mereka telah menggunakan merek


"Surabaya International School" yang memiliki kesamaan dengan merek "Surabaya
International School" nomor pendaftaran 543887, tanggal permohonan 11 Juli 2002
milik Penggugat Rekonvensi. Namun, Tergugat Rekonvensi berpendapat bahwa mereka
tidak memiliki landasan hukum atau hak untuk menggunakan atau memanfaatkan merek
tersebut, karena mereka tidak memiliki sertifikat merek sesuai dengan Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
4. Tergugat Rekonvensi berpendapat bahwa dalam hukum merek, prinsip yang berlaku
adalah "azas konstitutif," yang memerlukan pihak yang ingin melindungi kekayaan
intelektualnya untuk melakukan pendaftaran merek di Departemen Hukum dan HAM
RI melalui Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Mereka menjelaskan bahwa
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Merek hanya melindungi merek terdaftar
(registered marks), dan merek yang tidak terdaftar (unregistered marks) tidak
mendapatkan perlindungan hukum, meskipun telah digunakan selama bertahun-tahun.
Mereka mengklaim bahwa penggunaan merek tidak dapat menciptakan hak eksklusif
tanpa pendaftaran.

5. Tergugat Rekonvensi juga menyatakan bahwa Penggugat Rekonvensi telah berulang


kali menegur dan meminta Tergugat Rekonvensi untuk menghentikan penggunaan
merek "Surabaya International School" yang memiliki kesamaan dengan merek yang
dimiliki oleh Penggugat Rekonvensi. Namun, permintaan ini tidak pernah diindahkan
oleh Tergugat Rekonvensi, yang berakibat pada kerugian materiil dan imateriil yang
substansial bagi Penggugat Rekonvensi.

6. Tergugat Rekonvensi berpendapat bahwa tindakan Tergugat Rekonvensi yang dengan


sengaja dan tanpa hak menggunakan merek "Surabaya International School" yang
memiliki kesamaan dengan merek milik Penggugat Rekonvensi yang telah terdaftar
merupakan tindakan yang melanggar hukum dan menyesatkan masyarakat, dan telah
menimbulkan kerugian materiil bagi Penggugat Rekonvensi, yang mereka klaim
mencapai jumlah tertentu. Direktorat Jenderal HAKI cq. Direktorat Merek, merupakan
pelanggaran hukum yang menyesatkan dan membingungkan masyarakat serta
menimbulkan kerugian materiil :
1. Tindakan Tergugat Rekonvensi menimbulkan kerugian bagi Penggugat Rekonvensi
kerugian mana bila dihitung mencapai Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
2. Akibat perbuatan Tergugat Rekonvensi menyebabkan Penggugat Rekonvensi harus
mengeluarkan biaya-biaya tambahan termasuk biaya advokasi yang bila dihitung
berjumlah Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
7. Selain itu, Tergugat Rekonvensi meminta agar mereka dihukum untuk membayar uang
paksa (dwangsom) kepada Penggugat Rekonvensi jika mereka gagal melaksanakan isi
putusan pengadilan dalam jangka waktu yang ditentukan.

8. Tergugat Rekonvensi juga meminta agar pengadilan memerintahkan mereka untuk


menghentikan penggunaan merek "Surabaya International School" yang memiliki
kesamaan dengan merek yang dimiliki oleh Penggugat Rekonvensi.

9. Terakhir, Tergugat Rekonvensi meminta agar pengadilan meletakkan sita (penahanan)


terhadap tanah dan bangunan yang dimiliki oleh Tergugat Rekonvensi, serta semua
barang-barang di dalamnya, sebagai langkah perlindungan terhadap kepentingan
Penggugat Rekonvensi.

10. Tergugat Rekonvensi juga meminta agar putusan dalam gugatan ini dapat dilaksanakan
terlebih dahulu, meskipun ada kemungkinan ada verzet, banding, kasasi, atau upaya
hukum lain yang dilakukan oleh Tergugat Rekonvensi.

Dalam rekonvensi tersebut, Tergugat I menyatakan bahwa Penggugat Rekonvensi adalah


pemilik sah merek "Surabaya International School" nomor pendaftaran 543887, tanggal
permohonan 11 Juli 2002 yang melindungi jenis jasa dalam kelas barang 41, yang dikeluarkan
oleh pemerintah RI melalui Departemen Hukum & HAM RI cq. Direktorat Jenderal HAKI cq.
Direktorat Merek.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat Rekonvensi mohon kepada Pengadilan


Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya agar memberikan putusan sebagai berikut: Dalam
Provisi:
1. Bahwa untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi Penggugat Rekonvensi, maka
mohon agar Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo menjatuhkan putusan provisi untuk
memerintahkan kepada Tergugat Rekonvensi untuk menghentikan penggunaan merek
Surabaya International School yang memiliki persamaan secara keseluruhan maupun pada
pokoknya dengan merek Surabaya International School milik Penggugat Rekonvensi yang
telah terdaftar Departemen Hukum & HAM RI cq. Direktorat Jenderal HAKI cq. Direktorat
Merek, hingga terdapat putusan yang berkekuatan hukum tetap;
2. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat di kantor kuasanya uang paksa
sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap hari Tergugat melanggar atau lalai
mentaati putusan ini;

Mengenai pokok perkara:

Dalam inti dari perkara ini, berikut adalah keputusan yang diambil oleh pengadilan:

1. Gugatan yang diajukan oleh Penggugat Rekonvensi diterima dan diabulkan secara
keseluruhan.
2. Pengadilan menyatakan Penggugat Rekonvensi adalah pemilik dan/atau pemegang sah dari
merek "Surabaya International School" dengan nomor pendaftaran IDM000130164
tertanggal 30 November 2005, yang melindungi jenis barang sarung HP dan aksesori HP
dalam kelas barang dan jasa 9. Merek ini dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
melalui Departemen Hukum & HAM RI melalui Direktorat Jenderal HAKI melalui
Direktorat Merek.
3. Pengadilan menyatakan bahwa Tergugat Rekonvensi telah melakukan pelanggaran merek
dengan menggunakan nama "Surabaya International School" tanpa hak, yang memiliki
persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan merek "Surabaya International
School" milik Penggugat Rekonvensi yang terdaftar dengan nomor 543887 tertanggal 4 Juli
2003. Oleh karena itu, Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar ganti rugi baik
secara materiil maupun imateriil kepada Penggugat Rekonvensi.
Kerugian materiil:
- Tindakan Tergugat Rekonvensi menimbulkan kerugian bagi Penggugat Rekonvensi,
kerugian mana bila dihitung mencapai Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
- Akibat perbuatan Tergugat Rekonvensi menyebabkan Penggugat Rekonvensi harus
mengeluarkan biaya-biaya tambahan termasuk biaya advokasi yang bila dihitung
berjumlah Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah); Kerugian imateriil:
- Bahwa Penggugat Rekonvensi adalah seorang pengusaha, oleh karena perbuatan
Tergugat Rekonvensi tersebut menyebabkan Penggugat Rekonvensi harus kecewa dan
menanggung rasa malu di mata para koleganya yang berakibat nama baik Penggugat
Rekonvensi menjadi tercemar, dengan demikian teranglah bahwa Penggugat
Rekonvensi telah menderita kerugian imateriil yang tidak dapat diperinci, namun
berdasarkan kepatutan dan kelayakan selaku pemegang/pemilik merek maka kerugian
tersebut bilamana dinilai dengan uang adalah sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).

4. Pengadilan menyatakan bahwa sita (penahanan) jaminan atas barang-barang bergerak


maupun tidak bergerak milik Tergugat, termasuk tanah dan bangunan rumah yang dimiliki
oleh Tergugat yang terletak di Citra Raya International Village, Lakarsantri Tromol Pos
2/SBDK Surabaya, berserta segala barang-barang yang ada di dalam rumah tersebut adalah
sah dan memiliki nilai.
5. Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi dihukum untuk membayar uang paksa
(dwangsom) kepada Penggugat Rekonvensi sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) per
harinya, jika Tergugat Rekonvensi tidak melaksanakan isi putusan, dimulai sejak putusan
ini diucapkan hingga dilaksanakannya isi putusan ini.
6. Pengadilan menyatakan bahwa putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan terlebih
dahulu, meskipun ada kemungkinan verzet, banding, kasasi, atau upaya hukum lain yang
diajukan oleh Tergugat Rekonvensi (uitvoerbaar bij voorraad).
7. Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar semua biaya yang timbul dalam
pemeriksaan perkara ini.

Atau, jika Majelis Hakim memutuskan sesuatu yang berbeda, Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekonvensi meminta agar diberikan putusan yang adil dan seadil-adilnya dalam perkara ini.

Dalam menghadapi gugatan yang diajukan di atas, Tergugat II telah mengajukan eksepsi dengan
argumen sebagai berikut:

Gugatan Penggugat kadaluarsa:

1. Tergugat II berpendapat bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat telah kedaluwarsa
karena telah melewati batas waktu yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001
tentang Merek. Menurut pasal tersebut, gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat
diajukan dalam waktu 5 tahun sejak tanggal pendaftaran merek. Oleh karena merek "Surabaya
International School" telah terdaftar sejak tahun 2003, maka gugatan Penggugat saat ini
dianggap sudah kedaluwarsa.

Gugatan Penggugat kabur:

1. Tergugat II berpendapat bahwa gugatan Penggugat tidak konsisten karena dalam petitum
gugatan, Penggugat juga meminta ganti rugi atas penggunaan merek "Surabaya International
School" oleh Tergugat I. Ini menunjukkan ketidakpahaman Penggugat terhadap hukum merek.
2. Tergugat II juga merujuk pada putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya
tanggal 7 Maret 2011 yang telah mengabulkan sebagian gugatan Penggugat. Putusan tersebut
menegaskan bahwa merek "Surabaya International School" merupakan nama badan hukum
sah milik Penggugat dan memerintahkan pembatalan merek tersebut atas nama Tergugat I.

Pengadilan juga telah menerima permohonan kasasi dari Tergugat I yang diajukan melalui
kuasanya pada tanggal 21 Maret 2011, yang diikuti dengan memori kasasi. Penggugat telah
memberikan jawaban terhadap memori kasasi tersebut.

Demikianlah upaya hukum yang telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait dengan perkara ini.;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasanalasannya telah diberitahukan
kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang
ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat
diterima.

Alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi (Tergugat I) dalam memori kasasinya, dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemohon Kasasi berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Surabaya telah salah menerapkan
hukum dan melanggar ketentuan Pasal 3 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek. Menurut Pasal 3, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek. Pasal 28 mengatur bahwa
merek terdaftar mendapatkan perlindungan hukum selama 10 tahun dan dapat diperpanjang.
Oleh karena itu, Pemohon Kasasi sebagai pemilik sah merek "Surabaya International
School" berhak mendapatkan perlindungan hukum atas merek tersebut.
2. Pemohon Kasasi juga berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Surabaya melanggar Pasal 69
ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang mengatur bahwa
gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan dalam waktu 5 tahun sejak
tanggal pendaftaran merek. Pemohon Kasasi berpendapat bahwa gugatan yang diajukan
oleh Penggugat sudah kedaluwarsa karena merek yang menjadi objek sengketa sudah
terdaftar selama lebih dari 5 tahun.
3. Pemohon Kasasi mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Niaga
Surabaya nomor 07/HAKI/MEREK/2010/P.Niaga.
4. Pemohon Kasasi juga berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Surabaya tidak
mempertimbangkan dengan cermat sikap itikad baik dalam kasus ini. Pengadilan dianggap
mengabaikan fakta bahwa Pemohon Kasasi telah mendaftarkan merek "Surabaya
International School" sesuai dengan peraturan yang berlaku dan telah melewati proses
pemeriksaan formal dan substantif oleh pihak berwenang. Di sisi lain, Penggugat dianggap
mengabaikan ketentuan perundang-undangan dengan menyelenggarakan jasa pendidikan
sejak tahun 1977 tanpa memiliki sertifikat merek, yang menimbulkan kesan bahwa
Penggugat berperilaku kurang itikad baik.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat diterima. Putusan
Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya telah tepat dan tidak melanggar hukum yang
berlaku, dengan pertimbangan sebagai berikut:

- Surabaya International School adalah nama dari sebuah yayasan yang bergerak di
bidang pendidikan dan telah eksis sejak tahun 1977, sedangkan merek Surabaya
International School baru didaftarkan pada tahun 2003.
- Meskipun Tergugat I sebagai pendaftar pertama merek Surabaya International School
juga bergerak di bidang pendidikan, merek Tergugat I tersebut belum beroperasi.
- Yayasan Surabaya International School telah menjadi sekolah yang terkenal, sehingga
Tergugat I, yang mendaftarkan merek "Surabaya International School" yang sama
dengan sekolah milik Penggugat yang sudah terkenal, dianggap beritikad tidak baik
karena sekolah Tergugat I tersebut hingga saat ini belum beroperasi.
- Alasan-alasan tersebut sebagian besar berkaitan dengan penilaian hasil pembuktian
yang bersifat penghargaan terhadap suatu kenyataan, yang tidak dapat dipertimbangkan
dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Pemeriksaan tingkat kasasi hanya berfokus pada
masalah pelaksanaan atau pelanggaran hukum yang berlaku, ketidakpatuhan terhadap
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, atau kewenangan
Pengadilan. Ini sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, putusan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya


dalam perkara ini tidak melanggar hukum atau undang-undang. Oleh karena itu, permohonan
kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi (Yayasan Nusa Adiguna) harus ditolak.

Komentar/Hasil Analisis

Berdasarkan definisi yang diberikan dalam UU No.15 tahun 2001 tentang Merek, istilah
"Merek" merujuk kepada suatu simbol berupa gambar, nama, kata, huruf, angka, susunan warna,
atau kombinasi elemen-elemen tersebut yang memiliki kemampuan untuk membedakan dan
digunakan dalam konteks perdagangan barang atau jasa. Jenis merek mencakup merek dagang dan
merek jasa. Sementara itu, merek kolektif adalah kategori merek yang digunakan oleh beberapa
individu atau badan hukum bersama-sama untuk membedakan barang atau jasa yang serupa dan
memiliki karakteristik yang sama. Dalam konteks merek, ada juga konsep lisensi, yang mencakup
izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada seseorang atau beberapa individu atau
badan hukum untuk menggunakan merek tersebut pada barang atau jasa tertentu.

Dalam dunia perdagangan, seringkali terjadi kasus pelanggaran merek. Pelanggaran ini pada
dasarnya dilakukan oleh pihak-pihak dengan niat buruk untuk mencapai keuntungan pribadi, yang
berpotensi merugikan pemilik merek yang sah. Indikasi pelanggaran merek dapat mencakup
beberapa kategori berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Ini termasuk penggunaan
merek yang identik, penggunaan merek yang mirip secara substansial, penggunaan simbol yang
serupa, serta penggunaan simbol yang mirip secara substansial dengan indikasi geografis.
Pemalsuan merek terdaftar juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran yang harus dilindungi
oleh undang-undang merek, karena merek terdaftar harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah sesuai dengan ketentuan UU Merek.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 UU No.14 Tahun 1994 yang digabungkan dengan
UU No.15 Tahun 2001, hak atas merek adalah hak istimewa yang diberikan oleh negara kepada
pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu. Hak ini
memungkinkan pemilik merek untuk menggunakan mereknya sendiri atau memberikan izin
kepada individu atau badan hukum lainnya untuk menggunakannya. Hak atas merek adalah salah
satu bentuk dari hak kekayaan intelektual yang perlu mendapatkan perlindungan dari pihak
berwenang. Merek memiliki peran penting sebagai sarana untuk membedakan antara barang atau
jasa yang satu dengan yang lain, terutama jika mereka sejenis. Oleh karena itu, perlindungan
terhadap hak merek atau pemilik merek terdaftar sangat penting untuk memastikan bahwa merek
terkenal dapat dikenali dan dibedakan dari merek lainnya.

Selain itu merek dapat diartikan sebagai tanda pengenal atau pembeda milik seseorang dengan
milik orang lain (Adisumarto, 1989:44). Merek adalah tanda pengenal suatu produk yang dapat digunakan
untuk membedakan antara barang atau jasa yang satu dengan yang lain. Merek adalah suatu hak kekayaan
intelektual yang perlu dilindungi1.

Perlindungan hak atas merek hanya berlaku bagi pemilik merek yang telah terdaftar.
Perlindungan ini bertujuan untuk melindungi pemilik merek dari pelanggaran merek yang
dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hak atas merek tersebut. Merek memiliki peran penting
dalam dunia perdagangan, terutama dalam aspek pemasaran, sehingga seringkali merek terkenal
menjadi target pelanggaran.

Di Indonesia, pelanggaran merek terjadi karena beberapa faktor, antara lain:

1. Ketentuan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang belum kuat.

2. Preferensi masyarakat terhadap produk murah meskipun kualitas rendah.

3. Pengawasan dan penegakan peraturan yang kurang efektif.

1
Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khusunya Hukum Paten dan Merek, (Jakarta, Akademika Pressindo,
1990), hlm. 19
4. Minat masyarakat terhadap merek terkenal dengan harga murah.

5. Daya beli masyarakat yang terbatas.

6. Kurangnya perhatian terhadap kualitas produk.

7. Kesadaran masyarakat terhadap pelanggaran merek yang masih rendah.

8. Kondisi ekonomi yang mendorong pembelian produk palsu karena harganya murah.

Perlindungan merek terkenal diatur dalam Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001,
dengan langkah-langkah preventif dan represif. Preventif diatur dalam Pasal 4, 5, dan 6, sedangkan
tindakan represif dijelaskan dalam Pasal 90 hingga Pasal 95. Apabila terjadi pelanggaran merek,
pemilik merek dapat menggunakan pasal-pasal ini untuk melindungi hak-hak mereka. Dengan
demikian, negara memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum merek. Hal ini bertujuan untuk
mewujudkan keadilan dalam masyarakat, salah satu tujuan hukum adalah menciptakan keadilan
bagi individu dan pemilik merek yang sah.

Dalam konteks ini, negara diharapkan memberikan perlindungan yang diperlukan bagi
pihak yang dirugikan, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut.

Menurut para ahli merek adalah ;

- Menurut Kotler (2012) merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau
kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa
dari satu penjual atau kelompok penjual dan mendiferensiasikan produk atau jasa dari para
pesaing.
- Marty Neumeier mengemukakan Merek adalah perasaan seseorang tentang suatu produk,
layanan, atau organisasi.
- David A. Aaker, Merek adalah seperangkat aset (atau kewajiban) yang ditautkan dengan
nama dan simbol yang menambah (atau mengurangi dari) nilai yang diberikan oleh suatu
produk atau layanan. Merek adalah nama atau simbol yang bersifat membedakan (baik
berupa logo, cap, atau kemasan) untuk mengidentifikasikan barang/jasa dari seorang
penjual/kelompok penjual tertentu.
- Kartajaya, Simbol, tanda, rancangan, ataupun sebuah kombinasi dari tiga hal tersebut yang
ditujukan sebagai identitas dari beberapa penjual untuk kemudian dijadikan sebagai
pembeda dengan pesaing yang ada di pasaran.

Menurut Kotler, merek memiliki enam tingkatan pengertian sebagai berikut:2

1. Atribut: Merek mengingatkan pada atribut khusus dari produk, baik itu berupa ciri khas
dalam pemasaran, layanan yang ditawarkan, atau keunggulannya. Perusahaan
menggunakan atribut ini dalam kampanye iklan mereka.
2. Manfaat: Pembeli tidak hanya tertarik pada atribut produk, tetapi juga pada manfaat yang
diberikan oleh produk tersebut.
3. Nilai: Merek mencerminkan nilai dari produknya. Sebagai contoh, produk dengan merek
tertentu dapat memberikan nilai yang tinggi bagi pengguna.
4. Budaya: Merek dapat mewakili budaya tertentu. Misalnya, merek dapat menjadi simbol
kemajuan teknologi Jepang yang mencerminkan kerja keras dan disiplin masyarakat
Jepang.
5. Kepribadian: Merek seperti manusia, dapat mencerminkan kepribadian tertentu yang
mengidentifikasikan merek tersebut.
6. Pemakai: Merek juga dapat mengindikasikan jenis konsumen yang membeli atau
menggunakan produk tersebut.

Dengan demikian, merek tidak hanya sekadar nama atau logo, tetapi juga mencakup nilai, citra,
dan makna yang lebih dalam yang berkaitan dengan produk atau jasa yang ditawarkan.

Fungsi Merek

Dalam dunia perdagangan merek mempunyai fungsi yang sangat penting. Fungsi tersebut antara lain :

1) Sebagai tanda pengenal barang atau jasa, yang dapat membedakan antara barang atau jasa
yang satu dengan barang atau jasa yang lain.

2
Arif Rahman, Strategi Dahsyat Marketing Mix for Small Business (Jakarta: Transmedia, 2010), 179.
2) Bagi Produsen,Pedagang dan Konsumen.3

Bagi Produsen, merek berguna untuk jaminan nilai hasil produksi, yaitu cara pemakaian dan hal
lain yang berkenaan dengan teknologi. Bagi Pedagang, merek digunakan untuk promosi barang-barang
dagangan guna mencari dan memperluas pasaran. Bagi Konsumen yaitu untuk memilih barang atau jasa
yang akan dibeli atau digunakan.

Pelanggaran Hak Atas Merek (Pemalsuan Merek)

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dimungkinkan sekali orang atau badan
hukum menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melakukan pelanggaran merek demi
memperoleh keuntungan. Seperti salah satu contohnya adalah pemalsuan merek. Tindakan pemalsuan
merek dilakukan oleh pihak-pihak yang beritikat tidak baik guna memperoleh keuntungan sebanyak-
banyaknya dalam persaingan yang tidak sehat dan tidak jujur menggunakan merek terdaftar milik fihak
lain.4

Berdasarkan Undang-Undang Merek No.15 Tahun 2001, ada beberapa klasifikasi mengenai
pemalsuan merek yaitu :

a. Menggunakan merek yang sama secara keseluruhan


b. Menggunakan merek yang sama pada pokoknya.
c. Menggunakan tanda yang sama.
d. Menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis

Disamping keempat klasifikasi di atas, ada klasifikasi lain yang merupakan pemalsuan merek yaitu
memperdagangkan barang atau jasa dengan merek palsu. Jadi pemalsuan merek dan memperdagangkan
barang atau jasa merek palsu, pada hakekatnya merugikan fihak lain, yaitu pemilik hak atas merek.

Pada kasus diatas pendaftaran merek "Surabaya International School" atas nama Tergugat
I dengan cara yang tidak pantas telah terbukti dengan sangat jelas. Nama yang digunakan sebagai
merek tersebut bukan nama asli, dan pendaftaran tersebut dilakukan dengan cara yang tidak jujur,
yaitu dengan meniru, membonceng, dan menjiplak nama badan hukum yang sudah dikenal
sebelumnya, yaitu "Surabaya International School." dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan
merek "Surabaya International School" yang memiliki kesamaan dengan merek milik Penggugat

3
Ibid
4
Subekti, R dan Tjitrosoedibio, KUH Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita,1978), hlm.28
Rekonvensi yang telah terdaftar merupakan tindakan yang melanggar hukum dan menyesatkan
masyarakat, dan telah menimbulkan kerugian materiil bagi Penggugat Rekonvensi, yang mereka
klaim mencapai jumlah tertentu. Direktorat Jenderal HAKI.

Ketika merek "Surabaya International School" atas nama Tergugat I terdaftar di Tergugat
II, Penggugat merasa terganggu dalam aktivitasnya dan merasa bahwa hak dan kepentingannya
terganggu. Selain itu, merek yang sama tersebut dapat menimbulkan kebingungan di kalangan
masyarakat. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek memberi hak kepada pihak ketiga
yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan Niaga di
wilayah tempat kedudukan Tergugat. Alasan gugatan pembatalannya adalah bahwa pemilik merek
yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan setelah mengajukan permohonan ke Direktorat
Jenderal. Penggugat memiliki kepentingan besar terhadap merek "Surabaya International School"
atas nama Tergugat I. Namun, upaya Penggugat untuk berkomunikasi dengan Tergugat I melalui
surat tertanggal 18 Agustus 2010 tidak mendapatkan respons positif. Oleh karena itu, Penggugat
tidak memiliki pilihan lain selain mendaftarkan gugatan. Kemudian, pada tanggal 11 November
2010, Penggugat mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.

Berdasarkan Kasus tersebut bisa didapat bahwa adanya pelanggaran hak atas merek yang
dilakukan Yayasan Nusa Adiguna maka tergugat menerima hukuman sesuai pasal-pasal dari
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan dan
Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat I untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Anda mungkin juga menyukai