“ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam
hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.”
(Kejadian 2:7)
Kalau pada poin kelima, dunia kita mengartikan hidup itu sebagai sesuatu yang biasa saja, lalu bisa bertindak
seenaknya sendiri, maka pada poin keenam, sebagai kebalikannya, beberapa manusia dunia yang ekstrim mengatakan
bahwa hidup itu penderitaan. Di dalam hidup itu pasti menderita, entah itu ditinggal oleh seseorang yang dikasihi yang
telah meninggal, putus pacar, dll. Pokoknya, tidak ada hidup tanpa penderitaan. Inilah wajah dunia kita yang hopeless
yang mencari makna hidup tetapi akhirnya kehilangan hidup itu sendiri, karena terlepas dari jalan yang Allah telah
tetapkan. Itulah akibat dari menaruh pengharapan kepada dunia ciptaan yang terbatas dan berdosa ini. Tetapi, apakah
kalau kita menaruh pengharapan kepada Tuhan pasti kaya dan tidak menderita ? TIDAK. Kita jangan terlalu ekstrim.
KeKristenan hendaknya jangan terlalu ekstrim menekankan dua kubu, yaitu terlalu mementingkan kesuksesan hidup,
yang lainnya menekankan penderitaan terus-menerus. KeKristenan harus seimbang, menyeimbangkan antara
penderitaan karena nama Tuhan dengan pengharapan sesudah penderitaan yaitu hidup kekal bersama-Nya.
Lalu, sekarang ini, kita akan beralih kepada arti hidup menurut perspektif “Kristen” yang seolah-olah kelihatan lebih
“rohani”, tetapi sebenarnya palsu. Mereka berani menggunakan istilah “Kristen” untuk menjelaskan makna hidup,
padahal istilah itu hanya sekedar topeng untuk menyelimuti ide humanisme, pantheisme dan pragmatisme di dalam
dirinya. Itulah yang kita lihat di dalam buku The Purpose Driven Life karya Rick Warren.
Dari judul bukunya saja, kita sudah menemukan ide yang sudah saya jelaskan tadi, yaitu istilah “Kristen” dijadikan
topeng (dengan cara mengutip ribuan ayat Alkitab yang kebanyakan di luar konteks asli) untuk menyelimuti esensi
sebenarnya yaitu humanisme, pantheisme, materalisme dan pragmatisme. Tentu, di dalam metode penafsiran Alkitab,
Warren menggunakan tafsiran-tafsiran Alkitab yang semau gue menurut seleranya pribadi tanpa memperhatikan
konteks, bahasa asli dan terjemahan-terjemahan Alkitab yang lebih tepat. Itulah metode eisegese dalam penafsiran
Alkitab yang salah, tetapi laris dalam masyarakat “Kristen” (khususnya yang bertheologia Injili non-Reformed). Hal ini
akan banyak disinggung dan diuraikan secara tuntas pada bab kedua makalah ini. Kembali, apakah hidup kita
digerakkan tujuan ? Kalau benar demikian, sebenarnya ada tiga pertanyaan penting yang perlu dipertanyakan.
Pertama, siapa yang mengarahkan tujuan itu. Kedua, apakah tujuan yang diarahkan itu ? dan ketiga, tujuan siapa yang
dituju ? (atau untuk apa tujuan itu ?) Jelas, di dalam buku The Purpose Driven Life, meskipun menggunakan nama
“Tuhan”, sebenarnya yang mengarahkan tujuan itu adalah diri manusia itu sendiri, tujuan itu adalah berkenaan dengan
cita-cita manusia yang hebat dan mulia (tanpa Allah) lalu tujuan itu membawa kemuliaan bagi diri manusia sendiri
(persis terbalik dari Roma 11:36 yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia, bagi
Dia lah kemuliaan selama-lamanya). Inilah jiwa humanisme sekuler (atau sekularisme) tetapi yang masih memperalat
“Tuhan” agar kelihatan “rohani”. Inilah jiwa manusia berdosa.
Lalu, apa kata Alkitab tentang hidup sejati ? Pada bagian awal Bab 1 ini, saya sudah mengutip Kejadian 2:7, “ketika
itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya;
demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Terjemahan Baru LAI) atau terjemahan Alkitab BIS
memberikan pengertian yang lebih jelas, “Kemudian TUHAN Allah mengambil sedikit tanah, membentuknya menjadi
seorang manusia, lalu menghembuskan napas yang memberi hidup ke dalam lubang hidungnya; maka hiduplah manusia
itu.” Kata “nafas hidup” berasal dari bahasa Ibrani, neshâmâh yang berarti tiupan atau hembusan atau nafas yang
vital/sangat penting/berkenaan dengan hidup. Kata Ibrani ini juga dipakai di dalam Amsal 20:27 untuk kata “Roh
manusia” (Terjemahan Baru LAI) atau “hati nurani manusia” (Alkitab BIS). Lalu kata “makhluk yang hidup” (TB-LAI)
diterjemahkan a living soul oleh King James Version (KJV) yang berarti jiwa/makhluk yang hidup. Kata “soul” dalam
KJV ini diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani nephesh yang artinya makhluk yang bernafas. Dari Kejadian 2:7 inilah,
kita mendapatkan satu prinsip hidup sejati dari Alkitab, yaitu hidup sejati adalah hidup yang berpaut kepada Allah
sebagai Sumber Hidup. Kalau Allah tidak menghembuskan nafas hidup-Nya ke dalam hidung manusia, maka manusia
tidak dapat menjadi makhluk yang hidup. Nafas hidup-Nya itulah sumber hidup bagi hidup manusia yang mengakibatkan
manusia bisa bernafas dan itulah yang disebut makhluk yang hidup. Arti hidup manusia yang sejati tidak didapat dari
manusia itu sendiri yang sendiri merupakan makhluk yang dicipta, tetapi dari Allah sebagai Sang Pencipta. Ketika kita
ingin mengerti apa arti hidup sejati belajarlah dan bertanyalah kepada Allah karena Ia yang menciptakan kita pasti
mengetahui apa arti hidup itu, dan jangan sekali-kali bertanya kepada para psikolog, eksistensialis, dll yang sendirinya
juga adalah sesama manusia. Sungguh suatu kebodohan manusia dunia ini ketika mereka yang ingin mengerti arti hidup
tidak langsung bertanya kepada Sang Sumber Hidup, tetapi bertanya kepada sesama manusia yang sama-sama berdosa
dan terbatas. Itulah kegagalan psikologi dan eksistensialis yang tidak kembali kepada Allah.
Tetapi tahukah kita bahwa hidup manusia yang pada awalnya telah diciptakan Allah begitu mulia sehingga manusia
langsung bercakap-cakap dengan Allah ternyata dirusak oleh manusia sendiri dengan meragukan eksistensi Allah. Itulah
dosa. Dosa bukan dimulai ketika Hawa memetik buah pengetahuan yang baik dan jahat yang dilarang oleh Allah, tetapi
dosa dimulai ketika manusia mulai meragukan kebenaran Allah. Usaha meragukan kebenaran Allah menjadi cikal bakal
iblis terus mencobai manusia dan akhirnya manusia pertama jatuh ke dalam dosa yang mengakibatkan manusia setelah
Adam dan Hawa ikut mewarisi dosa asal (original sin), di samping ada dosa aktual yang dilakukan oleh masing-masing
pribadi manusia. Ketika dosa masuk ke dalam manusia, hidup manusia mulai kehilangan arah. Kehilangan arah ini
ditandai dengan keinginan manusia terus melawan Allah dan ini mulai nampak ketika Kain yang membenci dan menaruh
dendam kepada adiknya, Habel karena persembahan Kain tidak diterima oleh Tuhan, sedangkan persembahan adiknya
diterima oleh Tuhan. Lalu, dilanjutkan dengan kejadian-kejadian dan tindakan-tindakan manusia yang membuat Tuhan
menyesal, sampai-sampai Tuhan mengatakan, “Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan
bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia
telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” (Kejadian 6:5-6) Tetapi yang menarik, di dalam
setiap kejahatan yang manusia lakukan, Tuhan tetap menyediakan sekelompok sisa (remnant) yang masih setia kepada
Tuhan. Dua ayat setelah Kejadian 6:6, yaitu pada ayat 8, Alkitab mengatakan, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di
mata TUHAN.” Nuh bisa mendapatkan anugerah Tuhan, itu semata-mata karena kedaulatan-Nya saja, bukan karena
kehendak Nuh yang ingin mencari Tuhan. Allah yang berdaulat adalah Ia yang berkehendak menyatakan anugerah-Nya
kepada siapapun menurut kedaulatan-Nya, bukan menurut perbuatan baik manusia tersebut. Itulah Reformed theology.
Nuh yang mendapatkan kasih karunia Tuhan di antara manusia-manusia berdosa di zamannya berusaha
mempertanggungjawabkan anugerah-Nya itu dengan hidup beres dan menaati Tuhan dan firman-Nya. Lalu, akibat
ketaatannya itu dari membangun bahtera sampai keluar dari bahtera dan mendirikan mezbah bagi Tuhan, maka Tuhan
berjanji di dalam Kejadian 8:21-22, “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan
hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah
Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan
hujan, siang dan malam.” Bisa saja, pada waktu itu, Nuh tidak menaati Tuhan, lalu berdalih dengan seribu macam
alasan, akibatnya Nuh itu mati bersama orang-orang sezamannya. Tetapi puji Tuhan, Nuh yang kita kenal di dalam
Alkitab adalah Nuh yang meresponi anugerah Allah dengan tepat dan taat mutlak kepada-Nya. Di situlah, Nuh
mendapatkan makna hidup sejati, yaitu ketika ia kembali taat kepada-Nya. Banyak orang dunia hari-hari ini berpikir
bahwa menjadi Kristen itu susah, karena apa saja tidak boleh, lalu mereka berpikir bahwa kalau tidak menjadi Kristen
itu lebih enak. Itu adalah kesalahan besar. Saya bertanya, kalau kita hidup di zaman Nuh, apakah kita ingin menjadi
seperti Nuh atau orang-orang sezamannya ? Kalau orang-orang dunia pasti memilih menjadi seperti orang-orang yang
hidup di zaman Nuh yang mengejek Nuh ketika Nuh membangun bahtera, mereka berpesta pora, mabuk-mabukan, dll.
Lalu, mereka menganggap diri hebat, bebas, dan itulah hidup yang mereka cari. Tetapi benarkah demikian ? Setelah
bencana air bah yang menyapu bersih orang-orang di zaman itu, kecuali Nuh, maka mereka baru sadar bahwa hidup itu
hanya sementara dan hidup yang tidak kembali kepada Allah akan sia-sia adanya, tetapi Nuh meskipun dirinya dihina
ketika membangun bahtera pada waktu kemarau, tetapi ia mengerti hidup itu sesungguhnya karena ia kembali taat
kepada Allah. Ketaatan kepada Allah itulah kunci utama kita menemukan hidup sejati. Tetapi kesalehan seperti Nuh itu
sebentar saja terjadi di dalam sejarah, selanjutnya orang-orang setelah Nuh banyak bermunculan dan mereka banyak
yang jahat dan memberontak terhadap Tuhan. Oleh karena itu, Allah yang Berdaulat memilih bangsa Israel menjadi
bangsa pilihan-Nya. Kepada mereka, Allah mewahyukan Taurat untuk memimpin dan mengatur perilaku mereka agar
berkenan kepada-Nya. Tetapi, bagaimana faktanya, apakah mereka semua menuruti perintah Taurat ? TIDAK. Mereka
memang menghafal semua yang tertulis di dalam Taurat, tetapi itu hanya menguasai bidang rasio saja, dan tidak
benar-benar mengerti artinya. Itulah sebabnya, mereka semakin mengerti Taurat, bukan semakin mengerti esensi
Taurat, tetapi lebih menekankan fenomena upacara sesuai Taurat. Bahkan ada yang melarang orang berjalan beberapa
kilometer di hari Sabat, dll. Taurat yang sebenarnya baik malahan dibuat tidak baik oleh para ahli Taurat yang
menganggap diri ahli di bidang Taurat (itulah namanya ahli Taurat, ahli di bidang Taurat, ahli pula untuk memelintir
hal-hal esensi di dalam Taurat). Mereka berpikir dengan hidup berbuat baik seperti yang Taurat perintahkan, mereka
akan menemukan arti hidup dan keselamatan sejati. Dari Surga, Allah tidak tinggal diam, Ia mengutus Putra Tunggal-
Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk mengembalikan fungsi hidup sebagaimana pada waktu Ia menciptakan manusia. Kristus
datang untuk menebus dosa manusia dan mengembalikan makna hidup sejati. Ketika Ia berinkarnasi dan turun menjadi
manusia tanpa meninggalkan natur Ilahinya, Ia mengajarkan prinsip-prinsip penting tentang makna hidup. Mari kita
menelusuri satu per satu di dalam Injil.
Pertama, hidup itu berpusat kepada firman Allah. Hal ini tercantum di dalam Matius 4:4, “Ada tertulis: Manusia hidup
bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (dikutip dari Ulangan 8:3) Hidup manusia
bukan sekedar makan, minum, bersenang-senang, tetapi hidup manusia itu berasal dari Allah, atau lebih tepatnya dari
setiap firman Allah. Di sini, Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa manusia itu hidup tidak memerlukan roti sama
sekali, tetapi Ia mengatakan bahwa manusia tidak hanya memerlukan roti saja untuk hidup. Kata “hanya” atau “saja”
dalam ayat ini berarti kita masih membutuhkan roti atau makanan jasmani untuk menyambung hidup, tetapi poin
penting atau esensinya bukan terletak pada roti atau sesuatu yang jasmaniah, tetapi firman Allah itulah yang esensi
dan terpenting yang menjamin hidup kita menjadi bermakna. Dengan kata lain, firman Allah itu menjadi Sumber Hidup
kita yang paling hakiki. Firman Allah menjadi penuntun, pemimpin dan pengoreksi hidup kita ketika kita ingin berbuat
dosa. Firman Allah menjadi batas dan penghakim bagi kita, sehingga kita tidak keluar dari jalan-Nya, sebagaimana yang
pemazmur katakan di dalam Mazmur 119:105, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Lalu, di
dalam pasal yang sama di ayat 1-10, “Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut
Taurat TUHAN. Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari Dia dengan
segenap hati, yang juga tidak melakukan kejahatan, tetapi yang hidup menurut jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya.
Engkau sendiri telah menyampaikan titah-titah-Mu, supaya dipegang dengan sungguh-sungguh. Sekiranya hidupku tentu
untuk berpegang pada ketetapan-Mu! Maka aku tidak akan mendapat malu, apabila aku mengamat-amati segala
perintah-Mu. Aku akan bersyukur kepada-Mu dengan hati jujur, apabila aku belajar hukum-hukum-Mu yang adil. Aku
akan berpegang pada ketetapan-ketetapan-Mu, janganlah tinggalkan aku sama sekali. Dengan apakah seorang muda
mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu. Dengan segenap hatiku aku
mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu.” Firman-Nya itu sangat berarti bagi
hidup pemazmur. Hal ini sangat berbeda total dengan banyak paradigma hidup yang dianut oleh banyak orang yang
mengaku diri “Kristen” apalagi “melayani Tuhan” lalu alergi mendengar kata “Tuhan” disebutkan di luar gereja. Kalau
di dalam Mazmur 119:9, pemazmur mengatakan bahwa orang muda dapat mempertahankan kelakuan yang bersih
ketika firman-Nya menjaga hidup mereka, tetapi dunia kita mengajarnya secara bertolak belakang, yaitu ketika
psikologi mengajar mereka tentang makna “hidup”, maka tidak heran, banyak orang muda yang belajar psikologi
(tanpa belajar firman-Nya) berakhir tragis, misalnya bunuh diri, stress, dll. Ketika manusia mencoba menemukan
makna hidup di luar firman-Nya, manusia tidak pernah menemukannya, karena hidup sejati pasti berpusat kepada Allah
dan firman-Nya sebagai Sumber Hidup.
Kedua, hidup yang tidak kuatir. Di dalam Matius 6:25, Tuhan Yesus mengajarkan, “Karena itu Aku berkata kepadamu:
Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan
tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih
penting dari pada pakaian?” Hidup manusia sudah ada di tangan-Nya, karena Ia lah yang mengaturnya, tetapi seringkali
di dalam hidup, manusia seringkali kuatir akan makanan, minuman, pakaian, dll, mengapa ? Karena mereka diajar
bukan kembali kepada Allah, tetapi kembali kepada dirinya sendiri sebagai pusat hidup. Ketika Allah menjadi pusat
hidup manusia, maka manusia tidak perlu menguatirkan hidupnya. Perhatikan kalimat terakhir di dalam ayat 25 bahwa
hidup itu lebih penting daripada makanan. Mengapa demikian ? Karena kalau kita kekurangan makanan, kita bisa
mencarinya kembali, tetapi kalau kita kekurangan makna hidup, bisakah kita mencarinya di dalam dunia ini tanpa
kembali kepada Allah ?! TIDAK. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus berkata bahwa kita tidak perlu kuatir. Lalu, apa
solusi yang Tuhan Yesus berikan agar manusia tidak perlu lagi menguatirkan hidupnya ? Di dalam ayat 31-33, Ia
mengajarkan, “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami
minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu
yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,
maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Anak-anak Tuhan tidak perlu kuatir, karena kalau mereka kuatir,
mereka sama halnya dengan bangsa-bangsa (manusia) yang tidak mengenal Allah. Orang yang hidupnya terus kuatir
sebenarnya meragukan kedaulatan dan pemeliharaan Allah di dalam hidupnya. Tetapi tidak berarti dengan
menggunakan kalimat ini, lalu kita berkata bahwa kita tidak perlu bekerja, karena semuanya diberikan Tuhan. Itu
anggapan yang konyol. Kita tidak perlu kuatir di dalam hidup karena kita percaya bahwa Tuhan itu memelihara hidup
anak-anak-Nya dengan berkecukupan, meskipun demikian Tuhan tetap menuntut kita untuk terus bekerja (lihat ayat 34
yang sering dilupakan, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya
sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”) Kalau kita tidak perlu kuatir, tidak berarti kita tidak memiliki
kesusahan apapun, tetapi Kristus berkata bahwa kesusahan itu masih tetap ada, tetapi biarkanlah kesusahan itu cukup
untuk sehari jangan ditambahi dengan kekuatiran yang tidak perlu. Tuhan sangat mengerti benar apa yang diperlukan
manusia, sehingga Kristus memerintahkan kita untuk pertama-tama mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,
baru setelah itu Ia akan menambahkan berkat-Nya. Jangan menggunakan ayat ini lalu mengajarkan bahwa percaya
kepada Tuhan Yesus pasti kaya, diberkati, hidup lancar, dll. Itu bidat/sesat. Ayat 33, kata “akan ditambahkan
kepadamu” itu adalah bonus atau akibat setelah kita mempercayakan diri kepada-Nya dengan mencari Kerajaan Allah
dan kebenarannya (mengutamakan-Nya sebagai Tuhan dan Raja dalam hidup kita). Jangan sembarangan menafsirkan
Alkitab.
Ketiga, hidup manusia sejati adalah hidup seperti anak kecil (rendah hati). Matius 18:1-6 mengajarkan prinsip ini,
“Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?"
Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: "Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam
Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar
dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku."
"Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika
sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Di sini, Tuhan Yesus
menggabungkan konsep “bertobat” dengan menjadi seperti anak kecil. Apa artinya ? Pada waktu itu, para murid
sedang berebut kekuasaan ingin menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Surga, sehingga Kristus harus menegur mereka
dan mengatakan bahwa seorang yang masuk Surga adalah seorang yang bertobat, artinya tidak lagi mementingkan hal-
hal duniawi yang merupakan citra manusia lama dan segera memperbaharui hidup dengan mementingkan apa yang
Tuhan inginkan. Kedua, setelah bertobat, mereka harus menjadi seperti anak kecil yang memiliki kerendahan hati.
Anak kecil meskipun seringkali dihina oleh masyarakat sebagai manusia yang kurang pengalaman, tetapi dipakai oleh
Kristus untuk menghina mereka yang katanya sudah berpengalaman, berpendidikan, dll, tetapi sombong dan tidak
rendah hati lagi. Yang masuk ke dalam Kerajaan Surga bukan konglomerat, presiden, pembesar negara, pendeta, dll,
tetapi mereka yang hidup seperti anak kecil (childlike) yang memiliki kerendahan hati (bedakan dengan childish, yaitu
sifat kekanak-kanakan, sifat ini tidak disukai oleh Tuhan). Hidup seperti anak kecil (childlike) adalah hidup yang mulia.
Ketika kita belajar hidup menjadi seperti anak kecil, maka kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Orang-orang
yang suka menyombongkan diri sebagai “penghuni surga” lalu “bersaksi” bahwa dirinya berkali-kali naik turun “surga”,
berhati-hatilah, kalau ia tidak bertobat, mungkin ia nanti pasti menjadi penghuni neraka. Tidak berarti karena kita
telah berbuat baik, maka kita masuk Surga. Tolong baik-baik mengerti ayat ini. Kita bisa rendah hati, itu semua karena
Roh Kudus yang menggerakkan kita untuk berbuat baik dan rendah hati. Jadi, kembali, anugerah Allah yang mendahului
semua respon manusia, baru setelah anugerah ini dinyatakan, Allah pula lah yang mengaktifkan kehendak manusia
untuk berbuat baik bagi kemuliaan-Nya.
Keempat, hidup manusia sejati adalah hidup kudus. Kekudusan hidup diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 18:8-
9 yang berkaitan dengan penyesatan, “Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu,
karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua
tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan
buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam
api neraka dengan bermata dua.” Hidup sejati adalah hidup yang kudus. Bagi Tuhan Yesus, percuma saja “masuk ke
dalam hidup” (TB-LAI) atau “hidup dengan Allah” (BIS) dengan kedua tangan/kaki yang utuh tetapi salah satu berbuat
dosa, lebih baik hidup dengan Allah dengan sebelah tangan/kaki. Ayat ini jangan ditafsirkan dengan sembarangan. Saya
sempat membaca ada seorang pria Katolik di Filipina setelah membaca ayat ini lalu memotong kaki dan tangannya. Ini
namanya penafsiran Alkitab terlalu harafiah. Itu salah.
Kelima, hidup yang rela membayar harga demi Kristus. Di dalam Matius 19:29, Tuhan Yesus mengajarkan, “Dan setiap
orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau
ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.”
Orang-orang dunia pasti kesulitan membaca ayat ini, karena mereka pasti berpikir bahwa kalau kita kehilangan
sesuatu, pasti kita tidak bisa hidup. Tetapi tidak demikian, Tuhan kita Yesus Kristus mengajarkan hal yang paradoks
yang bertentangan dengan pola pikir kita. Kristus mengatakan bahwa justru ketika berani membayar harga demi nama
Kristus, maka di saat itulah kita nantinya akan mendapatkan kemuliaan kekal dan hidup sejati (kata “hidup sejati”
ditambahkan di dalam Alkitab BIS. Roma 8:18-21 sungguh menguatkan kita ketika kita di dalam bahaya penderitaan
karena nama Kristus, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan
kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak
Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri,
tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga
akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.” Inilah
pengharapan anak-anak Tuhan di mana mereka akan menerima mahkota kemuliaan setelah mereka menderita aniaya.
Itulah paradoks. Hidup sejati adalah hidup yang rela menyangkal diri sendiri dan hidup 100% bagi Kristus. Ini tidak
berarti kita harus menjadi pendeta lalu meninggalkan profesi kita. Tidak ! Hidup yang 100% bagi Kristus adalah hidup
yang men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidupnya, mungkin hidup itu terasa sulit, kita akan diejek sok suci, sok religius,
dll, tetapi kita harus setia untuk tetap men-Tuhan-kan Kristus, karena di dalam Dialah ada hidup sejati (Yohanes 1:4 ;
14:6).
Keenam, hidup sejati adalah hidup yang beriman. Di dalam Yohanes 3:15-16, Tuhan Yesus bersabda, “supaya setiap
orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia
telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan
beroleh hidup yang kekal.” (Alkitab BIS mengartikannya, “supaya semua orang yang percaya kepada-Nya mendapat
hidup sejati dan kekal. Karena Allah begitu mengasihi manusia di dunia ini, sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang
tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan mendapat hidup sejati dan kekal.”)
Sungguh menarik, kedua ayat ini. Seringkali kita mengaitkan kedua ayat ini hanya untuk mengungkapkan kasih Allah
yang begitu besar kepada kita. Itu tidak salah. Tetapi ayat ini juga bisa mengajarkan tentang makna hidup yang sejati
hanya ada ketika kita beriman di dalam Kristus yang berinkarnasi menebus dan menyelamatkan manusia yang berdosa.
Di dalam iman itulah kita bisa menemukan hidup. Sebagaimana Roma 1:17b mengatakan, “Orang benar akan hidup oleh
iman.” (TB-LAI) atau “Orang yang percaya kepada Allah sehingga hubungannya dengan Allah menjadi baik kembali,
orang itu akan hidup!” (BIS) Orang dunia seringkali membalik konsep ini dan mengatakan bahwa orang hidup itu harus
beriman, tetapi Alkitab dengan konsepnya yang pasti dapat dipercaya mengatakan bahwa justru ketika beriman di
dalam Kristus, manusia pilihan-Nya bisa hidup. Mengapa demikian ? Karena hidup sejati adalah hidup yang terlebih
dahulu beriman di dalam-Nya dengan menyerahkan seluruh keberadaan hidup kita kepada-Nya dan menjadikan-Nya
sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup kita. Ketika kita percaya kepada sesuatu, di situ kita berani menyerahkan
apapun kepada yang kita percayai. Demikian juga kita percaya di dalam-Nya, maka kita juga rela menyerahkan apapun
yang ada pada diri kita untuk dikuasai oleh-Nya, karena kita percaya bahwa Allah itu adalah Allah yang Mutlak dan pasti
dapat dipercayai.
Terakhir, hidup sejati adalah hidup yang berpengharapan dan menuju kepada kekekalan. Hal ini diajarkan oleh Tuhan
Yesus di dalam Yohanes 10:27-28, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka
mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai
selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.”, Yohanes 11:25,26, “Akulah kebangkitan
dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan
yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” dan Yohanes 12:25, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia
akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk
hidup yang kekal.” Di dalam Yohanes 12:25, Alkitab BIS mengartikan dengan lebih jelas, “Orang yang mencintai
hidupnya akan kehilangan hidupnya. Tetapi orang yang membenci hidupnya di dunia ini, akan memeliharanya untuk
hidup sejati dan kekal.” Apakah dengan ayat ini, kita harus bersama-sama membunuh tubuh jasmani kita supaya kita
bisa hidup kekal ? Lalu, apakah kita tidak boleh mencintai diri kita ? TIDAK. Kata “mencintai nyawanya” itu dari bahasa
aslinya dapat diartikan mengasihani diri atau menganggap diri berguna, hebat, dll, sehingga ketika kita berlaku
demikian, maka justru yang terjadi bukan kita semakin hidup, tetapi malahan kita semakin kehilangan nyawa atau
makna hidup sejati kita. Sebaliknya, ketika kita membenci (tidak mencintai) nyawa kita (atau dapat diterjemahkan
menyangkal diri kita—bandingkan Matius 16:24), maka yang didapat bukan kehilangan nyawa tetapi kita akan menerima
dan menemukan makna hidup sejati dan kekal. Ini namanya paradoks. Dunia kita tidak akan mengerti konsep ini sampai
suatu saat Roh Kudus mencerahkan pikirannya. Puji Tuhan, kita adalah salah satu dari antara mereka yang boleh
mendapatkan anugerah Tuhan. Inilah indahnya menjadi orang Kristen dapat mengerti paradoks. Hidup sejati adalah
hidup yang terus menuju kepada pengharapan akan kekekalan. Akibatnya, di dalam hidup ini, kita tidak perlu
dipusingkan dengan hal-hal yang tidak penting, misalnya kekayaan duniawi, kedudukan yang dihormati, dll, itu semua
sampah, sama seperti yang diungkapkan Paulus bahwa pengenalannya akan Kristus membuat dia rela menganggap
sampah pada semua yang ia anggap kebanggaan pada masa dulunya. Beranikah kita seperti Paulus menganggap sampah
semua kemegahan dan kehebatan dunia yang berdosa ini lalu kembali hidup yang berfokus kepada pengharapan akan
kekekalan ? Renungkanlah.
Setelah kita merenungkan ketujuh poin makna hidup menurut ajaran Tuhan Yesus, sudahkah kita berani menentukan
fokus hidup sejati yaitu kepada dan di dalam Kristus itu sendiri ? Biarlah kita mulai mengambil keputusan untuk segera
men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita dan menentukan tujuan hidup kita berpijak dari firman Allah, bergantung
kepada pimpinan Roh Kudus dan murni untuk memuliakan-Nya selama-lamanya. Soli Deo Gloria. Amin.